50
PSEUDO EDUCATION PSEUDO-EDUCATION DALAM SEHARI-HARI 1. Memahami dimensi manusia dan potensinya. A. SIIFAT HAKIKAT MANUSIA Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi.Hal ini menjadi kaharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan.Sedangkan landasamn dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif.Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang diri hakiki manusia.Bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sabagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat manusia. I. Pengertian Sifat Hakikat Manusia Sifat hakikat menusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara principal (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dillihat dari segi biologisnya.

Pseudo Education

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pseudo Education

Citation preview

Page 1: Pseudo Education

PSEUDO EDUCATION

PSEUDO-EDUCATION DALAM SEHARI-HARI

1. Memahami dimensi manusia dan potensinya.

A. SIIFAT HAKIKAT MANUSIA

Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat

antropologi.Hal ini menjadi kaharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal

praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan.Sedangkan landasamn dan

tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif.Bersifat filosofis karena untuk

mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar,

sistematis, dan universal tentang diri hakiki manusia.Bersifat normative karena

pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia

tersebut sabagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian

selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat

manusia.

I. Pengertian Sifat Hakikat Manusia

Sifat hakikat menusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara principal

(jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.Meskipun antara manusia

dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dillihat dari segi biologisnya.

Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan

tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan

segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia.Bahkan beberapa filosof

seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat),

Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit)

(Drikarkara, 1992:138) yang selalu gelisah dan bermasalah.

Kenyataan dan pernyataan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira

bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang

dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya dengan air

karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah – olah dengan kemahiran

rekayasa pendidikan orang hutan dapat dijadikan manusia.Upaya menusia untuk

Page 2: Pseudo Education

mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah

ditemukan.Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan

bahwa manusia berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang

dianggap menyembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak sanggup

diungkapkan yang disebut The Missing Link yaitu suatu mata rantai yang putus. Jelasnya

tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk

ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi.

II. Wujud Sifat Hakikat Manusia

Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki

oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi

masukan dalam konsep pendidikan, yaitu:

a. kemampuan menyadari diri;

b. kemampuan bereksistansi;

c. pemilikan kata hati;

d. moral;

e. kemampuan bertanggung jawab;

f. rasa kebebasan (kemrdekaan);

g. kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak;

h. kemampuan menghayati kebahagiaan.

a. kemampuan menyadari diri;

Kaum rasionalisme menunjuk kunci perbedaan menusia dengan hewan pada adnya

kemampuan menyadari drii yang dimilki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan

menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya

(akunya) memiliki cir khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapt

membedakan drinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku

(lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu

manusia dapat membuat jarka (distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi

maupun nonpribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun

pohon, batu, cuaca, dan sebagainya merupakan lingkangan nonpribadi.

Page 3: Pseudo Education

Kemampuan membuat jarka dengan lingkungannya berarah ganda yaitu arah keluar

dan arah kedalam.

Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek dan

aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.Puncak aktivitas

yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme.Dengan arah ke dalam,

aku memberi status keapada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka) sebagai subjek

yang berhadapan dengan aku sbagai objek, yang isinya adalh pengabdian, pengorbanan,

tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan

menempatkan sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan

dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar

merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti

pembinaan aspek individualitas manusia.

Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat

jarak (distansi) diri akunya sendiri.Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa,

yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk

menyempurnakan diri.Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai

subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek.Untuk melihat kelebihan-

kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya.Pada

saat demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subjek dan sekaligus sebagai

objek), suatuaktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan.Bukankah pada suatu ketika

manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau pendidik atas dirinya, sebagai

pesakitan, terdakwa atau si terdidik. Lazim dikatakan bahwa peran yang paling besar

ialah menghadapi musuh yang ada did lam diri sendiri. Inilah manifestasi dari puncak

kakrakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Drijarkar

(Drijarkara: 138) menyebut kamampuan tersbeut dengan istilah “meng-Aku” yaitu

kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-

potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingan aku dapat

berkembang kearah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi

pedagogis, yaitu keharusan pendidikan utnutk menumbuhkembangkan kemampuan

meng-aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh

Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatia.

Page 4: Pseudo Education

b. kemampuan bereksistansi

Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan objek,

lalu melihat objek itu sebagai sesuatu.Berarti manusia itu dapat menembus atau

menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya.Kemampuan

menerobos itu bukan saja dalam kaitanya soal ruang, melainkan juga dengan waktu.

Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini(disini) dan

waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke”sana” dan ke ”masa depan” ataupun “masa

lampau”.kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan

bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka

pada manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-

ada” seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” dimuka bumi

(drijarkara,192:61-63). Jika seandinya pada diri manusia ini tidak terdapat kebebasan,

maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya hanya sekedar

“ber-ada “ dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan

bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human darihewan

selaku makhluk infrahuman, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan

manusia menjadi manager terhadap lingkungannya .

Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar

belajar dari pengalamanya, belajar mengantisiasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar

melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kretif

sejak dari masa kanak-kanak.

c. Kata hati (Conscience of man)

Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hait nurani,

lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “ pengertian yang ikut

serta” atau “pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang

menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan

mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia.

Page 5: Pseudo Education

Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata hati itu

adalah kemampuan pada diri manusia yang member penerangan tentang baik buruknya

perbuatannya sebagai manusia.

Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil

keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dlam

mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut

kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.Jadi, criteria

baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi

manusia sebagai manusia.Drijarkara menyebutnya dengan baik yang integral.Sering

dalam mengambil keputusan orang mengalamikesulitan terutama jika harus mengambil

keputusan antara yang baik dengan yang kurang baik, atau antara yang buruk dengan yan

glebih buruk. Sulitnya, karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan, untuk dapat

memilih alternatif mana yang terbaik harus berhadapan dengan kriteria serta kemampuan

analisis yang peru didukung oleh kecerdasan akal budi.

Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan

mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai

manusia disebut tajam kata hatinya.

Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan

tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam

kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati nerupakan “petunjuk bagi

moral/perbuatan”.Usha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang

tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).Realisasinya dapat ditempuh

dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.Tujuannya agar orang memiliki

keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.

d. Moral

Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka

yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalh perbuatan itu sendiri.

Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral.Artinya

seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya

merupakan realisasi dari kata hatinya itu.Untuk memjembatani jarak yang mengantarai

Page 6: Pseudo Education

keduannya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemampuan.Bukankah banyak orang

yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian

berbuat).Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan

kemauan, yang oleh M.J. Langeveld dinamakan De opvoedeling omizichzelfs wil.Tentu

saja yang dimaksud adalah kemauan yang sesuaidengan tuntutan kodrat manusia.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati

yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral

yang baik atau moral yang tinggi (luhur).Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan

kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut

moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral.

Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai tinggi,

serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.

Etika biasanya dibedakan dari etiket.Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan

yang baik/benar ataukah yang salah, yang berparikemanusiaan atau yang jahat, maka

etiket hanya dengan soal sopan santun.Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata

hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erayt dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya

moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.

e. Tanggung jawab

Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan manuntut jawab,

merupakan pertanda dari sifat orangyang bertanggungjawab.Wujud bertanggungjawab

bermacam-macam.Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada

masyarakat, dan tanggung jawab kepada tuhan.Tanggung jawab terhadap diri sendiri

berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang

mendalam.Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-

norma sosial.Bentuk tuntutanya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan

masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain.Bertanggung jawab kepada tuhan berarti

menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk.

Di sini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung

jawab.Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan

kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.

Page 7: Pseudo Education

Eratnya hubungan antara ketiganya itu juga terlihat dalam hal bahwa kadar

kesediaan bertanggung jawab itu tinggi apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang

dimaksud kata hati yang tajam). Itulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena

paksaan (bertentangan dengan kata hati) sering tidak bersedia untuk memikul tanggung

jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukanya.

Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk

menentukan bahwa sesuatu perbuatansesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa

hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan

(oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh

kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan

moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

f. Rasa Kebebasan

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan

tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatanya saling

bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “ssuai dengan tuntutan kodrat mausia “ yang berarti

ada ikatan.

Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam

keterikatan.Artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan kodrat

manusia. Orang hanya mungkinmes=rasakan sdanya kebebasamn batin apabila ikatan-

ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatanya.

Dengan kata lain, ikatamn luar(yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam

(yang menggerakkan). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama

dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan

petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu.Sebab hanyan

kelihatanya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu

segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Dengan kata lain kebebasan dimikian itu segera

akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang

kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuhn (perbuatan

bebas tanpa ikatan) biasanya berupayamati-matian menyembu nyikan diri (rasa tidak

merdeka).Disini terlihat bbahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.

Page 8: Pseudo Education

Seseorang mengalami rasa medeka apabila segenap perbuatanya (moralnya) sesuai

dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya------yaitu kata hati yang sesuai dengan

tuntutan kodrat manusia,------karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk

dipertanggung jawabkan dan tidak akan sedikitpun menimbulkan kekhawatiran (rasa

ketidakmerdekaan) implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu

mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-

aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-

aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuat yang merintangi gerak hidupnya.

g. Kewajiban dan Hak

kewajiban dan hak adalah dua macan gejala yang timbul sebagai manifestasi dari

manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak

ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka

tentu ada pihaklain yang berkewajiiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pda saat itu

belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang masih

kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang

mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum).Dan meskipun sudah

diketahui atau tidak, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti

tahunan).Namun terlepas dari persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan

atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia

memenuhinya.

Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak di asosiasikan dengan sesuatu yang

menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban.Benarkah

kewajiban menjadi beban manusia? Ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaan

(drijarkara,1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau

dipandang sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab

jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusianya (yaitu sebagai

kenyataan makhluk social). Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan

kewajiban, nilai, dan martabat kemanusiaanya semakin tinggi di mata masyarakat.

Dengan kata lain, melaksanakan “kewajiban” itu adalah suatu keluhuran. Alangkah

luhurnya seorang guru yang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya guru yang

Page 9: Pseudo Education

melaksanakan kewajiban sebaiik-baiknya sebagai guru (tanpa pamrih). Seorang prajurit

yang melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya di medan perang adalah suatu

perbuatan luhur. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas

lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji,

melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dan sejenisnya.

Melaksankan kewjiban berarti terikat kepada kewjiban, tetapi anehnya—yang

sesungguhnya bukan keanehan – manusia memilihnya, mengapa?Sebabnya adalah bukan

karena melaksankan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia.Atau merasa

baru manusia bila menaati kewajiban.Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau

merdeka.

Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena

wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak

merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya.Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri

menusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Is merdeka untuk memilihnya dengan

konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar

akan merosot martabatnya sebagai manusia.

Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relative,

disesuaikan dengan situasi dan kondisi.Sebab tak ada kewajiban untuk melaksanakan hal

yang mustahil (yang berada di luar sikon dan kemampuan). Kita sama mengetahui,

misalnya bagaimana realisasi hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar di

negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Jadi, meskipun setiap

wargapunya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang

tersedia belum memadai maka orang harus menerima keadaan realisasinya sesuai dengan

sikon.Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insane serta sesuai dengan tuntutan

kodrat manusia disebut hak asasi manusia.

Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan.

Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadila terwujud bila hak sejalan

dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh

situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap

kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai

Page 10: Pseudo Education

cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapa-harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada

segenap usaha menciptakan keadilan.

Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan

sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa

wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan

disiplin.

Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggung

jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih balita adalah

keliru.Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai

ditumbuhkembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam keranjang ayunan,

melalui latihan kebiasaan (habit forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya

bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam kehidupan. Disiplin diri mernurut Selo

Soemardjan (wawancara TVRI, Desember 1990) meliputi empat aspek, yaitu:

a. Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah.

b. Disiplin social, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.

c. Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah.

d. Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa.

Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan

disiplin agama titik tumpu.

h. kemampuan menghayati kebahagiaan

Kebahagiaan adalah suatu istilahyang lahir dari kehidupan manusia.Penghayatan

hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi

tidak sulit untuk dirasakan.Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah menngalami

rasa bahagia.Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami

serta memuaska semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah missal tentang

sebutan: senang, gembira, bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu.

Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa

senang atau gembira itulah sedang mengalaami kebahagiaan.

Page 11: Pseudo Education

Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari

kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanent daripada perasaan senang yang

sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integarsi atau

rentetan dari sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat

bahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-

pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebuh dari itu, merupakan integrasi dari

segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-

pangalaman oahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang

menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang

disebut “bahagia”.

Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karena kebahagiaan itu lebih

dapat dirasakan daripada dipikirkan.Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa

lebih berperan daripada aspek nalar.Oleh karena itu dikatan bahwa kebahagiaan itu

sifatnya irasional. Padahal kebahagiaan karena aspek-aspek kepribadiaan yang lain

seperti akal pikiran juga ikut berperan.

Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti

tentang suatu yang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagia itu? Juga orang yang sedang

terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati

kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung

oleh aspek nalar di samping aspek rasa.

Kepelikan lain lagi yang mungkin timbul ialah apabila kebahagiaan itu dipandang

sebagai suatu kondia atau keadaan (yaitu kondisi emosi yang positif) di samping sebagai

suatu proses. Di muka telah dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu integrasi

pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara perasaan dan

penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan hasilnya,

sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.

Rangkaian kejadian yang di dalamnya tercemin kebahagiaan, misalnya seseorang

yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik, karena

mencapai IPK:3.8 (kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar satahun

(penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang sangat

menggemmbirakan (kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapatkan kecelakaan

Page 12: Pseudo Education

(penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjdikan mukanya rusak

matanya buta (azab).

Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang

kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaanya sendiri

secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada

rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada

kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-

hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan

takdir.

Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus- menerus untuk

mengatasi masalah hidup.Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas hidup.Karena

itu masalah hidup harus dihadapi.Masalah hidup adalah sesuatu yang realitas, objektif,

bukan sesuatu yang dibuat-buat.Orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah

kepada objektivitas (Drijarkara).Kebahagiaan juga sesuatu yang realitis buakn dibuat-

buat. Orang yang menderita tidak dapat mengatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia,

atau menunjukkan sikap atau lagak seolah-olah bahagia.

Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu pada norma-norma/ kaidah-

kaidah.Kebaagiaan adalah hidup yang tenteram.Hidup tenteram terlaksana dalam hidup

tanpa ada tekanan.Itulah hidup merdeka.Di muka sudah dijelaskan bahwa merdeka dalam

arti yang sebenarnya, bukan merdeka dalam arti bebas liar tanpa kendali yang justru

mengundang keonaran dan akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang akan hanya merasa

merdeka dalam arti yang sebenarnya bila tidak merasakan adanya belenggu ikatan-ikatan,

paksaan-paksan dari aturan-aturan (norma-norma), yakni apabila ia telah menyatukan diri

dengan norma-norma kehidupan sehingga kehidupannya dan segenap sepak terjangnya

merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai dengan

penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup).Dilihat dari segi ini tampak

pula bahwa kebahagiaan bersifat individual karena derajat kebahagiaan sangat tergantung

kepada orang seorang.Kebahagiaan juga mengandung sisi social, karena norma-norma /

kaidah kaidah hidup selalu bersifat social.

Kemudian takdir-takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses

terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat berralian dengan komponen usaha.

Page 13: Pseudo Education

Pepatah yang menyatakan “Manusia berusaha, Tuhan menyudahi”, harus diartikan

bahwa istilah takdir baru boleh disebut sesudah orang melakasanakan usaha samapi batas

kemampuan, kemudian hasilnya – sepadan atau tidak dengan yang diinginkan – diterima

dengan pasrah serta penuh kesyukuran. Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka

yang mampu bersyukur.Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan

peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu :kemampuan berusahadan

kemampuan menghayati hasil uasah dalam kaintanya dengan takdir.Dengan demikian

pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapaikebahagiaan,

utamanya pendidikan keagamaan.

Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat,

lingkungannya, dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan sinyalemen

heinemannbahwa abad 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang

dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis

energi, dan sebagainya, melinkan yang krisis adalah menusianya sendiri (Beerling,

1951:43).

Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat,

dengan lingkungan, dnegan dirinya sendiri, dan denganThuannya. Tidak ada pengenalan

dan pemahaman yang saksama terhadap dengan apa atau siapa ia berhubungan. Tidak ada

kemesraan hubungan dengan apa atau siapa ia berhubungan. Inilah bencana yang

melanda manusia sehingga manusia semakin jauh dari kebahagiaan.Kebahagiaan hanya

dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai makhluk

yang memiliki kondisi serba terhubungdan dnegan memahami kelebihan dan

kekurangan-kekurangan diri sendiri.Kelebihannya alam menusia dapat memanfaatkannya

(mngeksplorasi) sembari peduli terhadap pelestarian dan pengembangannya.Terhadap

Tuhan manusia harus memahami ajaran-Nya serta mengamalkannya.

Dalam hungan ini, pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk

menghantar peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan membantu mereka

meningkatkan kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.

Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap

keadaan dan kemampuannya. Manusia menhayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih

Page 14: Pseudo Education

dan stabil, jujur, bertanggung jawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup

dan keyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang

realities, demikian pandangan Max Scheler (Drijarkara, 1978:137-140).

Di samping itu, kepribadiaan harus serasi dan berimbang.Antara segenap aspek

kepribadian terdapat peirmbangan yang selaras.Begitu juga antara kemampuan rohani

dan jasmani, antara cipta, rasa, dan karsa, antara cita-cita dengan kemampuan

mencapainya, antara kemampuan berikhtiar dengan kesediaan menerima hasilnya.Jiwa

yang bersih stabil suasana hidup penuh kedamaian.Pendidikan dapat dimanipulasikan

untuk membina terbentuknya kepribadian yang demikian.

B. DIMENSI-DIMENSI HAKIKAT MANUSIA serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya

Pada butir A telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat

tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau dititik dari sisi lain. Ada 4 macam

dimensi yang akan dibahas, yaitu:

1. Dimensi Keindividualan

2. Dimensi Kesosialan

3. Dimensi Kesusilaan

4. Dimensi Keberagaman

1. Dimensi Keindividualan

Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan

suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan

sebagai pribadi.(Lysen, individu dan Masyarakat:4). Setiap anak manusia yang dilahirkan

telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbedan dari yang lain, atau menjadi (seperti)

dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi.Demikian kata M.J.

Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri Belanda) yang mengatakan

bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J. langeveld, 1955:54). Bahkan dua anak

kembar yang berasal dari satu telur pun yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua,

serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi

Page 15: Pseudo Education

identic. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya

(kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan

bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan

mengenai matanya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya sama, etapi

kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya individualitas

itu penting setiap orang memiliki kehendak, perasaan cita-cita, kecenderungan, semangat,

dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua orang murid sekelas yang

mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain. Pendek

kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri.Gambaran tersebut

telah ditemukan oleh Francis Galton seorang ahli biologi dan matematika inggris, dari

hasil penelitiannya terhadap banyak pasangan kembar satu telur.Ternyata tidak sepasan

pun yang identik.

Kecenderungan akan perbadaan ini sudah mulai tumbuh sejak seorang anak

menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan

bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri yang dipertanggungjawabkan

sendiri, tanpa mengharapkan bantuan orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkan.

Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat

esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. M.j. langeveld menyatakan bahwa

setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain

pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang

dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan. Sifat-

sifat sebagaimana digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir

perlu ditumbuhkembangkan melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat

berharga itu yang memungkinkan terbenutknya suatu kepribadian unik akan tetap tinggal

laten. Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya

sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadiaan yang khas sebagai miliknya. Jika

terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribaidan yang otonom dan orang

seperti ini tidak akan memiliki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa. Padahal

fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk

kepribadiannya, atau menemukan kediriannya sendiri.Pola pendidikan yang bersifat

demokratis dipandang sosok untuk mendorong bertumbuhnya dan berkembangnya

Page 16: Pseudo Education

potensi individualitasnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud.Pola pendidikan

yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam

hubungan ini disebut pendidikan yang petalogis.Dalam pengembangan individualitas

melalui pendidikan tidak dibenarkan jika pendidik memaksakan keinginannya kepada

subjek didik. Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik

bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman

pada prinsip ing ngarso sungtulodo, ing madya mengun karso, tut wuri handayani.

2. Dimensi Kesosialan

Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld

(M.J. Langeveld,1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai

benih kemungkinan untuk bergaul.Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang

pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima itu

dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.Adanya dorongan untuk menerima dan

memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi.Seorang bayi sudah dapat

menyambut atau menerima belaiam ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai

balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya.

Kelak jika sudah dewasa dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan

menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan

kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari

memberi.

Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan

untuk bergaul.Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu

dengan sesamanya.Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan

merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena dengan

diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara

mutlak.Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas

tersebut demikian kuat. Tanpa orang menyadari sebenarnya ada alas an yang cukup kuat.

Bukankah tidak ada orang yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Kenyataan ini

tidak hanya berlaku pada bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap

diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa, bahkan sampai kepada sisa-sisa usia

Page 17: Pseudo Education

dalam kehidupan seseorang. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa jerman

menyatakan : manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Kiranya

tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup seorang

diri lengkap dengan sifat hakikatnya kemanusiaannya di tempat terasing yang

terisolir.Mengapa demikian?Sebabnya, orang hanya dapat mengembangkan

individualitasnya di dalan pergaulan social.Seseorang dapat mengembangkan

kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang

berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi

dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya.

Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya dalam saling menerima dan memberi,

seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya. Banyak bukti yang menunjukkan

bahwa anak manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak berada di antara manusia,

antara lain cerita tentang manusia terpencil yaitu anak-anak yang diketemukan oleh

seorang pandita bangsa india yaitu Mr. Singh, dalam sebuah gua waktu ia berburu. Yang

besarberumur 8 tahun dan yang kecil berumur 1 ½ tahu . Yang kecil (amala) kemudian

meninggal, tetapi yang besar (kamala) mencapai usia 17 tahun pada waktu ditangkap dan

memperlihatkan segala tingkah laku seekor serigala (Mayor Polak, 1959:21).

3. dimensi kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih

tinggi.Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukp hanya berbuat

yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu mmisalnya terkandung kejahatan

terselubung.Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan

arti menjadi kebaikan yang lebih.Dalam bahsa ilmiah sering digunakan dua macam istilah

yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan

etika (persoalan kebaikan).Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak

dan kewajiban seperti telah disinggung pada A.2 d).orang yang berbuat jahat berarti

melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan

tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika yang dilanggar ada orang lain

yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan

ketidaksenangan orang lain.

Page 18: Pseudo Education

Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu

a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakuo kedua-duanya.

Etiket tidak usah dibedakan dari arti etika karena sama-sama dibutuhkan

dalam kehidupan. Kedua-duanya bertalian erat.

b. Golongan yang memandang bahwa etiket peril dibedakan dari etika, karena

masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan.

Orang yang sopam belum tentu baik, dalam artitidak merugikan orang lain.

Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam pergaulan hidup, sedang

etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan

demi keberhasilan hidup dalam masyarakat.

Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket.Persoalan

kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai.Pada hakikatnya manusia memiliki

kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga

dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.Drijarkara mengartikan manusia susila

sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai

tersebut dalam perbuatan.(Drijarkara, 1978:36-39).Niali-nilai merupakan sesuatu yang

dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kabaikan, keluhuran,

kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.

Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam, yaitu: Nilai

otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut kelompok), dan nilai heteronom yang

bersifat kolektif (kebaikan dari kelompok) dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal

dari tuhan. Meskipun nilai otonom dan heteronom itu diperlukan, karena orang atau

masyarakat hidup lekat dengan lingkungan tertentu yang memiliki sikon berbeda-beda,

namun keduanya harus bertumpu pada nilai theonom. Karena yang terakhir ini

merupakan sumber dari segenap nilai yang lain. Tuhan adalah alpha dan omega (pemula

dan tujuan terakhir).

Pemahaman dan Pelaksanaan Nilai

Selanjutnya, dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai,

yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan

Page 19: Pseudo Education

nilai.Idealnya keduanya harus sinkron.Artinya untuk dapat melakukan yang semestinya

harus dilakukan, terlebih dahulu orang harus mengetahui, menyadari, dan memahami

nilai-nilai.Dan apabila nilai sudah dipahami semestinya dilakukan.Tetap kenyataanya

tidak selalu demikian.Dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak orang memahaminilai

bahkan mungkin mengetahuhi banyak hal, juga memiliki wawasa keilmuan yang cukup

luas, tetapi ternyata kurang atau tidak susila.Jadi, tidak secara otomatis orang yang telah

memahami nilai pasti melaksanakanya.Kejadian seperti ini sangat wajar, karena

memahami adalah kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan

adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masingmemiki kondisi yang

berbeda.Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani.Dari memahami perlu

meyakini, untuk berikutnya menuju ke penginternalisasian (penyaturagaan) nilai-nilai

kemudian kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-niali, baru sampai kepada

melakukanya.

Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentanganya begitu jauh,

antara niat (kesediaan untuk melaksanakan)dengan perbuatan kesenjangan. Sering niat

baik sudah menggebu-gebu tetapi tidak sampai berkelanjutan pada perbuatan. Lazimnya

penilaian masyarakat terhadap kualitas kesusilaan seseorang tertuju kepada apa yang

dibuatnya dan tidak semata-mata pada apa yang diniatkannya, sehingga niat buruk yang

belum terlakukan (jika diketahui) sering masih dimaafkan.

Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang

luas penggarapanya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada

menginternalisasi nilai smpai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati smpai kepada

siap sedia untuk melakukan.Meskipun demikian, tekananya seharusnya diletakkanpada

ranah afektif.Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam

pemrosesanya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pihak

pendidik. Dimuka telah disinggung bahwa kesusilaan bertalian erat dengan kesadaran

akan kewajiban dan hak. Adanya perimbangan yang selaras antara melaksanakan

kewajiban dengan tntutan terhadap hak (to give and to take) didalam kehidupan

menggambarkan kesusilaan yang sehat.Didalam dunia pendidikan yang intinya adalah

peayanan, berlaku hokum “saya akan memberikan lebih daripada yang saya terima”.

Page 20: Pseudo Education

Implikasi pedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan

kesadaran dan kesediaan melakuka kewajiban disamping menerima hak pada peserta

didik.Pada masyarakat kita, emahaman terhadap hak (secara objektif rasional) masih

perlu ditanamkan tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban.

Hal penting, sebab kepincangan antara keduanya bagaimanapun juga akan mengganggu

suasana hidup yang sehat.

4. Dimensi Keberagaman

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum

manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau

dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang

menguasai idup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri

kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.Misalnya untuk meminta sesuatu

dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan

sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban.Sikap dan kebiasaan yang membudaya

pada nenek moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia

dalam beragama.

Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya.Beragama

merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga

memerlukan tempat bertopang.Manusia memerlukan agama demi keselamatan

hidupnya.Dpat dikatakan bahwa agma menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat

menghayati agama mela.ui proses pendidikan agama. Ph.kohnstamm berpendapat bahwa

pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua didalam keluarga, karena

pendidikan agama adalah persoalan efektif dan kata hati.Pesan-pesan agama harus

tersalur dari hati ke hati.Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan

menembus ke anak.Dalam hal ini orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik

karena ada hubungan darah dengan anak. Disini pendidikan agama yang diberikan secara

masal kurang sesuai (M.Thayeb,1972:14-15). Pendapat kohnstamm ini mengandung

kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta

didik.Disamping itu, juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragana dimulai sedini

Page 21: Pseudo Education

mungkin, eskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation).Tetap untuk

pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada

orang tua.Untuk itu pengkajian agama secara masal dapat dimanfaatkan misalnya

pendidkan agama di sekolah.

Pemarintah dengan belandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama

kedalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (pelita

V).Disini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran

agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-

mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengatahuan tentang agama.Jadi segi-segi

efektif harus diutamakan.

Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat beragama

dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian

(GBHN, Hal.134 butir a. 1).Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama hanya ditempuh

melalaui pendidikan formal.Kegiatan didalam pendidikan non-formal dan informal dapat

dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

2. Gejala-gejala pendidikan dari berbagai segi kehidupan.

3. Pendidikan dan pengembangan jati diri.

Jati diri adalah merupakan gambaran yang dimiliki manusia mengenai pribadi dan

kemampuannya.Sudarmaji mengutip seorang sarjana antropologi Amerika Ralph

Linton tentang kepribadian menyatakan bahwa kepribadian itu secara primair adalah

suatu konfigurasi dari respon-respon yang dikembangkan oleh individu sebagai hasil dari

pengalamannya.Sebaliknya pengalaman itu adalah sebagai akibat dari hubungan timbal

balik dengan lingkungannya. Selanjutnya kutipan Sudarmaji (9173, 36) teori Alpert

Gordon W. Ph.D menunjukkan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam

Page 22: Pseudo Education

individu sebagai sistim psykofisis yang menentukan caranya yang khas dalam

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, yang dimaksudkan adalah :

1. pernyataan organisasi dinamis, menekankan kenyataan bahwa kepribadian itu selalu

berkembang dan berubah, walaupun dalam pada itu ada organisasi sistem yang

meningkat dan berhubungan dengan komponen kepribadian.

2. Istilah psykofisis menunjukkan bahwa kepribadian bukanlah pula ekslusif (semata-mata)

neural, organisasi kepribadian melingkupi kerja tubuh dan jiwa (tak terpisah-pisahkan)

dalam kesatuan pribadi.

3. Istilah menentukan menunjukkan bahwa peranan aktif tenden-tenden determinasi yang

memungkinkan peranan aktif dalam tingkah laku individu. Kepribadian adalah sesuatu

kepribadian terletak dibelakang perbuatan khusus dan didalam individu. Dari apa yang

dikemukakan diatas itu nyata bagi Allport kepribadian bukanlah hanya susunan si

pengamat, bukan pula sesuatu yang ada selama ada orang lain yang bereaksi terhadapnya.

Jauh dari itu kepribadian mempunyai eksistensi riel termasuk juga seni neural dan

fisiologisnya.

4. Satu unsur lain yang penting dalam defenisi diatas adalah kata khas (unik) yang

menunjukkan tekanan utama yang diberikan oleh Allport

5. Dengan menyatakan menyesuaikan diri dengan lingkungan Allport menunjuk keyakinan

bahwa kepribadian meng-antarai individu dengan lingkungan fisis dan psykologisnya.

Jadi kepribadian adalah suatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan,

Teori-teori kepribadian itu memang teoritis sekali, untuk seniman kreatif yang

sekedar ingin memahami, bahwa kerja yang berkepribadian dan dianggap baik itu yang

bagaimana ?. Jadi kepribadian yang kuat dalam proses interaksi antar pribadi (diri)

dengan lingkungannya tidak terlepas dari pengaruh, akan tetapi keterpengaruhannya

mempunyai ciri yang khas, sehingga dapat dengan mudah dibedakan antara kepribadian

yang satu dengan yang lainnya.

Dalam seni rupa banyak bentuk, sapuan kuas, dalam memilih tema dan

sebagainya.Primadi (1978) mengatakan bahwa didalam citra manusia memiliki tiga

kemampuan utama yaitu kemampuan fisik, kemampuan kreatif dan kemampuan rasio,

Page 23: Pseudo Education

hanya berbeda dalam perimbangannya pada tiap manusia, karena tak ada duanya manusia

yang sama (persis).

Ketiga kemampuan tersebut adalah sebagai rusuk utama, dan perasaan gerak

imajinasi sebagai rusuk-rusuk alas (dasar) berpikir merenung, belajar yang menjadikan

satu kebulatan, suatu keseluruhan, suatu totalitas integrasi dari semua rusuk utama dan

rusuk dasar.

Tiap tindak manusia kecuali pada hakekatnya sedikit banyak merupakan integrasi

kerja sama dari rusuk-rusuk, terutama kemampuan kreatif, kemampuan fisik dan

kemampuan rasio. Jadi kemampuan utama dan rusuk dasar tidak dapat berdiri sendiri-

sendiri tanpa adanya keterkaitan dengan yang lain, yang akan menghasilkan kata hati

(intuisi ) yang bersifat individual dalam mempengaruhi aktifitas kegiatan dan

berpengaruh dalam pengalaman manusia sebagai pencerminan kepribadian, kemampuan

dan pengalaman.

Kedalaman intuitif intuisi dari integrasi keseimbangan tadi sering kita namakan

sebagai proses kreatif (kreasi). Dalam kaitannya dengan kreativitas dalam penciptaan

karya seni, sangat ditentukan oleh sifat-sifat pribadi seniman baik mengenai kepekaan

indrawinya terhadap alam maupun perasaan yang mendalam tentang yang baik dan

indaah dan kemampuan membentuk perasaan dan baham menjadi suatu karya seni

sebagai perwujudan jati diri.

4. Manusia : zoon politicon dan homo educable.

Aristoteles(384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan

dalam ajaranya, bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya

manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia,

jadi makhluk yang bermasyarakat .dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah

manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

Page 24: Pseudo Education

Aristoteles mendefinisikan manusia. Aristoteles, seorang filosof Yunani, terkenal

dengan gagasannya tentang manusia sebagai makhluk sosial; makhluk yang hidup

bersama manusia yang lain; makhluk yang ada dan berelasi dengan manusia lain. Bahwa

manusia itu makhluk sosial tidak hanya bermaksud menegaskan ide tentang kewajiban

manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan ide tentang makhluk sosial

terutama bermaksud menunjuk langsung pada kesempurnaan identitas dan jati diri

manusia.Mengapa demikian?Sosialitas adalah kodrat manusia.Manusia tidak bisa hidup

sendirian. Manusia memerlukan manusia lain. Secara kodrati, manusia adalah makhluk

yang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain untuk

belajar hidup sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan

dirinya dalam tata hidup bersama. Manusia lahir, tumbuh dan menjadi insan dewasa

karena dan bersama manusia lain. Maka definisi manusia sebagai makhluk sosial secara

langsung bermaksud menegaskan bahwa hanya dalam lingkup tata hidup bersama

kesempurnaan manusia akan menemukan kepenuhannya. Hidup dan perkembangan

manusia, bahkan apa yang disebut dengan makna dan nilai kehidupan manusia hanya

mungkin terjadi dalam konteks kebersamaan dengan manusia lain. Makna dan nilai hidup

akan tertuang secara nyata apabila manusia mengamini dan mengakui eksistensi

sesamanya. Juga pemekaran sebuah kepribadian akan mencapai kepenuhannya jika

manusia mampu menerima kehadiran sesamanya.

Apa yang menjadi tujuan hidup bersama? Tujuannya adalah good life.Hidup

bersama ada secara natural karena masing-masing pribadi menghendakinya. Masing-

masing pribadi menghendakinya karena sadar bahwa kesempurnaan dirinya hanya

tercapai melalui kebersamaanya dengan manusia yang lain. Hidup bersama dengan

demikian bukan pertama-tama sebuah “gerombolan” tanpa tujuan, melainkan sebuah

kesatuan dan sistem yang terarah kepada kesempurnaan dan keutuhan masing-masing

individu.Hidup bersama ada pertama-tama untuk memenuhi kehendak dan tujuan setiap

pribadi manusia untuk menyempurnakan dirinya.Inilah yang dimaksud good life, yaitu

teraktualisasinya kesempurnaan hidup masing-masing manusia dalam konteks hidup

bersama.

Dalam pemikiran Aristoteles, manusia sebagai pribadi sungguh-sungguh

merupakan elemen yang sangat penting dan fundamental bagi tata hidup

Page 25: Pseudo Education

bersama.Konsekuensi logis dari penegasan ini adalah bahwa setiap manusia harus

memiliki komitmen untuk memperhatikan sesamanya dan berupaya untuk memusatkan

diri pada mereka. Disposisi altruistis ini terutama dapat tercetus dari ketulusan dan

dedikasi setiap individu dalam memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk secara terus

menerus mengupayakan hidup yang sempurna dan hidup yang selalu terarah pada apa

yang baik bagi sesamanya.

5. Outcome pendidikan : insan paripurna.

IQ, EQ, SQ, dan TI: MEMBENTUK INDIVIDU PARIPURNA

Konsep inteligensi telah lama mendominasi dan berpengaruh pada praksis dunia

pendidikan setelah dikaitkan dengan kemungkinan sukses tidaknya seseorang dalam

mengarungi bahtera kehidupan. Dari konsepsi ini, kemudian muncul apa yang disebut

dengan indeks inteligensi, intelligence quotient (IQ). Kerena dalam penilaiannya

mengikutkan faktor usia (cronological age), maka skor tes IQ dihitung dengan formula:

usia mental (mental age) dibagi usia kronologis dikalikan 100.

Nilai IQ telah lama dimitoskan dalam dunia pendidikan. Sebagaian besar orang

percaya bahwa IQ yang tinggi akan menjamin keberhasilan seseorang, baik di sekolah

maupun di dunia kehidupan nyata setelah menyelesaikan sekolah nanti.

Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar dalam

dunia pendidikan.IQ merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam mengingat serta

memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis, metodis, dan

strategis.Pertengahan tahun 90-an, Daniel Goleman mempopulerkan temuan para

neurosaintis dan psikolog tentang Emotional Intelligence (EQ).  Dengan kecerdasan

emosional (EQ) membuat kita mengerti perasaan orang lain (other people’s feelings),

memberikan rasa empati, haru, motivasi, dan kemampuan untuk bisa merespon secara

tepat terhadap kebahagiaan dan kesedihan. Di samping itu, dikembangkannya EQ

merupakan sebuah kritik terhadap konsep lama yang mengatakan bahwa prestasi

merupakan hasil IQ.Padahal IQ tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa yang

merupakan sebuah prestasi. Menurut penelitian di negara Barat, IQ hanya mampu

Page 26: Pseudo Education

menyumbang 20% dari sebuah prestasi, sedangkan penelitian di Indonesia IQ

menyumbang 30%, selebihnya ditentukan EQ. Karena  tinggi rendahnya EQ seseorang

dipengaruhi berbagai elemen, antara lain emotional awareness, self motivation, managing

self, managing emotion, dan social communication.

Sekitar awal Februari 2000, muncul sebuah buku karya Danah Zohar dan Ian

Marshall, SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence (Bloomsbury, 2000), yang

mempromosikan Spiritual Quotient, kemampuan untuk meraih nilai-nilai, pengalaman,

dan kenikmatan spiritual dalam kehidupan. SQ merupakan intelligence yang mampu

menampilkan sifat kreatif, memecahkan problem makna, dan menempatkan tindakan

pada meaning-giving context.Ia dapat memberikan nilai terhadap sesuatu dan mengatur

situasi (allowing human to guide the situation).

Pemikiran Zohar dan Marshall didukung hasil-hasil penelitian ilmiah dari para

peminat problem spiritualitas. Tercatat empat hasil penemuan pendukung konsep EQ

Zohar dan Marshall. Hasil penelitian Prof. VS Ramachandran, seorang neurolog dan

direktur di The Centre for Brain and Cognition Universitas Californio San Diego tahun

1977 menunjukkan adanya ‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. Hasil penelitian

Wolf Singer tahun 1990-an tentang adanya ‘Problem Ikatan’, Rodolfo Llinas

mengembangkan hasil penelian Singer pertengahan tahun 1990-an dengan menggunakan

teknologi MEG (Magneto Anchepalographic), serta penemuan Terrance Deacon,

neurolog dan antropolog biologi Havard (The Symbolic Species, 1997) tentang bahasa

sebagai representasi simbolik akan makna.

SQ dapat menimbulkan a sense of ‘something beyond’, melahirkan a sense of

‘some-thing more’ yang akan selalu menganugerahkan nilai tambah dan makna lebih di

mana pun kita berada. Orang yang memiliki SQ tinggi akan menjadi part of solution,

bukan part of the problem. Dapat dikatakan, SQ bisa menjadikan manusia sebagai

makhluk yang komplit atau insan kamil secara intelektual, emosional, dan

spiritual.Karena berbagai fungsi dan peran strategisnya itulah maka SQ disebut sebagai

the ultimate intelligence.

Page 27: Pseudo Education

Fritjof Capra mensinyalir terjadinya pendulum balik (the turning point) terhadap

spiritualitas pada akhir abad ini, maka wujud spiritualitas itu kini masih berupa baju atau

kulit.Masyarakat belum sepenuhnya keluar dari weltanschaung modernisme.Oleh sebab

itu pemikiran tentang SQ merupakan rembesan dari nilai-nilai modernisme yang sekuler.

Modernitas dan sekularisme merupakan sebuah paradigma pemikiran Zohar dan

Marshall, bahkan berkali-kali ia mengatakan SQ has no necessary connection to religion.

Karena kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini lebuh menekankan pada makna

spiritual sebagai potensi khusus dalam jasad tanpa mengaitkan secara jelas dengan

kekuasaan dan kekuatan Tuhan.Mereka membedah kecerdasan spiritual dengan pusat

utamanya pada kekuatan otak manusia. Spiritual is not a religin. Inilah pemikiran yang

berkembang sejak zaman renaissance sebagai sebuah protes terhadap agama yang sering

menjadi simbol kekerasan dan permusuhan.Sikap ini bagaikan mereka berputar-putar di

seputar rumah Layla (Sang Kekasih), namun tak mau masuk dan bertanya dengannya.

  TQ: TRANSCENDENTAL INTELLIGENCE

Menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai pendekatan dalam penyelenggarakan

pendidikan sangat memungkinkan. Namun ketiga model pengembangan kecerdasan

tersebut belumlah cukup membentuk manusia cerdas, karena ternyata  masih

menggunakan model paradigma pemikiran Barat, yang masih sekuler akibat modernisasi.

Kurang puas dengan model pembinaan pendidikan yang hanya menekankan

faktor intelektual, emosional, serta spiritualitas, maka pada pertengahan tahun 2001,

muncul buku KH Toto Tasmara  Kecerdasan Ruhaniah, Transcendental  Intelligence

(Gema Insani Press, 2001). Kehadiran buku ini seolah memberikan koreksi total terhadap

agenda pendidikan yang hanya menekankan aspek-aspek intelektual, emosional serta

aspek spiritualitas semata tanpa memperhatikan keagamaan formal seseorang.

Kemunculan buku KH Toto Tasmara tidak hanya sekadar mengintegrasikan

model pembinaan kecerdasan yang sudah ada dan telah lama dikenal masyarakat

luas.Namun TI atau Kecerdasan Ruhaniah mempunyai tesis lebih esensial, yang berusaha

membentuk kepribadian yang bertanggung jawab, profesional dan berakhlak.Karena

kecerdasan ruhaniah bertumpu pada ajaran mahabbah lillah, rasa cinta kepada Allah

Page 28: Pseudo Education

sebagai kebenaran tertinggi, the ultimate truth.Cinta yang dimaksud adalah keinginan

untuk memberi dan tidak berpamrih untuk memperoleh imbalan (atau secara

ikhlash).Cinta bukan suatu komoditas, tetapi sebagai kepedulian yang sangat kuat

terhadap moral keagamaan dan kemanusiaan.Karena pesan-pesan yang disampaikan

dalam kecerdasan ruhaniah adalah dengan menggali intisari al-Quran dan al-Hadits.

Dengan kata lain, kecerdasan ruhaniah merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang

ada. Atau kesadaran spiritual plus.

Hasil penelitian Michael Persinger, seorang neuropsikolog dari Kanada dan Prof.

VS Ramachandran, seorang neurolog dari Universitas California menunjukkan adanya

‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. ‘G-Spot’ merupakan benda yang bersifat built-in

pada otak dan given pada kodrat insan.Ia berada di antara neural connections (hubungan

antar syaraf) yang terletak di temporal lobes pada otak manusia.

Temporal lobes yang menjadi tempat pada ‘G-Spot’ merupakan piranti otak yang

mampu mengenali berbagai fantasi mistis, out-of-the-body experiences. Peggy Ann

Wright telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara proses meningginya

aktivitas temporal lobes dengan pengalaman shamanistik (shamanistic exsperiences).

Wright menunjukkan bahwa nyanyian atau alunan musik yang dipakai pada upacara

ritual mampu membangkitkan gairah dan menaikkan temporal lobes serta berbagai

jaringan yang berhubungan dengan limbic system (pusat memori dan emosi di otak

manusia). Ramachandran menyimpulkan: There may be dedicated neural machinery in

the temporal lobes (of quite normal people) concern with religion. The phenomenon of

religious belief may be ‘hard-wide’ in the brain. Jelas, ketiga ilmuwan berpendapat

bahwa ‘G-Spot’ memainkan peran esensial  terjadinya pengalaman abnormal, atau

‘extraordinary.’

Teori tentang ‘G-Spot’, dalam agama Islam, barangkali bisa diperbandingkan

dengan kesaksian, pengakuan keilahian, atau perjanjian suci Tuhan dengan manusia di

Lauh al-Mahfudz ketika terjadi proses penciptaan manusia. ‘Alastu birabbikum?’

(bukankah Aku ini Tuhanmu?) tanya Allah, ‘Qaalu: Balaa syahidna (manusia berkata:

Ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami).’ Apa indikasi kebenaran

terjadinya perjanjian itu, sehingga manusia bisa dituntut bila melanggarnya? Mungkin

Page 29: Pseudo Education

penemuan ‘G-Spot’ ini adalah di antara jawabannya, karena ‘G-Spot’ menujukkan

keberadaan Allah.

Esensi ‘G-Spot’ berada pada potensi imajinasi kreatif, sehingga dengan

memberikan kejelasan arah  kepada imajinasi kreatif ini maka kecerdasan ruhaniah

terbentuk. Seorang muslim yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang

menampakkan sosok pribadi sebagai profesional berkahlak mulia, mereka memiliki life-

skill tinggi dalam mengarungi heterogenitas kehidupan, mereka mampu mengisi

kehidupan dengan penuh cinta kasih, dan menjadikan kehidupan penuh bertaburan

makna.

  TQ: MEMBENTUK INSAN KAMIL

 Pendidikan di Indonesia sekarang masih berorientasi pada pragmatisme,

diarahkan pada kepentingan penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas.Dengan

sumber daya manusia berkualitas, pembangunan dapat dilaksanakan secara akseleratif. 

Sehingga konsepsi pendidikan belum mampu menyentuh dimensi kemanusiaan yang

paling human.Teori human capital yang dikembangkan Theodore W. Schultz

menyiratkan kesesuaian dengan realitas kondisi bangsa Indonesia.Teori ini bertolak dari

asumsi, bahwa manusia merupakan bentuk kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital

lainnya.

Keberhasilan pendidikan menurut teori human capital,  diukur dari seberapa besar

rate of return pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Di sini pendidikan merupakan

sebuah proses kapitalisasi, di mana out-put-nya bisa terserap dalam industri dan pasaran

kerja, yang menuntut kemampuan penguasaan ketrampilan yang tinggi. Dengan konsepsi

pendidikan seperti ini, dengan sendirinya aspek humanistik dalam pendidikan menjadi

terabaikan.

Berbeda dengan Paulo Freire, yang secara filosofis memberikan dasar pemikiran

tentang pentingnya pendidikan sebagai penyadaran (awareness).Pentingnya penyadaran

ini karena manusia dalam dunia tidak sekadar hidup (to live), tetapi mengada atau

bereksistensi.Existencial-being, human-being, spiritual-being sampai pada religious-

Page 30: Pseudo Education

being.Manusia bereksistensi berarti mampu berkomunikasi dengan dunia obyektif

sehingga memiliki kemampuan kritis.Dengan penjelasan ini Freire ingin memberikan

suatu afirmasi filosofis, bahwa manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi

dengan semua realitas yang melingkupinya.Menurut eksistensialis Jerman, Karl Jaspers

sebagai ‘Yang mengelilingi segala sesuatu yang mengelilingi kita’ (‘das Umgreifende

alles Umgreifenden’).

Ali Syariati dalam buku Man and Islam (1982) melihat atribut yang melekat

dalam diri manusia, seperti kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas.Ketiga

dimensi fundamental inilah, manusia sering diistilahkan dengan insan, yang kemudian

dipertentangkan dengan konsep basyar, yaitu konsepsi manusia dalam wujudnya yang

bersifat fisiologis.

Kecerdasan ruhaniah mempunyai karakterisik utama, yaitu membuka kepada ide-

ide dan pencarian kebenaran.TI mengoptimalkan pembentukan al-insan al-kamil,

manusia paripurna. Memposisikan manusia yang diciptakan dalam keadaan fithrah yang

suci dan bernaluri hanifiyyah, kecenderungan alami untuk mencari dan memihak kepada

yang suci, sebagai seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanief), serta

seorang yang berhasrat untuk selalu pasrah kepada Kebenaran, yaitu Tuhan (QS Ali

Imron: 67). Tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual semata, emosional, spiritual

saja, namun yang paling penting adalah dimilikinya kecerdasan ruhaniah (Transcendental

Quotient).

Jadi sikap mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanifiyyah), adalah sikap

keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan tidak hanya spiritualis

ala Zohar-Marshall, yaitu menghibur secara semu, palsu, dan bersifat sementara. Karena

Nabi Muhammad pun telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-

hanifiyyat al-samhah, yaitu semangat mencari Kebenaran yang lapang dada, demokratis,

toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.

Erich Fromm, selaku psikoanalisis, memandang bahwa kesehatan jiwa bergantung

kepada sikap pemihakan kepada Kebenaran secara tulus, tanpa pembelengguan diri, dan

kepada semangat cinta sesama manusia, hal ini akan terasa sulit terjadi jika tidak

Page 31: Pseudo Education

didasarkan atas kepercayaan akan adanya Yang Mahakasih. Cinta kepada Kebenaran

adalah juga cinta kepada Yang Maha Cinta, dengan sikap yang meluber kepada cinta

sesama manusia.Karena itulah, dalam sebuah al-Hadits, pernah Nabi Muhammad SAW

menegur ‘Utsman ibn Mazh’un karena telah menelantarkan diri sendiri dan

keluarganya.Sebab jika seseorang mempunyai hubungan cinta dari Tuhan (habl min al-

Lah) maka ia harus pula mempunyai hubungan dari sesama manusia (habl min an-nas).

Dua nilai hidup yang akan menjamin keselamatan manusia (QS Ali Imran: 112).

Cinta merupakan semangat regenerasi dari alam semesta yang mengungkapkan

misteri demi misteri kehidupan yang cenderung mempertuhankan akal dan nalar.Cinta

adalah kekuatan yang membuat pribadi seseprang makin semarak dan makin

konstan.Cinta mengangkat insan ke ketinggian sejati.Ia membuat manusia semakin

manusiawi.

Cinta juga merupakan fenomena kreatif yang melahirkan intensitas kesadaran

yang mengamankan keabadian manusia.Ia memadatkan emosi manusia danmembantu

mewujudkan ambisi-ambisi kehidupan yang luhur dan mulia. Makin dapal impak cinta

makin besar pula pemenuhan tujuan dalam kehidupan.Cinta mengilhami manusia untuk

menguasai alam semesta.Ia membuat manusia mampu bergerak untuk maju dan berbuat.

Dengan berpijak kepada konsepsi kecerdasan ruhaniah (TI), semua aspek

kecerdasan dibawahnya, pikiran, emosi, dan sipirtual bisa berkembang dengan

baik.Sebab TI mendasari konsepsinya dengan menggali sumber dari al-Quran dan al-

Hadits dalam membentuk insan kamil (fully function person).

Page 32: Pseudo Education

DAFTAR PUSTAKA

Tirtarahardja, umar.dan La Sulo,S.L..2005.Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT

Rineka Cipta.