1

Click here to load reader

PUASA PEMECAH BATU_010809

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PUASA PEMECAH BATU_010809

8/9/2019 PUASA PEMECAH BATU_010809

http://slidepdf.com/reader/full/puasa-pemecah-batu010809 1/1

Telp. 021Fax. 021.

BA

CIMB NiaBCAPermataBanBank SyariaBank MandBRI SyariahDanamon S

Rekening a

MOHON BUK

Tundi seluruh K

SemangatRamad

Al-Azhar PeduKomplek MJl. SisingamJakarta Sel

SaksikabersamMAEPAzhar PSelamaPukul 0

Sunarti, setia menemanisuaminya memecahbatu. Meski kerja keras,keduanya tetap puasa.Foto: Rahma K. S

TAKJIL DI SURAU TERPENCILPuasa, Pemecah Batu

arjoko melalui puasakali ini tanpa libur, daripekerjaannya mencari batu. Bersama istrinya, ia

membiarkan badannya terpanggangterik matahari, di lereng Gunung Wilis. Peluh terus meleleh,menguras tenaganya. Namun,Marjoko tak luluh. Ia tetap gagah,menghantamkan palu besi 5 kg,ke bongkahan batu yang keras.Perlahan, batu itu pun pecah.

“Kalau puasa begini istirahat jam11. Nanti dilanjut lagi habis sholatdhuhur”, kata Marjoko terengah.

“Hidup di desa yang kering begini,tak ada pilihan kerja lagi. Kalau

tidak mencari batu, keluarga tidak makan”, imbuh bapak empat anak yang kadang buruh nebang tebu,hingga ke Lampung.

Desa Sanan, Ngetos, KabupatenNganjuk, salah satu desa tandus yang berada di lereng Gunung Wilis. Musim kemarau begini,lahan pertanian tidak dapat diolah.Sawah dan ladang, mengalami satukali musim panen dalam setahun,dengan mengandalkan air tadahhujan. Tanaman yang dapat tumbuhlebih lama singkong.

“Warga di sini sehari-hari masihmakan nasi tiwul (singkong). Kalautidak makan tiwul, beras tidak mencukupi”, Marjoko menuturkan.

Saking gersangnya daerah itu,para suami dan para remajanya

banyak yang merantau ke Surabaya.Sebagian besar, menjadi buruh bangunan dan pembantu rumahtangga. Marjoko sendiri, dua anak gadisnya juga berkerja sebagaipembantu rumah tangga diSurabaya.

Puasa tak menghalangi Marjokodan Sunarti, sang istri, untuk menjalani pekerjaan berat ini.Suami istri itu, mulai berangkatmencari batu pukul enam pagi. Satutruk batu, dibeli oleh pemborongseharga Rp 70.000. Dari jumlah itu,Marjoko, masih menyisihkan Rp30.000, untuk pemilik tanah tempat

batu digali. Pendapatan bersih yangia peroleh tinggal Rp 40.000.

“Satu truk saya kumpulkanselama empat sampai lima hari.

Kalau dihitung dari tenaga danpendapatan, ya ora sumbut (tidak sebading) mas. Tapi ya saya sudah bersyukur, habis mau bagaimanalagi”, tandasnya.

“Kadang yo ngutang lho masnek mboten cekap. Nopo malehwulan poso ngateniki rego-rego podho mundak (kadang berutangkalau tidak cukup. Apalagi bulanpuasa harga-harga naik)”, Sunartimenimpali.

“Orang kecil seperti saya ini, yangdiandalkan cuma otot sama keringet to mas. Mengandalkan jadi petani,lha wong sawah cuma setahunsekali. Lahan juga tidak luas”, imbuhMarjoko.

Siang itu, lereng Gunung Wilispanasnya amat menyengat.Sawah dan ladang, rumputnyamenguning karena kering. Sumberair di belik-belik, (kubangan tempatmenampung air) milik kampungmulai mengecil. Pohon-pohon jati daunnya juga berguguran.Beruntung, sebagian masyarakatmasih dapat memanen singkong.Bahan makanan pokok, yangsampai hari ini masih di konsumsikebanyakan masyarakat lereng Wilis.

Marjoko, bagian dari tandusnya

lereng itu, di kala kemarau. Puasa,tak meluruhkan jiwanya untuk menyerah tidak mengangkat palu besi. Marjoko tetap memecahkan bongkahan-bongkahan batu, dalamujiaan panas dan dahaga. Puasa,telah dipahami Marjoko sebagaikewajiban yang harus dijalani.Dalam situasi dan kondisi apapun.Sedangkan memecah cadas-cadas yang keras, bagian dari jihadnyamenghidupi keluarganya.

“Garis hidup saya ya sepertiini. Senajan kudu mikul watu (meski harus memikul batu), puasaitu sudah kewajiban yang harusdijalankan”, kata Marjoko.●

M

Muhammad Taufq | Al-Azhar PeduliUmmat