Upload
rina-musfiroh
View
15
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam keseharaian kita pernahkah kita berfikir bagaimana kita bisa mempercayai
suatu kepercayaan? Bagaimana kita mengikuti norma-norma agama yang selama ini kita
yakini?. Sebenarnya jika kita membicarakan hal itu maka kita akan mengaitkannya antara
hubungan kognisi dengan agama.
Bagaimana seseorang menangkap sebuah persepsi atau istilahnya menangkap
penjelasan sebuah agama yang mencoba ditanamkan oleh orang sekitarnya misalnya. Hal
itu akan berkaitan dengan pendekatan kognisi pada agama yang bakal mencakup tentang
sebuah kedudukan persepsi, akal pikiran seseorang dengan sebuah agama yang di
percayainya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori proses informasi itu?
2. Bagaimana hubungan akal dan agama?
3. Bagaimana peran akal pada agama?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami proses informasi
2. Untuk mengetahui hubungan akal dan agama
3. Untuk mengetahui peran akal pada agama
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Proses Informasi
Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang
menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak
(Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah
informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu
menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi
diproses di dalam otak melalui beberapa indera.
Teori informasi memberikan persfektif baru pada pengolahan pembelajaran
yang akan menghasilkan belajar yang efektif. Dalam teori pengolahan informasi terdapat
persepsi, pengkodean, dan penyimpanan di dalam memori jangka panjang. Teori ini
mengajarkan kepada siswa siasat untuk memecahkan masalah.
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif
dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil
belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi
internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi
dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang
mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Istilah “pemrosesan/pengolahan informasi” mengandung pengertian adanya
pandangan tertentu ke arah studi individu. Pusat perhatian pokok studi adalah bagaimana
orang mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah besar informasi yang
diterima setiap hari dari lingkungan sekeliling. Misalnya, mendengarkan siaran berita,
membaca dan menafsirkan catatan pelajaran, menemukan penyebab kerusakan mesin dan
sebagainya, semuanya merupakan kegiatan sehari-hari yang bergantung pada pengolahan
data dari lingkungan.
Pentingnya mengembangkan dan menyempurnakan model umum pengolahan
informasi yang berkaitan dengan masalah–masalah kehidupan nyata didukung oleh
2
sejumlah ahli (Neisser dan Simon dalam Bell, 1991). Dalam rancangan
pemrosesan/pengolahan informasi terdapat 2 (dua) bidang yang penting secara khusus
bagi pembelajaran, yaitu:
a. Penyelidikan mengenai proses orang memperoleh dan mengingat informasi
b. Penelitian mengenai siasat yang digunakan dalam memecahkan masalah
Asumsi yang mendasari teori-teori pemrosesan/pengolahan informasi
menjelaskan tentang (1) hakekat sistem memori manusia, dan (2) cara bagaimana
pengetahuan digambarkan dan disimpan dalam memori. Konsepsi lama mengenai
memori manusia adalah bahwa memori itu semata-mata hanya tempat penyimpanan
untuk menyimpan informasi dalam waktu yang lama, sehingga memori diartikan sebagai
koleksi potongan-potongan kecil informasi yang terlepas-lepas atau saling tidak ada
kaitannya. Akan tetapi pada tahun 1960-an memori manusia mulai dipandang sebagai
suatu struktur yang rumit yang mengolah dan mengorganisasi semua pengetahuan
manusia (Neisser dalam Bell, 1991). Memori bukanlah sebuah gudang yang pasif tetapi
suatu sistem yang ada organisasinya dan aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa memori secara
aktif memilih data penginderaan mana yang akan diolahnya, mengubah data itu menjadi
informasi yang bermakna, dan menyimpannya untuk digunakan diwaktu kemudian.
Model pemrosesan informasi yang mempengaruhi belajar dan model memori
dimulai dengan material semua pengalaman belajar yang masih mentah yaitu input
sensoris. Sistem sensoris manusia (penglihatan, pendengaran, pembau, perasa, dan
sentuhan) bersifat sensitif terhadap beragam perangsang yang berlimpah. Meskipun
manusia merespon hanya pada sebagian dari seluruh perangsang yang tersedia, sebagian
besar informasi yang tersedia dalam perangsang ini tidak pernah benar-benar diproses
yaitu tidak benar-benar menjadi bagian dari struktur kognitif. Ini yang disebut dengan
memori sensoris (sensory memory). Memori sensoris adalah memori yang
mempertahankan informasi dunia dalam bentuk sensoris aslinya hanya selama beberapa
saat. Memori sensoris ini merujuk pada sesuatu yang terjadi secara singkat (kurang dari 1
detik) dan efek stimulus tersebut pada manusia tidak disadari (manusia tidak
memperhatikan stimulus itu). Memori sensoris sangat terbatas dalam hal waktu untuk
memproses informasi yang tersedia dan jumlah informasi yang tersedia. Contohnya Ani
diminta guru untuk membacakan sejumlah bilangan. Kemudian 10 detik kemudian guru
3
meminta kepada siswa yang lain untuk mengulangnya. Siswa tersebut tidak akan
mengingat bilangan-bilangan tersebut. Namun jika Ani membaca bilangan tiba-tiba dia
meminta Catur untuk menyebutkan bilangan terakhir yang dibaca maka Catur dapat
menjawab dengan tepat. Faktanya setiap bilangan disimpan dalam memori sensoris
dalam waktu yang sangat singkat, tetapi jika tidak diproses dalam waktu singkat maka
bilangan tersebut tidak akan lama tersedia dalam memori.
Dalam sistem pemrosesan informasi, psikolog kognitif berbicara tentang
penggunaan sejumlah aktivitas berbeda dengan tujuan umum : membuat pengertian input
sensoris yang penting dan pada saat yang bersamaan mengacuhkan/membuang input
yang dianggap remeh. Memberikan perhatian adalah salah satu aktivitas penting dalam
sistem pemrosesan informasi. Hal ini berarti input ditransfer dari sensoris ke
penyimpanan jangka pendek. Intinya, memori jangka pendek terdiri dari apa yang kita
sadari secara langsung pada waktu-waktu tertentu. Menurut Calfee (dalam Lefrancois,
1991) memori jangka pendek semacam coretan pada pikiran yang terdiri dari apa yang
kita sadari secara langsung. Karakteristik pentingnya adalah kapasitas yang terbatas.
Menurut Miller, rata-rata kapasitasnya sekitar 7 hal yang berlainan, kesadaran langsung
kita terbatas dalam kapasitas ini dan ketika informasi baru datang, informasi ini akan
menarik keluar informasi yang sudah ada dalam memori jangka pendek ini. Informasi
yang disimpan dalam memori jangka pendek lamanya 30 detik dan munculnya secara
cepat tergantung dari latihan yaitu informasi yang disimpan dalam memori ini harus
diulang-ulang (dipikirkan secara sadar). Jika tidak diulang maka informasi tersebut akan
cepat hilang dalam memori dalam 20 detik.
Memori jangka panjang adalah bagian dari sistem memori yang menyimpan
banyak informasi secara relatif permanen selama periode waktu yang lama, semua yang
kita ketahui tetapi tidak dalam kesadaran langsung, memiliki kapasitas yang sangat besar.
Memori jangka panjang bersifat pasif, prosesnya tidak sadar. Informasi dari memori
jangka pendek dapat diteruskan untuk diproses dan digabungkan ke dalam memori
jangka panjang. Namun tidak semua informasi dari memori jangka pendek dapat
disimpan. Kunci penting dalam penyimpanan di memori jangka panjang adalah adanya
motivasi yang cukup untuk mendorong adanya latihan berulang hal-hal dari memori
jangka pendek.
4
Retrieval adalah hasil akhir dari proses memori. Mengacu pada pemanfaatan
informasi yang disimpan. Agar dapat diambil kembali, informasi yang disimpan tidak
hanya tersedia tetapi juga dapat diperoleh karena meskipun secara teoritis informasi yang
disimpan tersedia tetapi tidak selalu mudah untuk menggunakan dan menempatkannya.
Contohnya seorang siswa yang telah mengetahui (menyimpan) informasi nama-nama
negara dan ibukotanya tetapi dalam suatu waktu dia tidak dapat mengambil kembali
semua informasi tersebut. Dengan menyediakan petunjuk akan memberi bantuan kepada
siswa untuk mencari informasi yang disimpan dan mendapatkan kembali.
Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi.
Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi
dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak
faktor lain.
Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model
kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf
struktural sistem informasi, yaitu:
1. Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory
register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap
dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan
dengan informasi di long-term memory.
2. Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working
memory, dan disini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working
memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil
informasi secara serempak.
3. Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya
sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik.
Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di
dalamnya. Memori jangka panjang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu memori
episodik, yaitu bagian memori jangka panjang yang menyimpan gambaran dari
pengalaman-pangalaman pribadi kita, memori semantik, yaitu suatu bagian dari
memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan umum, dan
5
memori prosedural adalah memori yang menyimpan informasi tentang bagaimana
melakukan sesuatu.
Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi 4 yaitu:
a. Tahap sensiomotor (umur 0-2 tahun)
Pada tahap ini, seorang anak belajar mengembangkan dan mengatur kegiatan fisik
dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Ciri pokok
perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi lngkah.
b. Tahap pra-operasional (umur 2-7 tahun)
Seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal kusus yang didapat dari
pengalaman menggunakan indra sehingga ia belum mamp untuk melihat
hubungan-hubungan dan menyimpilkan sesuatu secara konsisten.
c. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
Seorang anak dapat membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau
dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek
dari situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan ukuran)
d. Tahap operasional formal (11 tahun keatas)
Kegiatan kognitif seorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap ini
kemampuan menalar secara abstrak meningkat sehingga seseorang mampu berfikir
secara deduktif, pada tahap ini pula, seseorang mampu mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu situasi secara bersama-sama.
Didalam pikiran seseorang, sudah terdapat struktur kognitif atau kerangka
kognitif yang disebut skema. Setiap orang akan selalu berusaha mencari suatu
keseimbangan, kesesuaian, atau ekuilibrium antara apa yang baru dialami (pengalaman
barunya) dan apa yang ada pada struktur kognitifnya. Jika pengalaman barunya cocok
atau sesuai dengan yang tersimpan pada kerangka kognitifnya, proses asimilasi dapat
terjadi dengan mudah, dan keseimbangan ekuilibrium tidak terganggu. Dan jika
sebaliknya, ketidakseimbangan akan terjadi, dan anak akan berusaha
menyeimbangkannya lagi. Dengan demikian, diperlukan proses akomodasi.
2.2 Hubungan Agama Akal dan Agama
6
Akal, meskipun memiliki begitu banyak istilah-istilah khusus, secara umum
dapat dibagi dalam dua realitas:
A. Akal teoritis
Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya terkhusus untuk menganalisa dan
mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, serta wilayah penilaian dan
keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada"
(ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk
sebuah pemikiran teoritis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera
lahiriah. Hasil-hasil yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan
dengan perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal yang
dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan keberadaan
Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya.
B. Akal praktis
Akal ini, menurut istilahnya, hanya menganalisa persoalan-persoalan praktis, dan
wilayah penilaian serta keputusannya berada pada dimensi-dimensi "keharusan"
(kemestian dan kewajiban) dan "larangan" (ketidakbolehan). Hasil-hasil yang dicapai dari
akal ini adalah suatu kebenaran yang bersifat relatif atau hal-hal yang tidak terkait
langsung dengan masalah-masalah eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya
misalnya berkaitan dengan hak-hak manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak
tinggal, dan hak-hak lainnya. Potensi-potensi yang berada di bawah akal praktis ini antara
lain adalah syahwat dan emosi, dan melalui kedua potensi inilah akan terbentuk berbagai
tahapan-tahapan berbeda dari kehendak, iradah, dan keinginan.
Akal dan agama yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada
manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat
tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya
berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada
kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan
meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan
jiwa. Selain itu, ia juga akan mengalami kegelisahan jiwa karena banyak hal yang selalu
muncul dalam jiwanya tentang arti dari kehidupan dimana ia tidak menemukan
jawabannya. Seperti yang dialami oleh kebanyakan orang di abad sekarang ini, sehingga
7
sebagian ilmuan barat seperti Franklin L. Baumer menyebut abad ini sebagai abad
kegelisahan (Age of Anxiety). Di sisi lain ketika seseorang hanya berpegang kepada
agama tanpa menggunakan akalnya, ia akan terjerumus kepada jurang kejumudan,
penyimpangan-penyimpangan dan fanatisme buta. Oleh karena itu, keduanya harus
dipadukan dengan menjadikan akal sebagai alat untuk memilih, mebuktikan dan
membela agama.
Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana hubungan ini berada
dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil membayangkan adanya
pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa dijabarkan dalam bentuk yang
lain.
Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi akal dalam dua dimensi teoritis
dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt berfirman, "Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di
antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. ath-
Thalaq: 12)
Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit adalah keberilmuan
seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang tanggungjawab dalam pemikiran
dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari
penciptaan keseluruhan langit dan alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan
manusia ketika meraih tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil
memanfaatkan dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan
perantaraan akal teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai hakikat-
hakikat alam dan menambah luas pengetahuan-pengetahuan teoritisnya.
Demikian juga, dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt menjelaskan tentang
urgensi akal praktis sebagai berikut, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. adh-Dhariyat). Allah Swt dalam ayat
ini menganggap bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah ibadah dan
penghambaan. Dari satu sisi, ibadah dan penghambaan berada dalam cakupan motivasi-
motivasi yang benar dan hal ini tidak akan terwujud tanpa memanfaatkan akal praktis,
dengan artian bahwa jika manusia tidak mampu menciptakan motivasi-motivasi yang
8
benar dan bernilai dalam dirinya dan ia tidak mampu menentukan tujuan mulia untuk
segala perbuatannya sendiri di alam materi, maka makna yang benar dan tepat dari aspek
penghambaan dan ubudiyahnya ini tidak akan pernah dia temukan.
Dari sini, bisa dikatakan bahwa kesadaran tentang kebertujuan penciptaan alam
dan makhluk tersebut juga merupakan hasil dari akal praktis. Dan tanpa adanya akal
praktis ini, manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk menciptakan motivasi-
motivasi yang tepat, ibadah-ibadah yang lurus, dan penghambaan yang benar, dengan
demikian tanpa adanya akal praktis, manusia akan terhalang dalam pencapaian tujuan
hakiki penciptaannya.
Tentunya tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa apabila akal teoritis dan akal
praktis adalah tujuan penciptaan itu sendiri, karena hal ini akan memunculkan adanya
pertentangan dan kontradiksi, dengan demikian penyimpulan ini tidaklah benar karena
tiap-tiap dari dua jenis akal ini dalam batasannya masing-masing memiliki peran yang riil
dan hakiki, dan dua realitas yang sama-sama hakiki tidak akan pernah saling bertolak
belakang dan saling menafikan satu sama lain. Dari sisi lainnya, agama di samping
menyebutkan tentang nilai penting akal, juga mengajarkan tentang arah dan alur berpikir
yang benar serta metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, berarti
dengan demikian, agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian,
melainkan dia akan membimbing akal untuk memperoleh hakikat-hakikat dan
pengetahuan-pengetetahuan dengan menjelaskan berbagai metode dan cara-cara yang
benar.
Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu pemikiran, memberikan perhatian
pada arah lainnya pun merupakan suatu hal yang sangat penting dan berharga. Pada sisi
ini, nilai-nilai akal dan pemikiran tersebut telah dikenali melalui argumen-argumen yang
kokoh dari sudut pandang agama. Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan
memperhatikan empat hal berikut ini:
1. Tolok ukur dan ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan;
2. Satu-satunya sumber hukum Tuhan adalah kehendak Tuhan;
3. Dalil-dalil syar'i hanyalah penyingkap dari kehendak Tuhan;
9
4. Dalil-dalil syar'i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli (rasio dan akal) dan
naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli (tekstual)
adalah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait Nabi.
Kesimpulan yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah bahwa akal -
sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis (baik yang
diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma' para ulama, dan yang sejenisnya-
juga memiliki keistimewaan dan berperan sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap
dari kehendak dan hukum Tuhan. Oleh karena itu, akal murni juga merupakan hujjah
Tuhan dan sepadan dengan teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama
sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar'i lainnya (baca: teks-
teks suci agama). Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal tidaklah bertolak belakang
dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu sendiri. Bahkan inti,
pesan, dan kandungan ajaran agama itu sendiri adalah dibentuk oleh nilai-nilai aqli
(rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama). Jadi yang terkadang bertentangan dan
bertolak belakang secara lahiriah adalah akal dan teks-teks suci agama, bukan akal dan
agama.
Sekarang apabila kita dengan seksama meneliti hubungan akal dan agama serta
ketidakterpisahan zona-zona riil mereka, maka sangat jelaslah bagi kita akan
ketidakbenaran konsep dan gagasan Sekuarisme yang memisahkan antara zona-zona akal
dan agama, dan tidak bisa lagi dikatakan bahwa agama itu hanya berhubungan dengan
Tuhan sebagai penentu hukum-hukum agama (syariat) dan akal tidak ada kaitannya
dengan agama, karena pada dasarnya keduanya telah mendapatkan penegasan dari Tuhan
dengan tanpa adanya sedikitpun pembedaan.
Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik dan valid
merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan hujjah Tuhan, dan kandungan
yang berada di dalamnya dalam bentuk apapun itu baik kandungannya yang berupa
hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai dari konsep ketuhanan, keadilan
Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah tidak memiliki perbedaan sama sekali
dengan kandungan-kandungan yang bersumber langsung dari teks-teks suci agama. Oleh
karena itu, dalam semua persoalan keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-
10
teks hadis dan al-Quran adalah tidak berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh dari
argumentasi akal.
Di sini kami akan mengingatkan beberapa poin:
1. Posisi akal berada dalam posisinya yang berhadapan dengan teks-teks suci
agama (naqli), bukan berhadapan dengan agama itu sendiri. Dan merupakan
sebuah tindakan yang tidak benar apabila kita menghadap-hadapkan akal
dengan syariat (baca:agama), dan yang benar adalah membagi agama itu dalam
dua kelompok, yakni argumen akal (aqli) dan teks-teks suci (naqli);
2. Keabsahan dan validitas akal memiliki syarat, sebagaimana halnya hujjiyah dan
validitas teks-teks suci agama;
3. Akal bukanlah qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih), karena akal adalah hujjah
sedangkan qiyas bukanlah hujjah.
Beberapa Faham Tentang Hubungan Akal dan Agama ada empat kelompok
dalam menyikapi hubungan antara akal dan agama ;
1. Kelompok Radical Rationalism. Menurut faham ini, seluruh doktrin-doktrin
agama tanpa terkecuali bisa dibuktikan oleh akal. Dan syarat dari keimanan adalah
dengan pembuktian ini. Akan tetapi faham ini memiliki dua kelemahan; banyak dari
manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan semua doktrin yang
ada dalam agama, terus bagaimana nasib orang-orang seperti ini? Kelemahan lain
dari faham ini, mereka lupa bahwa ada hal-hal dalam agama yang sama sekali akal
tidak sampai kesana (bukan bertentangan dengan akal). Mungkin bebebapa hal
dalam agama seperti pembuktian pokok-pokok dari agama (tauhid, ma’ad,
kenabian, dll) akal bisa membuktikannya, akan tetapi masalah-masalah partikular
(juz’i) akal tidak sampai kepadanya.
2. Kelompok Fideism. Faham ini meyakini bahwa semua doktrin agama tidak
membutuhkan kepada pembuktian dan analisa akal, keimanan bisa muncul tanpa
perlu argumentasi dan penelitian akal. Satu agama bisa diterima tidak perlu kepada
standart apapun. pendapat ini tidak bisa diterima karena pada masalah pokok-pokok
agama (ushuluddin) tidak mungkin bisa diyakini tanpa terlebih dahulu ada
pembuktian akal.
11
3. Kelompok Critical Rationalism. Dengan tidak menerima dua kelompok di atas,
faham ini selain meyakini bahwa kemungkinan melakukan kritik dan penelitian
terhadap agama juga menganggap bahwa tidak satupun dari ajaran agama yang
kebenarannya definitif (qath’i) dan mutlak. Faham ini jelas tidak bisa diterima,
dengan alasan bahwa sebagian dari doktrin-doktrin agama sesuai dengan hukum
pertama akal, dan sudah dibuktikan oleh akal.
4. Kelompok Rasionalisme yang seimbang (Moderat Rationalism). Doktrin agama
dibagi menjadi tiga kelompok; pertama ada yang sejalan dengan akal (dapat
diterima oleh akal) seperti ushuluddin, konsep-konsep umum moral dan lain-lain.
kedua ajaran agama yang di luar (bukan bertentangan ) dari jangkauan akal sepeti
jumlah rakaat dalam shalat, ketiga doktrin agama yang bertentangan dengan hukum
akal seperti trinitas dalam Kristen, hal-hal ini tidak hanya bertentangan dengan akal
bahkan dapat digugurkan oleh akal.
2.3 Peran Akal Pada Agama
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam
sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di
antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman? Masalah yang perlu dilontarkan
ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap
Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui
dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan
hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri
di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan
syariat?.
1. Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan
akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah
keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan
yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak
mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal,
apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui
sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal?
12
Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal,
terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-
keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima
secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273)
berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran
atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga
tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah
merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan
agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga
(1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan
manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal.
Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat
pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa
akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal
dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan
membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui
bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya,
jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep
keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan
haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu
pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu
kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa
arab supaya mereka berakal.” 1) Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya
dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah
satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan
kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin.
Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang
berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke
surga.”2) Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan
masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan
13
yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal.
Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam
masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa
yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga
mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an,
sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka
mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum
Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah
Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara
langsung maupun tidak langsung.
2. Akal dan Syari’at
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara
rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat
subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan
dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya:
berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba
dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum
miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu
orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang
mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita
temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah
diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada
nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah
(berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan
lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan
manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita
berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui
manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan
hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk
menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan
untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam
14
menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini
Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
3. Batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang
lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas
pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa
yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui
perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal
(burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general (kulli) dan particular (juz’i)
adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah
partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal
(argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun
sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk
menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan
hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni
setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan
hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa
Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain,
oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam
adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan
maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada
manusia.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan
pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Tiga taraf
struktural sistem informasi, yaitu:
a. Sensory atau intake register
b. Working memory
c. Long-term memory
Akal dan agama yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada
manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat
tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya
berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada
kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan
meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan
jiwa. akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya
menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami
turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.”
Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui
akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam.
Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan.
16
DAFTAR PUSTAKA
http://buletinmitsal.wordpress.com/perspektif/kedudukan-akal-dalam-perspektif-agama/
http://murtadinkafirun.forumotion.net/t10446-peran-penting-akal-dalam-konsep-agama
http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/01/13/akal-dan-agama/
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/003/10.html
http://abuaqilah.wordpress.com/2007/04/11/17/
http://neosufizm.wordpress.com/2011/08/10/islam-dan-akal/
17