Upload
nicole-morris
View
35
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PBL blok 30 pemeriksaan pasien dengan status tahanan
Citation preview
Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Pasien dengan Status
Tahanan
Samsul Rizal Almadani 102011445
Theresia Indriani PC 102012071
Michael Sukmapradipta 102012253
Ega Farhatu Jannah 102012277
Kiki Puspitasari 102012350
Surya Dharma 102012390
Risma Lestari Siregar 102012426
Susi Sugiarti 102014267
KELOMPOK A5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat
Pendahuluan
Pemeriksaan kesehatan pasien dengan status sebagai tahanan memerlukan ijin dan
beberapa prosedur. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan
seperti kabur dari tahanan. Sebagai seorang dokter untuk membuat surat keterangan baik
untuk rujukan ataupun keterangan lainnya harus tetap dilakukan sesuai dengan standard
operasionalnya yaitu harus benar-benar diperiksa apakah seseorang tersebut membutuhkan
surat itu atau tidak. Ini berkaitan dengan etika, hukum dan disiplin kedokteran.
Tinjauan Pustaka
Setiap dokter dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme yaitu sikap yang
bertanggung jawab, sikap kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap etis
sesuai etika profesi, dan bekerja sesuai standard yang ditetapkan.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai kasus seorang dokter yang diminta oleh pasien
lamanya untuk membuatkan surat rujukan medis ke luar negri untuk kakaknya yang berstatus
tahanan.
Pembahasan
Prinsip Etika Kedokteran
Adapula etika kedokteran yang dibagi menjadi beberapa poin, yaitu beneficence, non-
maleficense, autonomy, dan justice. Semua poin tersebut terdapat dalam setiap kasus yang
dihadapi seorang dokter, sehingga disinilah kebijaksanaan dan hati nurani seorang dokter diuji.
Sebagai seorang dokter yang baik, dalam setiap tindakannya sepatutnya memenuhi kriteria dan
kaidah dari peraturan-peraturan tersebut. Jadi dalam makalah ini akan dibahas mengenai
aturan-aturan & hubungannya dengan tindakan dokter dalam menghadapi pasiennya.1
Sifat hubungan dokter dan pasien di jaman sekarang sudah dikoreksi oleh para ahli etika
kedokteran menurut pengalaman menjadi hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan
kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue etchics).
Sehingga dibuatlah suatu aturan etika dalam dunia kedokteran yang dikenal sebagai bioetik.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap
atau perbuatan seorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Beauchamp and Childress
(1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar
moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Dalam profesi kedokteran dikenal 4
prinsip moral utama, yaitu:1
1. Prinsip Otonomi: Prinsip moral yang menghormati hak – hak pasien, terutama hak otonomi
pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent.
2. Prinsip Beneficence: Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan
juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
3. Prinsip Non Maleficence: Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan
pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “ above all do no harm.”
4. Prinsip Justice: Prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (Distributive Justice)
Sedangkan aturan / rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan
terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan
pasien),dan fidelity (loyalitas dan menjaga janji).1
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Setiap dokter dibekali dengan peraturan etika, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) yang berisi tentang nilai-nilai yang sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh seorang
dokter. KODEKI inilah yang menjadi landasan setiap tindakan medis yang dilakukan seorang
dokter serta mengatur hubungan antara dokter dengan pasien, lingkungan masyarakat, teman
sejawat, dan diri sendiri. Selain KODEKI ada pula peraturan tentang informed consent atau
disebut juga Persetujuan Tindakan Medis yaitu Permenkes No.290 Tahun 2008.2
Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur
hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang
diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-
sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
struktural. Oleh karena itu dibuatlah Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang berdasar
kepada Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/Pb/A.4 /04/2002
Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang diuraikan sebagai berikut:2
I. Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, &
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter/ kompetensi, atau yang melakukan penipuan/penggelapan, dalam menangani
pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
II. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
III. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
IV. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
Sumpah Kedokteran Indonesia
Sumpah Dokter Indonesia adalah sumpah yang dibacakan oleh seseorang yang akan
menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas
Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah
Dokter Indonesia pertama kali digunakan pada 1959 dan diberikan kedudukan hukum dengan
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1960. Sumpah mengalami perbaikan pada 1983 dan1993. 3
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral
yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum
sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral haruslah menjadi
“pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah
hukum yang etis.
Informed Consent
Informed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda tangan
seorang pasien pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk
menjalankan suatu intervensi medik tertentu.4
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no. 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008 maka informed consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Saat memberikan informasi kepada pasien/keluarganya, kehadiran
seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi adalah esensi yang penting.4
Tujuan Informed Consent:4
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada
melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
Ada dua bentuk Persetujuan Tindakan Medik (PTM)/Informed Consent, yaitu:4
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent)
Keadaan normal
Keadaan darurat
2. Dinyatakan (expressed consent)
Lisan
Tulisan
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:
1. Threshold elements
Syarat pemberi informed consent adalah seorang yang berkompeten. Secara hukum,
seseorang dianggap kompeten adalah apabila ia telah dewasa (berusia >21 tahun), sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu pengungkapan dan pemahanam. Informasi yang
diberikan kepada pasien dapat ditinjau dari 3 standar, yaitu: Standar praktek profesi, strandar
subyektif, dan standar pada reasonable person.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Dalam hal ini, informed consent tidaklah beleh berdasarkan
paksaan, namun melakukan persuasi yang “tidak berlebihan” masih dapat dibenarkan secara
moral.
Pada prakteknya, informed consent sangat terpengaruh dengan budaya Indonesia. Pada
umumnya keputusan medis dipahami sebagai proses dalam keluarga, pasien sendiri umumnya
mendesak untuk berkonsentrasi dulu dengan keluarganya untuk menjaga keharmonisan dalam
keluarga. Pasien cenderung menyerahkan permasalahan medisnya kepada keluarga terdekatnya
sehingga persetujuan medis umumnya diberikan kepada keluarga terdekatnya.4
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.4
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290/
Menkes/PER/III/2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).4
Informasi/keterangan wajib diberikan sebelum tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:4
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran (informed consent) adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergensi),
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat,
3. Cilical privilege (hanya pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent),
4. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini
tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran
dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya
tindakan(Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan(Ayat 2).4
Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai norma
dasar yang melindungu hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter, kode etik
kedokteran internasional, dan peraturan oemerintah no.10 tahun 1966 yang mengatur
kewajiban simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam PP ini
diberikan pengecualian apaiba terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang sederajat
atau lebih tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2):5
Untuk kepentingan kesehatan pasien
Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
Permintaan pasien sendiri
Berdasarkan ketentuan undang-undang
Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah
ketentuan pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP. Dalam
permenkes no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:5
1. Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai
2. Noodtoeestand: keadaan yang memaksa
Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban
hukum. Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child
abuse yang berat dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.
Aspek Hukum
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PerMenKes) No.
290 Tahun 2008 (6)
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran
adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan
tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri
yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas.
Persetujuan dan Penjelasan
Pasal 2
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan
setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter
atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah
pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum
dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien
Penjelasan
Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau
keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan
kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan
tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat
risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
Pasal 9
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam
berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau
dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi
yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan
penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter
atau dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan
yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga
terdekat.
Yang Berhak Memberikan Persetujuan
Pasal 13
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter pada saat diperlukan persetujuan.
Ketentuan Pada Situasi Khusus
Pasal 14
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support)
pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari
tim dokter yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana
tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan.
Penolakan Tindakan Kedokteran
Pasal 16
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan dokter dan pasien.
Tanggung Jawab
Pasal 17
(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung
jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
(2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran.
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 18
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan
pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai
dengan kewenangannya masing-masing
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Ketentuan Penutup
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Pemeriksaan Kesehatan dalam Tahanan 7
Psikiatri Forensik
Kegiatan utama psikiatri forensik adalah membuat Visum et Repertum Psychiatricum atau surat keterangan kesehatan jiwa yang dibuat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Dokter SpKJ) sebagai hasil pemeriksaan psikiatrik pada seseorang di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau di tempat praktik pribadi yang diminta secara tertulis oleh instansi atau perorangan. Surat ini biasa dibuat untuk kasus pidana dan perdata sehingga peran dokter spesialis jiwa adalah sebagai berikut:
1. Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa dengan upaya menegakkan diagnosis
2. Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara gangguan jiwa pada terperiksa dengan peristiwa huumnya, dengan menentukan kemungkinan hubungan antara gangguan jiwa terperiksa dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa hokum
3. Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada terperiksa4. Membantu menentukan cakap tidaknya terperiksa bertindak dalam lalu-lintas hokum
Yang berhak meminta surat keterangan kesehatan jiwa adalah penyidik, penuntut hukum, hakim pengadilan, terdakwa, korban, penasihat hukum. Tiga kedudukan yang terakhir harus melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan untuk meminta surat keterangannya.
Pemeriksaan meliputi fungsi psikomotor, afektif, dan kognitif. Pemeriksaan fungsi psikomotor menelaah tentang:
Kesadaran Sikap Tingkah laku Kontak psikis, dll
Pemeriksaan afektif menelaah:
Alam perasaan dasar Stabilitas emosi Ekspresi dan emosional Empati, dll
Pemeriksaan kognitif menelaah:
Persepsi dan gangguannya Daya ingat Dugaan taraf kecerdasan Mutu pikiran Kemampuan menilik diri sendiri, dll
Sidang yang dilaksanakan harus berlangsung secara tertib. Semua orang dalam sidang harus menaati peraturan yang ada dan bersikap tenang dan sopan. Terperiksa (dalam kedudukan apapun: terdakwa, saksi, penggugat, ataupun yang lain) harus mampu duduk tenang dan sopan selama persidangan dan mampu berkomunikasi dengan baik dan wajar. Oleh karena itu, seseorang terperiksa harus mempunyai kompetensi-kompetensi yang memungkinkannya mengikuti persidangan dengan baik. Ia harus mengerti sifat dan keadaan yang sebenarnya dari cara bekerjanya (proses) sidang pengadilan, termasuk dapat berkomunikasi secara memadai.
Adapun prosedur pembuatan surat keterangan kesehatan jiwa adalah sebagai berikut:
a. Terperiksa datang membawaa surat permintaan pemeriksaan kesehatan jiwa dari hakim pengadilan dan menyerahkan kepada Dokter SpKJ di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau praktek pribadi.
b. Dokter SpKJ meneliti keabsahan surat permohonan pemeriksaan kesehatan jiwa yang memuat identitas lengkap pemohon dan terperiksa, serta maksud pemeriksaan kesehatan jiwa.
c. Dokter SpKJ melakukan pemeriksaan psikiatri. Bila di perlukan dapat di lakukan pemeriksaan penunjang, seperti tes psikometri.
d. Kesimpulan pada surat keterangan adalah menetapkan kompetensi untuk disidangkan atau inkompetensi untuk disidangkan.
Hal-hal yang menyebabkan inkompetensi untuk disidangkan di pengadilan adalah ;
1. Adanya waham dan/atau halusinasi, proses pikir yang kacau, perilaku yang kacau yang berupa gejala-gejala psikotik
2. Adanya depresi berat 3. Adanya anxietas berat4. Adanya retardasi mental sedang, berat, dan sangat berat5. Adanya demensia berat
e. Hasil pemeriksaan berupa Surat Keterangan Kesehatan Jiwa diterbitkan selama-lamanya 3 X 24 jam.
Pemeriksaan mengenai kemampuan seseorang untuk diajukan di persidangan (fit to stand trial) ditentukan dari kecakapan untuk bertanya jawab (competence to be interviewed). Hal tersebut dinilai dari kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya (sebagai terdakwa, penggugat, atau saksi) dan memahami situasi lingkungannya (berhadapan dengan hakim, jaksa, penasihat hokum, dll). Ia juga harus mengetahui persoalan yang dihadapinya dan mampu mengusahakan pembelaan atau minta pertolongan seseorang untuk membelanya.
Kemampuannya dalam berkomunikasi dapat dinilai dengan kemampuannya dalam mengemukakan pendapat yang dipahami orang lain serta dapat memahami pendapat dari orang lain dengan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, ia dianggap layak untuk diajukan ke sidang pengadilan (competence and fit to stand trial).
Kemampuan untuk berbicara (Fitness to be stand trial)
Sidang yang dilaksanakan pengadilan harus berlangsung secara tertib. Orang-orang yang
berada di ruang siding tanpa terkecuali harus bersikap tenang dan sopan, harus mampu
menaati peraturan yang berlaku. Terperiksa, baik dalam kedudukan sebagai erdakwa,
penggugat, saksi, ataupun kedudukan yang lain harus pula mampu menaati peraturan tersebut,
dalam arti di dalam siding terperiksa harus mampu untuk duduk tenang dan sopan selama
waktu yang relative lama serta harus mampu berkomunikasi secara baik wajar dan sopan.
Sidang pengadilan merupakan tempat berkomunikasi dimana mereka yang terlibat
saling bertanya jawab. Tanya jawab harus berlangsung tertib, dengan harapan hakim dapat
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya sehingga dapat mengambil
keputusan hokum yang tepat, objektiv dan adil. Dilain pihak dimaklumi bahwa situasi sidang
pengadilan bagi terperiksa sangat menekan (stressfull). Tidak diharapkan, selama sidang dan
setelah sidang, akibat rasa tertekan terperiksa menjadi sakit atau penyakitnya menjadi berat
atau penyakit yang sudah sembuh dapat kambuh kembali.
Dengan uraian di atas, apabila seseorang (terperiksa) akan diajukan ke sidang
pengadilan terlebih dahulu harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
Apakah sidang dapat dilaksanakan (applicable)? Sidang dapat dilaksankan apabila
terperiksa dapat menaati peraturan ketertiban sidang. Sidang tidak mungkin
dilaksanakan apabila terperiksa gelisah, tidak dapat duduk tenang, harus dalam
posisi berbaring, misalnya karena s\cedera tulang punggung atau harus diinfus,
atau terperiksa berbicara tidak terkendali.
Apakah sidang tidak berbahaya (harmful) bagi terperiksa? Sidang tidak dapat
dilaksankan apabila suasana sidang terlalu menekan sehingga terperiksa dapat
menjadi sakit atau bahkan meninggal.
Apakah sidang bermanfaat (beneficial)? Sidang merupakan arena Tanya jawab
dimana semua pihak berusaha mengemukakan informasi menurut visi mereka
masing-masing, agar dapat dipergunakan hakim untuk dapat mengambil
keputusan . diharapkan dalam Tanya jawab, pterperiksa dapat mengerti apa yang
ditanyakan padanya dan dapat mengemukakan pendapat yang dapat dipahami
oleh orang lain. Dengan demikian pemeriksaan mengenai kemampuan seseorang
untuk diajukan di sidang pengadilan (fitness to stand trial) memerlukan
pemeriksaan tentang kemampuan terperiksa untuk menaati peraturan sidang dan
bahwa sidang tidka membahayakan bagi terperiksa.
Penentuan mengenai kecakapan untuk bertanya jawab (competence to be interviewed)
dapat dinilai dari kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya dan memahami situasi
lingkungannya. Ia harus mengetahui kedudukannya dalam sidang (sebagai saksi, sebagai
terdakwa, atau sebagai penggugat). Ia juga harus mengetahui persoalan yang dihadapinya
(perkaranya) dan mampu mengusahakan pembelaan atau mampu minta pertolongan
seseorang untuk minta pembelaan persoalannya. Selain itu ia juga harus memahami siatuasi
lingkungannya. Dalam arti bahwa ia memahami ia berada di ruang sidnag pengadilan
berhadapan dengan hakim, jaksa, penasehat hokum, dan lain-lain.
Dalam sidang terperiksa harus mampu berkomunikasi dengan baik. Kemampuan
berkomunikasi ini dapat kita nilai dengan cara penilaian kemampuan untuk mengemukakan ide
atau pendapat yang dapat dipahami oleh orang lain; serta dapat memahami idea atau
pendapat orang lain dengan wajar dan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuan-
ketentuan tersebut di atas, ia dianggap cakap dan layak untuk diajukan ke sidang pengadilan
( competence and fit to stand trial). Mungkin seseorang dianggap tidak cakap dan tidak layak,
yang dapat bersifat permanen/ temporer dalam keadaan tidak cakap dan tidak layak yang
bersifat sementara maka terperiksa dapat terlebih dulu diterapi dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah sembuh. Sering pula terperiksa tidak menjadi sakit, tetapi dalam sidang
menjadi sangat tertekan sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Dalam keadaan
seperti ini terperiksa dapat didampingi oleh seseorang yang ditunjuk atau disetujui oleh hakim.
Pemeriksaan tentang kecakapan untuk bertanya jawab dan kelayakan untuk diajukan
disidang (fitness to stand trial) dapat merupakan pemeriksaan satu paket, dapat pula
merupakan dua pemeriksaan sendiri-sendiri.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tahanan ditujukan untuk memeriksa apakah tahanan tersebut benar
dalam keadaan sakit dan membutuhkan pengobatan segera. Dalam hal ini dokter harus
memeriksa langsung tahanan tersebut. Selanjutnya dianalisis apakah penyakitnya harus
mendapat rujukan keluar negeri. Hal ini tergantung dengan keputusan hakim.
Pemeriksaan Diagnostik Jantung
Diagnosis MCI biasanya berdasar pada riwayat penyakit sekarang, EKG, danserangkaian enzim serum. Prognosis tergantung pada beratnya obstruksi arteri dan dengansendirinya banyaknya kerusakan jatung. Pemeriksaan fisik selalu dilakukan, namun hal initidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
a. Riwayat pasienPengambilan riwayat pasien dilakukan dalam dua tahap; riwayat penyakit sekarang
dan riwayat penyakit dahulu serta riwayat kesehatan keluarga. Riwayat pasien memberikan data subjektif. Dokter yang teliti juga akan mencari data malalui interpretasi EKG dan pemeriksaan rangkain enzim.
b. Elektrokardiogram EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Melalui pembacaan dariwaktu ke waktu, dokter mampu memantau perkembangan dan resolusi suatu MCI. Lokasidan ukuran relative infark juga dapat ditentukan dengan EKG. Meskipun ada berbagai teknologi baru yang mampu menyajikan data diagnostik yang sama,namun EKG masih tetap merupakan instrument diagnostic pilhan pertama karena dapatdigunakan di tempat tidur dan non invasif. Ekokardiogram digunakan untuk evaluasi lebihjauh mengenai fungsi jantung, khususnya fungsi ventrikel. Kegunaan EKG adalah :• Mengetahui kelainan-kelainan irama jantung (aritmia)• Mengetahui kelainan-kelainan miokardium (infark, hipertrophy atrial dan ventrikel)• Mengetahui adanya pengaruh atau efek obat-obat jantung• Mengetahui adanya gangguan elektrolit• Mengetahui adanya gangguan perikarditis
c. Enzim dan isaoenzim serumPemeriksaan rangkaian enzim meliputi kinase dan laktat dehidroginase. Kreatinkinase dengan isoenzimnya (CK dengan CK-MB) dipandang sebagai indikator yang palingsensitif dan dapat dipercaya diantara semua enzim jantung dalam menegakkan diagnosainfark miokardium. Laktat dehidrogenase (LDH) kurang bisa dipercaya sebagai sebagai indikatorkerusakan jantung akut seperti CK. Tetapi, karena reaksinya lebih lambat dan meningka lebihlama dari enzim jantung lainnya, LDH sangat berguna untuk mendiagnosa MCI pada pasienyang mungkin mengalami MCI akut tetapi terlambat dibawa kerumah sakit. Ada lima macamisoenzim LDH, tetapi hanya dua yang penting untuk mendiagnosa MCI akut yaitu dan . dankadarnya tinggi di jantung, ginjal dan otak, namun normalnya kadar lebih tinggi disbanding .Apabila melebihi , maka keadaan ini disebut “terbalik”, menunjukkan adanya MI akut.
d. Elektrolit.Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal hipokalemi,hiperkalemi.
e. Sel darah putihLeukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA berhubungandengan proses inflamasi.
f. Kecepatan sedimentasiMeningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI, menunjukkan inflamasi.
g. KimiaMungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis.
h. AGDDapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
i. Kolesterol atau Trigliserida serumMeningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.
j. Foto rontgen dadaMungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurismaventrikuler. Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal. Pada pasienhipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasiarkus aorta.
k. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pektoris.Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukanpemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya padainfark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darahseperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untukmencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes melitus.
l. EkokardiogramDilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dindingventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
m. Pemeriksaan pencitraan nuklirTalium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel miocardia missal lokasiatau luasnya IMATechnetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
n. Pencitraan darah jantung (MUGA)Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional danfraksi ejeksi (aliran darah).
o. Angiografi koronerMenggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukansehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksiejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati bedah jantungangioplasty atau emergensi.
p. Digital subtraksion angiografi (PSA)Teknik yang digunakan untuk menggambarkan.
q. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
r. Tes stress olah ragaMenentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukansehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.
Interpretasi Temuan
Untuk mengetahui dan membuktikan apakah tahanan dalam kasus ini benar memiliki
penyakit seperti yang telah disebutkan oleh adik kandungnya, maka kita perlu melakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara langsung pada pasien atau tahanan yang
bersangkutan.
Contoh hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang bisa dijadikan rekam
medik pasien dalam keputusan pembuatan surat pengantar berobat tahanan tersebut adalah:
Pemeriksaan Fisik:
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tersebut buruk atau
kesadaran menurun. Lalu, pada pemeriksaan keadaan lokal ditemukan adanya nyeri
hebat ketika dilakukan pemeriksaan fisik pada jantung, hati dan lutut kanannya.
Pemeriksaan Laboratorium :
Jika hasil pemeriksaan laboratorium jantung, hati dan genu pasien menunjukkan kelainan
yang membahayakan nyawa pasien, maka hal ini bisa kita tuliskan dalam rekam medik
yang akan di serahkan pada yang berwajib.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang kita dapatkan, maka kita
harus mencatatnya dengan benar secara jelas dan menyeluruh. Setelah hasil pemeriksaan fisik
sudah lengkap maka kita serahkan rekam medis tersebut ke pengadilan untuk segera diputuskan
apakah pasien atau tahanan tersebut perlu mendapatkan pengobatan di dalam negeri atau harus di
kirim ke luar negeri.
Kesimpulan
Pembuatan surat rujukan ke luar negri bagi seorang tahanan harus dipastikan
benar-benar apakah sangat membutuhkan atau tidak. Ini dapat dilakukan pemeriksaan secara
terperinci langsung oleh dokter. Setiap dokter dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari
dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme yaitu sikap yang bertanggung jawab, sikap
kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap etis sesuai etika profesi, dan
bekerja sesuai standard yang ditetapkan.
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetika. In: Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD.
Bioetik dan hukum kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hlm.29-32.
2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Kode Etik Kedokteran Indonesia. In: Sampurna B,
Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar. 2007.
Hlm.49-51.
3. Hanafiah J. Lafal Sumpah Dokter. In: Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. 5-14.
4. Departemen Kesehatan RI. Informed consent. In: Peraturan Menteri Kesehatan RI
Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed Consent. In: Sampurna B, Syamsu Z,
Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar. 2007. Hlm.77-85.
5. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Rahasia Kedokteran. In: Sampurna B, Syamsu Z,
Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hlm.53-56.
6. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 26-Mar-
2008. Diunduh dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/ 1312.
7. Darmabrata W, Nurhidayat AW. Psikiatri forensik. Jakarta: EGC; 2003.h. 28-31