Upload
others
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Peneliti Muda/Koordinator
INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).
DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL2017
Pen
daftar
an Tan
ah Sistem
atis Leng
kap d
alam
ran
gk
a M
od
ern
isasi Ad
min
istrasi P
ertan
ahan
di In
do
nesia
prosidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Hotel Century Park Jakarta21 November 2017
ISBN 978-979-1069-64-9
9 789791 069649ISBN 978-979-1069-65-6
9 789791 069656
i
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
PROSIDING
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Hotel Century Park Jakarta21 November 2017
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
2017
ii
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINISTRASI PERTANAHAN DI INDONESIA
Diterbitkan Oleh:Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. H. Agus Salim No.58 Jakarta Pusat 10350
Cetakan Pertama - Desember 2017ISBN: 978-979-1069-65-6
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
REVIEWER RB Agus Widjayanto, S.H., M.Hum Djamaluddin, S.H., M.Hum Uke Muhammad Hussein, S.Si, MPP Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc.
TIM EDITOR Ir. Eliana Sidipurwanty, M.Si Romi Nugroho, S.Si Drs. Makmur A. Siboro, M.Eng.Sc Ika Dini Haryanti, S.Kom Jauhari Thonthowi, S.Si Aulia Latif, S.T., MSISc Melia Yusri, SP
iii
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
KEPANITIAN FORUM ILMIAH
PENANGGUNG JAWAB Ir. Izda Putra, M.M (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan)
KETUA Drs. Makmur A. Siboro, M.Eng.Sc (Kepala Bidang Publikasi dan Perpustakaan)
ANGGOTA Ika Dini Haryanti, S.Kom (Kepala Subbidang Publikasi) Robin T.H. Sijabat, S.Kom (Kepala Subbidang Program) Eri Khaeruman Khuluki, S.P., M.Si (Kepala Subbidang Kerja Sama) Halim Kuswoyo, S.SiT (Kepala Subbidang Perpustakaan) Dr. Sigit Santosa, S.Si., M.App.Sc (Kepala Seksi Perencanaan Konsolidasi Tanah) Hotman Pardomuan, S.H., M.Kn (Kepala Seksi Tanah dan Ruang Wilayah IIA) Septina Marryanti P., S.Si., M.Si (Peneliti Pertama) Melia Yusri, S.P (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Jauhari Thonthowi, S.Si (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Aulia Latif, S.T., MSISc (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Probo Socowibowo, S.Kom., M.AP (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Shofiatul Munawaroh, S.Kom (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Wina Dwi Febrina, S.P., M.Si (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang)
iv
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karuniaNya, sehingga prosiding kegiatan Forum Ilmiah Pusat Penelitian dan Pengembangan dapat selesai tersusun. Prosiding ini berisikan kumpulan makalah terpilih yang telah melalui seleksi oleh beberapa reviewer dan dipresentasikan dalam acara Forum Ilmiah yang dilaksanakan pada tanggal 21 November tahun 2017 di Hotel Century Park Jakarta. Forum Ilmiah tahun 2017 mengusung tema “Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia”.
Dari 10 (sepuluh) makalah yang terpilih, dibagi ke dalam 2 (dua) subtema. Subtema Teknologi terdiri dari 5 judul makalah, yaitu : (1) Penggunaan Teknologi UAV/Drone untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap; (2) Pengembangan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) dalam Penyelesaian Sengketa pada Pendaftaran Tanah; (3) “Reformasi SKP-KKPWEB dan Komisi Khusus” sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik dalam Momentum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap; (4) Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP dan Jumlah Bidang Tanah Terdaftar untuk Penentuan Lokasi Prioritas PTSL (Studi Pada Kecamatan Kayen dan Sukolilo Kabupaten Pati); dan (5) Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Makalah dengan subtema Hukum dan Manajemen terdiri dari 5 (lima) makalah, yaitu : (1) Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara); (2) Peningkatan Access Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kabupaten Banjar; (3) Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap; (4) Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang; (5) Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multipihak (Penta Helix).
Dalam proses penyempurnaannya, kami mengharapkan kritik dan saran untuk peningkatan kualitas Forum Ilmiah maupun penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat khususnya bagi pegawai di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta seluruh pembaca pada umumnya sebagai referensi dalam khasanah keilmuan administrasi pertanahan.
Jakarta, Desember 2017
Tim Penyusun
KATA PENGANTAR
v
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ivDAFTAR ISI ......................................................................................................................... v
MAKALAH SUBTEMA TEKNOLOGI ............................................................................ 1 Penggunaan Teknologi UAV/Drone Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap .................................................................................................. 2 Pengembangan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah ................................................. 29 “Reformasi SKP-KKPWEB dan Komisi Khusus” Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik Dalam Momentum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap .................................................................................................. 43 Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP dan Jumlah Bidang Tanah Terdaftar Untuk Penentuan Lokasi Prioritas PTSL (Studi Pada Kecamatan Kayen dan Sukolilo Kabupaten Pati) ..................................................................... 62
Sistem Proyeksi Distorsi Minimum Untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ................................................................ 86
NOTULEN SUBTEMA TEKNOLOGI .............................................................................. 109
MAKALAH SUBTEMA HUKUM DAN MANAJEMEN ............................................... 115 Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Sistematik ....Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara) ............................... 116 Peningkatan Access Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah Sebagai Modal Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kabupaten Banjar ........... 136
Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap .......................... 160
Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang .................................................................................................. 186
Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multipihak (Penta Helix) ............................................................................................................. 207
NOTULEN SUBTEMA HUKUM DAN MANAJEMEN ................................................. 229
DAFTAR ISI
vi
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
1
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
MAKALAHSubtema:
Teknologi
2
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
PENGGUNAAN TEKNOLOGI UAV/DRONE UNTUK PERCEPATAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP
Eko Budi Wahyono
Dosen STPN Yogyakarta
ABSTRAK Pengumpulan data fisik untuk keperluan percepatan Pendafataran Tanah
Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan metode terestris saja tidak akan
dapat memenuhi target yang dicanangkan. Salah satu teknologi pengukuran dan
pemetaan yang dapat mempercepat pengumpulan data fisik adalah metode
Fotogrametri. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang memenuhi
syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dapat
digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka Pendaftaran
Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan studi
literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis quadchopter
yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil
pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone jenis
quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam kegiatan
pendaftaran tanah pada daerah dengan topografi yang relatif datar dengan
penggunaan tanah didominasi tanah persawahan. Software yang digunakan
untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan Profesional. .
Hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut : Ketelitian planimetris peta foto
yang dihasilkan pada skala 1 : 1000 kurang dari 30 cm, selisih jarak ukuran
langsung dengan diatas peta foto kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan
kurang dari 10 cm pada daerah permukiman terbuka. Perbedaan luas yang
diperoleh dari perbandingan terestris dan fotogrametri kurang dari ½ √L.
Perbandingan jumlah bidang tanah pengukuran batas bidang tanah antara
metode terestris menggunakan Total Station dengan metode Fotogrametri
teknologi UAV/drone adalah 1 : 3. Sumber daya manusia yang digunakan :
Terestri perlu 4 orang sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang. Maka dengan
ketelitian dan akurasi yang diperoleh serta memenuhi syarat teknis pengukuran
dan pemetaan pendaftaran tanah maka metode fotogrametri teknologi
3
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
PENGGUNAAN TEKNOLOGI UAV/DRONE UNTUK PERCEPATAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP
Eko Budi Wahyono
Dosen STPN Yogyakarta
ABSTRAK Pengumpulan data fisik untuk keperluan percepatan Pendafataran Tanah
Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan metode terestris saja tidak akan
dapat memenuhi target yang dicanangkan. Salah satu teknologi pengukuran dan
pemetaan yang dapat mempercepat pengumpulan data fisik adalah metode
Fotogrametri. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang memenuhi
syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dapat
digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka Pendaftaran
Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan studi
literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis quadchopter
yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil
pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone jenis
quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam kegiatan
pendaftaran tanah pada daerah dengan topografi yang relatif datar dengan
penggunaan tanah didominasi tanah persawahan. Software yang digunakan
untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan Profesional. .
Hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut : Ketelitian planimetris peta foto
yang dihasilkan pada skala 1 : 1000 kurang dari 30 cm, selisih jarak ukuran
langsung dengan diatas peta foto kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan
kurang dari 10 cm pada daerah permukiman terbuka. Perbedaan luas yang
diperoleh dari perbandingan terestris dan fotogrametri kurang dari ½ √L.
Perbandingan jumlah bidang tanah pengukuran batas bidang tanah antara
metode terestris menggunakan Total Station dengan metode Fotogrametri
teknologi UAV/drone adalah 1 : 3. Sumber daya manusia yang digunakan :
Terestri perlu 4 orang sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang. Maka dengan
ketelitian dan akurasi yang diperoleh serta memenuhi syarat teknis pengukuran
dan pemetaan pendaftaran tanah maka metode fotogrametri teknologi
UAV/drone dapat digunakan untuk kegiatan percepatan pendaftaran tanah
sistematik lengkap. Untuk itu perlu adanya revisi terhadap petunjuk teknis
pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-
300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria
Kementerian ATR/BPN Tahun 2017.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.
Dalam sebuah pidatonya Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
menyampaikan “Proyek Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria) ini sudah
berjalan 35 tahun, tapi belum rampung – rampung sampai sekarang. Baru
mencapai 46% diseluruh Indonesia, separuh saja belum. Sehingga kita harapkan
tahun 2025 seluruh Indonesia sudah pegang sertipikat semuanya”. Untuk itulah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
melakasanakan percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah
Sistematik Lengkap atau yang sering disebut dengan PTSL. Untuk itu
Kementerian ATR/BPN ditargetkan untuk menyelesaikan pendaftaran tanah
untuk tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang tanah tahun berikutnya 2018 sebanyak
7 juta bidang tanah dan Tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah.
Untuk melaksanakan tugas percepatan Pendaftaran tanah sistematik
lengkap dengan target tersebut, diperlukan suatu teroboson – terobosan baik
dalam aspek regulasi, pemenuhan sumber daya manusia maupun penggunaan
teknologi pengukuran dan pemetaan yang efektif dan efisien. Salah satu
permasalahan dalam pendaftaran tanah adalah pengumpulan data fisik atau
kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah. Pelaksanaan
Pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah lebih banyak digunakan metode
terestris dan metode lain, metode fotogrametri tidak pernah dipergunakan.
Padahal menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, pasal 12 ayat 1 “Pengukuran dan pemetaan
untuk pembuatan peta dasar pendaftaran diselenggarakan dengan cara
terrestrial, fotogrametri atau metode lain”. Penggunaan metode terestris dan
metode lain yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam
rangka pendaftaran tanah, ternyata sampai tahun 2015 menurut Pusat Penelitian
Dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
4
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Nasional (ATR/BPN), Kementerian ATR/BPN hanya mampu menyajikan data
untuk kepentingan sertipikasi bidang tanah seluruh Indonesia baru mencapai
35.789.766 bidang yang telah terdaftar dari sejumlah 90.622.503 bidang. Berarti
masih ada 54.832.737 bidang belum terdaftar. Dengan menggunakan metode
terestris dan metode lain untuk kegiatan pengumpulan data fisik untuk keperluan
percepatan Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan
metode terestris dan atau metode lain saja tidak akan dapat memenuhi target
yang dicanangkan.
1.2. Rumusan Masalah
Metode fotogrametri masih belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal
secara ketentuan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan masih terdapat keraguan
terhadap hasil atau output dari pelaksanaan pengukuran dan pemetaan metode
fotogrametri. Keraguan meliputi : ketelitian hasil ukuran, kebenaran angka ukuran
panjang sisi bidang tanah, pengakuan legalitas produk fotogrametri untuk
kepentingan pendaftaran tanah dan lain lainnya. Bahkan dalam petunjuk teknis
pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-
300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria
Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 halaman 3 bagian teknis pengukuran dan
pemetaan disebutkan :
2. Teknis Pengukuran dan Pemetaan
Pengukuran dan pemetaan bidang tanah sistematis lengkap dalam
rangka pendaftaran tanah dilaksanakan dengan metode terestris,
fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari ketiga metode
tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang
tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :
a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku
(sesuai Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3
Tahun 1997). Peta Dasar Pendaftaran berasal dari peta foto
udara dari wahana pesawat udara berawak dengan kamera
metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia maksimal 2 tahun
dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang
tanah dengan metode fotogrametri.
b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari
wahana pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data
5
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Nasional (ATR/BPN), Kementerian ATR/BPN hanya mampu menyajikan data
untuk kepentingan sertipikasi bidang tanah seluruh Indonesia baru mencapai
35.789.766 bidang yang telah terdaftar dari sejumlah 90.622.503 bidang. Berarti
masih ada 54.832.737 bidang belum terdaftar. Dengan menggunakan metode
terestris dan metode lain untuk kegiatan pengumpulan data fisik untuk keperluan
percepatan Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan
metode terestris dan atau metode lain saja tidak akan dapat memenuhi target
yang dicanangkan.
1.2. Rumusan Masalah
Metode fotogrametri masih belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal
secara ketentuan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan masih terdapat keraguan
terhadap hasil atau output dari pelaksanaan pengukuran dan pemetaan metode
fotogrametri. Keraguan meliputi : ketelitian hasil ukuran, kebenaran angka ukuran
panjang sisi bidang tanah, pengakuan legalitas produk fotogrametri untuk
kepentingan pendaftaran tanah dan lain lainnya. Bahkan dalam petunjuk teknis
pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-
300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria
Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 halaman 3 bagian teknis pengukuran dan
pemetaan disebutkan :
2. Teknis Pengukuran dan Pemetaan
Pengukuran dan pemetaan bidang tanah sistematis lengkap dalam
rangka pendaftaran tanah dilaksanakan dengan metode terestris,
fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari ketiga metode
tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang
tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :
a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku
(sesuai Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3
Tahun 1997). Peta Dasar Pendaftaran berasal dari peta foto
udara dari wahana pesawat udara berawak dengan kamera
metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia maksimal 2 tahun
dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang
tanah dengan metode fotogrametri.
b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari
wahana pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data
mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu
dikoreksi secara geometrik terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan
di lapangan, peta kerja yang bersumber dari peta data mentah
CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat
udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran
dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.
Bahwa berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang
tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017
Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017
pengunaan peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan
metode fotogrametri. Secara sepintas menimbulkan pemahaman bahwa metode
fotogrametri menggunakan wahana UAV tidak dapat digunakan untuk
pelaksanaan pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri dalam
rangka pendaftaran tanah sistematik lengkap. Padahal metode fotogrametri
diharapkan dapat mempercepat pengumpulan data fisik untuk pendafaran tanah
sistematik lengkap. Menurut Yagol Pravesh, 2015, penyelesaian pengukuran dan
pemetaan sebanyak 102 bidang tanah dengan luas 20,5 Ha pada daerah yang
relatif datar antara menggunakan alat ukur Total Station = 27 hari sedangkan
dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi = 16 hari. Dengan tingkat
ketelitian posisi dengan nilai kurang dari 1 meter sebanyak 84 persen. Citra yang
digunakan citra GEO-EYE dengan resolusi spasial 0,5 m.
Perkembangan teknologi fotogrametri dengan menggunakan wahana tanpa
awak / UAV untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri telah
merambah berbagai bidang. Wahana tanpa awak/UAV yang terbang tidak terlalu
tinggi akan menghasilkan resolusi spasial yang tinggi sehingga identifikasi batas
bidang tanah pada daerah terbuka dan tidak tertutup obyek lain seperti atap,
kanopi menjadi lebih mudah dilakukan. Dengan teknologi GPS yang terdapat
pada wahana tanpa awak/UAV akan bisa didapatkan georeferencing dengan
ketelitian yang tinggi. Pada akhirnya ketelitian posisi dapat
dipertanggungjawabkan. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang
memenuhi syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran
tanah dapat digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.
6
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
1.3. Tujuan Penulisan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi
fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak / UAV/drone dalam
rangka percepatan pendafataran tanah sistematik lengkap ditinjau dari aspek
legalitas, ketelitian geometri dan kecepatan dalam pengukuran – pemetaan
bidang tanah.
1.4. Manfaat Penulisan. Manfaat penulisan ini untuk
a. memberikan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan
Pertanahan Nasional : Metode fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka percepatan
Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap
b. Melakukan revisi petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017
Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017
khususnya pengukuran dan pemetaan bidang tanah untuk diperbolehkan
menggunakan metode fotogrametri dengan wahana UAV/drone.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL)
Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35 Tahun 2016, Peraturan
Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12
Tahun 2017, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi
semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam
satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya. Obyek Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap adalah seluruh
obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Obyek
pendaftaran tersebut meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang
tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak, baik
merupakan tanah asset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tanah desa, Tanah Negara, tanah
masyarakat hukum adat, kawasan hutan, tanah obyek landreform, tanah
7
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
1.3. Tujuan Penulisan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi
fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak / UAV/drone dalam
rangka percepatan pendafataran tanah sistematik lengkap ditinjau dari aspek
legalitas, ketelitian geometri dan kecepatan dalam pengukuran – pemetaan
bidang tanah.
1.4. Manfaat Penulisan. Manfaat penulisan ini untuk
a. memberikan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan
Pertanahan Nasional : Metode fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka percepatan
Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap
b. Melakukan revisi petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017
Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017
khususnya pengukuran dan pemetaan bidang tanah untuk diperbolehkan
menggunakan metode fotogrametri dengan wahana UAV/drone.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL)
Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35 Tahun 2016, Peraturan
Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12
Tahun 2017, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi
semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam
satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya. Obyek Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap adalah seluruh
obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Obyek
pendaftaran tersebut meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang
tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak, baik
merupakan tanah asset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tanah desa, Tanah Negara, tanah
masyarakat hukum adat, kawasan hutan, tanah obyek landreform, tanah
transmigrasi, dan bidang tanah lainnya. Bidang – bidang tanah yang menjadi
obyek PTSL baik yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan
tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL. Kegiatan pengumpulan data
fisik PTSL berupa kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dapat
dilakukan dengan menggunakan teknologi survei dan pemetaan seperti drone,
Global Positioning System (GPS), Continuously Operating Reference Station (CORS), Total Station, Distometer dan lainnya, serta memanfaatkan
peta citra/peta foto dengan resolusi tinggi sebagai dasar pembuatan peta
pendaftaran. Dengan demikian pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah
secara fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak/UAV/drone
diperbolehkan.
2.2. Pengukuran Dan Pemetaan Metode Fotogrametri untuk PTSL Fotogrametri adalah seni, ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi
terpercaya tentang obyek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman,
pengukuran dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga
elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993). Images are utilized in two distinct
manner: by performing either metric or interpretative analysis. In the metric
analysis, quantitative measurements are made in the image and then geometric information, such as spatial position, distance, area, shape, size, volume, distribution of objects are derived. This operation is called photogrammetry.
The definition of photogrammetry is therefore: the science of obtaining reliable
measurements by means of images for the determination of the geometric
properties of objects (E. E. Derenyi, 1996). Metode fotogrametri menurut Undang
– Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, adalah
pengumpulan data informasi Geospasial dengan menggunakan instrumentasi
ukur /wahana dan/atau rekam pada wahana udara”, menggunakan peralatan
yang dipasang pada wahana terbang seperti kamera, sensor radar, dan sensor
lidar. Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Pada Bagian Kedua, Paragraf I, Pasal 12, huruf (1),
disebutkan bahwa pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar
pendaftaran diselenggarakan dengan cara terrestrial, fotogrametri atau metode
lain.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengukuran dan pemetaan secara
fotogrametri adalah pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan sarana
8
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
foto udara. Berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat
Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam sub bab
teknis pengukuran dan pemetaan disebutkan : Pengukuran dan pemetaan
bidang tanah sistematis lengkap dalam rangka pendaftaran tanah dilaksanakan
dengan metode terestris, fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari
ketiga metode tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan
bidang tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :
a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku (sesuai
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997). Peta Dasar
Pendaftaran berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara
berawak dengan kamera metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia
maksimal 2 tahun dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan
bidang tanah dengan metode fotogrametri.
b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana
pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data mentah CSRT (raw
data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu dikoreksi secara geometrik
terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan di lapangan, peta kerja yang bersumber
dari peta data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari
wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk
pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.
Pelaksanaan Pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan identifikasi batas bidang
bidang tanah dengan menggunakan Peta Kerja bersumber dari Peta Dasar
Pendaftaran yang berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara
berawak dengan kamera metrik dan menarik garis ukur (delineasi) untuk
batas bidang tanah yang jelas dan memenuhi syarat. Metode ini hanya dapat
dilaksanakan untuk daerah terbuka, nonpemukiman, non-komersial, non-
industri. Untuk garis batas bidang tanah yang tidak dapat diidentifikasi
dilakukan dengan pengukuran tambahan di lapangan (suplesi).
b. Pengukuran terestris dilaksanakan sebagai pengukuran suplesi dan/atau
pengukuran panjangan sisi bidang tanah sebanyak :
9
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
foto udara. Berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat
Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam sub bab
teknis pengukuran dan pemetaan disebutkan : Pengukuran dan pemetaan
bidang tanah sistematis lengkap dalam rangka pendaftaran tanah dilaksanakan
dengan metode terestris, fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari
ketiga metode tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan
bidang tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :
a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku (sesuai
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997). Peta Dasar
Pendaftaran berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara
berawak dengan kamera metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia
maksimal 2 tahun dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan
bidang tanah dengan metode fotogrametri.
b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana
pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data mentah CSRT (raw
data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu dikoreksi secara geometrik
terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan di lapangan, peta kerja yang bersumber
dari peta data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari
wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk
pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.
Pelaksanaan Pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan identifikasi batas bidang
bidang tanah dengan menggunakan Peta Kerja bersumber dari Peta Dasar
Pendaftaran yang berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara
berawak dengan kamera metrik dan menarik garis ukur (delineasi) untuk
batas bidang tanah yang jelas dan memenuhi syarat. Metode ini hanya dapat
dilaksanakan untuk daerah terbuka, nonpemukiman, non-komersial, non-
industri. Untuk garis batas bidang tanah yang tidak dapat diidentifikasi
dilakukan dengan pengukuran tambahan di lapangan (suplesi).
b. Pengukuran terestris dilaksanakan sebagai pengukuran suplesi dan/atau
pengukuran panjangan sisi bidang tanah sebanyak :
a) Minimal 1 (satu) sisi bidang tanah untuk pekerjaan dengan skala
petakerja paling kecil skala 1:2.500 (misalnya skala 1:2.500, skala
1:1.000,skala 1:500)
b) Semua sisi bidang tanah untuk pekerjaan dengan skala peta kerja paling
besar skala 1:2.500 (misalnya skala 1:3.000, skala 1:5.000)
2.3. Teknologi Drone/UAV Untuk Pemetaan Fotogrametri. A UAV is defined as a "powered, aerial vehicle that does not carry a human
operator, uses aerodynamic forces to provide vehicle lift, can fly autonomously or
be piloted remotely, can be expendable or recoverable, and can carry a lethal or
nonlethal payload". (Wikipedia.org). Dalam sejarahnya UAV awalnya digunakan
untuk kepentingan militer, selanjutnya pemanfaatannya untuk kegiatan non-
militer, termasuk kegiatan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan
administrasi pertanahan. Prinsip pemetaan menggunakan wahana UAV tetap
menggunakan teori Fotogrametri. Berdasarkan jenis wahana yang digunakan
untuk pemetaan dengan teknologi UAV dapat dikelompokkan : Jenis
Rotary/Chopter, Fixed wings dan Hybrid. Masing–masing memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan. Proses akuisisi data
memiliki kesamaan dengan pemotretan menggunakan pesawat terbang. Hanya
saja resolusi spasial dan ketelitian yang diperoleh dapat disesuaikan dengan
mudah. Proses pemetaan yang digunakan menggunakan teknologi digital,
kamera yang digunakan dapat berupa kamera metrik maupun non metric. Tinggi
terbang untuk pemotretan mengunakan teknologi UAV yang tidak terlalu tinggi
dapat dibuat untuk pembuatan peta skala besar. Selain terkait dengan skala
peta, maka tinggi terbang juga akan mempengaruhi resolusi spasial yang
dihasilkan dari suatu kegiatan pemotretan udara. Hubungan antara tinggi
terbang, panjang fokus kamera, kemampuan kamera dalam merekam obyek dan
resolusi spasial yang dihasilkan ditunjukkan oleh nilai Ground Sample Distance
(GSD). Nilai GSD sebuah foto udara digital sebelum dan sesudah menjadi ortho
foto berbeda. Wilayah dengan topografi yang berbeda akan menghasilkan
keragaman nilai GSD. Secara matematis dapat dilihat pada rumus dibawah ini :
10
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Ground Sample Distance (GSD) = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐹𝐹𝑆𝑆𝐹𝐹𝐹𝐹𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑈𝑈𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃
Keterangan :
GSD = The linear dimension of a sample pixel’s footprint on the
ground.
Tinggi Sensor = Tinggi terbang UAV.
Panjang focus = Panjang focus kamera yang digunakan dalam
pemotretan.
Ukuran Piksel = ukuran piksel kamera digital yang digunakan dalam
pemotretan.
Ground Sampel Distance (GSD) menunjukkan resolusi spasial dari citra/foto
yang dihasilkan. Hal ini akan terkait dengan ketelitian peta foto yang akan
dihasilkan, baik ketelitian geometri peta foto maupun ketelitian secara visual
untuk dapat melakukan identifikasi obyek yang akan difoto secara tepat dan
akurat. Dari nilai Ground Sample Distance ini dapat digunakan digunakan untuk
menentukan skala peta foto yang akan dibuat, dengan mengunakan rumus
sebagai berikut :
Resolusi Piksel = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑅𝑅𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝐹𝐹𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑆𝑆𝐹𝐹𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆
Keterangan :
Resolusi Piksel = resolusi spasial dari hasil pemetaan fotogrametri.
Skala Peta Foto = nilai Skala Peta Foto yang dihasilkan.
Resolusi Scanner = nilai resolusi printer/scanner yang digunakan,
biasanya nilai sebesar 200 dpi.
Pelaksanaan kegiatan pemetaan mengunakan moda UAV, tidak berbeda
dengan tahapan pemetaan secara fotogrametri pada umumnya. Tahapan
kegiatan pemetaan metode UAV dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Mulai
tahap perencanaan sampai pada tahap pembuatan peta foto.
11
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Ground Sample Distance (GSD) = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐹𝐹𝑆𝑆𝐹𝐹𝐹𝐹𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑈𝑈𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃
Keterangan :
GSD = The linear dimension of a sample pixel’s footprint on the
ground.
Tinggi Sensor = Tinggi terbang UAV.
Panjang focus = Panjang focus kamera yang digunakan dalam
pemotretan.
Ukuran Piksel = ukuran piksel kamera digital yang digunakan dalam
pemotretan.
Ground Sampel Distance (GSD) menunjukkan resolusi spasial dari citra/foto
yang dihasilkan. Hal ini akan terkait dengan ketelitian peta foto yang akan
dihasilkan, baik ketelitian geometri peta foto maupun ketelitian secara visual
untuk dapat melakukan identifikasi obyek yang akan difoto secara tepat dan
akurat. Dari nilai Ground Sample Distance ini dapat digunakan digunakan untuk
menentukan skala peta foto yang akan dibuat, dengan mengunakan rumus
sebagai berikut :
Resolusi Piksel = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑅𝑅𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝐹𝐹𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑆𝑆𝐹𝐹𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆
Keterangan :
Resolusi Piksel = resolusi spasial dari hasil pemetaan fotogrametri.
Skala Peta Foto = nilai Skala Peta Foto yang dihasilkan.
Resolusi Scanner = nilai resolusi printer/scanner yang digunakan,
biasanya nilai sebesar 200 dpi.
Pelaksanaan kegiatan pemetaan mengunakan moda UAV, tidak berbeda
dengan tahapan pemetaan secara fotogrametri pada umumnya. Tahapan
kegiatan pemetaan metode UAV dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Mulai
tahap perencanaan sampai pada tahap pembuatan peta foto.
Gambar 1. Tahapan kegiatan Pemetaan Fotogrametri menggunakan UAV.
Sumber : Catur Aries, 2016.
Perencanaan pemotretan harus memperhitungkan :
a. Cakupan wilayah yang akan dipetakan, akan menentukan desain jalur
terbang.
b. Skala peta yang akan dihasilkan, hal ini terkait dengan rencana tinggi
terbang.
c. Rencana tinggi terbang, diusahakan tidak lebih dari 150 meter.
d. Besaran GSD yang dihasilkan.
Besaran Overlap dan Side Lap, untuk memperkirakan jumlah foto yang
dihasilkan dalam cakupan wilayah pemotretan.
3. METODE PENELITIAN Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
studi literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis Chopter
yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil
pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone mendeskripsikan
ketelitian dan akurasi hasil pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi
UAV/drone jenis quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam
kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap pada daerah dengan topografi
12
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
yang relatif datar dengan penggunaan tanah didominasi tanah persawahan.
Software yang digunakan untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan
Profesional. Tinggi terbang pesawat UAV/drone berkisar antara 90 sampai
dengan 110 meter diatas permukaan tanah. Ketelitian Geometri merujuk pada
Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala Badan Informasi
Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, menggunakan Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Ketelitian Geometri Peta RBI.
Nilai ketelitian setiap kelas menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam
Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas.
Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1 adalah nilai CE90 untuk ketelitian
horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi
peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan
90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada
standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy
Standards) sebagai berikut:
CE90 = 1,5175 x RMSEr
LE90 = 1,6499 x RMSEz
Dengan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
13
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
yang relatif datar dengan penggunaan tanah didominasi tanah persawahan.
Software yang digunakan untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan
Profesional. Tinggi terbang pesawat UAV/drone berkisar antara 90 sampai
dengan 110 meter diatas permukaan tanah. Ketelitian Geometri merujuk pada
Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala Badan Informasi
Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, menggunakan Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Ketelitian Geometri Peta RBI.
Nilai ketelitian setiap kelas menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam
Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas.
Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1 adalah nilai CE90 untuk ketelitian
horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi
peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan
90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada
standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy
Standards) sebagai berikut:
CE90 = 1,5175 x RMSEr
LE90 = 1,6499 x RMSEz
Dengan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
Uji ketelitian peta foto yang dapat digunakan untuk pembuatan peta dasar
pendaftaran dan peta pendaftaran merujuk pada Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, pada pasal 17
huruf b disebutkan bahwa pembuatan peta dasar pendaftaran dari peta lain
memiliki ketelitian planimetris lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada skala
peta. Berarti perbedaan ukuran di lapangan dengan di atas peta foto yang akan
digunakan sebagai peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran tidak boleh lebih
dari 0,3 mm x bilangan skala peta foto tersebut.
4. PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Aspek Legalitas Pemanfaatan Drone/UAV Untuk Kegiatan
Pendaftaran Tanah. Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka
pendaftaran tanah harus merujuk pada aturan yang telah ditetapkan. Peraturan
mengenai pelaksanaan pendafataran tanah merujuk pada Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 20 ayat 4 disebutkan Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan
peta pendaftaran ditetapkan oleh Menteri. Kemudian Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN menetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada Bagian Kedua, Paragraf I, Pasal 12,
huruf (1), disebutkan bahwa pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta
dasar pendaftaran diselenggarakan dengan cara terrestrial, fotogrametri atau
metode lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Pengukuran dan pemetaan secara
fotogrametri adalah pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan sarana
foto udara.
Foto udara adalah foto dari permukaan bumi yang diambil dari udara
dengan mempergunakan kamera yang dipasang pada pesawat udara dan
memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu untuk digunakan bagi
pembuatan peta dasar pendaftaran. Persyaratan teknis tertentu tersebut
dijabarkan dalam petunjuk teknis dan buku standardisasi pembuatan peta dasar
secara fotogrametri. Ketelitian peta foto yang dapat dijadikan peta dasar seperti
yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b dan c Peraturan Menteri
Negara/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, (b). peta tersebut sebagaimana
14
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dimaksud pada huruf a mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama
dengan 0,3 mm pada skala peta; (c). untuk mengetahui ketelitian planimetris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan pengecekan
jarak pada titik-titik yang mudah diidentifikasi di lapangan dan pada peta. Selama
peta foto tersebut memiliki ketelitian planimetris di bawah 0,3 pada skala peta
maka secara teknis dapat digunakan untuk kepentingan pendaftaran tanah.
Selanjutnya dalam petunjuk teknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 materi
pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah juga disebutkan metode
Fotogrametri dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan menghasilkan
titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Serta metode
Fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam
rangka membuat peta dasar pendaftaran.
Dalam peraturan ini tidak disebutkan limitasi mengenai wahana dan jenis
kamera yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang
tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Dalam juknis ini diatur teknis dan tata
cara pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah menggunakan metode
fotogrametri. Bahkan Bagian Proyek Administrasi Pertanahan BPN Tahun
Anggaran 2003 telah menerbitkan standardisasi Pembuatan Peta Dasar Secara
Fotogrametri, membahas standard operasional procedure pelaksanaan
pembuatan peta dasar secara fotogrametri dan persayaratan teknis. Hanya saja
konteks dalam standardisasi tersebut masih dalam konteks fotogrametri analog.
Maka jika merujuk legalitas penggunaan metode fotogrametri dalam rangka
pendaftaran tanah sudah cukup dan diperbolehkan. Apalagi dengan
dikeluarkannya petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat
Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, metode fotogrametri juga
diperkenankan. Peta kerja yang bersumber dari peta data mentah CSRT (raw
data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan
metode fotogrametri. Kalimat tersebut menjadi multitafsir, yang tidak dapat
digunakan untuk menjadi peta kerja tersebut apakah peta foto udara dari wahana
UAV yang masih mentah / raw data atau juga yang sudah dilakukan
georeferencing dan proses orthofoto. Bagaimana dengan peta foto hasil dari
pemetaan fotogrametri menggunakan wahana UAV tetapi memenuhi ketelitian
15
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dimaksud pada huruf a mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama
dengan 0,3 mm pada skala peta; (c). untuk mengetahui ketelitian planimetris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan pengecekan
jarak pada titik-titik yang mudah diidentifikasi di lapangan dan pada peta. Selama
peta foto tersebut memiliki ketelitian planimetris di bawah 0,3 pada skala peta
maka secara teknis dapat digunakan untuk kepentingan pendaftaran tanah.
Selanjutnya dalam petunjuk teknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 materi
pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah juga disebutkan metode
Fotogrametri dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan menghasilkan
titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Serta metode
Fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam
rangka membuat peta dasar pendaftaran.
Dalam peraturan ini tidak disebutkan limitasi mengenai wahana dan jenis
kamera yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang
tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Dalam juknis ini diatur teknis dan tata
cara pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah menggunakan metode
fotogrametri. Bahkan Bagian Proyek Administrasi Pertanahan BPN Tahun
Anggaran 2003 telah menerbitkan standardisasi Pembuatan Peta Dasar Secara
Fotogrametri, membahas standard operasional procedure pelaksanaan
pembuatan peta dasar secara fotogrametri dan persayaratan teknis. Hanya saja
konteks dalam standardisasi tersebut masih dalam konteks fotogrametri analog.
Maka jika merujuk legalitas penggunaan metode fotogrametri dalam rangka
pendaftaran tanah sudah cukup dan diperbolehkan. Apalagi dengan
dikeluarkannya petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat
Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, metode fotogrametri juga
diperkenankan. Peta kerja yang bersumber dari peta data mentah CSRT (raw
data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan
metode fotogrametri. Kalimat tersebut menjadi multitafsir, yang tidak dapat
digunakan untuk menjadi peta kerja tersebut apakah peta foto udara dari wahana
UAV yang masih mentah / raw data atau juga yang sudah dilakukan
georeferencing dan proses orthofoto. Bagaimana dengan peta foto hasil dari
pemetaan fotogrametri menggunakan wahana UAV tetapi memenuhi ketelitian
geometris peta foto seperti yang disyaratkan dalam pembuatan peta dasar
pendaftaran dan ketelitian planimetris untuk kepentingan pengukuran dan
pemetaan bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Seperti yang
disyaratkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dan
petunjuk teknisnya serta dalam prosedur pengukuran dan pemetaan metode
fotogrametri mengikuti standar operasional prosedur pembuatan peta dasar
secara fotogrametri. Dalam proses pemotretan juga tidak melanggar Peraturan
Menteri Perhubungan No. PM 47 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perhubungan No. PM 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian
Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia,
yaitu tinggi terbang tidak lebih dari 150 meter. Dengan terpenuhi : spesifikasi
teknis, ketelitian geometri dan standart operasional prosedur pemotretan dalam
rangka pendaftaran tanah maka sudah selayaknya metode pengukuran dan
pemetaan pendaftaran tanah metode fotogrametri menggunakan wahana UAV
diperbolehkan.
4.2. Tinjauan Aspek Ketelitian Geometri Peta Foto dari Pemetaan Mengunakan Drone/UAV Penelitian terkait uji ketelitian geometri peta foto dari pemetaan
menggunakan Drone/UAV telah banyak dilakukan dan menghasilkan ketelitian
geometri yang baik.
Penelitian yang dilakukan Agung Widianto, 2017 menggunakan drone
merek Dji Phantom 3 Pro dengan pemetaan metode Indirect Georeferencing
menggunakan 9 Ground Control Point (GCP) dan 10 Independent Control Point
(ICP) sebanyak 10 titik. Tinggi terbang 114 meter, dan diperoleh nilai GSD = 4,27
cm/piksel. Pengolahan data menggunakan software AGISOFT PHOTOSCAN
PROFESSIONAL VERSION 1.3.2.4205 diuji dan dibandingkan dengan ukuran
Terestris menggunakan Instrumen ukur Elektronic Total Station. Lokasi penelitian
relatif datar dengan penggunaan tanah berupa tanah pertanian atau sawah.
Diperoleh hasil ketelitian geometri peta foto dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel
4 berikut ini.
16
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tabel 3. Ketelitian Ground Control Point
Sumber : Agung Widiyanto, 2017.
Tabel 4. Ketelitian Independen Control Point
Sumber : Agung Widiyanto, 2017.
Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 di atas, diperoleh nilai perbedaan posisi
GCP secara lateral 0,021472 meter atau 2,1472 cm sedangkan nilai perbedaan
posisi ICP 0.0676663 meter atau 6,76663 cm. Untuk menguji ketelitian geometri
hasil peta foto tersebut Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala
Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 dengan menggunakan nilai
RMSE, maka diperoleh nilai RMSEx,y = 2,1472 cm. Diperoleh CE 90 = 1,5175 x
2,1472= 3,258 cm = 0,03258 m. Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka peta foto ini
secara geometri layak untuk digunakan sebagai peta dasar pada skala diatas 1 :
1000. Kemudian Perbandingan ukuran jarak terestris menggunakan alat ukur
Elektronik Total Station dari 100 data jarak yang diukur diperoleh rata – rata
0.063 meter atau 6,3 cm, perbedaan terbesar 0,21 meter dan terendah 0 meter.
Maka dengan demikian uji terhadap persyaratan menurut PMNA/Ka. BPN
Nomor 3 Tahun 1997 dan Juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 tahun 1997 dengan
syarat untuk pengukuran dan pemetaan di daerah pertanian toleransi kesalahan
yang diperbolehkan terhadap hasil ukuran batas bidang tanah pertanian
maksimum 25 cm dapat dipenuhi. Kemudian terhadap luas bidang tanah
diperoleh perbedaan luas bidang tanah dengan sampel 86 bidang tanah sawah
diperoleh Jumlah total luas bidang tanah hasil ukuran terestris sebesar 113.709
m2 sedangkan hasil ukuran diatas peta foto sebesar 113.779 m2 terdapat
17
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tabel 3. Ketelitian Ground Control Point
Sumber : Agung Widiyanto, 2017.
Tabel 4. Ketelitian Independen Control Point
Sumber : Agung Widiyanto, 2017.
Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 di atas, diperoleh nilai perbedaan posisi
GCP secara lateral 0,021472 meter atau 2,1472 cm sedangkan nilai perbedaan
posisi ICP 0.0676663 meter atau 6,76663 cm. Untuk menguji ketelitian geometri
hasil peta foto tersebut Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala
Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 dengan menggunakan nilai
RMSE, maka diperoleh nilai RMSEx,y = 2,1472 cm. Diperoleh CE 90 = 1,5175 x
2,1472= 3,258 cm = 0,03258 m. Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka peta foto ini
secara geometri layak untuk digunakan sebagai peta dasar pada skala diatas 1 :
1000. Kemudian Perbandingan ukuran jarak terestris menggunakan alat ukur
Elektronik Total Station dari 100 data jarak yang diukur diperoleh rata – rata
0.063 meter atau 6,3 cm, perbedaan terbesar 0,21 meter dan terendah 0 meter.
Maka dengan demikian uji terhadap persyaratan menurut PMNA/Ka. BPN
Nomor 3 Tahun 1997 dan Juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 tahun 1997 dengan
syarat untuk pengukuran dan pemetaan di daerah pertanian toleransi kesalahan
yang diperbolehkan terhadap hasil ukuran batas bidang tanah pertanian
maksimum 25 cm dapat dipenuhi. Kemudian terhadap luas bidang tanah
diperoleh perbedaan luas bidang tanah dengan sampel 86 bidang tanah sawah
diperoleh Jumlah total luas bidang tanah hasil ukuran terestris sebesar 113.709
m2 sedangkan hasil ukuran diatas peta foto sebesar 113.779 m2 terdapat
perbedaan luas sebesar 70 m2 atau perbedaan rata – rata setiap bidang tanah
sebesar 0.814 m2. Hal ini memenuhi persayaratan perbedaan luas tanah dengan
syarat maksimum ½ √ L (Agung Widiyanto, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian Eko Budi Wahyono dkk tahun 2017, diperoleh
hasil sebagai berikut : Lokasi Penelitian Desa Kudu Kecamatan Kertosono
Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa timur, penggunaan tanah pada wilayah yang
dipotret pertanian berupa tanah sawah. Pemotretan lokasi penelitian dilakukan
dengan UAV/drone pada ketinggian 98,1 s.d. 111 m, overlap 80 % dan side lap
40%. Cakupan area yang dihasilkan seluas 1,11 Km2 atau 111 Ha, dilakukan 3
kali penerbangan dan diperoleh sebanyak 1.085 lembar foto. Nilai GSD = 4,38
cm/piksel. Untuk kepentingan Georeference dipasang 9 premark yang berfungsi
sebagai Ground Control Point diukur menggunakan GNSS CORS dengan Base
Station Kantor Pertanahan Kabupaten Jombang. Untuk kepentingan uji ketelitian
hasil foto dibandingkan dengan ukuran metode terestris menggunakan alat ukur
Total Station dengan titik referensi yang diukur menggunakan GNSS CORS.
Untuk menguji ketelitian geometri peta foto adalah dengan mengetahui nilai
kesalahan posisi antara Ground Control Point (GCP) berdasarkan koordinat
lapangan dengan koordinat hasil proses Indirect Georeference dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel. 5. Nilai Kesalahan Koordinat GCP di Lapangan dengan
Koordinat GCP Foto.
Sumber : Eko Budi Wahyono dkk, 2017.
Dari Table 5 diatas diperoleh nilai :RMSEx = 14,8419 cm, RMSEy =
16,5355 cm, RMSEz = 5,1718 cm. Maka diperoleh nilai RMSEr (RMSEx,y) =
22,2195 cm. RMSE total = 22.8134 cm. Ketelitian Geometri peta dasar menurut
18
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 adalah
kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat
kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu
kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy
Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 14,8419 cm =
22,52258 cm. Berdasarkan ketelitian tersebut dan Tabel 1 tentang ketelitian
geometri peta RBI, maka peta foto ini cocok untuk digunakan dalam pembuatan
peta dasar pada skala 1 : 1.000 kelas 2. Jika untuk menjadi peta dasar
pendaftaran dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah, ketelitian yang diperoleh
masuk toleransi dan dapat diterima karena menurut Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 3 Tahun 1997 kesalahan planimetris yang diperbolehkan dari peta
dasar pendaftaran yang akan dijadikan peta pendaftaran adalah kesalahan
planimetris < 0,3 x skala peta. Pada skala 1 : 1000 kesalahan maksimum harus
kurang dari 30 cm, hasil dari penelitian tersebut 22,52258 cm kurang dari 30 cm
(Eko Budi Wahyono, 2017).
Berdasarkan penelitian Frandika tahun 2017, diperoleh hasil sebagai
berikut : Lokasi penelitian Desa Sempol Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan Provinsi Jawa Timur. Penggunaan tanah permukiman dan pertanian.
Untuk kepentingan Georeference memasang premark yang berfungsi sebagai
Ground Control Point (GCP) sebanyak 10 titik GCP. Tinggi terbang 109 meter,
memetakan wilayah seluas 145 Ha dan diperoleh nilai Ground Sample Distance
(GSD) = 3,43 cm/piksel. Jumlah foto 1.480 lembar. Untuk menguji ketelitian
posisi pada peta dasar yang berupa peta foto hasil pemotretan UAV yaitu dengan
membandingkan nilai koordinat GCP pada peta dasar dengan hasil ukuran
GPS/GNSS – CORS. Perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut
ini.
19
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 adalah
kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat
kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu
kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy
Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 14,8419 cm =
22,52258 cm. Berdasarkan ketelitian tersebut dan Tabel 1 tentang ketelitian
geometri peta RBI, maka peta foto ini cocok untuk digunakan dalam pembuatan
peta dasar pada skala 1 : 1.000 kelas 2. Jika untuk menjadi peta dasar
pendaftaran dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah, ketelitian yang diperoleh
masuk toleransi dan dapat diterima karena menurut Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 3 Tahun 1997 kesalahan planimetris yang diperbolehkan dari peta
dasar pendaftaran yang akan dijadikan peta pendaftaran adalah kesalahan
planimetris < 0,3 x skala peta. Pada skala 1 : 1000 kesalahan maksimum harus
kurang dari 30 cm, hasil dari penelitian tersebut 22,52258 cm kurang dari 30 cm
(Eko Budi Wahyono, 2017).
Berdasarkan penelitian Frandika tahun 2017, diperoleh hasil sebagai
berikut : Lokasi penelitian Desa Sempol Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan Provinsi Jawa Timur. Penggunaan tanah permukiman dan pertanian.
Untuk kepentingan Georeference memasang premark yang berfungsi sebagai
Ground Control Point (GCP) sebanyak 10 titik GCP. Tinggi terbang 109 meter,
memetakan wilayah seluas 145 Ha dan diperoleh nilai Ground Sample Distance
(GSD) = 3,43 cm/piksel. Jumlah foto 1.480 lembar. Untuk menguji ketelitian
posisi pada peta dasar yang berupa peta foto hasil pemotretan UAV yaitu dengan
membandingkan nilai koordinat GCP pada peta dasar dengan hasil ukuran
GPS/GNSS – CORS. Perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut
ini.
Tabel 6. Perbedaan nilai koordinat GCP pada Foto
dengan Ukuran GNSS-CORS.
Sumber : Frandika, 2017.
Dari Tabel 6 tersebut diperoleh nilai rata – rata perbedaan nilai koordinat
GCP secara lateral dan planimetris hasil ukuran diatas peta dasar berupa peta
foto dengan ukuran GNSS CORS adalah 0,079797274 meter atau 7,9797274
cm. Kemudian ketelitian posisi pada peta dasar dengan tingkat kepercayaan 90%
diperoleh CE90 = 0,121092364. .Menurut Peraturan Kepala Badan Informasi
Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, pada nilai CE90= 0,121092364 dengan
merujuk pada Tabel 1 sangat sesuai digunakan untuk pembuatan peta dasar
pada skala 1 : 1000. Hasil peta foto tersebut kemudian dilakukan digitasi
terhadap obyek yang mudah diidentifikasi pada foto maupun di lapangan
kemudian diukur jarak horisontalnya. Pengukuran jarak diatas foto hasil dari
proses digitasi sedangkan pengukuran jarak di lapangan dilakukan secara
langsung. Pengukuran jarak secara langsung di lapangan menggunakan alat
ukur berupa pita ukur dari bahan fiber dengan panjang maksimum 50 meter.
Hasil perbedaan hasil ukuran jarak pada peta foto dengan ukuran langsung
dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini (Frandika, 2017).
20
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tabel 7. Perbedaan ukuran Langsung dengan Hasil Digitasi Peta Foto.
Sumber : Frandika, 2017.
Pada Tabel 7, diperoleh perbedaan ukuran di atas peta foto dan secara
langsung di lapangan rata – rata 0,055 meter atau 5,5 cm. Perbedaan terbesar
0,10 meter dan terkecil 0 meter. Berdasarkan juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3
Tahun 1997 tentang toleransi ketelitian pengukuran jarak untuk pemukiman 10
cm dan pertanian 25 cm. Maka perbedaan ukuran jarak tersebut sudah
memenuhi syarat toleransi ketelitian Juknis PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997
tersebut (Frandika, 2017).
Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas, maka jika dilihat dalam aspek
ketelitian geometri peta foto hasil produk dari pemetaan fotogramteri
menggunakan UAV/drone sudah memenuhi toleransi ketelitian yang disyaratkan.
Baik menurut Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014 maupun oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 (PMNA/Ka.
BPN No. 3 Tahun 1997) beserta petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan
dalam rangka Pendaftaran Tanah menurut PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997.
4.3. Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Menggunakan Drone/UAV Pelaksanaan pengukuran batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran
tanah sistematik lengkap dengan metode fotogrametri dapat mempercepat
proses pengukuran batas bidang tanah. Dalam petunjuk teknis pengukuran dan
pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017
tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian
21
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tabel 7. Perbedaan ukuran Langsung dengan Hasil Digitasi Peta Foto.
Sumber : Frandika, 2017.
Pada Tabel 7, diperoleh perbedaan ukuran di atas peta foto dan secara
langsung di lapangan rata – rata 0,055 meter atau 5,5 cm. Perbedaan terbesar
0,10 meter dan terkecil 0 meter. Berdasarkan juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3
Tahun 1997 tentang toleransi ketelitian pengukuran jarak untuk pemukiman 10
cm dan pertanian 25 cm. Maka perbedaan ukuran jarak tersebut sudah
memenuhi syarat toleransi ketelitian Juknis PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997
tersebut (Frandika, 2017).
Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas, maka jika dilihat dalam aspek
ketelitian geometri peta foto hasil produk dari pemetaan fotogramteri
menggunakan UAV/drone sudah memenuhi toleransi ketelitian yang disyaratkan.
Baik menurut Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014 maupun oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 (PMNA/Ka.
BPN No. 3 Tahun 1997) beserta petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan
dalam rangka Pendaftaran Tanah menurut PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997.
4.3. Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Menggunakan Drone/UAV Pelaksanaan pengukuran batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran
tanah sistematik lengkap dengan metode fotogrametri dapat mempercepat
proses pengukuran batas bidang tanah. Dalam petunjuk teknis pengukuran dan
pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017
tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian
ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap,
menyebutkan pengukuran batas bidang tanah secara fotogrametri dilakukan
dengan mengukur salah satu sisi bidang tanah selama ketelitian geometris peta
foto tersebut terpenuhi dan batas bidang tanah dapat teridentifikasi di atas peta
foto tersebut. Tidak semua sisi bidang tanah diukur, sehingga hal ini akan
mempercepat proses pengukuran dibandingkan dengan semua sisi dan letak
batas bidang tanah diukur secara terestris. Berdasarkan penelitian Agung
Widiyanto, 2017, perbandingan waktu penyelesaian pada jumlah dan luasan
obyek bidang tanah yang sama antara pengukuran secara terestris
menggunakan Total Station dengan metode fotogrametri menggunakan wahana
UAV dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 berikut ini. Luas wilayah 11,38 Ha
dan jumlah total 86 bidang tanah pertanian. Jumlah sumber daya manusia untuk
proses pengukuran metode terestris sebanyak 4 orang, sedangkan metode
fotogrametri dikerjakan oleh dua orang.
Tabel 8. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode terestris.
Sumber : Agung Widiyanto, 2017
Dengan menggunakan 4 orang untuk mengukur 86 bidang tanah seluas
11,38 Ha diperlukan waktu sebanyak 3210 menit atau 53,5 jam. Waktu terbesar
digunakan untuk proses pengukuran batas bidang tanah tanah yaitu 1720 menit.
Sedangkan untuk proses perhitungan dan pemetaan tidak begitu memerlukan
waktu yang lama (Agung Widiyanto, 2017). Pengukuran batas bidang tanah ini
dilakukan pada kenampakan fisik batas batas bidang tanah tersebut di lapangan
dan mudah diidentifikasi batas bidang tanah yang sesuai pada peta foto. Unsur
pemenuhan asas Contradictoire Delimitatie telah dilakukan terlebih dahulu baik di
lapangan maupun pada peta foto tersebut serta dilaksanakan sebelum proses
pengukuran.
22
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tabel 9. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode Fotogrametri.
Sumber : Agung Widiyanto, 2017
Dalam metode fotogrametri pelaksanaan pengukuran dan pemetaan
dilaksanakan oleh dua orang. Durasi waktu paling lama adalah pengolahan
mosaic foto memerlukan waktu 470 menit atau 7 jam. Waktu pemotretan yang
relatif pendek hanya 30 menit. Pada metode fotogrametri ini 100% pengukuran
batas bidang tanah dilakukan di atas peta foto. Ketelitian geometri lihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4 di atas (Agung Widiyanto, 2017).
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 tersebut di atas untuk menyelesaikan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah perbandingan antara metode terestris
dan fotogrametri adalah 3210 jam : 1032 jam. Dapat juga dikatakan penyelesaian
pengukuran dan pemetaan bidang tanah antara metode terestris dan metode
fotogrametri adalah 3 : 1. Dengan catatan perbandingan Sumber Daya Manusia :
4 : 2. Maka dengan demikian metode fotogrametri dapat mempercepat proses
pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dan sangat mendukung
percepatan pendaftaran tanah sistematik lengkap yang memiliki keterbatasan
jumlah sumber daya manusia.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari berbagai hasil penelitian diperoleh sebagai kesimpulan sebagai
berikut:
a. Kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan
pendaftaran tanah termasuk percepatan pendaftaran tanah sistematik
lengkap telah mendapatkan legalitas.
23
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tabel 9. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode Fotogrametri.
Sumber : Agung Widiyanto, 2017
Dalam metode fotogrametri pelaksanaan pengukuran dan pemetaan
dilaksanakan oleh dua orang. Durasi waktu paling lama adalah pengolahan
mosaic foto memerlukan waktu 470 menit atau 7 jam. Waktu pemotretan yang
relatif pendek hanya 30 menit. Pada metode fotogrametri ini 100% pengukuran
batas bidang tanah dilakukan di atas peta foto. Ketelitian geometri lihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4 di atas (Agung Widiyanto, 2017).
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 tersebut di atas untuk menyelesaikan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah perbandingan antara metode terestris
dan fotogrametri adalah 3210 jam : 1032 jam. Dapat juga dikatakan penyelesaian
pengukuran dan pemetaan bidang tanah antara metode terestris dan metode
fotogrametri adalah 3 : 1. Dengan catatan perbandingan Sumber Daya Manusia :
4 : 2. Maka dengan demikian metode fotogrametri dapat mempercepat proses
pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dan sangat mendukung
percepatan pendaftaran tanah sistematik lengkap yang memiliki keterbatasan
jumlah sumber daya manusia.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari berbagai hasil penelitian diperoleh sebagai kesimpulan sebagai
berikut:
a. Kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan
pendaftaran tanah termasuk percepatan pendaftaran tanah sistematik
lengkap telah mendapatkan legalitas.
b. Berdasarkan Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014, ketelitian CE90
diperoleh nilai berkisar antara 0,035 sampai dengan 0,22 maka peta foto
hasil pemotretan menggunakan wahana drone dapat dibuat menjadi peta
dasar pada skala 1 : 1000.
c. Ketelitian planimetris peta foto hasil pemotretan UAV/drone yang dihasilkan
berkisar antara 6 cm sampai dengan 23 cm, jika merujuk pada
PMNA/Ka.BPN No. 3 Tahun 1997 memenuhi syarat teknis untuk pembuatan
peta pendaftaran karena pada skala 1 : 1000 kesalahan planimetrisnya
kurang dari 30 cm. selisih jarak ukuran langsung dengan diatas peta foto
kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan kurang dari 10 cm pada
daerah permukiman terbuka.
d. Perbedaan luas yang diperoleh dari pengukuran secara terestris dan
fotogrametri kurang dari ½ √L, rata – rata perbedaan luas setiap bidang
tanah sebesar 0,814 m2.
e. Perbandingan jumlah bidang tanah yang dapat dipetakan melalui
pengukuran batas bidang tanah antara metode terestris menggunakan Total
Station dengan metode Fotogrametri teknologi UAV/drone adalah 1 : 3.
Kemudian sumber daya manusia yang digunakan : Terestri perlu 4 orang
sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang.
f. Dengan memperhatikan ketelitian, akurasi, efisiensi hasil pengukuran dan
pemetaan bidang tanah menggunakan metode fotogrametri dengan wahana
UAV/drone, maka dapat digunakan untuk kegiatan percepatan pendaftaran
tanah sistematik lengkap.
Saran :
a. Melakukan revisi Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah
Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017,
khususnya pelarangan penggunaan pesawat tanpa awak/UAV/drone.
Dengan memperhatikan ketelitian yang diperoleh dari pemetaan fotogrametri
menggunakan drone maka pelarangan tersebut agar dapat direvisi khusus
untuk wilayah yang sesuai dengan kondisi lokasi penelitian (sawah, datar)
dengan metode yang sesuai metode penelitian yang digunakan (Jenis UAV,
ketinggian terbang dan pengolahan citra).
b. Penggunaan Teknologi UAV/drone sebaiknya perlu tetap memperhatikan
kepastian tentang batas bidang tanah dan asas Contradictoire Delimitatie.
24
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
c. Metode Fotogrametri masih belum dipercaya oleh petugas ukur Kementerian
Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait ketelitian yang
dihasilkan maka untuk itu perlu ada sosialisasi dan pelatihan terus menerus
terhadap sumber daya manusia terkait dengan penggunaan drone untuk
pengukuran dan pemetaan dengan metode fotogrametri.
d. Diperlukan penelitian lanjutan untuk wilayah dengan kondisi geografis,
topografi dan penggunaan tanah yang berbeda
e. Sesegera mungkin dibuatkan petunjuk teknis operasionalisasi penggunaan
drone untuk percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, sehingga
terdapat keseragaman metode dalam menerapkan metode fotogrametri
dengan wahana UAV/drone.
DAFTAR PUSTAKA Agung, W. (2017). Pemanfaatan UAV Tipe QUADCOPTER Untuk Percepatan
Pengukuran Bidang Tanah Pertanian. Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional. Yogyakarta. 130 hlm.
David P. Pain. (1993). Fotografi Udara Dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan
Sumber Daya. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Eko Budi Wahyono, Agung NB, Arief Syaifullah (2017), Pemetaan Metode
Fotogrametri Dengan Wahana UAV/drone : Direct Georefenrencing Dan
Inderect Georeferencing Untuk Base Map Geo-KKP Web, Penelitian
Strategis PPPM – STPN, Yogyakarta.
Frandika, (2017), Uji Ketelitian Hasil Pemotretan Dengan Unmanned Aerial
Vehicle Quadchopter Untuk Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Tanah,
Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta. 72 hlm.
F. Yildiz, S. Y. Oturanc. (2014). “An Investigation of Direct and Indirect Geo-
Referencing Techniques on the Accuracy of Points in Photogrammetry”.
World Academy of Science, Engineering and Technology International
Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical
Engineering Vol:8, No:9, 2014.
Gularso, Herjuno, Hayu Rianasari dan Florence Elfriede S Silalahi.2015.
Penggunaan Foto Udara Format Kecil Menggunakan Wahana Udara
NirAwak Dalam Pemetaan Skala Besar. Jurnal BIG. Cibinong
http://jurnal.big.go.id/index.php/GM/article/viewFile/472/325 diakses pada
tanggal 23-3-2017 pukul 15:00 WIB.
25
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
c. Metode Fotogrametri masih belum dipercaya oleh petugas ukur Kementerian
Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait ketelitian yang
dihasilkan maka untuk itu perlu ada sosialisasi dan pelatihan terus menerus
terhadap sumber daya manusia terkait dengan penggunaan drone untuk
pengukuran dan pemetaan dengan metode fotogrametri.
d. Diperlukan penelitian lanjutan untuk wilayah dengan kondisi geografis,
topografi dan penggunaan tanah yang berbeda
e. Sesegera mungkin dibuatkan petunjuk teknis operasionalisasi penggunaan
drone untuk percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, sehingga
terdapat keseragaman metode dalam menerapkan metode fotogrametri
dengan wahana UAV/drone.
DAFTAR PUSTAKA Agung, W. (2017). Pemanfaatan UAV Tipe QUADCOPTER Untuk Percepatan
Pengukuran Bidang Tanah Pertanian. Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional. Yogyakarta. 130 hlm.
David P. Pain. (1993). Fotografi Udara Dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan
Sumber Daya. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Eko Budi Wahyono, Agung NB, Arief Syaifullah (2017), Pemetaan Metode
Fotogrametri Dengan Wahana UAV/drone : Direct Georefenrencing Dan
Inderect Georeferencing Untuk Base Map Geo-KKP Web, Penelitian
Strategis PPPM – STPN, Yogyakarta.
Frandika, (2017), Uji Ketelitian Hasil Pemotretan Dengan Unmanned Aerial
Vehicle Quadchopter Untuk Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Tanah,
Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta. 72 hlm.
F. Yildiz, S. Y. Oturanc. (2014). “An Investigation of Direct and Indirect Geo-
Referencing Techniques on the Accuracy of Points in Photogrammetry”.
World Academy of Science, Engineering and Technology International
Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical
Engineering Vol:8, No:9, 2014.
Gularso, Herjuno, Hayu Rianasari dan Florence Elfriede S Silalahi.2015.
Penggunaan Foto Udara Format Kecil Menggunakan Wahana Udara
NirAwak Dalam Pemetaan Skala Besar. Jurnal BIG. Cibinong
http://jurnal.big.go.id/index.php/GM/article/viewFile/472/325 diakses pada
tanggal 23-3-2017 pukul 15:00 WIB.
Michael Cramer, Dirk Stallmann and Norbert Haala. (2000). “Direct
Georeferencing Using GPS/Inertial Exterior Orientations For
Photogrammetric Applications”. IAPRS, Vol. XXXIII, Amsterdam.
Petr Gabrlik. (2015). “The Use of Direct Georeferencing in Aerial
Photogrammetry with Micro UAV “. IFAC- Papers On Line 48-4 (2015)
380–385.
Siwi, Ribka Tjiptaning dan Suwardhi Deni . 2016. Pengaruh Precalibration Dan
Self Calibration Kamera Digital Non Metrik Terhadap Ketelitian Hasil
Fotogrametri. Proceeding FIT-ISI 2016..
Tampubolon, W, & Reinhard, W. (2016). Direct Georeferencing Of UAV Data
Based On Simple Building Structures. The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,
Volume XLI-B1, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague,
Czech Republic, 5(3), 1024–1044.
Peraturan/Undang- Undang.
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 47 Tahun 2016 Perubahan Atas
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 180 Tahun 2015 tentang
Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang
Udara Yang Dilayani Indonesia.
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar.
26
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Biodata Penulis
Nama : Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si.
Tempat/Tanggal Lahir : Nganjuk, 21 Mei 1965.
NIP : 196505211993031005
NIK : 3471092105650001
NPWP : 69.610.197.1-541.000
Pekerjaan :
1. Kepala UPT Laboratorium STPN
2. Dosen Tetap STPN Yogyakarta.
3. Dosen Tidak Tetap Univ. Muhammadiyah
Yogyakarta.
Alamat Rumah : Jl. Namburan Kidul No. 27/71 Yogyakarta (55131)
(0274)371337 HP: 081391651598.
Alamat Kantor : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta. Tlp. (0274)
587239
Alamat Email : [email protected].
Pendidikan :
1. S1 (Strata 1) Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991.
2. S2(Strata 2), Bidang Studi Penginderaan Jauh, Fakultas MIPA
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 2007.
Pengalaman Pekerjaan :
1. Geoded, pengukuran keliling Lahan Transmigrasi 1992 – 1993.
2. Staf Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah pada KANWIL BPN Provinsi
Maluku, 1993 – 1996.
3. Kepala Sub Seksi Pendaftaran hak dan sistim informasi Kantor
Pertanahan Kabupaten Maluku Utara, 1996 – 2000.
4. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2000 sampai dengan
sekarang.
5. Kepala Laboratorium Pengukuran – Pemetaan STPN, 2001 – 2007.
6. Sekretaris Program Diploma I Pengukuran Dan Pemetaan Kadastral
STPN, 2007.
7. Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Laboratorium STPN, 2007 – 2011
27
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Biodata Penulis
Nama : Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si.
Tempat/Tanggal Lahir : Nganjuk, 21 Mei 1965.
NIP : 196505211993031005
NIK : 3471092105650001
NPWP : 69.610.197.1-541.000
Pekerjaan :
1. Kepala UPT Laboratorium STPN
2. Dosen Tetap STPN Yogyakarta.
3. Dosen Tidak Tetap Univ. Muhammadiyah
Yogyakarta.
Alamat Rumah : Jl. Namburan Kidul No. 27/71 Yogyakarta (55131)
(0274)371337 HP: 081391651598.
Alamat Kantor : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta. Tlp. (0274)
587239
Alamat Email : [email protected].
Pendidikan :
1. S1 (Strata 1) Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991.
2. S2(Strata 2), Bidang Studi Penginderaan Jauh, Fakultas MIPA
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 2007.
Pengalaman Pekerjaan :
1. Geoded, pengukuran keliling Lahan Transmigrasi 1992 – 1993.
2. Staf Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah pada KANWIL BPN Provinsi
Maluku, 1993 – 1996.
3. Kepala Sub Seksi Pendaftaran hak dan sistim informasi Kantor
Pertanahan Kabupaten Maluku Utara, 1996 – 2000.
4. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2000 sampai dengan
sekarang.
5. Kepala Laboratorium Pengukuran – Pemetaan STPN, 2001 – 2007.
6. Sekretaris Program Diploma I Pengukuran Dan Pemetaan Kadastral
STPN, 2007.
7. Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Laboratorium STPN, 2007 – 2011
8. Ketua Jurusan Perpetaan Program Diploma IV Pertanahan 2011 – 2014
9. Kepala Unit Penunjang Akademik Laboratorium STPN, 2014 sd
sekarang.
Narasumber Pada Pelatihan / Workshop :.
1. Pelatihan Bidang Pertanahan Untuk PT PERTAMINA, 2010.
2. Workshop Pengembangan SDM Pertanahan Kantor Pertanahan
Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, 2013.
3. Pelatihan Pengukuran dan Pemetaan Batas Desa, Lembaga Kajian
Publik Pemerintah Dan Otonomi Daerah UII, Yogyakarta, 2013.
4. Pelatihan Pembangunan Sistem Administrasi Pertanahan, Pemerintah
Daerah Kabupaten Sleman, 2014.
5. Pelatihan SDM Pertanahan, Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang di
Jogjakarta, 2014.
6. Workshop Inovasi Akademik Departemen Teknologi Kebumian SV-UGM
Dalam Pembelajaran Berbasis Link And Match Yang Menerapkan
Konsep Teaching Industry, UGM Yogyakarta, 2015.
7. Pelatihan Pengukuran dan Pemetaan Batas Wilayah, Invite Training Of
Quality Yogyakarta, 2015.
8. Pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM di Bidang Survey, Pengukuran
Dan Pemetaan di Lingkungan Kanwil BPN Propinsi Banten, 2015.
9. Peningkatan Kapasitas SDM dibidang Pengukuran dengan JRSP/CORS
Kanwil BPN Propinsi JawaTimur, Sidoarjo, 2015.
10. WorkShop Bimbingan Teknis Pengukuran di Lingkungan Kanwil BPN
Propinsi Lampung, Lampung 2015.
11. WorkShop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan “Hybrid Positioning
System”, STPN Yogyakarta 2015.
12. Rapat Kerja Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kanwil
BPN Sumatera Selatan, Palembang 2016.
13. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Dalam Penggunaan CORS di
lingkungan Kanwil BPN Propinsi Jawa Timur, Surabaya 2016.
14. WorkShop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan “Optimalisasi
JRSP/CORS Menggunakan Mobile Base Station Untuk Percepatan
Pendaftaran Tanah”, STPN Yogyakarta, 2016.
28
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
15. Workshop Pemanfaatan Foto Udara untuk Percepatan Pengukuran dan
Pemetaan Bidang Tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta,
2016
16. Pembinaan Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kantor
Wilayah BPN Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, 2016.
17. Workshop Pemanfaatan Drone Untuk Pemetaan, Kantor Wilayah BPN
Propinsi Riau, Pekan Baru, 2016.
18. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM “Pemetaan Batas Wilayah Dan
Administrasi Pertanahan”, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Nunukan,
Kalimantan Utara, 2017.
19. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan :“Pemanfaatan
Teknologi GNSS Metode Real Time Point Precisse Positioning (RT-PPP)
dan Teknologi UAV/drone Untuk Pembangunan Data Base Land
Record”, STPN, Yogyakarta, 2017.
20. Workshop: Peningkatan Kapasitas Calon Wisudawan Program Studi
Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Tahun 2017
“Pengukuran dan Pemetaan Metode Fotogrametri Menggunakan
Wahana Drone untuk PTSL”, STPN, Yogyakarta, 2017.
29
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
15. Workshop Pemanfaatan Foto Udara untuk Percepatan Pengukuran dan
Pemetaan Bidang Tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta,
2016
16. Pembinaan Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kantor
Wilayah BPN Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, 2016.
17. Workshop Pemanfaatan Drone Untuk Pemetaan, Kantor Wilayah BPN
Propinsi Riau, Pekan Baru, 2016.
18. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM “Pemetaan Batas Wilayah Dan
Administrasi Pertanahan”, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Nunukan,
Kalimantan Utara, 2017.
19. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan :“Pemanfaatan
Teknologi GNSS Metode Real Time Point Precisse Positioning (RT-PPP)
dan Teknologi UAV/drone Untuk Pembangunan Data Base Land
Record”, STPN, Yogyakarta, 2017.
20. Workshop: Peningkatan Kapasitas Calon Wisudawan Program Studi
Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Tahun 2017
“Pengukuran dan Pemetaan Metode Fotogrametri Menggunakan
Wahana Drone untuk PTSL”, STPN, Yogyakarta, 2017.
PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KADASTRAL EMPAT DIMENSI (4D) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA PENDAFTARAN TANAH
Ketut Tomy Suhari
Surveyor Kadaster Berlisensi (1-0374-17)
Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi (KJSKB) Ketut Tomy Suhari
[email protected] – 081236828055
ABSTRAK
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program
percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program
tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum
hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
negara dan ekonomi rakyat.
Namun, dalam menjalankan program tersebut telah ditemukan bahwa terdapat
beberapa masalah atau sengketa (Permen ATR/BPN No. 11 tahun 2016) dalam
hal kepemilikan tanah dan ruang, penguasaan tanah negara, tanah dan ruang
yang terkena bencana alam, pengembalian batas dan pewaris tanah sehingga
perlu diluruskan dan membagi pengetahuan kepada seluruh masyarakat
Indonesia untuk mengetahuinya. Penelitian pada paper ini akan mengangkat
kasus rumah susun seperti penduduk yang mempunyai hak atas ruang dalam
rumah susun / apartemen yang mengalami kerugian akibat bencana alam dan
memperjelas dan mengetahui hak atas kepemilikan tanah dari masa lalu
(sebelum dijual atau dipecah), masa sekarang (dibeli / dihibahkan ke pewaris),
dan pada masa depan (kredit / ahli waris) sehingga mempermudah penyelesaian
sengketa di kemudian hari.
Dalam kasus ini, Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan suatu metode
baru untuk memecahkan atau memberikan solusi pada sengketa tersebut. Perlu
adanya pengembangan sistem informasi kadastral 4D (3D cadaster plus time)
untuk mengetahui suatu kepemilikan yang diketahui dengan posisi titik koordinat
(x,y), ketinggian dalam rumah susun (z), dan sejarah (History) atau waktu yang
mengetahui suatu kepemilikan hak atas tanah berdasarkan tahun pada masa
lalu, masa sekarang, masa depan (t).
30
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Sehingga, perlu adanya pengembangan dalam survey kadaster yang akan
memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu
(timelapse).
Kata Kunci : Kadastral 4D, Sengketa Rumah Susun, Informasi Sejarah Hak
Tanah, SIK 4D.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program
percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program
tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum
hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
negara dan ekonomi rakyat.
Dalam proyek PTSL, Pemerintah akan melibatkan berbagai Instansi dan
juga masyarakat untuk memenuhi target setiap tahunnya. Sehingga, Menteri
Agraria dan Tata Ruang mengesahkan PERMEN ATR No. 11 Tahun 2017
tentang Surveyor Kadastral Berlisensi guna untuk memenuhi dan memperbanyak
Petugas Ukur dalam membantu proyek PTSL. Namun dalam suatu pengukuran
untuk mendapatkan data fisik dilapangan akan menghadapi berbagai masalah
atau sengketa yang berhubungan dengan hak atas tanah kepemilikan
sebelumnya dan sesudahnya dan pertengkaran ahli waris dalam pemecahan
tanah atau pembagian sehingga pengukuran tersebut dapat ditunda dan
menunggu konfirmasi penyelesaian masalah dari pemohon atau masyarakat
setempat dengan mengadakan musyawarah dan jika tidak ada solusi dari
sengketa tersebut maka harus melewati jalur hukum yang tertuang dalam
PERMEN ATR No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Tanah.
Dalam penelitian ini, akan mengangkat kasus tentang Sengketa Rumah
Susun yang terjadi karena kerusakan batas dikarenakan adanya bencana alam
seperti longsor, tsunami dan lain-lain sehingga pengembalian hak atas tanah dan
31
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Sehingga, perlu adanya pengembangan dalam survey kadaster yang akan
memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu
(timelapse).
Kata Kunci : Kadastral 4D, Sengketa Rumah Susun, Informasi Sejarah Hak
Tanah, SIK 4D.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program
percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program
tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum
hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
negara dan ekonomi rakyat.
Dalam proyek PTSL, Pemerintah akan melibatkan berbagai Instansi dan
juga masyarakat untuk memenuhi target setiap tahunnya. Sehingga, Menteri
Agraria dan Tata Ruang mengesahkan PERMEN ATR No. 11 Tahun 2017
tentang Surveyor Kadastral Berlisensi guna untuk memenuhi dan memperbanyak
Petugas Ukur dalam membantu proyek PTSL. Namun dalam suatu pengukuran
untuk mendapatkan data fisik dilapangan akan menghadapi berbagai masalah
atau sengketa yang berhubungan dengan hak atas tanah kepemilikan
sebelumnya dan sesudahnya dan pertengkaran ahli waris dalam pemecahan
tanah atau pembagian sehingga pengukuran tersebut dapat ditunda dan
menunggu konfirmasi penyelesaian masalah dari pemohon atau masyarakat
setempat dengan mengadakan musyawarah dan jika tidak ada solusi dari
sengketa tersebut maka harus melewati jalur hukum yang tertuang dalam
PERMEN ATR No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Tanah.
Dalam penelitian ini, akan mengangkat kasus tentang Sengketa Rumah
Susun yang terjadi karena kerusakan batas dikarenakan adanya bencana alam
seperti longsor, tsunami dan lain-lain sehingga pengembalian hak atas tanah dan
ruang kemungkinan terjadi penambahan atau pengurangan dari hak atas tanah
sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa permasalahan sehingga dapat di
rumuskan sebagai berikut;
a. Apakah suatu Sistem Informasi Kadastral 4D berguna untuk Indonesia?
b. Bagaimana mengatasi permasalahan jika suatu tanah dan ruangnya terkena
bencana alam dan mengakibatkan kerugian yang besar?
c. Kenapa diperlukan suatu pengembangan sistem informasi kadastral 4D?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu Sistem Informasi
Kadastral (SIK) dalam Empat dimensi (4D) supaya dapat membantu pekerjaan
Pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional dan Instansi yang berkepentingan
dalam penyelesaian Sengketa Tanah pada Rumah Susun atau Apartemen.
Manfaat dari penelitian ini akan berguna bagi Pemerintah dan Masyarakat
Indonesia. Pada Pemerintah atau Instansi yang berkepentingan, data pada
Sistem Informasi Kadastral 4D ini akan memberikan informasi data yuridis, data
fisik dan data waktu (History) sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
kasus-kasus sengketa atau untuk keperluan lainnya. Data ini akan sangat
bermanfaat bagi masyarakat sehingga mereka dapat mengetahui Hak
Kepemilikan yang sebelumnya memiliki nilai Luasan pada posisi yang sudah
ditentukan dan mengetahui sejarah Hak Kepemilikannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aspek Hukum Pertanahan dan Rumah Susun Pesatnya perkembangan sektor properti di Indonesia memaksa berbagai
pihak untuk lebih memahami mengenai hukum properti, terutama megenai
pertanahan dan rumah susun. Hukum agraria merupakan bidang hukum positif
yang mengatur unsur-unsur sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan
atas suatu bidang tanah. Sumber daya alam tersebut meliputi bumi, air dan
32
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.
Penguasaan dan pemilikan tanah diatur sepenuhnya oleh hukum agraria.
Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai
status hukum dari tanah di mana rumah tersebut didirikan. Demikian juga apabila
rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah susun yang
seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum mengenai hak
penguasaan tanah di mana apartemen tersebut didirikan harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah susun. Hal ini
dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah susun bukanlah
hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Harsono, 2008).
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-
satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama yang di atur dalam Undang – Undang Rumah
Susun (UURS) No. 20 tahun 2011 pasal 1 ayat 1.
2.2. Sistem Informasi Kadastral 3D Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Pertanahan
ditugaskan untuk membangun dan mengembangkan suatu sistem informasi
pertanahan yang didalamnya meliputi pengelolaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah berbasiskan sistem informasi geografis. Pembangunan
sistem informasi pertanahan ini salah satunya ditujukan untuk mengoptimalkan
pelayanan pertanahan dalam penyampaian data dan informasi kepada
masyarakat. Terkait dengan pengoptimalan pelayanan pertanahan, pemetaan
kadastral dua dimensi yang diterapkan pada bangunan rumah susun sudah
saatnya mulai dikembangkan kearah tiga dimensi. Hal ini dikarenakan rumah
susun merupakan bangunan bertingkat yang memiliki banyak properti dengan
pemanfaatan yang berbeda-beda. Sebuah model tiga dimensi memberikan
kemudahan bagi pengguna untuk memilih posisi virtual dalam peta, keakuratan
yang lebih baik dalam memahami dan menginterpretasi peta, serta untuk
menampilkan bentuk yang lebih perspektif dan dapat memperlihatkan bentuk
33
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.
Penguasaan dan pemilikan tanah diatur sepenuhnya oleh hukum agraria.
Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai
status hukum dari tanah di mana rumah tersebut didirikan. Demikian juga apabila
rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah susun yang
seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum mengenai hak
penguasaan tanah di mana apartemen tersebut didirikan harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah susun. Hal ini
dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah susun bukanlah
hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Harsono, 2008).
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-
satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama yang di atur dalam Undang – Undang Rumah
Susun (UURS) No. 20 tahun 2011 pasal 1 ayat 1.
2.2. Sistem Informasi Kadastral 3D Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Pertanahan
ditugaskan untuk membangun dan mengembangkan suatu sistem informasi
pertanahan yang didalamnya meliputi pengelolaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah berbasiskan sistem informasi geografis. Pembangunan
sistem informasi pertanahan ini salah satunya ditujukan untuk mengoptimalkan
pelayanan pertanahan dalam penyampaian data dan informasi kepada
masyarakat. Terkait dengan pengoptimalan pelayanan pertanahan, pemetaan
kadastral dua dimensi yang diterapkan pada bangunan rumah susun sudah
saatnya mulai dikembangkan kearah tiga dimensi. Hal ini dikarenakan rumah
susun merupakan bangunan bertingkat yang memiliki banyak properti dengan
pemanfaatan yang berbeda-beda. Sebuah model tiga dimensi memberikan
kemudahan bagi pengguna untuk memilih posisi virtual dalam peta, keakuratan
yang lebih baik dalam memahami dan menginterpretasi peta, serta untuk
menampilkan bentuk yang lebih perspektif dan dapat memperlihatkan bentuk
secara real sehingga dapat memberikan informasi dari bangunan fisik yang ada.
(Edwin, 2010)
Pentingnya pengenalan sebuah peta kadastral 3D dikarenakan agar peta
tersebut tidak terlhat overlap terhadap bidang lain sehingga jelas batas dan
bentuk tanah dan bangunan tersebut. Hal ini dapat dicontohkan pada Gambar. 1
terdapat bangunan ITC Mangga Dua Mall yang penguasaan batas bidangnya
sampai melewati jalan raya sehingga terlihat pada peta 2D akan tertindih atau
overlap.
Gambar 1. Bangunan ITC Mangga Dua Mall
Pengembangan Sistem Informasi Kadastral 3D saat ini sangat populer di
berbagai belahan dunia. Pada sistem ini menjelaskan bahwa posisi (x,y) dan
ketinggian (z atau h) sangat penting dan dibutuhkan untuk kemajuan pendataan
dan penambahan geospatial.
2.3. Implementasi Kadastral 4D Perkembangan teknologi sudah tidak bisa lagi dihindari. Perkembangan
Sistem Informasi Kadastral 4D sangat penting untuk berbagai aspek dalam
pendaftaran kadastral. Kelebihan 4D ini, dapat mengetahui history (sejarah)
karena ditambahkan suatu database yang menunjukan waktu (time) kepemilikan
suatu hak atas tanah. (van Oosterom, Maessen, and Quak, 2002).
Metode ini dinamakan temporal timeline. Suatu kepemilikan sebelumnya
sangat penting untuk diabadikan karena hal ini akan menyangkut pada sengketa
pada masa depan. Suatu alur Temporal Timeline yang ditunjukan pada Gambar
2. Hal ini menjelaskan bahwa suatu sejarah kepemilikan akan mempengaruhi
pada saat ini dan masa depan, seperti contoh pemohon ahli waris selalu
mengatakan bahwa mendapatkan warisan dari orang tua nya yang berupa batas
bidang tanah dan selalu menceritakan sebuah “History” yang menunjukan waktu
34
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
kepemilkannya. Adapun juga ahli waris tersebut ingin membagi warisannya
kepada saudaranya.
Gambar 2. The method of time line
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dikonsepkan untuk pengembangan sistem informasi kadastral
4D secara mudah dan friendly. Pada alur yang pertama adalah Pemerintah atau
Instansi yang berkepentingan sebagai user dan pengguna lalu berhubungan
dengan Masyarakat yang sebagai pemohon sekaligus sebagai saksi (viewer)
dalam suatu sistem kadastral 4D. Alur yang dilakukan Pemerintah dan
masyarakat adalah;
1) Pemerintah atau instansi yang berkepentingan menerima permohonan
sertifikat dari masyarakat yang telah memenuhi Blangko pendaftaran hak
milik suatu tanah guna untuk memenuhi data yuridis sehingga dapat
melaksanakan kegiatan pengumpulan data dan melaksanakan pengukuran
untuk mencari data fisik dilapangan sesuai dengan JUKNIS PERMEN ATR
No. 1 tahun 2017.
2) Setelah dilakukannya kegiatan pengukuran yang meliputi pengukuran sudut
dan jarak untuk memperoleh posisi atau koordinat TM3 juga perlu
35
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
kepemilkannya. Adapun juga ahli waris tersebut ingin membagi warisannya
kepada saudaranya.
Gambar 2. The method of time line
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dikonsepkan untuk pengembangan sistem informasi kadastral
4D secara mudah dan friendly. Pada alur yang pertama adalah Pemerintah atau
Instansi yang berkepentingan sebagai user dan pengguna lalu berhubungan
dengan Masyarakat yang sebagai pemohon sekaligus sebagai saksi (viewer)
dalam suatu sistem kadastral 4D. Alur yang dilakukan Pemerintah dan
masyarakat adalah;
1) Pemerintah atau instansi yang berkepentingan menerima permohonan
sertifikat dari masyarakat yang telah memenuhi Blangko pendaftaran hak
milik suatu tanah guna untuk memenuhi data yuridis sehingga dapat
melaksanakan kegiatan pengumpulan data dan melaksanakan pengukuran
untuk mencari data fisik dilapangan sesuai dengan JUKNIS PERMEN ATR
No. 1 tahun 2017.
2) Setelah dilakukannya kegiatan pengukuran yang meliputi pengukuran sudut
dan jarak untuk memperoleh posisi atau koordinat TM3 juga perlu
dilakukannya pengukuran ketinggian atau kontur atau ketinggian ruang
(rumah susun) dan terhir suatu pendataan sejarah kepemilikan sebelumnya
yang ditunjukan oleh waktu. Penunjukan batas dilakukan oleh pemohon.
3) Setelah pengukuran selesai, sehingga mendapatkan data koordinat,
ketinggian, dan waktu maka dilakukannya prosesing penggambaran yang
akan nantinya distandarisasi dan divalidasi oleh pihak yang berwenang
sehingga dapat dimasukan ke sistem informasi kadastral 4D.
4) Dalam sistem informasi kadastral 4D ini, semua orang yang memiliki
sertifikat berhak untuk melihat dan menyaksikan suatu sejarah hak milik
tanah dan ruangnya. Dengan login atau password yang akan ada di
sertifikatnya untuk mempermudah mencari hak atas tanah dan ruangnya.
Metode ini dapat dilihat di Gambar 3.
Gambar 3. Metode penggunaan sistem informasi kadastral 4D.
36
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
4. PEMBAHASAN
4.1. Implementasi pada aplikasi Sistem Informasi Kadastral 4D.
Dalam penelitian ini direncanakan untuk mengabungkan teori, praktik dan
juga keahlian dalam bidang pemrograman. Untuk software akan digunakan open
source Celsium dan juga menggunakan SketchUp dengan metode teori CityGML
untuk mengimport data 3D ke dalam website yang akan menampilkan sistem
informasi kadastral seperti contoh Gambar 4.
Gambar 4. 3D modelling Bangunan UTM Space (Kuala Lumpur)
Dari sistem 3D tersebut direncanakan untuk membuat suatu program
menggunakan software Celsium dan CityGML sehingga dapat menciptakan
metode kadastral 4D yang ditambahkan waktu real time dan database yang
menunjukan data yuridis. Gambar 5 yang berada paling atas menunjukan data
register atau informasi kepemilikan tanah atau ruang, garis berwarna kuning
menunjukan waktu pada pagi dan malam hari dan terakhir garis warna merah
menunjukan waktu berdasarkan jam, tanggal dan koordinat.
37
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
4. PEMBAHASAN
4.1. Implementasi pada aplikasi Sistem Informasi Kadastral 4D.
Dalam penelitian ini direncanakan untuk mengabungkan teori, praktik dan
juga keahlian dalam bidang pemrograman. Untuk software akan digunakan open
source Celsium dan juga menggunakan SketchUp dengan metode teori CityGML
untuk mengimport data 3D ke dalam website yang akan menampilkan sistem
informasi kadastral seperti contoh Gambar 4.
Gambar 4. 3D modelling Bangunan UTM Space (Kuala Lumpur)
Dari sistem 3D tersebut direncanakan untuk membuat suatu program
menggunakan software Celsium dan CityGML sehingga dapat menciptakan
metode kadastral 4D yang ditambahkan waktu real time dan database yang
menunjukan data yuridis. Gambar 5 yang berada paling atas menunjukan data
register atau informasi kepemilikan tanah atau ruang, garis berwarna kuning
menunjukan waktu pada pagi dan malam hari dan terakhir garis warna merah
menunjukan waktu berdasarkan jam, tanggal dan koordinat.
Gambar 5. 3D modelling miami from celsium
4.2. Penyelesaian Sengketa Tanah dengan Sistem Informasi Kadastral 4D Bencana Alam terjadi kapan saja sehingga mengakibatkan hilangnya
beberapa batas bidang hak atas seseorang. Seperti contoh pada Gambar 6
terlihat Tsunami Aceh, Lumpur Lapindo Sidoarjo, Gunung Merapi Meletus dan
lainnya.
Gambar 6. Bencana Alam di Indonesia
38
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Setelah kejadian ini, pengukuran ulang atau rekontruksi pengembalian
batas bidang hak atas seseorang dilakukan. Namun, hal ini akan mengakibatkan
Sengketa dan Konflik berkelanjutan dikarenakan batas hak atas seseorang
hilang dan di lain sisi, beberapa orang lain akan beranggapan dan mengakui
penguasaan tanahnya lebih dari sebelumnya sehingga terjadinya suatu database
yang overlap. Rekontruksi batas bidang hak atas seseorang pastinya tidak akan
sama dari luas dan posisi sebelumnya namun hal ini diartikan bahwa rekontruksi
atau pengembalian batas bidang hak atas seseorang mendekati kebenaran
dengan akurasi dari alat pengukuran yang digunakan tergantung ketelitiannya.
Sengketa pun dapat terjadi pada kasus jual beli pada suatu apartment atau
rumah susun. Pada Kasus ini dapat dilihat di Gambar 7 yang menjelaskan jual
beli hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang bernama A di beli setengah
luasanya oleh si B. Setelah di beli oleh si B maka tanah tersebut dikelola dan di
bangun sebuah apartement berlantai 3. Dalam setiap lantai dan setiap ruangan
di beli dengan susunan lantai 1 di isi oleh si C dan D, lantai 2 di isi oleh si E dan
F dan seterusnya. Namun, setelah semua lantai itu terpenuhi misalnya saja
terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor atau tsunami maka
tanah dan ruangan tersebut akan mengalami kerugian dan kerusakan yang fatal
sehingga batas tanah tersebut hilang dan sangat sulit untuk rekontruksi
dikarenakan posisi dan luasannya akan berbeda dari sebelumnya sehingga
muncul suatu permasalahan. Namun, pertanyaannya adalah siapa yang akan
mendanai dalam rekontruksi hak atas seseorang yang berupa tanah atau
ruangan pada lantai tertentu yang terkena bencana sehingga hilangnya suatu
batas bidang yang dimilikinya, apakah pemerintah atau pengelola yang bernama
si B ?
39
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Setelah kejadian ini, pengukuran ulang atau rekontruksi pengembalian
batas bidang hak atas seseorang dilakukan. Namun, hal ini akan mengakibatkan
Sengketa dan Konflik berkelanjutan dikarenakan batas hak atas seseorang
hilang dan di lain sisi, beberapa orang lain akan beranggapan dan mengakui
penguasaan tanahnya lebih dari sebelumnya sehingga terjadinya suatu database
yang overlap. Rekontruksi batas bidang hak atas seseorang pastinya tidak akan
sama dari luas dan posisi sebelumnya namun hal ini diartikan bahwa rekontruksi
atau pengembalian batas bidang hak atas seseorang mendekati kebenaran
dengan akurasi dari alat pengukuran yang digunakan tergantung ketelitiannya.
Sengketa pun dapat terjadi pada kasus jual beli pada suatu apartment atau
rumah susun. Pada Kasus ini dapat dilihat di Gambar 7 yang menjelaskan jual
beli hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang bernama A di beli setengah
luasanya oleh si B. Setelah di beli oleh si B maka tanah tersebut dikelola dan di
bangun sebuah apartement berlantai 3. Dalam setiap lantai dan setiap ruangan
di beli dengan susunan lantai 1 di isi oleh si C dan D, lantai 2 di isi oleh si E dan
F dan seterusnya. Namun, setelah semua lantai itu terpenuhi misalnya saja
terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor atau tsunami maka
tanah dan ruangan tersebut akan mengalami kerugian dan kerusakan yang fatal
sehingga batas tanah tersebut hilang dan sangat sulit untuk rekontruksi
dikarenakan posisi dan luasannya akan berbeda dari sebelumnya sehingga
muncul suatu permasalahan. Namun, pertanyaannya adalah siapa yang akan
mendanai dalam rekontruksi hak atas seseorang yang berupa tanah atau
ruangan pada lantai tertentu yang terkena bencana sehingga hilangnya suatu
batas bidang yang dimilikinya, apakah pemerintah atau pengelola yang bernama
si B ?
Gambar 7. Teori perubahan waktu
Dalam penelitian ini, mencoba menjelaskan dan mengaplikasikan suatu
teori Temporal Timeline seperti Gambar 8 yang menerangkan suatu sejarah,
pada saat terkini dan masa depan. Ketika dalam rumah susun terjadinya suatu
bencana alam maka batas pada hak atas seseorang akan hilang sehingga dapat
kemungkinan menimbulkan suatu sengketa namun dengan hadirnya suatu
sistem baru maka sengketa atau permasalahan tersebut dapat diredakan dan
juga meminimalisir permasalahan di kemudian hari.
40
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Gambar 8. 4D Cadastre Temporal time
Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem informasi kadastral 4D yang akan
mencatat koordinat (posisi), ketinggian, dan waktu sehingga para surveyor dan
masyarakat tahu bahwa luasan, posisi, dan ketinggian hak milik suatu tanah dan
ruang dapat terlihat dan transparan. Data tersebut digunakan untuk menghadapi
dan menyelesaikan masalah sengketa dikemudian hari. Dalam penyelesaiannya
diartikan bahwa sistem Informasi kadastral 4D ini akan menjadi sebuah alat bukti
untuk menjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan data yuridis dan juga
untuk mengurangi sengketa atau konflik pertanahan di kemudian hari.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Kadastral
4D (SIK 4D) adalah suatu metode baru dalam survei pengukuran dan pemetaan
kadastral yang mengutamakan sejarah atau waktu kepemilikan atas hak tanah
dan pengukuran 3D. SIK 4D ini sangat penting untuk pendataan dan pengukuran
di Indonesia sehingga perlu dilakukan pengembangan dan inovasi dalam
pembuatan software Sistem Informasi Kadastral 4D dan diperlihatkan di suatu
sistem website dengan tingkat keamanan yang tinggi. Hal ini dapat sebagai
penjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan yuridis dan untuk mengurangi
adanya sengketa dan konflik pertanahan.
41
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Gambar 8. 4D Cadastre Temporal time
Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem informasi kadastral 4D yang akan
mencatat koordinat (posisi), ketinggian, dan waktu sehingga para surveyor dan
masyarakat tahu bahwa luasan, posisi, dan ketinggian hak milik suatu tanah dan
ruang dapat terlihat dan transparan. Data tersebut digunakan untuk menghadapi
dan menyelesaikan masalah sengketa dikemudian hari. Dalam penyelesaiannya
diartikan bahwa sistem Informasi kadastral 4D ini akan menjadi sebuah alat bukti
untuk menjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan data yuridis dan juga
untuk mengurangi sengketa atau konflik pertanahan di kemudian hari.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Kadastral
4D (SIK 4D) adalah suatu metode baru dalam survei pengukuran dan pemetaan
kadastral yang mengutamakan sejarah atau waktu kepemilikan atas hak tanah
dan pengukuran 3D. SIK 4D ini sangat penting untuk pendataan dan pengukuran
di Indonesia sehingga perlu dilakukan pengembangan dan inovasi dalam
pembuatan software Sistem Informasi Kadastral 4D dan diperlihatkan di suatu
sistem website dengan tingkat keamanan yang tinggi. Hal ini dapat sebagai
penjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan yuridis dan untuk mengurangi
adanya sengketa dan konflik pertanahan.
Sistem Informasi Kadastral 4D meliputi posisi (x,y), ketinggian (z), dan
waktu (t), luasan, Informasi data yuridis dan Informasi Surveyor yang mengukur.
Penelitian selanjutnya, akan membuat sebuah software dan dikhususkan untuk
BPN untuk mempercepat pendaftaran tanah sistematik lengkap dan dapat
dilakukan pengukuran 4D sehingga data dari PTSL tersebut dapat terlihat di SIK
4D.
5.2. Saran Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan suatu
metode baru untuk memecahkan atau memberikan solusi pada sengketa
tersebut. Perlu adanya pengembangan sistem informasi kadastral 4D (3D
cadaster plus time) untuk mengetahui suatu kepemilikan yang diketahui dengan
posisi titik koordinat (x,y), ketinggian dalam rumah susun (z), dan sejarah
(History) atau waktu yang mengetahui suatu kepemilikan hak atas tanah
berdasarkan tahun pada masa lalu, masa sekarang, masa depan (t).
Perlu adanya pengembangan dalam survei kadaster yang akan
memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu
(timelapse).
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, B. 2007. ‘Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya’. Jakarta: Djambatan. Hlm.
348
Oosterom, van P.J.M. Ploeger, H. Stoter, Jantien. Thompshon, Rod. Lemmen,
Christiaan. 2006. “Aspect of a 4D Cadastre: A First Exploration “. XXIII FIG
Congress. “Shaping the Cange” Munich, Germnay. October 8-13, 2006.
Priyandika, E, M. 2010. “Aplikasi Kadastral 3 Dimensi Guna Mengoptimalkan
Sistem Informasi Pertanahan Properti Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
(HMASRS)”. ITS.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2016. Undang-Undang No 11 Tahun
2016 tentang Penyelesaian Kasus Sengketa.
42
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No 1 Tahun
2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No. 11 Tahun
2017 tentang Surveyor Kadastral Berlisensi.
Republik Indonesia. 2011. Undang – Undang Rumah Susun (UURS) No. 20
tahun 2011 pasal 1 ayat 1.
Biodata Penulis
Ketut Tomy Suhari, S.T, adalah lulusan Sarjana Teknik dalam 3,5 tahun dan Wisudawan Terbaik dari jurusan Teknik Geodesi S1, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada tahun 2017. Dia
sangat tertarik untuk penelitian dalam bidang Kadastral dan Hidrografi. Pada
tahun 2016, Dia berhasil membuat Kapal Tanpa Awak yang bernama
43
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No 1 Tahun
2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No. 11 Tahun
2017 tentang Surveyor Kadastral Berlisensi.
Republik Indonesia. 2011. Undang – Undang Rumah Susun (UURS) No. 20
tahun 2011 pasal 1 ayat 1.
Biodata Penulis
Ketut Tomy Suhari, S.T, adalah lulusan Sarjana Teknik dalam 3,5 tahun dan Wisudawan Terbaik dari jurusan Teknik Geodesi S1, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada tahun 2017. Dia
sangat tertarik untuk penelitian dalam bidang Kadastral dan Hidrografi. Pada
tahun 2016, Dia berhasil membuat Kapal Tanpa Awak yang bernama
“REFORMASI SKP-KKPWEB DAN KOMISI KHUSUS” SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONFLIK DALAM MOMENTUM
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP
Dinar Wisnu Wardhani
Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ABSTRAK Permen ATR/BPN RI Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap merupakan upaya mempercepat
pendaftaran tanah agar muncul jaminan kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Lewat PTSL cita-cita tersebut merupakan langkah tepat dalam
mencapai tujuan yang dimaksud. Akan tetapi sistem kerja yang jauh dari
sempurna karena target dikhawatirkan akan memunculkan beberapa persoalan
di kemudian hari, terutama terkait sengketa konflik. Oleh karena itu perlu
diantisipasi secara dini kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Masalahnya, apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi
pertanahan sekaligus valid tanpa sengketa konflik? Dan bagaimana menciptakan
sistem pendaftaran yang cepat dan modern sekaligus meminimalisir sengketa
konflik di kemudian hari? Kajian ini akan mencoba melengkapi disain PTSL
sebagai administrasi pertanahan modern sekaligus meminimalisir sengketa
konflik di kemudian hari. Langkah yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan data spasial yang
disajikan dalam bentuk integrasi Web SKP dengan KKPWEB.
Hasil sementara penelitian ini menunjukkan bahwa PTSL merupakan langkah
tepat sebagai momentum untuk memodernisasi administrasi pertanahan. Akan
tetapi, melihat praktik di lapangan, ke depan kemungkinan akan menambah
jumlah sengketa konflik sebagai konsekuensi yang sulit dihindarkan. Oleh karena
itu, untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa langkah dini penulis ajukan: 1).
Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan
mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB. Apabila integrasi ini
berhasil, otomatis proses pendaftaran tanah yang bersengketa dapat langsung
terdeteksi sehingga meminimalisir adanya tumpang tindih dan sertipikat ganda
yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik; 2). Membuat mekanisme
44
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
khusus (semacam “Komisi Khusus Penyelesaian”) di bawah Dirjen Penanganan
Masalah dari pusat sampai ke Kantah untuk menyelesaikan produk-produk yang
dikeluarkan oleh Kem ATR/BPN khususnya produk PTSL sebelum menuju ranah
Pengadilan. Harapannya, komisi ini dapat secara spesifik menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul akibat dari kebijakan yang dikeluarkan terkait
PTSL sehingga sangat diharapkan untuk pengadaan komisi khusus ini.
Kata kunci: modernisasi, administrasi, SKP-KKPWEB, dan Komisi
Penyelesaian.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Selama 57 tahun sejak UUPA lahir, jaminan kepastian hukum dan
kekuatan hak atas tanah untuk masyarakat belum dapat sepenuhnya terpenuhi,
bahkan banyak persoalan terus bermunculan, salah satunya yang paling
siginifikan adalah meluasnya konflik tanah di Indonesia. Dalam banyak catatan,
akumulasi permasalahan pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung
diperkirakan berkisar antara 60% hingga 70% setiap tahun dan belum
ditambahkan dengan kasus yang selesai ketika diputus pada tingkat pertama
maupun tingkat banding (Abdurrahman, 2009). Data Kementrian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat sebanyak 5.878 kasus
pertanahan yang masuk ke BPN RI pada tahun 2014. Kasus tersebut terdiri atas
kasus yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus
baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, baru 2.910
kasus (57,92%) sudah terselesaikan dan masih ada sisa kasus sebanyak 2.968
kasus yang belum diselesaikan (Laporan Kinerja BPN, 2014). Meluasnya konflik
terkait tanah juga bisa dilihat di lembaga lain yang menangani aduan terkait
kasus tanah. Komnas HAM misalnya, menerima aduan terkait persoalan tanah
baik konflik-sengketa maupun perkara atas tanah cukup tinggi. Tahun 2015,
Komnas HAM menerima aduan dari masyarakat sebanyak 1.225 dan tahun 2016
menerima aduan sebanyak 1039. (Laporan Data Aduan Komnas HAM, 2015-
2016).
Banyaknya jumlah konflik agraria menunjukkan bahwa administrasi
pertanahan di Indonesia harus direvitalisasi agar dapat lahir kembali dan
memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Salah satu akar permasalahan
konflik agraria yakni ketidaktegasan penerapan peraturan perundangan dalam
45
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
khusus (semacam “Komisi Khusus Penyelesaian”) di bawah Dirjen Penanganan
Masalah dari pusat sampai ke Kantah untuk menyelesaikan produk-produk yang
dikeluarkan oleh Kem ATR/BPN khususnya produk PTSL sebelum menuju ranah
Pengadilan. Harapannya, komisi ini dapat secara spesifik menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul akibat dari kebijakan yang dikeluarkan terkait
PTSL sehingga sangat diharapkan untuk pengadaan komisi khusus ini.
Kata kunci: modernisasi, administrasi, SKP-KKPWEB, dan Komisi
Penyelesaian.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Selama 57 tahun sejak UUPA lahir, jaminan kepastian hukum dan
kekuatan hak atas tanah untuk masyarakat belum dapat sepenuhnya terpenuhi,
bahkan banyak persoalan terus bermunculan, salah satunya yang paling
siginifikan adalah meluasnya konflik tanah di Indonesia. Dalam banyak catatan,
akumulasi permasalahan pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung
diperkirakan berkisar antara 60% hingga 70% setiap tahun dan belum
ditambahkan dengan kasus yang selesai ketika diputus pada tingkat pertama
maupun tingkat banding (Abdurrahman, 2009). Data Kementrian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat sebanyak 5.878 kasus
pertanahan yang masuk ke BPN RI pada tahun 2014. Kasus tersebut terdiri atas
kasus yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus
baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, baru 2.910
kasus (57,92%) sudah terselesaikan dan masih ada sisa kasus sebanyak 2.968
kasus yang belum diselesaikan (Laporan Kinerja BPN, 2014). Meluasnya konflik
terkait tanah juga bisa dilihat di lembaga lain yang menangani aduan terkait
kasus tanah. Komnas HAM misalnya, menerima aduan terkait persoalan tanah
baik konflik-sengketa maupun perkara atas tanah cukup tinggi. Tahun 2015,
Komnas HAM menerima aduan dari masyarakat sebanyak 1.225 dan tahun 2016
menerima aduan sebanyak 1039. (Laporan Data Aduan Komnas HAM, 2015-
2016).
Banyaknya jumlah konflik agraria menunjukkan bahwa administrasi
pertanahan di Indonesia harus direvitalisasi agar dapat lahir kembali dan
memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Salah satu akar permasalahan
konflik agraria yakni ketidaktegasan penerapan peraturan perundangan dalam
mengatur mengenai sanksi/hukum yang dikenai akibat perbuatan yang dilakukan
terhadap tanah. Bahkan mirisnya, pemerintah juga tidak “bertanggung jawab”
atas data dan informasi yang ada pada sertipikat hak atas tanah di mana data
dan informasi dianggap benar sepanjang tidak ada pihak lain yang menggugat.
Kondisi ini yang semakin memperumit rona pendaftaran tanah di Indonesia.
Jaminan kepastian hukum merupakan salah satu pekerjaan tanpa habis
sepanjang tahun karena pada setiap program percepatan pendaftaran tanah
selalu berujung bentrok dengan alasan hal tersebut. Contoh pada PRONA.
Proyek Nasional ini merupakan program yang dijalankan pada masa
pemerintahan Presiden SBY. Program ini menuai protes karena ada unsur
kesengajaan dalam pemilihan subjek PRONA sehingga menimbulkan banyak
pihak lain yang berusaha membatalkan penerbitan sertipikat serta adanya calo
dari pihak Desa yang meracuni hakikat dari pendaftaran tanah.
Hingga di penghujung akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo membuat
perubahan yakni adanya kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
dengan cakupan objek di tahun 2017 yakni 5 juta, dan akan berlanjut hingga
pada tahun 2025 diharapkan seluruh objek tanah di Indonesia sudah terpetakan
dan memiliki jaminan kekuatan hak atas tanah untuk mewujudkan keadilan sosial
untuk masyarakat secara merata.
Ketiadaan jaminan kepastian akan hak atas tanah sekalipun bersertipikat
akan menimbulkan banyak konflik, sementara penyelesaian konflik di Indonesia
belum sepenuhnya memenuhi apa yang dituntut oleh masyarakat. Oleh karena
itu, butuh upaya lain bagaimana konflik itu bisa dicegah sedini mungkin dalam
kerangka membangun sistem pendaftaran tanah yang modern. Momentum PTSL
adalah peluang untuk menciptakan sistem dan mekanisme agar bidang-bidang
tanah yang dipetakan dan juga didaftarkan bisa terlindungi sekaligus aman bagi
pemiliknya. Salah satu upaya yang ingin dibangun dalam rangka mencegah
meluasnya konflik-konflik hak, penulis menawarkan alternatif penyelesaian
dengan sistem deteksi dini dari infrastruktur yang ada yakni maksimalisasi SKP-
KKP web dan penciptaan “komisi khusus”. Adanya integrasi SKP-KKP web ini
merupakan program komputerisasi yang dapat menjadi peringatan apabila
bidang tanah yang bersengketa hendak didaftarkan di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota letak bidang tanah tersebut. Sedangkan komisi khusus adalah
suatu komisi yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan masalah agraria tanpa
harus ke Pengadilan TUN, khususnya kasus-kasus yang muncul pasca PTSL
46
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dilaksanakan. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi agar kerja-kerja yang
dilakukan oleh ATR/BPN dibidang pendaftaran hak tidak dikriminalisasi sekaligus
petugas kantor pertanahan dapat bekerja dengan tenang dan penuh kehati-
hatian.
1.2. Rumusan Masalah PTSL merupakan program percepatan pendaftaran tanah sistematik
lengkap. PTSL memiliki target pada tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang,
kemudian pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang dan pada tahun 2019
sebanyak 9 juta bidang seterusnya hingga seluruh bidang tanah dapat
terpetakan pada tahun 2025.
Dalam proses pendaftaran tanah sistematik lengkap terutama proses
pengumpulan data hingga proses penerbitan sertipikat memungkinkan beberapa
hal yang menimbulkan persoalan/konflik. Hal itu salah satunya dikarenakan
tingginya target kementerian untuk masing-masing kantor pertanahan yang bisa
menyebabkan beberapa kesalahan, dari administrasi sampai tindakan yang fatal.
Sementara, kekhawatiran itu belum memiliki mekanisme bagaimana jika konflik
muncul dan jalan penyelesaiannya. Penulis mencoba menawarkan alternatif lain
yakni reformasi skp-kkpweb dan komisi khusus penyelesaian sengketa konflik
dalam menjaga momentum PTSL.
Dua persoalan di atas penulis coba rumuskan dalam pertanyaan
sederhana untuk menjawabnya:
a. Apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi pertanahan
sekaligus valid tanpa “sengketa konflik”?
b. Mungkinkah reformasi SKP-KKPWEB dan komisi khusus dapat digunakan
sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam momentum PTSL?
1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini untuk menjawab persoalan yang muncul dan persoalan yang
akan muncul di kemudian hari akibat dari PTSL. Penulis meyakini bahwa
Reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus akan menjawab persoalan
yang sedang dan akan terjadi.
1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini ditujukan kepada:
a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam hal ini menambahkan kajian
mengenai efektivitas Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
47
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dilaksanakan. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi agar kerja-kerja yang
dilakukan oleh ATR/BPN dibidang pendaftaran hak tidak dikriminalisasi sekaligus
petugas kantor pertanahan dapat bekerja dengan tenang dan penuh kehati-
hatian.
1.2. Rumusan Masalah PTSL merupakan program percepatan pendaftaran tanah sistematik
lengkap. PTSL memiliki target pada tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang,
kemudian pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang dan pada tahun 2019
sebanyak 9 juta bidang seterusnya hingga seluruh bidang tanah dapat
terpetakan pada tahun 2025.
Dalam proses pendaftaran tanah sistematik lengkap terutama proses
pengumpulan data hingga proses penerbitan sertipikat memungkinkan beberapa
hal yang menimbulkan persoalan/konflik. Hal itu salah satunya dikarenakan
tingginya target kementerian untuk masing-masing kantor pertanahan yang bisa
menyebabkan beberapa kesalahan, dari administrasi sampai tindakan yang fatal.
Sementara, kekhawatiran itu belum memiliki mekanisme bagaimana jika konflik
muncul dan jalan penyelesaiannya. Penulis mencoba menawarkan alternatif lain
yakni reformasi skp-kkpweb dan komisi khusus penyelesaian sengketa konflik
dalam menjaga momentum PTSL.
Dua persoalan di atas penulis coba rumuskan dalam pertanyaan
sederhana untuk menjawabnya:
a. Apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi pertanahan
sekaligus valid tanpa “sengketa konflik”?
b. Mungkinkah reformasi SKP-KKPWEB dan komisi khusus dapat digunakan
sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam momentum PTSL?
1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini untuk menjawab persoalan yang muncul dan persoalan yang
akan muncul di kemudian hari akibat dari PTSL. Penulis meyakini bahwa
Reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus akan menjawab persoalan
yang sedang dan akan terjadi.
1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini ditujukan kepada:
a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam hal ini menambahkan kajian
mengenai efektivitas Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
b. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan
Tanah untuk mendeteksi secara dini adanya sengketa konflik perkara yang
akan muncul di kemudian hari
c. Pembaca pada umumnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, tulisan mengenai integrasi sistem dan adanya komisi khusus
belum terlalu banyak ditemukan. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap
merupakan program baru pada tahun 2016 sehingga belum banyak kajian
mengenai itu. Pada tulisan ini, akan dibuat dua pembahasan yakni adanya
Reformasi SKP-KKPWEB yang memuat mengenai integrasi sistem dan Komisi
Khusus sebagai Penyelesaian Sengketa Perkara Pertanahan.
Mengenai integrasi sistem, ada sedikit kajian yang penulis anggap memiliki
relevansi dengan kajian ini, baik sebagai rujukan maupun sebagai pembanding.
Kajian Sukmo Pinuji (2016), “Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data
Spasial dalam Rangka Perwujudan One Map Policy”. Fokus penelitian ini bahwa
informasi pertanahan memiliki peran penting dalam infrastruktur data spasial,
perkembangan sistem informasi pertanahan (SIP) berperan dalam spatial based
decision making untuk terwujudnya sustainable development. Lebih lanjut, dalam
implementasinya SIP belum optimal terintegrasi dalam Infrastruktur Data Spasial
Nasional (IDSN). Dalam penelitian ini juga mengidentifikasi dan menganalisis
berbagai “titik sensitif” dalam pengintegrasian SIP ke dalam IDSN, enam elemen
IDS, implementasi Geo-KKP yang merupakan rintisan IDS di level organisasi
Kementrian ATR/BPN. Hasil penelitian menunjukkan Geo-KKP masih
dikembangkan secara parsial dari konsep IDSN, sebatas untuk mendukung
kegiatan pendaftaran tanah dan belum mencakup kepentingan yang lebih luas
sebagaimana yang diinginkan oleh konsep IDS. Untuk dapat mengembangkan
SIP yang dapat memenuhi tuntutan tersebut, keenam elemen IDS tersebut harus
diafiliasi secara komprehensif dan menyeluruh, dan secara tidak parsial.
Sementara terkait kajian konflik, ada banyak yang memformulasikan dan
tawaran solusinya. Kajian Farhan Fajar (2011), “Penyelesaian Konflik
Pertanahan (Studi Kasus Konflik Penguasaan Tanah Blang Padang Kota Banda
Propinsi Aceh)” menarik untuk dilihat lebih jauh. Fokus penelitian tersebut adalah
konflik saling klaim tanah yang tidak bersertipikat antara TNI AD dengan
Pemerintahan Aceh mengenai hak penguasaan tanah. Pada penelitian ini
48
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dilakukan pengkajian atas upaya penyelesaian konflik pertanahan dimulai
dengan melihat akar lahirnya konflik, upaya yang telah dilakukan. Penulis
menemukan adanya kesamaan pada salah satu pihak yang berkonflik, dan
upaya dari salah satu pihak dalam penguasaan tanah. Hasil analisa
mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab konflik adalah ketidaktertiban
administrasi pertanahan, pengelolaan atas tanah-tanah terlantar, dan
ketidaklengkapan data menyangkut risalah atau sejarah tanah. Penyelesaian
dengan jalan mediasi dapat dijadikan tinjauan untuk merumuskan potensi
penyelesaian konflik karena berhasilnya penyelesaian tersebut. Dalam penelitian
ini, hanya disinggung bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab konflik
adalah adanya double inventaris aset antara asset Pemda dan asset TNI,
sehingga terbuka peluang bagi Penulis untuk mengkaji apa yang menjadi faktor
penyebab tidak terinventarisirnya suatu aset, yang diklaim oleh salah satu pihak
sebagai status hak atas tanah dalam konflik pertanahan tersebut.
Berbeda dengan temuan Farhan Fajar, kajian Bastoni Solichin (2007)
terkait aspek kewenangan dalam sengketa konflik. Kajian dengan judul “Konflik
Kewenangan di Bidang Pertanahan Terhadap Penguasaan Tanah di Batam”,
fokus untuk mengetahui aspek–aspek konflik kewenangan di bidang pertanahan
di Batam, serta untuk mengetahui jalan keluar menyelesaikan konflik
kewenangan bidang pertanahan di Batam. Temuan penulis dari penelitian ini
adalah konflik kewenangan yang diidentifikasikan meliputi konflik dari aspek
perencanaan, pengendalian, pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang, penyelesaian sarana prasarana umum, pengendalian
lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta administrasi penanaman modal.
Penyelesaian konflik dapat dilakukan bukan hanya oleh pemegang atau
pemangku kewenangan lembaga penyelesaian konflik melainkan juga dapat
dilakukan oleh lembaga politis-perancang peraturan daerah, yakni Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satunya dengan memasukkannya ke
dalam produk hukum daerah. Peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah
dalam penelitian ini tidak dikaji sejauh mana peran dari lembaga terkait dalam
menangani penyelesaian konflik pertanahan ketika terjadi dualisme hukum
dalam menafsirkan konsep kewenangan di bidang pertanahan.
Kemudian ada juga penelitian karya Harahap Kanna (2005) yang menelisik
konflik penguasaan. “Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak atas Tanah antara
Masyarakat dengan PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan
49
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dilakukan pengkajian atas upaya penyelesaian konflik pertanahan dimulai
dengan melihat akar lahirnya konflik, upaya yang telah dilakukan. Penulis
menemukan adanya kesamaan pada salah satu pihak yang berkonflik, dan
upaya dari salah satu pihak dalam penguasaan tanah. Hasil analisa
mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab konflik adalah ketidaktertiban
administrasi pertanahan, pengelolaan atas tanah-tanah terlantar, dan
ketidaklengkapan data menyangkut risalah atau sejarah tanah. Penyelesaian
dengan jalan mediasi dapat dijadikan tinjauan untuk merumuskan potensi
penyelesaian konflik karena berhasilnya penyelesaian tersebut. Dalam penelitian
ini, hanya disinggung bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab konflik
adalah adanya double inventaris aset antara asset Pemda dan asset TNI,
sehingga terbuka peluang bagi Penulis untuk mengkaji apa yang menjadi faktor
penyebab tidak terinventarisirnya suatu aset, yang diklaim oleh salah satu pihak
sebagai status hak atas tanah dalam konflik pertanahan tersebut.
Berbeda dengan temuan Farhan Fajar, kajian Bastoni Solichin (2007)
terkait aspek kewenangan dalam sengketa konflik. Kajian dengan judul “Konflik
Kewenangan di Bidang Pertanahan Terhadap Penguasaan Tanah di Batam”,
fokus untuk mengetahui aspek–aspek konflik kewenangan di bidang pertanahan
di Batam, serta untuk mengetahui jalan keluar menyelesaikan konflik
kewenangan bidang pertanahan di Batam. Temuan penulis dari penelitian ini
adalah konflik kewenangan yang diidentifikasikan meliputi konflik dari aspek
perencanaan, pengendalian, pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang, penyelesaian sarana prasarana umum, pengendalian
lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta administrasi penanaman modal.
Penyelesaian konflik dapat dilakukan bukan hanya oleh pemegang atau
pemangku kewenangan lembaga penyelesaian konflik melainkan juga dapat
dilakukan oleh lembaga politis-perancang peraturan daerah, yakni Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satunya dengan memasukkannya ke
dalam produk hukum daerah. Peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah
dalam penelitian ini tidak dikaji sejauh mana peran dari lembaga terkait dalam
menangani penyelesaian konflik pertanahan ketika terjadi dualisme hukum
dalam menafsirkan konsep kewenangan di bidang pertanahan.
Kemudian ada juga penelitian karya Harahap Kanna (2005) yang menelisik
konflik penguasaan. “Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak atas Tanah antara
Masyarakat dengan PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang”. Fokus kajian ini melihat penyebab terjadinya
konflik, cara penyelesaian, dan kendala penyelesaiannya atas penguasaan
tanah masyarakat dengan PT Poleka Jaya Agung. Dalam penelitian ini, penulis
menemukan bahwa desakan yang dilakukan oleh DPRD dan LSM tidak serta
merta membuat BPN dapat membentuk tim verifikasi HGU PT Poleka Jaya
Agung walaupun hal tersebut adalah sebuah bentuk penyelesaian konflik yang
telah disepakati. Tidak dijelaskan bagaimana penyelesaian konflik yang tepat jika
ada faktor kekuasaan sebagai hal yang mempengaruhi proses terjadinya konflik,
menjadi peluang yang terbuka bagi penulis untuk ditelusur.
Sebelum berjalan lebih lanjut mengenai PTSL (Pendaftaran Tanah Sistem
Lengkap), penulis ingin membangunnya dalam kerangka pendaftaran tanah.
Konflik dan modernisasi pendaftaran tanah serta penyelesaiannya didekati
dengan kerangka kebijakan yang sedang berjalan dan dibutuhkan beberapa
alternatif pendekatan baru untuk menjawabnya. Kerangka besar untuk melihat
sejauh mana sistem pendaftaran tanah kita dan sampai di mana kita bisa
mengusulkan alternatif kebijakannya.
Pendaftaran tanah berasal dari istilah Cadastre (bahasa Perancis) yakni
suatu daftar yang menggambarkan seluruh persil tanah dalam suatu daerah
berdasarka pemetaan dan pengukuran yang cermat (Abdurrahman,1985). Istilah
Cadastre di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kadaster yang
sebenarnya bverasal dari bahasa Latin, yakni Capistratrum. Istilah Capistratrum
dalam bahasa Perancis berubah menjadi Cadastre yang berarti suatu register
yang diadakan untuk kepentingan pajak tanah Romawi (Parlindungan, 1990).
Pendaftaran tanah juga dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan hak
kepemilikan atau penggunaan tanah legal (McLaughlin dan Nicols,1989 dalam
Zevenbergen,2002).
Sedangkan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 yang berarti serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungam, dan
teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai
bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang–bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang membebaninya.
Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, luas bidang tanah, dan
50
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan
mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar
serta pemegang haknya, hak pihak lain dan beban–beban lain yang
membebaninya.
Pendaftaran tanah di Indonesia dibagi menjadi pendaftaran tanah
sistematis dan sporadis (PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah)
dijabarkan dibawah ini :
Tabel 1. Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik
Perbedaan Pendaftaran Tanah Sistematik
Pendaftaran Tanah Sporadis
Pelaksanaan Serentak Individu atau massal
Sumber Biaya Dibiayai oleh Pemerintah Biaya Pribadi
Jangka Waktu Lebih cepat mendapatkan tentang bidang-bidang yang akan didaftar
Lebih lama mendapatkan data bidang-bidang tanah yang akan didaftar
Jumlah Objek yang didaftarkan
Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Pelaksanaan Dilaksanakan atas permintaan dari pemerintah
Dilaksanakan atas permintaan dari pihak yang berkepentingan
Sumber : PP Nomor 24 Tahun 1997 dan analisa penulis
Pendaftaran tanah antara negara yang satu dengan negara yang lain
memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sistem publikasi dibagi menjadi dua yakni sistem publikasi positif dan sistem
publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem publikasi tersebut terdapat pada jenis
sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem
pendaftaran hak (registration of tiles), sedangkan sistem publikasi negative selalu
menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;
Handstad,1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land
Recordation” yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang
mempengaruhi hak atas tanah (Hanstad,1998).
Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif bertendensi positif
sehingga sertipikat tanah yang merupakan alat bukti hak atas tanah bersifat
51
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan
mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar
serta pemegang haknya, hak pihak lain dan beban–beban lain yang
membebaninya.
Pendaftaran tanah di Indonesia dibagi menjadi pendaftaran tanah
sistematis dan sporadis (PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah)
dijabarkan dibawah ini :
Tabel 1. Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik
Perbedaan Pendaftaran Tanah Sistematik
Pendaftaran Tanah Sporadis
Pelaksanaan Serentak Individu atau massal
Sumber Biaya Dibiayai oleh Pemerintah Biaya Pribadi
Jangka Waktu Lebih cepat mendapatkan tentang bidang-bidang yang akan didaftar
Lebih lama mendapatkan data bidang-bidang tanah yang akan didaftar
Jumlah Objek yang didaftarkan
Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Pelaksanaan Dilaksanakan atas permintaan dari pemerintah
Dilaksanakan atas permintaan dari pihak yang berkepentingan
Sumber : PP Nomor 24 Tahun 1997 dan analisa penulis
Pendaftaran tanah antara negara yang satu dengan negara yang lain
memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sistem publikasi dibagi menjadi dua yakni sistem publikasi positif dan sistem
publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem publikasi tersebut terdapat pada jenis
sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem
pendaftaran hak (registration of tiles), sedangkan sistem publikasi negative selalu
menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;
Handstad,1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land
Recordation” yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang
mempengaruhi hak atas tanah (Hanstad,1998).
Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif bertendensi positif
sehingga sertipikat tanah yang merupakan alat bukti hak atas tanah bersifat
mutlak, sehingga apabila terdapat tanda bukti hak lain yang lebih kuat maka
itulah pemilik hak sebenarnya. Hal ini akan berkebalikan dengan negara–negara
maju. Beberapa contoh negara maju yang sudah menerapkan sistem publikasi
positif antara lain Australia, Kanada, dan Inggris.
Di Australia, sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem publikasi
positif yang dikenal dengan nama sistem Torrens yang diatur dalam Land Titles
Act 1925. Di Kanada, sistem pendaftaran tanahnya didasarkan pada Indian Land
Register yang dibuat di bawah Indian Act. Sistem pendaftaran tanah di Kanada
menggabungkan sistem informal dan hukum adat kepemilikan tanah sehingga
urusan penyelesaian sengketa tanah harus sesuai dengan adat budaya
setempat. Saat ini sistem pendaftaran tanah di Kanada telah menggunakan
sistem online yang disebut sebagai Indian Land Registry System (IRLS). IRLS
adalah panduan prosedur yang dirancang untuk mengatur pendaftaran hak,
pengjuan klaim, dan pemberitahuan serta tempat penyimpanan dokumen tapi
tidak ada jaminan keakuratan di dalamnya.
Di Inggris, sistem yang dianut yakni sistem Anglo-Saxon, suatu sistem
hukum yang didasarkan pada hukum yurisprudensi.Konsep Anglo Saxon ini
berbasis feudal di mana tanah adalah milik raja dan tidak ada orang lain yang
memiliki tanah. Pemilik hak atas tanah raja disebut sebagai penyewa
(Apriyana,2016). Penguasaan atas tanah dilakukan oleh lembaga pertanahan
(Land Registry).
3. METODE PENELITIAN Hasil analisa dalam tulisan ini akan memberikan konsep alternatif
penyelesaian sengketa perkara dalam moementum PTSL dengan adanya
reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus berdasarkan pola
keruangan penulis dan hasil wawancara dengan beberapa pejabat struktural di
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Pusat.
Data yang diperoleh di lapangan yakni berupa data hasil wawancara
secara elektronik dengan pejabat struktural seksi V di Kementrian Agraria dan
Tata Ruang/BPN Pusat Data yang kemudian dikonsep dengan imajinasi penulis
dan disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
52
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
4. PEMBAHASAN Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap merupakan program baru yang
diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tahun 2016
untuk mewujudkan amanah pasal 33 UUD 1945 dan menindaklanjuti program
Nawacita Presiden Joko Widodo yang menginginkan percepatan sertifikasi
tanah. PTSL pada tahun 2017 ditarget 5 juta bidang, kemudian di tahun
selanjutnya 9 juta bidang, hingga pada tahun 2025 diharapkan seluruh bidang
tanah dapat terpetakan, hingga disertifikasi.
Program PTSL dianggap sebagai modernisasi administrasi pertanahan
dibandingkan program sebelumnya, yakni PRONA. Dianggap sebagai
modernisasi karena PTSL merupakan program yang dibuat sesuai dengan
tuntutan masa kini di mana menerapkan pekerjaan yang cepat dan teknologi
tepat guna.
PTSL dianggap sebagai program percepatan pendaftaran tanah secara
sistematik dengan cakupan keseluruhan bidang tanah pada suatu desa, waktu
pengumuman yang lebih cepat yakni 14 hari, metode pengukuran yang lebih
akurat dan sistematis sehinga jaminan kepastian hak atas tanah lebih cepat
tertuju pada subjeknya.
Saat ini, 70 persen perkara pengadilan adalah masalah tanah seperti
warkah hilang di Kantor Pertanahan, oleh karena itu dibuatlah PTSL yang
merupakan program kerja Kementerian ATR/BPN untuk mendaftar 5 juta bidang
tanah pada 2017 serta melakukan pemetaan tanah–tanah yang belum terdaftar
di Indonesia. PTSL membagikan sertipikat tanah secara sistematis sehingga
kemungkinan hilang warkah dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan lebih
lanjut dapat meminimalisir sengketa pertanahan. Sertipikat yang dikeluarkan
hasil PTSL tidak boleh diganggu gugat minimal 5 tahun setelah dikeluarkan juga
dapat mengurangi angka sengketa pertanahan.
Akan tetapi, pada kenyataannya di lapangan PTSL mungkin setelah 5
tahun ke depan sangat mungkin dapat menambah angka sengketa tanah,
kemungkinan yang terjadi berasal dari: 1). Dari segi pengukuran, asas
kontradiktur delimitasi belum terpenuhi karena pada waktu pengukuran pemilik
tanah sebenarnya dan pemilik tanah yang berbatasan tidak dihadirkan,
melainkan hanya pamong desa 2). Untuk asas publikasi, 14 hari dirasa belum
cukup untuk mengumumkan data fisik dan yuridis bidang tanah yang
bersangkutan karena pada umumnya 30 hari (1 bulan) bidang tanah baru selesai
53
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
4. PEMBAHASAN Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap merupakan program baru yang
diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tahun 2016
untuk mewujudkan amanah pasal 33 UUD 1945 dan menindaklanjuti program
Nawacita Presiden Joko Widodo yang menginginkan percepatan sertifikasi
tanah. PTSL pada tahun 2017 ditarget 5 juta bidang, kemudian di tahun
selanjutnya 9 juta bidang, hingga pada tahun 2025 diharapkan seluruh bidang
tanah dapat terpetakan, hingga disertifikasi.
Program PTSL dianggap sebagai modernisasi administrasi pertanahan
dibandingkan program sebelumnya, yakni PRONA. Dianggap sebagai
modernisasi karena PTSL merupakan program yang dibuat sesuai dengan
tuntutan masa kini di mana menerapkan pekerjaan yang cepat dan teknologi
tepat guna.
PTSL dianggap sebagai program percepatan pendaftaran tanah secara
sistematik dengan cakupan keseluruhan bidang tanah pada suatu desa, waktu
pengumuman yang lebih cepat yakni 14 hari, metode pengukuran yang lebih
akurat dan sistematis sehinga jaminan kepastian hak atas tanah lebih cepat
tertuju pada subjeknya.
Saat ini, 70 persen perkara pengadilan adalah masalah tanah seperti
warkah hilang di Kantor Pertanahan, oleh karena itu dibuatlah PTSL yang
merupakan program kerja Kementerian ATR/BPN untuk mendaftar 5 juta bidang
tanah pada 2017 serta melakukan pemetaan tanah–tanah yang belum terdaftar
di Indonesia. PTSL membagikan sertipikat tanah secara sistematis sehingga
kemungkinan hilang warkah dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan lebih
lanjut dapat meminimalisir sengketa pertanahan. Sertipikat yang dikeluarkan
hasil PTSL tidak boleh diganggu gugat minimal 5 tahun setelah dikeluarkan juga
dapat mengurangi angka sengketa pertanahan.
Akan tetapi, pada kenyataannya di lapangan PTSL mungkin setelah 5
tahun ke depan sangat mungkin dapat menambah angka sengketa tanah,
kemungkinan yang terjadi berasal dari: 1). Dari segi pengukuran, asas
kontradiktur delimitasi belum terpenuhi karena pada waktu pengukuran pemilik
tanah sebenarnya dan pemilik tanah yang berbatasan tidak dihadirkan,
melainkan hanya pamong desa 2). Untuk asas publikasi, 14 hari dirasa belum
cukup untuk mengumumkan data fisik dan yuridis bidang tanah yang
bersangkutan karena pada umumnya 30 hari (1 bulan) bidang tanah baru selesai
diumumkan kemudian memperoleh hak atas tanah 3). Satgas yuridis bertugas
untuk mengumpulkan data yuridis dan memverifikasi data yang telah dilampirkan
oleh aparatur desa agar dapat terjamin kebenaran data yang diperoleh. Akan
tetapi, kenyataan di lapangan, untuk mengejar cepatnya waktu penyelesaian
bidang tanah yang telah didaftar, petugas terkadang mengacuhkan jaminan
kebenaran data yang diperoleh. Hal ini terbukti pada beberapa kantor pertanahan
yang mengejar kecepatan data sehingga beberapa daftar isian diabaikan.
Penyelesaian Kasus Pertanahan di Indonesia selama ini didasarkan pada
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian
dan Penanganan Kasus akan tetapi hasil yang diperoleh dinilai kurang efektif.
Lalu Menteri Agraria dan Tata Ruang/KBPN telah meneken peraturan baru yakni
Peraturan MATR/KBPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan dan diharapkan dapat berjalan lebih efektif. Ada beberapa hal yang
lebih spesifik dalam peraturan ini, yakni: 1).kasus pertanahan sendiri
membedakan namanya sengketa, konflik dan perkara pertanahan, 2).dibedakan
penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan,
3).untuk eksekusi di mana keputusan penyelesaian sengketa atau konflik
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan, 4). Terkait penanganan perkara di
mana penanganan perkara yang dilaksanakan dalam perkara di Peradilan
Perdata atau TUN di mana Kementrian ATR/BPN menjadi pihak sehingga
apabila kalah masih dapat melakukan upaya hukum.
PTSL sendiri karena masih merupakan program baru sehingga masih
menggunakan landasan peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016. Akan tetapi mengingat
beberapa faktor dalam program PTSL maka sangat dimungkinkan, angka
sengketa konflik dari hasil PTSL sangat meningkat setelah 5 tahun sertipikat
tersebut dikeluarkan.
Untuk mengurangi jumlah konflik sengketa perkara pertanahan dari hasil
PTSL, penulis mengajukan beberapa alternatif penyelesaian yakni :
a. Reformasi SKP-KKPWEB
Reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang
sosial, politik, agama) dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI,2017).
SKPWEB adalah suatu program yang dibuat secara khusus untuk
Direktorat Penanganan Masalah Agraria dan Pemanfaatan Ruang serta
Tanah yang memuat mengenai kasus / data masalah agraria
54
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
KKPWEB adalah aplikasi komputerisasi kantor pertanahan yang
diluncurkan pada tahun 2014 secara nasional untuk proses pendaftaran ,
pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang tanah.
SKPWEB dan KKPWEB ini berjalan secara sendiri–sendiri sehingga
hal ini yang mengakibatkan kurang efektifnya pencegahan sengketa konflik
perkara pertanahan secara dini. SKPWEB hanya dapat diakses oleh
pegawai / pejabat yang berada di seksi V yakni seksi penanganan masalah
agraria. Sedang KKPWEB setiap pegawai kantor pertanahan dapat
mengakses program ini.
SKPWEB memuat data mengenai sengketa konflik perkara pertanahan
pada bidang tanah tersebut dengan merujuk pada contoh kasus sengketa
konflik perkara yang telah diajukan pada kantor pertanahan hingga pada
bidang tanahnya telah dapat ditandai warna merah bahwa itu terjadi
permasalahan pertanahan di dalamnya, Sedang KKPWEB merupakan pintu
masuk dalam proses pendaftaran serta pemeliharaan data pertanahan. Oleh
karena itu, apabila SKP-KKPWEB direformasi menjadi satu kesatuan maka
akan tersusun simponi yang apik untuk “early warning” dalam penyelesaian
sengketa konflik perkara pertanahan.
Reformasi yang dimaksud disini adalah perombakan di mana data dari
SKPWEB sudah dapat dibuka di KKPWEB sehingga “warning” akan muncul
ketika berkas pendaftaran tanah hendak melakukan pemeliharaan data
semisal pengecekan sertipikat sehingga berkas tidak dapat dijalankan
apabila permasalahan agraria itu belum terselesaikan.
Akan tetapi, hal ini tidak seimbang apabila proses pengentrian data
mengenai bidang–bidang tanah yang bermasalah secara rutin serta
kekurangan informasi di mana kasus yang diupload/dientry hanya berupa
aduan dari masyarakat sehingga apabila masyarakat tersebut tidak
mengadu omatis Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN tidak
mengetahuinya kecuali karena hal tertentu. Tidak lupa, terkadang SKPWEB
sendiri karena merupakan program di bawah kekuasaan Direktorat
Penanganan Masalah Agraria dikucilkan karena tidak semua orang bisa
mengakses data mengenainya. Oleh karena itu, reformasi SKP-KKPWEB ini
perlu didukung oleh beberapa pihak terutama pejabat atau pegawai SKP
untuk rutin melakukan pengentrian data bidang tanah yang bermasalah.
Skema SKPWEB dan KKPWEB saling berintegrasi
55
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
KKPWEB adalah aplikasi komputerisasi kantor pertanahan yang
diluncurkan pada tahun 2014 secara nasional untuk proses pendaftaran ,
pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang tanah.
SKPWEB dan KKPWEB ini berjalan secara sendiri–sendiri sehingga
hal ini yang mengakibatkan kurang efektifnya pencegahan sengketa konflik
perkara pertanahan secara dini. SKPWEB hanya dapat diakses oleh
pegawai / pejabat yang berada di seksi V yakni seksi penanganan masalah
agraria. Sedang KKPWEB setiap pegawai kantor pertanahan dapat
mengakses program ini.
SKPWEB memuat data mengenai sengketa konflik perkara pertanahan
pada bidang tanah tersebut dengan merujuk pada contoh kasus sengketa
konflik perkara yang telah diajukan pada kantor pertanahan hingga pada
bidang tanahnya telah dapat ditandai warna merah bahwa itu terjadi
permasalahan pertanahan di dalamnya, Sedang KKPWEB merupakan pintu
masuk dalam proses pendaftaran serta pemeliharaan data pertanahan. Oleh
karena itu, apabila SKP-KKPWEB direformasi menjadi satu kesatuan maka
akan tersusun simponi yang apik untuk “early warning” dalam penyelesaian
sengketa konflik perkara pertanahan.
Reformasi yang dimaksud disini adalah perombakan di mana data dari
SKPWEB sudah dapat dibuka di KKPWEB sehingga “warning” akan muncul
ketika berkas pendaftaran tanah hendak melakukan pemeliharaan data
semisal pengecekan sertipikat sehingga berkas tidak dapat dijalankan
apabila permasalahan agraria itu belum terselesaikan.
Akan tetapi, hal ini tidak seimbang apabila proses pengentrian data
mengenai bidang–bidang tanah yang bermasalah secara rutin serta
kekurangan informasi di mana kasus yang diupload/dientry hanya berupa
aduan dari masyarakat sehingga apabila masyarakat tersebut tidak
mengadu omatis Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN tidak
mengetahuinya kecuali karena hal tertentu. Tidak lupa, terkadang SKPWEB
sendiri karena merupakan program di bawah kekuasaan Direktorat
Penanganan Masalah Agraria dikucilkan karena tidak semua orang bisa
mengakses data mengenainya. Oleh karena itu, reformasi SKP-KKPWEB ini
perlu didukung oleh beberapa pihak terutama pejabat atau pegawai SKP
untuk rutin melakukan pengentrian data bidang tanah yang bermasalah.
Skema SKPWEB dan KKPWEB saling berintegrasi
Gambar 1. Integrasi SKPWEB pada KKPWEB
Hasil integrasi yang diperoleh pada gambar di atas menunjukkan pada
buku tanah bidang tersebut ketika kita mencari kemudian muncul lalu diklik
2x maka akan muncul subbab yakni mengenai pendaftaran pertama, catatan
pendaftaran, riwayat kasus dan catatan blokir internal. Adanya integrasi ini
ditunjukkan dengan adanya catatan pada riwayat kasus. Contoh di atas
yakni adanya sengketa masalah pemilikan dan penguasaan HM.
1837/Bukitsangkal.
56
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Gambar 2. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di
SKPWEB
Layout bidang tanah bersengketa pada peta pendaftaran SKPWEB
terdapat pada menu peta skp. Bidang tanah yang bersengketa akan tampil
dengan warna merah dan bidang tanah tidak bersengketa dengan warna
oranye. Kenampakan alami tidak terlihat pada peta skp. Pada peta skp, lebih
menonjolkan mengenai bidang tanah baik yang bersengketa maupun tidak
serta nama jalan.
Gambar 3. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di
KKPWEB
Layout bidang tanah bersengketa dengan tanah yang tidak
bersengketa akan muncul berbeda di Peta Pendaftaran pada KKPWEB.
Bidang tanah bersengketa akan muncul dengan warna merah sedang untuk
bidang tanah tidak bersengketa akan dibordir dengan warna kuning di setiap
57
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Gambar 2. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di
SKPWEB
Layout bidang tanah bersengketa pada peta pendaftaran SKPWEB
terdapat pada menu peta skp. Bidang tanah yang bersengketa akan tampil
dengan warna merah dan bidang tanah tidak bersengketa dengan warna
oranye. Kenampakan alami tidak terlihat pada peta skp. Pada peta skp, lebih
menonjolkan mengenai bidang tanah baik yang bersengketa maupun tidak
serta nama jalan.
Gambar 3. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di
KKPWEB
Layout bidang tanah bersengketa dengan tanah yang tidak
bersengketa akan muncul berbeda di Peta Pendaftaran pada KKPWEB.
Bidang tanah bersengketa akan muncul dengan warna merah sedang untuk
bidang tanah tidak bersengketa akan dibordir dengan warna kuning di setiap
sisi. Hal ini akan mempermudah identifikasi bidang tanah apabila seluruh
bidang tanah telah dipetakan secara lengkap.
b. Komisi Khusus sebagai alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik dalam
Moementum PTSL
PTSL merupakan program pendaftaran tanah sistematis lengkap yang
dibuat oleh Kementerian ATR/BPN dengan tujuan untuk mempercepat
proses pendaftaran tanah dan pemetaan seluruh bidang tanah di Indonesia.
Akan tetapi, pelaksanaan PTSL tidak diimbangi dengan adanya jaminan
khusus bidang tanah yang hendak disertipikatkan sehingga dimungkinkan
adanya konflik di kemudian hari.
Untuk itu, sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam
momentum PTSL, penulis menyajikan adanya komisi khusus penyelesaian
sengketa konflik PTSL. Lahirnya Komisi Khusus ini dilatarbelakangi karena
adanya ketakutan penulis melihat pelaksanaan dari PTSL untuk memperoleh
data, memproses data hingga menerbitkan sertipikat. Sengketa Konflik
dalam PTSL akan menjadikan label bahwa Kementrian Agraria dan Tata
Ruang/BPN memiliki kinerja yang kurang baik. Hal ini akan berdampak
kepercayaan publik menjadi menurun dan berindikasi terhadap tujuan
administrasi pertanahan.
Komisi Khusus ini berdiri di bawah naungan Direktorat Penanganan
Masalah dan Pengendalian Pertanahan yang dibuat di masing–masing
kantor pertanahan Kabupaten/Kota. Komisi Khusus masing–masing
kabupaten diketuai oleh Kepala Bidang V Sengketa, Konflik, Perkara
Provinsi masing–masing. Untuk anggota yang berada di kabupaten/kota
beranggotakan Eselon IV, Eselon V, Staf Bidang V dari Kantor Wilayah,
serta Staf Bidang V Kabupaten/Kota.
Mengenai tugas dari Komisi Khusus ini adalah menangani sengketa
konflik perkara yang muncul dari program PTSL. Apabila tidak ada
permasalahan, maka komisi khusus ini tidak bekerja. Persoalan atas produk
PTSL bermacam –macam,sebagai contoh adalah kesalahan dalam
memberikan nomor sertipikat, tumpang tindih, kesalahan pengisian riwayat
tanah, dan lain-lain.
Landasan pembentukan Komisi Khusus ini berdasarkan SK Menteri
Agraria dan Tata Ruang/BPN. Kewenangan pelimpahan tugas dari Pusat
58
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
kepada Daerah mengenai PTSL, sehingga fungsi Pusat hanyalah memonitor
pelaksanaan PTSL di daerah.
Dengan adanya Komisi Khusus ini, tidak lupa untuk membuat
kesepakatan (MoU) antara Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan
Kepolisian dan Kejaksaan mengenai pemakluman kesalahan administratif
pertanahan. Hal ini dirasa perlu karena sebagai langkah antisipasi untuk
menjaga pegawai Kementrian Agraria dan Tata Ruang yang notabene
pelayan administrasi publik untuk dikriminalisasi. Pegawai Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/BPN yang sudah bekerja keras untuk melakukan
proses pendaftaran tanah dengan PTSL yang menuntut cepat serta
memenuhi target, sangat memungkinkan akan muncul kesalahan-kesalahan.
Kesalahan yang dimaksud semisal sertipikat salah bidang, sertipikat ganda,
ataupun kesalahan administrasi lainnya yang dapat dilakukan penyelesaian
sesuai hukum administrasi dan tidak perlu ke ranah pengadilan.
Pemakluman kesalahan administratif tidak berlaku apabila dikaitkan dengan
adanya suap maupun pungli dan hal-hal lain yang berbau KKN.
Penulis mengharapkan dengan adanya Reformasi SKP-KKPWEB dan
Komisi Khusus maka jumlah sengketa konflik perkara dalam momentum ptsl
dapat diminimalisir.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
PTSL merupakan langkah tepat modernisasi pertanahan dalam 5 tahun ke
depan karena sertipikat yang dihasilkan tidak dapat di ganggu gugat dalam
jaminan kepastian hukumnya. Tetapi untuk 10 tahun ke depan, PTSL mungkin
menambah angka sengketa konflik. Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh
: 1). Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan
mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB sehingga meminimalisir
adanya sertipikat dobel yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik
pertanahan. 2). Membuat sebuah Komisi Khusus Penyelesaian Sengketa
Perkara di bawah Direktorat V Penanganan Masalah dan Pengendalian
Pertanahan yang menangani perkara yang muncul sebelum menuju ranah
Pengadilan TUN, sehingga apabila dapat diselesaikan oleh Komisi Khusus maka
tidak perlu merujuk pada Pengadilan TUN.
59
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
kepada Daerah mengenai PTSL, sehingga fungsi Pusat hanyalah memonitor
pelaksanaan PTSL di daerah.
Dengan adanya Komisi Khusus ini, tidak lupa untuk membuat
kesepakatan (MoU) antara Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan
Kepolisian dan Kejaksaan mengenai pemakluman kesalahan administratif
pertanahan. Hal ini dirasa perlu karena sebagai langkah antisipasi untuk
menjaga pegawai Kementrian Agraria dan Tata Ruang yang notabene
pelayan administrasi publik untuk dikriminalisasi. Pegawai Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/BPN yang sudah bekerja keras untuk melakukan
proses pendaftaran tanah dengan PTSL yang menuntut cepat serta
memenuhi target, sangat memungkinkan akan muncul kesalahan-kesalahan.
Kesalahan yang dimaksud semisal sertipikat salah bidang, sertipikat ganda,
ataupun kesalahan administrasi lainnya yang dapat dilakukan penyelesaian
sesuai hukum administrasi dan tidak perlu ke ranah pengadilan.
Pemakluman kesalahan administratif tidak berlaku apabila dikaitkan dengan
adanya suap maupun pungli dan hal-hal lain yang berbau KKN.
Penulis mengharapkan dengan adanya Reformasi SKP-KKPWEB dan
Komisi Khusus maka jumlah sengketa konflik perkara dalam momentum ptsl
dapat diminimalisir.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
PTSL merupakan langkah tepat modernisasi pertanahan dalam 5 tahun ke
depan karena sertipikat yang dihasilkan tidak dapat di ganggu gugat dalam
jaminan kepastian hukumnya. Tetapi untuk 10 tahun ke depan, PTSL mungkin
menambah angka sengketa konflik. Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh
: 1). Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan
mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB sehingga meminimalisir
adanya sertipikat dobel yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik
pertanahan. 2). Membuat sebuah Komisi Khusus Penyelesaian Sengketa
Perkara di bawah Direktorat V Penanganan Masalah dan Pengendalian
Pertanahan yang menangani perkara yang muncul sebelum menuju ranah
Pengadilan TUN, sehingga apabila dapat diselesaikan oleh Komisi Khusus maka
tidak perlu merujuk pada Pengadilan TUN.
5.2. Saran Mempertegas peraturan perundang–undangan yang berlaku mengenai
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Mendesak Pusdatin untuk segera
mengembangkan reformasi skp-kkpweb sebagai salah satu “early warning”
penyelesaian sengketa konflik perkara pertanahan. Memberikan penyuluhan
kepada Kantor Pertanahan dalam mengimplementasikan pelaksanaan PTSL
dengan menerapkan prinsip kehati–hatian secara benar tidak hanya memburu
peningkatan kuantitas pensertipikatan tanah. Menginstruksikan kepada eselon
IV, eselon V serta staf di bawah Direktorat Penanganan Masalah dan
Pengendalian Pertanahan agar melakukan pengentrian berkas yang memuat
sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara rutin karena tidak akan muncul
warning berkas bermasalah kalo data mengenai masalah agraria tersebut tidak
diinput.
DAFTAR PUSTAKA Apriyana, Nana. (2016). Studi Banding Mengenai Tata Ruang dan Pertanahan
di Inggris. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan “Perwujudan Infrastruktur
Wilayah dan Nasional: Peran Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi I hlm
22–24.
Solichin, Bastoni. (2007). Konflik Kewenangan di Bidang Pertanahan
Terhadap Penguasaan Tanah di Batam.
Fajar, Farhan.(2011). Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi Kasus
Penguasaan Tanah Blang Padang Kota Banda Propinsi Aceh).
Hanstad, Tim. (1998). Designing Land Registration System for Developing
Countries. American University International Law Review, 13, 647-703.
Kanna, Harahap.(2005). Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak Atas Tanah
antara Masyarakat PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Laporan Data Pengaduan Tahun 2015
Subbagian Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan”,
https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/
60
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Rekap Data Pengaduan Komnas Ham
Tahun 2016”, https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Jakarta: Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Land Titles Act 1925 Australia. Tersedia di http://www.legislation.act.gov.au.
Diakses pada 26 Agustus 2016.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar
Maju
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus
Pertanahan.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Pinuji, Sukmo.(2016). Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data Spasial
dalam Rangka Perwujudan One Map Policy.
2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis
Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan
2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum
Keagrariaan
61
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Rekap Data Pengaduan Komnas Ham
Tahun 2016”, https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Jakarta: Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Land Titles Act 1925 Australia. Tersedia di http://www.legislation.act.gov.au.
Diakses pada 26 Agustus 2016.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar
Maju
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus
Pertanahan.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Pinuji, Sukmo.(2016). Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data Spasial
dalam Rangka Perwujudan One Map Policy.
2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis
Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan
2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum
Keagrariaan
Zevenbergen, Jaap. (2002). System of Land Registration: Aspects and Effects.
Delft: Geodesy 51. ISBN 90 6132 277 4
http://www.eurekapendidikan.com/2015/11/metode-penelitian-eksperimen.html
yang diakses pada tanggal 21 Oktober 2017 pukul 9: 28 PM
Biodata Penulis Nama Penulis : Dinar W. Wardhani
Tempat dan Tanggal Lahir : Sukoharjo, 22 Oktober 1993
Nama Instansi Asal : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Alamat Instansi Asal : Jalan Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping,
Sleman, DIY
Alamat Tempat Tinggal : Asrama Taruna Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional Jalan Tata Bumi No.5, Banyuraden,
Gamping, Sleman, DIY
Alamat Email : [email protected]
Nomor Telepon : 0815766693 ( HP/WA)
62
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
ANALISIS PEMETAAN POLA SPASIAL NILAI NJOP DAN JUMLAH BIDANG TANAH TERDAFTAR UNTUK PENENTUAN LOKASI PRIORITAS PTSL
(STUDI PADA KECAMATAN KAYEN DAN SUKOLILO KABUPATEN PATI)
Catur Kuat Purnomo
Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Kantor Pertanahan Kabupaten Pati
ABSTRAK Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat ditentukan
berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor desa
setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah terdaftar,
ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan. Analisis
pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar pada
rencana lokasi PTSL diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai
NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar yang dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan metode indeks Global Moran’s I dan K-Mean
Clustering, regresi maximum likelihood spasial lag dan spasial error serta
Moran’s I Scatterplot untuk mengidentifikasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah
bidang tanah terdaftar untuk penentuan lokasi PTSL.
Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar menghasilkan lima klaster yaitu klaster
1 untuk lokasi PTSL tahun 2017 sebanyak 11 desa, klaster 2 untuk lokasi PTSL
tahun 2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 untuk lokasi PTSL tahun 2019 sebanyak
6 desa, klaster 4 untuk lokasi PTSL tahun 2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5
untuk lokasi PTSL tahun 2021 sebanyak 4 desa.
Pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar teridentifikasi memiliki
pola sistematik atau mengelompok. Model spasial error lebih menjelaskan variasi
nilai NJOP, akan tetapi koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ lambda 39,79% belum
cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial dependence. Variabel yang
dapat memengaruhi nilai NJOP yaitu variabel kepadatan penduduk dan variabel
jumlah bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf. Lokasi PTSL
pada tahun pertama dapat dilaksanakan di Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk
63
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
ANALISIS PEMETAAN POLA SPASIAL NILAI NJOP DAN JUMLAH BIDANG TANAH TERDAFTAR UNTUK PENENTUAN LOKASI PRIORITAS PTSL
(STUDI PADA KECAMATAN KAYEN DAN SUKOLILO KABUPATEN PATI)
Catur Kuat Purnomo
Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Kantor Pertanahan Kabupaten Pati
ABSTRAK Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat ditentukan
berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor desa
setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah terdaftar,
ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan. Analisis
pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar pada
rencana lokasi PTSL diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai
NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar yang dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan metode indeks Global Moran’s I dan K-Mean
Clustering, regresi maximum likelihood spasial lag dan spasial error serta
Moran’s I Scatterplot untuk mengidentifikasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah
bidang tanah terdaftar untuk penentuan lokasi PTSL.
Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar menghasilkan lima klaster yaitu klaster
1 untuk lokasi PTSL tahun 2017 sebanyak 11 desa, klaster 2 untuk lokasi PTSL
tahun 2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 untuk lokasi PTSL tahun 2019 sebanyak
6 desa, klaster 4 untuk lokasi PTSL tahun 2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5
untuk lokasi PTSL tahun 2021 sebanyak 4 desa.
Pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar teridentifikasi memiliki
pola sistematik atau mengelompok. Model spasial error lebih menjelaskan variasi
nilai NJOP, akan tetapi koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ lambda 39,79% belum
cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial dependence. Variabel yang
dapat memengaruhi nilai NJOP yaitu variabel kepadatan penduduk dan variabel
jumlah bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf. Lokasi PTSL
pada tahun pertama dapat dilaksanakan di Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk
Kecamatan Sukolilo dan Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk
Kecamatan Kayen.
Kata Kunci: NJOP, regresi spasial, spatial dependence 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional pada
tahun ini sedang melaksanakan program pendaftaran 5 juta bidang tanah di
seluruh Indonesia. Target masih akan dilanjutkan pada tahun 2018 dengan 7 juta
bidang, 9 juta untuk tahun 2019 dan seterusnya. Diharapkan pada tahun 2025
seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap PTSL mulai bergulir dengan dasar Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35
Tahun 2016 mengenai Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.
Tujuan dari program ini adalah percepatan pemberian kepastian hukum
dan perlindungan hukum hak atas tanah secara adil dan merata, serta
mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. Konsideran
bagian menimbang Peraturan Menteri ATR/ BPN No. 35 Tahun 2016.
Pelaksanaannya dapat melalui beberapa jalur antara lain PRONA/PRODA
Proyek Operasi Nasional Agraria/Proyek Operasi Daerah Agraria, program lintas
sektor, kegiatan lintas sektor, kegiatan dari dana desa, swadaya masyarakat atau
kegiatan massal lain yang sesuai dengan peraturan perundangan. Pada
dasarnya sistem administrasi pertanahan Land Administration System adalah
pekerjaan yang rumit karena melibatkan berbagai aspek antara lain: politik,
hukum dan teknologi Enemark, Williamson, & Wallace,
2005. Oleh karena itu, program PTSL yang dikerjakan oleh Kementerian
ATR/BPN adalah upaya membangun sistem administrasi pertanahan modern
yang bertujuan akhir pada pembangunan berkelanjutan, untuk memudahkan
perencanaan pembangunan bangsa dan Negara.
Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat
ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor
desa setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah
terdaftar, ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan.
Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP pada usulan lokasi PTSL diperlukan
untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai NJOP yang dapat digunakan
64
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa
yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah Adanya perbedaan informasi tentang ketersediaan data citra, ketersediaan
data peta dasar pendaftaran, informasi spasial nilai NJOP dan jumlah bidang
tanah pada lokasi penerima PTSL dapat menyebabkan kekeliruan dalam
menentukan lokasi prioritas desa penerima program PTSL. Penentuan lokasi
prioritas desa penerima PTSL yang kurang tepat dapat menyebabkan tidak
tercapainya target jumlah bidang PTSL. Oleh sebab itu diperlukan informasi
lokasi prioritas yang akurat, perencanaan yang tepat dan pengambilan keputusan
yang tepat agar target PTSL dapat tercapai sesuai dengan waktu yang tersedia.
1.3 Tujuan Penulisan a. Menyediakan informasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah
terdaftar untuk penentuan lokasi prioritas PTSL
b. Menyediakan informasi variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP
1.4 Manfaat Penulisan Manfaat bagi institusi Kementerian ATR/BPN:
a. Sebagai model alternatif perencanaan pada Kegiatan PTSL
b. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas
desa penerima program PTSL
Manfaat bagi Pemda:
a. Sebagai identifikasi dan proyeksi potensi penerimaan pajak daerah
b. Sebagai pertimbangan lokasi dalam pemberian bantuan/hibah.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Johann Heinrich von Thünen 1783-1850 memaparkan ide tentang kota
monosentris dalam bukunya Der Isolierte Staat The Isolated State pada tahun
1826. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Von
Thünen’s Isolated State pada tahun 1966. Oleh karena penulis belum
mendapatkan buku terjemahan tersebut, penulis menggunakan pandangan
Grotewold 1959 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Von Thünen.
Ide kota monosentris von Thünen sebenarnya merupakan ide mengenai
monocentric space pada produksi barang pertanian. Dengan kata lain, kota
monosentris von Thünen merupakan teori mengenai lokasi produksi barang
pertanian. Ide tersebut terlihat dalam konsep isolierte staat isolated state yang
65
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa
yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah Adanya perbedaan informasi tentang ketersediaan data citra, ketersediaan
data peta dasar pendaftaran, informasi spasial nilai NJOP dan jumlah bidang
tanah pada lokasi penerima PTSL dapat menyebabkan kekeliruan dalam
menentukan lokasi prioritas desa penerima program PTSL. Penentuan lokasi
prioritas desa penerima PTSL yang kurang tepat dapat menyebabkan tidak
tercapainya target jumlah bidang PTSL. Oleh sebab itu diperlukan informasi
lokasi prioritas yang akurat, perencanaan yang tepat dan pengambilan keputusan
yang tepat agar target PTSL dapat tercapai sesuai dengan waktu yang tersedia.
1.3 Tujuan Penulisan a. Menyediakan informasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah
terdaftar untuk penentuan lokasi prioritas PTSL
b. Menyediakan informasi variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP
1.4 Manfaat Penulisan Manfaat bagi institusi Kementerian ATR/BPN:
a. Sebagai model alternatif perencanaan pada Kegiatan PTSL
b. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas
desa penerima program PTSL
Manfaat bagi Pemda:
a. Sebagai identifikasi dan proyeksi potensi penerimaan pajak daerah
b. Sebagai pertimbangan lokasi dalam pemberian bantuan/hibah.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Johann Heinrich von Thünen 1783-1850 memaparkan ide tentang kota
monosentris dalam bukunya Der Isolierte Staat The Isolated State pada tahun
1826. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Von
Thünen’s Isolated State pada tahun 1966. Oleh karena penulis belum
mendapatkan buku terjemahan tersebut, penulis menggunakan pandangan
Grotewold 1959 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Von Thünen.
Ide kota monosentris von Thünen sebenarnya merupakan ide mengenai
monocentric space pada produksi barang pertanian. Dengan kata lain, kota
monosentris von Thünen merupakan teori mengenai lokasi produksi barang
pertanian. Ide tersebut terlihat dalam konsep isolierte staat isolated state yang
terdiri dari beberapa hal diantaranya; a Terdapat satu kota di tengah suatu
wilayah, b Pasar berada di kota, c Wilayah di luar kota merupakan tanah
pertanian dan ciri fisik tanah bersifat homogen, c Wilayah kota dan pertanian
dilayani oleh satu moda transportasi, dan d Petani mendiami lahan pertanian,
menyuplai kota, serta mampu beradaptasi terhadap semua perubahan kondisi
ekonomi.
Isolated State juga melihat hubungan dari tiga hal yaitu jarak lahan
pertanian dari pasar, harga jual barang pertanian yang diterima petani dan land
rent. Hubungan antara jarak lahan pertanian dari pasar dengan harga jual barang
pertanian yang diterima petani cukup sederhana. Harga yang diterima petani
adalah harga jual barang pertanian di pasar dikurangi dengan biaya transportasi
barang tersebut ke pasar. Biaya transportasi meningkat seiring dengan
peningkatan jarak dari pasar. Dengan demikian, barang pertanian memiliki nilai
lebih tinggi bagi petani yang berlokasi dekat pasar daripada petani yang berlokasi
lebih jauh dari pasar.
Hubungan antara land rent dengan jarak lahan pertanian dari pasar dapat
dilihat dengan memperhatikan definisi land rent, yaitu return dari investasi pada
tanah dimana return merupakan hasil penjualan barang pertanian dikurangi biaya
produksi dan dikurangi biaya angkut ke pasar. Hubungan antara land rent
dengan jarak ke pasar adalah semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka
rent lahan tersebut semakin besar. Karena nilai lahan ditentukan dari besaran
rent lahan tersebut, maka semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka nilai
lahan akan semakin tinggi. Hubungan tersebut dapat dilihat dengan
mempertimbangkan pola perkembangan isolated state. Pada saat isolated state
masih kecil, hanya butuh sedikit lahan di sekitar kota untuk memenuhi kebutuhan
barang pertanian di kota.
Hasil penelitian von Thünen tentang bentuk kota tidak cukup berkembang
di luar Jerman. Salah satu alasannya yaitu bahasa, buku Der Isolierte Staat
ditulis dalam bahasa Jerman. Pada tahun 1940, ahli ekonomi Jerman bernama
August Lösch 1906-1945 menyederhanakan ide von Thünen dalam buku Die
Raumliche Ordnung der Wirischaft Baumont dan Huriot, 1998. Buku Lösch
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1954 dengan judul The
Economics of Location. Meskipun demikian, ide von Thünen kembali
berkembang pada ilmu ekonomi setelah diterapkan pada wilayah perkotaan
66
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
urban area oleh William Alonso 1933-1993, sehingga muncul aliran pemikiran
bernama New Urban Economics Baumont dan Huriot, 1998.
Alonso menggunakan ide von Thünen untuk menjelaskan fenomena
pembentukan kota, kemudian memaparkan ide kota monosentris dalam buku
Location and Land Use pada tahun 1964. Penulis menggunakan pandangan
Wheaton 1977 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Alonso. Model Alonso
selanjutnya dikembangkan oleh Richard Muth dan Edwin S. Mills. Muth
memaparkan ide kota monosentris dalam bukunya Cities and Housing pada
tahun 1969 dan Mills memaparkan ide kota monosentris dalam buku Studies in
the Structure of the Urban Economy pada tahun 1972. Oleh karena penulis
belum mendapatkan buku tersebut, penulis menggunakan pandangan Brueckner
1987 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Muth dan Mills.
William Alonso Ide kota monosentris Alonso pada dasarnya merupakan penerapan ide von
Thünen pada konsumsi tempat tinggal di perkotaan. Alonso mengubah sudut
pandang von Thünen dari fenomena produksi menjadi fenomena konsumsi.
Wilayah kota digambarkan sebagai sebuah lingkaran dengan satu pusat kota dan
pusat kota tersebut berada di tengah wilayah perkotaan. Wilayah di luar pusat
kota digunakan sebagai tempat tinggal. Setiap bidang tanah memiliki sifat sama
untuk seluruh wilayah perkotaan. Semua tempat bekerja berada di pusat kota
dan transportasi bersifat kontinu. Dalam kota monosentris, harga tanah akan
semakin rendah bila semakin jauh dari pusat kota.
Model kota monosentris Alonso dibangun dengan menggunakan
pendekatan bid price dikenal juga dengan nama bid rent pada pasar tanah di
kota. Dengan melihat pasar sebagai tempat pelelangan, konsumen memberikan
harga penawaran bids untuk menggunakan atau membeli tanah. Karena pemilik
tanah memiliki monopoli atas tanahnya dan setiap konsumen bertindak sendiri-
sendiri, maka setiap bidang tanah akan diberikan kepada penawar tertinggi.
Jika tanah, dalam jangka panjang dialokasikan kepada penawar tertinggi,
maka rumah tangga dengan kurva bid price lebih datar angka slope lebih besar
akan berada pada lokasi yang berjarak lebih jauh daripada rumah tangga dengan
kurva bid price lebih curam angka slope lebih kecil. Kondisi tersebut bukan hanya
kondisi keseimbangan atau ekuilibrium tetapi juga efisien karena kurva bid price
lebih curam berarti individu memberikan nilai marginal yang lebih tinggi pada
pusat kota.
67
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
urban area oleh William Alonso 1933-1993, sehingga muncul aliran pemikiran
bernama New Urban Economics Baumont dan Huriot, 1998.
Alonso menggunakan ide von Thünen untuk menjelaskan fenomena
pembentukan kota, kemudian memaparkan ide kota monosentris dalam buku
Location and Land Use pada tahun 1964. Penulis menggunakan pandangan
Wheaton 1977 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Alonso. Model Alonso
selanjutnya dikembangkan oleh Richard Muth dan Edwin S. Mills. Muth
memaparkan ide kota monosentris dalam bukunya Cities and Housing pada
tahun 1969 dan Mills memaparkan ide kota monosentris dalam buku Studies in
the Structure of the Urban Economy pada tahun 1972. Oleh karena penulis
belum mendapatkan buku tersebut, penulis menggunakan pandangan Brueckner
1987 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Muth dan Mills.
William Alonso Ide kota monosentris Alonso pada dasarnya merupakan penerapan ide von
Thünen pada konsumsi tempat tinggal di perkotaan. Alonso mengubah sudut
pandang von Thünen dari fenomena produksi menjadi fenomena konsumsi.
Wilayah kota digambarkan sebagai sebuah lingkaran dengan satu pusat kota dan
pusat kota tersebut berada di tengah wilayah perkotaan. Wilayah di luar pusat
kota digunakan sebagai tempat tinggal. Setiap bidang tanah memiliki sifat sama
untuk seluruh wilayah perkotaan. Semua tempat bekerja berada di pusat kota
dan transportasi bersifat kontinu. Dalam kota monosentris, harga tanah akan
semakin rendah bila semakin jauh dari pusat kota.
Model kota monosentris Alonso dibangun dengan menggunakan
pendekatan bid price dikenal juga dengan nama bid rent pada pasar tanah di
kota. Dengan melihat pasar sebagai tempat pelelangan, konsumen memberikan
harga penawaran bids untuk menggunakan atau membeli tanah. Karena pemilik
tanah memiliki monopoli atas tanahnya dan setiap konsumen bertindak sendiri-
sendiri, maka setiap bidang tanah akan diberikan kepada penawar tertinggi.
Jika tanah, dalam jangka panjang dialokasikan kepada penawar tertinggi,
maka rumah tangga dengan kurva bid price lebih datar angka slope lebih besar
akan berada pada lokasi yang berjarak lebih jauh daripada rumah tangga dengan
kurva bid price lebih curam angka slope lebih kecil. Kondisi tersebut bukan hanya
kondisi keseimbangan atau ekuilibrium tetapi juga efisien karena kurva bid price
lebih curam berarti individu memberikan nilai marginal yang lebih tinggi pada
pusat kota.
Pada Gambar 1. menunjukkan kurva bid price dari tiga rumah tangga.
Rumah tangga pertama memiliki kurva bid price Bid 1 paling curam sehingga
mendapat lokasi paling dekat dengan pusat kota 0 − 𝑡𝑡1. Rumah tangga ketiga
memiliki kurva bid price Bid 3 paling landai sehingga mendapatkan lokasi paling
jauh dari pusat kota 𝑡𝑡2 − 𝑡𝑡3. Sementara itu, rumah tangga kedua memiliki
kemiringan kurva bid price Bid 2 di antara rumah tangga pertama dan rumah
tangga kedua sehingga menempati lokasi di antara rumah tangga pertama dan
rumah tangga kedua 𝑡𝑡1 − 𝑡𝑡2.
Gambar 1. Kurva Bid Price
Sejumlah rumah tangga harus menerima kesejahteraan lebih rendah agar
dapat menawar tanah lebih tinggi. Hal ini memungkinkan kelompok rumah
tangga tersebut untuk mengambil tanah dari kelompok rumah tangga lain.
Karena tingkat utilitas lebih rendah menghasilkan bid price lebih tinggi, mereka
juga harus mengurangi jumlah konsumsi tanah. Solusi pada kondisi ekuilibrium
adalah sejumlah tingkat utilitas sehingga wilayah dengan bid price tertinggi dari
kelompok rumah tangga tertentu sama dengan total konsumsi tanah yang
diinginkan.
Pola penggunaan tanah pada model Alonso berbentuk lingkaran lihat
Gambar 2 yang menunjukkan pola penggunaan tanah untuk tiga kelompok
rumah tangga. Setiap kelompok menempati wilayah berbentuk cincin. Luas
setiap cincin sama dengan jumlah permintaan lahan untuk setiap kelompok
rumah tangga. Rumah tangga 1 memiliki bid price tertinggi sehingga menempati
lokasi paling dekat dengan pusat kota. Rumah tangga 3 memiliki bid price
terendah sehingga menempati lokasi paling jauh dari pusat kota.
Bid 1
𝑡𝑡1 0
Bid 2
Bid 3
𝑡𝑡2 𝑡𝑡3 Jarak dari pusat kota (t)
68
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Legenda:
Gambar 2. Pola Penggunaan Tanah Alonso
Penelitian Empiris mengenai Harga Tanah Penelitian mengenai harga tanah telah beberapa kali dilakukan diantaranya
oleh Brigham di LA, Weiss et al., di North Carolina USA, Johnson and Ragas,
Vandeveer et al., Millen et al., Akhtar, Goffette-Nagot et al.
Eugene F. Brigham 1965 melakukan penelitian tentang The determinant of
residential land value di Los Angeles dengan metode analisis regresi berganda
beberapa variabel aksesibilitas terhadap fasilitas, topografi dan historical faktors
menyimpulkan bahwa jarak ke CBD bertanda negatif, variabel neighborhood
bertanda negatif, nilai bangunan bertanda positif, topografi bertanda negatif dan
sangat signifikan.
Pendapat Brigham tersebut diperkuat oleh penelitian F. Weiss; Thomas G
Donnely; dan Edward J. Kaiser 1966 yang menyimpulkan bahwa variabel spasial
jarak bertanda negatif, meneliti tentang Land value and land development
influence faktor:An analytical Approach for Examining Policy Alternatives di North
Carolina’s Piedmont Crescent, USA, dengan metode regresi berganda dan 14
variabel independen yaitu accessibility to work area, availability to work sewage,
distance to major street, distance to nearest elementary school, land not suitable
for building purpose, zoning protection, residential amenity, availability of city
water, dwelling density, total travel distance, proximity to blighted area, proximity
to non white area, distance to recreation area and distance to shopping area.
Pusat kota
Rumah tangga 1
Rumah tangga 2
Rumah tangga 3
69
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Legenda:
Gambar 2. Pola Penggunaan Tanah Alonso
Penelitian Empiris mengenai Harga Tanah Penelitian mengenai harga tanah telah beberapa kali dilakukan diantaranya
oleh Brigham di LA, Weiss et al., di North Carolina USA, Johnson and Ragas,
Vandeveer et al., Millen et al., Akhtar, Goffette-Nagot et al.
Eugene F. Brigham 1965 melakukan penelitian tentang The determinant of
residential land value di Los Angeles dengan metode analisis regresi berganda
beberapa variabel aksesibilitas terhadap fasilitas, topografi dan historical faktors
menyimpulkan bahwa jarak ke CBD bertanda negatif, variabel neighborhood
bertanda negatif, nilai bangunan bertanda positif, topografi bertanda negatif dan
sangat signifikan.
Pendapat Brigham tersebut diperkuat oleh penelitian F. Weiss; Thomas G
Donnely; dan Edward J. Kaiser 1966 yang menyimpulkan bahwa variabel spasial
jarak bertanda negatif, meneliti tentang Land value and land development
influence faktor:An analytical Approach for Examining Policy Alternatives di North
Carolina’s Piedmont Crescent, USA, dengan metode regresi berganda dan 14
variabel independen yaitu accessibility to work area, availability to work sewage,
distance to major street, distance to nearest elementary school, land not suitable
for building purpose, zoning protection, residential amenity, availability of city
water, dwelling density, total travel distance, proximity to blighted area, proximity
to non white area, distance to recreation area and distance to shopping area.
Pusat kota
Rumah tangga 1
Rumah tangga 2
Rumah tangga 3
Hasilnya terdapat empat variabel yang konsisten signifikan yaitu: accessibility to
work area bertanda positif, availability of public sewerage bertanda positif,
distance to major street bertanda negatif dan distance to nearest elementary
school bertanda negatif. Kedua penelitian ini belum menggunakan model regresi
spasial dalam pendekatan analisisnya.
Untuk menyempurnakan kelemahan penelitian harga tanah oleh Brigham
1965; Kaiser et al. 1966, Johnson and Ragas 1983, maka Lonnie R. Vandeveer,
Steven A. Henning, Huizhen Niu, Gary A. Kennedy 1998 meneliti tentang A
Spatial Analysis of Land Values At The Rural Urban Fringe dengan
menggunakan model OLS dan model maximum likelihood spatial error,
sedangkan model ML spasial lag digunakan untuk menganalisa kontur harga/
nilai tanah. Data penjualan harga tanah yang digunakan, dikumpulkan
menggunakan teknik korespondensi dari periode Januari 1993 sampai Juni 1998.
Variabel independen yang digunakan sebanyak 9 variabel yaitu ukuran tanah,
persentase lahan panen, persentase padang rumput, selisih kenaikan harga,
jarak ke pusat kota terdekat, waktu penjualan, jalan diperkeras, komersial, dan
residensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model spasial error lebih
superior dalam menjelaskan variasi estimasi perkiraan harga daripada model
regresi OLS. Sementara itu model ml spasial lag dapat digunakan untuk
menjelaskan batasan kontur isoline harga tanah dengan interval harga tanah
sebesar $200. Penelitian ini sudah menggunakan model spasial sehingga dapat
mengidentifikasi pengaruh dependensi spasial, hasil analisis juga lebih rinci
dalam menggambarkan variasi estimasi harga tanah.
Berbeda dengan model yang digunakan Vandeveer et all 1998, Shamshad
Akhtar 2004 meneliti tentang Spatial Distribution of Land Value in Karachi City
dengan menggunakan 3 model jarak yang terkenal yaitu model Knos, model
Alonso dan model Mills, data primer didapatkan melalui metode kuesioner pada
tiga area di perkotaan yaitu residensial area, komersial area dan industrial area.
Digunakan metode sampling, sampel dipilih secara acak sehingga terpilih dari
area residensial sebanyak 200 sampel, komersial sebanyak 100 sampel dan
industri sebanyak 50 sampel. Data primer tersebut kemudian dihitung secara
statistik dan kartografi pada berbagai penggunaan tanah. Penulis menggunakan
modifikasi model regresi berganda dengan 6 variabel yaitu jarak dari kantor SITE
pusat industri dan perdagangan, jarak dari fasilitas tansportasi utama, lebar jalan,
jarak ke jalan didepan letak tanah, jarak dari pusat industri. Hasil penelitian
70
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
menunjukkan bahwa variabel jarak dari kantor SITE, jarak dari fasilitas
transportasi utama, lebar jalan, jarak ke jalan dan jarak dari pusat industri
memiliki hubungan yang signifikan. Semakin jauh dari SITE dan transportasi
utama harga tanah semakin turun, semakin jauh dari pusat industri, harga tanah
semakin tinggi, semakin lebar jalan dan road frontage maka harga tanah semakin
tinggi.
Penelitian tersebut memiliki keunggulan dalam kontribusi penggunaan
konsep spasial dalam analisa harga tanah dan hasilnya semakin menjelaskan
bahwa harga tanah berkorelasi negatif terhadap jarak ke pusat kota, distribusi
spasial juga dapat menjelaskan fenomena spillover effect dari berbagai jenis
penggunaan tanah terhadap harga tanah baik di area residensial, komersial
maupun industrial.
Untuk menyempurnakan hasil penelitian Vandeveer et al. 1998, Millen et al.
2001, dan Akhtar 2004, maka Florence Goffette-Nagot, Isabelle Reginster,
Isabelle Thomas 2009 kemudian melakukan penelitian tentang A spatial analysis
of residential land prices in Belgium: accessibility, linguistic border and
environmental amenities menggunakan 3 model yaitu OLS, spatial error model
SEM, dan spatial lag model SLM. Data rata–rata harga jual tanah/ nilai tanah
yang digunakan berasal dari Belgian National Institute for Statistics selama 3
tahun yaitu tahun 1999, 2000, dan 2001 dengan menggunakan variabel
lingkungan, aksesibilitas pekerjaan dan sosial ekonomi. Variabel dependen yaitu
harga jual tanah dan variabel independen yang digunakan sebanyak 13 tiga
belas variabel yaitu access intra, access inter, access bxl, jobs, popdens,
income, wallonia, coast, coastprox, slope, water, forest ln dan agriculture ln.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada level negara secara keseluruhan
variasi harga tanah ditentukan dari faktor jarak suatu faktor yang bergantung
pada unit biaya transportasi dan trade off antara biaya transportasi dan harga
tanah, natural amenities tidak memiliki peran yang stabil terhadap harga tanah.
Variabel lingkungan dan natural amenities lebih berpengaruh pada tingkat lokal.
Seperti pada penelitian Akhtar 2004, Gofette-Nagot et all 2009 dan penelitian
sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan penggunaan model regresi berganda
maupun model regresi spasial, variabel jarak memiliki pengaruh yang konsisten
terhadap harga tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan penggunaan
model regresi spasial dapat lebih menunjukkan perbedaan pengaruh terhadap
variasi estimasi harga tanah pada tingkat global maupun lokal.
71
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
menunjukkan bahwa variabel jarak dari kantor SITE, jarak dari fasilitas
transportasi utama, lebar jalan, jarak ke jalan dan jarak dari pusat industri
memiliki hubungan yang signifikan. Semakin jauh dari SITE dan transportasi
utama harga tanah semakin turun, semakin jauh dari pusat industri, harga tanah
semakin tinggi, semakin lebar jalan dan road frontage maka harga tanah semakin
tinggi.
Penelitian tersebut memiliki keunggulan dalam kontribusi penggunaan
konsep spasial dalam analisa harga tanah dan hasilnya semakin menjelaskan
bahwa harga tanah berkorelasi negatif terhadap jarak ke pusat kota, distribusi
spasial juga dapat menjelaskan fenomena spillover effect dari berbagai jenis
penggunaan tanah terhadap harga tanah baik di area residensial, komersial
maupun industrial.
Untuk menyempurnakan hasil penelitian Vandeveer et al. 1998, Millen et al.
2001, dan Akhtar 2004, maka Florence Goffette-Nagot, Isabelle Reginster,
Isabelle Thomas 2009 kemudian melakukan penelitian tentang A spatial analysis
of residential land prices in Belgium: accessibility, linguistic border and
environmental amenities menggunakan 3 model yaitu OLS, spatial error model
SEM, dan spatial lag model SLM. Data rata–rata harga jual tanah/ nilai tanah
yang digunakan berasal dari Belgian National Institute for Statistics selama 3
tahun yaitu tahun 1999, 2000, dan 2001 dengan menggunakan variabel
lingkungan, aksesibilitas pekerjaan dan sosial ekonomi. Variabel dependen yaitu
harga jual tanah dan variabel independen yang digunakan sebanyak 13 tiga
belas variabel yaitu access intra, access inter, access bxl, jobs, popdens,
income, wallonia, coast, coastprox, slope, water, forest ln dan agriculture ln.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada level negara secara keseluruhan
variasi harga tanah ditentukan dari faktor jarak suatu faktor yang bergantung
pada unit biaya transportasi dan trade off antara biaya transportasi dan harga
tanah, natural amenities tidak memiliki peran yang stabil terhadap harga tanah.
Variabel lingkungan dan natural amenities lebih berpengaruh pada tingkat lokal.
Seperti pada penelitian Akhtar 2004, Gofette-Nagot et all 2009 dan penelitian
sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan penggunaan model regresi berganda
maupun model regresi spasial, variabel jarak memiliki pengaruh yang konsisten
terhadap harga tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan penggunaan
model regresi spasial dapat lebih menunjukkan perbedaan pengaruh terhadap
variasi estimasi harga tanah pada tingkat global maupun lokal.
Secara umum masih relatif sedikit penggunaan model regresi spasial untuk
analisis pola spasial harga tanah, sehingga dari berbagai penelitian tentang
harga tanah tersebut penulis terinspirasi untuk melengkapi penelitian tentang
nilai NJOP dengan penekanan analisa dan metode yang berbeda yaitu
menggunakan model regresi spasial. Penulis terinspirasi menggunakan dua
model yaitu model spasial lag dan model spasial error pada spesifikasi yang
sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011. dengan
menggunakan empat variabel independen yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke
puskesmas, kepadatan penduduk dan jumlah bidang tanah terdaftar.
3. METODE PENELITIAN Menurut Lembo 2006 dalam Kartika 2007 autokorelasi spasial adalah
korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat
juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang jarak,
waktu dan wilayah. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah
variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial
mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut
tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan bertetangga. Matrik
pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode, yaitu matrik
pembobotan dengan metode persinggungan sisi-sisi/ Rooks Case,
persinggungan sudut-sudut/ Bishops Case dan persinggungan sudut sisi/
Queen’s Case. Pada penelitian ini akan menggunakan penghitungan weight
matrix metode persinggungan sisi-sisi Rooks Case
Indeks Global Moran’s I Global Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x adalah 𝑥𝑥𝑖𝑖 dan 𝑥𝑥𝑗𝑗
dimana i ≠ j, i=1,2,...n, j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula
dari Moran’s I adalah pada persamaan 1. Paradis, 2010
�̅�𝑥 pada persamaan 1 merupakan rata-rata dari variabel x, 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑗𝑗 merupakan elemen
dari matrik pembobot, and 𝑆𝑆0 adalah penjumlahan dari elemen matrik pembobot,
dimana 𝑆𝑆0 = ∑ ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖 . Nilai dari indeks I ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi
pola menggunakan kriteria nilai indeks I, jika 𝐼𝐼 > 𝐼𝐼0, maka mempunyai pola
n
1i
2i0
n
1i
n
1jjiij
)x(x
)x)(xx(xw
S
NI
72
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sistematik atau mengelompok cluster, jika 𝐼𝐼 = 𝐼𝐼0, maka berpola menyebar tidak
merata tidak ada autokorelasi, dan 𝐼𝐼 < 𝐼𝐼0,, memiliki pola tidak sistematik atau
menyebar disperse. 𝐼𝐼0 merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E I= 𝐼𝐼0
= −1/n − 1 Lee dan Wong, 2001.
Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut:
𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial
𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi positif indeks Moran’s I bernilai positif
𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi negatif indeks Moran’s I bernilai negatif
Lee dan Wong 2001 menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah
satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Global Moran’s I. Moran’s
Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan
yang sudah distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah
distandarisasi.
Kuadran I terletak di kanan atas disebut High-High HH, menunjukkan
daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas disebut Low-
High LH, menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah
dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III terletak di kiri bawah disebut Low-
Low LL, menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi
daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV terletak di
kanan bawah disebut High-Low HL, menunjukkan daerah dengan nilai
pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah
Kartika, 2007.
Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran
HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang
positif cluster. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan
pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai
autokorelasi spasial yang negatif.
Local Indicator of Spatial Autocorrelation LISA Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian
menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I.
Berbeda dengan Global Moran’s I sebelumnya, Moran’s I pada LISA
mengindikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana
hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang
lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut Lee dan Wong, 2001.
73
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
sistematik atau mengelompok cluster, jika 𝐼𝐼 = 𝐼𝐼0, maka berpola menyebar tidak
merata tidak ada autokorelasi, dan 𝐼𝐼 < 𝐼𝐼0,, memiliki pola tidak sistematik atau
menyebar disperse. 𝐼𝐼0 merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E I= 𝐼𝐼0
= −1/n − 1 Lee dan Wong, 2001.
Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut:
𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial
𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi positif indeks Moran’s I bernilai positif
𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi negatif indeks Moran’s I bernilai negatif
Lee dan Wong 2001 menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah
satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Global Moran’s I. Moran’s
Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan
yang sudah distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah
distandarisasi.
Kuadran I terletak di kanan atas disebut High-High HH, menunjukkan
daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas disebut Low-
High LH, menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah
dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III terletak di kiri bawah disebut Low-
Low LL, menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi
daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV terletak di
kanan bawah disebut High-Low HL, menunjukkan daerah dengan nilai
pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah
Kartika, 2007.
Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran
HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang
positif cluster. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan
pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai
autokorelasi spasial yang negatif.
Local Indicator of Spatial Autocorrelation LISA Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian
menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I.
Berbeda dengan Global Moran’s I sebelumnya, Moran’s I pada LISA
mengindikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana
hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang
lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut Lee dan Wong, 2001.
𝐼𝐼𝑖𝑖 = 𝑧𝑧𝑖𝑖 ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑧𝑧𝑖𝑖𝑖𝑖
𝑧𝑧𝑖𝑖 dan 𝑧𝑧𝑖𝑖 pada persamaan di atas merupakan deviasi dari nilai rata-rata.
𝑧𝑧𝑖𝑖 = 𝑥𝑥𝑖𝑖 − �̅�𝑥2/𝛿𝛿
𝛿𝛿 adalah nilai standar deviasi dari 𝑥𝑥𝑖𝑖
Pengujian terhadap parameter 𝐼𝐼𝑖𝑖 dapat dilakukan sebagai berikut.
𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial
𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi spasial
Statistik uji:
𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝐼𝐼𝑖𝑖 − Ɛ𝐼𝐼𝑖𝑖
√𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝐼𝐼𝑖𝑖
dengan 𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan indeks LISA, 𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 merupakan nilai statistik uji indeks
LISA, Ɛ𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan 𝑉𝑉𝑣𝑣𝑣𝑣𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan nilai
varians dari indeks LISA.
𝐸𝐸(𝐼𝐼𝑖𝑖) = −𝑤𝑤𝑖𝑖/𝑛𝑛 − 1
𝑉𝑉𝑣𝑣𝑣𝑣(𝐼𝐼𝑖𝑖) = 𝑤𝑤𝑖𝑖.2
𝑛𝑛 − 𝑚𝑚4𝑚𝑚2
2
𝑛𝑛 − 1 − 2𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖ℎ
2𝑚𝑚4𝑚𝑚2
2 − 𝑛𝑛
(𝑛𝑛 − 1)𝑛𝑛 − 2 − 𝑤𝑤𝑖𝑖.2
𝑛𝑛 − 12
Dimana:
𝑤𝑤𝑖𝑖.2 = ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖
2𝑖𝑖 , 𝑖𝑖 ≠ 𝑗𝑗
𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖ℎ = ∑ ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑤𝑤𝑖𝑖ℎℎ≠𝑖𝑖𝑖𝑖≠𝑖𝑖
𝑤𝑤𝑖𝑖.2 = ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖
2
Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai 𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 terletak pada
pada |𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖| > 𝑍𝑍𝛼𝛼2
Model Empiris dan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
meliputi peta batas administrasi desa di Kecamatan Sukolilo dan Kayen
Kabupaten Pati dengan unit Desa dalam bentuk digital dan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai instansi Pemerintah. Adapun data jarak antara dua lokasi
titik diperoleh dari internet melalui situs Google Maps. Bentuk data yang
digunakan merupakan data cross section pada 33 wilayah administrasi desa.
Sumber data nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar serta data pada
variabel penjelas yang digunakan pada penelitian ini yaitu data sekunder yang
dikumpulkan dari GeoKKPWeb, BPS, Daftar Nominatif pemohon PTSL dan
Google Maps.
74
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Ada dua alasan penggunaan model regresi spasial. Pertama, karena
penggunaan model regresi Ordinary Least Square OLS untuk melakukan analisis
harga tanah kurang tepat sebab pada model OLS mensyaratkan bahwa tidak
adanya korelasi antar error sementara itu pada analisis spasial mensyaratkan
adanya korelasi antar error spatial autocorrelation sehingga penggunaan model
OLS untuk analisis harga tanah akan melanggar asumsi yang disyaratkan pada
model regresi spasial. Kedua, sesuai dengan kaidah hukum geografi pertama
Tobler 1970, harga tanah pada wilayah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh
harga tanah di wilayah sekitarnya atau adanya efek spatial dependence.
Sebagian penelitian harga tanah menggunakan salah satu dari kedua
model yaitu spasial lag Pykkonen, 2005; Huang et al., 2006 atau spasial error
Hardie et al., 2001; Bell and Bockstael, 2000, sementara sebagian yang lain
menggunakan kedua model spasial yaitu spasial lag dan spasial error dalam
spesifikasi yang sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011.
Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan kedua model spasial
yaitu model spasial lag dan spasial error, penggunaan model spasial lag
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya efek spatial dependence, sedangkan
penggunaan model spasial error ditujukan untuk mengidentifikasi adanya faktor
lain di luar faktor spatial dependence.
Penggunaan metode indeks Moran’s I sebelum dilakukan regresi spasial
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial. Kedua estimasi
model spasial lag dan spasial error akan dibandingkan untuk memberikan
konfirmasi bukti yang jelas mengenai ada atau tidaknya efek spatial dependence
serta ada atau tidaknya faktor lain selain efek spatial dependence seperti faktor
eksternalitas maupun faktor penentuan harga tanah oleh Pemerintah.
Untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-1 tentang bagaimana pola
spasial nilai NJOP dilakukan penghitungan nilai indeks Moran’s I, dengan terlebih
dahulu membuat matrik pembobot spasial weight matrix menggunakan metode
rook contiguity 33 baris x 33 kolom yang dianggap lebih sesuai untuk
menggambarkan korelasi spasial atau pengaruh dependensi spasial
ketetanggaan di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen.
Sementara itu, untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, digunakan model
regresi Maximum Likelihood Spatial Lag Model, dan Maximum Likelihood Spatial
Error Model, sebelum dilakukan analisis menggunakan model regresi spasial
terlebih dahulu akan dilakukan uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui model
75
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Ada dua alasan penggunaan model regresi spasial. Pertama, karena
penggunaan model regresi Ordinary Least Square OLS untuk melakukan analisis
harga tanah kurang tepat sebab pada model OLS mensyaratkan bahwa tidak
adanya korelasi antar error sementara itu pada analisis spasial mensyaratkan
adanya korelasi antar error spatial autocorrelation sehingga penggunaan model
OLS untuk analisis harga tanah akan melanggar asumsi yang disyaratkan pada
model regresi spasial. Kedua, sesuai dengan kaidah hukum geografi pertama
Tobler 1970, harga tanah pada wilayah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh
harga tanah di wilayah sekitarnya atau adanya efek spatial dependence.
Sebagian penelitian harga tanah menggunakan salah satu dari kedua
model yaitu spasial lag Pykkonen, 2005; Huang et al., 2006 atau spasial error
Hardie et al., 2001; Bell and Bockstael, 2000, sementara sebagian yang lain
menggunakan kedua model spasial yaitu spasial lag dan spasial error dalam
spesifikasi yang sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011.
Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan kedua model spasial
yaitu model spasial lag dan spasial error, penggunaan model spasial lag
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya efek spatial dependence, sedangkan
penggunaan model spasial error ditujukan untuk mengidentifikasi adanya faktor
lain di luar faktor spatial dependence.
Penggunaan metode indeks Moran’s I sebelum dilakukan regresi spasial
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial. Kedua estimasi
model spasial lag dan spasial error akan dibandingkan untuk memberikan
konfirmasi bukti yang jelas mengenai ada atau tidaknya efek spatial dependence
serta ada atau tidaknya faktor lain selain efek spatial dependence seperti faktor
eksternalitas maupun faktor penentuan harga tanah oleh Pemerintah.
Untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-1 tentang bagaimana pola
spasial nilai NJOP dilakukan penghitungan nilai indeks Moran’s I, dengan terlebih
dahulu membuat matrik pembobot spasial weight matrix menggunakan metode
rook contiguity 33 baris x 33 kolom yang dianggap lebih sesuai untuk
menggambarkan korelasi spasial atau pengaruh dependensi spasial
ketetanggaan di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen.
Sementara itu, untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, digunakan model
regresi Maximum Likelihood Spatial Lag Model, dan Maximum Likelihood Spatial
Error Model, sebelum dilakukan analisis menggunakan model regresi spasial
terlebih dahulu akan dilakukan uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui model
mana yang dapat lebih menjelaskan variasi estimasi harga tanah apakah model
spasial lag atau spasial error, sehingga model empiris yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Model Spasial Lag untuk nilai NJOP
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 = 𝜌𝜌𝜌𝜌𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 + 𝛽𝛽1𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽2𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽3𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 +𝛽𝛽4𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝜀𝜀𝑖𝑖
Model 1
Dimana:
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma
𝜌𝜌 : Koefisien spatial autoregressive
𝜌𝜌𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Spasial lag nilai NJOP
𝛽𝛽1sd 𝛽𝛽5 : Koefisien regresi
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke pusat kota dalam bentuk logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm
bentuk logaritma
𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i
Model 1. digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu
mengidentifikasi faktor spasial nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial lag
tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial
atau efek dependensi spasial pada model.
b. Model Spasial Error untuk nilai NJOP
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 = 𝛽𝛽1𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽2𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽3𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽4𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝜀𝜀𝑖𝑖
Model 2 dimana 𝜀𝜀𝑖𝑖 = 𝜆𝜆𝜌𝜌𝜀𝜀𝑖𝑖 + 𝜉𝜉
𝜀𝜀𝑖𝑖 = 𝐼𝐼 − 𝛾𝛾𝜌𝜌−1𝜉𝜉
Dimana:
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma
𝜆𝜆 : Koefisien spatial autoregressive
𝜌𝜌𝜀𝜀 : Spatial lag for the error nilai NJOP
𝛽𝛽1sd 𝛽𝛽5 : Koefisien regresi
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke pusat kota dalam bentuk logaritma
76
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm
bentuk logaritma
𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i
𝜉𝜉 : Distribusi normal dengan mean 0 dan varians σ2I
Model 2. ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu
mengidentifikasi faktor spasial dari nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial error
tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial
atau efek dependensi spasial pada model.
Metode Analisis Secara detail, langkah dan metode analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Melakukan pengumpulan data penelitian
2) Membuat matrik pembobot spasial Weight Matrix berdasarkan metode rook
contiguity
3) Menghitung nilai dan uji indeks Moran’s I I dan z value
4) Melakukan analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah
terdaftar menggunakan K-Mean Clustering dan hasil dari nilai indeks
Moran’s I
5) Menentukan model spasial yang lebih menjelaskan variasi estimasi harga
tanah menggunakan uji Lagrange Multiplier dengan tools OLS regression
6) Melakukan regresi spasial lag dan atau spasial error nilai NJOP
7) Melakukan uji model regresi spasial menggunakan uji Breush-Pagan dan
uji Likelihood Ratio
8) Melakukan analisis faktor yang memengaruhi nilai NJOP secara spasial
9) Melakukan interpretasi, pembahasan dan penarikan kesimpulan.
Uji signifikansi model regresi spasial yang digunakan pada penelitian ini
diantaranya adalah uji Lagrange Multiplier untuk menentukan pilihan model mana
yang lebih menjelaskan adanya korelasi spasial atau efek dependensi spasial
pada penelitian harga tanah secara empiris, apakah model spasial lag atau
spasial error Fingleton and Le Gallo, 2008; Goffette-Nagot et al., 2009;
77
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk
logaritma
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm
bentuk logaritma
𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i
𝜉𝜉 : Distribusi normal dengan mean 0 dan varians σ2I
Model 2. ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu
mengidentifikasi faktor spasial dari nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial error
tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial
atau efek dependensi spasial pada model.
Metode Analisis Secara detail, langkah dan metode analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Melakukan pengumpulan data penelitian
2) Membuat matrik pembobot spasial Weight Matrix berdasarkan metode rook
contiguity
3) Menghitung nilai dan uji indeks Moran’s I I dan z value
4) Melakukan analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah
terdaftar menggunakan K-Mean Clustering dan hasil dari nilai indeks
Moran’s I
5) Menentukan model spasial yang lebih menjelaskan variasi estimasi harga
tanah menggunakan uji Lagrange Multiplier dengan tools OLS regression
6) Melakukan regresi spasial lag dan atau spasial error nilai NJOP
7) Melakukan uji model regresi spasial menggunakan uji Breush-Pagan dan
uji Likelihood Ratio
8) Melakukan analisis faktor yang memengaruhi nilai NJOP secara spasial
9) Melakukan interpretasi, pembahasan dan penarikan kesimpulan.
Uji signifikansi model regresi spasial yang digunakan pada penelitian ini
diantaranya adalah uji Lagrange Multiplier untuk menentukan pilihan model mana
yang lebih menjelaskan adanya korelasi spasial atau efek dependensi spasial
pada penelitian harga tanah secara empiris, apakah model spasial lag atau
spasial error Fingleton and Le Gallo, 2008; Goffette-Nagot et al., 2009;
Feichtinger and Salhofer, 2013, karena spesifikasi model spasial lag harga tanah
dihasilkan dari interaksi ekonomi spasial antara fungsi permintaan tanah dan
penawaran tanah yang tersedia.
Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝜌𝜌 = 0 tidak terdapat efek korelasi spasial atau efek
dependensi spasial dan 𝐻𝐻1: 𝜌𝜌 ≠ 0 terdapat efek korelasi spasial atau efek
dependensi spasial, 𝐻𝐻0 akan ditolak apabila 𝐿𝐿𝐿𝐿 > 𝜒𝜒𝛼𝛼,12 atau p-value lebih kecil
dari nilai α Anselin, 1999
Selanjutnya, uji Breush-Pagan digunakan untuk mengidentifikasi apakah
terjadi masalah heteroskedastisitas dalam model spasial. Vandeveer, et al.,
1998; Akhtar, 2004; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011.
Prosedur Breusch-Pagan 1980 mengasumsikan bahwa ketika varians residual
adalah tidak konstan maka ia akan berhubungan dengan satu atau lebih variabel
dalam spesifikasi yang linier.
Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝛿𝛿1 = 𝛿𝛿2 = ⋯ = 𝛿𝛿𝑘𝑘 = 0 dan 𝐻𝐻1: 𝛿𝛿1 ≠ 0 Paling tidak
satu 𝛿𝛿1 ≠ 0. Hipotesis null yang digunakan adalah tidak terdapat
heterokedastisitas residual memiliki pola homoskedastis. Jika hipotesis null tidak
dapat ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang dimiliki tidak
mengalami masalah heterokedastisitas. Sedangkan penolakan terhadap
hipotesis null memberikan indikasi bahwa model mengalami heterokedastisitas
dan perlu dilakukan koreksi.
Uji ketiga yaitu uji Likelihood Ratio untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon secara spasial. Kleinbaum
and Klein, 2002; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011. Prinsip
dari uji likelihood ratio atau uji simultan ini adalah membandingkan nilai observasi
dari variabel respon dependent dengan nilai prediksi yang diperoleh dari model
dengan variabel independent dan tanpa variabel independent untuk kasus
univariat atau membandingkan persamaan model yang memasukkan variabel
tertentu dengan yang tidak untuk kasus multivariat
Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝛽𝛽𝑔𝑔𝑘𝑘 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel
penjelas terhadap variabel respon dan 𝐻𝐻1: 𝛽𝛽𝑔𝑔𝑘𝑘 ≠ 0 minimal ada satu variabel
penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon, untuk g = 1, 2, ....., N-1
dan k = 1, 2, .... , n dan dengan tingkat signifikansi alfa 0.05. Penarikan
kesimpulannya, jika 𝐻𝐻0 ditolak maka secara bersama-sama ada beberapa
variabel penjelas yang tidak signifikan berada dalam model atau ada beberapa
variabel penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon.
78
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar
untuk penentuan lokasi prioritas PTSL Lokasi penelitian ini yaitu 33 desa di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan
Kayen Kabupaten Pati seperti pada Gambar 3. Data yang digunakan yaitu data
nilai NJOP, data jarak ke pusat kota, data jarak ke puskesmas, data kepadatan
penduduk dan data jumlah bidang tanah terdaftar.
Gambar 3. Batas administrasi desa penelitian
Spatial pattern analysis pada penelitian ini menggunakan metode penilaian
indeks Global Moran’s I dimana metode ini menggunakan nilai statistik z untuk
mengevaluasi keberadaan pola spasial dari populasi dan menunjukkan tingkat
signifikansi, jika nilai statistik z hitung lebih dari 1.96 z-tabel maka tingkat
signifikansinya sebesar 5% dan jika nilai statistik z hitung lebih dari 2.57 z-tabel
maka tingkat signifikansinya sebesar 1%.
Tabel 1. Nilai Global Moran’s I nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar
Nilai Morans Estimasi (NJOP)
Estimasi (BT)
Moran’s Index 0.3918 0.2335
Expected Index -0.0161 -0.0161
Variance 0.0066 0.0049
z-score 4.6768 3.6568
p-value 0.0000*** 0.0000***
79
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar
untuk penentuan lokasi prioritas PTSL Lokasi penelitian ini yaitu 33 desa di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan
Kayen Kabupaten Pati seperti pada Gambar 3. Data yang digunakan yaitu data
nilai NJOP, data jarak ke pusat kota, data jarak ke puskesmas, data kepadatan
penduduk dan data jumlah bidang tanah terdaftar.
Gambar 3. Batas administrasi desa penelitian
Spatial pattern analysis pada penelitian ini menggunakan metode penilaian
indeks Global Moran’s I dimana metode ini menggunakan nilai statistik z untuk
mengevaluasi keberadaan pola spasial dari populasi dan menunjukkan tingkat
signifikansi, jika nilai statistik z hitung lebih dari 1.96 z-tabel maka tingkat
signifikansinya sebesar 5% dan jika nilai statistik z hitung lebih dari 2.57 z-tabel
maka tingkat signifikansinya sebesar 1%.
Tabel 1. Nilai Global Moran’s I nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar
Nilai Morans Estimasi (NJOP)
Estimasi (BT)
Moran’s Index 0.3918 0.2335
Expected Index -0.0161 -0.0161
Variance 0.0066 0.0049
z-score 4.6768 3.6568
p-value 0.0000*** 0.0000***
Penelitian ini menggunakan contiguity weight matrix berdasarkan metode
penghitungan rook contiguity dimana kelurahan yang bertetangga langsung
diberikan nilai 1 dan kelurahan yang tidak bertetangga secara langsung diberikan
nilai 0. Hasil analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar
disajikan pada Tabel 1. Nilai indeks Global Moran’s I yaitu 0.3918 dan 0.2335,
sedangkan nilai expected index 𝐸𝐸(𝐼𝐼) = 𝐼𝐼0 = − 1𝑛𝑛−1 = −0,0161 sehingga dapat
disimpulkan 0.3918 dan 0.2335 > -0.0161 atau 𝐼𝐼 > 𝐼𝐼0, pola spasial nilai NJOP
dan jumlah bidang tanah terdaftar memiliki pola yang sistematik atau
mengelompok (cluster).
Nilai z-score = 4.676851 dan p-value = 0.0000 menunjukkan bahwa
estimasi pola spasial nilai NJOP tersebut signifikan pada level 1%, artinya nilai
NJOP dan BT terdaftar pada daerah penelitian memiliki autokorelasi spasial yang
kuat.
Gambar 4. Pola spasial nilai NJOP
Berdasarkan analisa indeks LISA, didapatkan pola spasial nilai NJOP yang
disajikan pada Gambar 4. Lokasi prioritas PTSL tahun pertama dapat
dilaksanakan pada desa dengan tingkat signifikansi 99%, tahun kedua untuk
tingkat signifikansi 95% dan 90 %, lokasi desa sisanya dapat dilaksanakan pada
tahun ketiga. Sehingga pada tahun pertama, kegiatan PTSL dapat dilaksanakan
pada 6 desa yaitu Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan
Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen.
Kegiatan PTSL pada tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10 desa yaitu
Desa Prawoto, Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada Kecamatan
Sukolilo dan Desa Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada Kecamatan
Kayen. Sedangkan pada tahun ketiga dapat dilaksanakan pada 17 desa sisanya.
80
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Untuk variabel jumlah BT terdaftar dengan metode K-Mean clustering (5
klaster) didapatkan hasil sebagai berikut:
Gambar 5. Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar (K-Mean) Analisis pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean
menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017
sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun 2018
sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun 2019
sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun 2020
sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL tahun 2021
sebanyak 4 desa.
4.2 Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP disajikan pada Tabel
1. Ada 4 faktor yang digunakan pada penelitian ini yaitu jarak ke pusat kota
(LogCBD), jarak ke puskesmas terdekat (LogFacility), tingkat kepadatan
penduduk (LogKPDT) dan jumlah bidang tanah terdaftar (LogBT). Dengan
menggunakan model spasial lag, dapat disimpulkan bahwa dari keempat faktor
tersebut, hanya faktor jumlah bidang tanah terdaftar LogBT yang tingkat
signifikansinya mencapai 95%, sedangkan ketiga faktor lainnya hanya memiliki
tingkat signifikansi dibawah 80%. Model spasial lag nilai NJOP pada penelitian ini
yaitu
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = 0.3197𝑊𝑊𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.5039𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.2060𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.5331𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.0055𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 𝜀𝜀𝑖𝑖
81
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Untuk variabel jumlah BT terdaftar dengan metode K-Mean clustering (5
klaster) didapatkan hasil sebagai berikut:
Gambar 5. Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar (K-Mean) Analisis pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean
menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017
sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun 2018
sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun 2019
sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun 2020
sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL tahun 2021
sebanyak 4 desa.
4.2 Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP disajikan pada Tabel
1. Ada 4 faktor yang digunakan pada penelitian ini yaitu jarak ke pusat kota
(LogCBD), jarak ke puskesmas terdekat (LogFacility), tingkat kepadatan
penduduk (LogKPDT) dan jumlah bidang tanah terdaftar (LogBT). Dengan
menggunakan model spasial lag, dapat disimpulkan bahwa dari keempat faktor
tersebut, hanya faktor jumlah bidang tanah terdaftar LogBT yang tingkat
signifikansinya mencapai 95%, sedangkan ketiga faktor lainnya hanya memiliki
tingkat signifikansi dibawah 80%. Model spasial lag nilai NJOP pada penelitian ini
yaitu
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = 0.3197𝑊𝑊𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.5039𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.2060𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.5331𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.0055𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 𝜀𝜀𝑖𝑖
Model regresi spasial lag NJOP menghasilkan nilai estimasi yang disajikan
pada Tabel 2, terlihat bahwa nilai R-square 0.3527, artinya variasi nilai variabel
independen secara spasial dapat menjelaskan variasi nilai NJOP sebesar 35.27
% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Faktor lag
atau ketetanggaan pada model spasial lag memberikan pengaruh sebesar
31,97%, faktor lag ini lebih rendah dari model spasial eror yang sebesar 39,79%.
Hal ini menunjukkan bahwa model spasial error lebih menjelaskan variasi nilai
NJOP, faktor penentuan nilai NJOP oleh Pemerintah diindikasikan sebagai
penyebab kuatnya pengaruh spasial error daripada faktor permintaan dan
penawaran tanah oleh mekanisme pasar.
Tabel 2. Hasil Regresi Model Spasial Lag dan Spasial Error
Nilai NJOP Spatial Lag Spatial Error Variabel Koefisien
Std.Error Koefisien Std.Error
W_Lag Rho
0.3197
0.2018
CONSTANT 3.7467
1.4220
5.6615
0.9912
LOGCBD -0.5039
0.3790
-0.6573
0.4484
LOGFacility -0.2060
0.17.92
-0.3160
0.2082
LOGKPDT -0.5331
0.1699
0.1467*
0.1640
LOGBT 0.0055
0.0892**
0.0151
0.0867*
ErrorLambda 0.3979
0.1942*
R-square 0.3527 0.3702
*sig 0.1, **sig 0.05, ***sig 0.01
Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.5039 bernilai negatif
artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP
akan naik sebesar 50,39% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku
82
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.2060,
kepadatan penduduk sebesar -0.5331, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0055,
variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP.
Sementara itu untuk model spasial error nilai NJOP pada penelitian ini yaitu
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = −0.6573𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.3160𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.1467𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.0151𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.3979𝑊𝑊Ɛ + 𝜀𝜀𝑖𝑖
Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.6573 bernilai negatif
artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP
akan naik sebesar 65,73% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku
untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.3160,
kepadatan penduduk sebesar -0.1467, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0151,
variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP. Sementara
itu, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai NJOP baik pada model
spasial lag maupun model spasial eror yaitu jumlah bidang tanah terdaftar
(LogBT). Model Spasial Error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP daripada
model spasial lag ditunjukkan dengan koefisien lambda yang lebih tinggi
daripada koefisien lag rho yaitu 0,3979 > 0,3197.
Temuan ini menunjukkan bahwa variabel jumlah bidang tanah terdaftar dan
variabel tingkat kepadatan penduduk lebih memengaruhi nilai NJOP daripada
variabel jarak ke pusat kota dan variabel jarak ke puskesmas terdekat.
5. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan diantaranya sebagai
berikut:
a. Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau
mengelompok. Model spasial error (SEM) lebih menjelaskan variasi nilai
NJOP daripada model spasial lag (SLM), akan tetapi koefisien lag ρ rho
31,97% dan λ lambda 39,79% belum cukup kuat dalam menunjukkan
pengaruh spatial dependence. Variabel yang dapat memengaruhi pola dan
nilai NJOP yaitu variabel tingkat kepadatan penduduk dan variabel jumlah
bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf.
b. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah BT terdaftar dengan
menggunakan model spasial dan metode K-Mean Clustering dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi prioritas PTSL.
83
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.2060,
kepadatan penduduk sebesar -0.5331, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0055,
variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP.
Sementara itu untuk model spasial error nilai NJOP pada penelitian ini yaitu
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = −0.6573𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.3160𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.1467𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.0151𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.3979𝑊𝑊Ɛ + 𝜀𝜀𝑖𝑖
Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.6573 bernilai negatif
artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP
akan naik sebesar 65,73% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku
untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.3160,
kepadatan penduduk sebesar -0.1467, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0151,
variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP. Sementara
itu, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai NJOP baik pada model
spasial lag maupun model spasial eror yaitu jumlah bidang tanah terdaftar
(LogBT). Model Spasial Error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP daripada
model spasial lag ditunjukkan dengan koefisien lambda yang lebih tinggi
daripada koefisien lag rho yaitu 0,3979 > 0,3197.
Temuan ini menunjukkan bahwa variabel jumlah bidang tanah terdaftar dan
variabel tingkat kepadatan penduduk lebih memengaruhi nilai NJOP daripada
variabel jarak ke pusat kota dan variabel jarak ke puskesmas terdekat.
5. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan diantaranya sebagai
berikut:
a. Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau
mengelompok. Model spasial error (SEM) lebih menjelaskan variasi nilai
NJOP daripada model spasial lag (SLM), akan tetapi koefisien lag ρ rho
31,97% dan λ lambda 39,79% belum cukup kuat dalam menunjukkan
pengaruh spatial dependence. Variabel yang dapat memengaruhi pola dan
nilai NJOP yaitu variabel tingkat kepadatan penduduk dan variabel jumlah
bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf.
b. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah BT terdaftar dengan
menggunakan model spasial dan metode K-Mean Clustering dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi prioritas PTSL.
c. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP menunjukkan bahwa kegiatan
PTSL tahun pertama dapat dilaksanakan pada 6 desa yaitu Desa Wegil,
Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan Desa Sundoluhur,
Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen. Kegiatan PTSL pada
tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10 desa yaitu Desa Prawoto,
Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada Kecamatan Sukolilo dan
Desa Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada Kecamatan
Kayen. Sedangkan pada tahun ketiga dapat dilaksanakan pada 17 desa
sisanya.
d. Analisis pemetaan pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean
menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017
sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun
2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun
2019 sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun
2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL
tahun 2021 sebanyak 4 desa.
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, Shamshad 2004. Spatial Distribution of Land Value in Karachi City. A
Thesis Submitted to The Department of Geography, University of Karachi
for The Degree of Doctor of Philosophy
Alonso, William, 1964. A Theory of the urban land market. Paper in Regional
Science. Vol 6, Issue 1. pp.149-157 Baumont, Catherine dan Jean-Marie
Huriot. 1998. “The monocentric model and after”. Recherches
Economiques de Louvain / Louvain Economic Review 64, 23-43
Brigham, Eugene F. Nov 1965. The Determinant of Residential Land Value. Land
Economics, Vol. 41 No. 4, pp. 325-334.
Cahjadi, P. 2013. Penerapan Agent-Based Computational Economics pada
Model Monocentric City. Thesis. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi.
FEUI.
Enemark, S. 2005. A Cadastral Tale. Proceedings of Week of Geomatics,
Bogota, Columbia, 8-13 August 2005.
84
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Fingleton, B. and J. Le Gallo 2008. “Estimating spatial models with endogenous
variables, a spatial lag and spatially dependent disturbances: Finite sample
properties”, Papers in Regional Science, Vol. 87, No. 3, pp. 319-339
Friedmann, John., 1964. Regional planning as a field of study. In John Friedmann
and William
Goffette-Nagot, Florence, et all 2009. A spatial analysis of residential land prices
in Belgium: accessibility, linguistic border and environmental amenities.
Grotewold, Andreas. 1959. “Von Thunen in Retrospect”. Economic Geography
35: 346-355. http://www.jstor.org/stable/142467
Hall, Peter, ed., 1966 Von Thunen's Isolated State. Oxford: Pergamon, Hardie, I.
W., T.A. Narayan and B. L. Gardner 2001, “The Joint Influence of
Agricultural and Nonfarm Factors on Real Estate Values: An Application to
the Mid-Atlantic Region”, American Journal of Agricultural Economics, Vol.
83, No. 1, pp. 120–132.
Huang, H., Miller, G.Y., et all. 2006. “Factors influencing Illinois farmland values”,
American Journal of Agricultural Economics, Vol. 88, No. 2, pp. 458-470.
Kleinbaum, David G and Klein, Mitchel. 2002. Logistic Regression. New York:
Springer-Verlag
Johnson, Michael S., et all, Nov 1997. CBD Land Value and Multiple
Externalities, Land Economics, Vol. 63 No.4, pp.337-347
Kartika Yoli, 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota
Bogor tahun 2005. [Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor
Lee Jay & Wong S W David. 2000. Statistical Analysis with Arcview GIS. John
Willey & Sons, INC: United Stated of America
Paradis, Emanuel. 2010. Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/
~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]
Pyykkönen, P. 2005, “Spatial analysis of factors affecting Finnish farmland
prices”, Paper presented at the XIth Congress of the EAAE, Copenhagen,
22-27.8.2005
Von Thünen, J. 1826, The Isolated State, English edn, London, Pergamon Press
Wheaton, William C. 1977. “Income and Urban Residence: An Analysis of
Consumer Demand for Location”. The American Economic Review 67:620-
631. http://www.jstor.org/stable/1813394
85
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Fingleton, B. and J. Le Gallo 2008. “Estimating spatial models with endogenous
variables, a spatial lag and spatially dependent disturbances: Finite sample
properties”, Papers in Regional Science, Vol. 87, No. 3, pp. 319-339
Friedmann, John., 1964. Regional planning as a field of study. In John Friedmann
and William
Goffette-Nagot, Florence, et all 2009. A spatial analysis of residential land prices
in Belgium: accessibility, linguistic border and environmental amenities.
Grotewold, Andreas. 1959. “Von Thunen in Retrospect”. Economic Geography
35: 346-355. http://www.jstor.org/stable/142467
Hall, Peter, ed., 1966 Von Thunen's Isolated State. Oxford: Pergamon, Hardie, I.
W., T.A. Narayan and B. L. Gardner 2001, “The Joint Influence of
Agricultural and Nonfarm Factors on Real Estate Values: An Application to
the Mid-Atlantic Region”, American Journal of Agricultural Economics, Vol.
83, No. 1, pp. 120–132.
Huang, H., Miller, G.Y., et all. 2006. “Factors influencing Illinois farmland values”,
American Journal of Agricultural Economics, Vol. 88, No. 2, pp. 458-470.
Kleinbaum, David G and Klein, Mitchel. 2002. Logistic Regression. New York:
Springer-Verlag
Johnson, Michael S., et all, Nov 1997. CBD Land Value and Multiple
Externalities, Land Economics, Vol. 63 No.4, pp.337-347
Kartika Yoli, 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota
Bogor tahun 2005. [Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor
Lee Jay & Wong S W David. 2000. Statistical Analysis with Arcview GIS. John
Willey & Sons, INC: United Stated of America
Paradis, Emanuel. 2010. Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/
~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]
Pyykkönen, P. 2005, “Spatial analysis of factors affecting Finnish farmland
prices”, Paper presented at the XIth Congress of the EAAE, Copenhagen,
22-27.8.2005
Von Thünen, J. 1826, The Isolated State, English edn, London, Pergamon Press
Wheaton, William C. 1977. “Income and Urban Residence: An Analysis of
Consumer Demand for Location”. The American Economic Review 67:620-
631. http://www.jstor.org/stable/1813394
Biodata Penulis Nama : Catur Kuat Purnomo, ST, MSE, MM
TTL : Juwana, Pati, 21 Mei 1981
Pendidikan :
- SD sd SMU di Pati
- D3 Penginderaan Jauh dan SIG UGM 2002
- S1 Teknik Geodesi Geomatika UGM 2004
- S2 Ilmu Ekonomi-Wilayah UI 2013
- S2 Manajemen Keuangan UGM 2007
Pekerjaan :
- Analis pada PT. Surveyor Indonesia (2004-2005).
- Analis Pengukuran dan Pemetaan Dasar pada Direktorat Pengukuran dan
Pemetaan Dasar Kementerian ATR/ BPN (2008-Juni 2017)
- Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Pati (Juli 2017 sd sekarang)
Korespondensi :
E-mail : [email protected]
86
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
SISTEM PROYEKSI DISTORSI MINIMUM UNTUK MENSUKSESKAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP
Cecep Subarya
Pemerhati Keagrariaan dan Informasi Geospasial
ABSTRAK
Ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah atau disingkat PPT adalah merupakan
peta kerja, dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah
sistematis lengkap. Dan PPT berkualitas optimal dan kekinian, mengacu pada
satu sistem Geo-referensi dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.
Selama ini, perlakuan terhadap titik-titik koordinat planimetrik produk dari suatu
sistem proyeksi peta, seolah-olah terletak di permukaan rupabumi. Yang
digunakan sebagai titik-titik koordinat planimetrik acuan pada pengukuran
kadastral (terestris) dan pada proses koreksi geometris citra-udara metode
fotogrametris. Padahal, sesungguhnya letak titik-titik koordinat planimetrik itu,
selalu berada di bidang-proyeksi atau muka-peta suatu bidang elipsoid referensi
di perut Bumi-bulat, yang secara geometris “by default” nilai konstanta berada di
kedalaman 635 m untuk TM3 dan di kedalaman 2,5 km untuk UTM.
Sedangkan titik koordinat planimetrik tidak selalu ‘segaris tegak lurus’ terhadap
titik pasangannya di rupabumi, karena adanya : kelengkungan Bumi; variasi
elevasi; dan jauhnya dari meridian sentral proyeksi, menjadikan ‘segaris miring’
dari titik di tanah ke titik proyeksi terus kearah geosentris. Maka, bila titik
koordinat planimetrik acuan diposisikan di tanah akan terjadi suatu DISLOKASI,
dan berimplikasi sebagai perambatan kesalahan yang menimbulkan deviasi pada
proses berikutnya dalam menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi
yang tergambarkan di peta, menjadi tidak ‘seamless’ secara geometris.
Sebagai suatu metode alternatif untuk pemecahan masalah yang disampaikan
pada makalah ini adalah dengan menggunakan Sistem Proyeksi Distorsi
Minimum atau disingkat SPDM, yang pada dasarnya merupakan suatu metode
bagaimana agar bidang-proyeksi atau muka-peta pada cakupan area yang
dipetakan, di desain paling mendekati permukaan rupabumi. Yaitu untuk
meminimalisir distorsi dengan memperhitungkan tidak hanya efek kelengkungan
Bumi, tetapi termasuk variasi alami tinggi elipsoid di rupabumi.
87
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
SISTEM PROYEKSI DISTORSI MINIMUM UNTUK MENSUKSESKAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP
Cecep Subarya
Pemerhati Keagrariaan dan Informasi Geospasial
ABSTRAK
Ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah atau disingkat PPT adalah merupakan
peta kerja, dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah
sistematis lengkap. Dan PPT berkualitas optimal dan kekinian, mengacu pada
satu sistem Geo-referensi dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.
Selama ini, perlakuan terhadap titik-titik koordinat planimetrik produk dari suatu
sistem proyeksi peta, seolah-olah terletak di permukaan rupabumi. Yang
digunakan sebagai titik-titik koordinat planimetrik acuan pada pengukuran
kadastral (terestris) dan pada proses koreksi geometris citra-udara metode
fotogrametris. Padahal, sesungguhnya letak titik-titik koordinat planimetrik itu,
selalu berada di bidang-proyeksi atau muka-peta suatu bidang elipsoid referensi
di perut Bumi-bulat, yang secara geometris “by default” nilai konstanta berada di
kedalaman 635 m untuk TM3 dan di kedalaman 2,5 km untuk UTM.
Sedangkan titik koordinat planimetrik tidak selalu ‘segaris tegak lurus’ terhadap
titik pasangannya di rupabumi, karena adanya : kelengkungan Bumi; variasi
elevasi; dan jauhnya dari meridian sentral proyeksi, menjadikan ‘segaris miring’
dari titik di tanah ke titik proyeksi terus kearah geosentris. Maka, bila titik
koordinat planimetrik acuan diposisikan di tanah akan terjadi suatu DISLOKASI,
dan berimplikasi sebagai perambatan kesalahan yang menimbulkan deviasi pada
proses berikutnya dalam menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi
yang tergambarkan di peta, menjadi tidak ‘seamless’ secara geometris.
Sebagai suatu metode alternatif untuk pemecahan masalah yang disampaikan
pada makalah ini adalah dengan menggunakan Sistem Proyeksi Distorsi
Minimum atau disingkat SPDM, yang pada dasarnya merupakan suatu metode
bagaimana agar bidang-proyeksi atau muka-peta pada cakupan area yang
dipetakan, di desain paling mendekati permukaan rupabumi. Yaitu untuk
meminimalisir distorsi dengan memperhitungkan tidak hanya efek kelengkungan
Bumi, tetapi termasuk variasi alami tinggi elipsoid di rupabumi.
Dalam makalah ini dijelaskan prosedur yang digunakan pada suatu cakupan area
yang dipetakan dengan sebaran titik-titik dasar teknis yang ditentukan
posisi/koordinat lintang (), bujur (), tinggi (h), melalui pengamatan konstelasi
satelit navigasi Global Positioning System (GPS), dan untuk mendapatkan nilai
besaran distorsi minimum melalui konstanta faktor skala ('ko') dari hitungan rata-
rata tinggi elipsoid referensi World Geodetic System 1984 (WGS84).
Kajian komparatif dan deskriptif dilakukan pada suatu cakupan area yang
dipetakan, di daerah sekitar meridian sentral dan/atau di sekitar batas zona
proyeksi. Dengan membandingkan hasil konversi dari koordinat bidang-lengkung:
, (“tanpa” h WGS84) ke koordinat bidang-datar planimetrik : timur [x], utara [y]
produk TM3 dan UTM, dan dari , , hrata-rata WGS84 ke koordinat planimetrik
produk SPDM.
Hasil perbandingan distorsi, mengindikasikan bahwa solusi untuk mendapatkan
koordinat planimetrik produk SPDM, ditentukan selalu tetap lebih kecil dari 20
ppm (part-per-million), lebih unggul bila dibandingkan distorsi produk TM3 dan
UTM yang dominansi lebih besar dari 20 ppm sampai ratusan ppm.
PPT yang berbasiskan produk SPDM di antaranya akan memberikan kepastian
untuk menghasilkan nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, dari hasil hitungan
menggunakan data koordinat-koordinat planimetrik yang tertulis pada peta, sama
dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang tanah pasangannya
di rupa Bumi-bulat faktual.
Sehingga batas-batas dan luas bidang tanah pada PPT tersebut tatkala
direkonstruksi di lapangan tidak akan mengalami perbedaan berarti. Begitu pun
data fisik batas-batas dan luas bidang tanah hasil pengukuran kadastral teliti di
lapangan, dapat diplot atau digambarkan ‘matching atau seamless’ pada peta.
Selain itu koordinat planimetrik produk SPDM dapat digunakan sebagai alas
untuk pembuatan peta skala : besar; menengah, kecil yang akan memudahkan
dalam pengintegrasian menjadi satu peta nasional “seamless”; dapat
interoperabilitas bertukar-pakai data di antara para pemangku kepentingan;
menghindari peta atau informasi geospasial yang tumpang-tindih; dan terciptanya
tata kelola tertib administrasi pertanahan yang modern di Indonesia.
88
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada Hari Agraria Nasional tahun 2017 ini, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa sampai dengan
akhir 2016, baru sekitar 45% jumlah bidang tanah yang sudah terdaftar di seluruh
Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
disingkat Kementerian ATR/BPN melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) bertekad menyelesaikan pemetaan, registrasi dan sertipikasi
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia hingga 2025.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, target sertipikasi tanah rakyat melalui
Prona kurang dari 1 juta bidang per tahun, maka pada tahun 2017 ini targetnya
ditingkatkan menjadi 5 juta bidang tanah, kemudian meningkat lagi menjadi 7 juta
bidang tanah pada tahun 2018, dan pada tahun 2019 ditingkatkan menjadi 9 juta
sertipikat tanah akan diterbitkan.
Sesuai aturan yang ada, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
kegiatan pengukuran kadastral (terestris), registrasi, sertipikasi dan pemetaan
bidang tanah dalam penetapan suatu lokasi PTSL, sebaiknya
mempertimbangkan ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
atau disingkat PPTSL.
Pada dasarnya, peta dapat dipahami sebagai representasi dari seluruh
atau sebagian permukaan bumi-bulat dengan elevasi variatif oleh adanya gunung
dan lembah, yang kemudian direpresentasikan dalam gambar Bumi-datar.
Sebuah peta atau gambar bumi-datar, dapat dibuat dengan menggunakan
korelasi matematis yang mengacu pada satu sistem referensi geospasial, melalui
suatu sistem proyeksi, di mana ada skala tertentu, di dalamnya.
Dalam pelaksanaan kegiatan program pengukuran jutaan bidang tanah
tersebut, yang diukur langsung dengan pengukuran kadastral teliti, selain untuk
menentukan batas-batas dan luas bidang tanah, juga untuk diketahui letak
(posisi) geospasial batas dan luas bidang tanah di permukaan Bumi. Artinya,
pengukuran kadastral bidang tanah harus mengacu pada satu sistem referensi
geospasial dan satu sistem proyeksi, yang sama digunakan pada PPTSL.
Kemudian, letak dan luas bidang tanah produk pengukuran kadastral dapat
digambarkan (di-plot) pada PPTSL dengan selaras atau “seamless”. Demikian
pula, batas dan luas bidang-bidang tanah yang tertulis berupa koordinat pada
89
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada Hari Agraria Nasional tahun 2017 ini, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa sampai dengan
akhir 2016, baru sekitar 45% jumlah bidang tanah yang sudah terdaftar di seluruh
Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
disingkat Kementerian ATR/BPN melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) bertekad menyelesaikan pemetaan, registrasi dan sertipikasi
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia hingga 2025.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, target sertipikasi tanah rakyat melalui
Prona kurang dari 1 juta bidang per tahun, maka pada tahun 2017 ini targetnya
ditingkatkan menjadi 5 juta bidang tanah, kemudian meningkat lagi menjadi 7 juta
bidang tanah pada tahun 2018, dan pada tahun 2019 ditingkatkan menjadi 9 juta
sertipikat tanah akan diterbitkan.
Sesuai aturan yang ada, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
kegiatan pengukuran kadastral (terestris), registrasi, sertipikasi dan pemetaan
bidang tanah dalam penetapan suatu lokasi PTSL, sebaiknya
mempertimbangkan ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
atau disingkat PPTSL.
Pada dasarnya, peta dapat dipahami sebagai representasi dari seluruh
atau sebagian permukaan bumi-bulat dengan elevasi variatif oleh adanya gunung
dan lembah, yang kemudian direpresentasikan dalam gambar Bumi-datar.
Sebuah peta atau gambar bumi-datar, dapat dibuat dengan menggunakan
korelasi matematis yang mengacu pada satu sistem referensi geospasial, melalui
suatu sistem proyeksi, di mana ada skala tertentu, di dalamnya.
Dalam pelaksanaan kegiatan program pengukuran jutaan bidang tanah
tersebut, yang diukur langsung dengan pengukuran kadastral teliti, selain untuk
menentukan batas-batas dan luas bidang tanah, juga untuk diketahui letak
(posisi) geospasial batas dan luas bidang tanah di permukaan Bumi. Artinya,
pengukuran kadastral bidang tanah harus mengacu pada satu sistem referensi
geospasial dan satu sistem proyeksi, yang sama digunakan pada PPTSL.
Kemudian, letak dan luas bidang tanah produk pengukuran kadastral dapat
digambarkan (di-plot) pada PPTSL dengan selaras atau “seamless”. Demikian
pula, batas dan luas bidang-bidang tanah yang tertulis berupa koordinat pada
PPTSL dapat direkonstruksi batas-batasnya di lapangan tanpa ada perubahan
ukuran, bentuk, dan luas, sama dengan hasil pengukuran kadastral.
Namun, realitas menunjukkan bahwa hasil hitungan jarak dan luas bidang
tanah berdasarkan koordinat pada peta, tatkala direkonstruksi tidak selalu sama
dan/atau berbeda signifikan dengan ukuran faktual di lapangan. Sebaliknya,
pengukuran kadastral teliti batas dan luas bidang tanah di lapangan, tatkala di
gambarkan pada peta, secara geometris tidak selalu ‘sesuai’ atau “matching”.
Hal ketidak-sesuaian ini, sering terjadi pada cakupan area pegunungan dan yang
mendekati atau sekitar batas zona proyeksi peta.
Sebenarnya substansi penyebab ketidak-sesuaian tersebut yakni akibat
daripada kandungan besaran distorsi koordinat planimetrik produk suatu sistem
proyeksi yang tidak diperhitungkan dan dikendalikan secara terukur. Dan distorsi,
dipahami sebagai posisi nilai koordinat planimetrik pada peta, tidak sepenuhnya
mewakili keadaan faktual di rupabumi.
Pada makalah ini disampaikan suatu alternatif untuk meminimalisir distorsi
pada koordinat planimetrik produk sistem proyeksi TM3 yang digunakan selama
ini, agar menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian, maka ia harus
menggunakan apa yang disebut Sistem Proyeksi Distorsi Minimum atau disingkat
SPDM.
1.2. Perumusan Masalah Sistem Koordinat Planimetrik Nasional (SKPN), selama ini lebih dikenal
sebagai sistem proyeksi konformal transverse mercator yaitu TM6 atau
Universal Transverse Mercator (UTM) dan TM3. SKPN didesain untuk
memudahkan dalam bekerja dengan menggunakan koordinat planimetrik 2-
dimensi bagi praktisi survei dan pemetaan, teknik rekayasa, sistem/sains
informasi geografi, sistem informasi pertanahan, dan pekerjaan lainnya, dan
sekaligus mengacu pada Datum Geodesi, yang pada saat ini dinamakan Sistem
Referensi Geospasial Indonesia (SRGI).
Aspek fungsionalisasi SKPN dan SRGI tersebut, akan tidak optimal dalam
implementasinya, bilamana di antaranya : a) kandungan distorsi pada koordinat
planimetrik tidak dapat dikendalikan; b) nilai ukuran jarak dan luas bidang-bidang
tanah pada peta, berbeda signifikan dengan ukuran jarak dan luas bidang
pasangannya di permukaan rupabumi faktual; c) menimbulkan kesulitan dalam
pemutakhiran peta yaitu, pada proses migrasi, sinkronisasi dan integrasi
karakteristik objek-objek di rupabumi yang tergambarkan pada peta.
90
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Namun dengan dukungan ketersediaan teknologi canggih yang serba
digital sekarang ini, dan untuk melayani akan kebutuhan tuntutan di masa
datang, sudah pada saatnya untuk mendesain ulang kebijakan SKPN yang
selama ini digunakan. Satu alternatif pilihan logis adalah dengan
mengimplementasikan SPDM, agar aspek fungsionalisasi tersebut di atas
tercapai optimal.
Dalam SPDM ini ketinggian variatif pada cakupan area yang dipetakan ikut
diperhitungkan, dan disesuaikan dengan tinggi elipsoid referensi rata-rata
permukaan bumi yang nyata. Di mana yang terjadi selama ini, ketinggian variatif
itu ditentukan oleh satu nilai tinggi elipsoid yang (bersifat) konstan diberlakukan
global, sehingga kerap ia menjauh dari realitas faktualnya.
SPDM layak diimplementasikan, supaya tidak menafikan: pencapaian
ketelitian milimeter pada penentuan posisi (, , h) berbasiskan pengamatan
konstelasi satelit navigasi; pengukuran kadastral (sudut, jarak, azimut) teliti; dan
resolusi piksel sentimeter pada produk citra-udara. Di mana, akhirnya beberapa
pencapaian tersebut akan menjadi ter(di)degradasi signifikan akibat kandungan
distorsi koordinat planimetrik yang dijadikan acuan, produk dari penggunaan
sistem proyeksi peta tidak tepat guna.
Makalah ini mengulas algoritma SPDM sebagai suatu alternatif dari SKPN
yang digunakan selama ini, melalui uji komparatif hasil koordinat planimetrik
berbasiskan SPDM, TM3 dan UTM produk dari konversi koordinat (, , h) pada
titik-titik kontrol geodesi faktual sebagai titik-titik acuan, yang diukur dengan
pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS). Selanjutnya dianalisa,
diverifikasi, dan divalidasi untuk menunjukkan nilai besaran distorsi masing-
masing ke-3 sistem proyeksi tersebut, yang mengakibatkan terjadinya dislokasi
koordinat titik-titik acuan di rupabumi.
1.3. Tujuan dan Manfaat Bahasan pada makalah ini bertujuan untuk memberikan suatu solusi
alternatif, agar dapat menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian,
yang akan mampu memenuhi sebuah diktum dalam dunia digital geospasial
global: ‘what I see and written on the map is what I get exactly on the Earth
surface’; atau tatkala peta digital di ‘zoom-in, zoom-out’ tetap jelas dan akurat.
Sebuah peta yang akurat dan bernilai, akan mampu di antaranya
menunjukkan nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah (dari hitungan nilai
koordinat di dua titik atau lebih) pada peta, akan sama dengan atau paling
91
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Namun dengan dukungan ketersediaan teknologi canggih yang serba
digital sekarang ini, dan untuk melayani akan kebutuhan tuntutan di masa
datang, sudah pada saatnya untuk mendesain ulang kebijakan SKPN yang
selama ini digunakan. Satu alternatif pilihan logis adalah dengan
mengimplementasikan SPDM, agar aspek fungsionalisasi tersebut di atas
tercapai optimal.
Dalam SPDM ini ketinggian variatif pada cakupan area yang dipetakan ikut
diperhitungkan, dan disesuaikan dengan tinggi elipsoid referensi rata-rata
permukaan bumi yang nyata. Di mana yang terjadi selama ini, ketinggian variatif
itu ditentukan oleh satu nilai tinggi elipsoid yang (bersifat) konstan diberlakukan
global, sehingga kerap ia menjauh dari realitas faktualnya.
SPDM layak diimplementasikan, supaya tidak menafikan: pencapaian
ketelitian milimeter pada penentuan posisi (, , h) berbasiskan pengamatan
konstelasi satelit navigasi; pengukuran kadastral (sudut, jarak, azimut) teliti; dan
resolusi piksel sentimeter pada produk citra-udara. Di mana, akhirnya beberapa
pencapaian tersebut akan menjadi ter(di)degradasi signifikan akibat kandungan
distorsi koordinat planimetrik yang dijadikan acuan, produk dari penggunaan
sistem proyeksi peta tidak tepat guna.
Makalah ini mengulas algoritma SPDM sebagai suatu alternatif dari SKPN
yang digunakan selama ini, melalui uji komparatif hasil koordinat planimetrik
berbasiskan SPDM, TM3 dan UTM produk dari konversi koordinat (, , h) pada
titik-titik kontrol geodesi faktual sebagai titik-titik acuan, yang diukur dengan
pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS). Selanjutnya dianalisa,
diverifikasi, dan divalidasi untuk menunjukkan nilai besaran distorsi masing-
masing ke-3 sistem proyeksi tersebut, yang mengakibatkan terjadinya dislokasi
koordinat titik-titik acuan di rupabumi.
1.3. Tujuan dan Manfaat Bahasan pada makalah ini bertujuan untuk memberikan suatu solusi
alternatif, agar dapat menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian,
yang akan mampu memenuhi sebuah diktum dalam dunia digital geospasial
global: ‘what I see and written on the map is what I get exactly on the Earth
surface’; atau tatkala peta digital di ‘zoom-in, zoom-out’ tetap jelas dan akurat.
Sebuah peta yang akurat dan bernilai, akan mampu di antaranya
menunjukkan nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah (dari hitungan nilai
koordinat di dua titik atau lebih) pada peta, akan sama dengan atau paling
mendekati nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah di rupabumi faktual. Dan
sebuah sistem semacam SPDM muncul belakangan hari ini, memang untuk
mewujudkan harapan di atas.
Pemanfaatan SPDM sebagai alas pembuatan PPTSL adalah jalan keluar
yang akan mereduksi kemungkinan-kemungkinan potensi konflik secara
maksimal (seperti akibat tumpang tindih lahan pada peta, dsb), bahkan bisa jadi
nol. Mudahnya proses migrasi, sinkronisasi, dan integrasi produk peta berbagai
skala berbasiskan SPDM, dilakukan dengan terlebih dulu mengkonversi
koordinat planimetrik ke bentuk koordinat lintang, bujur faktual the real world.
2. TINJAUAN PUSTAKA Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang selanjutnya disingkat UUPA 5/1960. Pada Pasal 19 ayat (1)
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Dan ayat (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1)
pasal ini meliputi : a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam rangka peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan
memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dan
perlindungan hukum hak atas tanah rakyat secara adil dan merata, serta
mendorong pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi rakyat
khususnya, perlu dilakukan percepatan pendaftaran tanah lengkap di seluruh
wilayah Republik Indonesia, yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya
disingkat PP Pendaftaran Tanah 24/2017. Dan untuk pelaksanaannya,
Kementerian ATR/BPN telah menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap,
yang selanjutnya disingkat Permen ATR/Kepala BPN 35/2016.
Kemudian, sebagai tindak-lanjut dari Permen ATR/Kepala BPN 35/2016,
Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional menetapkan Petunjuk Teknis Pengukuran
dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap Nomor: 01/JUKNIS-300/2016.
92
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Yang menerangkan bahwa pendaftaran tanah secara sistematis lengkap adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu
wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat, dan juga termasuk
pemetaan seluruh obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar dalam rangka
menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang
tanahnya.
Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan
bidang tanah sistematis lengkap dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: a.
Metode Terestris; b. Metode Fotogrametris; c. Metode Pengamatan Satelit
Navigasi; d. Metode kombinasi terestris, fotogrametris, dan/atau pengamatan
satelit navigasi.
Pengukuran bidang tanah secara sistematis adalah proses pemastian letak
batas bidang-bidang tanah. Dan pemetaan bidang tanah adalah kegiatan
pengolahan data dan penggambaran hasil pengukuran bidang-bidang tanah
dengan suatu metode tertentu pada media tertentu, sehingga letak dan ukuran
bidang tanahnya dapat diketahui dari media tempat pemetaan bidang tanah itu.
Sebagai produk akhir dari hasil pengukuran dan pemetaan bidang-bidang
tanah secara sistematis tersebut, adalah berupa PPTSL berkualitas dengan
tingkat ketelitian geometris maksimal. Yang dimaksud dengan ‘tingkat ketelitian
geometris’ adalah ukuran kedekatan dengan nilai sebenarnya yang terkait
dengan posisi (horizontal dan vertikal), bentuk, panjang, dan luas di rupabumi.
Dan untuk mencapainya secara maksimal, sangat ditentukan oleh penggunaan
satu sistem referensi geospasial dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.
Selanjutnya, Pasal 2 BAB II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial (IG) mengamanatkan, IG diselenggarakan berdasarkan
asas: kepastian hukum; keterpaduan; keterbukaan; kemutakhiran; keakuratan;
kemanfaatan; dan demokratis. Dan dalam pelaksanaannya, Badan Informasi
Geospasial (BIG) menetapkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2013
tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 disingkat SRGI2013.
2.1. Sistem Referensi Geospasial. Suatu posisi yang dinyatakan dengan tingkat ketelitian koordinat pada
komponen horizontal dan vertikal, adalah untuk menunjukkan ukuran kedekatan
nilai koordinat tersebut hasil data pengukuran dan/atau pengamatan berikut
proses hitung perataan data, terhadap nilai koordinat ‘sebenarnya’.
93
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Yang menerangkan bahwa pendaftaran tanah secara sistematis lengkap adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu
wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat, dan juga termasuk
pemetaan seluruh obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar dalam rangka
menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang
tanahnya.
Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan
bidang tanah sistematis lengkap dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: a.
Metode Terestris; b. Metode Fotogrametris; c. Metode Pengamatan Satelit
Navigasi; d. Metode kombinasi terestris, fotogrametris, dan/atau pengamatan
satelit navigasi.
Pengukuran bidang tanah secara sistematis adalah proses pemastian letak
batas bidang-bidang tanah. Dan pemetaan bidang tanah adalah kegiatan
pengolahan data dan penggambaran hasil pengukuran bidang-bidang tanah
dengan suatu metode tertentu pada media tertentu, sehingga letak dan ukuran
bidang tanahnya dapat diketahui dari media tempat pemetaan bidang tanah itu.
Sebagai produk akhir dari hasil pengukuran dan pemetaan bidang-bidang
tanah secara sistematis tersebut, adalah berupa PPTSL berkualitas dengan
tingkat ketelitian geometris maksimal. Yang dimaksud dengan ‘tingkat ketelitian
geometris’ adalah ukuran kedekatan dengan nilai sebenarnya yang terkait
dengan posisi (horizontal dan vertikal), bentuk, panjang, dan luas di rupabumi.
Dan untuk mencapainya secara maksimal, sangat ditentukan oleh penggunaan
satu sistem referensi geospasial dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.
Selanjutnya, Pasal 2 BAB II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial (IG) mengamanatkan, IG diselenggarakan berdasarkan
asas: kepastian hukum; keterpaduan; keterbukaan; kemutakhiran; keakuratan;
kemanfaatan; dan demokratis. Dan dalam pelaksanaannya, Badan Informasi
Geospasial (BIG) menetapkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2013
tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 disingkat SRGI2013.
2.1. Sistem Referensi Geospasial. Suatu posisi yang dinyatakan dengan tingkat ketelitian koordinat pada
komponen horizontal dan vertikal, adalah untuk menunjukkan ukuran kedekatan
nilai koordinat tersebut hasil data pengukuran dan/atau pengamatan berikut
proses hitung perataan data, terhadap nilai koordinat ‘sebenarnya’.
Untuk pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan di seluruh wilayah
Indonesia, penentuan posisi (, , h) titik-titik di lapangan harus mengacu pada
SRGI2013 epoch 2012.00 dengan elipsoid referensi WGS84. Dan SRGI2013,
relatif “terikat” atau mengacu pada proses evolusi kerangka terestris referensi
International Terrestrial Reference Frame (ITRF), sebagai satu sistem koordinat
‘sebenarnya’, yang pada saat ini adalah ITRF2014 epoch 2010.00. Selanjutnya,
dengan menggunakan persamaan korelasi matematis suatu Sistem Proyeksi,
dilakukan konversi dari koordinat di bidang lengkung: lintang []; bujur []; tinggi
elipsoid [h] untuk mendapatkan koordinat planimetrik: timur [x]; utara [y].
2.2. Sistem Proyeksi Peta. Terdapat lebih dari 10 jenis sistem proyeksi peta yang dikenal di dunia, dan
masing-masing sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang dalam
penggunaannya disesuaikan peruntukkannya. Seperti halnya, produk sistem
proyeksi konformal UTM dengan lebar zona proyeksi 6, diasumsikan tidak dapat
memberikan ketelitian yang memadai untuk digunakan sebagai koordinat
planimetrik acuan, pada pengukuran kadastral dan pemetaan bidang tanah pada
skala peta dengan ketelitian 1 : 5000 dan/atau skala peta lebih besar. Maka,
digunakan produk sistem proyeksi konformal TM3 dengan lebar zona 3.
Sistem koordinat proyeksi dipastikan mengandung distorsiini suatu
kenyataan adanya. Walaupun distorsi tersebut tidak dapat dieliminir, tetapi
masih dapat diminimalisir sekecil mungkin, diantaranya dengan SPDM. Dan
SPDM adalah masih merupakan sistem proyeksi konformal TM, yang bertujuan
untuk membuat cakupan area seluas mungkin dengan distorsi linier minimal, dan
tetap dapat mempertahankan bentuk, jarak, dan lebih lanjut sudut dan azimuth.
Pada dasarnya, persamaan korelasi matematis yang digunakan SPDM persis
sama seperti halnya yang digunakan TM3 dan UTM, yang membedakan terletak
pada: a) SPDM, memperhitungkan variasi faktual tinggi elipsoid (hrata-rata) pada
cakupan area yang dipetakan, dan untuk meminimalkan distorsi didesain dengan
mendekatkan muka-peta sedekat mungkin pada permukaan rupabumi; b)
dengan memperhitungkan hrata-rata, maka konstanta faktor skala (= ‘ko’) secara
fleksibel akan mengikuti variasi tinggi pada tiap cakupan area yang dipetakan,
tidak sebagaimana pada UTM “by default” ditetapkan pada cakupan global ko =
0,9996 dan TM3 ditetapkan ko = 0,9999; c) SPDM, tidak lagi disekat-sekat oleh
batas zona proyeksi, namun pada tiap cakupan area yang dipetakan dibatasi
oleh besaran distorsi minimum 10 ppm sampai 30 ppm (ppm = part per million);
94
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
d) meridian sentral (= o) ditetapkan pada tengah-tengah cakupan area yang
dipetakan seluas mungkin tidak melebihi distorsi 30 ppm; e) nilai awal koordinat
planimetrik semu atau “false origin” {xo,yo}, ditentukan oleh luasnya cakupan area
yang dipetakan, dengan tidak didapatkan nilai negatif.
Untuk penjelasan lebih detail tentang sistem proyeksi dapat dipelajari lebih
lanjut pada beberapa tulisan, yang paling dikenal: Karney, C.F.F, (2011); Stem,
James, E. (1989).
3. METODOLOGI PENELITIAN Pada makalah ini, metodologi penelitian yang dilakukan adalah melalui
proses pengolahan data pengamatan GPS di titik-titik dasar teknik pada suatu
cakupan area yang dipetakan, untuk menghasilkan koordinat geodetik yang
dinyatakan dalam , , hWGS84, dengan perolehan ketelitian pada tingkat mm
sampai 2 cm. Dan diasumsikan sebagai titik-titik kontrol acuan di tanah atau
‘ground control points’ ('gcp') yang umum digunakan pada pengukuran kadastral
dan pemetaan bidang tanah metode fotogrametris.
Dalam tahap berikutnya, dilakukan hitungan konversi dari koordinat
geodetik di bidang lengkung , , hWGS84 pada 'gcp-gcp' ke koordinat
planimetrik di muka-peta yang dinyatakan dengan koordinat timur [x], utara [y],
masing-masing dengan menggunakan persamaan korelasi matematis sistem
proyeksi UTM, TM3, SPDM. Hasil hitungan tersebut di analisis berikut proses
verifikasi dan validasinya, untuk selanjutnya masing-masing luaran dibandingkan,
agar mendapatkan koordinat planimetrik berdistorsi paling minimum.
Setiap tahapan penelitian tersebut terkait satu dengan lainnya, di mana
setiap tahapan menghasilkan luaran yang dibutuhkan untuk tahapan berikutnya.
Seperti ditunjukkan pada Diagram 3., proses penyusunan strategi penelitian
diawali dengan studi pustaka, untuk mempelajari landasan yuridis pengukuran
dan pemetaan bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah,
agar dapat memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga
bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan diketahui letak, batas dan luas
pada peta pendaftaran tanah, serta dapat direkonstruksi batasnya di lapangan.
Hasil studi pustaka ini menghasilkan suatu kerangka strategi untuk
mendapatkan koordinat planimetrik distorsi minimum.
95
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
d) meridian sentral (= o) ditetapkan pada tengah-tengah cakupan area yang
dipetakan seluas mungkin tidak melebihi distorsi 30 ppm; e) nilai awal koordinat
planimetrik semu atau “false origin” {xo,yo}, ditentukan oleh luasnya cakupan area
yang dipetakan, dengan tidak didapatkan nilai negatif.
Untuk penjelasan lebih detail tentang sistem proyeksi dapat dipelajari lebih
lanjut pada beberapa tulisan, yang paling dikenal: Karney, C.F.F, (2011); Stem,
James, E. (1989).
3. METODOLOGI PENELITIAN Pada makalah ini, metodologi penelitian yang dilakukan adalah melalui
proses pengolahan data pengamatan GPS di titik-titik dasar teknik pada suatu
cakupan area yang dipetakan, untuk menghasilkan koordinat geodetik yang
dinyatakan dalam , , hWGS84, dengan perolehan ketelitian pada tingkat mm
sampai 2 cm. Dan diasumsikan sebagai titik-titik kontrol acuan di tanah atau
‘ground control points’ ('gcp') yang umum digunakan pada pengukuran kadastral
dan pemetaan bidang tanah metode fotogrametris.
Dalam tahap berikutnya, dilakukan hitungan konversi dari koordinat
geodetik di bidang lengkung , , hWGS84 pada 'gcp-gcp' ke koordinat
planimetrik di muka-peta yang dinyatakan dengan koordinat timur [x], utara [y],
masing-masing dengan menggunakan persamaan korelasi matematis sistem
proyeksi UTM, TM3, SPDM. Hasil hitungan tersebut di analisis berikut proses
verifikasi dan validasinya, untuk selanjutnya masing-masing luaran dibandingkan,
agar mendapatkan koordinat planimetrik berdistorsi paling minimum.
Setiap tahapan penelitian tersebut terkait satu dengan lainnya, di mana
setiap tahapan menghasilkan luaran yang dibutuhkan untuk tahapan berikutnya.
Seperti ditunjukkan pada Diagram 3., proses penyusunan strategi penelitian
diawali dengan studi pustaka, untuk mempelajari landasan yuridis pengukuran
dan pemetaan bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah,
agar dapat memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga
bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan diketahui letak, batas dan luas
pada peta pendaftaran tanah, serta dapat direkonstruksi batasnya di lapangan.
Hasil studi pustaka ini menghasilkan suatu kerangka strategi untuk
mendapatkan koordinat planimetrik distorsi minimum.
Diagram 1 Metodologi Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah selama ini di
asumsikan bahwa koordinat planimetrik produk TM3 yang lebih layak digunakan
untuk pembuatan PPTSL pada skala 1 : 5000 dan/atau skala lebih besar, karena
mengandung distorsi lebih kecil dibandingkan koordinat planimetrik produk UTM.
Namun, sesungguhnya koordinat planimetrik produk TM3 pun belum
meminimalisir kandungan distorsi secara maksimal, dan upaya untuk
meminimalisir distorsi agar maksimal, masih dapat dilakukan dengan SPDM.
Secara umum kontribusi dari penelitian ini adalah SPDM sebagai suatu
metode alternatif yang logis, dalam upaya meminimalisir kandungan distorsi pada
koordinat planimetrik yang akan selalu dijadikan acuan dalam pengukuran
kadastral dan pemetaan bidang tanah, yang produk akhirnya berupa PPTSL.
Dan secara khusus koordinat planimetrik produk SPDM merupakan
kontribusi dari penelitian ini, yaitu: a) Persamaan korelasi matematis untuk
96
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
mendapatkan koordinat planimetrik tidak berbeda dengan proses hitungan pada
TM3 dan/atau UTM; b) Titik-titik koordinat planimetrik posisinya berada paling
mendekati rupabumi, dan dapat diasumsikan tegak lurus terhadap masing-
masing titik pasangannya di rupabumi. Sehingga, dapat disekutukan di titik
pasangannya pada rupabumi tanpa terjadi dislokasi atau dislokasi minimal; c)
Nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, berdasarkan hitungan koordinat pada
peta, akan sama dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas faktual di
rupa bumi.
4. PEMBAHASAN Pada proses hitungan sistem proyeksi peta, dipastikan akan terjadi suatu
distorsi, hal yang tidak dapat dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan
konsekuensi dari suatu upaya merepresentasikan permukaan rupabumi dari
bidang lengkung dengan variasi elevasi (3-Dimensi=3D) ke bidang datar (=2D).
Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada
hubungan antara lokasi titik-titik yang ‘benar’ di permukaan rupabumi dan titik-titik
yang direpresentasikan di muka-peta.
Distorsi tidak dapat dieliminir. Apa yang masih dapat dilakukan adalah
meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya. Distorsi horizontal linier, adalah
beda jarak antara koordinat dua titik di muka-peta dibandingkan dengan jarak
horizontal “sebenarnya” pada dua titik pasangannya di-tanah, yang dinyatakan
dengan simbol pada satuan part-per-million(=mm/km). Misalkan: 0,3 m/1,5 km
= 200 ppm = 200 mm/km.
Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, maka distorsi
linier juga makin besar dengan perbedaan elevasi makin tinggi terhadap
permukaan elipsoid referensi. Dapat diasumsikan bahwa fungsi “elevasi”
terhadap elipsoid memberikan kontribusi signifikan pada distorsi horizontal linier.
Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi horizontal linier yang
disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan variasi elevasi di rupabumi
terhadap elipsoid referensi adalah sebagai total distorsi linier horizontal.
Besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada variasi
elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi.
4.1. Desain untuk suatu ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) Objektif dari desain SPDM adalah untuk optimalisasi meminimalkan distorsi
linier pada cakupan area (proyeksi) seluas mungkin. Dengan perkataan lain,
97
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
mendapatkan koordinat planimetrik tidak berbeda dengan proses hitungan pada
TM3 dan/atau UTM; b) Titik-titik koordinat planimetrik posisinya berada paling
mendekati rupabumi, dan dapat diasumsikan tegak lurus terhadap masing-
masing titik pasangannya di rupabumi. Sehingga, dapat disekutukan di titik
pasangannya pada rupabumi tanpa terjadi dislokasi atau dislokasi minimal; c)
Nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, berdasarkan hitungan koordinat pada
peta, akan sama dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas faktual di
rupa bumi.
4. PEMBAHASAN Pada proses hitungan sistem proyeksi peta, dipastikan akan terjadi suatu
distorsi, hal yang tidak dapat dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan
konsekuensi dari suatu upaya merepresentasikan permukaan rupabumi dari
bidang lengkung dengan variasi elevasi (3-Dimensi=3D) ke bidang datar (=2D).
Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada
hubungan antara lokasi titik-titik yang ‘benar’ di permukaan rupabumi dan titik-titik
yang direpresentasikan di muka-peta.
Distorsi tidak dapat dieliminir. Apa yang masih dapat dilakukan adalah
meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya. Distorsi horizontal linier, adalah
beda jarak antara koordinat dua titik di muka-peta dibandingkan dengan jarak
horizontal “sebenarnya” pada dua titik pasangannya di-tanah, yang dinyatakan
dengan simbol pada satuan part-per-million(=mm/km). Misalkan: 0,3 m/1,5 km
= 200 ppm = 200 mm/km.
Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, maka distorsi
linier juga makin besar dengan perbedaan elevasi makin tinggi terhadap
permukaan elipsoid referensi. Dapat diasumsikan bahwa fungsi “elevasi”
terhadap elipsoid memberikan kontribusi signifikan pada distorsi horizontal linier.
Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi horizontal linier yang
disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan variasi elevasi di rupabumi
terhadap elipsoid referensi adalah sebagai total distorsi linier horizontal.
Besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada variasi
elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi.
4.1. Desain untuk suatu ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) Objektif dari desain SPDM adalah untuk optimalisasi meminimalkan distorsi
linier pada cakupan area (proyeksi) seluas mungkin. Dengan perkataan lain,
suatu desain SPDM adalah agar produk koordinat-koordinat proyeksi dan
ikutannya yaitu ukuran jarak dan luas bidang tanah di peta, dapat “sedekat
mungkin” dengan “nilai sebenarnya” di-tanah, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah
sistem proyeksi peta.
Proses tahapan suatu SPDM dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendefinisian distorsi untuk cakupan area proyeksi dan penentuan tinggi elipsoid (=h), yang dapat mewakili seluruh cakupan area (hrata-rata).
Walaupun, tinggi elipsoid rata-rata seringkali belum dapat mewakili untuk
desain faktor-skala (=ko) ideal, yang disebabkan oleh faktor kelengkungan
bumi dan/atau variasi (ekstrem) elevasi rupabumi, terkecuali untuk area
proyeksi relatif datar dan cakupan area kecil.
● Objektif untuk “distorsi minimum” secara umum adalah ± 20 ppm (± 0,020
m/km), tetapi hal ini kemungkinan tidak dapat dicapai disebabkan oleh
variasi beda (ekstrem) tinggi rupabumi dan/atau luasnya desain cakupan
area proyeksi.
● Desain ukuran/luas area, distorsi yang disebabkan oleh faktor
kelengkungan bumi adalah ± 5 ppm untuk lebar cakupan area 56 km. Dan
lebar cakupan area tersebut adalah tegak-lurus terhadap “sumbu proyeksi”
atau meridian-sentral kearah barat dan timur. Dan efek distorsi tidak linier
semakin bertambah dengan bertambah lebarnya area proyeksi dan
proporsional dengan perkalian luas area zona.
● Variasi tinggi elipsoid referensi di rupabumi, distorsi yang disebabkan oleh
faktor perubahan tinggi adalah ± 5 ppm untuk ketinggian ± 30 m, hanya
saja efek distorsinya linier.
● Pada suatu cakupan area dengan tinggi elipsoid rata-rata (hrata-rata), akan
dijumpai hrata-rata tidak memadai untuk dapat mewakili tinggi untuk seluruh
area-proyeksi, utamanya di area pegunungan.
● Untuk area pegunungan tidak perlu mengestimasi hrata-rata sampai dengan
tingkat ketelitian ± 6 m yang sebanding dengan distorsi ± 1 ppm. Tetapi,
pada tahap awal dalam penentuan faktor-skala proyeksi (=ko) yang
menggunakan hrata-rata, akan diperbaiki pada tahapan proses desain sampai
maksimal (kompromistis).
2) Pilih dan tempatkan koordinat Bujur-awal (o) meridian sentral peta atau MS, di sentral atau di tengah-tengah cakupan suatu area proyeksi:
98
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
● Dengan menempatkan o sedekat mungkin di sentral cakupan area
proyeksi, sebagai permulaan yang baik pada proses desain.
● Dalam hal di mana perubahan tinggi dipermukaan rupabumi cenderung ke
satu arah atau di-area pegunungan, dengan menggeser-geser MS secara
fleksibel, berkecenderungan akan diperoleh hasil yang baik.
● Dan penempatan o pada suatu proyeksi peta dekat dengan “tengah-
tengah” timur-barat cakupan area proyeksi adalah untuk meminimalisir
sudut konvergensi (beda sudut antara utara geodetik dan utara peta).
3) Penentuan faktor-skala (=ko) meridian sentral peta, yang mewakili tinggi
elipsoid referensi WGS84 di-tanah:
● Dengan melakukan hitungan faktor-skala, ko, pada meridian sentral di
“tanah” (tinggi hrata-rata), menggunakan muka-peta di atas elipsoid ko > 1:
(1)
● Rm adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian
() dan divertikal utama (), di mana adalah fungsi lintang koordinat,
dengan menggunakan persamaan:
(2)
Pada UTM besaran faktor-skala, ko = 0,9996, dan pada TM3, ko = 0,9999,
adalah diperoleh dari hubungan matematis dengan persamaan berikut:
dan
Terdapat sedikit perbedaan desain dalam menggunakan jenis bidang-
proyeksi, pada UTM dan TM3 digunakan jenis proyeksi “secant”, artinya
bidang muka-peta memotong bidang elipsoid di dua titik, sedangkan pada
SPDM digunakan jenis proyeksi, di mana bidang muka-peta selalu di atas
99
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
● Dengan menempatkan o sedekat mungkin di sentral cakupan area
proyeksi, sebagai permulaan yang baik pada proses desain.
● Dalam hal di mana perubahan tinggi dipermukaan rupabumi cenderung ke
satu arah atau di-area pegunungan, dengan menggeser-geser MS secara
fleksibel, berkecenderungan akan diperoleh hasil yang baik.
● Dan penempatan o pada suatu proyeksi peta dekat dengan “tengah-
tengah” timur-barat cakupan area proyeksi adalah untuk meminimalisir
sudut konvergensi (beda sudut antara utara geodetik dan utara peta).
3) Penentuan faktor-skala (=ko) meridian sentral peta, yang mewakili tinggi
elipsoid referensi WGS84 di-tanah:
● Dengan melakukan hitungan faktor-skala, ko, pada meridian sentral di
“tanah” (tinggi hrata-rata), menggunakan muka-peta di atas elipsoid ko > 1:
(1)
● Rm adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian
() dan divertikal utama (), di mana adalah fungsi lintang koordinat,
dengan menggunakan persamaan:
(2)
Pada UTM besaran faktor-skala, ko = 0,9996, dan pada TM3, ko = 0,9999,
adalah diperoleh dari hubungan matematis dengan persamaan berikut:
dan
Terdapat sedikit perbedaan desain dalam menggunakan jenis bidang-
proyeksi, pada UTM dan TM3 digunakan jenis proyeksi “secant”, artinya
bidang muka-peta memotong bidang elipsoid di dua titik, sedangkan pada
SPDM digunakan jenis proyeksi, di mana bidang muka-peta selalu di atas
bidang elipsoid ko > 1 agar mendekati permukaan rupa Bumi-bulat. Secara
geometris kedudukan muka-peta, dapat diilustrasikan pada Gambar 1.
4) Penentuan distorsi di seluruh cakupan area proyeksi dan perbaikan parameter desain:
● Dengan melakukan hitungan distorsi di suatu titik proyeksi (pada tinggi
elipsoid h):
(3)
Gambar 1. Geometri bidang-proyeksi/muka-peta untuk UTM; TM3; SPDM.
● Di mana, k = faktor-skala di suatu titik dibidang-proyeksi, yaitu, distorsi di
titik itu terhadap elipsoid referensi. Dan nilai k, diperoleh dari hasil proses
proyeksi TM (Stem, 1989, halaman 32-35). ● Untuk mendapatkan distorsi minimum pada seluruh cakupan area proyeksi,
adalah dengan melakukan evaluasi kembali pada nilai ko yang berbeda,
sampai mendapatkan nilai ko terbaik. Hal ini dengan menggeser-geserkan
o, sampai di tempat yang terbaik.
4.2. Hubungan hitungan Jarak: di peta di elipsoid di tanah
Dengan koordinat planimetrik produk UTM; TM3; SPDM masing-masing,
dilakukan hitungan untuk menentukan nilai ukuran jarak di peta, jarak geodesik
di elipsoid, dan jarak di tanah, yang hasil hitungan ketiga produk tersebut akan
saling berbeda nilai akhirnya.
1
hRRkm
m
100
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Pada umumnya, pengukuran dan hitungan jarak dilakukan mendatar, tidak
miring, dan untuk menentukan ukuran jarak dua titik atau lebih di peta yang
merupakan bidang datar, ditentukan melalui bacaan koordinat planimetrik di titik
A (xA, yA) dan B (xB, yB), dengan persamaan yang umumnya digunakan, yaitu:
Jarak di peta = 22 )()( ABABAB yyxxd (4)
Hasil hitungan ukuran jarak pada peta berkualitas (berdistorsi minimum) tatkala
direkonstruksi, maka ukuran jarak tersebut akan sama atau paling mendekati
dengan ukuran faktual di lapangan.
Dengan menggunakan peta beralas koordinat planimetrik produk TM3
dan/atau UTM, dan karena kandungan distorsi belum sepenuhnya terminimalisir,
maka hasil hitungan ukuran jarak pada peta seringkali tidak selalu sama dengan
ukuran faktual di lapangan. Disetiap peta tidak pernah ada dicantumkan faktor
skala di titik-proyeksi (= k), yaitu hasil proses pada tiap konversi dari , ke x, y.
Sebenarnya, dengan memperhitungkan, k, dan tinggi elipsoid h, maka
ukuran jarak di peta (= JPETA) dapat dikorelasikan dengan ukuran jarak faktual di
lapangan (= JTANAH) dengan persamaan berikut:
ABm
ABmPETATANAH
kRhRJJ (5)
di mana, hAB = tinggi elipsoid di titik A dan B = (hA+ hB)/2 ; kAB= (kA+ kB)/2
4.3. Hasil dan analisis.
Pada penelitian ini, digunakan koordinat geodetik (, , hWGS84) hasil
pengukuran dan pengolahan data-data GPS di titik-titik dasar teknis di wilayah P.
Kalimantan, dan di asumsikan sebagai titik-titik kontrol tanah atau ‘ground control
points’ (‘gcp’) yang biasa dijadikan acuan pada pengukuran kadastral dan/atau
pemetaan bidang tanah metode fotogrametris, yang selanjutnya di konversi ke
koordinat planimetrik menggunakan sistem proyeksi UTM, TM3, SPDM.
Dan untuk kajian komparatif pada aspek distorsi koordinat dan jarak dari
produk ke-3 sistem itu, ditentukan ‘gcp-gcp’ di area sekitar: ekuator; meridian
sentral proyeksi; dan batas zona proyeksi. Sebaran ‘gcp-gcp’ di indikasikan
dalam kotak garis hitam yang terdiri dari kotak: A; B; C; D; dan E ditunjukkan
pada Gambar 2.
101
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Pada umumnya, pengukuran dan hitungan jarak dilakukan mendatar, tidak
miring, dan untuk menentukan ukuran jarak dua titik atau lebih di peta yang
merupakan bidang datar, ditentukan melalui bacaan koordinat planimetrik di titik
A (xA, yA) dan B (xB, yB), dengan persamaan yang umumnya digunakan, yaitu:
Jarak di peta = 22 )()( ABABAB yyxxd (4)
Hasil hitungan ukuran jarak pada peta berkualitas (berdistorsi minimum) tatkala
direkonstruksi, maka ukuran jarak tersebut akan sama atau paling mendekati
dengan ukuran faktual di lapangan.
Dengan menggunakan peta beralas koordinat planimetrik produk TM3
dan/atau UTM, dan karena kandungan distorsi belum sepenuhnya terminimalisir,
maka hasil hitungan ukuran jarak pada peta seringkali tidak selalu sama dengan
ukuran faktual di lapangan. Disetiap peta tidak pernah ada dicantumkan faktor
skala di titik-proyeksi (= k), yaitu hasil proses pada tiap konversi dari , ke x, y.
Sebenarnya, dengan memperhitungkan, k, dan tinggi elipsoid h, maka
ukuran jarak di peta (= JPETA) dapat dikorelasikan dengan ukuran jarak faktual di
lapangan (= JTANAH) dengan persamaan berikut:
ABm
ABmPETATANAH
kRhRJJ (5)
di mana, hAB = tinggi elipsoid di titik A dan B = (hA+ hB)/2 ; kAB= (kA+ kB)/2
4.3. Hasil dan analisis.
Pada penelitian ini, digunakan koordinat geodetik (, , hWGS84) hasil
pengukuran dan pengolahan data-data GPS di titik-titik dasar teknis di wilayah P.
Kalimantan, dan di asumsikan sebagai titik-titik kontrol tanah atau ‘ground control
points’ (‘gcp’) yang biasa dijadikan acuan pada pengukuran kadastral dan/atau
pemetaan bidang tanah metode fotogrametris, yang selanjutnya di konversi ke
koordinat planimetrik menggunakan sistem proyeksi UTM, TM3, SPDM.
Dan untuk kajian komparatif pada aspek distorsi koordinat dan jarak dari
produk ke-3 sistem itu, ditentukan ‘gcp-gcp’ di area sekitar: ekuator; meridian
sentral proyeksi; dan batas zona proyeksi. Sebaran ‘gcp-gcp’ di indikasikan
dalam kotak garis hitam yang terdiri dari kotak: A; B; C; D; dan E ditunjukkan
pada Gambar 2.
Gambar 2. Sebaran Titik Dasar Teknis (‘gcp’) di P. Kalimantan.
Di mana ‘gcp-gcp’, pada: kotakA, berada di dekat ‘garis’ Ekuator dan di
sekitar meridian sentral TM3 (o = 109,5 ) zona 49-1; kotakB, berada di
sekitar meridian sentral UTM (o = 111 ) zona 49 dan di batas barat zona 49-2
TM3; kotakC, berada di sekitar batas zona UTM dan TM3; kotakD, berada di
sekitar meridian sentral TM3 (o = 115,5 ) zona 50-1; dan kotakE, berada di
sekitar meridian sentral UTM (o = 117 ) zona 50 dan di batas timur zona 50-1
TM3. Sedangkan meridian sentral (o) untuk SPDM ditetapkan selalu ditengah-
tengah kumpulan ‘gcp-gcp’ pada masing-masing kotak tersebut.
Berdasarkan data-data koordinat planimetrik ‘gcp-gcp’ di setiap kotak
tersebut yaitu, hasil konversi koordinat geodetik (, , h) dari produk UTM, TM3,
SPDM, dan khusus untuk SPDM terlebih dahulu ditentukan konstanta ‘ko’
menggunakan persamaan (1), selanjutnya dihitung masing-masing ukuran jarak
dua titik di peta dan jarak pasangannya di tanah menggunakan persamaan (4)
dan (5) berikut distorsi menggunakan persamaan (3). Maka, hasil hitungan
ukuran distorsi, jarak, dan beda () jarak di tanah minus jarak di peta tersebut, di
ringkas pada Tabel 1.
102
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tabel 1. Distorsi dan Beda Jarak diTanah dan diPeta di wilayah Kalimantan.
Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta
Dari Ke
Sistem Proyeksi
DiTanah [meter]
DiPeta [meter]
Beda () [meter]
Distorsi ()
[ppm] UTM 17700,407 17701,461 -1,054 60 A1A2 TM3 17700,410 17698,712 1,698 -96
SPDM 17700,407 17700,568 -0,161 9 UTM 18181,164 18181,205 -0,041 2 A A2A3 TM3 18181,163 18179,295 1,868 -103 SPDM 18181,164 18181,205 -0,041 2 UTM 34597,218 34598,584 -1,366 39 A3A1 TM3 34597,219 34593,850 3,369 -97
SPDM 34597,219 34597,483 -0,264 8 UTM 31830,172 31817,380 12,792 -402 B1B2 TM3 31830,172 31835,463 -5,291 166
SPDM 31830,171 31830,256 -0,085 3 UTM 19816,781 19809,112 7,670 -387 B2B3 TM3 19816,782 19818,504 -1,723 87
B SPDM 19816,783 19816,835 -0,053 3 UTM 38573,004 38557,969 15,035 -390 B3B4 TM3 38573,003 38577,395 -4,392 114
SPDM 38573,004 38573,182 -0,178 5 UTM 32819,711 32806,431 13,280 -405 B4B1 TM3 32819,710 32826,050 -6,340 193
SPDM 32819,711 32819,860 -0,152 5 UTM 14479,469 14492,161 -12,692 877 C1C2 TM3 14479,468 14482,219 -2,751 190
SPDM 14479,469 14479,501 -0,032 2 UTM 15824,064 15838,660 -14,596 922 C C2C3 TM3 15824,065 15827,421 -3,356 212 SPDM 15824,068 15824,076 -0,011 1 UTM 13686,482 13698,457 -11,976 875 C3C1 TM3 13686,483 13689,074 -2,591 189
SPDM 13686,482 13686,514 -0,032 2
103
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tabel 1. Distorsi dan Beda Jarak diTanah dan diPeta di wilayah Kalimantan.
Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta
Dari Ke
Sistem Proyeksi
DiTanah [meter]
DiPeta [meter]
Beda () [meter]
Distorsi ()
[ppm] UTM 17700,407 17701,461 -1,054 60 A1A2 TM3 17700,410 17698,712 1,698 -96
SPDM 17700,407 17700,568 -0,161 9 UTM 18181,164 18181,205 -0,041 2 A A2A3 TM3 18181,163 18179,295 1,868 -103 SPDM 18181,164 18181,205 -0,041 2 UTM 34597,218 34598,584 -1,366 39 A3A1 TM3 34597,219 34593,850 3,369 -97
SPDM 34597,219 34597,483 -0,264 8 UTM 31830,172 31817,380 12,792 -402 B1B2 TM3 31830,172 31835,463 -5,291 166
SPDM 31830,171 31830,256 -0,085 3 UTM 19816,781 19809,112 7,670 -387 B2B3 TM3 19816,782 19818,504 -1,723 87
B SPDM 19816,783 19816,835 -0,053 3 UTM 38573,004 38557,969 15,035 -390 B3B4 TM3 38573,003 38577,395 -4,392 114
SPDM 38573,004 38573,182 -0,178 5 UTM 32819,711 32806,431 13,280 -405 B4B1 TM3 32819,710 32826,050 -6,340 193
SPDM 32819,711 32819,860 -0,152 5 UTM 14479,469 14492,161 -12,692 877 C1C2 TM3 14479,468 14482,219 -2,751 190
SPDM 14479,469 14479,501 -0,032 2 UTM 15824,064 15838,660 -14,596 922 C C2C3 TM3 15824,065 15827,421 -3,356 212 SPDM 15824,068 15824,076 -0,011 1 UTM 13686,482 13698,457 -11,976 875 C3C1 TM3 13686,483 13689,074 -2,591 189
SPDM 13686,482 13686,514 -0,032 2
Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta
Dari Ke
Sistem Proyeksi
DiTanah [meter]
DiPeta [meter]
Beda () [meter]
Distorsi ()
[ppm] UTM 26190,236 26191,344 -1,108 42 D1D2 TM3 26190,236 26187,572 2,664 -102
SPDM 26190,236 26190,320 -0,084 3 UTM 30371,034 30368,680 2,354 -78 D2D3 TM3 30371,035 30367,704 3,332 -110
SPDM 30371,036 30371,187 -0,152 5 UTM 47995,258 47991,855 3,403 -71 D D3D4 TM3 47995,260 47990,053 5,207 -108 SPDM 47995,259 47995,535 -0,276 6 UTM 23960,912 23961,595 -0,682 28 D4D5 TM3 23960,913 23958,449 2,464 -103
SPDM 23960,911 23960,990 -0,078 3 UTM 34214,346 34217,153 -2,807 82 D5D1 TM3 34214,346 34211,050 3,297 -96
SPDM 34214,346 34214,537 -0,192 6 UTM 3249,881 3248,535 1,345 -414 E1E2 TM3 3249,883 3250,376 -0,492 152
SPDM 3249,880 3249,877 0,003 -1 UTM 6429,960 6427,326 2,634 -410 E E2E3 TM3 6429,957 6431,081 -1,124 175 SPDM 6429,960 6429,982 -0,022 3 UTM 134,156 134,101 0,055 -410 E3E4 TM3 134,157 134,182 -0,025 188
SPDM 134,156 134,157 -0,001 3 UTM 9378,231 9374,345 3,886 -414 E4E1 TM3 9378,231 9379,775 -1,544 165
SPDM 9378,231 9378,218 0,013 -1
Pada Tabel 1. kolom 6, beda jarak (Δ) bertanda negatif, menunjukkan jarak
di tanah lebih pendek dari jarak di peta, adalah tergantung pada jauh atau
dekatnya dari meridian sentral proyeksi. Dan jarak di tanah pada kolom 4,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jarak yang signifikan antara ke-3
sistem proyeksi itu. Hal ini memang merupakan hitungan standar untuk
menyelaraskan jarak di peta dan jarak pasangannya di tanah dengan
menggunakan persamaan (5) diatas yaitu, dengan cara hitungan ‘menaikkan’
secara bertahap dari jarak di peta ke jarak geodesik (di elipsoid) dan ke jarak di
tanah yang dikenal sebagai ‘gabungan faktor skala’ atau ‘combined scale factor’.
104
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tetapi perlu diperhatikan bahwa prosedur tersebut BUKAN MEMINDAHKAN
KOORDINAT PLANIMETRIK di bidang-proyeksi ke permukaan tanah atau rupa
Bumi-bulat!!.
Namun, apa yang dilakukan selama ini titik-titik koordinat planimetrik
produk TM3 dan UTM dikedalaman pada perut Bumi-bulat, dianggap ‘segaris
tegak-lurus’ jadi ‘dinaikkan’ di titik (‘gcp’) pasangannya, artinya ‘dipaksakan’
bersekutu pada koordinat lintang, bujur semula di permukaan rupabumi sebelum
konversi. Sesungguhnya, titik koordinat planimetrik makin jauh dari meridian
sentral jadi ‘segaris miring’ kearah geosentris terhadap titik pasangannya di
rupabumi.
Konsekuensinya titik-titik koordinat planimetrik produk TM3 dan/atau UTM,
akan mengalami dislokasi bila ‘dinaikkan’ ke permukaan tanah, yang kemudian
dijadikan titik-titik (‘gcp’) acuan pada pengukuran kadastral dan/atau pemetaan
bidang tanah metode fotogrametris. Maka, pada proses hitung perataannya akan
terjadi perambatan kesalahan atau ‘propagation of errors’ tanpa kendali.
Dampak berikutnya adalah dalam proses pemutakhiran produk akhir peta,
bilamana memperhitungkan koreksi dislokasi titik koordinat akibat laju kecepatan
(mm/tahun) deformasi kerak bumi, akan dijumpai kesulitan dalam memberikan
koreksi tersebut secara proporsional. Disinilah, perambatan kesalahan itu
terakumulasi, sehingga nilai ukuran jarak hasil hitungan koordinat dua titik di
peta, akan berbeda signifikan dengan nilai ukuran faktual di rupa Bumi-bulat.
Selanjutnya, bagi para pengguna Sistem/Sains Informasi Geografi, dan
dalam upaya pembangunan ‘Geo-database’, di mana koordinat-koordinat
planimetrik di peta terlebih dahulu dikembalikan ke rupabumi, tentunya tidak akan
kembali pada posisi koordinat-koordinat lintang, bujur faktual the real world.
Pada akhirnya, tujuan untuk menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi
yang tergambarkan pada peta agar menjadi ‘seamless’, tidak/sulit tercapai
optimal.
Dan dari uji komparatif seperti pada kotakA dan kotakD di Tabel 1. kolom
6 dan 7, menunjukkan bahwa beda jarak (Δ) begitu pun kandungan distorsi
koordinat planimetrik produk TM3, tidak selalu lebih kecil daripada produk UTM.
Akan tetapi, tidak demikian halnya pada titik-titik (‘gcp’) koordinat
planimetrik berbasiskan produk SPDM, nampak pada Table 1. kolom 6 yaitu,
beda jarak (Δ), menunjukkan bahwa nilai ukuran jarak dan otomatis ukuran luas
bidang tanah di peta, adalah yang paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang
105
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tetapi perlu diperhatikan bahwa prosedur tersebut BUKAN MEMINDAHKAN
KOORDINAT PLANIMETRIK di bidang-proyeksi ke permukaan tanah atau rupa
Bumi-bulat!!.
Namun, apa yang dilakukan selama ini titik-titik koordinat planimetrik
produk TM3 dan UTM dikedalaman pada perut Bumi-bulat, dianggap ‘segaris
tegak-lurus’ jadi ‘dinaikkan’ di titik (‘gcp’) pasangannya, artinya ‘dipaksakan’
bersekutu pada koordinat lintang, bujur semula di permukaan rupabumi sebelum
konversi. Sesungguhnya, titik koordinat planimetrik makin jauh dari meridian
sentral jadi ‘segaris miring’ kearah geosentris terhadap titik pasangannya di
rupabumi.
Konsekuensinya titik-titik koordinat planimetrik produk TM3 dan/atau UTM,
akan mengalami dislokasi bila ‘dinaikkan’ ke permukaan tanah, yang kemudian
dijadikan titik-titik (‘gcp’) acuan pada pengukuran kadastral dan/atau pemetaan
bidang tanah metode fotogrametris. Maka, pada proses hitung perataannya akan
terjadi perambatan kesalahan atau ‘propagation of errors’ tanpa kendali.
Dampak berikutnya adalah dalam proses pemutakhiran produk akhir peta,
bilamana memperhitungkan koreksi dislokasi titik koordinat akibat laju kecepatan
(mm/tahun) deformasi kerak bumi, akan dijumpai kesulitan dalam memberikan
koreksi tersebut secara proporsional. Disinilah, perambatan kesalahan itu
terakumulasi, sehingga nilai ukuran jarak hasil hitungan koordinat dua titik di
peta, akan berbeda signifikan dengan nilai ukuran faktual di rupa Bumi-bulat.
Selanjutnya, bagi para pengguna Sistem/Sains Informasi Geografi, dan
dalam upaya pembangunan ‘Geo-database’, di mana koordinat-koordinat
planimetrik di peta terlebih dahulu dikembalikan ke rupabumi, tentunya tidak akan
kembali pada posisi koordinat-koordinat lintang, bujur faktual the real world.
Pada akhirnya, tujuan untuk menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi
yang tergambarkan pada peta agar menjadi ‘seamless’, tidak/sulit tercapai
optimal.
Dan dari uji komparatif seperti pada kotakA dan kotakD di Tabel 1. kolom
6 dan 7, menunjukkan bahwa beda jarak (Δ) begitu pun kandungan distorsi
koordinat planimetrik produk TM3, tidak selalu lebih kecil daripada produk UTM.
Akan tetapi, tidak demikian halnya pada titik-titik (‘gcp’) koordinat
planimetrik berbasiskan produk SPDM, nampak pada Table 1. kolom 6 yaitu,
beda jarak (Δ), menunjukkan bahwa nilai ukuran jarak dan otomatis ukuran luas
bidang tanah di peta, adalah yang paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang
faktual di tanah, dan berkorelasi erat dengan distorsi yang di desain selalu 20
ppm. Selain daripada itu titik-titik koordinat planimetrik SPDM, di desain relatif
paling mendekati permukaan rupabumi, maka diasumsikan tegak-lurus dan dapat
disekutukan berimpit tanpa mengalami dislokasi, terhadap titik koordinat lintang,
bujur pasangannya di permukaan tanah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam hemat penulis, sistem proyeksi peta yang selama ini digunakan dan
tidak memperhitungkan perubahan nilai titik koordinat acuan sebagai fungsi
waktu akibat deformasi kerak bumi, setidaknya dua faktor utama
penanggungjawab yang menimbulkan bias/deviasi dalam proses menyelaraskan
karakteristik objek-objek di rupabumi yang tergambarkan di peta, menjadi tidak
selaras atau tidak ‘seamless’ secara geometris. Inferensial ter(di)degradasinya
secara signifikan atas pencapaian hasil pada: penentuan posisi berbasiskan
konstelasi satelit navigasi berketelitian milimeter; pengukuran kadastral (terestris)
teliti; dan piksel citra-udara berresolusi sentimeter.
Pemanfaatan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM) dan SRGI2013
epoch 2012.00 yang mengacu ke sistem koordinat ‘sebenarnya’ ITRF dan
WGS84, adalah untuk pemastian dalam menggambarkan objek-objek di
rupabumi pada peta, agar secara geometris paling mendekati keadaan faktual,
merupakan jalan keluar yang akan mereduksi kemungkinan-kemungkinan negatif
itu secara maksimal, bahkan bisa jadi nol.
Pelaksanaan kegiatan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL) melalui pemetaan dan pengukuran kadastral puluhan juta bidang tanah di
seluruh wilayah Indonesia, diharapkan tuntas pada tahun 2025. Supaya data-
data fisik hasil pengukuran tersebut, dapat diplot atau digambarkan pada peta
tanpa merubah bentuk dan ukuran, begitu pun sebaliknya bentuk dan ukuran
(berdasarkan koordinat) bidang-bidang tanah pada peta, tatkala di rekonstruksi di
lapangan sama-dengan atau paling mendekati bentuk dan ukuran faktual, dapat
dilakukan dengan langkah-langkah strategis berikut:
a) Untuk program PTSL yang saat ini sedang berlangsung pada kegiatan
pengukuran kadastral teliti dan pemetaan puluhan juta bidang tanah,
bersegeralah mengacu pada koordinat planimetrik produk SPDM.
b) Peta Pendaftaran Tanah yang tersedia pada saat ini beralaskan koordinat
planimetrik TM3, dengan dilengkapi riwayat data atau ‘metadata’ dan
106
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sementara abaikan konten informasi hasil proses kartografi ‘map rubber
sheeting’, dapat di migrasi ke SPDM.
c) Diharapkan, produk PTSL pada butir b) akan lebih memudahkan ‘matching
atau seamless’, tatkala digambarkan pada Peta Pendaftaran Tanah hasil
butir a).
d) Pada saat program PTSL berjalan, hasil data fisik pengukuran kadastral teliti
dan pemetaan puluhan juta bidang tanah sebagai akurasi geospasial untuk
melengkapi akurasi yuridis, akan otomatis merevisi ‘filling the gaps’ Peta
Pendaftaran Tanah seperti pada butir b).
Dengan demikian upaya percepatan terciptanya tata kelola tertib
administrasi pertanahan yang modern di Indonesia segera terwujud.
Suatu ilustrasi pada Diagram 2. Memprediksikan keniscayaan kebutuhan
mendatang, akan peta digital berkualitas berbasiskan koordinat planimetrik
distorsi minimum.
Diagram 2.
Prediksi Peta Berkualitas berbasiskan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’
Karena itu, sudah menjadi fungsi dan tugas yang imperatif harus
diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN RI, lembaga negara yang memiliki
peran sangat strategis dalam penyelenggaraan negara di bidang pertanahan dan
penataan ruang wilayah Indonesia, untuk mengaplikasikan SPDM.
107
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
sementara abaikan konten informasi hasil proses kartografi ‘map rubber
sheeting’, dapat di migrasi ke SPDM.
c) Diharapkan, produk PTSL pada butir b) akan lebih memudahkan ‘matching
atau seamless’, tatkala digambarkan pada Peta Pendaftaran Tanah hasil
butir a).
d) Pada saat program PTSL berjalan, hasil data fisik pengukuran kadastral teliti
dan pemetaan puluhan juta bidang tanah sebagai akurasi geospasial untuk
melengkapi akurasi yuridis, akan otomatis merevisi ‘filling the gaps’ Peta
Pendaftaran Tanah seperti pada butir b).
Dengan demikian upaya percepatan terciptanya tata kelola tertib
administrasi pertanahan yang modern di Indonesia segera terwujud.
Suatu ilustrasi pada Diagram 2. Memprediksikan keniscayaan kebutuhan
mendatang, akan peta digital berkualitas berbasiskan koordinat planimetrik
distorsi minimum.
Diagram 2.
Prediksi Peta Berkualitas berbasiskan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’
Karena itu, sudah menjadi fungsi dan tugas yang imperatif harus
diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN RI, lembaga negara yang memiliki
peran sangat strategis dalam penyelenggaraan negara di bidang pertanahan dan
penataan ruang wilayah Indonesia, untuk mengaplikasikan SPDM.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrarian, Kementerian ATR/BPN, Petunjuk
Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap,
No.:01/JUKNIS-300/2016.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2013 tentang
Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013.
Karney, C.F.F.(2011). Transverse Mercator with an accuracy of a few
nanometers, J. Geodesy 85 (8) 475-485.
Stem, J.E.(1989). http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/ManualNOSNGS5.pdf.
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi
Geospasial.
Vincenty, T.(1975). Direct and inverse solutions of geodesics on the ellipsoid with
application of nested equations, Survey Review, Vol. 23, No. 176, pp. 88-93,
http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/inverse.pdf.
108
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Biodata Penulis
Nama : Cecep Subarya, Dr., MSurvSc.
Tempat/Tgl lahir : Bandung, 17 Januari 1955.
Pendidikan : Lulus S2, di School of Surveying
University of New South Wales,Sydney,Australia.
Lulus S3 (2007-2010) dengan cum-laude, di Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian-Institut Teknologi
Bandung.
Alamat : Jln. Ki Djungdjung No. 5, Rt 001/RW 013, Cijujung,
Sukaraja,Bogor 16710
Email : [email protected] Hp: +628128138281
Riwayat Pekerjaan :
1. 1979-Januari 2011, bekerja di Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).
2. 1991- Januari 2011, Pembangunan Jaring Kontrol
Geodesi dan Geodinamika di wilayah yurisdiksi NKRI
berbasiskan teknologi GPS.
3. Pembangunan 238 Titik Dasar (basepoints) untuk
membuat garis-pangkal dalam menentukan 200 nMile
wilayah yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.
4. 2009-2010, Kepala Pusat Geodesi dan Geodinamika.
5. Anggota Tim Penggagas Pembangunan Indonesia
Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
6. Pendefinisian Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95)
dan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 epoch
2012.00.
7. 2011-2013, bekerja sebagai tenaga konsultan di
Research Center for Geosciences, Potsdam-Germany.
8. 2014-sekarang, Konsultan Independen Bidang Informasi
Geospasial dan Bidang Ilmu Kebumian.
109
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Biodata Penulis
Nama : Cecep Subarya, Dr., MSurvSc.
Tempat/Tgl lahir : Bandung, 17 Januari 1955.
Pendidikan : Lulus S2, di School of Surveying
University of New South Wales,Sydney,Australia.
Lulus S3 (2007-2010) dengan cum-laude, di Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian-Institut Teknologi
Bandung.
Alamat : Jln. Ki Djungdjung No. 5, Rt 001/RW 013, Cijujung,
Sukaraja,Bogor 16710
Email : [email protected] Hp: +628128138281
Riwayat Pekerjaan :
1. 1979-Januari 2011, bekerja di Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).
2. 1991- Januari 2011, Pembangunan Jaring Kontrol
Geodesi dan Geodinamika di wilayah yurisdiksi NKRI
berbasiskan teknologi GPS.
3. Pembangunan 238 Titik Dasar (basepoints) untuk
membuat garis-pangkal dalam menentukan 200 nMile
wilayah yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.
4. 2009-2010, Kepala Pusat Geodesi dan Geodinamika.
5. Anggota Tim Penggagas Pembangunan Indonesia
Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
6. Pendefinisian Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95)
dan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 epoch
2012.00.
7. 2011-2013, bekerja sebagai tenaga konsultan di
Research Center for Geosciences, Potsdam-Germany.
8. 2014-sekarang, Konsultan Independen Bidang Informasi
Geospasial dan Bidang Ilmu Kebumian.
NOTULENSubtema:
Teknologi
110
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
2. Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc Penyaji 1. Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
2. Ketut Tomy Suhari, ST 3. Dinar W. Wardhani 4. Catur Kuat Purnomo 5. Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
Moderator Ir. Andry Novijandri Peserta Daftar Undangan terlampir
No Deskripsi Keterangan
SESI I 1. Moderator membuka acara Ir. Andry Novijandri 2. Paparan Penyaji 1 : Penggunaan Teknologi UAV/DRONE
Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
3. Paparan Penyaji 2 : Pengembagan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) Dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah
Ketut Tomy Suhari, ST
4. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Penggunaan drone dari penelitian STPN, mengurangi waktu
menjadi 1/3nya dan penggunaan tenaga 1/2 dari pengukuran kadastral terestrial.
2. Dirjen infrastruktur agraria telah melakukan pembelian UAV untuk seluruh Indonesia.
3. Hasil penelitian bisa dikembangkan untuk penyempurnaan juknis.
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
5. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Toleransi +/- pengukuran terjadi karena penggunaan rapido
0.3 dalam peta bidang dalam peta dasar 1:1000. 2. Pada masa depan yang perlu disimpan adalah koordinat,
untuk merekonstruksi bidang. Jadi skala yang dipakai adalah 1:1.
Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 2: 1. BPN masih mengerjakan pengukuran 2 dimensi. Penelitian
ini perlu diapresiasi.
Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
6. Jawaban Penyaji 1 : 1. Pergeseran pada peta foto terkait dengan hasil foto yang
dipengaruhi GSD dan GCP.
Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
7. Jawaban Penyaji 2 : 1. Penggunaan penelitian ini melihat tren pembangunan
perumahan secara vertikal. 2. Dalam perkara pengadilan dapat digunakan untuk
pembuktian sengketa hukum ruang vertikal.Bab II: A.
Ketut Tomy Suhari, ST
111
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
2. Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc Penyaji 1. Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
2. Ketut Tomy Suhari, ST 3. Dinar W. Wardhani 4. Catur Kuat Purnomo 5. Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
Moderator Ir. Andry Novijandri Peserta Daftar Undangan terlampir
No Deskripsi Keterangan
SESI I 1. Moderator membuka acara Ir. Andry Novijandri 2. Paparan Penyaji 1 : Penggunaan Teknologi UAV/DRONE
Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
3. Paparan Penyaji 2 : Pengembagan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) Dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah
Ketut Tomy Suhari, ST
4. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Penggunaan drone dari penelitian STPN, mengurangi waktu
menjadi 1/3nya dan penggunaan tenaga 1/2 dari pengukuran kadastral terestrial.
2. Dirjen infrastruktur agraria telah melakukan pembelian UAV untuk seluruh Indonesia.
3. Hasil penelitian bisa dikembangkan untuk penyempurnaan juknis.
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
5. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Toleransi +/- pengukuran terjadi karena penggunaan rapido
0.3 dalam peta bidang dalam peta dasar 1:1000. 2. Pada masa depan yang perlu disimpan adalah koordinat,
untuk merekonstruksi bidang. Jadi skala yang dipakai adalah 1:1.
Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 2: 1. BPN masih mengerjakan pengukuran 2 dimensi. Penelitian
ini perlu diapresiasi.
Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
6. Jawaban Penyaji 1 : 1. Pergeseran pada peta foto terkait dengan hasil foto yang
dipengaruhi GSD dan GCP.
Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
7. Jawaban Penyaji 2 : 1. Penggunaan penelitian ini melihat tren pembangunan
perumahan secara vertikal. 2. Dalam perkara pengadilan dapat digunakan untuk
pembuktian sengketa hukum ruang vertikal.Bab II: A.
Ketut Tomy Suhari, ST
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
Pendaftaran Tanah. B. Modal Usaha (Bagaimana menyambungkan keduanya, menjembantani agar bisa berkesinambungan).
8. Sesi Diskusi : 1. Permasalahan pengukuran ada pada sistem koordinat. 2. Ketelitian pengukuran pada presisi pengukuran, bukan
penentuan posisinya pada sistem proyeksi. 3. Apresiasi untuk Pak Ketut, Datum untuk antisipasi
kepemilikan vertikal. 4. UTM 2,5KM dari permukaan bumi TM3 dengan 650 M dari
permukaan bumi. 5. Pak Eko, hasil penelitiannya bermasalah pada internal
accuracy. 6. Distorsi pada elipsoid tinggi dari meridian dengan
koordinat TM3. 7. Rekonstruksi koordinat akibat gempa aceh cukup tinggi di
Pulau Simeleu 5m. 8. Koordinat tinggi (z) dengan planimetris distorsinya tinggi
pada UTM dan TM3, dan ini akan dialami BPN di masa depan.
9. Penentuan Koordinat z perlu menggunakan geoid sebagai referensi karena lebih presisi dibandingkan dengan msl (mean sea level).
10. Pemetaan Geoid belum dilakukan karena keterbatasan. 11. SRGI/ITRF seluruh satelit GSS menggunakan itu.
Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
9. 1. Penggunaan drone untuk pembuatan peta kerja sudah dilakukan.
2. Standarisasi jenis drone. 3. Tinggi terbang. 4. Lokasi penggunaannya seperti apa (bidang datar/bidang
berbukit) 5. Verifikasi terestris yang terstandardisasi.
Nandang Isnandar, S.SiT, M.T
10. 1. Batas ketelitian dalam penelitian 0,3 menggunakan PMNA 3/1997.
2. Apabila ada referensi ketelitian dengan koordinat bisa digunakan.
3. Demikian halnya dengan sistem koordinat terbaru (Pak Cecep), bisa dilakukan uji coba.
Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
11. 1. Akurasi adalah hasil kesepakatan. 2. Kecepatan dan biaya. 3. Seberapa cepat pekerjaan bisa dikerjakan? 4. Berapa efisiensi pembiayaannya? 5. Variabel alat, topografi, tutupan vegetasi perlu
dipertimbangkan. 6. Kita belum mengenal historical data spatial, polygon induk
yang dipecah sering hilang. Menyebabkan sengketa tidak bisa dipecahkan.
Hanhan Lukman Syahid, S.T., M.Sc.
112
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
12. 1. Semua penggunaan alat ada kelebihan dan kekurangannya. 2. Melalui riset penggunaan alat disesuaikan dengan kondisi
lapangan. 3. Juknis pengukuran dan pemetaan untuk pendaftaran tanah
perlu disesuaikan.
Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
13.
1. Di masa depan BPN akan menghadapi sengketa yang memerlukan teknologi 3 dimensi.
Ketut Tomy Suhari, ST
14. Tanggapan Narasumber : 1. PTSL dilakukan secara simultan ditemukan bidang-bidang
bermasalah. 2. Penambahan dan pembenahan dilakukan melalui PTSL. 3. Empat kategori PTSL, semua bidang terdata. Khusus K4
untuk pendataan sengketa. 4. FFP (Fit for Purpose) untuk PTSL lebih tepat, akurasi
lokasi lebih dikedepankan dengan partisipasi masyarakat
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
SESI II
15. Pemaparan Penyaji 3 : “REFORMASI SKP-KKPWEB dan KOMISI KHUSUS” sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam Momentum PTSL
Dinar W. Wardhani
16. Pemaparan Penyaji 4 : Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL
Catur Kuat Purnomo
17. Pemaparan Penyaji 5 : Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
18. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3: 1. IT KKP dan SKP web lebih cocok dengan optimalisasi
untuk menjamin kepastian hukum dan hak PTSL. 2. Selama ini pelayanan pertanahan terpisah, seharusnya bisa
di integrasikan melalui PTSL. 3. Pra dan Pelaksanaan PTSL dengan memulai mulai K4
(Sudah bersertipikat), selama pengukuran ada K2. 4. Mendorong SKP Kantah untuk entry K4. 5. Jika K4 dan K2 sudah benar, maka potensi permasalahan di
masa mendatang bisa diantisipasi. 6. Pembentukan komisi berpotensi redundant.
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi terkait ketersediaan peta dasar. 2. NJOP kurang terkait dengan prona, karena pertimbangan
penentuannya berbeda Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 5: 1. Apakah penggunaa SPDM mendukung penyelesaian PTSL? 2. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan perbaikan
proyeksi? 19. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3:
1. Penyelesaian atau pencegahan? 2. Dari mana langkah awal dua sistem yang sudah berjalan?
Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
113
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
12. 1. Semua penggunaan alat ada kelebihan dan kekurangannya. 2. Melalui riset penggunaan alat disesuaikan dengan kondisi
lapangan. 3. Juknis pengukuran dan pemetaan untuk pendaftaran tanah
perlu disesuaikan.
Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si
13.
1. Di masa depan BPN akan menghadapi sengketa yang memerlukan teknologi 3 dimensi.
Ketut Tomy Suhari, ST
14. Tanggapan Narasumber : 1. PTSL dilakukan secara simultan ditemukan bidang-bidang
bermasalah. 2. Penambahan dan pembenahan dilakukan melalui PTSL. 3. Empat kategori PTSL, semua bidang terdata. Khusus K4
untuk pendataan sengketa. 4. FFP (Fit for Purpose) untuk PTSL lebih tepat, akurasi
lokasi lebih dikedepankan dengan partisipasi masyarakat
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
SESI II
15. Pemaparan Penyaji 3 : “REFORMASI SKP-KKPWEB dan KOMISI KHUSUS” sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam Momentum PTSL
Dinar W. Wardhani
16. Pemaparan Penyaji 4 : Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL
Catur Kuat Purnomo
17. Pemaparan Penyaji 5 : Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
18. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3: 1. IT KKP dan SKP web lebih cocok dengan optimalisasi
untuk menjamin kepastian hukum dan hak PTSL. 2. Selama ini pelayanan pertanahan terpisah, seharusnya bisa
di integrasikan melalui PTSL. 3. Pra dan Pelaksanaan PTSL dengan memulai mulai K4
(Sudah bersertipikat), selama pengukuran ada K2. 4. Mendorong SKP Kantah untuk entry K4. 5. Jika K4 dan K2 sudah benar, maka potensi permasalahan di
masa mendatang bisa diantisipasi. 6. Pembentukan komisi berpotensi redundant.
Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc
Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi terkait ketersediaan peta dasar. 2. NJOP kurang terkait dengan prona, karena pertimbangan
penentuannya berbeda Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 5: 1. Apakah penggunaa SPDM mendukung penyelesaian PTSL? 2. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan perbaikan
proyeksi? 19. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3:
1. Penyelesaian atau pencegahan? 2. Dari mana langkah awal dua sistem yang sudah berjalan?
Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
3. Bagaimana usulan apakah peta harus sama? Karena beda sistem
Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Prioritas apa dasarnya? 2. Mengapa dasarnya NJOP? 3. NJOP besar atau kecil yang menjadi prioritas awal, karena
BPN sudah menggunakan ZNT. 4. Hasil uji bahwa yang gelap di ujung selatan dan utara,
bagaimana aplikatifnya? Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: Rekonstruksi di BPN harus sesuai dengan hasil pengukuran dan harus diplotkan di SPDN, dengan sebelumnya ada 20 juta titik yang sudah diukur. Apa saran untuk menuju ideal. Karena BPN adalah IGT-nya (20 juta titik)
20. Jawaban Penyaji 3: 1. konflik tidak akan terjadi bila terjadi optimalisasi, di
daerah lebih mengoptimalkan K1. 2. Tools untuk mencegah --> SKP-KKPWEB 3. Tools untuk menyelesaikan --> komisi khusus 4. SKP-KKPWeb sudah disediakan Pusdatin, sehingga bisa
dioptimalkan 5. Petanya sudah satu berdasarkan peta pendaftaran di KKP-
Web
Dinar W. Wardhani
21. Jawaban Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi tergantung ketersediaan data, prioritas
lokasi bisa dilakukan melalui regresi spasial. 2. Lokasi spesifik dengan penentuan melalui analisis spasial
dengan variabel NJOP, diharapkan meningkatkan keberhasilan PTSL.
3. Spatial Error dan Spatial Lack Analysis menghasilkan data peta prioritas.
Catur Kuat Purnomo
22. Jawaban Penyaji 5: 1. Sistem koordinat SPDM merupakan pilihan. 2. IGD (Informasi Geospasial Dasar) yang dimaksud BIG dan
BPN berbeda. 3. BPN membuat IGT ( Informasi Geospasial Tematik) . 4. Perbedaan sistem proyeksi meninggalkan permasalahan
untuk NSDI. 5. Jika sudah selesai pengukuran PTSL nasional metadata
perlu dipelihara. 6. Contohlah penyimpanan metadata di USGS yang sangat
detil dari waktu, surveyor, data asli. 7. Drone untuk survei memerlukan spesifikasi tinggi yang
harganya mahal. 8. Ketersedian peta dasar pendaftaran yang berproyeksi
berbeda meninggalkan masalah di masa depan.
Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc
23. Tanggapan pada Penyaji 3, 4, dan 5 : 1. Pemahaman PTSL di tingkat lapangan berlainan
Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.
114
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
menanggapi penyaji 4. 2. Selain ini itu interpretasi regresi dengan variabel yang
sudah ditranformasi ke skala logaritma perlu diperbaiki. 3. Konsep PTSL tidak dipahami seragam di tingkat pelaksana. 4. Model Spatial Lack dan Spatial Error kurang bagus untuk
penentuan lokasi secara statistik. 5. Peningkatan perolehan NJOP tidak tetap, karena log
dengan log, bukan antar variabel. 6. Signifikasi level tunggal untuk pengambilan kesimpulan
perlu dilakukan. 7. Perlu adanya peer review untuk menghidari kesalahan
elementer dalam makalah. 24. Penutup Moderator
1. Pemahaman pelaksanaan PTSL yang terdiri dari empat kluster, bukan hanya sertifikasi di tingkat pelaksana perlu diseragamkan.
2. Perbaikan metode statistik diperlukan. Walaupun secara indikatif, peta NJOP yang telah lengkap dapat dijadikan referensi.
3. Metadata pengukuran perlu disimpan dengan baik untuk dapat dimanfaatkan, walaupun penggunaan metode dan teknologi berbeda di masa mendatang.
Ir. Andry Novijandri
Jakarta, 21 November 2017
Notulis
115
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : TEKNOLOGI
menanggapi penyaji 4. 2. Selain ini itu interpretasi regresi dengan variabel yang
sudah ditranformasi ke skala logaritma perlu diperbaiki. 3. Konsep PTSL tidak dipahami seragam di tingkat pelaksana. 4. Model Spatial Lack dan Spatial Error kurang bagus untuk
penentuan lokasi secara statistik. 5. Peningkatan perolehan NJOP tidak tetap, karena log
dengan log, bukan antar variabel. 6. Signifikasi level tunggal untuk pengambilan kesimpulan
perlu dilakukan. 7. Perlu adanya peer review untuk menghidari kesalahan
elementer dalam makalah. 24. Penutup Moderator
1. Pemahaman pelaksanaan PTSL yang terdiri dari empat kluster, bukan hanya sertifikasi di tingkat pelaksana perlu diseragamkan.
2. Perbaikan metode statistik diperlukan. Walaupun secara indikatif, peta NJOP yang telah lengkap dapat dijadikan referensi.
3. Metadata pengukuran perlu disimpan dengan baik untuk dapat dimanfaatkan, walaupun penggunaan metode dan teknologi berbeda di masa mendatang.
Ir. Andry Novijandri
Jakarta, 21 November 2017
Notulis
MAKALAHSubtema:
Hukum dan Manajemen
116
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PENDAFTARAN SISTEMATIK LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA
(Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara)
Wahyuni
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ABSTRAK Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selan itu pendaftaran
tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database pertanahan yang
sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen pertanahan. Tahun 2016
dimulai program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) untuk
percepatan pendaftaran tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu
5 tahun dapat didaftar 60 juta bidang tanah
Pelaksanaan PTSL dengan output kuantitas yang tinggi dipastikan akan
menemui masalah-masalah dan diperlukan strategi penyelesaian khusus sesuai
karakteristik wilayah di mana kegiatan PTSL dilaksanakan. Berdasarkan
permasalahan tersebut perlu dikaji “Problematika Pelaksanaan Program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya”
Metode penelitian menggunakan metode kualitatif-eksploratoris. Pengumpulan
data dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para pelaku PTSL, dan
kajian eksploratoris dilakukan terhadap pendaftaran tanah sistematis
menggunakan data dari kajian pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan pelaksanaan PTSL adalah (1)
Belum ada pemahaman yang sama antara Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kantor-kantor Pertanahan tentang
output dari pelaksanaan PTSL; (2) ketersediaan SDM yang belum memadai baik
jumlah maupun kompetensi;(3) Belum ada pengaturan yang bersifat operasional
sebagai dasar koordinasi antar sektor dalam mendukung PTSL;(4) Kesadaran
serta kepercayaan masyarakat bervariasi; (5) Belum ada perlindungan hukum
terhadap petugas maupun produk PTSL (6) Perhitungan target bidang yang pada
lokasi PTSL tidak didasarkan pada perhitungan yang akurat. Penyelesaian yang
dapat ditempuh untuk meminimalkan hambatan pelaksanaan PTSL adalah
117
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PENDAFTARAN SISTEMATIK LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA
(Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara)
Wahyuni
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ABSTRAK Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selan itu pendaftaran
tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database pertanahan yang
sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen pertanahan. Tahun 2016
dimulai program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) untuk
percepatan pendaftaran tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu
5 tahun dapat didaftar 60 juta bidang tanah
Pelaksanaan PTSL dengan output kuantitas yang tinggi dipastikan akan
menemui masalah-masalah dan diperlukan strategi penyelesaian khusus sesuai
karakteristik wilayah di mana kegiatan PTSL dilaksanakan. Berdasarkan
permasalahan tersebut perlu dikaji “Problematika Pelaksanaan Program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya”
Metode penelitian menggunakan metode kualitatif-eksploratoris. Pengumpulan
data dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para pelaku PTSL, dan
kajian eksploratoris dilakukan terhadap pendaftaran tanah sistematis
menggunakan data dari kajian pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan pelaksanaan PTSL adalah (1)
Belum ada pemahaman yang sama antara Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kantor-kantor Pertanahan tentang
output dari pelaksanaan PTSL; (2) ketersediaan SDM yang belum memadai baik
jumlah maupun kompetensi;(3) Belum ada pengaturan yang bersifat operasional
sebagai dasar koordinasi antar sektor dalam mendukung PTSL;(4) Kesadaran
serta kepercayaan masyarakat bervariasi; (5) Belum ada perlindungan hukum
terhadap petugas maupun produk PTSL (6) Perhitungan target bidang yang pada
lokasi PTSL tidak didasarkan pada perhitungan yang akurat. Penyelesaian yang
dapat ditempuh untuk meminimalkan hambatan pelaksanaan PTSL adalah
sebagai berikut: (1) Persamaan persepsi output yang hendak dicapai melalui
kegiatan PTSL sehingga dapat dipilih strategi yang tepat untuk penyelesaian
PTSL dengan melihat karakter bidang tanah pada lokasi PTSL; (2) perhitungan
kemampuan SDM untuk penyelesaian pekerjaan; (3) Perlu ada kerja bersama
yang lebih padu antar sektor (4) Intensifikasi penyuluhan dengan melibatkan
desa dan masyarakat setempat; (5) Kantor Pertanahan harus memahami
karakteristik penguasaan pemilikan tanah di daerahnya untuk dapat
memperhitungkan bidang yang dapat diklasifikasikan sebagai K1, K2, K3, K4; (6)
Kementrian ATR/BPN harus segera menerbitkan peraturan yang setingkat
Peraturan Pemerintah atau Undang-undang untuk melindungi proses PTSL
maupun Produk PTSL, atau melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kata Kunci : PTSL, Problematika, Penyelesaian PTSL
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kepastian hukum hak atas tanah serta kesejahteraan masyarakat
merupakan tujuan pengelolaan pertanahan yang menjadi agenda dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Kedua tujuan ini menjadi
dasar isu-isu strategis yang diusung dalam pembangunan di bidang pertanahan
yaitu : (1) Jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanahnya; (2)
Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah
(P4T) serta kesejahteraan masyarakat; (3) Kinerja pelayanan pertanahan; dan
(4) Ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Selanjutnya untk menjawab isu-isu strategis ditetapkan sasaran-sasaran
diantaranya adalah meningkatnya jaminan kepastian hukum yang disapai melalui
sistem pendaftaran tanah positif.
Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan
kepastian hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selain itu
pendaftaran tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database
pertanahan yang sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen
pertanahan. Database pertanahan yang lengkap ini merupakan jawaban
terhadap baseline kondisi umum untuk meningkatnya kinerja pelayanan
pertanahan dengan pengembangan konsep kadaster multiguna.
118
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia, saat ini menjadi prioritas utama Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 2025 diharapkan seluruh
bidang tanah di Indonesia sudah dipetakan,dan pada tahun 2017 dimulai
program pendaftaran tanah secara sistematik untuk percepatan pendaftaran
tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu 5 tahun dapat didaftar
60 juta bidang tanah (http://setkab.go.id, diakses tanggal 6 Februari 2017).
Presiden memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil agar menyelesaikan 5 juta
sertifikat pada tahun 2017, 7 juta sertifikat pada tahun 2018; dan 9 juta sertifikat
pada tahun 2019. Sementara RPJM 2015-2019 menetapkan sasaran sebesar 70
% dari sasaran ideal sebesar 80 % dari luas wilayah secara nasional (tidak
termasuk kawasan hutan).
Program percepatan pendaftaran tanah bukanlah program yang pertama
kali dilakukan. Pada tahun 1981, Pemerintah mencanangkan Proyek Operasi
Nasional Agraria (PRONA) yang diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981
tentang Proyek Operasi Nasional Agraria dengan tujuan utama memproses
pensertipikatan tanah secara masal, terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan
masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara
tuntas sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Dalam periode 1995 s/d
2001, dengan bantuan Bank Dunia, Indonesia melaksanakan proyek
pensertifikatan tanah melalui program ILAP (Indonesian Land Administration
Project). Dalam kerangka ILAP ini Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah
10 tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Dukungan Bank Dunia untuk penyelenggaraan pendaftaran
tanah ini berlanjut melaui program LMPDP (Land Management and Policy
Development Project) yang dilaksanakan tahun 2004 s/d 2009. Program ILAP
maupun LMPDP yang didukung dengan program percepatan seperti ajudikasi
mapun PRONA ternyata tidak dapat meneyelesaikan pendaftaran seluruh bidang
tanah, termasuk pemetaannya (van der Eng, P., 2016) Beberapa masalah yang
terjadi setelah proses pengukuran dan pemetaan berdasarkaan Peraturan
Pemerntah Nomor24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah antara lain adalah (1)
Bidang terdaftar namn tidak terpetakan; (2) Bidang terdaftar, terpetakan namun
119
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia, saat ini menjadi prioritas utama Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 2025 diharapkan seluruh
bidang tanah di Indonesia sudah dipetakan,dan pada tahun 2017 dimulai
program pendaftaran tanah secara sistematik untuk percepatan pendaftaran
tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu 5 tahun dapat didaftar
60 juta bidang tanah (http://setkab.go.id, diakses tanggal 6 Februari 2017).
Presiden memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil agar menyelesaikan 5 juta
sertifikat pada tahun 2017, 7 juta sertifikat pada tahun 2018; dan 9 juta sertifikat
pada tahun 2019. Sementara RPJM 2015-2019 menetapkan sasaran sebesar 70
% dari sasaran ideal sebesar 80 % dari luas wilayah secara nasional (tidak
termasuk kawasan hutan).
Program percepatan pendaftaran tanah bukanlah program yang pertama
kali dilakukan. Pada tahun 1981, Pemerintah mencanangkan Proyek Operasi
Nasional Agraria (PRONA) yang diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981
tentang Proyek Operasi Nasional Agraria dengan tujuan utama memproses
pensertipikatan tanah secara masal, terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan
masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara
tuntas sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Dalam periode 1995 s/d
2001, dengan bantuan Bank Dunia, Indonesia melaksanakan proyek
pensertifikatan tanah melalui program ILAP (Indonesian Land Administration
Project). Dalam kerangka ILAP ini Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah
10 tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Dukungan Bank Dunia untuk penyelenggaraan pendaftaran
tanah ini berlanjut melaui program LMPDP (Land Management and Policy
Development Project) yang dilaksanakan tahun 2004 s/d 2009. Program ILAP
maupun LMPDP yang didukung dengan program percepatan seperti ajudikasi
mapun PRONA ternyata tidak dapat meneyelesaikan pendaftaran seluruh bidang
tanah, termasuk pemetaannya (van der Eng, P., 2016) Beberapa masalah yang
terjadi setelah proses pengukuran dan pemetaan berdasarkaan Peraturan
Pemerntah Nomor24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah antara lain adalah (1)
Bidang terdaftar namn tidak terpetakan; (2) Bidang terdaftar, terpetakan namun
bermasalah; (3) Informasi bidang kurang lengkap; (4) Spasial bdang tanah tidak
lengkap satu kelurahan.
Pada tahun 2016 diluncurkan inovasi pecepatan pendaftaran tanah melalui
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), sebagai jawaban terhadap
berbagai kesulitan percepatan pendaftaran tanah. Konsep baru ini menemui
banyak kendala yang memerlukan strategi khusus untuk dapat melaksanakan
sesuai tujuannya yaitu percepatan pendaftaran tanah yang salah satunya diukur
dengan target penerbitan sertipikat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka sangat perlu dikaji
PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA 1.2. Rumusan Masalah :
a. Bagaimana problematika pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap (PTSL)
b. Bagaimana alternatif penyelesaian terhadap problematika PTSL
1.3. Tujuan Penulisan a. Melakukan kajian untuk dapat menangkap problematika yang terjadi pada
pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
b. Menemukan dan menganalisis alternatiif penyelesaian terhadap masalah-
masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap
1.4. Manfaat Penulisan a. Manfaat secara teoritis
Memperkaya teori-teori mengenai praktik pendaftaran tanah sistematik
lengkap dengan segala problematikanya
b. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan
srategi pelaksanaan PTSL
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Problematika Pendaftaran Tanah dan Adminstrasi Pertanahan
Kata problematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
masalah-masalah atau persoalan. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL) menurut Peraturan menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi
120
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam
satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya.
Problematika dalam pelaksanaan PTSL berarti masalah-masalah atau
persoalan yang terjadi dalam proses pelaksanaan PTSL. Masalah-masalah atau
persoalan yang terjadi dapat diformulasikan alternatif penyelesaiannya dengan
terlebih dahulu mengupas makna dari pendaftaran tanah dan tujuan yang hendak
dicapai melalui pendaftaran tanah.
Menurut Zevenbergen (2002:26) terdapat terminologi yang heterogen untuk
pendaftaran tanah yang dapat dirujuk menjadi standar di seluruh dunia.
Pendaftaran tanah ditafsirkan berbeda-beda di setiap negara, dibangun sesuai
kebutuhan dan dikembangkan dengan historinya masing-masing. (Pendaftaran
berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk
suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan suatu
bidang tanah. Selanjutnya Pendaftaran juga berasal dari bahasa latin capitastum
yang berarti suatu register atau capita atau unit diperbuat untuk pajak tanah
Romawi (capotatio terrens), sedangkan menurut Rawton Simpson (1976)
pendaftaran tanah merupakan suatu upaya yang tangguh dalam administrasi
kenegaraan, sehingga dapat juga dikatakan pendaftaran tanah merupakan
bagian dari mekanisme pemerintahan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau
yang dikenal denngan UUPA memberikan arahan apa yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah di Indonesia. Pengertian Pendaftaran Tanah dalam Pasal 19
ayat (2) UUPA yaitu: (a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah (b)
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak- hak tersebut (c) Pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 19 ayat (2) ini menyiratkan makna bahwa dalam kegiatan pendaftaran
tanah ada 3 kegiatan yaitu pembukuan tanah, pembukuan hak untuk tanah-tanah
yang dapat diterbitkan atau dikenali haknya, dan pemberian tanda bukti yang kuat
untuk tanah-tanah yang sudah dapat diidentifikasi hak-haknya.
Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
121
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam
satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya.
Problematika dalam pelaksanaan PTSL berarti masalah-masalah atau
persoalan yang terjadi dalam proses pelaksanaan PTSL. Masalah-masalah atau
persoalan yang terjadi dapat diformulasikan alternatif penyelesaiannya dengan
terlebih dahulu mengupas makna dari pendaftaran tanah dan tujuan yang hendak
dicapai melalui pendaftaran tanah.
Menurut Zevenbergen (2002:26) terdapat terminologi yang heterogen untuk
pendaftaran tanah yang dapat dirujuk menjadi standar di seluruh dunia.
Pendaftaran tanah ditafsirkan berbeda-beda di setiap negara, dibangun sesuai
kebutuhan dan dikembangkan dengan historinya masing-masing. (Pendaftaran
berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk
suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan suatu
bidang tanah. Selanjutnya Pendaftaran juga berasal dari bahasa latin capitastum
yang berarti suatu register atau capita atau unit diperbuat untuk pajak tanah
Romawi (capotatio terrens), sedangkan menurut Rawton Simpson (1976)
pendaftaran tanah merupakan suatu upaya yang tangguh dalam administrasi
kenegaraan, sehingga dapat juga dikatakan pendaftaran tanah merupakan
bagian dari mekanisme pemerintahan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau
yang dikenal denngan UUPA memberikan arahan apa yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah di Indonesia. Pengertian Pendaftaran Tanah dalam Pasal 19
ayat (2) UUPA yaitu: (a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah (b)
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak- hak tersebut (c) Pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 19 ayat (2) ini menyiratkan makna bahwa dalam kegiatan pendaftaran
tanah ada 3 kegiatan yaitu pembukuan tanah, pembukuan hak untuk tanah-tanah
yang dapat diterbitkan atau dikenali haknya, dan pemberian tanda bukti yang kuat
untuk tanah-tanah yang sudah dapat diidentifikasi hak-haknya.
Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya Tujuan
dilaksanakannya Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan jaminan
Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum.
Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian
hukum hak atas tanah yang dimiliki. Kepastian hukum hak atas tanah dapat
diperoleh pemegang hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah.
Sasaran dari kepastian hukum hak atas tanah adalah memberikan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah, (siapa pemiliknya, ada / tidak beban di
atasnya) dan kepastian mengenai obyeknya, yaitu letaknya, batas-batasnya dan
luasnya serta ada atau tidaknya bangunan, tanaman di atasnya . (Effendy,
1993;5) Rangkaian kegiatan pendaftaran tanah terdiri dari : (1) Pengumpulan dan
pengolahan data fisik; (2) Pembuktian hak dan pembukuannya; (3) penerbitan
sertipikat; (4) penyajian data fisik dan data yuridis; (5) penyimpanan daftar umum
dan dokumen untuk pedaftaran tanah pertama kali dan (1) pendaftaran
perubahan dan pembebanan hak; serta (2) pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah lainnya. Untuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. United Nation- Economic Comission for Europe (UNECE)(2006)
menyatakan pendaftaran tanah merupakan salah satu bentuk dari administrasi
pertanahan berupa perekaman (recording) data pertanahan, dengan penjaminan
kebenaran informasi pemilikan dan penguasaan tanah. Output pendaftaran tanah
adalah berupa daftar tanah disebut sebagai kadaster yang dapat digunakan untuk
banyak kepentingan termasuk manajemen pertanahan.Manajemen pertanahan
yang berkelanjutan dapat dilaksanakan secara terukur apabila didasarkan atas
ketersediaan data pertanahan yang lengkap dan akurat melalui administrasi
pertanahan yang berkualitas Kondisi bentang alam beberapa negara di dunia menyebabkan beberapa
kesulitan untuk mewujudkan data kadaster yang komprehensif. Enemark (2014)
memeperkenalkan reformasi dengan percepatan Administrasi Pertanahan
melalui konsep Fit for Purpose. Menurut Enemark reformasi administrasi
pertanahan dapat dicapai dengan membangun kerangka spasial, kerangka
122
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
hukum, dan kerangka institusional. Kerangka spasial dapat dibangun dengan 4
(empat) prinsip yaitu : (1) Penggunaan konsep general boundary daripada fix
boundary; (2) Penggunaan citra (fotogrametri) daripada survey lapang (terestris);
(3) Akurasi lebih mengakomodasi tujuan akhir penyelenggaraan administrasi
pertanahan daripada sekedar kesesuaian dengan standar teknis pengukuran dan
pemetaan; (4) Perbaikan kualitas data spasial melalui perubahan data dan
peningkatan kualitas. Konsep percepatan administrasi pertanahan juga dapat dicapai melalui
pembangunan kerangka hukum yang lebih memihak pada kepentingan
administratif daripada kepentingan hukum. Konsep pemilikan dan penguasaan
tanah yang rumit menjadi kendala yang cukup mempengaruhi proses reformasi
administrasi pertanahan, sehingga pertimbangan hukum sementara dapat
dikesampingkan. Kerangka legal sistem tenurial, harus dapat mengadopsi
adanya konsep social tenure di mana di Indonesia terdapat daerah-daerah
dengan sistem penguasaan tanah adat yang beragam, dan sudah pasti
memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat membangun tata laksana
pemberian/pengakuan hakuntuk masing-masing sistem penguasaan tanah adat.
Demikian pula keberadaan tanah negara yang saat ini semakin kompleks,
dengan adanya penguasaan/pemilikan tanah yang diperlakukan sebagai aset dari
masing-masing organisasi pemerintahan. Percepatan ke arah terwujudnya
administrasi pertanahan yang komplit harus mempertimbangkan simplifikasi dari
tata hukum penguasaan pemilikan yang yang berlaku tidak hanya untuk
perorangan, namun juga Badan Hukum dan Instansi Pemerintah. Kerangka
institusional dibangun untuk memberikan arahan bagaimana sektor-sektor lain
dapat melakukan dukungan (supporting) terhadap administrasi pertanahan. Jika percepatan pendaftaran tanah ditujukan kepada terbentuknya
administrasi pertanahan yang modern yang lengkap maka pelaksanaan
pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk membentuk sistem kadaster
nasional, harus memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan sistem administrasi
pertanahan sesuai tujuan fit for purpose. 2.2. Pendaftaran Tanah Sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
123
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
hukum, dan kerangka institusional. Kerangka spasial dapat dibangun dengan 4
(empat) prinsip yaitu : (1) Penggunaan konsep general boundary daripada fix
boundary; (2) Penggunaan citra (fotogrametri) daripada survey lapang (terestris);
(3) Akurasi lebih mengakomodasi tujuan akhir penyelenggaraan administrasi
pertanahan daripada sekedar kesesuaian dengan standar teknis pengukuran dan
pemetaan; (4) Perbaikan kualitas data spasial melalui perubahan data dan
peningkatan kualitas. Konsep percepatan administrasi pertanahan juga dapat dicapai melalui
pembangunan kerangka hukum yang lebih memihak pada kepentingan
administratif daripada kepentingan hukum. Konsep pemilikan dan penguasaan
tanah yang rumit menjadi kendala yang cukup mempengaruhi proses reformasi
administrasi pertanahan, sehingga pertimbangan hukum sementara dapat
dikesampingkan. Kerangka legal sistem tenurial, harus dapat mengadopsi
adanya konsep social tenure di mana di Indonesia terdapat daerah-daerah
dengan sistem penguasaan tanah adat yang beragam, dan sudah pasti
memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat membangun tata laksana
pemberian/pengakuan hakuntuk masing-masing sistem penguasaan tanah adat.
Demikian pula keberadaan tanah negara yang saat ini semakin kompleks,
dengan adanya penguasaan/pemilikan tanah yang diperlakukan sebagai aset dari
masing-masing organisasi pemerintahan. Percepatan ke arah terwujudnya
administrasi pertanahan yang komplit harus mempertimbangkan simplifikasi dari
tata hukum penguasaan pemilikan yang yang berlaku tidak hanya untuk
perorangan, namun juga Badan Hukum dan Instansi Pemerintah. Kerangka
institusional dibangun untuk memberikan arahan bagaimana sektor-sektor lain
dapat melakukan dukungan (supporting) terhadap administrasi pertanahan. Jika percepatan pendaftaran tanah ditujukan kepada terbentuknya
administrasi pertanahan yang modern yang lengkap maka pelaksanaan
pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk membentuk sistem kadaster
nasional, harus memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan sistem administrasi
pertanahan sesuai tujuan fit for purpose. 2.2. Pendaftaran Tanah Sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan yang diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah (Harsono,
2005)
Mengenai pendaftaran tanah sistematik, Pasal 1 PP Nomor 24 tahun 1997,
ditetapkan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi dibentuk oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk dan
mengenai pembentukan panitia ajudikasi serta susunan tugas dan kewenangan
akan diatur lebih lanjut. Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Penggunaan terminologi pengumpulan dan penetapan keenaran data fisik
dan data yuridis tersebut mengandung berbagai aspek teknis dan yuridis dan bila
ditinjau lebih dalam lagi, ternyata definisi tersebut merupakan penyempurnaan
dari pada ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP 10 Tahun
1961 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 UUPA, yang hanya meliputi
pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak
atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak atau sertipikat.
a. Pendaftaran tanah sistematik dengan ajudikasi
Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses
pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan
kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. (Harsono;2005) Pengertian
definisi tersebut mengandung berbagai aspek teknis dan yuridis yang merupakan
penyempurnaan dari pada ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah
berdasarkan PP 10 Tahun 1961 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2
UUPA, yang hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah,
pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak
atau sertipikat.
Pendaftaran tanah sistematik melalui Ajudikasi memberikan proses
jaminan kualitas data fisik dan yuridis oleh pengumpul data fisik maupun yuriidis,
dengan proses penetapan kebenarannya secara materiil. Ajudikasi dilaksanakan
dengan membentuk Panitia Ajudikasi, dengan maksud pelaksanaan pendaftaran
tanah secara massal melalui ajudikasi tidak mengganggu pekerjaan pendaftaran
124
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
tanah yang bersifat pelayanan rutin. Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun
1997 ditetapkan :
Bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh panitia ajudikasi, yang dibentuk oleh Menteri
Negara Agraria Kepala BPN atau Pejabat yang ditunjuk. Panitia Ajudikasi sesuai
dengan PP No. 24 Tahun 1997 ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut :
1) Menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terperinci;
2) Mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang
tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda
penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya;.
3) Menyelidiki riwayat tanah dan menilai kebenaran alat bukti pemilikan atau
penguasaan tanah;
4) Mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan;
5) Membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihak-
pihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan;
6) Mengesahkan hasil pengumuman data fisik dan data yuridis yang akan
digunakan sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan pemberian hak;
7) Menerima uang pembayaran, mengumpulkan dan memelihara setiap
kuitansi bukti pembayaran dan penerimaan uang yang dibayarkan oleh
mereka yang berkepentingan sesuai ketentuan yang berlaku;
8) Menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan
panitia ajudikasi kepada Kepala Kantor Pertanahan;
9) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus kepada yang
berhubungan dengan pendaftaran tanah secara sistematis di lokasi yang
bersangkutan
b. Pendaftaran tanah sistematis dengan Proyek Operasi Nasional Agraria
(PRONA)
Pengertian PRONA adalah “Semua kegiatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran
tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dalam
rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah” (Parlindungan, 1999)
Pelaksanaan PRONA ini, merupakan usaha dari pemerintah untuk
memberikan stimulasi kepada pemegang hak atas tanah agar berpartisipasi
dengan melakukan pensertipikatan atas tanahnya dan berusaha membantu
125
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
tanah yang bersifat pelayanan rutin. Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun
1997 ditetapkan :
Bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh panitia ajudikasi, yang dibentuk oleh Menteri
Negara Agraria Kepala BPN atau Pejabat yang ditunjuk. Panitia Ajudikasi sesuai
dengan PP No. 24 Tahun 1997 ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut :
1) Menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terperinci;
2) Mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang
tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda
penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya;.
3) Menyelidiki riwayat tanah dan menilai kebenaran alat bukti pemilikan atau
penguasaan tanah;
4) Mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan;
5) Membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihak-
pihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan;
6) Mengesahkan hasil pengumuman data fisik dan data yuridis yang akan
digunakan sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan pemberian hak;
7) Menerima uang pembayaran, mengumpulkan dan memelihara setiap
kuitansi bukti pembayaran dan penerimaan uang yang dibayarkan oleh
mereka yang berkepentingan sesuai ketentuan yang berlaku;
8) Menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan
panitia ajudikasi kepada Kepala Kantor Pertanahan;
9) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus kepada yang
berhubungan dengan pendaftaran tanah secara sistematis di lokasi yang
bersangkutan
b. Pendaftaran tanah sistematis dengan Proyek Operasi Nasional Agraria
(PRONA)
Pengertian PRONA adalah “Semua kegiatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran
tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dalam
rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah” (Parlindungan, 1999)
Pelaksanaan PRONA ini, merupakan usaha dari pemerintah untuk
memberikan stimulasi kepada pemegang hak atas tanah agar berpartisipasi
dengan melakukan pensertipikatan atas tanahnya dan berusaha membantu
menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Stimulasi
dilakukan dengan memberikan kepada masyarakat tersebut fasilitasi dan
kemudahan, serta pemberdayaan organisasi dan SDM.
Berbeda dengan pendaftaran tanah sistematik melalui ajudikasi, PRONA
dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan pelayanan pertanahan di Kantor
Pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya tidak dibentuk Panitia khusus.
c. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap diinisiasi oleh Pemerintah dalam
rangka mewujudkan kehadiran Negara di bidang pertanahan dengan
memberikan jaminan kepastian hukum Hak Atas Tanah sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Data tanah terdaftar yang besarnya kurang dari 50% dari taksiran jumlah
bidang tanah di seluruh Indonesia mendorong Pemerintah melakukan upaya
terobosan percepatan pendaftaran tanah untuk mengejar prosentase tanah
terdaftar. Salah satu cara yang ditempuh Kementerian Agraria dan Tata Ruang
adalah melalui program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 jo Peraturan
Mentri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2017 sebagaimana
diubah dengan Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang Nomor 12 Tahun 2017
tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dilaksanakan melalui tahapan sebagai
berikut :
1) Persiapan, seluruh jajaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional memberikan informasi secara terbuka kepada
masyarakat bahwa akan dilaksanakan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap baik secara langsung ataupun melalui berbagai media. Dalam
masa persiapan ini disiapkan pula database tanah bidang tanah belum
tervalidasi, bidang tanah belum terpetakan, dan bidang tanah yang belum
didaftarkan, serta melihat ketersediaan peta dasar. Berdasarkan database
yang disiapkan dapat dilakukan pemilihan lokasi sera penetapan lokasi
serta menyiapkan hitungan target K1, K2, K3, dan K4
126
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada klaster K1,
dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan batas
(pemasangan patok).
2) Penyuluhan, dilakukan oleh Kantor-Kantor pertanahan beserta Panitia
Ajudikasi Percepatan dan Satgas Yuridis bersama Satgas Fisik. Dalam
penyuluhan disampaikan tahapan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap, dokumen yuridis yang perlu disiapkan dan jadwal pengumpulan
data yuridis. Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada
klaster K1, dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan
batas (pemasangan patok)
3) Pengukuran dan pemetaan bidang, dilaksanakan dengan beberapa metode
pengukuran seperti : Terestrial, Fotogrametri, Pengamatan Satelit, atau
kombinasi dari dari ketiganya.
4) Pengumpulan Data Yuridis, dilaksanakan oleh Pengumpul Data Yuridis
yaitu seorang Aparatur Sipil Negara dan/atau non Aparatur Sipil Negara
yang telah ditetapkan untuk melaksanakan tugas mengumpulkan data
yuridis.
5) Pengolahan Data Yuridis dan Pembuktian Hak, analisis dilakukan oleh
Panitia Ajudikasi Percepatan terkait data kepemilikan yang memiliki
hubungan hukum antara subyek/peserta Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap dengan tanah obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang
kemudian hasilnya akan diklusterisasi/dikelompokkan berdasarkan
ketentuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional.
6) Pemeriksaan Tanah, untuk memastikan keterangan yang tertuang dalam
yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.
7) Pengumuman, hasil pemeriksaan tanah yang menyimpulkan dapat
dibukukan dan/atau diterbitkannya Sertipikat Hak Atas Tanah atas suatu
bidang diumumkan pada papan pengumuman di Kantor Pertanahan,
Kantor Kelurahan/Desa, Sekretariat RT/RW dan/atau web portal
daerah/Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
8) Pengesahan, hasil pengumuman disahkan dalam Berita Acara Hasil
Pengumuman oleh Panitia Ajudikasi.
9) Penerbitan SK Penetapan Hak dan SK Penegasan/Pengakuan Hak.
127
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada klaster K1,
dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan batas
(pemasangan patok).
2) Penyuluhan, dilakukan oleh Kantor-Kantor pertanahan beserta Panitia
Ajudikasi Percepatan dan Satgas Yuridis bersama Satgas Fisik. Dalam
penyuluhan disampaikan tahapan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap, dokumen yuridis yang perlu disiapkan dan jadwal pengumpulan
data yuridis. Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada
klaster K1, dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan
batas (pemasangan patok)
3) Pengukuran dan pemetaan bidang, dilaksanakan dengan beberapa metode
pengukuran seperti : Terestrial, Fotogrametri, Pengamatan Satelit, atau
kombinasi dari dari ketiganya.
4) Pengumpulan Data Yuridis, dilaksanakan oleh Pengumpul Data Yuridis
yaitu seorang Aparatur Sipil Negara dan/atau non Aparatur Sipil Negara
yang telah ditetapkan untuk melaksanakan tugas mengumpulkan data
yuridis.
5) Pengolahan Data Yuridis dan Pembuktian Hak, analisis dilakukan oleh
Panitia Ajudikasi Percepatan terkait data kepemilikan yang memiliki
hubungan hukum antara subyek/peserta Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap dengan tanah obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang
kemudian hasilnya akan diklusterisasi/dikelompokkan berdasarkan
ketentuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional.
6) Pemeriksaan Tanah, untuk memastikan keterangan yang tertuang dalam
yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.
7) Pengumuman, hasil pemeriksaan tanah yang menyimpulkan dapat
dibukukan dan/atau diterbitkannya Sertipikat Hak Atas Tanah atas suatu
bidang diumumkan pada papan pengumuman di Kantor Pertanahan,
Kantor Kelurahan/Desa, Sekretariat RT/RW dan/atau web portal
daerah/Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
8) Pengesahan, hasil pengumuman disahkan dalam Berita Acara Hasil
Pengumuman oleh Panitia Ajudikasi.
9) Penerbitan SK Penetapan Hak dan SK Penegasan/Pengakuan Hak.
10) Pembukuan Hak, pencetakan Buku Tanah dan salinannya (sertipikat hak
atas tanah).
11) Penyerahan Sertipikat, dicatat dalam Daftar Isian Penyerahan Sertipikat.
(www.bpn.go.id)
Perbedaan yang menarik dari konsep PTSL dibandingkan dengan konsep
perndaftaran tana sistematik sebelumnya adalah adanya kesadaran bahwa
berdasarkan aspek yuridisnya tidak semua bidang tanah dapat diterbitkan
setipikatnya. Untuk memenuhi aspek kelengkapan daftar tanah maka dalam
Petunjuk Teknis Pengumpulan Data Yuridis PTSL Nomor 01/JUKNIS-
400/XII/2016, mengklasifikasikan data yuridis bidang tanah menjadi 4 klaster
yaitu :
(1) Klaster 1 yaitu data yuridis bidang tanah, memenuhi syarat diproses
sampai dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah
(2) Klaster 2 (dua) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat
untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat perkara di Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35Tahun 2016.
(3) Kluster 3 (tiga) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya tidak dapat
dibukukan dan diterbitkan sertipikat karena Subyek Warga Negara Asing,
Badan Hukum Swasta, subyek tidak diketahui, subyek tidak bersedia
mengikuti pendaftaran tanah sistematis lengkap dan Obyek merupakan
tanah P3MB, Prk 5, Rumah Golongan III, Obyek Nasionalisasi, Tanah
Ulayat, Tanah Absente, Obyek tanah milik adat, dokumen yang
membuktikan kepemilikan tidak lengkap, peserta tidak bersedia membuat
surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah. Terhadap tanah yang
tidak dapat dibukukan dan diterbitkan sertipikatnya dicatat dalam daftar.
(4) Kluster 4 untuk data yuridisnya subyeknya sudah lengkap karena sudah
bersertipikat, obyek memenuhi syarat, namun belum memenuhi kualitas
data spasial yang diharapkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Problematika dalam Pelaksanaan PTSL dan Penyelesaiannya a. Tata laksana dan output PTSL
Tata laksana PTSL meliputi perencanaan, dan persiapan. Perencanaan
penyelenggaraan PTSL meliputi penentuan lokasi dan target berdasarkan
128
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
pengolahan peta-peta atau data lain yang tersedia, penyuluhan kepada
masyarakat lokasi PTSL, pengumpulan bukti-bukti alas hak, atau data yuridis
lainnya. Perencanaan menjadi pekerjaan yang sangat strategis untuk
menentukan keberhasilan pelaksanaan PTSL. Sebagian besar Kantor
Pertanahan menggunakan data IP4T dan SPT PBB untuk menentukan lokasi
PTSL. Seluruh Kantor Pertanahan yang menjadi sampel dalam penelitian ini juga
telah melaksanakan pekerjaan penyuluhan. Khusus untuk Kota Binjai
penyuluhan dilanjutkan dengan pertemuan seluruh Kepala Lingkungan se-Kota
Binjai, bersama Walikota, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mendapatkan
kesepahaman pelaksaaan PTSL.
Pada tahap persiapan awal pelaksanaan PTSL semestinya ada
kesepahaman antar pelaksana mengenai tata laksana dan ouput PTSL, karena
akan sangat menentukan strateginya, seperti pemilihan lokasi, mobilisasi
sumberdaya manusia, pendekatan kepada masyarakatnya, maupun pendekatan
kepada pihak Pemda. Namun berdasarkan wawancara dengan responden yang
berasal dari 10 (sepuluh) kantor pertanahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara
terdapat pemahaman yang berbeda mengenai konsep PTSL dari aspek tata
laksana dan outputnya.
Sebagian besar pelaksana PTSL di Kantor Pertanahan berpendapat bahwa
output pelaksanaan PTSL harus mengutamakan pendaftaran tanah pertama kali
dengan output sampai dengan penerbitan sertipikat atau Klaster 1. Kantor
Pertanahan yang melaksanakan PTSL dengan output mengutamakan Klaster 1
adalah Kota Binjai, Kabupaten Karo, Kabupaten PakPak Bharat, Kabupaten
Dairi, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Pematang Siantar dan
Kabupaten Simalungun. Dasar yang digunakan sebagai acuan adalah
penyebutan target 5 juta, 7 juta, 9 juta, sertipikat yang harus diterbitkan oleh
Kementrian ATR/BPN oleh Presiden. Output PTSL berupa Peta Bidang, Gambar
Ukur dan Surat Ukur dan sertipikat hak atas tanah.
Namun ada juga pendapat bahwa output PTSL harus menggambarkan
data bidang tanah dalam satu wilayah administratif tertentu secara lengkap,
sehingga output pelaksanaan PTSL adalah semua bidang tanah dalam satu
wilayah tertentu direkam, dan dibukukan meliputi semua Kluster data pertanahan
yang memang ada secara nyata di lokasi PSTL. Kantor Pertanahan yang
memahami hal ini dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas adalah
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing Tinggi dan Kota
129
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
pengolahan peta-peta atau data lain yang tersedia, penyuluhan kepada
masyarakat lokasi PTSL, pengumpulan bukti-bukti alas hak, atau data yuridis
lainnya. Perencanaan menjadi pekerjaan yang sangat strategis untuk
menentukan keberhasilan pelaksanaan PTSL. Sebagian besar Kantor
Pertanahan menggunakan data IP4T dan SPT PBB untuk menentukan lokasi
PTSL. Seluruh Kantor Pertanahan yang menjadi sampel dalam penelitian ini juga
telah melaksanakan pekerjaan penyuluhan. Khusus untuk Kota Binjai
penyuluhan dilanjutkan dengan pertemuan seluruh Kepala Lingkungan se-Kota
Binjai, bersama Walikota, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mendapatkan
kesepahaman pelaksaaan PTSL.
Pada tahap persiapan awal pelaksanaan PTSL semestinya ada
kesepahaman antar pelaksana mengenai tata laksana dan ouput PTSL, karena
akan sangat menentukan strateginya, seperti pemilihan lokasi, mobilisasi
sumberdaya manusia, pendekatan kepada masyarakatnya, maupun pendekatan
kepada pihak Pemda. Namun berdasarkan wawancara dengan responden yang
berasal dari 10 (sepuluh) kantor pertanahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara
terdapat pemahaman yang berbeda mengenai konsep PTSL dari aspek tata
laksana dan outputnya.
Sebagian besar pelaksana PTSL di Kantor Pertanahan berpendapat bahwa
output pelaksanaan PTSL harus mengutamakan pendaftaran tanah pertama kali
dengan output sampai dengan penerbitan sertipikat atau Klaster 1. Kantor
Pertanahan yang melaksanakan PTSL dengan output mengutamakan Klaster 1
adalah Kota Binjai, Kabupaten Karo, Kabupaten PakPak Bharat, Kabupaten
Dairi, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Pematang Siantar dan
Kabupaten Simalungun. Dasar yang digunakan sebagai acuan adalah
penyebutan target 5 juta, 7 juta, 9 juta, sertipikat yang harus diterbitkan oleh
Kementrian ATR/BPN oleh Presiden. Output PTSL berupa Peta Bidang, Gambar
Ukur dan Surat Ukur dan sertipikat hak atas tanah.
Namun ada juga pendapat bahwa output PTSL harus menggambarkan
data bidang tanah dalam satu wilayah administratif tertentu secara lengkap,
sehingga output pelaksanaan PTSL adalah semua bidang tanah dalam satu
wilayah tertentu direkam, dan dibukukan meliputi semua Kluster data pertanahan
yang memang ada secara nyata di lokasi PSTL. Kantor Pertanahan yang
memahami hal ini dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas adalah
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing Tinggi dan Kota
Medan. Terdapat pula pemahaman pelaksanaan PTSL adalah pengukuran dan
pemetaan serta kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dalam lingkup satu
desa penuh (secara Sistematis), sehingga output pelaksanaan PTSL data K1,
K2, K3 dan K4. Kantor Pertanahan dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan
di atas adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing
Tinggi dan Kota Medan
b. Sumber Daya Manusia
Penyelesaian target PTSL 2017 Kantor Wilayah Kemneterian ATR/BPN
Sumatera Utara dengan volume 200.000 bidang atau meningkat 2000 % dari
target tahun 2016 sebanyak 10.000 bidang.
Jumlah juru ukur PNS dan ASP 2017 tidak berubah secara signifikan sedangkan
target berubah secara total. Target PTSL untuk 10 Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dapat disajikan sebagai berikut :
Tabel 1. Target PTSL dan Beban Petugas Ukur diluar Pengukuraan Rutin di 10
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara
NO. KANTAH Target (Bidang)
Ketersediaan Petugas Ukur
Beban Kerja PU per Hari
Kerja
ASN ASP
1 Deli Serdang 12.000 12 8 1,49
2 Medan 5.000 13 19 1,37
3 Serdang Bedagai 10.000 3 1 2,96
4 Simalungun 5.000 6 10 1,75
5 Dairi 5.000 2 5 2,75
6 Karo 5.000 2 5 4,81
7 Pematang Siantar 25.000 3 2 16,03
8 Binjai 10.500 5 3 8,08
9 Tebing Tinggi 20.500 2 0 39,42
10 Pakpak Bharat 1.000 1 0 3,85
Sumber : Pengolahan data primer 2017
130
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Beban yang paling tinggi adalah Kota Tebing Tinggi dengan beban 39
bidang per hari dengan asumsi hanya mengerjakan pengukuran untuk PTSL
saja, belum memeperhitungkan tugas pegukuran rutin yang rata-rata 3 bidang
per hari. Selanjutnya Kantor Pertaahan Kota Pematang Siantar dengan beban
perhari 17 bidang untuk pengukuran PTSL ditambah pengukuran rutin rata-rata 3
bidang per hari. Kantor Pertanahan Pakpak Bharat juga harus mendapatkan
perhatian karena sampai peneliti turun lapang untuk pengamblan data tidak ada
satu pun Petugas Ukur di Kantor Pertanahan Kabupaten Pakpak Barat. Pada
bulan Agustus ada 1 (satu) orang petugas ukur yang selesai menjalankan tugas
belajar di STPN.
Keterlibatan Surveyor Kadaster Berlisensi sampai peneliti turun lapang,
bulan Juli 2017, belum dapat dilaksanakan secara optimal dan masih
menggunakan atau berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2013, belum sepenuhnya merujuk pada Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Masih ada keraguan dalam
penerapan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Kantor
Jasa Surveyor Berlisensi hanya ada satu di seluruh Provinsi Sumatera Utara,
Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Perseorangan Boston Sianturi dengan nomor ijin
kerja : 122/KEP-15.2/V/2017. Padahal hasil ujian lisensi terdahulu untuk Provinsi
Sumatera Utara telah meluluskan Surveyor Kadaster Berlisensi dan Asisten
Surveyor Kadaster Berlisensi dalam jumlah yang relatif banyak. Keterlibatan
Surveyor Berlisensi dalam pekerjaan pengukuran dan pemetaan dalam rangka
pendaftaran tanah belum optimal dilakukan karena :
a) Pemahaman dan implementasi Permen ATR/BPN nomor 33 Tahun
2016 yang belum optimal.
b) Ragu atas hasil pengukuran, baik aspek ketelitian hasil ukuran maupun
legalitas serta tanggung jawab hasil pekerjaaannya (hal ini didukung
dengan pengalaman menggunakan jasa SKB pada pekerjaan PPAN
pada tahun 2008 di Kabupaten Padang Sidempuan, SKB/Swasta dari
Bandung mengukur batas – batas bidang tanah obyek PPAN
menggunakan alat ukur GPS Navigasi tidak seperti menggunakan
metode terestris).
c) Kantor Jasa Surveyor Berlisensi belum mempunyai alat ukur
sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Menteri No 33 Tahu 2017,
131
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Beban yang paling tinggi adalah Kota Tebing Tinggi dengan beban 39
bidang per hari dengan asumsi hanya mengerjakan pengukuran untuk PTSL
saja, belum memeperhitungkan tugas pegukuran rutin yang rata-rata 3 bidang
per hari. Selanjutnya Kantor Pertaahan Kota Pematang Siantar dengan beban
perhari 17 bidang untuk pengukuran PTSL ditambah pengukuran rutin rata-rata 3
bidang per hari. Kantor Pertanahan Pakpak Bharat juga harus mendapatkan
perhatian karena sampai peneliti turun lapang untuk pengamblan data tidak ada
satu pun Petugas Ukur di Kantor Pertanahan Kabupaten Pakpak Barat. Pada
bulan Agustus ada 1 (satu) orang petugas ukur yang selesai menjalankan tugas
belajar di STPN.
Keterlibatan Surveyor Kadaster Berlisensi sampai peneliti turun lapang,
bulan Juli 2017, belum dapat dilaksanakan secara optimal dan masih
menggunakan atau berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2013, belum sepenuhnya merujuk pada Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Masih ada keraguan dalam
penerapan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Kantor
Jasa Surveyor Berlisensi hanya ada satu di seluruh Provinsi Sumatera Utara,
Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Perseorangan Boston Sianturi dengan nomor ijin
kerja : 122/KEP-15.2/V/2017. Padahal hasil ujian lisensi terdahulu untuk Provinsi
Sumatera Utara telah meluluskan Surveyor Kadaster Berlisensi dan Asisten
Surveyor Kadaster Berlisensi dalam jumlah yang relatif banyak. Keterlibatan
Surveyor Berlisensi dalam pekerjaan pengukuran dan pemetaan dalam rangka
pendaftaran tanah belum optimal dilakukan karena :
a) Pemahaman dan implementasi Permen ATR/BPN nomor 33 Tahun
2016 yang belum optimal.
b) Ragu atas hasil pengukuran, baik aspek ketelitian hasil ukuran maupun
legalitas serta tanggung jawab hasil pekerjaaannya (hal ini didukung
dengan pengalaman menggunakan jasa SKB pada pekerjaan PPAN
pada tahun 2008 di Kabupaten Padang Sidempuan, SKB/Swasta dari
Bandung mengukur batas – batas bidang tanah obyek PPAN
menggunakan alat ukur GPS Navigasi tidak seperti menggunakan
metode terestris).
c) Kantor Jasa Surveyor Berlisensi belum mempunyai alat ukur
sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Menteri No 33 Tahu 2017,
sehingga apabila dilaksanakan pengadaan barang dan jasa pengukuran
kepada KJSKB masih diperlukan sewa alat ukur;
d) Terdapat perbedaan nilai pembiayaan pekerjaan yang dilakukan oleh
Surveyor Kadaster Berlisensi dengan ASN pada jenis pekerjaan yang
sama menimbulkan permasalahan tersendiri, rasa kecemburuan di
lingkungan ASN.
e) Asisten Surveyor Kadaster Berlisensi, masih belum dioptimalkan secara
mandiri/perseorangan, padahal menurut Permen ATR/BPN No. 33/2017,
diperbolehkan sampai bulan Oktober tahun 2017.
Seluruh pegawai termasuk Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Siswa yang
sedang praktrek kerja lapangan dimobilisisasi untuk membantu pengumpulan
data fisik dan data yuridis, khususnya pada proses pemberkasannya. Ada
catatan tersedniri mengenai pengumpulan data yuridis oleh PTT dan Siswa
Magang ini karena mereka belum dibekali tata cara pengumpulan data yuridis,
sehingga kompetensi untuk dapat menentukan apakah berkas dan alas hak yang
diperiksa mempunyai nilai kebenaran secara materiel masih diragukan.
c. Koordinasi antar sektor
Pekerjaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap tidak akan sukses tanpa
ada dukungan dari lembaga/sektor lain. Dukungan Pemerintah Daerah
merupakan hal yang mutlak harus diberikan, oleh karena dalam hal kelengkapan
berkas untuk PTSL ini diterbitkan oleh instansi lain. Kebenaran formal dan
materiel alas hak yang diajukan untuk tanah-tanah yang belum diadministrasikan
dalam buku ledger, misalnya, merupakan produk dari pihak Pemerintah Desa.
Berdasarkan hasil wawancara ternyata tidak semua pemerintah daerah dan
masyarakat mendukung pelaksanaan program PTSL. Berikut temuan yang
diperoleh terkait dukungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pelaksanaan PTSL.
Bentuk dukungan pemerintah daerah dapat berupa kebijakan. Kebijakan
pemerintah daerah pada umumnya berupa pengurangan nilai Bea Perolehan
Hak Atas Tanah, pembuatan surat keterangan tanah dan surat keterangan waris
gratis, memerintahkan kepala lingkungan membantu sepenuhnya pelaksanaan
PTSL ini terjadi di Kota Binjai.
132
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
d. Peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap
proses dan produk PTSL Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam mensukseskan
PTSL adalah ketersediaan peraturan-perundang-undangan yang melindungi
proses dan produk PTSL. Dalam wawancara dengan beberapa responden ada
kekhawatiran bahwa Permen Nomor 35 Tahun 2016 tentang PTSL tidak dapat
menjamin perlindungan hukum terhadap proses penerbitan sertipikat karena
tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara
hirarki lebih tinggi posisinya. Di antaranya adalam masalah lamanya waktu
pengumuman serta proses pemeriksaan data yuridis yang tidak melalui proses
ajudikasi (sidang pemeriksaan tanah di lapangan)
4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan untuk Evaluasi Pelaksanaan PTSL di Provinsi
Sulawesi Utara disimpulkan hal-hal seperti berikut :
a. Mekanisme pelaksanaan PTSL pada maing-masng Kanor Pertanahan
berbeda-beda tergantung pada paradigma yang menjadi kerangka acuan
pelaksaan PTSL. Untuk daerah yang melaksanakan PTSL dengan prioritas
output K1, pemilihan lokasi lebih mengutamakan daerah yang belum lengkap
peta pendaftarannya, sedang untuk Kantor Pertanahan yang mengutamakan
outputnya Desa Lengkap maka lebih banyak menggunakan data IP4T untuk
memilih lokasi PTSL
b. Ketersediaan Petugas Ukur relatif masih mencukupi untuk menyelesaikan
target Kantor Pertanahan masing-masing. Hanya Kantor Pertanahan
Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat yang perlu
mendapatkan perhatian untuk penyediaan petugas ukur. Pengumpulan data
yuridis yang melibatkan semua ASN, ASK, dan PTT boleh dilakukan namun
harus ada supervisi dari ASN yang memang betul-betul menguasai aspek
yuridis pendaftaran tanah.
c. Infrastruktur keagrariaan, berupa peta-peta pendaftaran, peta citra, peta
blok, peta administrasi, peta IP4T masih perlu diperhatikan. Namun demikian
dukungan peta-peta ini memang sangat tergantung dari kualitas
penatausahaan maupun pengelolaan arsip msing-masing Kantor
Pertanahan. Infrastruktur yang harus diberikan perhatian khusus adalah
133
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
d. Peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap
proses dan produk PTSL Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam mensukseskan
PTSL adalah ketersediaan peraturan-perundang-undangan yang melindungi
proses dan produk PTSL. Dalam wawancara dengan beberapa responden ada
kekhawatiran bahwa Permen Nomor 35 Tahun 2016 tentang PTSL tidak dapat
menjamin perlindungan hukum terhadap proses penerbitan sertipikat karena
tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara
hirarki lebih tinggi posisinya. Di antaranya adalam masalah lamanya waktu
pengumuman serta proses pemeriksaan data yuridis yang tidak melalui proses
ajudikasi (sidang pemeriksaan tanah di lapangan)
4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan untuk Evaluasi Pelaksanaan PTSL di Provinsi
Sulawesi Utara disimpulkan hal-hal seperti berikut :
a. Mekanisme pelaksanaan PTSL pada maing-masng Kanor Pertanahan
berbeda-beda tergantung pada paradigma yang menjadi kerangka acuan
pelaksaan PTSL. Untuk daerah yang melaksanakan PTSL dengan prioritas
output K1, pemilihan lokasi lebih mengutamakan daerah yang belum lengkap
peta pendaftarannya, sedang untuk Kantor Pertanahan yang mengutamakan
outputnya Desa Lengkap maka lebih banyak menggunakan data IP4T untuk
memilih lokasi PTSL
b. Ketersediaan Petugas Ukur relatif masih mencukupi untuk menyelesaikan
target Kantor Pertanahan masing-masing. Hanya Kantor Pertanahan
Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat yang perlu
mendapatkan perhatian untuk penyediaan petugas ukur. Pengumpulan data
yuridis yang melibatkan semua ASN, ASK, dan PTT boleh dilakukan namun
harus ada supervisi dari ASN yang memang betul-betul menguasai aspek
yuridis pendaftaran tanah.
c. Infrastruktur keagrariaan, berupa peta-peta pendaftaran, peta citra, peta
blok, peta administrasi, peta IP4T masih perlu diperhatikan. Namun demikian
dukungan peta-peta ini memang sangat tergantung dari kualitas
penatausahaan maupun pengelolaan arsip msing-masing Kantor
Pertanahan. Infrastruktur yang harus diberikan perhatian khusus adalah
ketersediaan alat ukur. Kekurangan alat ukur ini bisa dianggarkan melalui
sewa alat, apabila memang tidak dimungkinkan dilakukan pembelian.
d. Skema penganggaran PTSL dalam DIPA belum tersosialisasikan dengan
baik, sehingga masih ada anggapan jika pembayaran hanya bisa dilakukan
untuk pekerjaan dengan output sertipikat atau K1.
e. Koordinasi antar sektor belum dlaksanakan secara sistematis. Hubungan
baik dengan stakeholder lain sangat tergantung pada kemampuan
komunikasi dari para Kepala Kantor Pertanahan maupun kemauan politik
dari pimpinan stakeholder, sehingga ada Pemerintah Daerah yang benar-
benar mendukung sampai ke level operasional, ada yang hanya mendukung
secara moral, dan ada yang kurang mendukung.
4.2 Rekomendasi Hal-hal yang direkomendasikan oleh Tim Peneliti untuk mmenyelesaikan
isu-isu tersebut di atas adalah sebagai berikut :
a. Harus dirumuskan paradigma yang akan diusung melalui PTSL, untuk dapat
dipedomani bersama, apakah orientasi PTSL ini mengutamakan output yang
berupa sertipikat (K1) atau terbangun database pertanahan yang lengkap.
Paradigma ini akan sangat menentukan perencanaan dan tatalaksana dari
PTSL.
b. Ketersediaan SDM pada 10 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagian
besar masih cukup mendukung kecuali Kantor Pertanahan Kabupaten
Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat. Mobilisasi
seluruh ASN dan PTT untuk pengumpulan data yuridis seyogyanya tetap
dilakukan di bawah supervisi para ASN yang mempunyai kompetensi untuk
menentukan validitas alas hak, maupun data yuridis yang lain untuk
menghindari masalah hukum di kemudian hari. Sesuai dengan konsep PTSL
petugas yuridis bukan hanya mengawal kebenaran formal tetapi juga
beranggungjawab secara materiel data yuridis yang dikumpulkan.
c. Skema penggangaran dalam DIPA yang sudah mengakomodasi output K2,
dan K3, serta K4 harus terus disosialisasikan sehingga tidak lagi ada
anggapan yang bisa dibiayai melalui DIPA hanyalah output PTSL yang
berupa sertipikat (K1)
d. Koordinasi antar sektor semestinya dapat diatur dengan payung hukum yang
lebih mengikat daripada Surat Keputusan Bersama, sehingga dukungan dari
stakeholder merupakan dukungan yang sistemik, oleh karena sesungguhnya
134
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
basis data pertanahan dapat digunakan sebagai infrastruktur keagrariaan
bagi sektor lain untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Perlu ada
sosialisasi PTSL dalam skala nasional, sehingga mengurangi beban kerja
masing-masing Kantor Pertanahan, dengan demikian energi dan
sumberdaya yang dikeluarkan untuk sosialisasi dapat langsung
dimanfaatkan untuk pelaksanaan PTSL
e. Perlu ada perlindungan hukum terhadap pelaksanaan PTSL untuk
melindungi produk maupun pelaksana PTSL dengan melakukan revisi
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP 24
Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PP 37 Tahun 1998) : Bandung , Mandar Maju, hlm,.18
Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Perturan
Pelaksaanya, Bandung : Alumni, hlm. 5
Boedi Harsono, 2005, “Hukum Agraria Indonesia” Jilid 1, edisi revisi , Penerbit
Djambatan Jakarta, Hal. 474
Jaap Zevenbergen, 2002, Systems of Land Registration. Aspects and Effects,
NCG, Nederlandse Commissie voor Geodesie, Netherlands Geodetic
Commission, Delft, The Netherlands
S. Rowton Simpson, 1976, Land Law and Registration, Cambridge ; New York :
Cambridge University Press
Sarwono, Jonathan, 2006, Metode Penelitian kuantitatif dan Kualitatai, Graha
Ilmu Yogyakarta
Stig Enemark, 2014, Fit for Purpose Land Administration, The International
Federation of Surveyors Publication, Copenhagen-Denmark
Suharsimi Arikunto, 2006, Metode Penelitian: Prosedur Penelitian
SuatuPendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta
Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan RD, CV. Alfabeta,
Bandung
135
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
basis data pertanahan dapat digunakan sebagai infrastruktur keagrariaan
bagi sektor lain untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Perlu ada
sosialisasi PTSL dalam skala nasional, sehingga mengurangi beban kerja
masing-masing Kantor Pertanahan, dengan demikian energi dan
sumberdaya yang dikeluarkan untuk sosialisasi dapat langsung
dimanfaatkan untuk pelaksanaan PTSL
e. Perlu ada perlindungan hukum terhadap pelaksanaan PTSL untuk
melindungi produk maupun pelaksana PTSL dengan melakukan revisi
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP 24
Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PP 37 Tahun 1998) : Bandung , Mandar Maju, hlm,.18
Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Perturan
Pelaksaanya, Bandung : Alumni, hlm. 5
Boedi Harsono, 2005, “Hukum Agraria Indonesia” Jilid 1, edisi revisi , Penerbit
Djambatan Jakarta, Hal. 474
Jaap Zevenbergen, 2002, Systems of Land Registration. Aspects and Effects,
NCG, Nederlandse Commissie voor Geodesie, Netherlands Geodetic
Commission, Delft, The Netherlands
S. Rowton Simpson, 1976, Land Law and Registration, Cambridge ; New York :
Cambridge University Press
Sarwono, Jonathan, 2006, Metode Penelitian kuantitatif dan Kualitatai, Graha
Ilmu Yogyakarta
Stig Enemark, 2014, Fit for Purpose Land Administration, The International
Federation of Surveyors Publication, Copenhagen-Denmark
Suharsimi Arikunto, 2006, Metode Penelitian: Prosedur Penelitian
SuatuPendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta
Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan RD, CV. Alfabeta,
Bandung
UNECE, 2006, Land Administration Guidelines, United Nation Publication,
Newyor-Geneva, Sales No. E.96.11.E.7, ISBN 92-1-1-11644-6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1007 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 35 Tahun 2016 jo. Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang
Nomor1 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap
Petunjuk Teknis Nomor 01/JUNKIS-400/XII/2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Pendaftaran tanah Sistematik Lengkap Bidang Yuridis
Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-300/XII/2016 tentang Pengukuran dan
Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap
http://setkab.go.id/beri-target-bpn-presiden-jokowi-60-juta-sertifikat-tanah-belum-
diselesaikan/ diakses tanggal 6 Februari jam 20.00 WIB
Biodata Penulis
Nama : Wahyuni, S.H.,M.Eng
NIP : 1972050619972003
Pangkat/Ruang : Penata Muda Tingka I/ IIIb
Jabatan : Asisten Ahli di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Email : [email protected]
HP : 082242139423
136
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
PENINGKATAN ACCESS REFORM PELAYANAN SERTIPIKASI TANAH SEBAGAI MODAL USAHA DI PASAR DESA MELALUI PENDAFTARAN
TANAH DI KABUPATEN BANJAR
Saheriyanto, S.Pd, SE.*
*Mahasiswa Magister Sains Administrasi Pembangunan
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
ABSTRAK Sebagai perwujudan dari reforma agraria, program kegiatan legalisasi aset
melalui kegiatan Prona di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar mengadakan
penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi masyarakat terutama golongan
ekonomi lemah. Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset reform
berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat ekonomi
lemah tidak mempunyai akses terhadap permodalan usaha. Oleh karena itu,
diperlukan percepatan melalui layanan inovasi pertanahan berupa Pelayanan
Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (TATAMU PADE) yang
memberi kemudahan kepada masyarakat desa untuk memperoleh akses
terhadap modal, teknologi dan pasar. Tujuan penelitian ini untuk memberikan
masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan agar sertipikat
tanah memberikan nilai tambah ekonomi (Economic Value Added) sehingga
kegiatan Pendaftaran Tanah ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam
pelaksanaan reforma agraria.
Metode penelitian dilakukan dengan cara penelitian lapang (fieldwork) yang
bersifat deskriptis analitis, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pendaftaran tanah
melalui Prona Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Banjar pengaruhnya terhadap
peningkatan asset reform sertipikat tanah untuk modal usaha di pasar desa.
Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan
menganalisis berbagai peraturan perundangan pendaftaran hak atas tanah dan
menganalisa dampaknya terhadap perekonomian sektor riil di pedesaan. Teknik
pengumpulan data meliputi, studi pustaka, observasi, dan dokumentasi.
137
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
PENINGKATAN ACCESS REFORM PELAYANAN SERTIPIKASI TANAH SEBAGAI MODAL USAHA DI PASAR DESA MELALUI PENDAFTARAN
TANAH DI KABUPATEN BANJAR
Saheriyanto, S.Pd, SE.*
*Mahasiswa Magister Sains Administrasi Pembangunan
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
ABSTRAK Sebagai perwujudan dari reforma agraria, program kegiatan legalisasi aset
melalui kegiatan Prona di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar mengadakan
penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi masyarakat terutama golongan
ekonomi lemah. Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset reform
berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat ekonomi
lemah tidak mempunyai akses terhadap permodalan usaha. Oleh karena itu,
diperlukan percepatan melalui layanan inovasi pertanahan berupa Pelayanan
Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (TATAMU PADE) yang
memberi kemudahan kepada masyarakat desa untuk memperoleh akses
terhadap modal, teknologi dan pasar. Tujuan penelitian ini untuk memberikan
masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan agar sertipikat
tanah memberikan nilai tambah ekonomi (Economic Value Added) sehingga
kegiatan Pendaftaran Tanah ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam
pelaksanaan reforma agraria.
Metode penelitian dilakukan dengan cara penelitian lapang (fieldwork) yang
bersifat deskriptis analitis, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pendaftaran tanah
melalui Prona Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Banjar pengaruhnya terhadap
peningkatan asset reform sertipikat tanah untuk modal usaha di pasar desa.
Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan
menganalisis berbagai peraturan perundangan pendaftaran hak atas tanah dan
menganalisa dampaknya terhadap perekonomian sektor riil di pedesaan. Teknik
pengumpulan data meliputi, studi pustaka, observasi, dan dokumentasi.
Inovasi Layanan Tatamu Pade memiliki kelebihan yaitu mampu memberikan
dampak pada aspek ekonomi. Economic Value dari sertipikat yang diberikan
kepada pelaku ekonomi produktif melalui program Tatamu Pade dapat
membantu pelaku ekonomi memiliki Hak Atas Tanah yang sah secara hukum
sehingga sertipikat ini dapat digunakan sebagai jaminan bagi pelaku untuk
memperoleh pinjaman modal dengan nilai yang lebih tinggi. Hasil penelitian
terbukti sebanyak 2883 bidang tanah (realisasi 100% Prona 2016), dapat
menjaring 180 bidang tanah untuk modal usaha bagi masyarakat desa KUR BRI
sebesar Rp 6.286. 700.000. Legalisasi aset tanah masyarakat merupakan bagian
dari rangkaian pemberdayaan masyarakat desa (NAWACITA: membangun dari
pinggiran). Apabila desa mampu digerakkan secara ekonomi, maka kemajuan
desa dapat menyumbangkan arus uang (Cash Flow) yang sangat baik dalam
membangun bagi perekonomian negara. Kesejahteraan rakyat lebih baik dan
merata yang merupakan elemen utama dari reformasi agraria.
Kata Kunci: pendaftaran tanah, access reform, modal usaha
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tanah memiliki peran strategis dalam tatanan kehidupan manusia.
Kebutuhan tanah yang semakin besar sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk menyebabkan semakin banyak pula perebutan kepentingan atas
tanah. Keterkaitan tanah dengan berbagai perspektif di antaranya adalah
perspektif sosial, ekonomi, politik, ekonomi, dan budaya sehingga permasalahan
tanah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi tersebut di suatu wilayah.
Hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedemikian rupa sehingga
dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah mampu mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi kehidupan dan penghidupan manusia mutlak perlu diupayakan
pengaturan demi ketertibannya. Kepastian hukum sebagai suatu jaminan bagi
pemilik tanah, pemerintah maupun pihak lain merupakan landasan pokok bagi
terselenggaranya tertib hukum bagi kehidupan dan penghidupan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya.
Wujud peranan pemerintah dalam mengatur hubungan manusia dengan
tanah adalah pemberian kepastian hukum hak atas tanah melalui pendaftaran
tanah. Salah satu program tersebut meliputi percepatan pendaftaran tanah baik
secara sistematis maupun sporadis. Berdasarkan data dari Kementerian Agraria
138
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), saat ini baru 44,5 juta
bidang tanah yang tersertipikasi dan teregistrasi di seluruh wilayah Indonesia dari
sekitar 110 – 130 juta bidang tanah yang ada di luar kawasan hutan, sehingga
pada tahun 2025 ditargetkan 100% akan tersertipikasi dan teregistrasi. Sejak
diterbitkannya UUPA, pemerintah telah menyadari akan arti pentingnya kepastian
hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah. Pasal 19 UUPA di antaranya
menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan – ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah UU No.5 Th
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hal ini menunjukkan bahwa
penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang merupakan kegiatan administrasi
pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana
dimaksudkan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah.
Luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah bidang tanah yang harus
disertipikasi, menghadapi berbagai kendala dan kekurangan yang menjadi
tantangan di antaranya keterbatasan biaya, peralatan, SDM, dan sebagainya.
Penulis menarik untuk melakukan studi kasus mengenai dampak pendaftaran
tanah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat peserta pensertifikatan di
Kabupaten Banjar.
Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah dari 13 kota/kabupaten di
Provinsi Kalimantan Selatan yang sedang berkembang dalam perekonomian.
Mayoritas masyarakat adalah pelaku usaha kecil dan menengah yang bergerak
di berbagai bidang usaha, di antaranya pada bidang pertanian, perdagangan dan
jasa. Pertumbuhan penduduk yang meningkat sebanding dengan permintaan
akan tanah baik itu dipergunakan sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.
Dengan pendaftaran tanah, selain untuk melegalkan kepemilikan obyek tanah,
juga turut mengatur mengenai penataan dan penggunaan tanah, jadi suatu
wilayah lebih tertib dalam pemanfaatan ruang, sehingga tercipta keharmonisan
dalam masyarakat. Setiap tahun jumlah penerbitan sertipikat hak atas tanah
didorong selalu meningkat di Kabupaten Banjar, dapat dilihat tabel di bawah ini.
139
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), saat ini baru 44,5 juta
bidang tanah yang tersertipikasi dan teregistrasi di seluruh wilayah Indonesia dari
sekitar 110 – 130 juta bidang tanah yang ada di luar kawasan hutan, sehingga
pada tahun 2025 ditargetkan 100% akan tersertipikasi dan teregistrasi. Sejak
diterbitkannya UUPA, pemerintah telah menyadari akan arti pentingnya kepastian
hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah. Pasal 19 UUPA di antaranya
menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan – ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah UU No.5 Th
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hal ini menunjukkan bahwa
penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang merupakan kegiatan administrasi
pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana
dimaksudkan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah.
Luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah bidang tanah yang harus
disertipikasi, menghadapi berbagai kendala dan kekurangan yang menjadi
tantangan di antaranya keterbatasan biaya, peralatan, SDM, dan sebagainya.
Penulis menarik untuk melakukan studi kasus mengenai dampak pendaftaran
tanah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat peserta pensertifikatan di
Kabupaten Banjar.
Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah dari 13 kota/kabupaten di
Provinsi Kalimantan Selatan yang sedang berkembang dalam perekonomian.
Mayoritas masyarakat adalah pelaku usaha kecil dan menengah yang bergerak
di berbagai bidang usaha, di antaranya pada bidang pertanian, perdagangan dan
jasa. Pertumbuhan penduduk yang meningkat sebanding dengan permintaan
akan tanah baik itu dipergunakan sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.
Dengan pendaftaran tanah, selain untuk melegalkan kepemilikan obyek tanah,
juga turut mengatur mengenai penataan dan penggunaan tanah, jadi suatu
wilayah lebih tertib dalam pemanfaatan ruang, sehingga tercipta keharmonisan
dalam masyarakat. Setiap tahun jumlah penerbitan sertipikat hak atas tanah
didorong selalu meningkat di Kabupaten Banjar, dapat dilihat tabel di bawah ini.
Tabel 1 Jumlah Penerbitan Sertipikat Legalisasi Aset di Kabupaten Banjar
Tahun
Kegiatan Legalisasi Aset % Realisasi
Kegiatan dan
Anggaran Prona UKM
Nelayan
Tangkap
Nelayan
Budidaya
2015 1250 100 100 50 100%
2016 2884 100%
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar (2016)
Permasalahan utama yang dihadapi dalam studi kasus ini ada dua.
Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat desa di Kabupaten Banjar untuk
melakukan sertipikasi tanahnya sehingga belum memberikan kepastian hukum
penyebab terjadinya sengketa pertanahan. Masyarakat pedesaan di Kabupaten
Banjar lebih memilih tanahnya untuk tidak disertipikatkan. Proses sertipikat tanah
dihindari karena akan menjadi beban dalam pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), prosesnya memerlukan waktu lama, prosedurnya berbelit,
biayanya mahal, serta enggan berurusan dengan Kantor Pertanahan Kabupaten
Banjar yang lokasinya relatif cukup jauh. Sebagai contoh masyarakat di desa
Mangkauk, Kecamatan Simpang Empat atau Desa Bunipah, Kecamatan Aluh –
Aluh harus menempuh 50 KM untuk sampai ke Kantor Pertanahan Kabupaten
Banjar. Kedua, sertipikat yang dimiliki tidak mempunyai akses terhadap sumber
ekonomi sektor riil terutama dalam rangka penguatan modal usaha sehingga
belum maksimal dalam upaya perbaikan kesejahteraan sosial. Tanah yang
belum bersertipikat, perbankan belum dapat memberikan pinjaman secara
maksimal sebagai penunjang permodalan usaha. Masyarakat pedesaan
mempunyai tanah, akan tetapi tidak memiliki jalur akses mendapatkan uang
sebagai modal untuk merintis dan mengembangkan usaha.
Semangat reforma agraria yang mengacu pada TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 melalui program pendaftaran tanah selain bertujuan untuk
mempercepat pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas
tanah secara adil dan merata, juga dapat berperan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. Namun kenyataannya,
pelaksanaan sertipikasi tanah melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona)
sekarang ini masih belum mempunyai nilai ekonomi (Economic Value) yang
dapat menggerakkan sektor riil perekonomian. Kegiatan Prona masih sebatas
pada legalitas tanahnya semata sehingga perlu dilakukan modifikasi inovasi
140
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
layanan pertanahan supaya memiliki nilai tambah dari sektor ekonomi.
Permasalahan yang menjadi tantangannya dimulai dari penentuan subyek dan
obyek hak atas tanah yang layak agar terarah dan menjadi tepat sasaran dalam
pelaksanaan akses permodalan.
Sesuai dengan amanat Nawa Cita membangun dari pinggiran, maka salah
satu fokus subyek dan obyek hak atas tanah pada pelaksanaan sertipikasi tanah
adalah masyarakat di pedesaan yang menguasai tanah dan memerlukan modal
usaha, tetapi tidak mempunyai akses permodalan. Program kegiatan sertipikasi
tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) selalu tingkatkan jumlahnya. Akan tetapi, peningkatan ini kurang
berdampak untuk menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat desa. Pada
kenyataannya pelaksanaan sertipikasi ini tidak menyentuh langsung kepada
pelaku ekonomi produktif. Biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui
APBN dalam rangka sertipikasi menjadi kurang efektif dan efisien. Dengan kata
lain, dari sisi pendekatan Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset
reform berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat
ekonomi lemah tidak mempunyai akses terhadap modal usaha. Oleh karena itu,
diperlukan percepatan melalui berbagai terobosan baru salah satunya layanan
inovasi Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (Tatamu Pade) di
Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar, yang memberi kemudahan pelaku usaha
untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi dan pasar.
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang terdapat dalam penulisan ini adalah
1. Apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade”?
2. Bagaimana tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”?
3. Apa saja kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”?
4. Bagaimana dampak pendaftaran tanah terhadap akses modal usaha
masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar?
1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu
Pade”
2. Mendeskripsikan tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”
3. Menjelaskan kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”
141
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
layanan pertanahan supaya memiliki nilai tambah dari sektor ekonomi.
Permasalahan yang menjadi tantangannya dimulai dari penentuan subyek dan
obyek hak atas tanah yang layak agar terarah dan menjadi tepat sasaran dalam
pelaksanaan akses permodalan.
Sesuai dengan amanat Nawa Cita membangun dari pinggiran, maka salah
satu fokus subyek dan obyek hak atas tanah pada pelaksanaan sertipikasi tanah
adalah masyarakat di pedesaan yang menguasai tanah dan memerlukan modal
usaha, tetapi tidak mempunyai akses permodalan. Program kegiatan sertipikasi
tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) selalu tingkatkan jumlahnya. Akan tetapi, peningkatan ini kurang
berdampak untuk menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat desa. Pada
kenyataannya pelaksanaan sertipikasi ini tidak menyentuh langsung kepada
pelaku ekonomi produktif. Biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui
APBN dalam rangka sertipikasi menjadi kurang efektif dan efisien. Dengan kata
lain, dari sisi pendekatan Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset
reform berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat
ekonomi lemah tidak mempunyai akses terhadap modal usaha. Oleh karena itu,
diperlukan percepatan melalui berbagai terobosan baru salah satunya layanan
inovasi Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (Tatamu Pade) di
Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar, yang memberi kemudahan pelaku usaha
untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi dan pasar.
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang terdapat dalam penulisan ini adalah
1. Apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade”?
2. Bagaimana tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”?
3. Apa saja kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”?
4. Bagaimana dampak pendaftaran tanah terhadap akses modal usaha
masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar?
1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu
Pade”
2. Mendeskripsikan tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”
3. Menjelaskan kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”
4. Mendeskripsikan dampak pelayanan pendaftaran tanah terhadap akses
modal usaha masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar
1.4. Manfaat Penulisan 1. Bagi pemerintah: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang
berkaitan dengan dampak pendaftaran tanah terhadap sosial ekonomi
masyarakat di Kabupaten Banjar sehingga tidak terjadi ketimpangan
dalam hak kepemilikan hanya pada pemilik modal besar. Oleh karena itu
diharapkan Pendaftaran Tanah baik secara sistematis (PTSL) maupun
sporadis ini dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan reforma
agraria.
2. Bagi masyarakat: Tanah tidak hanya dianggap sebagai komoditi yang
memiliki nilai ekonomi tetapi juga harus dipenuhi hakikatnya sebagai
sumberdaya yang harus dijaga keberlanjutannya untuk masa yang akan
datang.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat
tanda bukti haknya bagi bidang bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
(Boedi Harsono: Hal. 474, 2005).
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mengumpulkan data fisik dan data yuridis dari bidang-bidang
tanah yang akan didaftar. Sehingga dikatakan bahwa pendaftaran tanah
merupakan proses administrasi yang merupakan kewenangan dari Kantor
Pertanahan untuk menghasilkan sebuah sertipikat sebagai suatu tanda bukti hak
kepemilikan atas sebidang tanah (Silviana, 1997).
Seperti dikemukakan oleh Boedi Harsono, pendaftaran tanah sistematik
adalah: "Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar
142
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pelaksanaan
pendaftaran tanah sistematik dalam implementasinya sering mengaitkan dengan
istilah Ajudikasi, yang mempunyai pengertian kegiatan dan proses dalam rangka
pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan
dan pemastian kebenaran data fisik dan yuridis mengenai sebidang tanah atau
lebih untuk keperluan pendaftarannya. Selanjutnya dikemukakan oleh Boedi
Harsono, yang dimaksud ajudikasi adalah: Kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan
penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa
obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Sasaran pembangunan di bidang pertanahan yaitu terwujudnya tertib
pertanahan, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 7 tahun 1979 yang
menghendaki terciptanya tertib pertanahan (Catur Tertib Pertanahan) yang
meliputi: Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib
Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup.
1. Tertib Hukum Pertanahan
Tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
secara efektif agar semua pihak yang menguasai dan menggunakan tanah
mempunyai hubungan hukum yang sah dengan tanah yang bersangkutan.
2. Tertib Administrasi Pertanahan
Merupakan keadaan di mana untuk setiap bidang telah tersedia aspek-aspek
ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya
yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan lengkap. Selain hal
tersebut terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang
pertanahan yang sederhana, cepat dan massal yang dilaksanakan secara
tertib dan konsisten (Chomzah, 2004).
3. Tertib Penggunaan Tanah
Tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang sesuai dengan
potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang
diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional, serta tidak
terdapat benturan kepentingan antar sektor dalam peruntukan penggunaan
tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata
Ruang, dalam rangka pemberian aspek tata guna tanah, baik dalam
pemberian izin lokasi maupun dalam proses pemberian hak atas tanah,
harus disesuaikan dengan rencana tata ruang dan aspek lingkungan hidup
143
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pelaksanaan
pendaftaran tanah sistematik dalam implementasinya sering mengaitkan dengan
istilah Ajudikasi, yang mempunyai pengertian kegiatan dan proses dalam rangka
pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan
dan pemastian kebenaran data fisik dan yuridis mengenai sebidang tanah atau
lebih untuk keperluan pendaftarannya. Selanjutnya dikemukakan oleh Boedi
Harsono, yang dimaksud ajudikasi adalah: Kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan
penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa
obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Sasaran pembangunan di bidang pertanahan yaitu terwujudnya tertib
pertanahan, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 7 tahun 1979 yang
menghendaki terciptanya tertib pertanahan (Catur Tertib Pertanahan) yang
meliputi: Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib
Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup.
1. Tertib Hukum Pertanahan
Tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
secara efektif agar semua pihak yang menguasai dan menggunakan tanah
mempunyai hubungan hukum yang sah dengan tanah yang bersangkutan.
2. Tertib Administrasi Pertanahan
Merupakan keadaan di mana untuk setiap bidang telah tersedia aspek-aspek
ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya
yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan lengkap. Selain hal
tersebut terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang
pertanahan yang sederhana, cepat dan massal yang dilaksanakan secara
tertib dan konsisten (Chomzah, 2004).
3. Tertib Penggunaan Tanah
Tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang sesuai dengan
potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang
diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional, serta tidak
terdapat benturan kepentingan antar sektor dalam peruntukan penggunaan
tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata
Ruang, dalam rangka pemberian aspek tata guna tanah, baik dalam
pemberian izin lokasi maupun dalam proses pemberian hak atas tanah,
harus disesuaikan dengan rencana tata ruang dan aspek lingkungan hidup
agar pemanfaatannya tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan tanah dan
sumber daya alam lainnya.
4. Tertib Pemeliharaan dan Lingkungan Hidup
Merupakan keadaan di mana penanganan bidang pertanahan telah dapat
menunjang kelestarian hidup dan terwujudnya pembangunan berkelanjutan
bernuansa lingkungan.
Menurut Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997, objek pendaftaran tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf;
d. Hak milik atas satuan rumah susun;
e. Hak tanggungan;
f. Tanah negara (Boedi Harsono 1999: 476).
Tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya dilakukan
dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam
daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat
identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Untuk tanah negara
tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak
diterbitkan sertipikat (Urip Santoso 2010: 30).
Dalam aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 Pasal 3 pendaftaran tanah bertujuan :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama
dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA,
maka memperoleh sertipikat, bukan sekedar fasilitas melainkan merupakan hak
144
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang (Boedi Harsono
1999: 472).
Adapun fungsi pendaftaran tanah menurut Prakoso dan Purwoto (1985:22)
disebutkan bahwa: Dengan diselenggarakan pendaftaran tanahnya adalah untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang adanya perbuatan hukum
mengenai tanah. Alat bukti dimaksud adalah sertipikat yang di dalamnya
disebutkan adanya perbuatan hukum dan nama pemiliknya sekarang ialah
menerima atau yang memperoleh peralihan haknya.
2.2. Modal Usaha Pengertian modal usaha menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
Listyawan Ardi Nugraha (2011:9) “modal usaha adalah uang yang dipakai
sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya; harta
benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk
menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”.
Modal dalam pengertian ini dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang
yang digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Banyak kalangan
yang memandang bahwa modal uang bukanlah segala-galanya dalam sebuah
bisnis. Namun perlu dipahami bahwa uang dalam sebuah usaha sangat
diperlukan. Yang menjadi persoalan di sini bukanlah penting tidaknya modal,
karena keberadaannya memang sangat diperlukan, akan tetapi bagaimana
mengelola modal secara optimal sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan
lancar (Amirullah, 2005:7).
Tambahan modal kerja yang diperlukan pelaku usaha tersebut dapat
diperoleh dari pinjaman/kredit. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU
Nomor 7 tahun 1992, pasal 1 ayat 11, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Kasmir (2003) kredit dapat digolongkan di antaranya berdasarkan.
1. Segi kegunaan kredit
a. Kredit investasi. Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan
perluasan usaha atau membangun pabrik baru.
145
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang (Boedi Harsono
1999: 472).
Adapun fungsi pendaftaran tanah menurut Prakoso dan Purwoto (1985:22)
disebutkan bahwa: Dengan diselenggarakan pendaftaran tanahnya adalah untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang adanya perbuatan hukum
mengenai tanah. Alat bukti dimaksud adalah sertipikat yang di dalamnya
disebutkan adanya perbuatan hukum dan nama pemiliknya sekarang ialah
menerima atau yang memperoleh peralihan haknya.
2.2. Modal Usaha Pengertian modal usaha menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
Listyawan Ardi Nugraha (2011:9) “modal usaha adalah uang yang dipakai
sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya; harta
benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk
menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”.
Modal dalam pengertian ini dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang
yang digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Banyak kalangan
yang memandang bahwa modal uang bukanlah segala-galanya dalam sebuah
bisnis. Namun perlu dipahami bahwa uang dalam sebuah usaha sangat
diperlukan. Yang menjadi persoalan di sini bukanlah penting tidaknya modal,
karena keberadaannya memang sangat diperlukan, akan tetapi bagaimana
mengelola modal secara optimal sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan
lancar (Amirullah, 2005:7).
Tambahan modal kerja yang diperlukan pelaku usaha tersebut dapat
diperoleh dari pinjaman/kredit. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU
Nomor 7 tahun 1992, pasal 1 ayat 11, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Kasmir (2003) kredit dapat digolongkan di antaranya berdasarkan.
1. Segi kegunaan kredit
a. Kredit investasi. Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan
perluasan usaha atau membangun pabrik baru.
b. Kredit modal kerja. Kredit yang dipergunakan untuk membiayai
kebutuhan modal kerja suatu perusahaan yang pada umumnya
berjangka waktu pendek,maksimal satu tahun
2. Dilihat dari segi tujuan kredit.
a. Kredit produktif
b. Kredit konsumtif
c. Kredit perdagangan 2.3. Reforma Agraria
Reformasi agraria adalah suatu istilah yang dapat merujuk kepada dua hal.
Secara sempit istilah tersebut merujuk pada distribusi ulang (redistribusi) lahan
pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah (lihat reformasi pertanahan
(land reform)); sedangkan secara luas istilah tersebut merujuk pada peralihan
sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga meliputi
reformasi pertanahan.
Pada hakekatnya, tujuan dilaksanakannya reformasi agraria adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin sehingga reformasi agraria dapat
berperan sebagai akses reform dan aset reform. Jika secara aset reform, reforma
agraria hanya dipahami sebagai kebijakan untuk redistribusi tanah, tetapi secara
akses reform juga berfungsi sebagai proses yang lebih luas seperti akses ke
sumber daya alam, keuangan/modal, teknologi, pasar barang dan tenaga kerja,
dan juga distribusi kekuatan politik (Arisaputra, 2016). Pemerataan penguasaan
tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan
peningkatan kesejahteraan warga desa. Reforma agraria memainkan peran
penting dalam perang melawan kemiskinan pedesaan. Sasaran utama reforma
agraria adalah terciptanya keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan
agraria.
Pada implementasinya, redistribusi tanah baru mencapai 1 persen dari target
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
dan 13.000 ha dengan skema pengakuan hutan adat oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pemerintah melaporkan telah melakukan redistribusi tanah sekitar 4,2 %
dari target. Lambatnya proses pelaksanaan akibat ketiadaan visi reforma agraria
dan lemahnya inisiatif Kementerian ATR/BPN memimpin, mengoordinasikan
kementerian lain, dan kelompok masyarakat sipil rencana pelaksanaan reforma
146
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
agraria. Ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang
hendak dijalankan pemerintah belum optimal (Kompas, edisi 16/02/2017).
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian lapangan (fieldwork) ini dilakukan secara kualitatif. Cara yang
digunakan untuk memperoleh data dengan metode kualitatif yaitu melalui
wawancara. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan purposive
sampling.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
Penelitian dilaksanakan selama satu tahun anggaran pada bulan Januari sampai
dengan Desember 2016.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data kualitatif dengan catatan harian. Data yang
diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat
melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan
pengamatan berperan serta terbatas. Data sekunder didapat dengan studi
dokumen yaitu menguatkan dan melengkapi terhadap data-data yang di dapat
melalui wawancara dan pengamatan berperan serta terbatas. Pilihan informan
dilakukan dengan cara sengaja (purposive).
3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mereduksi data.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis dan
akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Pereduksian data-data
yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data primer dan
sekunder yang diperoleh di lapangan direduksi yaitu dengan penyederhanaan
data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan untuk
menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan data yang sesuai dengan yang
diperlukan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan melalui survai akan dientri
ke dalam program Microsoft Excel. Data diolah dan dianalisis untuk mengetahui
keadaan masyarakat sebelum dan sesudahnya adanya program pendaftaran
tanah.
147
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
agraria. Ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang
hendak dijalankan pemerintah belum optimal (Kompas, edisi 16/02/2017).
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian lapangan (fieldwork) ini dilakukan secara kualitatif. Cara yang
digunakan untuk memperoleh data dengan metode kualitatif yaitu melalui
wawancara. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan purposive
sampling.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
Penelitian dilaksanakan selama satu tahun anggaran pada bulan Januari sampai
dengan Desember 2016.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data kualitatif dengan catatan harian. Data yang
diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat
melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan
pengamatan berperan serta terbatas. Data sekunder didapat dengan studi
dokumen yaitu menguatkan dan melengkapi terhadap data-data yang di dapat
melalui wawancara dan pengamatan berperan serta terbatas. Pilihan informan
dilakukan dengan cara sengaja (purposive).
3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mereduksi data.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis dan
akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Pereduksian data-data
yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data primer dan
sekunder yang diperoleh di lapangan direduksi yaitu dengan penyederhanaan
data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan untuk
menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan data yang sesuai dengan yang
diperlukan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan melalui survai akan dientri
ke dalam program Microsoft Excel. Data diolah dan dianalisis untuk mengetahui
keadaan masyarakat sebelum dan sesudahnya adanya program pendaftaran
tanah.
4. PEMBAHASAN 4.1. Layanan Tatamu Pade
Layanan Tatamu Pade merupakan salah satu inovasi layanan pertanahan
berupa kegiatan pendaftaran tanah pertama kali bagi segenap lapisan
masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah dan pelaku ekonomi
produktif di pasar desa. “Tatamu Pade” secara harfiah dapat diartikan bertemu
dengan paman yang biasanya identik dengan memberikan uang kepada
kemenakan. Namun, Tatamu Pade ini merupakan akronim dari Sertipikasi Tanah
sebagai Modal Usaha di Pasar Desa. Pendekatan Layanan Tatamu Pade ini
menghubungkan antara ATR/BPN, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) dan perbankan sehingga terbuka aksesnya terhadap modal, teknologi
dan pasar. Layanan ini memadukan fungsi ATR/BPN, Perbankan dan Satuan
Kerja Teknis Pemerintah Daerah (SKPD) ke dalam satu tim pelaksana dengan
Leading sector nya adalah ATR/BPN. Tim akan menelusuri dan menjaring target
di Pasar Desa. Penekanan pada Pasar Desa ini perlu dilakukan untuk menjamin
ketepatan target, bahwa target benar-benar pelaku UMKM yang mempunyai
tanah tetapi masih belum bersertipikat.
Target pelaku UMKM yang belum bersertipikat akan dilakukan kegiatan
sertipikasi tanah melalui kegiatan legalisasi aset (Prona) yang dibiayai oleh
APBN dan dihubungkan dengan perbankan serta dibina oleh instansi teknis.
Inovasi kreatif yang ditawarkan mengacu pada sasaran pelaku pasar untuk
meningkatkan usaha sektor riil. Pelaku UMKM masih berkutat dengan masalah
klasik, yakni kerap dinilai tidak mampu memenuhi syarat perbankan (bankable).
Padahal, secara prospek, banyak UKMM memiliki usaha yang layak untuk
diberikan akses perbankan (feasible). Akibatnya, tidak semua UMKM mampu
mengakses kredit usaha rakyat (KUR). Padahal, KUR diperuntukkan kepada
masyakarat kecil, termasuk para pelaku UMKM.
Selama ini kegiatan legalisasi aset yang dibiayai oleh Pemerintah
khususnya Prona kurang mengandung unsur pemberdayaan masyarakat pelaku
Usaha Mikro dan Kecil. Kita ketahui bahwa target legalisasi aset Prona adalah
masyarakat ekonomi lemah secara keseluruhan dan dilaksanakan kurang
terhubung dengan kegiatan pasca legalisasi aset. Dengan Layanan Tatamu
Pade ini sertipikasi Hak Atas Tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
upaya pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat Usaha Mikro dan
Kecil. Dipastikan bahwa biaya yang dikeluarkan Pemerintah dalam rangka
148
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
legalisasi aset menjadi pemicu munculnya pelaku ekonomi mikro dan kecil, serta
memicu mobilisasi pengusaha mikro dan kecil menjadi pengusaha menengah.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan di antaranya dengan
membangun kebersamaan dengan pemangku kepentingan (stake holder),
sosialisasi kepada masyarakat di Pasar Desa, penentuan target, pelaksanaan,
serta evaluasi dan pelaporan. Sehingga manfaat inovasi yang diperoleh dari
layanan ini yaitu terbangunnya sinergi antar lembaga pemerintah, percepatan
pendaftaran Hak Atas Tanah, biaya yang dikeluarkan pemerintah memiliki
multiplier effect, tersedianya akses masyarakat terhadap modal teknologi dan
pasar, munculnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil, berkembangnya
pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha ekonomi menengah
serta terbangunnya ekonomi pedesaan.
Sebagai layanan inovasi, Tatamu Pade harus memiliki nilai pembeda
dengan layanan yang sudah ada. Jika prona hanya menyasar masyarakat
kalangan tidak mampu untuk memiliki sertipikat. Maka, layanan Tatamu Pade
terdapat dua output konkrit dari pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka
meningkatkan akses reform sertipikat tanah sebagai modal usaha di pasar desa.
1. Sertipikat hak milik digunakan untuk jaminan kepastian hukum dan tanda
bukti kepemilikan asset tanah milik masyarakat. Masyarakat yang sudah
memiliki sertipikat tanah dapat mengakses layanan modal usaha ke BRI
Cabang Martapura dan Unit – unit di wilayah Kabupaten Banjar.
2. Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal usaha bagi masyarakat desa
terkumpul sebanyak 180 bidang tanah dengan nilai total pinjaman di BRI
sebesar Rp6.286.700.000,00 (enam milyar dua ratus delapan puluh enam
juta tujuh ratus ribu rupiah).
4.2. Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Pelaksanaan layanan pendaftaran tanah di pasar desa sebagai modal
usaha terdiri atas tiga tahapan, yaitu:
1) Pra sertipikasi hak atas tanah
a. Menjaring dan menyeleksi pelaku usaha/calon penerima Kredit Usaha
Rakyat (KUR) yang diakukan oleh BRI Cabang Martapura dan unit -
unitnya.
149
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
legalisasi aset menjadi pemicu munculnya pelaku ekonomi mikro dan kecil, serta
memicu mobilisasi pengusaha mikro dan kecil menjadi pengusaha menengah.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan di antaranya dengan
membangun kebersamaan dengan pemangku kepentingan (stake holder),
sosialisasi kepada masyarakat di Pasar Desa, penentuan target, pelaksanaan,
serta evaluasi dan pelaporan. Sehingga manfaat inovasi yang diperoleh dari
layanan ini yaitu terbangunnya sinergi antar lembaga pemerintah, percepatan
pendaftaran Hak Atas Tanah, biaya yang dikeluarkan pemerintah memiliki
multiplier effect, tersedianya akses masyarakat terhadap modal teknologi dan
pasar, munculnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil, berkembangnya
pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha ekonomi menengah
serta terbangunnya ekonomi pedesaan.
Sebagai layanan inovasi, Tatamu Pade harus memiliki nilai pembeda
dengan layanan yang sudah ada. Jika prona hanya menyasar masyarakat
kalangan tidak mampu untuk memiliki sertipikat. Maka, layanan Tatamu Pade
terdapat dua output konkrit dari pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka
meningkatkan akses reform sertipikat tanah sebagai modal usaha di pasar desa.
1. Sertipikat hak milik digunakan untuk jaminan kepastian hukum dan tanda
bukti kepemilikan asset tanah milik masyarakat. Masyarakat yang sudah
memiliki sertipikat tanah dapat mengakses layanan modal usaha ke BRI
Cabang Martapura dan Unit – unit di wilayah Kabupaten Banjar.
2. Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal usaha bagi masyarakat desa
terkumpul sebanyak 180 bidang tanah dengan nilai total pinjaman di BRI
sebesar Rp6.286.700.000,00 (enam milyar dua ratus delapan puluh enam
juta tujuh ratus ribu rupiah).
4.2. Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Pelaksanaan layanan pendaftaran tanah di pasar desa sebagai modal
usaha terdiri atas tiga tahapan, yaitu:
1) Pra sertipikasi hak atas tanah
a. Menjaring dan menyeleksi pelaku usaha/calon penerima Kredit Usaha
Rakyat (KUR) yang diakukan oleh BRI Cabang Martapura dan unit -
unitnya.
b. Hasil penjaringan dan seleksi penerima KUR disampaikan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten Banjar untuk ditetapkan sebagai peserta program
sertipikasi tanah.
KUR BRI terdiri dari KUR Mikro, KUR Ritel, dan KUR TKI dengan plafon
pinjaman sebagai berikut:
a. KUR Mikro: kredit modal kerja/investasi dengan plafon s.d Rp 25
juta/debitur;
b. KUR Ritel: kredit modal kerja/investasi kepada debitur yang memiliki
usaha produktif dan layak dengan plafon > Rp 25 juta s.d Rp 500 juta per
debitur;
c. KUR TKI diberikan untuk membiayai keberangkatan calon TKI ke negara
penempatan dengan plafon s.d 25 juta.
2) Sertipikasi hak atas tanah
Pelaksanaan sertipikasi hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Banjar dengan menggunakan skema Prona yang meliputi:
a. Persiapan (Sosialisasi, Pembentukan Tim, dan Penetapan Lokasi)
Tahapan sosialisasi dimulai dengan rapat konsolidasi dengan BRI
Martapura dan memberikan informasi secara luas melalui brosur dan
Televisi Lokal: Duta TV mengenai layanan sertipikat tanah sebagai modal
usaha di pasar desa. Lokasi tanah dari usulan penerima/calon penerima
KUR BRI yang ditetapkan berdasarkan SK Nomor: 02/KEP-
63.03.100/I/2016 Tanggal 11 Januari 2016 dan pembentukan tim
pelaksana sertipikasi tanah SK Nomor: 04/KEP-63.03.100/I/2016 Tanggal
14 Januari 2016.
150
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Gambar 1. Dokumentasi sosialisasi dan konsolidasi dengan BRI wilayah
Kab. Banjar serta penyerahan hibah mobil oleh Bupati Banjar untuk
operasional Tatamu Pade
b. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan oleh pegawai Kantor Pertanahan Kab. Banjar
bersama pihak BRI dan unit Kab. Banjar ke lokasi pasar desa. Berikut
jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah sebagai modal
usaha.
Tabel 2. Jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah
No. Waktu Pelaksanaan Tempat Penyuluhan
1 Sabtu, 20 Februari 2016 Pasar Kindai Limpuar, Kec. Gambut
2 Minggu, 21 Februari 2016 Pasar Ahad, Kec. Kertak Hanyar
3 Kamis, 3 Maret 2016 Pasar Astambul, Kec. Astambul
4 Minggu, 13 Maret 2016 Pasar Sungkai, Kec. Simpang Empat
5 Sabtu, 19 Maret 2016 Pasar Sungai Tabuk, Kec. Sungai Tabuk
6 Sabtu, 9 April 2016 Pasar Jati, Kec. Mataraman
7 Selasa, 12 April 2016 Desa Indrasari, Kec. Martapura
8 Senin, 18 April 2016 Desa Antasan Senor, Kec. Martapura
Timur
9 Kamis, 21 April 2016 Desa Keliling Benteng Tengah, Kec.Mtp
Barat
10 Selasa, 26 April 2016 Desa Mandiangin Timur, Kec. Karang
Intan
11 Sabtu, 30 April 2016 Desa Aluh-aluh besar, kec. Aluh -aluh
12 Sabtu, 7 Mei 2016 Desa Mangkaok, Kec. Pangaron
151
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Gambar 1. Dokumentasi sosialisasi dan konsolidasi dengan BRI wilayah
Kab. Banjar serta penyerahan hibah mobil oleh Bupati Banjar untuk
operasional Tatamu Pade
b. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan oleh pegawai Kantor Pertanahan Kab. Banjar
bersama pihak BRI dan unit Kab. Banjar ke lokasi pasar desa. Berikut
jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah sebagai modal
usaha.
Tabel 2. Jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah
No. Waktu Pelaksanaan Tempat Penyuluhan
1 Sabtu, 20 Februari 2016 Pasar Kindai Limpuar, Kec. Gambut
2 Minggu, 21 Februari 2016 Pasar Ahad, Kec. Kertak Hanyar
3 Kamis, 3 Maret 2016 Pasar Astambul, Kec. Astambul
4 Minggu, 13 Maret 2016 Pasar Sungkai, Kec. Simpang Empat
5 Sabtu, 19 Maret 2016 Pasar Sungai Tabuk, Kec. Sungai Tabuk
6 Sabtu, 9 April 2016 Pasar Jati, Kec. Mataraman
7 Selasa, 12 April 2016 Desa Indrasari, Kec. Martapura
8 Senin, 18 April 2016 Desa Antasan Senor, Kec. Martapura
Timur
9 Kamis, 21 April 2016 Desa Keliling Benteng Tengah, Kec.Mtp
Barat
10 Selasa, 26 April 2016 Desa Mandiangin Timur, Kec. Karang
Intan
11 Sabtu, 30 April 2016 Desa Aluh-aluh besar, kec. Aluh -aluh
12 Sabtu, 7 Mei 2016 Desa Mangkaok, Kec. Pangaron
c. Pengumpulan Data Yuridis
Agar efektif dan efisien, pengumpulan data yuridis dilaksanakan secara
bersamaan waktunya dengan penyuluhan di pasar – pasar desa
sekaligus juga menjaring pelaku usaha/calon penerima KUR selain yang
bersumber dari usulan bank pada tahapan pra sertipikasi tanah hingga
berkas dinyatakan lengkap secara aspek hukum pertanahan dan aspek
hukum perbankan.
Gambar 2. Dokumentasi kegiatan penyuluhan sekaligus pengumpulan data
yuridis di Pasar Kindai Limpuar Kecamatan Gambut dan Pasar Ahad
Kecamatan Kertak Hanyar.
d. Pengukuran Bidang Tanah
Proses ini untuk memastikan letak, batas, dan luas bidang tanah yang
memenuhi persyaratan teknis untuk ditetapkan dan/atau diberikan hak
atas tanah kepada pemiliknya sebagai subyek hak. Output dari kegiatan
ini berupa Peta Bidang Tanah (PBT).
e. Pemeriksaan Tanah
Pemeriksaan tanah dilakukan untuk memastikan keterangan yang
tertuang di dalam data yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.
Dilakukan dengan cara menggali informasi yang meliputi kesesuaian
nama dan profesi peserta. Membandingkan keterangan yang tertera di
dalam dokumen/data yuridis dengan kesesuaian dengan kondisi
penguasaan, penggunaan tanah, kesesuaian letak, serta batas dan luas
yang tertuang dalam data fisik (PBT) dengan kenyataan di lapangan.
152
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Hasil pemeriksaan tanah tertuang dalam Risalah Panitia Pemeriksaan
Tanah.
f. Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak
Berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut ditindaklanjuti
oleh panitia pemeriksaan tanah dengan menyiapkan naskah Surat
Keputusan Penetapan Hak yang ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan. Dalam rangka penerbitan SK Pemberian Hak, bagi para
pihak yang mampu membayar BPHTB, bukti pembayaran dibawa pada
saat pendaftaran hak. Namun, apabila peserta tidak mampu memenuhi
BPHTB, maka yang bersangkutan dapat membuat permohonan
keringanan pembayaran BPHTB ke Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Banjar.
g. Penerbitan dan Penyerahan Sertipikat
Sertipikat Hak Atas Tanah yang sudah ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya (BRI
wilayah Kab. Banjar) untuk mendapatkan modal usaha. Pada
pelaksanaannya terdapat 180 pelaku usaha yang mendapatkan KUR BRI
dari Rp5000.000,00 s.d. Rp150.000.000,00 dengan perincian sebagai
berikut.
Tabel 3. Rincian modal pinjaman KUR BRI
Rentang Nilai
Pinjaman
Jumlah
KUR Mikro
Jumlah
KUR Ritel Jumlah Pinjaman KUR
s.d. Rp25.000.000,00 99
Orang/Bdg
Rp1.940.000.000
>Rp25.000.000,00–
Rp150.000.000,00
81
Orang/Bdg Rp 4.346.700.000
TOTAL 180 Orang/Bidang Rp 6.286.700.000
Rata-rata KUR/bidang Rp34.926.000
3) Pasca sertipikasi hak atas tanah
Kegiatan pasca sertipikasi tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten Banjar yang
meliputi pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat. Kantor
Pertanahan Kabupaten Banjar berperan dalam bentuk fasilitas dan
pendampingan ke akses permodalannya yang dilaksanakan oleh BRI wilayah
153
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Hasil pemeriksaan tanah tertuang dalam Risalah Panitia Pemeriksaan
Tanah.
f. Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak
Berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut ditindaklanjuti
oleh panitia pemeriksaan tanah dengan menyiapkan naskah Surat
Keputusan Penetapan Hak yang ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan. Dalam rangka penerbitan SK Pemberian Hak, bagi para
pihak yang mampu membayar BPHTB, bukti pembayaran dibawa pada
saat pendaftaran hak. Namun, apabila peserta tidak mampu memenuhi
BPHTB, maka yang bersangkutan dapat membuat permohonan
keringanan pembayaran BPHTB ke Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Banjar.
g. Penerbitan dan Penyerahan Sertipikat
Sertipikat Hak Atas Tanah yang sudah ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya (BRI
wilayah Kab. Banjar) untuk mendapatkan modal usaha. Pada
pelaksanaannya terdapat 180 pelaku usaha yang mendapatkan KUR BRI
dari Rp5000.000,00 s.d. Rp150.000.000,00 dengan perincian sebagai
berikut.
Tabel 3. Rincian modal pinjaman KUR BRI
Rentang Nilai
Pinjaman
Jumlah
KUR Mikro
Jumlah
KUR Ritel Jumlah Pinjaman KUR
s.d. Rp25.000.000,00 99
Orang/Bdg
Rp1.940.000.000
>Rp25.000.000,00–
Rp150.000.000,00
81
Orang/Bdg Rp 4.346.700.000
TOTAL 180 Orang/Bidang Rp 6.286.700.000
Rata-rata KUR/bidang Rp34.926.000
3) Pasca sertipikasi hak atas tanah
Kegiatan pasca sertipikasi tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten Banjar yang
meliputi pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat. Kantor
Pertanahan Kabupaten Banjar berperan dalam bentuk fasilitas dan
pendampingan ke akses permodalannya yang dilaksanakan oleh BRI wilayah
kerja Kab. Banjar dalam rangka peningkatan modal usaha dan penguatan
ekonomi riil di pedesaan.
4.3. Kendala dan Solusi Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Dalam pelaksanaan sertipikasi tanah sebelumnya, tidak dilakukan
penelusuran mengenai identitas kawasan. Sehingga terlanjur dilakukan
pengukuran pada beberapa lahan yang termasuk ke dalam kawasan hutan.
Selain itu, munculnya kendala karena beberapa desa di Kabupaten Banjar
lumayan pelosok dan jauh dari pusat kabupaten Banjar tempat kantor
pertanahan, sehingga kesulitan akses untuk mendapatkan informasi seputar
sertipikasi tanah.
Kendala yang dihadapi dan solusi penyelesaian dalam pelaksanaan
layanan pendaftaran tanah sebagai modal usaha di pasar desa, di antaranya
sebagai berikut.
Tabel 4. Kendala dan Solusi Pelaksanaan
No. Kendala Solusi 1 Masyarakat di pedesaan
kebanyakan belum
mempunyai surat – surat
tanah/bukti kepemilikan dan
Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB).
Perangkat pemerintah (RT, RW, Kepala
Desa/ Lurah, dan Camat menjalin kerjasama
(MOU) dengan Kantor Pertanahan Kab.
Banjar untuk membantu mempercepat
pembuatan surat tanah/ bukti kepemilikan
tanah dan SPPT PBB serta turut membantu
mendaftarkan permohonan SPPT PBB
secara kolektif ke Dispenda Kab. Banjar.
Selain itu, mengadakan pembinaan
Administrasi Pertanahan Desa kepada
seluruh Lurah dan Desa di wilayah kerja
Kab. Banjar supaya seragam bentuk dan
isinya.
2 Sulitnya menghadirkan pemilik
tanah yang berbatasan saat
pelaksanaan pengukuran
bidang tanah.
Peserta Program membuat Berita Acara
bahwa tetangga yang berbatasan tersebut
sulit untuk ditemui. Kesanggupan perserta
program untuk bertanggungjawab secara
mutlak apabila di kemudian hari muncul
keberatan dari pemilik tanah yang
154
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
berbatasan yang dituangkan dalam Berita
Acara tersebut.
3 Lokasi tanah sebagai obyek
sertipikasi terindikasi masuk ke
dalam kawasan hutan
berdasarkan Kemenhut Nomor
SK: 435/Menhut-II/2009 Tgl.
23 Juli 2009. Ada 3 Bidang
yang termasuk Kawasan hutan
di Desa Awang Bangkal Barat
Kec. Karang Intan.
Mengajukan permohonan pelepasan fungsi
kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.
Ini merupakan solusi jangka panjang
mengingat prosedur dan mekanisme
pelepasan kawasan hutan yang melibatkan
antar kementerian.
4.4. Dampak Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah di Pasar Desa
sebagai Modal Usaha Dampak dari kebijakan dan program layanan pendaftaran tanah di pasar
desa sebagai modal usaha, yaitu:
1. Terbangunnya sinergi antar lembaga Pemerintah;
2. Percepatan pendaftaran hak atas tanah;
3. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka legalisasi aset tanah
mempunyai multiplier efek terutama dalam sosial ekonomi masyarakat;
4. Tersedianya akses masyarakat terhadap modal, teknologi, dan pasar;
5. Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha ekonomi mikro dan kecil;
6. Berkembangnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha
ekonomi menengah dengan jenis usaha bahan pokok, barang kebutuhan
rumah tangga, pakaian dan lain sebagainya; serta
7. Terbangunnya ekonomi yang berbasis dari pedesaan dan daerah pinggiran.
Perbedaan sebelum dan sesudah dari kebijakan dan program layanan
pendaftaran tanah dapat diamati dalam tabel berikut ini:
155
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
berbatasan yang dituangkan dalam Berita
Acara tersebut.
3 Lokasi tanah sebagai obyek
sertipikasi terindikasi masuk ke
dalam kawasan hutan
berdasarkan Kemenhut Nomor
SK: 435/Menhut-II/2009 Tgl.
23 Juli 2009. Ada 3 Bidang
yang termasuk Kawasan hutan
di Desa Awang Bangkal Barat
Kec. Karang Intan.
Mengajukan permohonan pelepasan fungsi
kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.
Ini merupakan solusi jangka panjang
mengingat prosedur dan mekanisme
pelepasan kawasan hutan yang melibatkan
antar kementerian.
4.4. Dampak Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah di Pasar Desa
sebagai Modal Usaha Dampak dari kebijakan dan program layanan pendaftaran tanah di pasar
desa sebagai modal usaha, yaitu:
1. Terbangunnya sinergi antar lembaga Pemerintah;
2. Percepatan pendaftaran hak atas tanah;
3. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka legalisasi aset tanah
mempunyai multiplier efek terutama dalam sosial ekonomi masyarakat;
4. Tersedianya akses masyarakat terhadap modal, teknologi, dan pasar;
5. Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha ekonomi mikro dan kecil;
6. Berkembangnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha
ekonomi menengah dengan jenis usaha bahan pokok, barang kebutuhan
rumah tangga, pakaian dan lain sebagainya; serta
7. Terbangunnya ekonomi yang berbasis dari pedesaan dan daerah pinggiran.
Perbedaan sebelum dan sesudah dari kebijakan dan program layanan
pendaftaran tanah dapat diamati dalam tabel berikut ini:
Tabel 5. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Pelaksaan Kebijakan dan Program
Layanan Pendaftaran Tanah
No. Sebelum Sesudah 1 Akses masyarakat desa terhadap modal,
teknologi dan pasar relatif terbatas,
sehingga masyarakat melakukan kegiatan
ekonomi hanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari hari.
Tersedianya akses masyarakat desa
terhadap permodalan, teknologi, dan
pasar
2 Legalisasi aset khususnya prona terbatas
hanya pada penerbitan sertipikasi hak
atas tanah
Legalisasi asset tanah masyarakat
merupakan bagian dari rangkaian
pemberdayaan masyarakat desa
(membangun dari pinggiran:
NAWACITA)
3 Terbatasnya sinergi antar lembaga
pemerintah. Misalnya dalam pengurusan
SPPT PBB dan BPHTP
Meningkatnya sinergi antar lembaga
pemerintah mempercepat pelayanan
publik kepada masyarakat (BPN,
Pemda dan aparat desa, BRI sebagai
lembaga keuangan)
4 Terbatasnya sinergi antara lembaga
pemerintah dengan Notaris/PPAT
Terbinanya hubungan kerja antara
lembaga pemerintah dengan Notaris
PPAT
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1) Tatamu Pade merupakan layanan pendaftaran tanah di pasar desa yang
berorientasi pada akses reform sebagai modal usaha
2) Pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade” melingkupi 3
tahap pra sertipikasi, sertipikasi dan pasca sertipikasi tanah.
3) Kendala dan solusi pelaksanaan “tatamu pade: mencakup ada tidaknya bukti
kepemilikan sertipikat tanah, sulitnya koordinasi dengan pemilik tanah yang
berbatasan, serta lokasi tanah yang terindikasi kawasan hutan.
156
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
4) Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan akses reform
sertipikasi tanah sebagai modal usaha di pasar desa melalui pendaftaran
tanah merupakan layanan inovasi yang memberikan multiplier effect
terutama sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan. Dalam penerapannya Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal
usaha bagi masyarakat desa yang terkumpul sebanyak 180 bidang tanah
dengan nilai total pinjaman di BRI sebesar Rp6.286.700.000,00.
5.2. Saran Saran yang direkomendasikan untuk keberlanjutan layanan inovatif ini,
adalah dengan menjaga konsistensi layanan dan hubungan baik di berbagai
pihak (stakeholder) yang terlibat. Layanan ini memadukan fungsi Badan
Pertanahan Nasional, Perbankan dan Satuan Kerja Teknis Pemerintah Daerah
ke dalam satu Tim Pelaksana dengan leading sectornya adalah Badan
Pertanahan Nasional (BPN), menghubungkan antara pemangku kepentingan
pemberdayaan masyarakat khususnya Usaha Mikro dan Kecil sehingga terbuka
aksesnya terhadap modal, teknologi dan pasar. Selain itu diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui dampak secara kuantitatif bagi pendapatan
masyarakat melalui pelayanan “Tatamu Pade” ini.
DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2004, hal.74
Amir, A, 2008, “Analisis Dampak Program Sertipikasi Tanah Terhadap Akses
Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten
Bekasi Tesis S2, Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ana Silviana, Penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, Masalah-
Masalah Hukum, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Vo. 33 N0. 3 Juli-September 2004, hal. 252.
Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform dalam Kerangka Reforma Agraria
untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Perspektif. Volume XXI No. 2 Tahun
2016.
Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kasmir, 2003, “Manajemen Perbankan” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
157
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
4) Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan akses reform
sertipikasi tanah sebagai modal usaha di pasar desa melalui pendaftaran
tanah merupakan layanan inovasi yang memberikan multiplier effect
terutama sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan. Dalam penerapannya Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal
usaha bagi masyarakat desa yang terkumpul sebanyak 180 bidang tanah
dengan nilai total pinjaman di BRI sebesar Rp6.286.700.000,00.
5.2. Saran Saran yang direkomendasikan untuk keberlanjutan layanan inovatif ini,
adalah dengan menjaga konsistensi layanan dan hubungan baik di berbagai
pihak (stakeholder) yang terlibat. Layanan ini memadukan fungsi Badan
Pertanahan Nasional, Perbankan dan Satuan Kerja Teknis Pemerintah Daerah
ke dalam satu Tim Pelaksana dengan leading sectornya adalah Badan
Pertanahan Nasional (BPN), menghubungkan antara pemangku kepentingan
pemberdayaan masyarakat khususnya Usaha Mikro dan Kecil sehingga terbuka
aksesnya terhadap modal, teknologi dan pasar. Selain itu diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui dampak secara kuantitatif bagi pendapatan
masyarakat melalui pelayanan “Tatamu Pade” ini.
DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2004, hal.74
Amir, A, 2008, “Analisis Dampak Program Sertipikasi Tanah Terhadap Akses
Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten
Bekasi Tesis S2, Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ana Silviana, Penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, Masalah-
Masalah Hukum, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Vo. 33 N0. 3 Juli-September 2004, hal. 252.
Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform dalam Kerangka Reforma Agraria
untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Perspektif. Volume XXI No. 2 Tahun
2016.
Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kasmir, 2003, “Manajemen Perbankan” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Listyawan Ardi Nugraha. (2011). Pengaruh Modal Usaha, Tingkat Pendidikan,
dan Sikap Kewirausahaan terhadap Pendapatan Usaha Pengusaha
Industri Kerajinan Perak Di Desa Sodo Kecamatan Paliyan Kabupaten
Gunung Kidul. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung.
Mesman, A, 2008, “Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap
Kinerja Ekonomi Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Konawe
Selatan”. Tesis S2. Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ismail, Nurhasan. 2012. Arah Politik Hukun Pertanahan dan Perlindungan
Kepemilikan Tanah Masyarakat. Jurnal Rechts Vinding. Volume 1 No 1,
April 2012.
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung; PT.Citra
Aditya Bakti, 1993, hlm. 1.
Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, tentang Peraturan Dasar Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Undang – Undang Pokok
Agraria
158
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Biodata Penulis Data Pribadi Nama : Saheriyanto, S.Pd., SE.
NIP : 19850610 200912 1 003
Unit Kerja/Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu
Alamat : Jl. Gang Purnama 3 Nomor 12 Banjarbaru - Kalsel
Mobile Phone : +62 81805020768
Agama : Islam
Email : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan
Tahun Tempat Pendidikan 1991-1998 SDN Barkot V Pamekasan
1998-2001 SLTP Negeri I Pamekasan
2001-2004 SMA Negeri I Pamekasan
2004-2007 Diploma III Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
2007-2009 S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Malang
2011-2013 S1 Akuntansi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
2017-sekarang S2 Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru
Karya Ilmiah Dan Prestasi Yang Pernah Diperoleh
1. Finalis Lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Perekonomian
tingkat Nasional Tahun 2006 dengan judul “Analisis Kelayakan Implementasi
Kebijakan Privatisasi BUMN Terkait Kegagalan Target Privatisasi Tahun
1999-2005” di Pontianak, Kalimantan Barat.
2. Peserta Lomba Karya Tulis Perbankan Syariah Tahun 2006 dengan judul
“Implikasi Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Bisnis dan Layanan
Perbankan Syariah” yang diselenggarakan oleh BNI Syariah.
3. Juara II Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2006
dengan judul “Peran Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam rangka
Meminimalisir Tumbuhnya Praktik-praktik KKN, Mungkinkah?” di Universitas
Brawijaya Malang.
4. Finalis Lomba Kompetensi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kesra tingkat
Nasional Tahun 2007 dengan judul “Uji Sertifikasi sebagai Upaya
Mewujudkan Profesionalitas, Kesejahteraan Guru dan Dosen untuuk
Mencapai Pendidikan Yang berkualitas” di Denpasar, Bali.
159
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Biodata Penulis Data Pribadi Nama : Saheriyanto, S.Pd., SE.
NIP : 19850610 200912 1 003
Unit Kerja/Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu
Alamat : Jl. Gang Purnama 3 Nomor 12 Banjarbaru - Kalsel
Mobile Phone : +62 81805020768
Agama : Islam
Email : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan
Tahun Tempat Pendidikan 1991-1998 SDN Barkot V Pamekasan
1998-2001 SLTP Negeri I Pamekasan
2001-2004 SMA Negeri I Pamekasan
2004-2007 Diploma III Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
2007-2009 S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Malang
2011-2013 S1 Akuntansi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
2017-sekarang S2 Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru
Karya Ilmiah Dan Prestasi Yang Pernah Diperoleh
1. Finalis Lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Perekonomian
tingkat Nasional Tahun 2006 dengan judul “Analisis Kelayakan Implementasi
Kebijakan Privatisasi BUMN Terkait Kegagalan Target Privatisasi Tahun
1999-2005” di Pontianak, Kalimantan Barat.
2. Peserta Lomba Karya Tulis Perbankan Syariah Tahun 2006 dengan judul
“Implikasi Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Bisnis dan Layanan
Perbankan Syariah” yang diselenggarakan oleh BNI Syariah.
3. Juara II Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2006
dengan judul “Peran Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam rangka
Meminimalisir Tumbuhnya Praktik-praktik KKN, Mungkinkah?” di Universitas
Brawijaya Malang.
4. Finalis Lomba Kompetensi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kesra tingkat
Nasional Tahun 2007 dengan judul “Uji Sertifikasi sebagai Upaya
Mewujudkan Profesionalitas, Kesejahteraan Guru dan Dosen untuuk
Mencapai Pendidikan Yang berkualitas” di Denpasar, Bali.
5. Finalis Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2008 dengan
judul “Analisis Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM dalam Upaya
Pengentasan Kemiskinan pada Tahun 2005-2007” di Universitas Brawijaya
Malang.
6. Juara I Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang IPS Tingkat Universitas
Tahun 2008 dengan judul “Rekonstruksi Kebijakan Pangan dan Pertanian
sebagai Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional” di Universitas
Negeri Malang.
7. Juara III Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Universitas Tahun 2008
dengan judul “Safeguard terhadap Budaya Indonesia dari Ekspoitasi Negara
Luar sebagai Identitas Bangsa melalui Cultural Tourism” di Universitas
Negeri Malang.
8. Finalis Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang IPS Wilayah C Tahun 2008
dengan judul “Rekonstruksi Kebijakan Pangan dan Pertanian sebagai Upaya
Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional” di Universitas Mataram.
9. Penyaji Tingkat Nasional Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan
dalam rangka Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXI Tahun 2008
dengan judul “Usaha Pembuatan Kaos Distro Berciri Khas Madura sebagai
Sumber Ekonomi Baru Berbasis Budaya” di Universitas Islam Sultan Agung
Semarang.
10. Juara III Lomba Penulisan Artikel Perpajakan se-Malang Tahun 2008 dengan
judul “Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan
Penggunaan Pajak sebagai Upaya Peningkatan Program Pembangunan
yang Berkelanjutan” di Direktorat Jendral Pajak Kanwil III Malang.
11. Penelitian didanai oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah RI Tahun 2009 dengan judul “Studi Komparatif Keberadaan
Koperasi dan Badan Usaha Milik Desa dalam rangka Penguatan
Perekonomian Desa.
12. Juara II Lomba Karya Tulis Mahasiswa Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Tahun 2009 dengan Judul “Penerapan Local Governance melalui Kebijakan
Agroindustri dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Madura
Pasca Beroperasinya Jembatan Suramadu” di Kantor Gubernur Jawa Timur.
13. Mahasiswa Berprestasi Utama I Program Sarjana (S1) Fakultas Ekonomi
Tahun 2009.
160
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
EVALUASI PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP
Restu Istiningdyah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah pendaftaran tanah untuk
pertama kali meliputi tanah yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar
dalam wilayah desa/kelurahan. PTSL merupakan salah satu upaya yang
dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) untuk merealisasikan target legalisasi aset sebanyak 5 juta sertipikat.
Beban target legalisasi aset yang besar berdampak pada target legalisasi aset di
setiap Kantor Pertanahan. Contohnya di Kabupaten Pasuruan yang
mendapatkan target legalisasi aset tahun 2017 sebanyak 21.000 sertipikat tanah.
Besarnya target legalisasi aset yang dibebankan kepada Kantor Pertanahan
mengharuskan Kantor Pertanahan mengerahkan seluruh sumber daya manusia
yang ada demi pemenuhan target tersebut. Ditemukan di beberapa Kantor
Pertanahan, petugas yuridis belum mengetahui bagaimana cara meneliti riwayat
tanah dan kelengkapan berkas, proses input data di aplikasi Komputerisasi
Kantor Pertanahan (KKP) berdasarkan daftar nominatif, di mana banyak
ditemukan alas hak yang tercantum masih merupakan nomor Letter C induk
(bukan nomor Letter C terbaru), sertipikat yang diterbitkan berkasnya masih
belum lengkap, bahkan ditemukan sertipikat yang diterbitkan, sementara
berkasnya belum ada. Kajian ini mencoba mendekati masalah di lapangan
dengan metode dan pendekatan evaluatif atas praktik dan kebijakan PTSL di
Kantor Pertanahan. Penulis akan mereview peraturan yang digunakan dalam
PTSL dan peraturan terkait kemudian diturunkan ke dalam praktik di lapangan.
Temuan Penulis di lapangan, pelaksanaan PTSL telah mengesampingkan
ketentuan dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan permasalahan
di kemudian hari. Sengketa kepemilikan sebagai akibat dari tidak teliti dalam
pemeriksaan dan penelitian riwayat tanah maupun sengketa batas bidang tanah
akan menjadi hal yang wajar ke depannya. Selain itu, informasi-informasi
161
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
EVALUASI PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP
Restu Istiningdyah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah pendaftaran tanah untuk
pertama kali meliputi tanah yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar
dalam wilayah desa/kelurahan. PTSL merupakan salah satu upaya yang
dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) untuk merealisasikan target legalisasi aset sebanyak 5 juta sertipikat.
Beban target legalisasi aset yang besar berdampak pada target legalisasi aset di
setiap Kantor Pertanahan. Contohnya di Kabupaten Pasuruan yang
mendapatkan target legalisasi aset tahun 2017 sebanyak 21.000 sertipikat tanah.
Besarnya target legalisasi aset yang dibebankan kepada Kantor Pertanahan
mengharuskan Kantor Pertanahan mengerahkan seluruh sumber daya manusia
yang ada demi pemenuhan target tersebut. Ditemukan di beberapa Kantor
Pertanahan, petugas yuridis belum mengetahui bagaimana cara meneliti riwayat
tanah dan kelengkapan berkas, proses input data di aplikasi Komputerisasi
Kantor Pertanahan (KKP) berdasarkan daftar nominatif, di mana banyak
ditemukan alas hak yang tercantum masih merupakan nomor Letter C induk
(bukan nomor Letter C terbaru), sertipikat yang diterbitkan berkasnya masih
belum lengkap, bahkan ditemukan sertipikat yang diterbitkan, sementara
berkasnya belum ada. Kajian ini mencoba mendekati masalah di lapangan
dengan metode dan pendekatan evaluatif atas praktik dan kebijakan PTSL di
Kantor Pertanahan. Penulis akan mereview peraturan yang digunakan dalam
PTSL dan peraturan terkait kemudian diturunkan ke dalam praktik di lapangan.
Temuan Penulis di lapangan, pelaksanaan PTSL telah mengesampingkan
ketentuan dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan permasalahan
di kemudian hari. Sengketa kepemilikan sebagai akibat dari tidak teliti dalam
pemeriksaan dan penelitian riwayat tanah maupun sengketa batas bidang tanah
akan menjadi hal yang wajar ke depannya. Selain itu, informasi-informasi
pertanahan yang didapatkan dari kegiatan legalisasi aset tentu menjadi tidak
akurat, sehingga dapat memperlambat kegiatan pemelihaan data pertanahan.
Kata Kunci : Evaluasi, Target Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap,
Administrasi Pertanahan, Pendaftaran Tanah
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan bagian dari 9 (sembilan) agenda prioritas Presiden Joko Widodo atau yang dikenal dengan Nawa Cita, yaitu dalam poin ke 5, “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. Nawa Cita digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. (Henri Lopulalan: 2014 yang dimuat dalam Kompas.com tanggal 21 Mei 2014). Dalam upaya mewujudkan Nawacita, pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan dengan berbasis percepatan. Kebijakan yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap jo. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis Lengkap menyatakan bahwa kegiatan PTSL juga meliputi pemetaan seluruh obyek pendaftaran ranah yang sudah terdaftar. Harapan dari dilaksanakannya PTSL adalah seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan dan memiliki bukti hak sebagai jaminan kepastian hukum atas tanah yang berupa sertipikat tanah.
162
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Amanat dari Presiden RI kepada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) bahwa
Kementerian ATR/BPN harus bekerja keras agar seluruh pemilik tanah di
Indonesia didaftarkan Tahun 2017 ini, target pendaftaran tanah adalah 5 juta
bidang tanah. Tahun depan (2018) ditargetkan selesai 7 juta bidang tanah dan
tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah (Joko Widodo, 11 Oktober 2017,
wartakota.tribunnews.com tanggal 11 Oktober 2017). Dalam upaya
melaksanakan amanat dari Presiden RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional membagi target pendaftaran tanah ke seluruh
Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia. Kantor Wilayah
Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mendapatkan target
sertipikasi tanah PTSL sebanyak 625.000 bidang tanah untuk seluruh wilayah
Provinsi Jawa Timur dan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
mendapatkan target PTSL sebanyak 21.000 bidang tanah.
Problematika muncul karena selain dituntut menyelesaikan proyek PTSL,
Kantor Pertanahan juga tetap harus melaksanakan pelayanan pertanahan lain
yang sudah menjadi tupoksi dari Kantor Pertanahan khususnya dan Kementerian
ATR/BPN pada umumnya. Besarnya target PTSL yang dibebankan kepada
kantor pertanahan dirasakan tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya
yang ada. Dalam upaya penyelesaian pekerjaan PTSL ditemukan beberapa
penyimpangan pelaksanaannya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan ini
“dilakukan” semata-mata untuk terealisasinya target PTSL yang harus dipenuhi di
tahun 2017 sebagai contoh hasil pengukuran bidang tanah yang belum tertuang
pada Gambar Ukur sedangkan Peta Bidang Tanah dan Surat Ukur sudah terbit,
di sisi lain adanya ketidaklengkapan berkas PTSL sedangkan Buku Tanah sudah
terbit bahkan Sertipikat tanahnya sudah diserahkan kepada warga. Akan tetapi,
apakah “penyimpangan” itu sebagai bentuk kesengajaan atas ketidakmampuan
atau memang kondisi yang tidak memungkinkan? Poin itu perlu mendapat
penjelasan bagaimana praktik dan kebijakan itu dilakukan di lapangan.
Di sisi lain, terjadi shock culture dalam sistem kerja ATR/BPN di mana
sebelumnya target-target yang diemban jauh lebih kecil, sementara Pemerintah
baru menuntut kerja yang lebih untuk mengejar ketertinggalan sebelumnya. Pada
titik inilah butuh penyesuaian ritme kerja yang polanya mengalami perubahan.
Pertanyaan lebih jauh mungkin bisa diajukan, apakah ritme kerja baru itu sesuai
dan mampu dilakukan? Sejarah akan membuktikan bagaimana ATR/BPN akan
163
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Amanat dari Presiden RI kepada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) bahwa
Kementerian ATR/BPN harus bekerja keras agar seluruh pemilik tanah di
Indonesia didaftarkan Tahun 2017 ini, target pendaftaran tanah adalah 5 juta
bidang tanah. Tahun depan (2018) ditargetkan selesai 7 juta bidang tanah dan
tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah (Joko Widodo, 11 Oktober 2017,
wartakota.tribunnews.com tanggal 11 Oktober 2017). Dalam upaya
melaksanakan amanat dari Presiden RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional membagi target pendaftaran tanah ke seluruh
Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia. Kantor Wilayah
Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mendapatkan target
sertipikasi tanah PTSL sebanyak 625.000 bidang tanah untuk seluruh wilayah
Provinsi Jawa Timur dan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
mendapatkan target PTSL sebanyak 21.000 bidang tanah.
Problematika muncul karena selain dituntut menyelesaikan proyek PTSL,
Kantor Pertanahan juga tetap harus melaksanakan pelayanan pertanahan lain
yang sudah menjadi tupoksi dari Kantor Pertanahan khususnya dan Kementerian
ATR/BPN pada umumnya. Besarnya target PTSL yang dibebankan kepada
kantor pertanahan dirasakan tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya
yang ada. Dalam upaya penyelesaian pekerjaan PTSL ditemukan beberapa
penyimpangan pelaksanaannya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan ini
“dilakukan” semata-mata untuk terealisasinya target PTSL yang harus dipenuhi di
tahun 2017 sebagai contoh hasil pengukuran bidang tanah yang belum tertuang
pada Gambar Ukur sedangkan Peta Bidang Tanah dan Surat Ukur sudah terbit,
di sisi lain adanya ketidaklengkapan berkas PTSL sedangkan Buku Tanah sudah
terbit bahkan Sertipikat tanahnya sudah diserahkan kepada warga. Akan tetapi,
apakah “penyimpangan” itu sebagai bentuk kesengajaan atas ketidakmampuan
atau memang kondisi yang tidak memungkinkan? Poin itu perlu mendapat
penjelasan bagaimana praktik dan kebijakan itu dilakukan di lapangan.
Di sisi lain, terjadi shock culture dalam sistem kerja ATR/BPN di mana
sebelumnya target-target yang diemban jauh lebih kecil, sementara Pemerintah
baru menuntut kerja yang lebih untuk mengejar ketertinggalan sebelumnya. Pada
titik inilah butuh penyesuaian ritme kerja yang polanya mengalami perubahan.
Pertanyaan lebih jauh mungkin bisa diajukan, apakah ritme kerja baru itu sesuai
dan mampu dilakukan? Sejarah akan membuktikan bagaimana ATR/BPN akan
menjawab tantangan tersebut. Dalam bahasa lain, evaluasi praktik kebijakan
PTSL diletakkan dalam kerangka secara utuh untuk melihat secara proporsional
bagaimana sikap, tindakan, dan respons dilakukan di lapangan.
1.2. Rumusan Masalah Besarnya target bidang tanah yang akan disertipikatkan melalui proyek
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merupakan salah satu wujud
pelaksanaan 9 Program Nasional, Nawacita. Harapan dari kegiatan ini adalah
adanya kepastian jaminan hukum terhadap seluruh bidang tanah yang ada di
Indonesia. Pelaksanaan PTSL didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016
diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agaria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 12 Tahun 2017. Dalam pelaksanaan PTSL di lapangan
ditemukan beberapa praktik pelaksanaan yang tidak sesuai dengan peraturan
dan petunjuk teknis pelaksanaan yang ada. Hal itu ditengarai sebagai akibat dari
besarnya target yang dibebankan kepada masing-masing Kantor Pertanahan.
Namun demikian, muncul pertanyaan besar, apakah target yang besar itu harus
mengurangi tingkat akurasi sebuah produk yang dihasilkan, bahkan mengurangi
tingkat ketelitian dalam beberapa proses penerbitan hak atas tanah? Tentu saja
produk PTSL sangat terkait dengan status hak seseorang, oleh karena itu, asas
kehati-hatian tetap menjadi yang utama, karena menyangkut sebuah kepastian
hukum akan hak atas tanah. Berangkat dari problem dan praktik tersebut, penulis
mengajukan rumusan masalah dalam kajian ini yaitu mengenai bagaimana
praktik pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kantor
Pertanahan khususnya dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data yuridis.
1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis praktik pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan melakukan evaluasi secara parsial,
khususnya praktik PTSL di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dalam kegiatan
pengumpulan data fisik dan pengumpulan data yuridis.
1.4. Manfaat Penulisan Hasil evaluasi diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi Kementerian
ATR/BPN untuk memperbaiki kinerja untuk meningkatkan kualitas produk PTSL.
164
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, kajian mengenai Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL) belum banyak ditemukan, karena PTSL merupakan kegiatan pendaftaran
tanah yang masih baru dan sedang berjalan. Muncul beberapa kajian mengenai
PTSL sebelumnya berupa jurnal yang ditulis oleh Rachmad Nur Nugroho (2017),
“Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap
Dengan Berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 di Kabupaten Sleman”. Kajian
Nugroho menyoroti persoalan proses pelaksanaan dan hambatan-hambatan
yang terjadi dalam pelaksanaannya. Salah satu temuan Nugroho adalah problem
sosialisasi dalam praktik di lapangan. Kurangnya sosialisasi menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pelaksanaan PTSL di Kabupaten Sleman.
Penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Eko Budi Wahyono
(2017) mengenai Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Pada
Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan di fokuskan pada
pelaksanaan PTSL di Sumatera Utara dalam hal tata laksana, mobilisasi
sumberdaya manusia dan strategi melakukan kerja sama dengan Pemerintah
Daerah serta apa saja yang kelemahan dan kekuatan yang perlu diperhatikan
dalam melaksanakan PTSL serta strategi untuk mengoptimalkan kekuatan dan
meminimalkan kelemahan. Penelitian lain juga dilakukan oleh I Gusti Nyoman
Guntur dkk (2017) yang mengkaji mengenai jaminan kepastian hukum dalam
pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan. Dalam penelitian disimpulkan
bahwa pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan pada prinsipnya tetap
diarahkan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,
sehingga prosedurnya meliputi kegiatan penyiapan (lokasi, panitia dan
penyuluhan), dilanjutkan dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik dan
data yuridis, serta pembukuan dan penerbitan sertipikatnya. Perbedaan dengan
penelitian sebelumnya, penelitian peneliti ada pada lokasi penelitian dan issue
yang dikaji, meskipun pada dasarnya sama-sama mengkaji mengenai
pelaksanaan sebuah produk kebijakan pertanahan mengenai Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap khusus dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data
yuridis.
Evaluasi menurut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan adalah
165
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, kajian mengenai Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL) belum banyak ditemukan, karena PTSL merupakan kegiatan pendaftaran
tanah yang masih baru dan sedang berjalan. Muncul beberapa kajian mengenai
PTSL sebelumnya berupa jurnal yang ditulis oleh Rachmad Nur Nugroho (2017),
“Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap
Dengan Berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 di Kabupaten Sleman”. Kajian
Nugroho menyoroti persoalan proses pelaksanaan dan hambatan-hambatan
yang terjadi dalam pelaksanaannya. Salah satu temuan Nugroho adalah problem
sosialisasi dalam praktik di lapangan. Kurangnya sosialisasi menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pelaksanaan PTSL di Kabupaten Sleman.
Penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Eko Budi Wahyono
(2017) mengenai Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Pada
Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan di fokuskan pada
pelaksanaan PTSL di Sumatera Utara dalam hal tata laksana, mobilisasi
sumberdaya manusia dan strategi melakukan kerja sama dengan Pemerintah
Daerah serta apa saja yang kelemahan dan kekuatan yang perlu diperhatikan
dalam melaksanakan PTSL serta strategi untuk mengoptimalkan kekuatan dan
meminimalkan kelemahan. Penelitian lain juga dilakukan oleh I Gusti Nyoman
Guntur dkk (2017) yang mengkaji mengenai jaminan kepastian hukum dalam
pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan. Dalam penelitian disimpulkan
bahwa pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan pada prinsipnya tetap
diarahkan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,
sehingga prosedurnya meliputi kegiatan penyiapan (lokasi, panitia dan
penyuluhan), dilanjutkan dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik dan
data yuridis, serta pembukuan dan penerbitan sertipikatnya. Perbedaan dengan
penelitian sebelumnya, penelitian peneliti ada pada lokasi penelitian dan issue
yang dikaji, meskipun pada dasarnya sama-sama mengkaji mengenai
pelaksanaan sebuah produk kebijakan pertanahan mengenai Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap khusus dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data
yuridis.
Evaluasi menurut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan adalah
rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output),
dan hasil (outcome) terhadap rencana dan strandar. Secara sederhana, evaluasi
dianggap sebagai sebuah kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena di
dalamnya terkandung kegiatan pertimbangan nilai (value judgment) tertentu
(Mustopadidjaja, 1004:45 dalam Aswar, 2017:48). Organisasi Kerjasama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD) merumuskan evaluasi sebagai proses
menentukan nilai atau pentingnya suatu kegiatan, kebijakan atau program,
sebuah penilaian yang obyektif dan sistematik terhadap sebuah intervensi yang
direncanakan, sedang berlangsung ataupun yang telah selesai dilaksanakan.
Azwar (1996) mengartikan evaluasi sebagai suat proses yang teratur dan
sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau
kriteria yang telah ditetapkan kemudian dibuat suatu kesimpulan dan
penyusunan saran pada setiap tahap dari pelaksanaan program. Secara garis
besar dapat dikatakan evaluasi adalah pemberian nilai terhadap kualitas sesuatu.
Evaluasi dapat dipandang sebagai proses merencanakan memperoleh, dan
menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-
alternatif keputusan.
Sementara, pendefinisian beberapa konsep Pendaftaran Tanah (Pasal 1
butir 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997) adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya. Pendaftaran Tanah Sistematik menurut Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 35 Tahun 2016 mengartikan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap selanjutnya disebut PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau
nama lainnya yang setingkat dengan itu. Dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri
166
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun
2017 kegiatan PTSL meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik
dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk
keperluan pendaftarannya.
Dalam Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap Bidang Yuridis, disebutkan bahwa obyek PTSL adalah
seluruh bidang tanah yang belum didaftar maupun yang telah terdaftar dalam
suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lain yang setingkat dengan itu. Hasil
inventarisasi data yuridis bidang tanah dikelompokkan ke dalam 4 (empat)
kategori (Pasal 25 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan
Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017):
a. Kategori 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi
syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah;
b. Kategori 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi
syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat
perkara di Pengadilan;
c. Kategori 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat
dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah, karena subyek haknya
wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri ini; dan
d. Kategori 4, yaitu bidang tanah yang obyek dan subyeknya sudah terdaftar
dan sudah bersertipikat Hak atas Tanah, sehingga tidak menjadi obyek
PTSL secara langsung namun wajib dilakukan pengintegrasian peta-peta
bidang tanahnya ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Pelaksanaan PTSL dapat dilakukan melalui program dan anggaran khusus
PTSL atau gabungan PTSL dengan program dan/atau kegiatan lain, yaitu:
a. Program Nasional Agraria/Program Daerah Agraria (PRONA/ PRODA);
b. Program Lintas Sektor;
c. Kegiatan dari Dana Desa;
d. Kegiatan Massal Swadaya Masyarakat;
e. Program atau kegiatan sertipikasi massal redistribusi tanah obyek
landreform, konsolidasi tanah, dan transmigrasi atau
f. Kegiatan massal lainnya, gabungan dari beberapa atau seluruh kegiatan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
167
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun
2017 kegiatan PTSL meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik
dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk
keperluan pendaftarannya.
Dalam Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap Bidang Yuridis, disebutkan bahwa obyek PTSL adalah
seluruh bidang tanah yang belum didaftar maupun yang telah terdaftar dalam
suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lain yang setingkat dengan itu. Hasil
inventarisasi data yuridis bidang tanah dikelompokkan ke dalam 4 (empat)
kategori (Pasal 25 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan
Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017):
a. Kategori 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi
syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah;
b. Kategori 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi
syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat
perkara di Pengadilan;
c. Kategori 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat
dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah, karena subyek haknya
wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri ini; dan
d. Kategori 4, yaitu bidang tanah yang obyek dan subyeknya sudah terdaftar
dan sudah bersertipikat Hak atas Tanah, sehingga tidak menjadi obyek
PTSL secara langsung namun wajib dilakukan pengintegrasian peta-peta
bidang tanahnya ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Pelaksanaan PTSL dapat dilakukan melalui program dan anggaran khusus
PTSL atau gabungan PTSL dengan program dan/atau kegiatan lain, yaitu:
a. Program Nasional Agraria/Program Daerah Agraria (PRONA/ PRODA);
b. Program Lintas Sektor;
c. Kegiatan dari Dana Desa;
d. Kegiatan Massal Swadaya Masyarakat;
e. Program atau kegiatan sertipikasi massal redistribusi tanah obyek
landreform, konsolidasi tanah, dan transmigrasi atau
f. Kegiatan massal lainnya, gabungan dari beberapa atau seluruh kegiatan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode evaluasi dalam pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sangat relevan untuk meneliti
fenomena yang tejadi dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan
pada latar belakang dan individu secara holistik dan memandangnya sebagai
bagian dari suatu keutuhan, bukan berdasarkan pada variabel atau hipotesis
sehingga melalui pendekatan kualitatif penelitian yang dilakukan dapat
memperoleh informasi yang lebih detail mengenai kondisi, situasi dan peristiwa
yang terjadi (Moleong, 2003.3).
Penelitian evaluatif menurut Suchman sebagaimana dikutip Nazir (1988)
adalah penentuan (apakah berdasarkan opini, catatan, data subjektif atau
obyektif), hasil yang diperoleh dari beberapa kegiatan pada suatu program yang
dibuat untuk memperoleh suatu tujuan tentang nilai dan performance. Tujuan
penelitian evaluatif adalah untuk mengukur pengaruh suatu program terhadap
tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi
pembuatan keputusan tentang suatu program untuk meningkatkan/ memperbaiki
program yang akan datang. Hasil analisa dalam tulisan ini akan memberikan
gambaran bagaimana pelaksanaan PTSL terhadap peraturan yang berlaku
berdasarkan catatan dan pengamatan substantif lapangan dari keterlibatan
penulis secara langsung di lapangan.
Data-data yang diperoleh di lapangan yaitu berupa data hasil pengamatan
yang merupakan wujud dari keterlibatan penulis dalam pelaksanaan PTSL serta
hasil wawancara dengan petugas pengumpul data fisik dan data yuridis. Data
yang diperoleh kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan peraturan
perundangan yang berlaku sebagai wujud dari evaluasi pelaksanaan PTSL.
4. PEMBAHASAN
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Amanah kegiatan pendaftaran tanah diberikan kepada Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN)
sebanyak 5 juta pendaftaran bidang tanah. Amanah ini kemudian dilaksanakan
dengan dasar Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 35 Tahun 2016 jo
Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan sistem pendaftaran tanah yang meliputi
seluruh bidang tanah baik yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar
168
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dalam suatu desa/kelurahan. Inventarisasi bidang tanah ini dimasukkan dalam 4
Kluster/ kategori sehingga diperoleh informasi pertanahan berbasis bidang tanah
yang dapat membentu identifikasi bidang-bidang tanah bersengketa. Hal ini
sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan bahwa salah satu penyelesaian
sengketa dan konflik dilakukan berdasarkan inisiatif dari Kementerian.
Inventarisasi bidang tanah juga menghasilkan informasi mengenai indikasi
tanah terlantar, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee dalam suatu
wilayah. Tanah yang tidak diusahakan, digunakan dan dimanfaatkan dengan
baik, bahkan tidak memperhatikan batas minimum dan maksimum kepemilikan
tanah yang ditentukan peraturan perundang-undangan sehingga terjadi
pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat berakibat tanah
menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi tanah terlantar.
Inventarisasi berbasis bidang tanah juga menyediakan informasi
ketersediaan tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk pembangunan
tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai
proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk
kepentingan bisnis dalam skala besar maupun kecil (Maria Sumardjono, 2005:
256). Informasi ini mendukung Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
bahwa dalam tahap persiapan, dilakukan pendataan awal di lokasi rencana
pembangunan yang meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak
dan obyek pengadaan tanah.
Di sisi lain, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 12 Tahun 2017
tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dapat
menyumbangkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Dalam pembuktian
kepemilikan tanah, Pasal 18 Peraturan ini disebutkan bahwa bidang tanah yang
menjadi obyek PTSL merupakan Tanah Bekas Milik Adat dibuktikan dengan
Girik, Pipil, Petuk, Verponding Indonesia atau sebutan lain yang sama atau
berlaku di daerah setempat. Namun, apabila bukti kepemilikan tanah masyarakat
tidak lengkap atau tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan
dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan
itikad baik oleh yang bersangkutan (Pasal 19). Pendaftaran tanah berdasarkan
alat bukti lama yaitu Letter C masih ditemukan konflik disebabkan karena
pencatatan yang kurang tertib sehingga ada untuk 1 Letter C diatasnamakan
169
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dalam suatu desa/kelurahan. Inventarisasi bidang tanah ini dimasukkan dalam 4
Kluster/ kategori sehingga diperoleh informasi pertanahan berbasis bidang tanah
yang dapat membentu identifikasi bidang-bidang tanah bersengketa. Hal ini
sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan bahwa salah satu penyelesaian
sengketa dan konflik dilakukan berdasarkan inisiatif dari Kementerian.
Inventarisasi bidang tanah juga menghasilkan informasi mengenai indikasi
tanah terlantar, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee dalam suatu
wilayah. Tanah yang tidak diusahakan, digunakan dan dimanfaatkan dengan
baik, bahkan tidak memperhatikan batas minimum dan maksimum kepemilikan
tanah yang ditentukan peraturan perundang-undangan sehingga terjadi
pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat berakibat tanah
menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi tanah terlantar.
Inventarisasi berbasis bidang tanah juga menyediakan informasi
ketersediaan tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk pembangunan
tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai
proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk
kepentingan bisnis dalam skala besar maupun kecil (Maria Sumardjono, 2005:
256). Informasi ini mendukung Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
bahwa dalam tahap persiapan, dilakukan pendataan awal di lokasi rencana
pembangunan yang meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak
dan obyek pengadaan tanah.
Di sisi lain, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 12 Tahun 2017
tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dapat
menyumbangkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Dalam pembuktian
kepemilikan tanah, Pasal 18 Peraturan ini disebutkan bahwa bidang tanah yang
menjadi obyek PTSL merupakan Tanah Bekas Milik Adat dibuktikan dengan
Girik, Pipil, Petuk, Verponding Indonesia atau sebutan lain yang sama atau
berlaku di daerah setempat. Namun, apabila bukti kepemilikan tanah masyarakat
tidak lengkap atau tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan
dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan
itikad baik oleh yang bersangkutan (Pasal 19). Pendaftaran tanah berdasarkan
alat bukti lama yaitu Letter C masih ditemukan konflik disebabkan karena
pencatatan yang kurang tertib sehingga ada untuk 1 Letter C diatasnamakan
beberapa pihak. Bagaimana dengan Surat Keterangan Penguasaan Fisik yang
hanya didasarkan pada pengakuan seseorang? Surat Keterangan Penguasaan
Fisik dapat dibuat oleh siapa saja yang merasa menguasai bidang tanah dengan
disaksikan oleh aparat desa dan diketahui oleh kepala desa/lurah. Namun, dalam
surat pernyataan penguasaan fisik tidak didapatkan informasi riwayat
penguasaan tanah dari penguasa tanah sebelumnya hingga yang terakhir.
Sementara, penelitian riwayat tanah oleh petugas penting dilakukan untuk
memastikan apakah pemohon hak atas tanah adalah pihak yang benar-benar
menguasai tanah dan berhak atas tanah tersebut.
1) Kondisi dan Strategi yang Dijalankan
Target 5 juta pendaftaran bidang tanah yang dibebankan kepada
Kementerian ATR/BPN dilaksanakan dengan mendistribusikan target
kepada seluruh kantor pertanahan di seluruh Indonesia. Kantor Pertanahan
Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu Kantor Pertanahan yang
memiliki target PSTL cukup besar, yakni sebanyak 21.000 bidang tanah
yang terbagi dalam 2 tahapan. Tahap I sebesar 15.000 bidang tanah dan
Tahap II sebesar 6.000 bidang tanah yang meliputi 16 desa di Kabupaten
Pasuruan. Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan mempunyai Sumber
Daya Manusia (SDM) sejumlah 93 orang terdiri dari 43 Pegawai Negeri Sipil
(PNS), 42 Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan 8 Asisten Surveyor Pertanahan
(ASP).
Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan membentuk 5 Tim Ajudikasi
di mana 1 Tim Ajudikasi bertanggung jawab atas 2 sampai 3 lokasi
desa/kelurahan PTSL. Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1 Kepala
Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai petugas
pengumpul data yuridis yang dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai
petugas pengumpul data fisik dibantu oleh 1 orang ASP dan 1 orang dari
desa/kelurahan. Keanggotaan ini dapat ditambah sesuai kebutuhan.
Dalam upaya mensukseskan program PTSL, Kantor Pertanahan
Kabupaten Pasuruan juga menjalin kerja sama dengan beberapa instansi
terkait, seperti Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Kejaksaan Kabupaten
Pasuruan. Pihak dari instansi lain ini diikutsertakan dalam kegiatan
penyuluhan PTSL di desa-desa dengan tujuan adanya keterbukaan
pelaksanaan PTSL. Keterbukaan ini berkaitan dengan keuangan, tata cara
pelaksanaan, dan penyerahan hasil PTSL.
170
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Berdasarkan Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Bidang Yuridis Tahun 2017, bahwa satu orang pengumpul data yuridis
mempunyai target sebanyak minimal 15 berkas/bidang dalam satu hari kerja.
Kenyataan di lapangan, hal ini sulit dilaksanakan karena pihak pemerintah
desa belum memahami kelengkapan berkas proses pendaftaran tanah.
Selain itu, pekerjaan pemberkasan dipengaruhi juga oleh minat masyarakat
dalam pensertipikatan tanah dan kesiapan dari pegawai kantor desa/ lurah.
Ada desa yang masyarakatnya antusias, namun perangkat desanya tidak
siap, ada juga yang perangkat desanya siap, namun masyakaratnya kurang
berminat. Hal ini tentu memperlambat proses pengumpulan data yuridis.
Akibatnya banyak berkas permohonan hak atas tanah melalui PTSL yang
belum lengkap informasinya. Pengisian informasi pada berkas-berkas
permohonan yang tidak lengkap serta tidak lengkapnya tanda tangan pihak-
pihak yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. Selain itu, petugas
pengumpul data yuridis juga mempunyai tanggung jawab atas pelayanan
pertanahan yang bersifat rutin di Kantor Pertanahan sehingga tidak bisa
setiap hari melaksanakan pengumpulan data yuridis di desa lokasi PTSL.
Problematika lain adalah beberapa lokasi desa PTSL mempunyai
radius yang jauh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan. Tentu ini
membutuhkan waktu dan perhatian khusus untuk dapat menyelesaikan
target yang dibebankan. Di sisi lain, ketersediaan alat pengukuran menjadi
kendala tersendiri di bidang pengukuran bidang tanah. Alat yang ada di
Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan terutama Total Station jumlahnya
sedikit sehingga dalam pengukuran bidang tanah, yang memerlukan alat
Total Station dilaksanakan bergantian 1 desa dengan desa lain. Pemakaian
Total Station dalam proses pengukuran sangat membantu terutama dalam
pengukuran bidang tanah yang panjang sisinya lebih dari 50 meter.
Penggantian penggunaan alat ukur menjadi kendala karena proses
pengukuran 1 desa dengan desa lain tidak sama. Hal ini juga dipengaruhi
oleh iklim atau cuaca. Apabila pengukuran tanah yang panjangnya lebih dari
50 meter dengan menggunakan pita ukur, maka faktor kesalahannya tentu
sangat besar, yang dapat berpengaruh pada bentuk bidang tanah hasil
pengukuran. Percepatan pengukuran juga dapat dilakukan dengan
menggunakan CORS, namun keterbatasan alat ini, yakni hanya 1 yang
171
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Berdasarkan Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Bidang Yuridis Tahun 2017, bahwa satu orang pengumpul data yuridis
mempunyai target sebanyak minimal 15 berkas/bidang dalam satu hari kerja.
Kenyataan di lapangan, hal ini sulit dilaksanakan karena pihak pemerintah
desa belum memahami kelengkapan berkas proses pendaftaran tanah.
Selain itu, pekerjaan pemberkasan dipengaruhi juga oleh minat masyarakat
dalam pensertipikatan tanah dan kesiapan dari pegawai kantor desa/ lurah.
Ada desa yang masyarakatnya antusias, namun perangkat desanya tidak
siap, ada juga yang perangkat desanya siap, namun masyakaratnya kurang
berminat. Hal ini tentu memperlambat proses pengumpulan data yuridis.
Akibatnya banyak berkas permohonan hak atas tanah melalui PTSL yang
belum lengkap informasinya. Pengisian informasi pada berkas-berkas
permohonan yang tidak lengkap serta tidak lengkapnya tanda tangan pihak-
pihak yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. Selain itu, petugas
pengumpul data yuridis juga mempunyai tanggung jawab atas pelayanan
pertanahan yang bersifat rutin di Kantor Pertanahan sehingga tidak bisa
setiap hari melaksanakan pengumpulan data yuridis di desa lokasi PTSL.
Problematika lain adalah beberapa lokasi desa PTSL mempunyai
radius yang jauh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan. Tentu ini
membutuhkan waktu dan perhatian khusus untuk dapat menyelesaikan
target yang dibebankan. Di sisi lain, ketersediaan alat pengukuran menjadi
kendala tersendiri di bidang pengukuran bidang tanah. Alat yang ada di
Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan terutama Total Station jumlahnya
sedikit sehingga dalam pengukuran bidang tanah, yang memerlukan alat
Total Station dilaksanakan bergantian 1 desa dengan desa lain. Pemakaian
Total Station dalam proses pengukuran sangat membantu terutama dalam
pengukuran bidang tanah yang panjang sisinya lebih dari 50 meter.
Penggantian penggunaan alat ukur menjadi kendala karena proses
pengukuran 1 desa dengan desa lain tidak sama. Hal ini juga dipengaruhi
oleh iklim atau cuaca. Apabila pengukuran tanah yang panjangnya lebih dari
50 meter dengan menggunakan pita ukur, maka faktor kesalahannya tentu
sangat besar, yang dapat berpengaruh pada bentuk bidang tanah hasil
pengukuran. Percepatan pengukuran juga dapat dilakukan dengan
menggunakan CORS, namun keterbatasan alat ini, yakni hanya 1 yang
tersedia di Kantor Pertanahan serta keterbatasan SDM yang menguasai alat
ini menjadi kendala dalam pengukuran bidang tanah.
Pengukuran bidang tanah juga terhambat karena belum siapnya
masyarakat desa lokasi PTSL ditunjukkan dengan belum terpasangnya
patok batas bidang tanah hasil musyawarah antara pemilik tanah dengan
tetangga berbatasan terkait batas bidang tanah atau dikenal dengan
kontradiktur delimitasi. Sesuai dengan Petunjuk Teknis Pengukuran Bidang
Tanah Sistematis Lengkap, bahwa dalam rangka percepatan, pemasangan
tanda batas dan surat penyataan telah memasang tanda batas dilaksanakan
sebelum satgas fisik melaksanakan pengukuran dan pemetaan. Namun, di
lapangan tanda batas bidang tanah ini belum terpasang sehingga menunda
pelaksanaan pengukuran karena petugas ukur harus menunggu hasil
kesepakatan antara pemilik tanah dengan tetangga berbatasan mengenai
batas bidang tanah yang akan dimohon hak atas tanahnya.
Mengatasi ketidaklengkapan berkas permohonan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan melalui
petugas yang bekerja di lokasi PTSL melakukan pengarahan dan
pendampingan pemberkasan kepada petugas dari desa/ kelurahan. Selain
itu, menambahkan 1 sampai 2 orang PTT di keangotaan tim ajudikasi untuk
membantu proses pengumpulan data yuridis. Proses peng-input-an data
subjek dan alas hak di Komputerisasi Kantor Pertanahan dilakukan sebisa
mungkin di desa/kelurahan lokasi PTSL. Pada saat pengumpulan data, ada
petugas yang memeriksa berkas permohonan pendaftaran tanah, dan ada
petugas yang bertugas meng-input data permohonan pendaftaran hak di
KKP. Proses penandatanganan para pihak yang berkepentingan di berkas
permohonan dilakukan bersaman dengan bantuan kepala dukuh. Perangkat
yang lain melakukan kegiatan melengkapi data yang dinyatakan kurang oleh
petugas dari Kantor Pertanahan. Begitu berkas permohonan pendaftaran
hak dinyatakan lengkap, baik lengkap dari segi dokumen maupun tanda
tangan para pihak yang berkepentingan, berkas yang lengkap tersebut
kemudian dibawa ke kantor pertanahan untuk dilanjutkan proses
pendaftaran haknya.
Di bidang pengukuran, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
melakukan penambahan alat ukur yaitu Total Station yang dilakukan dengan
sistem pengadaan barang dan jasa dan melakukan peminjaman alat ukur
172
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
pada kantor pertanahan terdekat yang memiliki alat ukur lebih memadai
dalam segi kuantitas. Menjalin kerjasama dengan pihak lain, Surveyor
Berlisensi, untuk membantu percepatan pengukuran bidang tanah dalam
rangka PTSL juga dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
sebagai upaya untuk merealisasikan target yang dibebankan.
Tabel 1. Tabulasi Kondisi dan Strategi Kantor Pertanahan Kabupaten
Pasuruan
No Kondisi Strategi
1 Target Pendaftaran
Tanah sebanyak 21.000
bidang tanah
membentuk 5 Tim Ajudikasi di mana 1 Tim
Ajudikasi bertanggung jawab atas 2
sampai 3 lokasi desa/kelurahan PTSL.
Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1
Kepala Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS
sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai
petugas pengumpul data yuridis yang
dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai
petugas pengumpul data fisik dibantu oleh
1 orang ASP dan 1 orang dari
desa/kelurahan
2 Keterbatasan Alat Ukur Membentuk sistem bergilir dalam
menggunakan alat ukur dan melakukan
peminjaman alat ukur ke Kantor Wilayah
Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa
Timur dan Kantor Pertanahan yang
memiliki alat ukur lebih memadai sebagai
contoh Kantor Pertanahan Kota Surabaya I
3 Belum terpasangnya
tanda batas bidang
tanah
Bekerjasama dengan kepa dukuh desa
lokasi PTSL untuk megkondisikan agar
ketika pengukuran bidang tanah
dilaksanakan, tanda batas bidang tanah
telah jelas terpasang
4 Perangkat desa yang
belum paham mengenai
riwayat bidang tanah
Melakukan pendampingan dalam proses
pengumpulan data yuridis dan
memberikan pengarahan singkat
mengenai riwayat tanah
173
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
pada kantor pertanahan terdekat yang memiliki alat ukur lebih memadai
dalam segi kuantitas. Menjalin kerjasama dengan pihak lain, Surveyor
Berlisensi, untuk membantu percepatan pengukuran bidang tanah dalam
rangka PTSL juga dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
sebagai upaya untuk merealisasikan target yang dibebankan.
Tabel 1. Tabulasi Kondisi dan Strategi Kantor Pertanahan Kabupaten
Pasuruan
No Kondisi Strategi
1 Target Pendaftaran
Tanah sebanyak 21.000
bidang tanah
membentuk 5 Tim Ajudikasi di mana 1 Tim
Ajudikasi bertanggung jawab atas 2
sampai 3 lokasi desa/kelurahan PTSL.
Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1
Kepala Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS
sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai
petugas pengumpul data yuridis yang
dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai
petugas pengumpul data fisik dibantu oleh
1 orang ASP dan 1 orang dari
desa/kelurahan
2 Keterbatasan Alat Ukur Membentuk sistem bergilir dalam
menggunakan alat ukur dan melakukan
peminjaman alat ukur ke Kantor Wilayah
Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa
Timur dan Kantor Pertanahan yang
memiliki alat ukur lebih memadai sebagai
contoh Kantor Pertanahan Kota Surabaya I
3 Belum terpasangnya
tanda batas bidang
tanah
Bekerjasama dengan kepa dukuh desa
lokasi PTSL untuk megkondisikan agar
ketika pengukuran bidang tanah
dilaksanakan, tanda batas bidang tanah
telah jelas terpasang
4 Perangkat desa yang
belum paham mengenai
riwayat bidang tanah
Melakukan pendampingan dalam proses
pengumpulan data yuridis dan
memberikan pengarahan singkat
mengenai riwayat tanah
5 Ketidaklengkapan tanda
tangan pada berkas
PTSL
Menjalin kerjasama dengan Kepala Dukuh
dan warga sekitar dalam proses
melengkapi tanda tangan dalam berkas
PTSL
2) Evaluasi Pelaksanaan PTSL
Target PTSL yang begitu besar kepada kantor pertanahan membuat
petugas harus bekerja ektra untuk merealisasikannya. Hasil studi lapangan
ditemukan adanya beberapa penyimpangan dari peraturan yang ada dalam
pelaksanaan PTSL sebagaimana tabel:
Tabel 2. Implementasi pelaksanaan PTSL
Keterangan Peraturan Pelaksanaan Inventarisasi Bidang
Tanah
Terdiri dari 4 kategori Hanya difokuskan
pada 1 kategori yaitu
K1
Kontradiktur Delimitasi Dilaksanakan
sebelum pegukuran
batas bidang tanah
oleh petugas
Terdapat beberapa
bidang tanah belum
dilaksanakan
kontradiktur
delimitasi
Gambar Ukur Petugas ukur
membuat gambar
ukur hasil
pengukuran bidang
tanah sebagai dasar
penerbitan Peta
Bidang Tanah dan
Surat Ukur
Ditemukan gambar
ukur yang belum
dibuat sedangkan
Peta Bidang Tanah
dan Surat Ukur telah
terbit
Bukti kepemilikan Pasal 24 PP 24
Tahun 1997 berupa
alat bukti hak lama,
Apabila bukti
kepemilikan
sebagaimana
dimaksud dalam
Terdapat berkas
yang belum
dilengkapi kesaksian
dalam pernyataan
penguasaan tanah.
174
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
angka 1 tidak
lengkap/tidak ada,
dapat dilakukan
dengan bukti lain
yang dilengkapi
dengan pernyataan
yang bersangkutan,
dan keterangan yang
dapat dipercaya dari
sekurang-kurangnya
2 (dua) orang saksi
dari masyarakat
setempat, yang tidak
mempunyai
hubungan keluarga
dengan yang
bersangkutan, dan
membenarkan
bahwa yang
bersangkutan adalah
pemilik tanah
tersebut
Tanda Tangan Harus lengkap tanda
tangan pemohon,
pihak berbatasan
dan pihak lain yang
berkaitan dengan
tanah tersebut di
berkas permohonan
maupun Daftar Isian.
Apabila pemohon
pengukuran atau
pemegang hak atas
tanah tidak dapat
hadir pada
Ditemukan
ketidaklengkapan
tanda tangan di
Gambar Ukur dan
berkas permohonan
hak atas tanah lain.
175
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
angka 1 tidak
lengkap/tidak ada,
dapat dilakukan
dengan bukti lain
yang dilengkapi
dengan pernyataan
yang bersangkutan,
dan keterangan yang
dapat dipercaya dari
sekurang-kurangnya
2 (dua) orang saksi
dari masyarakat
setempat, yang tidak
mempunyai
hubungan keluarga
dengan yang
bersangkutan, dan
membenarkan
bahwa yang
bersangkutan adalah
pemilik tanah
tersebut
Tanda Tangan Harus lengkap tanda
tangan pemohon,
pihak berbatasan
dan pihak lain yang
berkaitan dengan
tanah tersebut di
berkas permohonan
maupun Daftar Isian.
Apabila pemohon
pengukuran atau
pemegang hak atas
tanah tidak dapat
hadir pada
Ditemukan
ketidaklengkapan
tanda tangan di
Gambar Ukur dan
berkas permohonan
hak atas tanah lain.
waktu yang
ditentukan untuk
menunjukkan batas-
batas bidang
tanahnya, maka
penunjukan batas itu
dapat dikuasakan
dengan kuasa tertulis
kepada orang lain.
Untuk pojok-pojok
batas yang sudah
jelas letaknya
karena ditandai oleh
benda-benda yang
terpasang secara
tetap seperti pagar
beton,
pagar tembok atau
tugu penguat pagar
kawat, tidak harus
dipasang tanda batas
Letter C dalam KKP Idealnya adalah
Nomor Letter C
terbaru
Ditemukan input data
pada KKP
berdasarkan Letter C
lama atau induk
Pengklusteran bidang tanah hanya pada kategori 1 salah satunya
disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat bahwa inventarisasi
bidang tanah hasilnya tidak selalu sertipikat tanah. Selama ini, masyarakat
beranggapan bahwa, jika tanahnya diukur maka akan terbit sertipikat. Hal ini
berakibat, warga lokasi PTSL yang tidak berkeinginan untuk
mensertipikatkan tanahnya keberatan dilakukan pengukuran terhadap
tanahnya. Sebab lain adalah karena kurangnya pemahaman petugas terkait
kluster bidang tanah. Pengklusteran hasil inventaris bidang tanah hanya
pada 1 Kluster juga menyebabkan tidak tercapainya tujuan dari PTSL yakni
176
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
tidak terciptanya informasi bidang tanah berbasis bidang. Informasi yang
didapatkan hanya informasi mengenai bidang tanah terdaftar saja,
sedangkan informasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan serta
informasi ketersediaan tanah guna pengadaan tanah untuk pembangunan
tidak didapatkan.
Kontradiktur delimitasi yang belum dilaksanakan dapat disebabkan
pemilik tanah berbatasan yang sulit ditemui. Belum terlaksananya
kontradiktur delimitasi dapat menyebabkan ketidaklancaran dalam proses
pengukuran bidang tanah obyek PTSL. Ketidaklancaran ini seperti petugas
pengumpul data fisik menunggu hingga terjadi kesepakatan batas bidang
tanah kemudian dilakukan pengukuran bidang tanah. Apabila dalam proses
penetapan batas berjalan baik, yaitu para pihak berbatasan langsung setuju
dan bersepakat, tidak ada masalah; yang bermasalah adalah para pihak
yang terus berseteru mengenai batas bidang tanah. Menjalin komunikasi
yang intensif antara Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan dengan pihak
desa dalam rangka persiapan desa yang menjadi lokasi PTSL menjadi
langkah yang dimbil untuk mengatasi hal ini.
Gambar Ukur (GU) pendaftaran tanah sistematik (Daftar Isian 107)
merupakan Gambar Ukur yang digunakan untuk pengukuran dalam
pendaftaran tanah sistematis. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan,
Gambar Ukur yang digunakan adalah Gambar Ukur Sporadik (Daftar Isian
107 A) (Gambar 1). Perbedaan antara GU sporadik dan GU Sistematik
adalah terletak pada halaman ke-1 dan ke-4 yakni, di GU Sporadik, halaman
4 merupakan halaman kartiran sedangkan halaman 4 pada GU Sistematik
merupakan halaman untuk tanda tangan berbatasan dan tanda tangan saksi,
sebagai contoh GU pada Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (Gambar 2).
Dalam proses pengukuran bidang tanah, GU yang memuat data lapangan
sebaiknya dibawa ke lapang dan ditandatangangi langsung oleh para pihak
yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pengukuran di Kabupaten Pasuruan,
para petugas pengumpul data fisik tidak membawa Gambar Ukur di lokasi
PTSL. Gambar Ukur digambar di Kantor Pertanahan agar memiliki catatan
yang rapi dan baik. Hal ini tidak masalah dilakukan jika petugas dengan
sigap membuat GU dan melengkapi tandatangan para pihak. Menjadi
masalah apabila petugas ukur menunda-nunda pekerjaan terkait
penggambaran GU, karena dapat menjadi beban pekerjaan selanjutnya. Ada
177
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
tidak terciptanya informasi bidang tanah berbasis bidang. Informasi yang
didapatkan hanya informasi mengenai bidang tanah terdaftar saja,
sedangkan informasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan serta
informasi ketersediaan tanah guna pengadaan tanah untuk pembangunan
tidak didapatkan.
Kontradiktur delimitasi yang belum dilaksanakan dapat disebabkan
pemilik tanah berbatasan yang sulit ditemui. Belum terlaksananya
kontradiktur delimitasi dapat menyebabkan ketidaklancaran dalam proses
pengukuran bidang tanah obyek PTSL. Ketidaklancaran ini seperti petugas
pengumpul data fisik menunggu hingga terjadi kesepakatan batas bidang
tanah kemudian dilakukan pengukuran bidang tanah. Apabila dalam proses
penetapan batas berjalan baik, yaitu para pihak berbatasan langsung setuju
dan bersepakat, tidak ada masalah; yang bermasalah adalah para pihak
yang terus berseteru mengenai batas bidang tanah. Menjalin komunikasi
yang intensif antara Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan dengan pihak
desa dalam rangka persiapan desa yang menjadi lokasi PTSL menjadi
langkah yang dimbil untuk mengatasi hal ini.
Gambar Ukur (GU) pendaftaran tanah sistematik (Daftar Isian 107)
merupakan Gambar Ukur yang digunakan untuk pengukuran dalam
pendaftaran tanah sistematis. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan,
Gambar Ukur yang digunakan adalah Gambar Ukur Sporadik (Daftar Isian
107 A) (Gambar 1). Perbedaan antara GU sporadik dan GU Sistematik
adalah terletak pada halaman ke-1 dan ke-4 yakni, di GU Sporadik, halaman
4 merupakan halaman kartiran sedangkan halaman 4 pada GU Sistematik
merupakan halaman untuk tanda tangan berbatasan dan tanda tangan saksi,
sebagai contoh GU pada Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (Gambar 2).
Dalam proses pengukuran bidang tanah, GU yang memuat data lapangan
sebaiknya dibawa ke lapang dan ditandatangangi langsung oleh para pihak
yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pengukuran di Kabupaten Pasuruan,
para petugas pengumpul data fisik tidak membawa Gambar Ukur di lokasi
PTSL. Gambar Ukur digambar di Kantor Pertanahan agar memiliki catatan
yang rapi dan baik. Hal ini tidak masalah dilakukan jika petugas dengan
sigap membuat GU dan melengkapi tandatangan para pihak. Menjadi
masalah apabila petugas ukur menunda-nunda pekerjaan terkait
penggambaran GU, karena dapat menjadi beban pekerjaan selanjutnya. Ada
pekerjaan melengkapi administrasi yang kurang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di samping mempersiapkan diri untuk
target PTSL tahun depan.
Gambar 1. Halaman 1 dan 4 GU yang digunakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Pasuruan
178
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Gambar 2. Halaman 1 dan 4 GU Sistematis pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak
Untuk memenuhi kelengkapan tanda tangan para pihak dalam gambar
ukur, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menambahkan lampiran pada
Gambar Ukur yang digunakan dalam pengukuran bidang tanah PTSL. Tanda
tangan para pihak yang belum dapat dilengkapi ketika pengukuran bidang
tanah berlangsung, dilengkapi bersamaan dengan pengumpulan data
yuridis. Karena halaman 2 dan 3 GU digunakan untuk sket dan angka ukur
bidang tanah, maka gambar kartiran GU dicetak secara terpisah
menggunakan kertas A3 yang menjadi satu kesatuan dengan GU (Gambar
3).
179
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Gambar 2. Halaman 1 dan 4 GU Sistematis pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak
Untuk memenuhi kelengkapan tanda tangan para pihak dalam gambar
ukur, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menambahkan lampiran pada
Gambar Ukur yang digunakan dalam pengukuran bidang tanah PTSL. Tanda
tangan para pihak yang belum dapat dilengkapi ketika pengukuran bidang
tanah berlangsung, dilengkapi bersamaan dengan pengumpulan data
yuridis. Karena halaman 2 dan 3 GU digunakan untuk sket dan angka ukur
bidang tanah, maka gambar kartiran GU dicetak secara terpisah
menggunakan kertas A3 yang menjadi satu kesatuan dengan GU (Gambar
3).
Gambar 3. Tanda tangan tetangga berbatasan yang belum lengkap pada
Gambar Ukur Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan
Sementara, kutipan Letter C merupakan penegasan dari surat
pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang merupakan alat bukti
kepemilikan tanah bekas milik adat di Pulau Jawa umumnya termasuk di
Kabupaten Pasuruan (Gambar 4 dan 5). Buku C ini berupa buku tebal yang
di dalamnya terdapat informasi mengenai pemilik tanah berikut riwayat
peralihannya dan disimpan di Kantor Desa/Kelurahan. Letter C perlu
dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan berkas permohonan
pendaftaran hak atas tanah. Letter C yang belum dilampirkan dapat
disebabkan karena Buku Letter C yang ada di Kantor Desa telah rusak
ditandai dengan satu atau beberapa halaman yang hilang dan dapat
disebabkan karena perangkat desa yang saat ini menjabat kurang mengerti
dalam membaca Buku C desa. Tetapi, selama buku C desa tidak rusak,
180
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
maka lembaran yang memuat informasi mengenai pemilik tanah dari awal
hingga pemilik tanah terakhir wajib dilampirkan. Tidak dilampirkannya
kutipan Letter C dan hanya berdasarkan Surat Penguasaan Fisik sangat
berpotensi menyumbang sengketa konflik pertanahan. Dengan tidak
dilampirkannya kutipan Letter C maka tidak diketahui informasi apakah
kebenaran peralihan tanah yang dimohon, sehingga tidak diperoleh juga
mengenai kebenaran pemohon hak atas tanah sebagai pemilik tanah. selain
itu, dengan tidak dilampirkannya Letter C sebagai bukti alas hak tanah bekas
milik adat dapat menyebabkan potensi sengketa di kemudian hari.
Gambar 4. Contoh Letter C
181
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
maka lembaran yang memuat informasi mengenai pemilik tanah dari awal
hingga pemilik tanah terakhir wajib dilampirkan. Tidak dilampirkannya
kutipan Letter C dan hanya berdasarkan Surat Penguasaan Fisik sangat
berpotensi menyumbang sengketa konflik pertanahan. Dengan tidak
dilampirkannya kutipan Letter C maka tidak diketahui informasi apakah
kebenaran peralihan tanah yang dimohon, sehingga tidak diperoleh juga
mengenai kebenaran pemohon hak atas tanah sebagai pemilik tanah. selain
itu, dengan tidak dilampirkannya Letter C sebagai bukti alas hak tanah bekas
milik adat dapat menyebabkan potensi sengketa di kemudian hari.
Gambar 4. Contoh Letter C
Gambar 5. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah Yang Belum
Lengkap Tanda Tangan Kesaksian
182
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Untuk mengatasi kemampuan perangkat desa yang kurang dalam
membaca buku C desa, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan meminta
para tetua atau orang yang dituakan di desa lokasi PTSL yang merupakan
orang yang paham akan peralihan tanah di desa itu, biasanya Sekretaris
Desa atau Lurah sebelumnya, untuk membantu penelitian riwayat tanah.
Keterlibatan kepala dukuh juga penting dalam penelitian riwayat tanah. Oleh
karena itu, pihak kantor pertanahan tidak membatasi panitia dari
desa/kelurahan hanya 1 orang, tetapi bisa sampai 2 hingga 4 orang bahkan
lebih untuk membantu proses kelengkapan berkas permohonan pendaftaran
tanah.
Nomor Letter C induk yang di-input ke dalam Komputerisasi Kantor
Pertanahan (KKP) dilakukan dalam rangka mempercepat proses penelitian
riwayat tanah yang menjadi obyek PTSL. Hal ini bisa saja dilakukan selama
tanah tersebut belum beralih, karena setiap peralihan tanah, maka nomor
Letter C juga berganti, sehingga idealnya, nomor C yang dimasukkan ke
dalam KKP adalah nomor Letter C terbaru. Pengentrian data obyek hak atas
tanah yang update merupakan sumbangan dalam mewujudkan tertib
administrasi pertanahan.
Strategi lain yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Pasuruan adalah dengan melakukan evaluasi pelaksanaan PTSL setiap
minggu untuk mengetahui capaian kegiatan PTSL. Monitoring dan evaluasi
yang dilakukan setiap minggu ini juga bermanfaat untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan petugas di lapangan sehingga dapat dimusyawarahkan
mengenai jalan keluar dari masalah tersebut. Namun, sangat disayangkan
apabila monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya untuk pemenuhan
target PTSL. Monitoring dan evaluasi sebaiknya juga membahas mengenai
prosedur pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing petugas.
Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum.
Memikirkan bagaimana mengantisipasi akibat hukum atas kerja di
lapangan juga masuk dalam poin monitoring dan evaluasi tiap minggunya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Tahun 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional mengemban amanah pendaftaran tanah sebanyak 5 juta bidang tanah
183
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Untuk mengatasi kemampuan perangkat desa yang kurang dalam
membaca buku C desa, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan meminta
para tetua atau orang yang dituakan di desa lokasi PTSL yang merupakan
orang yang paham akan peralihan tanah di desa itu, biasanya Sekretaris
Desa atau Lurah sebelumnya, untuk membantu penelitian riwayat tanah.
Keterlibatan kepala dukuh juga penting dalam penelitian riwayat tanah. Oleh
karena itu, pihak kantor pertanahan tidak membatasi panitia dari
desa/kelurahan hanya 1 orang, tetapi bisa sampai 2 hingga 4 orang bahkan
lebih untuk membantu proses kelengkapan berkas permohonan pendaftaran
tanah.
Nomor Letter C induk yang di-input ke dalam Komputerisasi Kantor
Pertanahan (KKP) dilakukan dalam rangka mempercepat proses penelitian
riwayat tanah yang menjadi obyek PTSL. Hal ini bisa saja dilakukan selama
tanah tersebut belum beralih, karena setiap peralihan tanah, maka nomor
Letter C juga berganti, sehingga idealnya, nomor C yang dimasukkan ke
dalam KKP adalah nomor Letter C terbaru. Pengentrian data obyek hak atas
tanah yang update merupakan sumbangan dalam mewujudkan tertib
administrasi pertanahan.
Strategi lain yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Pasuruan adalah dengan melakukan evaluasi pelaksanaan PTSL setiap
minggu untuk mengetahui capaian kegiatan PTSL. Monitoring dan evaluasi
yang dilakukan setiap minggu ini juga bermanfaat untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan petugas di lapangan sehingga dapat dimusyawarahkan
mengenai jalan keluar dari masalah tersebut. Namun, sangat disayangkan
apabila monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya untuk pemenuhan
target PTSL. Monitoring dan evaluasi sebaiknya juga membahas mengenai
prosedur pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing petugas.
Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum.
Memikirkan bagaimana mengantisipasi akibat hukum atas kerja di
lapangan juga masuk dalam poin monitoring dan evaluasi tiap minggunya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Tahun 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional mengemban amanah pendaftaran tanah sebanyak 5 juta bidang tanah
untuk di realisasikan. Target ini bukanlah target yang kecil sehingga
membutuhkan kerja yang ekstra dan strategi-strategi khusus dalam
pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan PTSL di lapangan yang dilakukan
oleh petugas ditemukan adanya penyimpangan prosedur atau tidak sesuai
dengan peraturan dan petunjuk teknis yang ada.
Penyimpangan pelaksanaan di lapangan yang tidak sesuai prosedur di
antaranya, penggunaan Daftar Isian dalam pengumpulan data fisik yang belum
sesuai, belum adanya Daftar Isian 107 (Gambar Ukur Pendaftaran Tanah
Sistematis) terhadap bidang-bidang tanah PTSL sedangkan Peta Bidang Tanah
dan Surat Ukur sudah terbit, Gambar Ukur yang ada belum dilengkapi dengan
tandatangan pihak yang berbatasan dan saksi-saksi, belum dilampirkannya
Letter C sebagai bukti pemilikan tanah dalam berkas permohonan pendaftaran
hak, dan belum lengkapnya tanda tangan para pihak dalam berkas permohonan
pendaftaran hak atas tanah.
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan solusi
percepatan pendaftaran tanah dan kepastian hukum apabila pelaksanaan PTSL
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kekurangan dalam prosedur akibat dari
pelaksanaan yang tidak sesuai petunjuk teknis akan menjadi beban bagi petugas
di kemudian hari. Kegiatan melengkapi kekurangan tersebut harus dilakukan
agar produk dari kegiatan PTSL tidak cacat dan untuk melindungi petugas
apabila dikemudian hari terdapat permasalahan berkaitan dengan produk yang
dihasilkan. Beban harus melengkapi kekurangan dalam prosedur ini juga
mempengaruhi persiapan kantor pertanahan terhadap target legalisasi aset di
tahun yang akan datang.
5.2. Saran
Pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis percepatan dengan PTSL
sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada
sehingga produk dari Program PTSL dapat menjamin kepastian hukum. Hal lain
yang dapat dilakukan untuk mensukseskan PTSL adalah dengan
mengoptimalkan sarana dan prasarana penunjang pendaftaran tanah seperti
penyediaan alat ukur yang memadai menjadi salah satu hal peningkatan kinerja
petugas. Pemberdayaan masyarakat dalam hal pendaftaran tanah dengan
pelatihan dan pendampingan dalam proses mengecek kelengkapan berkas serta
meneliti riwayat tanah juga merupakan hal yang dapat membantu mempercepat
proses pendaftaran tanah. Selain itu melibatkan pihak ketiga yakni surveyor
184
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
pertanahan perlu dilakukan untuk membantu merealisasikan target PTSL yang
dibebankan, tentu dengan kontrol dari petugas yang ditetapkan oleh Kantor
Pertanahan. Satu hal yang paling penting dari semua itu, mengejar kuantitas
adalah penting, akan tetapi tunduk pada peraturan sebagai payung kebijakan
adalah mutlak, sebab kualitas produk jauh lebih penting dari sekedar jumlah
sertipikat yang dikeluarkan. Oleh karena itu, ke depan, jauh lebih arif jika
kebijakan Kementerian ATR/BPN di lapangan tidak diterjemahkan semata
menghasilkan sertipikat (K-1), tetapi yang juga penting adalah inventarisasi
seluruh bidang tanah dalam satu desa/keluarahan sehingga inti dari PTSL yakni
informasi bidang tanah berbasis bidang dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Annas, Aswar. 2017. Interaksi Pengambilan Keputusan dan Evaluasi Kebijakan.
Makasar: Celebes Media Perkasa
Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Putra
Azar, Saifudin. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lexy, Moleong. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Nugroho, Rachmad Nur. 2017. Jurnal Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Milik
Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap Dengan Berlakunya Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 35 Tahun 2016 Di Kabupaten Sleman. Universitas Atmajaya:
Fakultas Hukum
Sumardjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi. Jakarta: Buku Kompas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentag Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan
185
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
pertanahan perlu dilakukan untuk membantu merealisasikan target PTSL yang
dibebankan, tentu dengan kontrol dari petugas yang ditetapkan oleh Kantor
Pertanahan. Satu hal yang paling penting dari semua itu, mengejar kuantitas
adalah penting, akan tetapi tunduk pada peraturan sebagai payung kebijakan
adalah mutlak, sebab kualitas produk jauh lebih penting dari sekedar jumlah
sertipikat yang dikeluarkan. Oleh karena itu, ke depan, jauh lebih arif jika
kebijakan Kementerian ATR/BPN di lapangan tidak diterjemahkan semata
menghasilkan sertipikat (K-1), tetapi yang juga penting adalah inventarisasi
seluruh bidang tanah dalam satu desa/keluarahan sehingga inti dari PTSL yakni
informasi bidang tanah berbasis bidang dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Annas, Aswar. 2017. Interaksi Pengambilan Keputusan dan Evaluasi Kebijakan.
Makasar: Celebes Media Perkasa
Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Putra
Azar, Saifudin. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lexy, Moleong. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Nugroho, Rachmad Nur. 2017. Jurnal Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Milik
Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap Dengan Berlakunya Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 35 Tahun 2016 Di Kabupaten Sleman. Universitas Atmajaya:
Fakultas Hukum
Sumardjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi. Jakarta: Buku Kompas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentag Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis
Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan
2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum
Keagrariaan
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prior
itas.Jokowi-JK diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 Pukul 23.46 WIB
http://wartakota.tribunnews.com/2017/10/11/jokowi-targetkan-16-juta-tanah-
bersertifikat-sampai-2019 diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 Pukul
23.46 WIB
http://www.indonesian-publichealth.com/pengertian-dan-tujuan-evaluasi/ diakses
pada tanggal 12 Oktober 2017 Pukul 10.07 WIB
Biodata Penulis Nama : Restu Istiningdyah
Tempat Tanggal Lahir : Jayapura, 09 Januari 1990
Alamat : Desa Plandi, Rt 01 Rw I, Kecamatan
Purwodadi Kabupaten Purworejo
Email : [email protected]
Taruna Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
186
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
DAMPAK PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI KELURAHAN LANCIRANG
KECAMATAN PITU RIAWA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Fadhil Surur
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
ABSTRAK Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang dipengaruhi
oleh status kepemilikan tanah yang dikelola untuk kegiatan pertanian. Diperlukan
dukungan kepastian hukum terhadap status kepemilikan tanah yang dikelola.
Program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidrap secara langsung kepada
masyarakat petani di Kelurahan Lancirang. Kawasan kajian merupakan kawasan
yang memiliki potensi lahan pertanian produktif dengan sistem irigasi yang
memadai. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan PTSL, menganalisa
dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani dan merumuskan
rekomendasi dalam pelaksanaan PTSL. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dengan dari kuesioner dengan
sampel indeks slovin sehingga diperoleh sampel sebesar 106 respoden. Data
dianalisis menggunakan pendekatan analisis deskriptif, analisis regresi bunga
berganda dan paired sample test. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa kondisi
sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah program PSTL didorong
oleh sistem PTSL itu sendiri yaitu waktu, prosedur dan biayanya. Masyarakat
petani lebih memilih program PTSL dibandingkan mendaftar secara pribadi.
Dampak sosial ekonomi yang signfikan setelah dilakukan PSTL adalah dampak
rasa aman, akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Sedangkan
dampak penyelesaian konflik tidak signifikan. Arahan kebijakan pengelolaan
PTSL dapat dipertimbangkan mencakup penambahan SDM, membangun
database, dan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan, prioritas lahan
pertanian produktif dan optimalisasi penyuluhan.
187
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
DAMPAK PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI KELURAHAN LANCIRANG
KECAMATAN PITU RIAWA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Fadhil Surur
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
ABSTRAK Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang dipengaruhi
oleh status kepemilikan tanah yang dikelola untuk kegiatan pertanian. Diperlukan
dukungan kepastian hukum terhadap status kepemilikan tanah yang dikelola.
Program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidrap secara langsung kepada
masyarakat petani di Kelurahan Lancirang. Kawasan kajian merupakan kawasan
yang memiliki potensi lahan pertanian produktif dengan sistem irigasi yang
memadai. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan PTSL, menganalisa
dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani dan merumuskan
rekomendasi dalam pelaksanaan PTSL. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dengan dari kuesioner dengan
sampel indeks slovin sehingga diperoleh sampel sebesar 106 respoden. Data
dianalisis menggunakan pendekatan analisis deskriptif, analisis regresi bunga
berganda dan paired sample test. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa kondisi
sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah program PSTL didorong
oleh sistem PTSL itu sendiri yaitu waktu, prosedur dan biayanya. Masyarakat
petani lebih memilih program PTSL dibandingkan mendaftar secara pribadi.
Dampak sosial ekonomi yang signfikan setelah dilakukan PSTL adalah dampak
rasa aman, akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Sedangkan
dampak penyelesaian konflik tidak signifikan. Arahan kebijakan pengelolaan
PTSL dapat dipertimbangkan mencakup penambahan SDM, membangun
database, dan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan, prioritas lahan
pertanian produktif dan optimalisasi penyuluhan.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Pada saat ini laju pembangunan sektor pertanian semakin tertinggal
dibandingkan dengan sektor – sektor lainnya, sektor pertanian diprediksi akan
terus menurun dalam perekonomian nasional (Poerwanto, 2008). Kemunduran
sektor pertanian di Indonesia ditandai dengan penurunan produktivitas pada
kisaran -1,97% (BPS, 2017). Sistem pertanian nasional mengalami
permasalahan dari berbagai segi, salah satunya masalah agraria. Hal ini menjadi
sendi-sendi masalah tani, dimana menyangkut soal hidup dan penghidupan para
petani (Tauchid & Soetarto, 2009).
Sebuah tahap baru dalam kebijakan pertanahan dan pertanian di Indonesia
adalah mempercepat pembentukan pasar tanah melalui reformasi manajemen
dan administrasi pertanahan yang dimulai dengan kebijakan Bank Dunia yang
merekomendasikan serangkaian rencana aksi (Rachman, 2012). Teorisasi land
reform di negara berkembang ditandai dengan legalisasi atau perundang-
undangan terhadap tanah yang akan meredistribusi kepemilikan, mewujudkan
hak atas tanah pertanian dan dijalankan untuk memberi manfaat pada
masyarakat tani dengan cara meningkatkan status, kekuasaan dan pendapatan
absolut (Lipton, 2009). Program tersebut kemudian dilaksanakan oleh
Kementerian Agaria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional dalam rangka
mewujudkan reforma agraria dengan upaya legalisasi seluruh bidang tanah di
Indonesia. Kebijakan pemberian hak atas tanah rakyat secara adil dan merata,
serta mendorong pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi
rakyat khususnya, maka perlu dilakukan percepatan pendaftaran tanah lengkap
di seluruh wilayah.
Peraturan Daerah Kabupaten Sidrap No. 5 tahun 2012 RTRW Kabupaten
Sidrap tahun 2012 – 2032 mengarahkan tujuan penataan ruang sebagai upaya
untuk mewujudkan pembangunan yang maju dan sejahtera dengan berbasis
pada pembangunan agribisnis modern. Kebijakan tersebut didukung dengan
potensi pertanian yang menyumbang 33% dari total PDRB dengan 575,50 ha
sawah berada di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa. Pengembangan
potensi pertanian tersebut mengalami kendala terkait dengan legalisasi tanah
yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sehingga dengan kebijakan nasional
melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Pemerintah
Kabupaten Sidrap diharapkan mampu meningkat produktivitas pertanian degan
188
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
menjamin kepastian hukum tanah yang dikelola. Hal ini penting dilaksanakan
karena yang mayoritas pendaftarnya adalah masyarakat petani di Kelurahan
Lancirang.
Sumber daya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan
seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan,
perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya (Sajogyo, 1985 dalam
Ariwijayanti, 2011). Sehingga dengan adanya kepastian hukum melalui sertifikasi
tanah secara sistematis dan lengkap, petani akan memperoleh keuntungan yang
lebih dari aktivitas pertanian yang dilaksanakan. Berdasarkan data dari ATR/BPN
Kabupaten Sidrap bahwa jumlah tanah yang telah disertifikasi di Kelurahan
Lancirang mencapai 1.336 bidang, 145 orang diantaranya merupakan petani
yang telah terdaftar dalam program ini. Proses PTSL di Kelurahan Lancirang
dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan dalam peraturan menteri.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakasanakan penelitian untuk mengukur
sejauh mana program PTSL ini berdampak pada sosial ekonomi petani di
Kelurahan Lancirang Kabupaten Sidrap.
1.2. Rumusan Masalah a. Faktor faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap
kegiatan PTSL?
b. Bagaimana dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
petani?
c. Bagaimana arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi
masyarakat petani?
1.3. Tujuan a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap kegiatan PTSL.
b. Menganalisa dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani.
c. Merumuskan arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi
masyarakat petani.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Agraria
Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager
dan agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata
189
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
menjamin kepastian hukum tanah yang dikelola. Hal ini penting dilaksanakan
karena yang mayoritas pendaftarnya adalah masyarakat petani di Kelurahan
Lancirang.
Sumber daya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan
seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan,
perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya (Sajogyo, 1985 dalam
Ariwijayanti, 2011). Sehingga dengan adanya kepastian hukum melalui sertifikasi
tanah secara sistematis dan lengkap, petani akan memperoleh keuntungan yang
lebih dari aktivitas pertanian yang dilaksanakan. Berdasarkan data dari ATR/BPN
Kabupaten Sidrap bahwa jumlah tanah yang telah disertifikasi di Kelurahan
Lancirang mencapai 1.336 bidang, 145 orang diantaranya merupakan petani
yang telah terdaftar dalam program ini. Proses PTSL di Kelurahan Lancirang
dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan dalam peraturan menteri.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakasanakan penelitian untuk mengukur
sejauh mana program PTSL ini berdampak pada sosial ekonomi petani di
Kelurahan Lancirang Kabupaten Sidrap.
1.2. Rumusan Masalah a. Faktor faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap
kegiatan PTSL?
b. Bagaimana dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
petani?
c. Bagaimana arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi
masyarakat petani?
1.3. Tujuan a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap kegiatan PTSL.
b. Menganalisa dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani.
c. Merumuskan arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi
masyarakat petani.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Agraria
Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager
dan agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata
agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, atau
pertanian”. Dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu
diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini,
sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk
menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan
lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam
undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian tanah
menurut pasal 4 ayat 1 adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian Bumi
menurut pasal 1 ayat 4, yaitu selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah
terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu
perairan pedalaman (inland waters) dan laut wilayah (territorial waters) melainkan
bumi yang berada di bawah air laut diluar batas-batas itu.
2.2. Pendaftaran Tanah Rudolf Hemanses (Chomzah, 2004) merumuskan mengenai apa yang
dimaksud dengan pendaftaran tanah (kadaster) yaitu pembukuan bidang-bidang
tanah dalam daftar-daftar, berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang
seksama dari bidang-bidang itu. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya (Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997).
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran
tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali atas prakarsa pemerintah, yang dilakukan
secara serentak dan meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum
didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Sedangkan
pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan,
190
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.
2.3. Administrasi Pertanahan
Administrasi pertanahan adalah pemberian hak, perpanjangan hak,
pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan
hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan
tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah. Sedangkan menurut Murad
mengemukakan bahwa administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan
kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakankebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan
menggerakkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku (Hermit, 2007).
PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama
lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan
kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek
Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.
2.4. Konsep Pertanian Pertanian merupakan tulang punggung bagi kehidupan di pedesaan, aspek
ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan
masyarakat desa. Kecukupan dan keperluan ekonomi bagi masyarakat dikatakan
terjangkau bila pendapatan rumah tangga cukup untuk menutupi keperluan
rumah tangga dan pengembangan usaha-usahanya yang sebagian besar
didapatkan dari aspek pertanian. Interaksi yang dilakukan oleh individu-individu
dalam memenuhi kebutuhannya, mengakibatkan dinamika sosial ekonomi
masyarakat pedesaan. Kondisi sosial ekonomi sebagai kaitan antara status
sosial dan kebiasaan hidup sehari-hari yang telah membudaya bagi individu atau
kelompok dimana kebiasaan hidup yang membudaya ini biasanya disebut
dengan culture activity. Kemudian semua masyarakat di dunia baik yang
sederhana maupun yang kompleks, pola interaksi atau pergaulan hidup antara
individu menunjuk pada perbedaan kedudukan dan derajat atau status kriteria
dalam membedakan status pada masyarakat yang kecil biasanya sangat
sederhana, karena di samping jumlah warganya yang relatif sedikit, juga orang-
orang yang di anggap tinggi statusnya tidak begitu banyak jumlah dan ragamnya.
191
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.
2.3. Administrasi Pertanahan
Administrasi pertanahan adalah pemberian hak, perpanjangan hak,
pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan
hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan
tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah. Sedangkan menurut Murad
mengemukakan bahwa administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan
kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakankebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan
menggerakkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku (Hermit, 2007).
PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama
lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan
kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek
Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.
2.4. Konsep Pertanian Pertanian merupakan tulang punggung bagi kehidupan di pedesaan, aspek
ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan
masyarakat desa. Kecukupan dan keperluan ekonomi bagi masyarakat dikatakan
terjangkau bila pendapatan rumah tangga cukup untuk menutupi keperluan
rumah tangga dan pengembangan usaha-usahanya yang sebagian besar
didapatkan dari aspek pertanian. Interaksi yang dilakukan oleh individu-individu
dalam memenuhi kebutuhannya, mengakibatkan dinamika sosial ekonomi
masyarakat pedesaan. Kondisi sosial ekonomi sebagai kaitan antara status
sosial dan kebiasaan hidup sehari-hari yang telah membudaya bagi individu atau
kelompok dimana kebiasaan hidup yang membudaya ini biasanya disebut
dengan culture activity. Kemudian semua masyarakat di dunia baik yang
sederhana maupun yang kompleks, pola interaksi atau pergaulan hidup antara
individu menunjuk pada perbedaan kedudukan dan derajat atau status kriteria
dalam membedakan status pada masyarakat yang kecil biasanya sangat
sederhana, karena di samping jumlah warganya yang relatif sedikit, juga orang-
orang yang di anggap tinggi statusnya tidak begitu banyak jumlah dan ragamnya.
2.5. Sosial Ekonomi Petani Petani adalah sebagian penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam
pores cocok tanam dan secara otonom menetapkan keputusan atas cocok tanam
tersebut. Pertanian terbagi dalam dua golongan, yaitu pertanian primitif dan
pertaian modern. Pertanian primitif diartikan sebagai petani yang bekerja
mengikuti metode-metode yang berasal dari orang-orang tua dan tidak menerima
pemberitahuan (inovasi). Mereka yang mengharapkan bantuan alam untuk
mengelola pertaniannya. Sedangkan pertanian modern diartikan sebagai yang
menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru serta
dapat menerima pembaruan (inovasi) dalam bidang pertanian (Mosher, 1983).
Memberi penjelasan tentang hubungan sosial dan interaksi sosial baik
langsung maupun tidak langsung memberikan arti yang sama dalam kedua hal
tersebut (Syani, 1987). Faktor sosial ekonomi petani di pedesaan dipengaruhi
oleh berbagai hal yaitu jumlah anggota keluarga, lama bermukim, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatann, lamanya penggunaan lahan, tingkat umur,
jumlah lahan yang dimiliki, jumlah anggota keluarga produktif, gaya hidup dan
kepemilikan tempat tinggal, barang-barang berharga rumah tangga dan hewan
peliharaan rumah tangga (sapi, kerbau, ayam, bebek, dan lain-lain).
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa
Kabupaten Sidrap sebagai salah satu wilayah percontohan pelaksanaan PTSL di
Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian September sampai Oktober
2017.
3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dengan menggunakan kuesioner sesuai dengan sampel yang dibutuhkan serta
proses wawancara mendalam bagi informan kunci yang dituju antara lain Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Sidrap, Lurah Lancirang dan masyarakat
setempat. Sedangkan data sekunder berupa data luasan dan jumlah sertipikat,
keadaan sosial ekonomi masyarakat, kondisi wilayah dan peraturan yang terkait.
Sumber data diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Sidrap, Badan Pusat
Statistik, Pemerintah Kelurahan Lancirang, Gabungan Kelompok Tani Lancirang
dan Dinas Pertanian Kabupaten Sidrap.
192
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
3.3. Teknik Pengumpulan Data a. Survei lapangan
Survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh
gambaran kondisi wilayah penelitian b. Kuesioner dan Wawancara
Kuesioner dilakukan pada responden yang telah ditetapkan secara
terstruktur dan didukung dengan wawancara mendalam untuk
menguatkan hasil penyebaran kuesioner c. Studi Kepusatkaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung
yang terkait dengan topik penelitian. 3.4. Populasi dan Sampel
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Lancirang, Kecamatan
Pituriawa, Kabupaten Sidrap. Jumlah total masyarakat yang bekerja dibidang
pertanian mencapai 388 dan yang telah melakukan pendaftaran PTSL adalah
sebanyak 145 orang. Sehingga dengan menggunakan rumus slovin diperoleh
sampel sebesar 106 respoden dengan derajat ketelitian sampel 5%.
3.5. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan beberapa teknik analisis data yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian yang mencakup :
a. Analisis Deskriptif
Analisis yang digunakan untuk pencarian fakta yang kemudian
diinterpretasikan sesuai dengan masalah penelitian. Analisis deksriptif
dilakukan untuk mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya
pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri) tanpa
membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan
variabel yang lain (Sugiyono, 2009). Analisis deskriptif akan
memperoleh gambaran karakterstik masyarakat petani dan dampak dari
PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat.
b. Analisis Linear Berganda
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi responden
terhadap PTSL digunakan model analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan
penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih).
Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu
193
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
3.3. Teknik Pengumpulan Data a. Survei lapangan
Survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh
gambaran kondisi wilayah penelitian b. Kuesioner dan Wawancara
Kuesioner dilakukan pada responden yang telah ditetapkan secara
terstruktur dan didukung dengan wawancara mendalam untuk
menguatkan hasil penyebaran kuesioner c. Studi Kepusatkaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung
yang terkait dengan topik penelitian. 3.4. Populasi dan Sampel
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Lancirang, Kecamatan
Pituriawa, Kabupaten Sidrap. Jumlah total masyarakat yang bekerja dibidang
pertanian mencapai 388 dan yang telah melakukan pendaftaran PTSL adalah
sebanyak 145 orang. Sehingga dengan menggunakan rumus slovin diperoleh
sampel sebesar 106 respoden dengan derajat ketelitian sampel 5%.
3.5. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan beberapa teknik analisis data yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian yang mencakup :
a. Analisis Deskriptif
Analisis yang digunakan untuk pencarian fakta yang kemudian
diinterpretasikan sesuai dengan masalah penelitian. Analisis deksriptif
dilakukan untuk mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya
pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri) tanpa
membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan
variabel yang lain (Sugiyono, 2009). Analisis deskriptif akan
memperoleh gambaran karakterstik masyarakat petani dan dampak dari
PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat.
b. Analisis Linear Berganda
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi responden
terhadap PTSL digunakan model analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan
penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih).
Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu
variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara
peubah bebas atau independen (Y) dengan peubah tak bebas atau
dependen (X) mencakup pendidikan (X1), usia pendaftar (X2), prosedur
PTSL (X3), waktu PTSL (X4) dan biaya PTSL (X5), adapun
persamaannya adalah :
Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + ε
Dimana :
Y : Pelaksanaan Program PTSL
X : Faktor yang diduga mempengaruhi petan untuk mengikuti
program
β : Koefisien regresi
ε : Erorr Term
c. Analisis Paired Sample Test
Paired-Sample T Test adalah analisis dengan melibatkan dua
pengukuran pada subjek yang sama terhadap suatu pengaruh atau
perlakuan tertentu. Apabila suatu perlakuan tidak memberi dampak,
maka perbedaan rata-rata adalah nol. Paired Sample T-test merupakan
perhitungan statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis beda dua
rata-rata sampel untuk data yang berbentuk interval atau rasio. Untuk
melakukan uji t diperlukan data berskala interval atau rasio yang dalam
SPSS disebut scale. Untuk menguji hipotesis parsial yang tersirat dari
hipotesis penelitian, seperti yang dikemukakan dengan rumus berikut :
𝑥𝑥 = r √n − 2 √1 − r2
Dimana :
r : distribusi student dengan derajat kebebasan (dk) = n-2
r 2 : koefisien korelasi
n : banyaknya sampel
Ketentuan dari uji hipotesis ini yaitu: Ho : tidak ada perbedaan yang
nyata pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan Lancirang
sebelum dan setelah pelaksanaan PTSL, sedangka Ha : Ada perbedaan
yang nyata pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan
Lancirang sebelum dan setelah adanya program PTSL penolakan
hipotesisnya adalah jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha
194
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
diterima. Sedangkan jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha
ditolak.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah
Gambar 1. Kondisi wilayah penelitian
Sumber : survey lapangan, 2017
a. Kondisi Geografis
Kelurahan Lancirang terletak di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidrap dengan letak geografis pada 3°55'09.0"S bujur timur
119°56'18.5"E lintang selatan dengan batas geografis mencakup :
Sebelah utara : Desa Sumpang Mango
Sebelah selatan : Kabupaten Wajo
Sebelah timur : Kelurahan Ponrange
Sebelah barat : Desa Padangloang
Wilayah kajian berjarak 19 km dari ibukota Kabupaten Sidrap.
Karakteristik wilayahnya secara keseluruhan merupakan dataran rendah
dengan kemiringan lereng 0 – 2 %. Sedangkan jenis tanah berupa jenis
Alluvial Coklat Kelabu yang potensial untuk dimanfaatkan pada kegiatan
pertanian. Luas wilayah secara keseluruhan mencapai 6,55 km2.
Kelurahan Lancirang berapa pada lokasi yang strategis (Gambar 1 dan
Gambar 2) karena dilintasi oleh jalan provinsi yang memungkinkan
untuk maksimalisasi distribusi hasil pertanian ke daerah lain.
195
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
diterima. Sedangkan jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha
ditolak.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah
Gambar 1. Kondisi wilayah penelitian
Sumber : survey lapangan, 2017
a. Kondisi Geografis
Kelurahan Lancirang terletak di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidrap dengan letak geografis pada 3°55'09.0"S bujur timur
119°56'18.5"E lintang selatan dengan batas geografis mencakup :
Sebelah utara : Desa Sumpang Mango
Sebelah selatan : Kabupaten Wajo
Sebelah timur : Kelurahan Ponrange
Sebelah barat : Desa Padangloang
Wilayah kajian berjarak 19 km dari ibukota Kabupaten Sidrap.
Karakteristik wilayahnya secara keseluruhan merupakan dataran rendah
dengan kemiringan lereng 0 – 2 %. Sedangkan jenis tanah berupa jenis
Alluvial Coklat Kelabu yang potensial untuk dimanfaatkan pada kegiatan
pertanian. Luas wilayah secara keseluruhan mencapai 6,55 km2.
Kelurahan Lancirang berapa pada lokasi yang strategis (Gambar 1 dan
Gambar 2) karena dilintasi oleh jalan provinsi yang memungkinkan
untuk maksimalisasi distribusi hasil pertanian ke daerah lain.
Gambar 2. Peta Kelurahan Lancirang
Sumber : RTRW Kabupaten Sidrap dan Peta RBI Bakosurtanal
b. Aspek Kependudukan
Secara umum jumlah penduduk total mencapai 2.662 jiwa, dengan
jumlah KK sebanyak 803 dan kepadatan penduduk 406 jiwa/km2.
Jumlah penduduk laki – laki sebanyak 1.275 sedangkan jumlah
penduduk perempuan mencapai 1.387. Perkembangan jumlah
penduduk (Tabel 1) di Kelurahan Lancirang hanya mengalami
perkembangan jumlah penduduk rata-rata 33 jiwa pertahun dari tahun
2011-2015.
Tabel 1. Perkembangan jumlah penduduk
No Tahun Jumlah Penduduk
1 2011 2499
2 2012 2534
3 2013 2569
4 2014 2601
5 2015 2632
Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017
196
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
c. Potensi Tenaga Kerja
Besarnya potensi pertanian di Kelurahan Lancirang didukung
dengan jumlah sumber daya manusia berupa tenaga kerja yang
bergerak di bidang pertanian yang mencapai 388 jiwa. Selain itu jasa
perdagangan juga banyak diusahakan oleh masyarakat yang mencapai
59 jiwa. Selengkapnya pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja
No Jenis Jumlah
1 Pertanian 388
2 Peternakan 2
3 Perkebunan 30
4 Perdagangan 59
5 Perindustrian 27
6 Pertambangan 2
7 Listrik dan Air Minum 3
8 Pengangkutan dan komunikasi 22
9 Perbankan 2
10 Pemerintahan/jasa 36
11 Lainnya 27
Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017
d. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang diusahakan oleh masyarakat setempat
didominasi oleh penggunaan lahan sawah yang mencapai 575,50 ha
atau sekitar 87,86% dari luas wilayah Kelurhan Lancirang. Selebihnya
79,50 ha merupakan pekarangan, perkebunan dan lahan permukiman
beserta sarana dan prasarananya (Tabel 3).
Tabel 3. Luas penggunaan lahan
No Jenis Luas (ha) Persentase (%)
1 Sawah 575,50 87.86
2 Pekarangan 20,82 3.18
3 Perkebunan 54,16 8.27
4 Permukiman 4,52 0.69
Jumlah 655 100
Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017
197
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
c. Potensi Tenaga Kerja
Besarnya potensi pertanian di Kelurahan Lancirang didukung
dengan jumlah sumber daya manusia berupa tenaga kerja yang
bergerak di bidang pertanian yang mencapai 388 jiwa. Selain itu jasa
perdagangan juga banyak diusahakan oleh masyarakat yang mencapai
59 jiwa. Selengkapnya pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja
No Jenis Jumlah
1 Pertanian 388
2 Peternakan 2
3 Perkebunan 30
4 Perdagangan 59
5 Perindustrian 27
6 Pertambangan 2
7 Listrik dan Air Minum 3
8 Pengangkutan dan komunikasi 22
9 Perbankan 2
10 Pemerintahan/jasa 36
11 Lainnya 27
Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017
d. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang diusahakan oleh masyarakat setempat
didominasi oleh penggunaan lahan sawah yang mencapai 575,50 ha
atau sekitar 87,86% dari luas wilayah Kelurhan Lancirang. Selebihnya
79,50 ha merupakan pekarangan, perkebunan dan lahan permukiman
beserta sarana dan prasarananya (Tabel 3).
Tabel 3. Luas penggunaan lahan
No Jenis Luas (ha) Persentase (%)
1 Sawah 575,50 87.86
2 Pekarangan 20,82 3.18
3 Perkebunan 54,16 8.27
4 Permukiman 4,52 0.69
Jumlah 655 100
Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017
e. Potensi Pertanian
Potensi pertanian dipengaruhi oleh ketersediaan lahan untuk
kegiatan pertanian. Secara umum lahan pertanian (Gambar 3) di
Kelurahan Lancirang adalah lahan pertanian teknis 317,71 ha
sedangkan lahan pertanian semi teknis 257,79 ha. Masyarakat setempat
dapat memanen 3-4 kali setahun dengan pasokan air yang stabil melalui
sistem irigasi.
Selain potensi pertanian, kawasan ini juga memiliki potensi
tanaman sayuran antara lain komoditi jagung, ubi kayu, kacang tanah,
kacang kedelai, kacang panjang dan cabe rawit. Sedangkan potensi
tanaman perkebunan berupa jeruk siam, mangga, pisang dan durian.
Jenis tanaman yang diusahakan pada perkebunan rakyat terdiri dari
kelapa, kakao, jambu mete dan kemiri. Potensi peternakan yang
teridentifikasi berupa sapi, kambing dan jenis ternak ungags
.
Gambar 3. Potensi lahan pertanian
Sumber : survey lapangan, 2017
4.2. Karakteristik Responden
a. Umur Responden
Peubah umur dari total responden cukup bervariasi. Peubah umur
ini dibagi menjadi empat bagian yaitu kelompok umur antara 20 tahun
sampai 30 tahun, kelompok umur antara 31 tahun sampai 40 tahun,
kelompok umur antara 41 tahun sampai 50 tahun dan kelompok umur
lebih dari 51 tahun. Umur total responden didominasi oleh kelompok
umur antara 41 tahun sampai 50 tahun yaitu sebanyak 46.23% persen
(Gambar 4).
198
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
0
10
20
30
40
50
60
20-30 31-40 41-50 >50
0
10
20
30
40
50
Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma Sarjana
Gambar 4. Kelompok umur respoden
Sumber : hasil olah data, 2017
b. Tingkat Pendidikan
Gambaran umum tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek
penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Tingkat
pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum
responden memiliki latar belakang pendidikan tamat SMP dengan
persentase sebanyak 40,57%.
Gambar 5. Tingkat pendidikan responden
Sumber : hasil olah data, 2017
c. Luas Kepemilikan Lahan
Sedangkan profil lahan sawah yang dimiliki oleh responden pada
umumnya sekitar 82% merupakan tanah warisan sisanya sebanyak 18%
adalah tanah pembelian. Luas rata-rata tanah yang dimiliki responden
mencapai rata-rata 1000 m2 – 2000 m2 sekitar 43,40% dan luas lahan
>2000 m2 atau mencapai 34,91%, selengkapnya pada Gambar 6.
199
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
0
10
20
30
40
50
60
20-30 31-40 41-50 >50
0
10
20
30
40
50
Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma Sarjana
Gambar 4. Kelompok umur respoden
Sumber : hasil olah data, 2017
b. Tingkat Pendidikan
Gambaran umum tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek
penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Tingkat
pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum
responden memiliki latar belakang pendidikan tamat SMP dengan
persentase sebanyak 40,57%.
Gambar 5. Tingkat pendidikan responden
Sumber : hasil olah data, 2017
c. Luas Kepemilikan Lahan
Sedangkan profil lahan sawah yang dimiliki oleh responden pada
umumnya sekitar 82% merupakan tanah warisan sisanya sebanyak 18%
adalah tanah pembelian. Luas rata-rata tanah yang dimiliki responden
mencapai rata-rata 1000 m2 – 2000 m2 sekitar 43,40% dan luas lahan
>2000 m2 atau mencapai 34,91%, selengkapnya pada Gambar 6.
05
18
46
37
0
10
20
30
40
50
< 200 m2 200 m2 -500 m2
500 m2 -1000 m2
1000 m2 -2000 m2
> 2000 m2
Gambar 6. Luas kepemilikan sawah
Sumber : hasil olah data, 2017
4.3. Faktor Faktor yang Mempegaruhi Persepsi Petani terhadap Program PTSL
Keterlibatan masyarakat petani pada program Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penilaian
faktor secara keseluruhan menggunakan metode regresi berganda. Hasil
analisis ditampilkan pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Faktor – faktor yang mempengaruhi
Status Coef Std error Probability
Luas lahan -0.396 0.315 0.208
Pendidikan -0.035 0.383 0.926
Umur -0.132 0.162 0.415
Prosedur PTSL 0.607 0.225 0.007
Waktu PTSL 1.114 0.299 0.000
Biaya PTSL 1.436 0.417 0.001
Konstanta -3.978 1.588 0.012
Sumber : hasil olah data, 2017
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh bahwa faktor – faktor
yang mempengaruhi responden untuk mengikuti program PTSL adalah
dipengaruhi oleh sistem PTSL sedangkan faktor karakteristik respoden
tidak siginifikan pada tingkat t α=5 persen. Sistem PTSL diukur dengan
pendekatan prosedur, waktu dan biaya yang digunakan mempengaruhi
responden secara signifikan dengan nilai masing masing faktor tersebut
yaitu 0,007; 0,000; dan 0,0001.
200
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Berdasarkan nilai probability tersebut maka faktor utama mengikuti
PTSL tidak dipangaruhi oleh luas lahan yang dimiliki. Dimana responden
menggangap bahwa besar kecilnya lahan sawah harus memiliki sertipikat
tanah. Begitu juga dengan umur dan latar belakang pendidikan responden
juga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi respoden terhadap
keterlibatannya dalam PTSL. Sejalan dengan hal tersebut baik umur dan
pendidikan tidak berpengaruh signifikan, hal ini disebabkan karena
masyarakat petani secara umum telah mengikuti sosialisasi, sehingga telah
memiliki gambaran tentang program ini sebelumnya. Pada dasarnya faktor-
faktor yang mempengaruhi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang
dalam keikutsertaannya pada program PTSL adalah pada sistem PTSL itu
sendiri. Dimana dengan prosedur, waktu dan biaya yang dikeluarkan
menjadi faktor utama. Masyarakat menilai sistem ini lebih mudah dan
terpercaya dibandingkan mendaftarkan secara pribadi.
4.4. Dampak Program PTSL Dampak program PTSL diukur berdasarkan variabel sosial ekonomi
(Sugiyanto, Siregar, & Soetarto, 2008) yang mencakup:
a. Rasa Aman
Program PTSL memberikan dampak positif terhadap segi sosial
pemilik lahan yang diukur dengan rasa aman terhadap aset yang
dimiliki. Berdasarkan hasil analisis perbedaan rasa aman sebelum dan
sesudah memiliki sertipikat signifikan dengan t = -21,026, dengan
tingkat signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 5). Sehingga
diinterpretasikan bahwa petani di Kelurahan Lancirang memiliki rasa
aman dibandingkan sebelum melakukan pendaftran PTSL. Hal ini berarti
Ho ditolak dan Ha diterima. Terdapat perbedaan antara rasa aman
sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam PTSL. Sertipikat hak atas
tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat serta memberikan
rasa aman dan tentram bagi pemiliknya (Nae, 2013).
Tabel 5. Hasil analisis variabel rasa aman
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,650 106 0,0000 -21,026
Sesudah 3,665 106
Sumber : hasil olah data, 2017
201
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Berdasarkan nilai probability tersebut maka faktor utama mengikuti
PTSL tidak dipangaruhi oleh luas lahan yang dimiliki. Dimana responden
menggangap bahwa besar kecilnya lahan sawah harus memiliki sertipikat
tanah. Begitu juga dengan umur dan latar belakang pendidikan responden
juga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi respoden terhadap
keterlibatannya dalam PTSL. Sejalan dengan hal tersebut baik umur dan
pendidikan tidak berpengaruh signifikan, hal ini disebabkan karena
masyarakat petani secara umum telah mengikuti sosialisasi, sehingga telah
memiliki gambaran tentang program ini sebelumnya. Pada dasarnya faktor-
faktor yang mempengaruhi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang
dalam keikutsertaannya pada program PTSL adalah pada sistem PTSL itu
sendiri. Dimana dengan prosedur, waktu dan biaya yang dikeluarkan
menjadi faktor utama. Masyarakat menilai sistem ini lebih mudah dan
terpercaya dibandingkan mendaftarkan secara pribadi.
4.4. Dampak Program PTSL Dampak program PTSL diukur berdasarkan variabel sosial ekonomi
(Sugiyanto, Siregar, & Soetarto, 2008) yang mencakup:
a. Rasa Aman
Program PTSL memberikan dampak positif terhadap segi sosial
pemilik lahan yang diukur dengan rasa aman terhadap aset yang
dimiliki. Berdasarkan hasil analisis perbedaan rasa aman sebelum dan
sesudah memiliki sertipikat signifikan dengan t = -21,026, dengan
tingkat signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 5). Sehingga
diinterpretasikan bahwa petani di Kelurahan Lancirang memiliki rasa
aman dibandingkan sebelum melakukan pendaftran PTSL. Hal ini berarti
Ho ditolak dan Ha diterima. Terdapat perbedaan antara rasa aman
sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam PTSL. Sertipikat hak atas
tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat serta memberikan
rasa aman dan tentram bagi pemiliknya (Nae, 2013).
Tabel 5. Hasil analisis variabel rasa aman
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,650 106 0,0000 -21,026
Sesudah 3,665 106
Sumber : hasil olah data, 2017
b. Akses Kredit
Keterbukaan akses kredit bagi pemilik tanah yang sah dengan
sertipikat, berbeda dengan petani penggarap (lahan non milik) tidak
mempunyai akses untuk mendapatkan kredit atau bantuan dari lembaga
keuangan karena tidak ada jaminan yang sah untuk mendapatkan akses
pada bantuan dari lembaga keuangan (Winarso, 2012). Hasil analisis
diperoleh bahwa akses kredit sebelum dan sesudah mengikuti PTSL
mengalami kemudahan. Dimana memiliki nilai t = -14,658 dengan
signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 6). Responden
menyatakan akses kredit lebih mudah setelah mereka memperoleh
sertipikat tanah dari program PTSL. Akses kredit akan berpengaruh
pada tinggi atau rendahnya produktivitas lahan yang dikelola.
Rendahnya produktivitas disebabkan oleh ketidaksesuaian lahan, teknik
budidaya yang belum optimal, kesulitan kredit/modal, bias kebijakan
pemerintah, dan instabilitas harga (Eka, 2013).
Tabel 6. Hasil analisis variabel akses kredit
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,910 106 0,0000 -14,658
Sesudah 3,750 106
Sumber : hasil olah data, 2017
c. Kemudahan menjual
Lahan merupakan aset yang sangat strategis bagi petani
beberapa petani menjual lahan dengan beragam, namun yang terkait
dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga lebih menonjol dari
pada alasan yang terkait dengan motif perbaikan taraf hidup melalui
perpindahan profesi (Sumaryanto, 2010). Hipotesis awal diprediksi
bahwa setelah terbitnya sertipikat melalui program PTSL maka
masyarakat akan lebih mudah menjual tanah yang dimiliki. Hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai t = -11,487 dimana tingkat signifikan (α) 5%
dan derajat kebebasan 19 (Tabel 7). Sehingga diinterpetasikan bahwa
masyarakat petani akan lebih mudah menjual tanahnya ketika setelah
terbitnya sertipikat tanah.
202
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tabel 7. Hasil analisis variabel kemudahan menjual
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,650 106 0,0000 -11,487
Sesudah 3,430 106
Sumber : hasil olah data, 2017
d. Harga tanah
Tanah mempunyai kekuatan ekonomis dimana nilai atau harga
tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan. Dalam
jangka pendek penawaran sangat inelastis, ini berarti harga tanah pada
wilayah tertentu akan tergantung pada faktor permintaan, seperti
kepadatan penduduk dan tingkat pertumbuhannya, tingkat kesempatan
kerja dan tingkat pendapatan masyarakat serta kapasitas sistem
transportasi dan tingkat suku bunga (Eckert, 1990). Hasil olahan data
menunjukkan terjadinya perbedaan menurut respoden terhadap harga
tanah sebelum dan setelah didaftrakan dalam PTSL. Nilai t-hitung untuk
variabel harga tanah diperoleh -15,632 dengan tingkat signifikan (α) 5%
dan derajat kebebasan 19 (Tabel 8). Maka dapat dinyatakan bahwa
PSTL berdampak pada harga tanah sawah di Kelurahan Lancirang.
Harga lahan sawah di Kabupaten Sidrap cenderung mengikuti
poduktivitas sawah yang diukur berdasarkan akses jalan dan potensi
irigasi yang digunakan. Secara umum lahan – lahan sawah di lokasi
penelitian merupakan lahan produktif dengan rata – rata produksi
mencapai 3-4 kali dalam setahun.
Tabel 8. Hasil analisis variabel harga tanah
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,070 106 0,0000 -15,785
Sesudah 2,030 106
Sumber : hasil olah data, 2017
e. Konflik
Salah satu langkah pasti yang dilakukan pemerintah dalam
mengurangi konflik tanah adalah dengan mempercepat sertifikasi tanah
yang dilakukan melalui administrasi tanah yang terpadu. Sengketa tanah
dan sumber-sumber agraria pada umumnya merupakan konflik laten
dan pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya melibatkan individual,
namun juga dalam tataran komunal (Pratiwi, 2014). Hasil analisis
203
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Tabel 7. Hasil analisis variabel kemudahan menjual
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,650 106 0,0000 -11,487
Sesudah 3,430 106
Sumber : hasil olah data, 2017
d. Harga tanah
Tanah mempunyai kekuatan ekonomis dimana nilai atau harga
tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan. Dalam
jangka pendek penawaran sangat inelastis, ini berarti harga tanah pada
wilayah tertentu akan tergantung pada faktor permintaan, seperti
kepadatan penduduk dan tingkat pertumbuhannya, tingkat kesempatan
kerja dan tingkat pendapatan masyarakat serta kapasitas sistem
transportasi dan tingkat suku bunga (Eckert, 1990). Hasil olahan data
menunjukkan terjadinya perbedaan menurut respoden terhadap harga
tanah sebelum dan setelah didaftrakan dalam PTSL. Nilai t-hitung untuk
variabel harga tanah diperoleh -15,632 dengan tingkat signifikan (α) 5%
dan derajat kebebasan 19 (Tabel 8). Maka dapat dinyatakan bahwa
PSTL berdampak pada harga tanah sawah di Kelurahan Lancirang.
Harga lahan sawah di Kabupaten Sidrap cenderung mengikuti
poduktivitas sawah yang diukur berdasarkan akses jalan dan potensi
irigasi yang digunakan. Secara umum lahan – lahan sawah di lokasi
penelitian merupakan lahan produktif dengan rata – rata produksi
mencapai 3-4 kali dalam setahun.
Tabel 8. Hasil analisis variabel harga tanah
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,070 106 0,0000 -15,785
Sesudah 2,030 106
Sumber : hasil olah data, 2017
e. Konflik
Salah satu langkah pasti yang dilakukan pemerintah dalam
mengurangi konflik tanah adalah dengan mempercepat sertifikasi tanah
yang dilakukan melalui administrasi tanah yang terpadu. Sengketa tanah
dan sumber-sumber agraria pada umumnya merupakan konflik laten
dan pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya melibatkan individual,
namun juga dalam tataran komunal (Pratiwi, 2014). Hasil analisis
diperoleh dampak program PTSL terhadap konflik lahan sawah
cenderung tidak mengalami signifikansi. Nilai t-hitung untuk variabel
konflik lahan diperoleh -1,265 dengan tingkat signifikan (α) 5% dan
derajat kebebasan 19 yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak, dimana
diperoleh t hitung ≥ t tabel (1,265 ≤ 2,093). Sehingga disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan konflik sebelum dan sesudah didaftarkan dalam
PTSL.
Tabel 9. Hasil analisis variabel konflik
Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung
Sebelum 2,626 106 0,4211 -1,265
Sesudah 3,389 106
Sumber : hasil olah data, 2017
4.5. Arahan dan Rekomendasi Program PTSL telah dilakasanakan di Kelurahan Lancirang, namun
selama proses pelaksanaan program ini juga mengalami kendala. Program
PTSL secara umum mampu mendorong jumlah tanah sawah yang
tersertifikasi. Dalam rangka memaksimalkan program PTSL ini terhadap
sosial ekonomi masyarakat petani, maka diperlukan langkah strategis
sebagai rekomendasi untuk penyempurnaan program ini di masa yang
akan datang. Hasil pengukuran diperoleh bahwa setelah program PTSL
adalah akses kemudahan menjual, hal menjadi penting untuk
dipertimbangkan, karena wilayah Kelurahan Lancirang merupakan
kawasan pertanian produktif. Kemudahan menjual dikhawatirkan akan
mendorong terjadinya konversi lahan yang cepat. Maka perlu dilakukan
proteksi lahan lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dengan :
a. Memberikan reward kepada petani yang masih mempertahankan lahan
pertanian mereka
b. Melakukan prioritas terhadap lahan – lahan yang produktif secara fisik
dengan mengembangkan sarana dan prasarana pertanian yang lebih
memadai
c. Mengoptimalisasikan penyuluhan dengan pendekatan participatory
mapping serta integrasi dengan kebaruan teknologi yang menggunakan
sistem informasi geografis.
204
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan
Secara umum program PTSL representatif untuk menangangi
masalah sosial ekonomi petani di Kelurahan Lancirang. Faktor yang
mendorong masyarakat petani untuk terlibat dalam program PTSL adalah
prosedur, waktu dan biaya PTSL. Sistem PTSL saat ini signifikan
mempengaruhi masyarakat, sedangkan dari latar belakang pendidikan,
usia dan luas lahan bukan faktor yang signifikan berpengaruh terhadap
keterlibatan masyarakat petani dalam program ini. Dampak dari program
PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat petani antara lain rasa aman,
akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Dampak ini mulai
dirasakan setelah mereka mendaftar ataupun menerima sertipikat tanah,
Pada dasarnya PTSL berdampak positif terhadap sosial ekonomi
masyarakat petani, dengan adanya sertipikat maka terdapat beberapa
kemudahan yang diperoleh. Hal ini mampu mendorong produktivitas lahan
sawah yang dimiliki. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan
mencakup pemberian reward, proteksi lahan dan kegiatan penyuluhan.
5.2. Saran
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga hasil
temuan ini diharapkan dapat dilanjutkan pada proses penelitian berikutnya.
Tingkat kedalaman penilaian dampak yang masih rendah hal ini karena
keterbatasan variabel atau parameter yang digunakan dan waktu
pengambilan data. Selain itu faktor masa pelaksanaan program ini yang
masih baru, sehingga penilaian dampak yang lebih detail dapat dilakukan
setelah program ini dilaksanakan secara keseluruhan. Hal ini menjadi
sebagai bentuk evaluasi terhadap program atau kebijakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Ariwijayanti, E. (2011). Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Sosial Ekonomi
Masyarakat (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan
Cigudeg, Kabupaten Bogor Jawa Barat). Bogor: Institit Pertanian Bogor
(Skripsi).
BPS. (2017). Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
205
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan
Secara umum program PTSL representatif untuk menangangi
masalah sosial ekonomi petani di Kelurahan Lancirang. Faktor yang
mendorong masyarakat petani untuk terlibat dalam program PTSL adalah
prosedur, waktu dan biaya PTSL. Sistem PTSL saat ini signifikan
mempengaruhi masyarakat, sedangkan dari latar belakang pendidikan,
usia dan luas lahan bukan faktor yang signifikan berpengaruh terhadap
keterlibatan masyarakat petani dalam program ini. Dampak dari program
PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat petani antara lain rasa aman,
akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Dampak ini mulai
dirasakan setelah mereka mendaftar ataupun menerima sertipikat tanah,
Pada dasarnya PTSL berdampak positif terhadap sosial ekonomi
masyarakat petani, dengan adanya sertipikat maka terdapat beberapa
kemudahan yang diperoleh. Hal ini mampu mendorong produktivitas lahan
sawah yang dimiliki. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan
mencakup pemberian reward, proteksi lahan dan kegiatan penyuluhan.
5.2. Saran
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga hasil
temuan ini diharapkan dapat dilanjutkan pada proses penelitian berikutnya.
Tingkat kedalaman penilaian dampak yang masih rendah hal ini karena
keterbatasan variabel atau parameter yang digunakan dan waktu
pengambilan data. Selain itu faktor masa pelaksanaan program ini yang
masih baru, sehingga penilaian dampak yang lebih detail dapat dilakukan
setelah program ini dilaksanakan secara keseluruhan. Hal ini menjadi
sebagai bentuk evaluasi terhadap program atau kebijakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Ariwijayanti, E. (2011). Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Sosial Ekonomi
Masyarakat (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan
Cigudeg, Kabupaten Bogor Jawa Barat). Bogor: Institit Pertanian Bogor
(Skripsi).
BPS. (2017). Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Chomzah, A. A. (2004). Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia Jilid 2). Jakarta:
Prestasi Pustakaraya.
Eckert, J. K. (1990). Property Appraisal and Asssement Administration. Chicago
Illinois: IAAO.
Eka, I. (2013). Implikasi Kredit Pertanian Terhadap Pendapatan Petani. Malang:
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Binis Universitas Brawijaya.
Hermit, H. (2007). Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf. Bandung: Mandar
Maju.
Lipton, M. (2009). Land Refrom in Developing Conutriies. Priperty Rughts and
Property Wrongs. London: Routledege.
Mosher. (1983). Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Yasaguna.
Nae, F. E. (2013). Kepastian Hukum terhadap Hak Milik atas Tanah yang Sudah
Bersertifkat. Lex Privatum, 54-63.
Peraturan Pemerintah. (1997). PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah. Jakarta: Peraturan Pemerintah.
Poerwanto, R. (2008). Pemikiran Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Bogor:
Penebar Swadaya.
Pratiwi, A. (2014). Analisis Hukum atas Penyelesaian Sengketa Tanah Bumi
Flora Aceh. Pena Justicia, 159-170.
Rachman, N. F. (2012). Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air
Beta.
Sugiyanto, Siregar, H., & Soetarto, E. (2008). Analisis Dampak Pendaftran Tanah
Sistematis terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kota Depok. Jurnal
Manajemen dan Agribisnis, 64-72.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sumaryanto. (2010). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi
Keputusan Petani Menjual Lahan. Informatika Pertanian, 1-15.
Syani, A. (1987). Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung.
Tauchid, M., & Soetarto, E. (2009). Masalah Agraris sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN
Press.
Winarso, B. (2012). Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah
Pedesaan di Indonesia. Jurnal Penelitian Terapan, 1-14.
206
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Biodata Penulis
Penulis adalah pria kelahiran 06 Maret 1989 di Kabupaten Bone Provinsi
Sulawesi Selatan. Saat ini bekerja sebagai salah satu tenaga pengajar di
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar sejak
tahun 2015. Jenjang sarjana diselesaikan di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin
Makassar (2007-2011) dan magister di Ilmu Perencanaan Wilayah IPB (2012-
2014). Pada tahun yang 2015 kemudian diangkat menjadi PNS di UIN Alauddin
Makassar - Kementerian Agama. Penulis telah terlibat dari beberapa kegiatan
penelitian dan seminar baik skala lokal, regional maupun nasional.
207
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Biodata Penulis
Penulis adalah pria kelahiran 06 Maret 1989 di Kabupaten Bone Provinsi
Sulawesi Selatan. Saat ini bekerja sebagai salah satu tenaga pengajar di
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar sejak
tahun 2015. Jenjang sarjana diselesaikan di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin
Makassar (2007-2011) dan magister di Ilmu Perencanaan Wilayah IPB (2012-
2014). Pada tahun yang 2015 kemudian diangkat menjadi PNS di UIN Alauddin
Makassar - Kementerian Agama. Penulis telah terlibat dari beberapa kegiatan
penelitian dan seminar baik skala lokal, regional maupun nasional.
GERAKAN NASIONAL PENDAFTARAN TANAH MELALUI PELIBATAN MULTIPIHAK (PENTA HELIX)
Reza Abdullah
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta
ABSTRAK
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kurang dimaknai sebagai
gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen/elemen bangsa. Setiap
terdengar program pendaftaran tanah, yang terlintas adalah tanggungjawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
semata tanpa ada dukungan yang kuat oleh seluruh komponen bangsa.
ATR/BPN sibuk mencari data dan mengusahakan sendiri. Padahal, ketika
masyarakat tidak aktif dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka
ATR/BPN tidak dapat bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa
pendaftaran tanah sistematis lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik
massal. Dewasa ini, yang terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah
saja yang mendaftarkan tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-
oleh tidak peduli dengan kesuksesan Program PTSL.
Tulisan ini dibuat secara deskriptif dengan analisis konten untuk mengkaji
keterbatasan PTSL dan peluang keberhasilannya. Ritme/pola perencanaan
program PTSL perlu dibentuk agar berhasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini
juga berupaya menyajikan pola strategis perencanaan PTSL dengan pelibatan
multipihak.
Sinergi penta helix menjadi kunci kerja besar semua komponen secara
kolaboratif, yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization
(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta media dalam
mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan dan bertanggungjawab
sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk itu, PTSL harus menjadi Gerakan
Nasional dirangkai dalam sebuah harmoni yang besar berupa kebijakan nasional
yang melibatkan khalayak luas.
Kata Kunci: Gerakan Nasional, Penta Helix, Kebijakan Nasional, Pendaftaran
Tanah.
208
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai
social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan
masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah
merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi (Achmad, 2007). Pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum yaitu dengan
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini kepastiannya
mengenai letak batas luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas
tanah, dan pemberian surat berupa sertipikat. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa
disingkat UUPA. Tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam
Pasal 19 UUPA yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum
oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sejak awal mula kemerdekaan negara Indonesia pendaftaran tanah di
Indonesia belumlah tuntas. Indonesia masih menghadapi persoalan: (1) tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan bidang agraria-
pertanahan; (2) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan; (3) belum
terselesaikannya agenda pendaftaran tanah; (4) tingginya ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah; (5) lambatnya penyelesaian sengketa dan
konflik; serta (6) belum memadainya perlindungan hak atas tanah bagi
masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Kelima misi tersebut merupakan
bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum
agraria nasional, menata kembali penguasaan dan pemilikan tanah demi
kesejahteraan masyarakat serta terpenuhinya hak rakyat atas tanah. Banyaknya
konflik sengketa yang lambat dikerjakan, tumpang tindih peraturan agraria dan
lain-lain merupakan beberapa problematika pendaftaran tanah di Indonesia.
209
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai
social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan
masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah
merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi (Achmad, 2007). Pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum yaitu dengan
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini kepastiannya
mengenai letak batas luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas
tanah, dan pemberian surat berupa sertipikat. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa
disingkat UUPA. Tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam
Pasal 19 UUPA yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum
oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sejak awal mula kemerdekaan negara Indonesia pendaftaran tanah di
Indonesia belumlah tuntas. Indonesia masih menghadapi persoalan: (1) tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan bidang agraria-
pertanahan; (2) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan; (3) belum
terselesaikannya agenda pendaftaran tanah; (4) tingginya ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah; (5) lambatnya penyelesaian sengketa dan
konflik; serta (6) belum memadainya perlindungan hak atas tanah bagi
masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Kelima misi tersebut merupakan
bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum
agraria nasional, menata kembali penguasaan dan pemilikan tanah demi
kesejahteraan masyarakat serta terpenuhinya hak rakyat atas tanah. Banyaknya
konflik sengketa yang lambat dikerjakan, tumpang tindih peraturan agraria dan
lain-lain merupakan beberapa problematika pendaftaran tanah di Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri ATR/KaBPN Bapak Sofyan A.
Djalil, “Sudah 71 tahun (Indonesia) merdeka. Dari 110 juta bidang tanah di luar
kawasan hutan, saat ini baru 46 juta bidang yang bersertifikat. Butuh waktu 100
tahun lagi agar semua bidang tanah di Indonesia bersertifikat.” Oleh karena itu,
Pemerintah melakukan akselerasi pendaftaran tanah di Indonesia dalam
penguatan hak atas tanah yang disebut program Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap atau biasa disingkat PTSL.
Gambar 1. Road Map Infrastruktur Keagrariaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan program
pemerintah yang sedang berjalan dilakukan saat ini. Pemerintah, dalam hal ini
ATR/BPN mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan program pendaftaran
tanah akselerasi ini dengan target yang ditetapkan paling besar dari tahun-tahun
sebelumnya. Tahun 2017, 5 juta bidang tanah harus sudah terdaftar. Berikutnya
tahun 2018, 7 juta bidang dan tahun 2018, 9 juta bidang hingga target 2025
seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar.
Program PTSL dengan jumlah yang sangat fantastis tersebut ternyata
dalam perjalanannya kurang dimaknai sebagai gerakan nasional yang
melibatkan seluruh komponen/elemen bangsa. Setiap terdengar program
pendaftaran tanah, yang terlintas adalah tanggungjawab ATR/BPN semata tanpa
ada dukungan yang kuat oleh seluruh komponen bangsa. ATR/BPN sibuk
mencari data dan mengusahakan sendiri. Padahal ketika masyarakat tidak aktif
2034 2025 2020 2018 2015
Baseline
Terbentuknya Dirjen
Infrastruktur Keagrariaan
Menyelesaikan
pengukuran dan
pemetaan bidang
tanah di seluruh
Indonesia
Prona 7 juta
bidang; Infrastruktur
Data Geospasial Terintegrasi
Full Geo-KKP
Stelsel Positif
Cadaster 2034
Pembangunan
Berkelanjutan
Integrasi
2017
Prona 5 juta bidang
Percepatan
Prona 9 juta bidang;
Infrastruktur Data
Geospasial Terintegrasi
210
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka ATR/BPN tidak dapat
bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa pendaftaran tanah sistematis
lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik massal.
Kurangnya ketertarikan masyarakat dalam mendukung kesuksesan PTSL
dengan promosi biaya Rp.0- (nol rupiah), akses reform dan jaminan kepastian
hukum belum optimal dalam menambah animo masyarakat dalam keterlibatan
PTSL. Pemikiran yang masih ada yakni untuk apa tanah tersebut disertipikatkan
sekiranya mereka tidak membutuhkan sebagai akses reform ataupun sudah
turun-temurun mereka miliki dan tidak ada yang menggugat. Dewasa ini, yang
terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang mendaftarkan
tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-oleh tidak peduli dengan
Kesuksesan Program PTSL.
1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Mengapa masyarakat kurang berperan aktif dalam
penyelenggaraan PTSL?
1.2.2. Mengapa PTSL terkikis menjadi sporadik massal?
1.2.3. Bagaimana peran serta seluruh stake holder (penta helix) dalam
rangka mensukseskan PTSL?
1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui problematika kurang aktifnya masyarakat dalam
penyelenggaraan PTSL.
1.3.2 Untuk mengetahui mengapa PTSL yang sejatinya dilaksanakan
secara sistematis lengkap justru dilaksanakan secara sporadik
massal.
1.3.3 Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan multipihak (penta helix)
dalam mensukseskan PTSL.
1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pola strategis
penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dengan melibatkan
multipihak (penta helix) sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kepada
stake holder untuk merumuskan kebijakan selanjutnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan berkelanjutan adalah cita-cita dari setiap negara di mana
negara tersebut dapat mengatur perencanaaan pembangunan dengan baik,
211
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka ATR/BPN tidak dapat
bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa pendaftaran tanah sistematis
lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik massal.
Kurangnya ketertarikan masyarakat dalam mendukung kesuksesan PTSL
dengan promosi biaya Rp.0- (nol rupiah), akses reform dan jaminan kepastian
hukum belum optimal dalam menambah animo masyarakat dalam keterlibatan
PTSL. Pemikiran yang masih ada yakni untuk apa tanah tersebut disertipikatkan
sekiranya mereka tidak membutuhkan sebagai akses reform ataupun sudah
turun-temurun mereka miliki dan tidak ada yang menggugat. Dewasa ini, yang
terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang mendaftarkan
tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-oleh tidak peduli dengan
Kesuksesan Program PTSL.
1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Mengapa masyarakat kurang berperan aktif dalam
penyelenggaraan PTSL?
1.2.2. Mengapa PTSL terkikis menjadi sporadik massal?
1.2.3. Bagaimana peran serta seluruh stake holder (penta helix) dalam
rangka mensukseskan PTSL?
1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui problematika kurang aktifnya masyarakat dalam
penyelenggaraan PTSL.
1.3.2 Untuk mengetahui mengapa PTSL yang sejatinya dilaksanakan
secara sistematis lengkap justru dilaksanakan secara sporadik
massal.
1.3.3 Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan multipihak (penta helix)
dalam mensukseskan PTSL.
1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pola strategis
penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dengan melibatkan
multipihak (penta helix) sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kepada
stake holder untuk merumuskan kebijakan selanjutnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan berkelanjutan adalah cita-cita dari setiap negara di mana
negara tersebut dapat mengatur perencanaaan pembangunan dengan baik,
sehingga terwujud pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah.
Gambar 2. Paradigma Manajemen Pertanahan
(Enemark et al, 2005)
Pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa adanya
pembangunan manajemen pertanahan yang baik dan saling terintegrasi antara
land tenure, land value, land use, dan land development. Khusus di Indonesia,
keempat pilar ini yang kurang lebih dikontrol langsung oleh 12 kementerian dan
departemen. Semua pilar tersebut memiliki berbagai Layer Structure Data
Information (SDI) dan bagian terkecil dari SDI adalah persil.
Gambar 3 Pentingnya Kadaster (Ian Williamson, et.al, 2010)
212
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Pembangunan SDI terbentuk dari 3 unsur yakni multipurpose cadastre, title
or deeds tenure style dan taxation driven cadastre. Di Indonesia pembangunan
title or deeds tenure berupa registration of parcel atau pendaftaran hak atas
tanah yang ditangani di bawah Kementerian ATR/BPN. Kegiatan ini
mempengaruhi kemajuan perekonomian dari suatu negara di mana memberikan
peluang lebih besar terhadap perencanaan pembangunan. Berdasarkan data
doing of businees dunia yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia berada
pada urutan ke-91 dalam kemudahan memulai bisnis. Hal ini tidak terlepas dari
salah satu faktor yang mengacu dari kondisi infrastruktur pertanahan registration
of property di Indonesia di mana berada pada urutan ke-118 (Data tahun 2017
bulan September). Maka diperlukan upaya dari Pemerintah Indonesia untuk
melakukan akselerasi terhadap inventarisai pendaftaran tanah.
Gambar 4. Ranking Ekonomi Indonesia di Dunia
(www.doingbusiness.org/rankings)
PTSL merupakan program pendaftaran tanah yang mulai berlangsung di
Indonesia sejak awal tahun 2017. PTSL memiliki target yang berkesinambungan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 ditargetkan 5 juta bidang tanah terdaftar.
Kemudian meningkat pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang tanah.
Ditargetkan pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan
secara keseluruhan.
Dalam perjalanan perdana PTSL di tahun 2017 banyak sekali kendala-
kendala yang dialami sebagai penghambat berjalannya PTSL sehingga
dikhawatirkan target pada 2017 tidak dapat tercapai. Belum lagi target tahun
depan atau tahun 2018 lebih besar daripada target tahun 2017.
213
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Pembangunan SDI terbentuk dari 3 unsur yakni multipurpose cadastre, title
or deeds tenure style dan taxation driven cadastre. Di Indonesia pembangunan
title or deeds tenure berupa registration of parcel atau pendaftaran hak atas
tanah yang ditangani di bawah Kementerian ATR/BPN. Kegiatan ini
mempengaruhi kemajuan perekonomian dari suatu negara di mana memberikan
peluang lebih besar terhadap perencanaan pembangunan. Berdasarkan data
doing of businees dunia yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia berada
pada urutan ke-91 dalam kemudahan memulai bisnis. Hal ini tidak terlepas dari
salah satu faktor yang mengacu dari kondisi infrastruktur pertanahan registration
of property di Indonesia di mana berada pada urutan ke-118 (Data tahun 2017
bulan September). Maka diperlukan upaya dari Pemerintah Indonesia untuk
melakukan akselerasi terhadap inventarisai pendaftaran tanah.
Gambar 4. Ranking Ekonomi Indonesia di Dunia
(www.doingbusiness.org/rankings)
PTSL merupakan program pendaftaran tanah yang mulai berlangsung di
Indonesia sejak awal tahun 2017. PTSL memiliki target yang berkesinambungan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 ditargetkan 5 juta bidang tanah terdaftar.
Kemudian meningkat pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang tanah.
Ditargetkan pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan
secara keseluruhan.
Dalam perjalanan perdana PTSL di tahun 2017 banyak sekali kendala-
kendala yang dialami sebagai penghambat berjalannya PTSL sehingga
dikhawatirkan target pada 2017 tidak dapat tercapai. Belum lagi target tahun
depan atau tahun 2018 lebih besar daripada target tahun 2017.
Pada tahun 2017 ATR/BPN bekerjasama dengan Surveyor Kadastral
Berlisensi melalui KJSKB dalam membantu percepatan PTSL. Ritme pekerjaan
di mana kantor-kantor pertanahan yang kewalahan dengan target tersebut atau
tidak mampu menyelesaikan sendiri target bidang tanah yang diberikan
ATR/BPN menyarankan agar pekerjaan tersebut dilakukan melalui kerjasama
dengan ke pihak ketiga (KJSKB). Dalam mensukseskan PTSL sebagai gerakan
Nasional maka diperlukan kerjasama dari setiap pihak atau yang disebut sebagai
keterlibatan multipihak (penta helix). Sebab, program PTSL ini adalah kerja yang
besar dan untuk kepentingan semua orang/pihak/lembaga/negara maka perlu
dilakukan secara kolaboratif.
Ritme/pola dari para stake holder dalam membuat strategi dalam
mengambil keputusan dapat membuat perbedaan besar dalam bagaimana
sebuah proyek/pekerjaan dikembangkan. Bagaimana sebuah masalah dirasakan
dan perbedaan persepsi menimbulkan suatu gesekan dan hambatan dalam
penyatuan keselarasan pandangan. Penta helix adalah alat diskusi sederhana
untuk memetakan minat dan mengeksplorasi cara-cara untuk menjaga agar
sebuah pekerjaan tetap seimbang. Walaupun kelihatannya sederhana, namun
hal ini dapat membantu untuk segera membuka atau menjelaskan kompleksitas
sosial di samping pemangku kepentingan memahami pentingnya kolaborasi dan
keterlibatan multipihak.
Gambar 5. Konsep Penta Helix
(Hill,.A ,2015)
214
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Model Penta Helix didasarkan pada lima jenis pemangku kepentingan:
Pemerintah, NGO (Non-Government Organization/pelaku bisnis, komunitas,
masyarakat, akademisi dan media. Model ini sangat berguna untuk mengelola
kompleksitas berbasis aktor. Dengan membangun sinergi Penta Helix maka
membantu menganalisis gabungan pemangku kepentingan. Mereka yang
mungkin terlibat aktif dalam suatu pekerjaan (aktor) dan pihak lain yang terlibat
karena sifat pekerjaan (kelompok kepentingan) seperti otoritas publik dan model
ini berkaitan dengan sampel pemangku kepentingan.
Konsep Penta Helix dibangun di atas dua model fokus inovasi sebelumnya:
Triple dan Quadra Helix. Triple Helix mencatat pentingnya hubungan antara
pengetahuan, industri dan sektor publik. Trilogi pelaku ini agak jelas dan saling
bergantung: sektor publik menggunakan basis pajak untuk mendanai lembaga
pengetahuan untuk meneliti teknologi dan produk inovatif, sektor bisnis
memproduksikannya dan akhirnya sektor publik menuai hasilnya melalui
pengembalian pajak.
"Unsur dari Triple Helix adalah universitas, industri dan pemerintah untuk
menghasilkan format kelembagaan dan sosial baru untuk produksi, transfer dan
penerapan pengetahuan." (sumber:Kelompok riset Triple Helix University of
Stanford)
Quadra Helix
Triple Helix sifatnya terlalu umum namun jika inovasi tersebut menyangkut
orang, maka pengguna harus masuk dalam daftar pemangku
kepentingan. Masalah dengan Triple Helix adalah bahwa mereka
mengasumsikan bahwa mereka mengetahui yang terbaik untuk pasar. Hal inilah
yang menjadi alasan diperkenalkannya aliran tambahan ke helix, yakni
pengguna, sehingga menciptakan Quadruple Helix.
Kepentingan pemangku kepentingan dan hubungan antarlembaga
Pemangku kepentingan yang didorong oleh terlalu banyak kepentingan
dapat mengganggu sebuah pekerjaan dengan tidak menjelaskan tujuan mereka.
Hal ini berguna untuk menetapkan motivasi profesional para pemangku
kepentingan dan jika kepentingan pribadi mereka akan memainkan peran yang
kuat.
Kendalanya selanjutnya adalah hubungan stakeholder. Hal yang wajar jika
pemangku kepentingan membawa gesekan pribadi atau kelembagaan yang
dapat menahan pembangunan. Mengakibatkan pemangku kepentingan memiliki
215
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Model Penta Helix didasarkan pada lima jenis pemangku kepentingan:
Pemerintah, NGO (Non-Government Organization/pelaku bisnis, komunitas,
masyarakat, akademisi dan media. Model ini sangat berguna untuk mengelola
kompleksitas berbasis aktor. Dengan membangun sinergi Penta Helix maka
membantu menganalisis gabungan pemangku kepentingan. Mereka yang
mungkin terlibat aktif dalam suatu pekerjaan (aktor) dan pihak lain yang terlibat
karena sifat pekerjaan (kelompok kepentingan) seperti otoritas publik dan model
ini berkaitan dengan sampel pemangku kepentingan.
Konsep Penta Helix dibangun di atas dua model fokus inovasi sebelumnya:
Triple dan Quadra Helix. Triple Helix mencatat pentingnya hubungan antara
pengetahuan, industri dan sektor publik. Trilogi pelaku ini agak jelas dan saling
bergantung: sektor publik menggunakan basis pajak untuk mendanai lembaga
pengetahuan untuk meneliti teknologi dan produk inovatif, sektor bisnis
memproduksikannya dan akhirnya sektor publik menuai hasilnya melalui
pengembalian pajak.
"Unsur dari Triple Helix adalah universitas, industri dan pemerintah untuk
menghasilkan format kelembagaan dan sosial baru untuk produksi, transfer dan
penerapan pengetahuan." (sumber:Kelompok riset Triple Helix University of
Stanford)
Quadra Helix
Triple Helix sifatnya terlalu umum namun jika inovasi tersebut menyangkut
orang, maka pengguna harus masuk dalam daftar pemangku
kepentingan. Masalah dengan Triple Helix adalah bahwa mereka
mengasumsikan bahwa mereka mengetahui yang terbaik untuk pasar. Hal inilah
yang menjadi alasan diperkenalkannya aliran tambahan ke helix, yakni
pengguna, sehingga menciptakan Quadruple Helix.
Kepentingan pemangku kepentingan dan hubungan antarlembaga
Pemangku kepentingan yang didorong oleh terlalu banyak kepentingan
dapat mengganggu sebuah pekerjaan dengan tidak menjelaskan tujuan mereka.
Hal ini berguna untuk menetapkan motivasi profesional para pemangku
kepentingan dan jika kepentingan pribadi mereka akan memainkan peran yang
kuat.
Kendalanya selanjutnya adalah hubungan stakeholder. Hal yang wajar jika
pemangku kepentingan membawa gesekan pribadi atau kelembagaan yang
dapat menahan pembangunan. Mengakibatkan pemangku kepentingan memiliki
berbedaan persepsi yang berimbas pada hasil perencanaan hingga hasil
pekerjaan.
Gambar 6 Peranan setiap unsur Penta Helix
(Hill,.A ,2015)
Skema berikut dapat digunakan untuk mengeksplorasi pemangku
kepentingan dalam suatu kelompok pekerjaan. Skema ini untuk mengeksplorasi
posisi pemangku kepentingan sesuai dengan gambaran umum dalam suatu
pekerjaan. Dengan skema ini maka akan menjadi jelas di mana kesenjangan
berada, kemungkinan konflik dapat terjadi melalui tumpang tindih atau
kekosongan ruang (kurangnya dukungan) yang menghambat suatu
pekerjaan. Kemudian setelah dianalisis tingkat minat, kekuatan dan komitmen
setiap unsur maka akan memperoleh gambaran yang lebih baik tentang aktor
utama dan hal-hal yang perlu dilibatkan.
Lima jenis pemangku kepentingan
Tidak ada aturan tetap untuk siapa yang sesuai dengan masing-masing
kategori pemangku kepentingan karena ini akan bergantung sepenuhnya pada
konfigurasi aktor dalam situasi tersebut. Misalnya, pemangku kepentingan
mungkin mewakili masyarakat lokal dalam satu konteks, sementara skala
regional di negara lain. Uraian berikut memberikan indikasi bagaimana cara
mendistribusikan para pemangku kepentingan.
216
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
a. Pemerintah
Kelompok ini memliki kekuatan dan pengaruhnya yang cenderung tinggi:
Tanpa kerja sama mereka, gagasan paling inspiratif sekalipun akan sulit
untuk dapat diimplementasikan.
b. (Non-Government Organization/NGO)
Kelompok ini mengacu pada Surveyor Kadastral berlisensi melalui Kantor
Jasa Surveyor Kadastral berlisensi (KJSKB). Kepentingan komunitas ini
akan tergantung pada bagaimana proyek akan mempengaruhi mereka:
apakah akan membawa pelanggan baru atau pesaing baru? Akankah ini
memberi kesempatan untuk tumbuh, atau hambatan bagi perkembangan
masa depan mereka?
c. Akademisi (knowledge)
Istilah ini mengacu pada praktisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang
relevan untuk pengembangan suatu pekerjaan. Dapat berupa; penduduk
lokal dengan keahlian dalam inovasi dan pengetahuan (arsitek, insinyur,
ilmuwan, dokter dan praktisi kesehatan, ahli geografi, pendidik) atau staf
sekolah, universitas atau organisasi riset yang tertarik pada pengembangan
inovasi pekerjaan terkait. Selain praktisi berbasis tempat, ada juga
serangkaian aktor nasional dan internasional yang dapat menyumbangkan
pengetahuan dan pengalaman, seperti organisasi penelitian, advokasi atau
konsultan. Sementara anggota kelompok ini sering mengungkapkan
pendapat yang kuat mengenai sebuah pekerjaan baru, tidak jarang pendapat
para praktisi berbeda dan menyimpang.
d. Masyarakat (Community)
Pelaku dalam kelompok ini termasuk kelompok masyarakat lokal (sosial,
kesehatan, budaya, agama dll), maupun LSM yang berbasis pada isu
masyarakat, serikat pekerja dan LSM internasional. Kepentingan mereka
akan didorong oleh apa yang penting bagi penduduk setempat. Seperti
pentingnya suatu pekerjaan tersebut apakah memberikan dampak postif,
negatif atau bahkan terasa tidak menyentuh ke dalam kebutuhan
masyarakat. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan mereka dalam
mengambil sikap dan inovasi atas suatu pekerjaan.
e. Media
Peran media sangat berpengaruh terhadap diseminasi informasi. Baik
buruknya pekerjaan dipengaruhi oleh bagaimana para pelaku mengemas
217
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
a. Pemerintah
Kelompok ini memliki kekuatan dan pengaruhnya yang cenderung tinggi:
Tanpa kerja sama mereka, gagasan paling inspiratif sekalipun akan sulit
untuk dapat diimplementasikan.
b. (Non-Government Organization/NGO)
Kelompok ini mengacu pada Surveyor Kadastral berlisensi melalui Kantor
Jasa Surveyor Kadastral berlisensi (KJSKB). Kepentingan komunitas ini
akan tergantung pada bagaimana proyek akan mempengaruhi mereka:
apakah akan membawa pelanggan baru atau pesaing baru? Akankah ini
memberi kesempatan untuk tumbuh, atau hambatan bagi perkembangan
masa depan mereka?
c. Akademisi (knowledge)
Istilah ini mengacu pada praktisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang
relevan untuk pengembangan suatu pekerjaan. Dapat berupa; penduduk
lokal dengan keahlian dalam inovasi dan pengetahuan (arsitek, insinyur,
ilmuwan, dokter dan praktisi kesehatan, ahli geografi, pendidik) atau staf
sekolah, universitas atau organisasi riset yang tertarik pada pengembangan
inovasi pekerjaan terkait. Selain praktisi berbasis tempat, ada juga
serangkaian aktor nasional dan internasional yang dapat menyumbangkan
pengetahuan dan pengalaman, seperti organisasi penelitian, advokasi atau
konsultan. Sementara anggota kelompok ini sering mengungkapkan
pendapat yang kuat mengenai sebuah pekerjaan baru, tidak jarang pendapat
para praktisi berbeda dan menyimpang.
d. Masyarakat (Community)
Pelaku dalam kelompok ini termasuk kelompok masyarakat lokal (sosial,
kesehatan, budaya, agama dll), maupun LSM yang berbasis pada isu
masyarakat, serikat pekerja dan LSM internasional. Kepentingan mereka
akan didorong oleh apa yang penting bagi penduduk setempat. Seperti
pentingnya suatu pekerjaan tersebut apakah memberikan dampak postif,
negatif atau bahkan terasa tidak menyentuh ke dalam kebutuhan
masyarakat. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan mereka dalam
mengambil sikap dan inovasi atas suatu pekerjaan.
e. Media
Peran media sangat berpengaruh terhadap diseminasi informasi. Baik
buruknya pekerjaan dipengaruhi oleh bagaimana para pelaku mengemas
pekerjaan tersebut menjadi sebuah informasi. Informasi yang menarik akan
meningkatkan sinergi dari kerjasama para pelaku kepentingan dan semangat
dalam mensukseskan suatu pekerjaan. Sebaliknya kurangnya informasi
bahkan buruknya informasi yang tersebar akan mengikis kepercayan para
pelaku dalam mendukung atau terlibat dalam suatu perkerjaan.
Berdasarakan landasan teori di atas maka diperlukannya sinergi dari setiap
stakeholders dalam model Penta helix dalam merumuskan strategi suatu
ritme atau pola dalam merencakan strategi pembangunan program PTSL.
3. METODE PENELITIAN Tulisan ini dibuat secara deskriptif dengan analisis konten untuk mengkaji
keterbatasan PTSL dan peluang keberhasilannya. Ritme/pola perencanaan
program PTSL perlu dibentuk agar berhasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini
juga berupaya menyajikan pola strategis perencanaan PTSL dengan pelibatan
multipihak.
4. PEMBAHASAN 4.1. Kurangnya peran aktif masyarakat yang sangat dibutuhkan sebagai
subyek pendaftaran tanah Melalui PTSL pemerintah berupaya menunaikan kewajibannya untuk
melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan biaya Rp.0,-
(nol rupiah). Tetapi di luar itu, terdapat beberapa kegiatan yang belum
dimasukkan dalam aspek pembiayaan dalam pelaksanaan PTSL yang menjadi
beban masyarakat, contohnya: pembuatan alas hak, patok batas, honor-honor
masyarakat desa yang membantu program PTSL. Data pembayaran dalam
kondisi demikian tidak semua masyarakat dapat menyiapkannya. Terkesan nol
rupiah, namun ketika masyarakat mencoba mendaftarkan tanahnya, ternyata ada
biaya-biaya yang cukup besar yang tidak dapat ditanggung oleh masyarakat. Hal
ini dapat memicu terhambatnya PTSL.
Sebelumnya memang ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
Nomor 25/SKB/v/2017 tentang Persiapan Pembiayaan Pendaftaran Tanah
Sistematis yang memunculkan aturan dalam memungut biaya. SKB 3 Menteri ini
mencoba memberikan respon atas permasalahan tersebut. Namun, yang
menjadi titik persoalan di sini adalah asal nilai tersebut yakni penarikan dari
masyarakat. Walaupun kita berbicara hak dan kewajiban, penarikan dari
218
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
masyarakat inilah yang memungkinkan peluang terjadinya pungutan liar (pungli)
di tengah-tengah masyarakat.
Penarikan-penarikan tersebut memungkinkan untuk menciderai niatan baik
dari Kementerian ATR/BPN berupa PTSL nol rupiah. Masyarakat memaknai
PTSL nol rupiah berupa program “gratis tapi berbayar”. Sebab, penarikan-
penarikan yang sifatnya dari masyarakat walaupun telah dibuatkan aturan
tentang hal itu, mudah untuk masuk di benak masyarakat bahwasanya
Kementerian ATR/BPN memang mahal dan mempersulit dalam memberikan
sertipikat. Artinya, hal ini dapat dievaluasi dengan menyuguhan anggaran untuk
meng-cover biaya-biaya diluar PTSL tersebut baik dari Kementerian Desa
maupun Kementerian Dalam Negeri. Sehingga niatan baik dari ATR/BPN untuk
memberikan sertipikat tanah gratis kepada masyarakat tidak terciderai dengan
kurangnya dukungan dari kementerian yang lainnya yang memunculkan pikiran-
pikiran negatif dari masyarakat apalagi terjadi pungli. Sehingga, masyarakat
benar-benar menerima nol rupiah.
Selanjutnya diberikan punishment and reward kepada masyarakat
sebagaimana program tax amnesty. Masyarakat yang aktif melaporkan tanahnya
kepada pemerintah desa sebagai usulan program PTSL dalam pembentukan
Bank Data Yuridis di Kantor Desa diberikan prioritas lebih awal dalam kategori
K1. Besar kemungkinan masyarakat akan terlibat aktif dalam program PTSL.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bukan sekedar pada kemampuan
masyarakat yang dapat membayar biaya yang tidak ditanggung PTSL tersebut.
Namun, keaktifan masyarakat dalam membantu PTSL mulai dari pemasangan
patok, pengisian formulir pendaftaran, kehadiran pada penyuluhan hingga
kontradiktur delimintasi. Ketika seseorang mampu membayar biaya pendukung
tersebut, kemudian lepas tangan tinggal menunggu hasil sertipikat adalah hal
yang perlu dihindari. Sehingga bagaimana masyarakat tersebut aktif sebagai
subyek dan memliki peranan penting selama proses pendaftaran tanah.
4.2. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap terkikis menjadi Pendaftaran Tanah Sporadik Massal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar maupun yang telah
terdaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat
219
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
masyarakat inilah yang memungkinkan peluang terjadinya pungutan liar (pungli)
di tengah-tengah masyarakat.
Penarikan-penarikan tersebut memungkinkan untuk menciderai niatan baik
dari Kementerian ATR/BPN berupa PTSL nol rupiah. Masyarakat memaknai
PTSL nol rupiah berupa program “gratis tapi berbayar”. Sebab, penarikan-
penarikan yang sifatnya dari masyarakat walaupun telah dibuatkan aturan
tentang hal itu, mudah untuk masuk di benak masyarakat bahwasanya
Kementerian ATR/BPN memang mahal dan mempersulit dalam memberikan
sertipikat. Artinya, hal ini dapat dievaluasi dengan menyuguhan anggaran untuk
meng-cover biaya-biaya diluar PTSL tersebut baik dari Kementerian Desa
maupun Kementerian Dalam Negeri. Sehingga niatan baik dari ATR/BPN untuk
memberikan sertipikat tanah gratis kepada masyarakat tidak terciderai dengan
kurangnya dukungan dari kementerian yang lainnya yang memunculkan pikiran-
pikiran negatif dari masyarakat apalagi terjadi pungli. Sehingga, masyarakat
benar-benar menerima nol rupiah.
Selanjutnya diberikan punishment and reward kepada masyarakat
sebagaimana program tax amnesty. Masyarakat yang aktif melaporkan tanahnya
kepada pemerintah desa sebagai usulan program PTSL dalam pembentukan
Bank Data Yuridis di Kantor Desa diberikan prioritas lebih awal dalam kategori
K1. Besar kemungkinan masyarakat akan terlibat aktif dalam program PTSL.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bukan sekedar pada kemampuan
masyarakat yang dapat membayar biaya yang tidak ditanggung PTSL tersebut.
Namun, keaktifan masyarakat dalam membantu PTSL mulai dari pemasangan
patok, pengisian formulir pendaftaran, kehadiran pada penyuluhan hingga
kontradiktur delimintasi. Ketika seseorang mampu membayar biaya pendukung
tersebut, kemudian lepas tangan tinggal menunggu hasil sertipikat adalah hal
yang perlu dihindari. Sehingga bagaimana masyarakat tersebut aktif sebagai
subyek dan memliki peranan penting selama proses pendaftaran tanah.
4.2. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap terkikis menjadi Pendaftaran Tanah Sporadik Massal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar maupun yang telah
terdaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat
dengan itu. PTSL dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia
dengan jumlah target yang tinggi jika dibandingkan dengan target bidang tanah
setahun yang lalu. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap
Kantor Pertanahan (Kantah) kabupaten/kota se Indonesia. Berbagai trik dan
strategi ditempuh oleh semua Kantah agar pelaksaanaan PTSL ini dapat
terlaksana dengan baik dan selesai tepat pada waktunya.
Ikhtiar dan strategi yang diterapkan oleh setiap kantah tentunya dengan
tujuan agar PTSL ini cepat terselasaikan. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan
pelaksanaan khususnya dalam hal teknis dan hasil akhir dari pekerjaan PTSL ini.
Kantor Pertanahan yang memaknai PTSL sebagai pendaftaran sistematis
lengkap, melaksanakan pekerjaan dengan cara mengukur secara keseluruhan
bidang tanah (persil) di dalam satu desa dengan menginventarisasikan data fisik
dan yuridis menjadi 4 kluster, yaitu
a. Kluster 1 (satu) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat
untuk sampai diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya.
b. Kluster 2 (dua) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat
untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat perkara di Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016.
c. Kluster 3 (tiga) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya tidak dapat
dibukukan dan diterbitkan sertipikat karena:
1) Subyek Warga Negara Asing, BUMN/BUMD/BHMN, Badan Hukum
Swasta, subyek tidak diketahui, subyek tidak bersedia mengikuti
pendaftaran tanah sistematis lengkap;
2) Obyek merupakan tanah P3MB, Prk 5, Rumah Golongan III, Obyek
Nasionalisasi, Tanah Ulayat, Tanah Absentee;
3) Obyek tanah milik adat, dokumen yang membuktikan kepemilikan tidak
lengkap, peserta tidak bersedia membuat surat pernyataan
penguasaan fisik bidang tanah. Terhadap tanah yang tidak dapat
dibukukan dan diterbitkan sertipikatnya dicatat dalam daftar tanah.
d. Kluster 4 (empat) yaitu bilamana subyek dan obyek tidak memenuhi syarat
untuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap karena sudah bersertipikat.
Kantah yang melaksanakan secara sistematis lengkap akan cepat
mencapai target yang menjadi tanggung jawabnya dikarena menerapkan
sistem “sapu bersih” (nge-round). Sistem ini mempunyai konsekuensi bahwa
220
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
tidak semua bidang tanah yang diukur dan diinventarisasikan tersebut masuk
ke dalam kluster 1. Pengukuran, pemetaan dan inventarisasi di satu desa
menghasilkan data berupa Peta dan daftar tanah. Begitu juga, ketika data fisik
dan yuridis telah dibukukan dengan baik, maka dapat diterbitkan sertipikat
tanahnya. Dengan mengedepankan sistematis lengkap ini maka pemetaan
bidang tanah dan inventarisasi subyek dan obyek persil dapat diselesaikan
dengan cepat. Akan tetapi, tidak semua hasil inventarisasi akan sampai pada
penerbitan sertipikat. Hasil inventarisasi data dapat juga berupa K2, K3 dan K4.
Lain halnya yang dilakukan oleh beberapa kantor pertanahan dengan
menerapkan sistem sporadis massal. Sistem ini menerapkan pengumpulan
data fisik dan yuridis terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam Kluster 1
saja yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat untuk sampai
diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan
PRONA, karena hasil akhir pekerjaan tersebut adalah sertipikat hak atas tanah.
Ketika sistem sporadik massal ini diterapkan maka target penyelesaian PTSL
lebih sulit tercapai dan tentunya membutuhkan lebih banyak waktu, SDM serta
sarana dan prasarana dikarenakan bidang tanah yang diukur tidak
mengelompok atau dapat dikatakan terpisah-pisah, walaupun dalam satu desa.
Dengan diperlukanya tambahan tenaga “extra” ini, tidak sedikit kantah
melakukan kerjasama dengan pihak ketiga atau KJSKB.
Pelaksanaan PTSL dengan menerapkan system Sporadik massal ini
tentunya dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Presiden Jokowi
menerjemahkan PTSL ini adalah program sertifikasi massal, sehingga dalam
setiap kesempatan berkunjung ke daerah selalu ingin membagi-bagikan
sertipikat. Kedua, Sistem SKPMPP ATR/BPN yang dijalankan melalui
Komputerisasi Kantor Pertanahan menilai kinerja atau prestasi Kantor
pertanahan dengan rumus jumlah sertipikat yang diterbitkan dibagi dengan total
beban pekerjaan PTSL dikali dengan 100 persen. Dengan sistem penilaian
seperti ini maka, Kantah akan berlomba menerbitkan Sertipikat Hak atas tanah
di dalam program PTSL.
Sebagaimana diterangkan dalam gambar berikut ini:
Sistematik Lengkap
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1 + 𝐾𝐾2 + 𝐾𝐾3 + 𝐾𝐾4𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%
221
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
tidak semua bidang tanah yang diukur dan diinventarisasikan tersebut masuk
ke dalam kluster 1. Pengukuran, pemetaan dan inventarisasi di satu desa
menghasilkan data berupa Peta dan daftar tanah. Begitu juga, ketika data fisik
dan yuridis telah dibukukan dengan baik, maka dapat diterbitkan sertipikat
tanahnya. Dengan mengedepankan sistematis lengkap ini maka pemetaan
bidang tanah dan inventarisasi subyek dan obyek persil dapat diselesaikan
dengan cepat. Akan tetapi, tidak semua hasil inventarisasi akan sampai pada
penerbitan sertipikat. Hasil inventarisasi data dapat juga berupa K2, K3 dan K4.
Lain halnya yang dilakukan oleh beberapa kantor pertanahan dengan
menerapkan sistem sporadis massal. Sistem ini menerapkan pengumpulan
data fisik dan yuridis terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam Kluster 1
saja yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat untuk sampai
diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan
PRONA, karena hasil akhir pekerjaan tersebut adalah sertipikat hak atas tanah.
Ketika sistem sporadik massal ini diterapkan maka target penyelesaian PTSL
lebih sulit tercapai dan tentunya membutuhkan lebih banyak waktu, SDM serta
sarana dan prasarana dikarenakan bidang tanah yang diukur tidak
mengelompok atau dapat dikatakan terpisah-pisah, walaupun dalam satu desa.
Dengan diperlukanya tambahan tenaga “extra” ini, tidak sedikit kantah
melakukan kerjasama dengan pihak ketiga atau KJSKB.
Pelaksanaan PTSL dengan menerapkan system Sporadik massal ini
tentunya dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Presiden Jokowi
menerjemahkan PTSL ini adalah program sertifikasi massal, sehingga dalam
setiap kesempatan berkunjung ke daerah selalu ingin membagi-bagikan
sertipikat. Kedua, Sistem SKPMPP ATR/BPN yang dijalankan melalui
Komputerisasi Kantor Pertanahan menilai kinerja atau prestasi Kantor
pertanahan dengan rumus jumlah sertipikat yang diterbitkan dibagi dengan total
beban pekerjaan PTSL dikali dengan 100 persen. Dengan sistem penilaian
seperti ini maka, Kantah akan berlomba menerbitkan Sertipikat Hak atas tanah
di dalam program PTSL.
Sebagaimana diterangkan dalam gambar berikut ini:
Sistematik Lengkap
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1 + 𝐾𝐾2 + 𝐾𝐾3 + 𝐾𝐾4𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%
Keterangan :
K1 : Kluster 1
K2 : Kluster 2
K3 : Kluster 3
K4 : Kluster 4
Sumber: Hasil hitungan yang dikeluarkan oleh Pusdatin sesuai
keinginan kementerian ATR/BPN
Sporadik Massal
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%
Keterangan :
K1 : Kluster 1 (jumlah sertipikat yang diterbitkan)
Sumber : Hasil hitungan yang dikeluarkan oleh Pusdatin sesuai dengan
keinginan Presiden Jokowi untuk menghasilkan sertipikat 5
juta bidang tanah.
Berdasarkan perbandingan di atas bahwa hasil capaian Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap, targetnya adalah "terdaftarnya dan terpetakannya"
seluruh bidang tanah di desa lokasi yg di tetapkan dalam K1, K2, K3 & K4.
Maka 5 juta bidang adalah K1 + K2+ K3 + K4. Sebab, kinerja = pemetaan:
target bukan sertipikat.
Berbeda halnya dengan persepsi yang kedua yakni sporadik massal
bahwasanya targetnya adalah sertipikat, sesuai target presiden. Dalam
dashboard tersebut, kinerja = jumlah sertipikat: target adalah sertipikat.
Sehingga hampir seluruh daerah mengejar K1 semua, yg pada gilirannya
menjadi "sporadik massal.
4.3 Sinergi Penta helix dalam Pelaksanaan PTSL Sinergi penta helix adalah menjadi kunci kerja besar program PTSL. Setiap
kementerian wajib mendukung dari Program PTSL. Contohnya : Kementerian
Desa tertinggal, inventarisasi data yuridis desa dapat digunakan untuk
mengetahui situasi desa dari segi kepemilikan untuk bantuan dana desa.
Pertimbangan bantuan dana desa dapat juga mengacu pada berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di mana desa wajib untuk
222
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
berperan aktif dalam mensukseskan program pemerintah, desa-desa yang sudah
memiliki data lengkap sebagai prasyarat tinggi/rendahnya pemberian bantuan.
Kementerian Dalam Negeri memerintahkan semua unsur pemerintahan;
provinsi, kabupaten sampai ke tingkat unit terkecil pemerintahan yakni desa
mendukung aktif terhadap kegiatan PTSL. Selayaknya seperti kegiatan sensus
penduduk, pemerintah desa merasa program tersebut adalah bagian dari
tanggung jawab mereka sehingga mereka dengan penuh tangung jawab
membantu dan mensukseskan program tersebut.
PTSL bukan hanya tugas sektoral ATR/BPN. Hendaknya menjadi tugas
semua elemen bangsa. Ironisnya, kegiatan PTSL hanya seperti ATR/BPN yang
aktif. Seringkali dijumpai ketidakaktifan RT/RW bahkan masyarakat. Maka, perlu
memposisikan pemilik tanah berperan aktif untuk melaporkan data kepemilikan
bidang tanahnya ke Desa. Sehingga pengumpulan data di Desa akan lebih
mudah dan cepat. Begitu data sudah ada data, maka akan terbentuk Bank Data
yuridis yang baik di setiap desa. Bank data yuridis berupa rekapitulasi dari
tabulasi kepemilikan bidang tanah. Desa-Desa yang terlibat dalam program
PTSL sudah menyiapkan daftar nominatif lebih awal sebagai usulan ke Kantor
Pertanahan. Maka akan diketahui dengan jelas berapa jumlah bidang tanah pada
setiap desa tersebut berdasarkan kategori K1, K2, K3 dan K4. Sehingga posisi
ATR/BPN adalah sebagai administrator untuk mengkonversi data tersebut ke
sertipikat. Sebelum melaksanakan PTSL, bank data sudah dimiliki dengan
lengkap. Hasilnya pekerjaan pendaftaran tanah dapat selesai dengan lebih
mudah.
Saat ini ATR/BPN tidak memiliki data. ATR/BPN melalui Kantor Pertanahan
(kantah) Kabupaten/Kota sibuk sendiri dalam mengumpulkan data. Ketika desa
tidak terlibat aktif, maka Kantah tidak dapat bergerak. Sebab, arena/unit yang
memiliki data adalah desa.
Hasil dari PTSL seharusnya dapat digunakan sebagai basic layer bagi
kementerian-kementarian lainnya dalam mewujukan One Map Policy seperti
Kementerian Keuangan sebagai peta kerja pembuatan Pajak Bumi dan
Bangunan. Maka, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sesuai dengan luas (area
boundary) berbasis Kadaster sehingga sesuai dengan luas yang benar.
Keuntungan permodelan seperti ini akan memudahkan dalam penilaian,
perencanaan, pembebasan tanah, pengadaan tanah dan menjawab kesulitan
223
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
berperan aktif dalam mensukseskan program pemerintah, desa-desa yang sudah
memiliki data lengkap sebagai prasyarat tinggi/rendahnya pemberian bantuan.
Kementerian Dalam Negeri memerintahkan semua unsur pemerintahan;
provinsi, kabupaten sampai ke tingkat unit terkecil pemerintahan yakni desa
mendukung aktif terhadap kegiatan PTSL. Selayaknya seperti kegiatan sensus
penduduk, pemerintah desa merasa program tersebut adalah bagian dari
tanggung jawab mereka sehingga mereka dengan penuh tangung jawab
membantu dan mensukseskan program tersebut.
PTSL bukan hanya tugas sektoral ATR/BPN. Hendaknya menjadi tugas
semua elemen bangsa. Ironisnya, kegiatan PTSL hanya seperti ATR/BPN yang
aktif. Seringkali dijumpai ketidakaktifan RT/RW bahkan masyarakat. Maka, perlu
memposisikan pemilik tanah berperan aktif untuk melaporkan data kepemilikan
bidang tanahnya ke Desa. Sehingga pengumpulan data di Desa akan lebih
mudah dan cepat. Begitu data sudah ada data, maka akan terbentuk Bank Data
yuridis yang baik di setiap desa. Bank data yuridis berupa rekapitulasi dari
tabulasi kepemilikan bidang tanah. Desa-Desa yang terlibat dalam program
PTSL sudah menyiapkan daftar nominatif lebih awal sebagai usulan ke Kantor
Pertanahan. Maka akan diketahui dengan jelas berapa jumlah bidang tanah pada
setiap desa tersebut berdasarkan kategori K1, K2, K3 dan K4. Sehingga posisi
ATR/BPN adalah sebagai administrator untuk mengkonversi data tersebut ke
sertipikat. Sebelum melaksanakan PTSL, bank data sudah dimiliki dengan
lengkap. Hasilnya pekerjaan pendaftaran tanah dapat selesai dengan lebih
mudah.
Saat ini ATR/BPN tidak memiliki data. ATR/BPN melalui Kantor Pertanahan
(kantah) Kabupaten/Kota sibuk sendiri dalam mengumpulkan data. Ketika desa
tidak terlibat aktif, maka Kantah tidak dapat bergerak. Sebab, arena/unit yang
memiliki data adalah desa.
Hasil dari PTSL seharusnya dapat digunakan sebagai basic layer bagi
kementerian-kementarian lainnya dalam mewujukan One Map Policy seperti
Kementerian Keuangan sebagai peta kerja pembuatan Pajak Bumi dan
Bangunan. Maka, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sesuai dengan luas (area
boundary) berbasis Kadaster sehingga sesuai dengan luas yang benar.
Keuntungan permodelan seperti ini akan memudahkan dalam penilaian,
perencanaan, pembebasan tanah, pengadaan tanah dan menjawab kesulitan
satgas fisik dan satgas yuridis yang selama ini terlalu susah dalam pengambilan
data.
Gambar 7. Sinergi PTSL dalam Konsep Penta Helix
Media-media membantu diseminasi informasi, NGO bekerjasama dalam
membantu percepatan PTSL dapat merata di seluruh Indonesia dan para akademisi
dapat ikut serta dalam merumuskan inovasi-inovasi maupun sebagai kritik terhadap
perbaikan program. Bahkan di sekolah-sekolah pun perlu disampaikan sosialisasi.
Masing-masing pihak berperan dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan
kompetensinya. Untuk itu, PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai
dalam harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan khalayak
luas.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
5.1.1. Legalisasi asset berupa akses reform dalam program PTSL tidak
menambah animo masyarakat dalam keterlibatan program PTSL.
Terbukti, masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang
mendaftarkan tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh
seolah-oleh tidak peduli dengan kesuksesan Program PTSL.
Terdapat tujuan jangka panjang yang jauh ke depan dari program
PTSL ini yakni memberikan jaminan kepastian hukum dalam
pemberian hak atas tanah dalam menginventarisasi seluruh bidang-
bidang tanah di Indonesia termasuk aset-aset negara untuk
224
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development).
5.1.2. Terminologi "sistematis lengkap" belum sejalan bagi seluruh
stakeholders. Adanya perbedaan target antara target pemetaan
atau target sertipikat. Target pemetaan dalam pembangunan basis
data. Target sertipikat dalam memenuhi keinginan Presiden Jokowi
agar Program PTSL benar-benar menyentuh masyarakat.
Sedangkan yang kita ketahui bahwasanya 5 juta bidang tanah yang
sistematis dipetakan tidak semuanya dapat diterbitkan sertipikat
(Kategori K1). Sebab, masih ada hal-hal tertentu yang
menyebabkan hasil inventarisasi data tersebut masuk pada
Kategori K2,K3 dan K4.
5.1.3. Program PTSL merupakan kerja yang besar. Sinergi penta helix
menjadi kunci kerja besar semua komponen secara kolaboratif,
yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization
(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta
media dalam mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan
dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk
itu PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai dalam sebuah
harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan
khalayak luas.
5.2. Saran 5.2.1. Mengeluarkan suatu aturan agar Masyarakat/Pemilik Tanah
berkewajiban untuk melaporkan tanahnya ke Desa dalam kurun
waktu tertentu, untuk mewujudkan Bank Data Pertanahan di setiap
Kantor Desa.
5.2.2. Setiap stakeholders perlu duduk bersama untuk menyatukan
persepsi terkait target PTSL antara sistematik lengkap atau
sporadik massal dan menghasilkan kesepakatan bersama sehingga
setiap stakeholders dapat bergerak bersinergi dalam persepsi yang
sama.
5.2.3. PTSL hendaknya dirangkai dengan kebijakan yang mengatur
komponen yang lebih luas agar bersinergi dalam membantu
mensukseskan program PTSL.
225
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development).
5.1.2. Terminologi "sistematis lengkap" belum sejalan bagi seluruh
stakeholders. Adanya perbedaan target antara target pemetaan
atau target sertipikat. Target pemetaan dalam pembangunan basis
data. Target sertipikat dalam memenuhi keinginan Presiden Jokowi
agar Program PTSL benar-benar menyentuh masyarakat.
Sedangkan yang kita ketahui bahwasanya 5 juta bidang tanah yang
sistematis dipetakan tidak semuanya dapat diterbitkan sertipikat
(Kategori K1). Sebab, masih ada hal-hal tertentu yang
menyebabkan hasil inventarisasi data tersebut masuk pada
Kategori K2,K3 dan K4.
5.1.3. Program PTSL merupakan kerja yang besar. Sinergi penta helix
menjadi kunci kerja besar semua komponen secara kolaboratif,
yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization
(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta
media dalam mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan
dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk
itu PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai dalam sebuah
harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan
khalayak luas.
5.2. Saran 5.2.1. Mengeluarkan suatu aturan agar Masyarakat/Pemilik Tanah
berkewajiban untuk melaporkan tanahnya ke Desa dalam kurun
waktu tertentu, untuk mewujudkan Bank Data Pertanahan di setiap
Kantor Desa.
5.2.2. Setiap stakeholders perlu duduk bersama untuk menyatukan
persepsi terkait target PTSL antara sistematik lengkap atau
sporadik massal dan menghasilkan kesepakatan bersama sehingga
setiap stakeholders dapat bergerak bersinergi dalam persepsi yang
sama.
5.2.3. PTSL hendaknya dirangkai dengan kebijakan yang mengatur
komponen yang lebih luas agar bersinergi dalam membantu
mensukseskan program PTSL.
5.2.4. Model sosialisasi pra pelaksanaannya sudah saatnya menggunakan
sosialisasi yang modern. Mencari momentum seperti layaknya
sensus penduduk dan tax amnesty sehingga se-Indonesia dapat
merasakan PTSL sebagai Program Nasional melalui media-media
sosial. Selama ini hanya sosialisasi seperti era lama. Mengundang
beberapa tokoh warga kemudian kumpul di desa dan kemungkinan
besar banyak warga yang tidak hadir. Misalnya, “Gerakan
Pemasangan Patok Batas Bidang Tanah Nasional”. Presiden tidak
hanya membagikan sertipikat sebagai produk PTSL. tetapi juga,
mencanangkan Gerakan Nasional pemasangan patok tanda batas
bidang tanah.
DAFTAR PUSTAKA Achmad R., 2007, “Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”,
Bayumedia, Malang, hlm 1.
Candra, 2005, “Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan
di Kantor Pertanahan”, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm
3.
Djalil,Sofyan,A., “71 tahun merdeka baru 46 juta bidang tanah bersertifikat”,
diunduh dari https://www.merdeka.com/uang/menteri-71-tahun-merdeka-
baru-46-juta-bidang-tanah-bersertifikat.html pada tanggal 17 Oktober 2017
pukul 10.47.
Enemark, S., 2014. “Fit-For-Purpose Land Administration”. Joint FIG/ WORLD
BANK Publication, p.10-11, Publish By : International Federation of
Surveyor, Libris Oy, Helnsinki Findland.
Hill, A., 2015. “Research: Penta-helix stakeholder management”, diunduh dari
http://osmosnetwork.com/research-stakeholder-management/ pada tanggal
15 Oktober 2017 pukul 09.00.
Sutaryono, 2017, “Penguatan Hak Rakyat atas Tanah”, dimuat di Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 23 September 2017 hlm.12, diunduh dari
http://manajemenpertanahan.blogspot.in\. pada tanggal 17 Oktober 2017
pukul 10.00.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
226
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap.
Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-400/XII/2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Bidang Yuridis
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan. Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap
Revisi Petunjuk Teknis Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik
Lengkap Nomor : 03/JUKNIS-300/VII/2017 Tanggal : 31 JULI 2017 tentang
Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap.
Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor 590-
3167A Tahun 2017, Nomor : 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.
227
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap.
Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-400/XII/2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Bidang Yuridis
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan. Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap
Revisi Petunjuk Teknis Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik
Lengkap Nomor : 03/JUKNIS-300/VII/2017 Tanggal : 31 JULI 2017 tentang
Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap.
Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor 590-
3167A Tahun 2017, Nomor : 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.
Biodata Penulis
Nama Penulis : Reza Abdullah
Tempat dan Tanggal Lahir : Selong, 22 April 1991
Nama Instansi Asal : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Alamat Instansi Asal : Jalan Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping,
Sleman, DIY
Alamat Tempat Tinggal : Asrama Taruna Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional Jalan Titi Bumi No. 1, Banyuraden,
Gamping, Sleman, DIY
Alamat Email : [email protected]
Nomor Telepon : 081272092263 / 081907228558 (Whatsapp)
228
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
229
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULENSubtema:
Hukum dan Manajemen
230
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
2. Aswicaksana, ST., MT., M.Sc
Penyaji
1. Wahyuni, S.H., M.Eng 2. Saheriyanto, S.Pd., S.E. 3. Restu Istiningdyah 4. Fadhil Surur 5. Reza Abdullah
Moderator Andi Tenrisau, S.H., M.Hum Peserta Daftar Undangan terlampir
No Deskripsi Keterangan
SESI I 1. Moderator membuka acara Andi Tenrisau, S.H.,
M.Hum 2. Paparan Penyaji 1 : Problematika Pelaksanaan Pendaftaran
Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya 1. Jumlah penduduk hingga 2050 diperkirakan mencapi 400
juta jiwa dan memerlukan ruang yang keberadaannya cukup terbatas.
2. Pembangunan yang lestari sehingga tetap sustainable. 3. Keberpihakan dalam pembangunan mau ke arah mana? 4. Diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. 5. Manajemen pertanahan diperlukan manajemen SDM yang
baik dan Manajemen administrasi berkualitas. 6. 1961-1989 : 11 juta sertipikat dan 26 juta persil daftar
tanah. 7. 1992 : 12 juta dati 56 juta bidang. 8. Pertumbuhan jumlah bidang : 1 juta bidang pertahun
(Worldbank 1994). 20% terdaftar di Perkotaan 10% terdaftar di Perdesaan 9. Konsep Pendaftaran Tanah (Land Registration) : Menurut
UUPA dan PP 24 Tahun 1997 10. UNECE 2006 : Pendaftaran tanah merupakan bentuk
admninitrasi pertanahan. 11. PP 24 Tahun 1997 dengan obyek kepulauan seperti
Indonesia dibutuhkan cara pedaftaran yang berbeda. 12. Prinsip Fit For Purpose terdapat 3 (tiga) aspek: Spasial,
Hukum dan Konstitusial. 13. PTSL dengan Pendaftaran Tanah Sistematik: 14. Fakta: Tidak semua bidang tanah bisa didaftar. 15. Problematika: PTSL Paradigma, SDM, Kerangka Hukum,
Perencanaan, Koordinasi dan Infrastruktur. 16. Belum ada kesamaan paradigma antar sesama intern
Wahyuni, S.H., M.Eng
231
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
2. Aswicaksana, ST., MT., M.Sc
Penyaji
1. Wahyuni, S.H., M.Eng 2. Saheriyanto, S.Pd., S.E. 3. Restu Istiningdyah 4. Fadhil Surur 5. Reza Abdullah
Moderator Andi Tenrisau, S.H., M.Hum Peserta Daftar Undangan terlampir
No Deskripsi Keterangan
SESI I 1. Moderator membuka acara Andi Tenrisau, S.H.,
M.Hum 2. Paparan Penyaji 1 : Problematika Pelaksanaan Pendaftaran
Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya 1. Jumlah penduduk hingga 2050 diperkirakan mencapi 400
juta jiwa dan memerlukan ruang yang keberadaannya cukup terbatas.
2. Pembangunan yang lestari sehingga tetap sustainable. 3. Keberpihakan dalam pembangunan mau ke arah mana? 4. Diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. 5. Manajemen pertanahan diperlukan manajemen SDM yang
baik dan Manajemen administrasi berkualitas. 6. 1961-1989 : 11 juta sertipikat dan 26 juta persil daftar
tanah. 7. 1992 : 12 juta dati 56 juta bidang. 8. Pertumbuhan jumlah bidang : 1 juta bidang pertahun
(Worldbank 1994). 20% terdaftar di Perkotaan 10% terdaftar di Perdesaan 9. Konsep Pendaftaran Tanah (Land Registration) : Menurut
UUPA dan PP 24 Tahun 1997 10. UNECE 2006 : Pendaftaran tanah merupakan bentuk
admninitrasi pertanahan. 11. PP 24 Tahun 1997 dengan obyek kepulauan seperti
Indonesia dibutuhkan cara pedaftaran yang berbeda. 12. Prinsip Fit For Purpose terdapat 3 (tiga) aspek: Spasial,
Hukum dan Konstitusial. 13. PTSL dengan Pendaftaran Tanah Sistematik: 14. Fakta: Tidak semua bidang tanah bisa didaftar. 15. Problematika: PTSL Paradigma, SDM, Kerangka Hukum,
Perencanaan, Koordinasi dan Infrastruktur. 16. Belum ada kesamaan paradigma antar sesama intern
Wahyuni, S.H., M.Eng
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
pertanahan. 17. Strategi: Menggunakan data hasil IP4T. 18. Infrasturktur Keagrariaan: Strtagei dengan perimbanggan
penggunaan general boundary. 19. Koordinasi antar sektor: Kebijakan BPHTB, Surat
Keterangan Waris, SKPT, Partisipasi Aktif.
3. Moderator: Inti dari pemaparan Wahyuni, S.H. Pentingnya PTSL Konsep Pendaftaran PTSL Problematika PTSL Alternatif penyelesaian
Andi Tenrisau, S.H., M.Hum
4. Paparan Penyaji 2 : Peningkatan Akses Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah Sebagai Model Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kab. Banjar 1. Kepastian pemilikan hukum atas tanah tetapi pendaftaran
tanah masih rendah. Hal ini didasarkan atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk mensertipikatkan tanah.
2. Masyarakat juga membutuhkan modal, tetapi fakta dilapangan masyarakat belum mengetahui pentingnya sertipikat tanah termasuk didalamnya adalah untuk akses modal.
3. Di Kabupaten Banjar terdapat inovasi “Tatamu Pade” 4. Apa itu Tatamu Pade? Dalam artian bahasan Tatamu:
bertamu, Pade: Paman. 5. Dalam arti praktik : Kantor pertanahan menyediakan
kemudahan dalam pengurusan sertipikat tanah. 6. Terdapat 2 tahapan: Pra Sertipikasi dan Sertipikasi. 7. Pra Sertipikasi: Pengumpulan data yuridis, pengukuran,
permerikasaan tanah dan penerbitan surat keputusan penerbitan hak.
8. Hasil kegitan Tatamu Pade: Rentang pinjaman 5-150 juta: < 25 juta 99 orang dan > 25 juta- 150 juta: 81 orang. Jumlah pinjaman: > 6 milyar.
9. Kendala yang dihadapi: Tidak ada surat/tanda bukti pemilikan tanah (Kantah dan perangkat daerah membantu mempercepat pembuatan tanda bukti hak dan SPPT PBB), Sulit menghadirkan pemilik tanah (Kesanggupan peserta program untuk ikut bertanggungjawab),bidang lokasi masuk kawasan hutan (jangka panjang: pelepasan kawasan hutan).
10. Tatamu Pade: pendaftran tanah berorientasi pada access reform.
11. Tatamu pade meliputi 3 tahap: Pra sertipkasi, sertipikasi dan pasca sertipikasi.
Saheriyanto, S.Pd., S.E.
232
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
5. Paparan Narasumber : Dalam nawacita ke-5: Peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Dengan reforma agraria 9 juta hektar). Apa yang dilakukan: Redistribusi dan legalisai aset masing-masing 4,5 juta hektar. A. Pemetaan, Registrasi dan Sertipikasi
Langkah-langkah yang dilakukan: percepatan penyediaan peta kadasral (1:5000 dan sistem fit for purpose), Registrasti NIB, Sertipikasi (dengan kenaikan jumlah bidang setiap tahunnya), 100% tanah diluar kawasan hutan dan 50% dikawasan hutan. K 1: tidak ada masalah K 2: Belum bisa diterbitkan sertipikatkan K 3: Recode daftar tanah dimasukkan dalam wadah yang telah dksediakan. Bidang. K 4: Biadang tanah yang sudah ada tetapi tidak memiliki koordinat.
B. Reforma Agraria: Legalisasi aset: 4,5 juta bidang (Tanah transmigrasi: 0,6 juta Ha =848.860 bidang dan Legalisasi aset: 3,9 juta Ha) Grand design PTSL PTSL adalah salah satu segmen dari berbagai kegiatan pendaftaran tanah.
C. Peran pemerintah daerah menentukan sukses PTSL: 1. Membantu sosialisasi PTSL. 2. Menanjamkan prioritas penetapan desa lokasi (Lintor
dimasukkan dalam PTSL). 3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam PTSL. 4. Memfasilitasi bantuan/kemudahan dari aparatur. 5. Memberi insentif berupa pengurangan/pembebasan
BPHTB.
Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
6. Tanggapan Narasumber : Terkait paparan Wahyuni, S.H.: 1. Belum ada bagian kesimpulan dan saran. Contoh: terkait
SDM kurang, apa solusinya. Kurangnya berapa? 2. Pemahaman masyarakat kurang: apakah sosialisasi
kurang, atau seperti apa yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa mengerti dan memahami PTSL.
3. Koordinasi antar sektor: siapa dan apa yang harusnya dilakukan oleh subyek tersebut atau lembaga tersebut melakukan apa?
4. Abstrak masih umum, baru rinci setelah halaman 12. 5. Sampel di Sumatera Utara. Kenapa memilih Sumatera
Utara, apa yang menarik disini dan termasuk Kantahnya. 6. Kalimat yang kurang selesai seperti halaman 9. 7. Harus ditambahkan dengan kesimpulannya.
Aswicaksana, ST., MT., M.Sc
233
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
5. Paparan Narasumber : Dalam nawacita ke-5: Peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Dengan reforma agraria 9 juta hektar). Apa yang dilakukan: Redistribusi dan legalisai aset masing-masing 4,5 juta hektar. A. Pemetaan, Registrasi dan Sertipikasi
Langkah-langkah yang dilakukan: percepatan penyediaan peta kadasral (1:5000 dan sistem fit for purpose), Registrasti NIB, Sertipikasi (dengan kenaikan jumlah bidang setiap tahunnya), 100% tanah diluar kawasan hutan dan 50% dikawasan hutan. K 1: tidak ada masalah K 2: Belum bisa diterbitkan sertipikatkan K 3: Recode daftar tanah dimasukkan dalam wadah yang telah dksediakan. Bidang. K 4: Biadang tanah yang sudah ada tetapi tidak memiliki koordinat.
B. Reforma Agraria: Legalisasi aset: 4,5 juta bidang (Tanah transmigrasi: 0,6 juta Ha =848.860 bidang dan Legalisasi aset: 3,9 juta Ha) Grand design PTSL PTSL adalah salah satu segmen dari berbagai kegiatan pendaftaran tanah.
C. Peran pemerintah daerah menentukan sukses PTSL: 1. Membantu sosialisasi PTSL. 2. Menanjamkan prioritas penetapan desa lokasi (Lintor
dimasukkan dalam PTSL). 3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam PTSL. 4. Memfasilitasi bantuan/kemudahan dari aparatur. 5. Memberi insentif berupa pengurangan/pembebasan
BPHTB.
Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
6. Tanggapan Narasumber : Terkait paparan Wahyuni, S.H.: 1. Belum ada bagian kesimpulan dan saran. Contoh: terkait
SDM kurang, apa solusinya. Kurangnya berapa? 2. Pemahaman masyarakat kurang: apakah sosialisasi
kurang, atau seperti apa yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa mengerti dan memahami PTSL.
3. Koordinasi antar sektor: siapa dan apa yang harusnya dilakukan oleh subyek tersebut atau lembaga tersebut melakukan apa?
4. Abstrak masih umum, baru rinci setelah halaman 12. 5. Sampel di Sumatera Utara. Kenapa memilih Sumatera
Utara, apa yang menarik disini dan termasuk Kantahnya. 6. Kalimat yang kurang selesai seperti halaman 9. 7. Harus ditambahkan dengan kesimpulannya.
Aswicaksana, ST., MT., M.Sc
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
Terkait paparan Saheriyanto: 1. Menarik karena tidak berhenti di legalisasi aset tetapi
lanjut dengan access reform. 2. Adakah bisa disarankan ketempat lain dari Tatamu Pade
ketempat lain. 3. Dari sekian ribu tanah yang sudah disertipikatkan,
seberapa persen yang berhasil. 4. Data-data agar dilengkapi: sebarapa besar dan
keberhasilannya seperti apa, maksud pemdaftaran tanah dari pinggiran.
5. Access Reform: apakah cuma modal usaha dari pengembangan pensertipikatan tanah.
6. Bab II: A. Pendaftaran Tanah. B. Modal Usaha (Bagaimana menyambungkan keduanya, menjembantani agar bisa berkesinambungan).
7. Sesi Diskusi : 1. Dari penelitian dan pengayaan di Sumatera Utara: 2. Implikasi hukum dari PTSL aga bisa disebutkan
(dimunculkan). PTSL yang sudah jalan dan mengahsilkan produk agar dikaji lebih detail karena sertipikat adalh produk hukum.
3. Surat pernyataan mutlak dari pemilik agar dapat dipaki dipaling akhir. Lebih baik didorong dengan partisipasi aktif masyarakat.
4. Antisipasi: mencegah sengketa dan konflik, maka perlu didorong partisapasi aktif masyarakat. Karena Surat pernyataan tidak bisa menggantikan Kontradiktur Delimitasi.
Ketut Mangku, SH., MH
8. 1. Kendala kerangka hukum, perlu diperkuat dengan landasan hukum karena di Sumatera Utara terdapat tanah-tanah Grand Sultan.
2. PP 24/1997 dan PP 3/1997 agar bisa menjadi rujukan dalam RUU Pertanahan.
3. Kesulitan mengumpulkan bukti tanah: PP 24/1997 menyebut penguasaan tanah >20 tahun bisa dijadikan landasan.
4. Koordinasi dengan lintas sektor: Berbentuk seperti apa? Contoh di PUPR sudah memberikan bantuan sertipikasi rumah dan nantinya diberikan kemudahan (drainase, tempat sampah dll). Membentuk PSU ditempat PTSL.
5. 11,4 juta unit rumah yang menjadi kebutuhan rumah untuk dipenuhi: dari PTSL bisa masuk pada bagian ini.
Sri Maharani
234
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
9. 1. Kondisi di NTT: ada permasalahan khusus di lapangan. Awal tahaun ada pemeriksaan oleh Inspektorat menemukan ada 1 orang memiliki 10 sertipikat. Di NTT masyarakat punya banyak bidang tanah, kalau ada pembatasan PTSL tidak jalan.
2. Terkait dengan adat, bisa diberikan sertipikat sesuai dengan adat (materilinial dan patrilinial).
3. Ketidakjujuran dari masyarakat. Sebenarnya sudah disertipikat tetapi disampaikan belum sertipikat, reskonya double administrasi.
4. DI NTT tahun 2018 mulai kerjasama dengan Pemda dengan lebih kuat daripada tahun sebelumnya.
5. PTSL: Perlu dikerjasamakan dengan Bank (UKM bisa digratiskan dalam pengurusan penerbitan sertipikat).
Drs. Yulius Talok
10. 1. Untuk materi dari Wahyuni, S.H.: terkait SDM bisa didetailkan sehingga bisa nanti menjadi referensi lebih luas.
2. Untuk Saheriyanto: pengalaman dilapangan sertipikasi dilapangan dikaitkan dengan akses reform, tetapi perlu adanya penjelasan terkait dengan pembinaan.
3. Setelah masyarakat dapat modal dari bank, pengembaliannya bagaimana? Setelah meminjam bisa diberikan pembinaan pasca pinjam terkait dengan modal yang sudah didapat.
4. Terkait dengan PP 24/1997: Pendaftaran tanah esensinya: klarifikasi subyek, obyek dan alas hak. Terdapat ruang dan waktu dalam sebuah dinamika. PTSL sebaiknya PTSL Berkelanjutan karena masih terdapat PR yang belum terselesaikan (K2, K3 dan K4). Pendaftaran harus tuntas, tidak hanya terbit sertipikat tetapi harus sinkron dengan peta pendaftaran.
5. Perbaikan data: kenapa tidak boleh dalam anggaran. Padahal waktu dulu, teknologi sederahana sedangkan sekarang adalah era teknologi yang berkembang. Hasil dari kegiatan pendaftaran tanah waktu dulu (pengukuran) tidak bisa sebaik saat ini termasuk dalam hal koordinat bidang. Apabila tidak mulai maka akan semakin tertinggal, padahal produk zaman dulu ada yang tidak relevan.
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc.
11. 1. Dalam pendaftaran lengkap, apa yang lengkap? Yuridis atau fisiknya.
2. Menentukan jumlah bidang di Banjar yang bisa sukses? 3. Embrio PTSL dari RA, dari hektar menjadi bidang. Jumlah
bidang yang tidak rasional dalam targetnya. 4. Kategori PTSL: K1, K2, K3 dan K4. Padahal Presiden
menginginkan sertipikat (K1), bagaimana selanjutnya yang K2, K3, K4)
Andi Andadi, A.Ptnh., M.Si
235
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
9. 1. Kondisi di NTT: ada permasalahan khusus di lapangan. Awal tahaun ada pemeriksaan oleh Inspektorat menemukan ada 1 orang memiliki 10 sertipikat. Di NTT masyarakat punya banyak bidang tanah, kalau ada pembatasan PTSL tidak jalan.
2. Terkait dengan adat, bisa diberikan sertipikat sesuai dengan adat (materilinial dan patrilinial).
3. Ketidakjujuran dari masyarakat. Sebenarnya sudah disertipikat tetapi disampaikan belum sertipikat, reskonya double administrasi.
4. DI NTT tahun 2018 mulai kerjasama dengan Pemda dengan lebih kuat daripada tahun sebelumnya.
5. PTSL: Perlu dikerjasamakan dengan Bank (UKM bisa digratiskan dalam pengurusan penerbitan sertipikat).
Drs. Yulius Talok
10. 1. Untuk materi dari Wahyuni, S.H.: terkait SDM bisa didetailkan sehingga bisa nanti menjadi referensi lebih luas.
2. Untuk Saheriyanto: pengalaman dilapangan sertipikasi dilapangan dikaitkan dengan akses reform, tetapi perlu adanya penjelasan terkait dengan pembinaan.
3. Setelah masyarakat dapat modal dari bank, pengembaliannya bagaimana? Setelah meminjam bisa diberikan pembinaan pasca pinjam terkait dengan modal yang sudah didapat.
4. Terkait dengan PP 24/1997: Pendaftaran tanah esensinya: klarifikasi subyek, obyek dan alas hak. Terdapat ruang dan waktu dalam sebuah dinamika. PTSL sebaiknya PTSL Berkelanjutan karena masih terdapat PR yang belum terselesaikan (K2, K3 dan K4). Pendaftaran harus tuntas, tidak hanya terbit sertipikat tetapi harus sinkron dengan peta pendaftaran.
5. Perbaikan data: kenapa tidak boleh dalam anggaran. Padahal waktu dulu, teknologi sederahana sedangkan sekarang adalah era teknologi yang berkembang. Hasil dari kegiatan pendaftaran tanah waktu dulu (pengukuran) tidak bisa sebaik saat ini termasuk dalam hal koordinat bidang. Apabila tidak mulai maka akan semakin tertinggal, padahal produk zaman dulu ada yang tidak relevan.
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc.
11. 1. Dalam pendaftaran lengkap, apa yang lengkap? Yuridis atau fisiknya.
2. Menentukan jumlah bidang di Banjar yang bisa sukses? 3. Embrio PTSL dari RA, dari hektar menjadi bidang. Jumlah
bidang yang tidak rasional dalam targetnya. 4. Kategori PTSL: K1, K2, K3 dan K4. Padahal Presiden
menginginkan sertipikat (K1), bagaimana selanjutnya yang K2, K3, K4)
Andi Andadi, A.Ptnh., M.Si
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
12.
1. Kesuksesan Tata Pade (sertipikasi dan acces reform). Apakah 180 sertipikat yang mendapatkan kredit semua dari Tatamu Pade, karena dimakalah disebutkan 2.880 bidang prona didalamnya ada 180 bidang yang mendapatkan KUR, apakah semua dari tatamu pade. Seberapa besar keberhasilan Tatamu Pade dalam memberikan akses reform? Apakah nantinya bisa ditunjukkan sehingga bisa menjadi contoh bagi dari daerah lain.
Agustinus W. Sahetapy, A.Ptnh
13. Tanggapan terhadap makalah Wahyuni : Terdapat kesalahan konsep dan pemahaman tertang ukuran percepatan pendaftaran tanah yaitu “target penerbitan sertipikat”
Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.
14. Tanggapan Penyaji : 1. Menanggapi pertanyaan Pak Ketut: Di Sumatera Utara
beberapa Kantor Pertanahan memperhatikan administrasi dengan cek kebeberapa saudara subyek. Tidak hanya verifikasi berkas. Di Fakfak Barat sebagain wilayahnya kawasan hutan sehingga tahun berikutnya perlu diperhatikan lagi batas-btas yang bisa di sertipikatkan.
2. Menanggapi Bu Maharai dan Pak Andi: K1 sudah lengkap dan memasukkan aspek yuridis lengkap. Jika tidak ada yang belum lengkap dengan berbagai permasalahan dimasyarakat maka perlu diselesaikan terlebih dahulu.
3. Menanggapi Pak Yulius Talok: SDM juru ukur sudah ada solusi dan sambil berjalan dicukupkan. Infrastruktur peta yang sudah dimiliki, bisa menjadi data awal. Setiap kantor punya IP4T bisa jadi obyek PTSL dengan ploting dilapangan.
Wahyuni, S.H., M.Eng
15. Tanggapan Penyaji : 1. Menanggapi Pak Agus dan Pak Andi: Kepala Kantor
koordinasi dengan Kasi terkait (Infastruktur dan Hubungan Hukum). Tidak menyeleksi masyarakat yang memiliki usaha produktif tetapi langsung diberikan kemudahan dalam pengurusannya sehingga akan cepat diperoleh modal usaha.
2. Kantor Pertanahan: perannya pada fasilitasi. 3. Menaggapi Pak Ketut: Surat pernyataan mutlak adalah
alternatif terakhir dan kami hati-hati dalam mengelola data ini.
4. Menanggapi Bu Maharani : akan kami sampaikan keatasan kami untk nanti bisa ditindaklanjuti dengan kerjasama dengan PUPR.
5. Menanggapi Pak Yulius : persoalan SDM sama dengan ditempat kami.
6. Menanggapi Prof. Budi : Sebagai sukses story untuk memberikan kesenangan bagi masyarakat (stimulan bgai masyarakat lain)
Saheriyanto, S.Pd., S.E.
236
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
SESI II
16. Pemaparan Penyaji 3 : Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap 1. Presiden menekanankan pada penyelesaian Pendaftaran
Tanah di Indonesia. 2. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan masih ada yang
belum sesuai dengan kaidah yang berlaku selama kegiatan 4 bulan praktik kerja lapangan.
3. Pengumpulan data fisik dan Yuridis beserta pengelompokan sesuai dengan kelengkapan data yang ada.
Permasalahan: 1. Jarak lokasi yang jauh. 2. Pengumpulan data yuridis selama 5 hari yang terlalu cepat
jika dibandingkan jarak dan proses pelaksanaan pengumpulan data.
3. Startegi PTSL di Kabupaten Pasuruan: 4. 1 tim ajudikasi: 2-3 lokasi desa/kelurahan, menjalin
kerjasama dengan beberapa instasi daerah dan instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Temuan lapangan: 1. Kegiatan difokuskan pada K1. 2. Desa belum siapnya masyarakat terkait dengan
kontradiktur delimitasi 3. Gambar ukur belum dicetak 4. Alas Hak seperti Letter C yang belum ada 5. Ketidaklengkapan Gambar Ukur seperti tanda tangan
pemilik tanah, Kepala Desa. Kesimpulan: 1. Jika sesuai dengan aturan, PTSL adalah solusi terkait
pendaftaran tanah tetapi seandainya belum lengkap persyaratannya bisa menjadi boom waktu (permasalahan) dikemudian hari.
2. Pemberdayaan masyarakat penerima PTSL, pelibatan pihak ketiga dalam pengukuran, tunduk pada aturan berlaku.
Restu Istiningdyah
17. Pemaparan Penyaji 4 : Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kab. Sidenreng Rappang 1. Penurunan produkstivitas pertanian di Kabupaten
Sidenreng Rapang (Sidrap). 2. Kabupaten Sidrap ditetapkan sebagai salah satu lumpung
padi. RTRW: Pendaftaran tanah ini sudah sejalan dengan PTSL.
a. Analisis faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian
b. Dampak PTSL pada kondisi sosial ekonomi petani
Fadhil Surur
237
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
SESI II
16. Pemaparan Penyaji 3 : Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap 1. Presiden menekanankan pada penyelesaian Pendaftaran
Tanah di Indonesia. 2. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan masih ada yang
belum sesuai dengan kaidah yang berlaku selama kegiatan 4 bulan praktik kerja lapangan.
3. Pengumpulan data fisik dan Yuridis beserta pengelompokan sesuai dengan kelengkapan data yang ada.
Permasalahan: 1. Jarak lokasi yang jauh. 2. Pengumpulan data yuridis selama 5 hari yang terlalu cepat
jika dibandingkan jarak dan proses pelaksanaan pengumpulan data.
3. Startegi PTSL di Kabupaten Pasuruan: 4. 1 tim ajudikasi: 2-3 lokasi desa/kelurahan, menjalin
kerjasama dengan beberapa instasi daerah dan instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Temuan lapangan: 1. Kegiatan difokuskan pada K1. 2. Desa belum siapnya masyarakat terkait dengan
kontradiktur delimitasi 3. Gambar ukur belum dicetak 4. Alas Hak seperti Letter C yang belum ada 5. Ketidaklengkapan Gambar Ukur seperti tanda tangan
pemilik tanah, Kepala Desa. Kesimpulan: 1. Jika sesuai dengan aturan, PTSL adalah solusi terkait
pendaftaran tanah tetapi seandainya belum lengkap persyaratannya bisa menjadi boom waktu (permasalahan) dikemudian hari.
2. Pemberdayaan masyarakat penerima PTSL, pelibatan pihak ketiga dalam pengukuran, tunduk pada aturan berlaku.
Restu Istiningdyah
17. Pemaparan Penyaji 4 : Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kab. Sidenreng Rappang 1. Penurunan produkstivitas pertanian di Kabupaten
Sidenreng Rapang (Sidrap). 2. Kabupaten Sidrap ditetapkan sebagai salah satu lumpung
padi. RTRW: Pendaftaran tanah ini sudah sejalan dengan PTSL.
a. Analisis faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian
b. Dampak PTSL pada kondisi sosial ekonomi petani
Fadhil Surur
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
c. Rekomendasi dari rumusan/temuan. Luas desa Lanciran: 6,5 km2. 42,63% umur responden 41-50 tahun. Luas pemelikan tanah rata-rata: >2.000 m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan:
a. Rasa aman (dominan) b. Akses kredit (dominan) c. Kemudahan menjual (dominan) d. Harga tanah (dominan) e. Konflik
Arahan/rekomendasi: a. Penambahan SDM b. Membangun database c. Oprimalasi sumber daya yang ada d. Meningkatkan fungsi kontrol
18. Pemaparan Penyaji 5 : Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multi Pihak (Penta Helix)
1. Ranking kemudahan bisnis di Indonesia (Oktober: 118, November: 106).
2. 33% (31Oktober 2017) dari target 2017. Mengindikasikan terdapat belum optimalnya dari kegiatan ini.
3. Masyarakat belum banyak yang mengerti tentang PTSL. 4. Sertipikat bisa dijadikan modal. Keinginan untuk sertipikat
belum kuat, karena masih belum memahami arti penting legalisasi aset.
5. Masyarakat memhami kegiatan sertipikasi dari program pemetintah, Gratis tapi berbiaya murah. Ada pungutan (tarikan) dimasayraakt terkadang mencederai arti program ini. Ada curiga terhadap penggunaan pungutan.
6. Bagaimana mempermudah mempercepat PTSL ini? a. Gerakan pemasangan Patok Nasional b. Komitmen stakeholder c. Memasukkan masyarakat (peran) dalam kegiatan ini
(dari Triple Helix menjadi Penta Helix) d. Pemerintah, Akademisi, Media, NGO, dan masyarakat
terlibat aktif didalmnya.
Reza Abdullah
238
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
19. Tanggapan Narasumber : 1. Harapan pada penyaji Fadhil: dari lokasi yang diteliti
diharapkan adanya pendaftaran tanah bisa menjadi salah satu pengendali alih fungsi tanah pertanahan.
2. Perspektif diluar ATR/BPN: Terkunci pada aktivitas birokrasi, justru masyarakat menganggap sebagai wadah/fasilitas ekonomi pasar: Land and economic market.
3. Di ATR/BPN masih berkutat penuh pada land administration, seharusnya sudah diikuti dengan pengembangan paca registrasi tanah.
4. Terhadap penyaji dari Taruna dan Taruni STPN: Ketika mempermasalahakan suatau masalah, tidaka akan mendapatkan apa-apa. Tetapi metodenya perlu merubah dengan sumbangsih pemikiran. Dari Taruna dan Taruna STPN memberikan sumbangsih terhadap wawasan baru yang merubah pandangan pegawai ATR/BPN (rutinitas).
5. Kantor Pertanahan agar menyampaikan realitas data sesuai dengan urutan sebenarnya. Seandainya tidak sesuai riilnya, jangan menyiasatinya karena data selalu dipantau oleh pemimpin dipusat termasuk pemimpin negara.
6. Sosialisasi: media sosial yang bicara PTSL tetapi tidak menyampaikan PTSL secara benar dan sesuai dengan harapan untuk media sosialisasi.
7. Penta Helix: Tahun 2017 merupakan pilot project, tetapi sertipikat bukanlah coba-coba. Harus memenuhi kaidah dan aturan yang sesuai. Beberapa ide-ide yang genuine bisa kita adopsi dan menjadi model.
8. PTSL sebenarnya bukan pekerjaan baru, tetapi sama dengan Pendaftaran Tanah sesuai PP 24/1997. Hanya model kemasan penyelesaiannya berbeda.
9. Tidak boleh dibiarkan begitu saja tentang pemahaman bahwa ATR/BPN hanya produksi sertipikat. Harus lebih dari itu dengan peningkatan ekonomi masyarakat/pemberdayaan.
Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
239
ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
19. Tanggapan Narasumber : 1. Harapan pada penyaji Fadhil: dari lokasi yang diteliti
diharapkan adanya pendaftaran tanah bisa menjadi salah satu pengendali alih fungsi tanah pertanahan.
2. Perspektif diluar ATR/BPN: Terkunci pada aktivitas birokrasi, justru masyarakat menganggap sebagai wadah/fasilitas ekonomi pasar: Land and economic market.
3. Di ATR/BPN masih berkutat penuh pada land administration, seharusnya sudah diikuti dengan pengembangan paca registrasi tanah.
4. Terhadap penyaji dari Taruna dan Taruni STPN: Ketika mempermasalahakan suatau masalah, tidaka akan mendapatkan apa-apa. Tetapi metodenya perlu merubah dengan sumbangsih pemikiran. Dari Taruna dan Taruna STPN memberikan sumbangsih terhadap wawasan baru yang merubah pandangan pegawai ATR/BPN (rutinitas).
5. Kantor Pertanahan agar menyampaikan realitas data sesuai dengan urutan sebenarnya. Seandainya tidak sesuai riilnya, jangan menyiasatinya karena data selalu dipantau oleh pemimpin dipusat termasuk pemimpin negara.
6. Sosialisasi: media sosial yang bicara PTSL tetapi tidak menyampaikan PTSL secara benar dan sesuai dengan harapan untuk media sosialisasi.
7. Penta Helix: Tahun 2017 merupakan pilot project, tetapi sertipikat bukanlah coba-coba. Harus memenuhi kaidah dan aturan yang sesuai. Beberapa ide-ide yang genuine bisa kita adopsi dan menjadi model.
8. PTSL sebenarnya bukan pekerjaan baru, tetapi sama dengan Pendaftaran Tanah sesuai PP 24/1997. Hanya model kemasan penyelesaiannya berbeda.
9. Tidak boleh dibiarkan begitu saja tentang pemahaman bahwa ATR/BPN hanya produksi sertipikat. Harus lebih dari itu dengan peningkatan ekonomi masyarakat/pemberdayaan.
Drs. Pelopor, M.Eng. Sc
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
20. Tanggapan Narasumber : 1. Terhadap Restu: Langsung dijudulnya disebutkan
Kabupaten Pasuruan. 2. Kekurangan alat, maka sebut kekurangan berapa. 3. Hal 9 menyebut TORA, apakah perlu disebutkan di
makalah ini. 4. Kesimpulan dan saran agar menekankan pada studi itu. 5. Terhadap Fadhil: rekomendasi lebih didetailkan lagi
sehingga bisa sesuai dengan keinginan penulis. 6. Temuan ini bisa lanjutkan pada penelitian berikutnya.
Berikutnya harus melakukan apa? 7. Terhadap Reza: Detailnya harus seperti apa, khususnya
stakeholder (5 subyek) ini harus seperti apa? Leadernya apa, keterkaitan dengan lembaga apa saja dan tugas masing-masing.
8. Animo masyarakat rendah dalam sertipikasi: Misalnya ada insentif atau punishment.
9. PTSL dirangkai dalam komponen lebih luas? Apa saja yang harus dirangkai komponen-komponennya.
Aswicaksana, ST., MT., M.Sc
21. Sesi Diskusi : 1. ATR/BPN tidak bekerja sendiri. Harus bekerjasama dengan
Kementerian Dalam Negeri dengan payung hukum. 2. Sumber data valid berada di RT, ditarik ke desa (data
subyek, obyek, hubungan hukum/bukti pemillikan/bukti penguasaan).
3. Tidak ada payung hukum bagi lurah dalam sosialisasi.
Darsono, A.Ptnh
22. 1. PTSL merupakan hutang bagi kita dalam menyelesaikan pendaftaran tanah. Tidak terselesaikan maka akan menjadi Boom waktu.
2. Upaya (setengah mewajibkan) jika tidak mensertipikatkan ada resikonya (reward dan punishment). Seperti gerakan Tax Amnesty yang telah berjalan, meskipun tidak berhasil 100% tetapi semangatnya bisa kita contoh.
Nugraha, SH
23. 1. Terhadap Restu : Karya ilmiah harus disesuaikan dengan kaidah. Kesimpulannya jika PTSL tidak sesuai dengan kaidah, maka perlu menggunakan metode penelitian hukum empirik.
2. DIM: kesesuaian antara aturan dari ATR/BPN dengan pelaksanaannya dilapangan. DIM bisa menjadi bahan masukan menteri.
3. Sosialisasi/iklan pada jam/waktu prime time. 4. SKB ditindaklanjuti dengan juklak dan juknis sesuai
dengan dirjen terkait. 5. Terhadap Pak Fadhil: PUPR berkontribusi terhadap tanah
pertanian (irigasi) dan perumahan. Sertipikat sangat membantu masyarakat dalam mempertahankan tanah pertanian.
Sri Maharani
1. Tanggapan terhadap makalah Fadhil Surur : Metode dan analisis statistik yang digunakan secara fundamaental
Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.
240
Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
NOTULEN
Pusat Penelitian &
Pengembangan FORUM ILMIAH
“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”
SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN
tidak dapat diyakini kesahihannya. Perlu perbaikan yang fundamental.
2. Untuk Analisis Linear Berganda : terdapat kesalahan pengertian independent dan dependent variabel.
3. Tanggapan terhadap makalah Reza Abdullah : NGO tdk sama dengan pelaku bisnis, dan KJSKB tidak sama dengan NGO.
24. Tanggapan penyaji: Terima kasih atas masukkannya untuk penyempuranaan penulisan.
Restu Istiningdyah
25. Terhadap PTSL di Desa Lanciran masih belum genap setahun, sehingga perlu analisis lebih lanjut mengenai dampaknya pada tahun-tahun berikutnya. Terima kasih atas koreksi dan metodenya
Fadhil Surur
26. Banyak masukan yang diberikan oleh narasumber dan peserta sehingga dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan. Terkait dengan SKB tiga menteri agar bisa diikuti dengan pembiayaan sehingga masyarakat benar-benar gratis merasakannya.
Reza Abdullah
Jakarta, 21 November 2017
Notulis
Peneliti Muda/Koordinator
INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).
DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL2017
Pen
daftar
an Tan
ah Sistem
atis Leng
kap d
alam
ran
gk
a M
od
ern
isasi Ad
min
istrasi P
ertan
ahan
di In
do
nesia
prosidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia
Hotel Century Park Jakarta21 November 2017
ISBN 978-979-1069-64-9
9 789791 069649ISBN 978-979-1069-65-6
9 789791 069656