40
Kumpulan Puisi Wiji Thukul Kucing, Ikan Asin Dan Aku Seekor kucing kurus menggondol ikan asin laukku untuk siang ini aku meloncat kuraih pisau biar kubacok ia biar mampus ia tak lari tapi mendongak menatapku tajam mendadak lunglai tanganku -aku melihat diriku sendiri! lalu kami berbagi kuberi ia kepalanya (batal nyawa melayang) aku hidup ia hidup

Puisi-Puisi Wiji Thukul

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Kumpulan Puisi Wiji Thukul

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurusmenggondol ikan asinlaukku untuk siang iniaku meloncatkuraihpisaubiarkubacok iabiarmampus

ia tak laritapi mendongakmenatapkutajam

mendadaklunglaitanganku-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagikuberi ia kepalanya(batal nyawa melayang)aku hidupia hidupkami sama-sama makan

Page 2: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Isyarat

PeringatanJika rakyat pergiKetika penguasa pidatoKita harus hati-hatiBarangkali mereka putus asaKalau rakyat bersembunyiDan berbisik-bisikKetika membicarakan masalahnya sendiriPenguasa harus waspada dan belajar mendengarBila rakyat berani mengeluhItu artinya sudah gawatDan bila omongan penguasaTidak boleh dibantahKebenaran pasti terancamApabila usul ditolak tanpa ditimbangSuara dibungkam kritik dilarang tanpa alasanDituduh subversif dan mengganggu keamananMaka hanya ada satu kata: lawan! (Solo, 1986)

Bunga dan Tembok

Seumpama bungaKami adalah bunga yang takKau hendaki tumbuhEngkau lebih suka membangunRumah dan merampas tanahSeumpama bunga

Page 3: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Kami adalah bunga yang takKau kehendaki adanyaEngkau lebih suka membangunJalan raya dan pagar besiSeumpama bungaKami adalah bunga yangDirontokkan di bumi kami sendiriJika kami bungaEngkau adalah tembok ituTapi di tubuh tembok ituTelah kami sebar biji-bijiSuatu saat kami akan tumbuh bersamaDengan keyakinan: engkau harus hancur!Dalam keyakinan kamiDi manapun tirani harus tumbang! (Solo, ’87 - ’88)

SAJAK SUARA

sesungguhnya suara itu tak bisa diredammulut bisa dibungkamnamun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbangdan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwakusuara-suara itu tak bisa dipenjarakandi sana bersemayam kemerdekaanapabila engkau memaksa diamakusiapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampokyang ingin merayah hartamuia ingin bicaramengapa kau kokang senjatadan gemetar ketika suara-suara itumenuntut keadilan?sesungguhnya suara itu akan menjadi kataialah yang mengajari aku bertanyadan pada akhirnya tidak bisa tidakengkau harus menjawabnyaapabila engkau tetap bertahan

Page 4: Puisi-Puisi Wiji Thukul

aku akan memburumu seperti kutukan

(Tanpa Judul)

kuterima kabar dari kampungrumahku kalian geledahbuku-bukuku kalian jarahtapi aku ucapkan banyak terima kasihkarena kalian telah memperkenalkansendiri pada anak-anakkukalian telah mengajar anak-anakkumembentuk makna kata penindasansejak diniini tak diajarkan di sekolahantapi rezim sekarang ini memperkenalkankepada semua kitasetiap hari di mana-manasambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalianadalah bukti pelajaranyang tidak pernah ditulisIndonesia,

(11 agustus ’96)Seorang Buruh Masuk Toko

masuk tokoyang pertama kurasa adalah cahayayang terang benderangtak seperti jalan-jalan sempitdi kampungku yang gelap

sorot mata para penjagadan lampu-lampu yang mengitarikuseperti sengaja hendak menunjukkandari mana asalku

aku melihat kakiku - jari-jarinya bergerak

Page 5: Puisi-Puisi Wiji Thukul

aku melihat sandal jepitkuaku menoleh ke kiri ke kanan - bau-bau harumaku menatap betis-betis dan sepatubulu tubuhku berdiri merasakan desirkipas anginyang berputar-putar halus lembutbadanku makin mingkupaku melihat barang-barang yang dipajangaku menghitung-hitungaku menghitung upahkuaku menghitung harga tenagakuyang menggerakkan mesin-mesin di pabrikaku melihat harga-harga kebutuhandi etalaseaku melihat bayangankumakin letihdan terus diisap (10 september 1991)

Bukan Kata Baru

ada kata baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidaksudah lama kita dihisapbukan kata baru, bukankita dibayar murah

Page 6: Puisi-Puisi Wiji Thukul

sudah lama, sudah lamasudah lama kita saksikanburuh mogok dia telpon kodim, pangdamdatang senjata sebataliyonkita dibungkamtapi tidak, tidakdia belum hilang kapitalisdia terus makantetes ya tetes tetes keringat kitadia terus makan

sekarang rasakan kembali jantungyang gelisah memukul-mukul marahkarena darah dan otak jalankapitalisdia hidupbahkan berhadap-hadapankau aku buruh mereka kapitalissama-sama hidupbertarungya, bertarung

sama-sama?tidak, tidak bisakita tidak bisa bersama-samasudah lama ya sejak mulakau aku tahuberapa harga lengan dan otot kau akukau tahu berapa upahmukau tahujika mesin-mesin berhentikau tahu berapa harga tenagamu

mogoklahmaka kau akan melihatdunia merekajembatan ke dunia barudunia baru ya dunia baru. (Tebet 9/5/1992)

Page 7: Puisi-Puisi Wiji Thukul

BUKAN DI MULUT POLITIKUSBUKAN DI MEJA SPSI

berlima dari solo berkeretaapi kelas ekonomi murahtak dapat kursi melengkung tidur di kolongpas tepat di kepala kami bokong-bongkiri kanan telapak kaki tas sandal sepatutak apa di pertemuan ketemu lagi kawandari krawang-bandung-jakarta-jogya-tangerangburuh pabrik plastik, tekstil, kertas dan macam-macamdatang dengan satu soal

dari jakarta pulang tengah malam dapat bis rongsokpulang letih tak apa diri telah ditempasepanjang jalan hujan kami jongkok tempat duduknempel jendelabocorbocorsepanjang jalan tangan terus mengelapiagar pakeyan tak basahdingindingintapi tak apadiri telah ditempakepala dan dada masih penuh nyanyi panashari depan buruh di tangan kami sendiribukan di mulut politikusbukan di meja spsi (Solo 14 mei 1992)

Page 8: Puisi-Puisi Wiji Thukul

E d a n

sudah dengan cerita mursilah?edan!dia dituduh malingkarena mengumpulkan serpihan kaindia sambung-sambung jadi mukenauntuk sembahyangpadahal mukena tak dibawa pulangpadahal mukena dia tarohdi tempat kerjaedan!sudah diperasdituduh maling pula

sudah dengan cerita santi?edan!karena istirahat gaji dipotongedan!karena main kartulima kawannya langsung dipecat majikanpadahal tak pakai wangpadahal pas waktu luangedan!kita mah bukan sekrup (Bandung 21 Mei 1992)

Page 9: Puisi-Puisi Wiji Thukul

LEUWIGAJAH

Leuwigajah berputardari pagi sampai pagijalan-jalan gemetardebu-debu membumbungdari knalpot kendaraan pengangkut mesin-mesin terus membangunkanburuh-buruh tak berkamar-manditidur jejer berjejer alas tikartanpa jendela tanpa cahaya mataharilantai dinding dingin lembab pengap

lidah-lidah penghuni rumah kontrakterus menyemburkan cerita buruk:lembur paksa sampai pagi - upah rendahjari jempol putus - kecelakaan-kecelakaankencing dilarang - sakit ongkos sendirimogok? pecat!seperti nyabuti bulu ketiak

Page 10: Puisi-Puisi Wiji Thukul

tubuh-tubuh mudaterus mengalir ke Leuwigajahseperti buah-buah disedot vitaminnyamesin-mesin terus menggilasmemerah tenaga murahsatu kali dua puluh empat jammasuk - absen - tombol ditekandan truk-truk pengangkut produksimeluncur terus ke pasar

Leuwigajah tak mau berhentidari pagi sampai pagicerobong asap terus mengotori langitlimbah mengental selokan berwarna

Leuwigajah terus minta darah tenaga mudaLeuwigajah makin panasberputar dan terus mengurastenaga-tenaga murah (Bandung - Solo 21 Mei - 16 Juni)

LEUWIGAJAH MASIH HAUSleuwigajah tak mau berhentidari pagi sampai pagibis-bis-mobil pengangkut tenaga murahbikin gemetar jalan-jalandan debu-debu tebal membumbung mesin-mesin tak mau berhentimembangunkan buruh tak berkamar-manditanpa jendela tanpa cahaya mataharijejer berjejer alas tikarlantai dinding dingin lembab pengap 

Page 11: Puisi-Puisi Wiji Thukul

mulut lidah-lidah penghuni rumah kontrakterus bercerita buruklembur paksa sampai pagitubuh mengelupas-jari jempol putus - upah rendahmogok - pecatseperti nyabuti bulu ketiak tubuh-tubuh mudaterus mengalis ke leuwigajahseperti buah-buah disedot vitaminnyamesin-mesin terus menggilasmemerah tenaga murahsatu kali duapuluhempat jammasuk - absen - tombol ditekandan truk-truk pengangkut produksimeluncur terus ke pasar leuwigajah tak mau berhentidari pagi sampai pagi asap crobong terus kotorselokan air limbah berwarnamesin-mesin tak mau berhentiterus minta darah tenaga muda leuwigajah makin panasberputar dan terus menguras (Bandung 21 mei 1992)

MAKIN TERANG BAGI KAMI

tempat pertemuan kami sempitbola lampu kecil cahaya sedikittapi makin terang bagi kami

Page 12: Puisi-Puisi Wiji Thukul

tangerang - solo - jakarta kawan kami

kami satu : buruhkami punya tenaga

tempat pertemuan kami sempitdi langit bintang kelap-keliptapi makin terang bagi kamibanyak pemogokan di sanasini

tempat pertemuan kami sempittapi pikiran ini makin luasmakin terang bagi kamikegelapan disibak tukar-pikiran

kami satu : buruhkami punya tenaga

tempat pertemuan kami sempittanpa buah cuma kacang dan air putihtapi makin terang bagi kamikesadaran kami tumbuh menyirami

kami satu : buruhkami punya tenaga

jika kami satu hatikami tahu mesin berhentisebab kami adalah nyawayang menggerakkannya (Bandung 21 mei 1992)

Page 13: Puisi-Puisi Wiji Thukul

SATU MIMPI SATU BARISAN

di lembang ada kawan sofyanjualan bakso kini karena dipecat perusahaankarena mogok karena ingin perbaikankarena upah ya karena upah

di ciroyom ada kawan sodiyahsi lakinya terbaring di amben kontrakanburuh pabrik tehterbaring pucet dihantam tipesya dihantam tipesjuga ada nenikawan bariahbekas buruh pabrik kaos kakikini jadi buruh di perusahaan lagidia dipecat ya dia dipecatkesalahannya : karena menolakdiperlakukan sewenang-wenang

di cimahi ada kawan udin buruh sablonkemarin kami datang dia bilangumpama dironsen pasti nampakisi dadaku ini pasti rusakkarena amoniak ya amoniak

di cigugur ada kawan sitipunya cerita harus lembur sampai pagipulang lunglai lemes ngantuk letihmembungkuk 24 jamya 24 jam

di majalaya ada kawan emanburuh pabrik handuk dulukini luntang-lantung cari kerjaan

Page 14: Puisi-Puisi Wiji Thukul

bini hamin tiga bulankesalahan : karena tak suditerus diperah seperti sapi

di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyahtak bisa dibungkam kodimtak bisa dibungkam popor senapandi mana-mana ada neni ada udin ada sitidi mana-mana ada emandi bandung - solo - jakarta - tangerang

tak bisa dibungkam kodimtak bisa dibungkam popor senapansatu mimpisatu barisan (Bandung 21 mei 1992)

Page 15: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Sajak Ibu

ibu pernah mengusirku minggat dari rumahtetapi menangis ketika aku susahibu tak bisa memejamkan matabila adikku tak bisa tidur karena laparibu akan marah besarbila kami merebut jatah makanyang bukan hak kamiibuku memberi pelajaran keadilandengan kasih sayangketabahan ibukumengubah sayur murahjadi sedap……dengan kebajikanibu mengenalkanku kepada tuhan

Derita Sudah Naik Seleher

Page 16: Puisi-Puisi Wiji Thukul

kaulempar aku dalam gelaphingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat kerashingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduktapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskandari bibirkuluka sudah kaubilurkanke sekujur tubuhkucahaya sudah kaurampasdari biji mataku

derita sudah naik seleherkaumenindassampaidi luar batas

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASAOleh: Wiji Thukul

aku bukan artis pembuat beritatapi memangaku selalu kabar burukbuat para penguasa

puisiku bukan puisitapi kata-kata gelapyang berkeringatdan berdesakan mencari jalan

Page 17: Puisi-Puisi Wiji Thukul

ia tak mati-matimeski bola mataku digantiia tak mati-matimeski bercerai dengan rumahia tak mati-matitelah kubayar apa yang dia mintaumur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagihpadaku ia selalu berkata:kau masih hidup!

aku memang masih utuhdan kata-kata belum binasa (18 juni 1997)

MOMOK HIYONG

momok hiyong si biang kerokpaling jago bikin ricuh

Page 18: Puisi-Puisi Wiji Thukul

kalau situasi keruhjingkratjingkrat ia

bikin kacau dia ahlinyaakalnya bulus siasatnya ularkejamnya sebanding nerosefasis hitler sefeodal raja kethoprak

luar biasa cerdasnyadi luar batas culasnya

demokrasi dijadikan bola mainanhak azazi ditafsir semau gue

emas doyan hutan doyankursi doyan nyawa doyanluar biasa

tanah air digadaikanmasa depan rakyat digelapkandijadikan jaminan utang

momok hiyong momok hiyongapakah ia abadidan tak bisa mati?

momok hiyong momok hiyong berapa ember lagidarah yang ingin kau minum?(30 september 96)

Page 19: Puisi-Puisi Wiji Thukul

CATATAN HARI INI

aku nganggur lagi

semalam ibu tidur di kursijam dua lebih aku menulis puisiaku duduk menghadap mejaibu kelap-kelip matanya ngitung utangjam enam sore:bapak pulang kerjasetelah makan sepiringlalu mandi tanpa sabun

tadi siang ibu tanya padaku:kapan ada uang?

jam setengah tujuh malamaku berangkat latihan teaterapakah seni bisa memperbaiki hidup? (Solo, juni 86)

Page 20: Puisi-Puisi Wiji Thukul

CATATAN SURAM

kucing hitam jalan pelanmeloncat turun dari ataptiga orang muncul dari dalam gelapsembunyi menggenggam besi

kucing hitam jalan pelan-pelandiikuti bayang-bayangketika sampai di mulut gangtiga orang menggerammelepaskan pukulan

bulan disaput awan meremangsaksikan perayaan kemiskinandaging kucing pindahke perut orang! (Solo, 1987)

Page 21: Puisi-Puisi Wiji Thukul

BALADA PELURU

di mana moncong senapan itu?

aku pengin meledak sekaligus jadi pelurumencari jidatmu mengarah mampus-Muakan kulihat nyawa-Mu yang terbangdan kukejar-kejar dengan nyawaku sendiriagar tahu rumah-Muaku rela bunuh diritentu saja setelah tahu ke mana pulang-Mu.

Tetapi peluru yang mencari jidat-Mu ituHanya ketemu mata-Mu yang menyihirSim salabimKembali kau pada wujudmu asli!Dan memang tidak akan pernah ada yang akanMembawakanSenapanUntukkuApalagiJidatMimpi indah iniMimpi indah iniMengapa kekal?

Page 22: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Derita Sudah Naik Seleher

kaulempar aku dalam gelaphingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat kerashingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduktapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskandari bibirkuluka sudah kaubilurkanke sekujur tubuhkucahaya sudah kaurampasdari biji mataku

derita sudah naik seleherkaumenindassampaidi luar batas

Page 23: Puisi-Puisi Wiji Thukul

P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketikaku akan menulis dengan tanganjika tak ada tinta hitamaku akan menulis dengan arang

jika tak ada kertasaku akan menulis pada dindingjika aku menulis dilarangaku akan menulis dengantetes darah!

sarang jagat teater (19 januari 1988)

Page 24: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Gentong Kosong

parit susuttanah kerontanglangit mengkilau perakmatahari menggosongkan pipi

gentong kosongberas segelas cumamasak apa kita hari ini

pakis-pakis hijaubawang putih dan garamkepadamu kami berterima kasihatas jawabmupada sang lapar hari ini

gentong kosong airmu keringciduk jatuh bergelontangminum apa hari ini

sungai-sungai pinggir hutanyang menolong di panas terikdan kalian pucuk-pucuk muda daun pohon karetyang mendidih bersama ikan teri di pancijadilah tenaga hidup kami hari inidengan iris-irisan ubi keladiyang digoreng dengan minyakpersediaan terakhir kami

gentong kosongbotol kosongmarilah menyanyimerayakan hidup ini

(dari Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesiatera 2004)

Page 25: Puisi-Puisi Wiji Thukul

KUBURAN PURWOLOYO

di sini terbaringmbok cipyang mati di rumahkarena ke rumah sakittak ada biaya

di sini terbaringpak pinyang mati terkejutkarena rumahnya digusur

di tanah initerkubur orang-orang yangsepanjang hidupnya memburuhterhisap dan menanggung hutang

di sinigali-galitukang becakorang-orang kampungyang berjasa dalam setiap pemiluterbaringdan keadilan masih saja hanya janji

di sinikubaca kembali:sejarah kita belum berubah!

(jagalan, kalangan solo, 25 oktober 88)

Page 26: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Sukmaku Merdeka

sukmaku merdekatidak tergantung kepada Departemen Tenaga Kerjasemakin hari semakin nyata nasib di tangankutidak diubah oleh siapapuntidak juga akan dirubah oleh Tuhan pemilik sorgaapakah ini menyakitkan ? entahlah !aku tak menyumpahi rahim ibuku lagisebab pasti malam tidak akan berubah menjadi pagihanya dengan memaki-maki

waktu yang diisi keluh akan berisi keluhwaktu yang berkeringat karena kerja akan melahirkanserdadu-serdadu kebijaksanaanbiar perang meletus kapan sajaitu bukan apa-apamasalah nomer satu adalah hari inijangan mati sebelum dimampus takdir

sebelum malam mengucap selamat malamsebelum kubur mengucapkan selamat datangaku mengucap kepada hidup yang jelatam e r d e k a ! (Solo, 1989)

Page 27: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Di Negeri ini Milikmu Cuma tanah Air bulan malam mem buka matakumerambati wungwungan rumah-rumah bambuyang rendah dan yang miringdi muka parit yang suka banjirmembayanglah masadepanmu rumah-rumah bambuyang rendah dan yang miringlentera minyak gemetar merabamupengembara, 0, pengembara yang nyenyakbulan malam menggigit batinkumulutnya lembut seperti pendeta tuamengulurkan rontalan nasibmu 0 tanah-tanah yang segera rataberubahlah menjadi pabrik-pabriknyakitapun kembali bergerak seperti jamurliar di pinggir-pinggir kalimenjarah tanah-tanah kosongmendirikan kemah gubug-gubugmencari tanah pemukiman disiniberanak cucu melahirkan anak suku-suku terasingya ng akrab dengan peluh dan mataharidi tanah negeri ini milikmu cuma tanah air. (Agustus 1987 – solo)

Page 28: Puisi-Puisi Wiji Thukul

BURUH-BURUH di batas desapagi - pagi dijemput trukdihitung seperti pesakitandiangkut ke pabrikbegitu seterusnyamesin terus berputarpabrik harus berproduksi pulang malambadan loyonasi dingin bagaimana kalau anak sakitanbagaimana obatbagaimana dokterbagaimana rumah sakitbagaimana uangbagaimana gajibagaimana pabrik? mogok?pecat! mesin tak boleh berhentimaka mengalirlah tenaga murahmbak ayu kakang dari desadisedotsampai pucat (solo, 4-86)

Page 29: Puisi-Puisi Wiji Thukul

Kemerdekaan

kemerdekaanmengajarkan aku berbahasamembangun kata-katadan mengucapkan kepentingan

kemerdekaanmengajar aku menuntutdan menulis surat selebarankemerdekaanlahyang membongkar kuburan ketakutandan menunjukkan jalan

kemerdekaanadalah gerakanyang tak terpatahkankemerdekaanselalu di garis depan

(Solo, 27-12-1988)

Page 30: Puisi-Puisi Wiji Thukul

TUJUAN KITA SATU IBU

Kutundukkan kepalaku,bersama rakyatmu yang berkabungbagimu yang bertahan di hutandan terbunuh di gunungdi timur sana

Di hati rakyatmu,tersebut namamu selaludi hatikuaku penyair mendirikan tugumeneruskan pekik salammu"a luta continua."

kita tidak sendiriankita satu jalantujuan kita satu ibu:pembebasan!

Kutundukkan kepalakukepada semua kalian para korbansebab hanya kepadamu kepalaku tundukkepada penindastak pernah aku membungkukaku selalu tegak

(4 Juli 1997)

Page 31: Puisi-Puisi Wiji Thukul
Page 32: Puisi-Puisi Wiji Thukul