52
Sastra kabarkan segala

Purakasastra Edisi 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Indonesian literary magazine with a fresh and youthful appearance. literature proclaim all...

Citation preview

Page 1: Purakasastra Edisi 2

Sastra kabarkan segala

Page 2: Purakasastra Edisi 2

2

Cerpen : Bawah Beringin Gedung Multipurpose…………………………………11

Kajian : Martin Heidegger…..20

Cerpen : Untai Cinta Berbentuk Lingkaran

Tak Berujung………..26

Puisi : Meja Kayu……………25Kursi Tua………………….25

Page 3: Purakasastra Edisi 2

3

Puisi : Sajak Tanah Basah

31 36

35

50 51

Acara : Bulsn Bahasa dan Sastra

Page 4: Purakasastra Edisi 2

4

Kata Pengantar

Setelah edisi pertama terbit dan beredar,kami persembahkan kembali edisi kedua inikepada masyarakat sastra di Indonesia.

Melalui media ini pembaca dapat menikmatisajian seputar dunia sastra dalam beberaparubrik yang telah disediakan oleh redaksi,antara lain adalah : LenteraSastra,KajianSastra, Infosastra, ParaSastra,SastraCyber, dan PuraKarya.

Diharapkan rubrik-rubrik tersebut akanmenjadi sumber inspirasi segar bagi kitasemua untuk berkarya.

Salam Budaya,

Redaksi

Page 5: Purakasastra Edisi 2

Pengurus PURAKASASTRA

Pemimpin Umum Manaek Sinaga

Pemimpin Redaksi Rizal

WAPEMRED Ricky Richard Sehajun

Redaktur Pelaksana Irfan Purnama

WaREDPEL Muhammad Ridw

EDITOR Firman Dirgeisus PermanaHeti Nuraisah

Sindi Violinda

Desain Artistik Martono Loekito

[email protected] (pengiriman naskah)

www.facebook.com/purakasastramedia

www.twitter.com/purakasastra

www.purakasastra.blogspot.com

www.purakasastra.com

an Kholis

Purakasastra adalah media independen yang bertujuan untuk ikut membangun dan memajukandunia kesusastraan nasional. Kami menerima semua bentuk sumbangan naskah untuk dapatdipublikasikan secara nasional melalui media ini. Sumbangan tersebut dapat berupa kajian-kajiankesusastraan, liputan kegiatan sastra , tips-tips menulis, karya sastra, buku-buku sastra, dan lain-lain.Naskah/ karya yang dikirim harus orisinal (asli), tidak menjiplak karya orang lain, dan tidakmengandung unsur kekerasan, pornografi atau pelanggaran unsur SARA (Suku, Agama, dan Ras).Penulis bertanggung jawab penuh atas orisinalitas naskah/karya tulisnya. Isi naskah/karya tulissepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, baik terhadap tuntutan plagiat atau pun tuntutanlainnya. Redaksi berhak menyunting naskah/ karya bila diperlukan, tanpa mengurangi maksudnya.

Zainab Salsabil

Enung Karwati, ST

Adi Septa Suganda

Bekti Puji Lesthari

Ade Junita

Itur Yuliastik

Yessy OktavianiDicky Nugroho

Alfian Nawawi

Israwaty Samad

Dianie Apnialis M

Kisnawati

Dian Rusdi

Yudi Haryansyah

LatifaAsnawati

Pengurus rubrik

Page 6: Purakasastra Edisi 2

| CATATAN ANOMALI

MERDEKA??Makhluk Indonesia, melolong, “kami merdeka”. Tapi, lolongan itu

disenyapkan realitas. Realitas berperan antagonis. Ia berkumandang, “Indonesia

belum merdeka”. Kolom kemerdekaan Indonesia terdefinisi sebagai,

terlepas dari jerat penjajah asing. Itu dulu. Sekarang lain lagi. Ada redefinisi

kemerdekaan. Penjajah asing terlempar. Penjajah dalam negeri terdampar.

Penjajah itu terjelma dalam kemasan kemiskinan, korupsi,

ketidakadilan, kecurangan. Penjajah ini menoreh luka. Punya tusukan maut.

Mendatangkan petaka. Disebut pembunuh berdarah dingin. Manusia dibuat

mati pelan-pelan.

Lantas, siapa bertanggungjawab memusnahkannya? Makhluk Indonesia, bukan?

Pemimpin dan rakyat. Idenya, keduanya harus bersatu. Praktisnya, tercuat

perceraian. Ide pemimpin yakni mengasihi, mengatur dan menjaga. Tapi kerapdibarengi tindakan memanfaatkan rakyat. Sebabnya, kepentingan. Hakikatnya,

menilai penting atau tidak penting, tergantung kepentingannya. Perbedaankepentingan inilah yang merangsang penjajah baru. Ia mengandeng racun tukmembungkam kesejahteraan. Lihat saja.

Kata banyak calon pemimpin, “yang baik adalah menjadi pemimpin”. Tatkala

jadi pemimpin, sukanya memacu dan memicu kemelaratan. Ironisnya, di tengahsituasi rakyat yang telah dipusingkan oleh terpaan kemelaratan, pemimpin tidakambil pusing. Senyumnya riang. Tawanya terkekeh. Namun, sewaktu rapat soalrakyat, malah tertidur. Sukanya duduk di sofa. Jarang turun ke lapangan rakyat.Makanannya serba luar negeri. Kalaupun telah berorasi, cinta akan produk dalam

negeri. Belum lagi soal harga BBM yang kian melonjak.

Oleh : Ricky Richard Sehajun

6

Page 7: Purakasastra Edisi 2

Gilanya, kalau sudah jadi pemimpin, yang lain dianggap tidak bisa memimpin. Mengangap diri, hanyaaku yang bisa. Aku luar biasa. Yang lain berbisa. Maka, berusaha saling menjerat dan menjarah.

Pemimpin mengaggap diri sehat, padahal kesehatannya terganggu. Ada sakit KKN, sakit malas dan

ego yg tinggi. Dibilang masuk rumah sakit untuk direhabilitasi, malah dianggap krtikan yang tidakmembangun. Dianggap melecehkan pejabat. Udah salah tafsir-kan? Pantas saja segala rencana kerjatidak teratur. Tidak punya disiplin makna yang tertata karena memang ada salah tafsiran. Kalau salahtafsir, maka ngomongnya asal ngomong. Semuanya kosong. Yang kosong adalah pikiran baiknya. Kalaupikirannya kosong, besar kemungkinan ngomongnya kotor. Terjadilah janji kosong. Bahasa yang dipakaipenuh gombalan maut. Muslihat yang gemilang. Tak ketinggalan imajinasinya pada semberawutsemua. Yang ada cuma suara sumbang yang juga terlahir dari kekosongan. Omong kosong seraya

berpikir tong kosong. Kasihan rakyat, selalu terbawa rayuan omong kosong. Padahal mereka

bertindak untuk mengisi kekosonggan diri. Maklum, di rumah mungkin yang ada hanya rumah kosong.Peralatan kosong. Jadi, pantasan mereka mengambil uang kita, jati diri kita. Kita mau berkata apa?Rasa-rasanya, “kata”, kita mungkin dianggap omong kosong juga bagi mereka. Pemimpin yang baikharus sehat, tidak hidup dalam kekosongan dan omong kosong.

Indonesia dibelenggu oleh tudingan omong kosong.Omong kosong terpaut dengan retorika

bahasa. Lontaran kata yang seolah-olah berasal dari sang kebenaran. Padahal dari sang kejahatan. Ini,mengharuskan ada kolom intelektual yang membantai retorika omong kosong. Seraya mengantikannya

dengan suara kebenaran murni. Suara kebenaran tersebut diletakan pada tangan dan mulut

para sastrawan atau kritikus sastra. Suara itu, tanpa kepentingan politik. Tanpa berhamba padakekuasaan.

Bukan berminat pada sogok-sogokan. Sastrawan tidak boleh bungkam di hadapan

kekuasaan. Apalagi mati di tangan ketidakadilan. Sastrawan harus berada pada jalur

kepentingan kemerdekaan Indonesia. Tampilan realitas kerapkali menampilkan sastrawan yang malahmengabdi pada kekuasaan omong kosong. Dengan pengabdian tersebut, sesungguhnya kemerdekaanpara sastrawan direnggut. Dibumi hanguskan. Kita berjuang untuk cinta akan kebaikan. Ketika

pemerintah bertindak kapitalis, kita mengusung pengabdian pada cinta demokrasi.

Sembari berusaha menariknya pada jalur kebenaran. Kita tidak boleh menambah lagi krisis kejujurannegeri ini. Biar, negara Indonesia dapat terbebas segala pejajah asing dan dalam negeri.

KUNJUNGI FANPAGE FACEBOOK KAMI DI :www.facebook.com/majalahpurakasastra

7

Page 8: Purakasastra Edisi 2

LenteraSastra

LOMBA MENULIS 2014

*syarat dan ketentuan berlaku

Oleh : Nilam

8

Dengan membaca, penulis dapat membuka wawasan tentang hal-hal baru. Kadang pada saat yangbersamaan, inspirasi yang didapat dari bacaan bisa menjadi dapur ide untuk dituangkan menjadi sebuahtulisan. Meski dalam prakteknya menulis tidak semudah seperti yang dipikiran, namun jikaterus menerus dilatih tentu akan dapat menulis.

Berlatih menulis juga pada akhirnya membutuhkan sebuah ruang eksperimen. Sebuah percobaanterhadap ide-ide yang didapat. Lantas bagaimana penulis melakukan eksperimen tersebut? Salah satunyaadalah dengan mengikuti lomba menulis. Lomba yang diselenggarakan oleh banyak pihak, baik lombamenulis ilmiah ataupun sastra.

Buang dulu pemikiran negatif tetang kapabilitas diri yang menghantui diri Anda. Kalau tidak dicoba,kapan lagi? Berikut ini ada beberapa tips mengikuti ajang lomba dalam dunia kepenulisan :

Harus Tahu Siapa Pihak

Penyelenggara Lomba

Hal ini untuk menghindari adanya unsur komersial/bisnisberkedok perlombaan. Pada kasus tertentu perluditelusuri latar belakang pihak yang menyelenggarakanlomba.

Perhatikan Syarat dan

Ketentuan Lomba

Pastikan karya yang diikutsertakan sudahmemenuhi syarat dan ketentuan lomba,sepertitema, aturan teknis, dan kelengkapan pendaftarankarya. Jika tidak maka hanya buang-buang waktusaja. Dewan Juri hanya akan menyeleksiberdasarkan syarat dan ketentuan lomba

Page 9: Purakasastra Edisi 2

Tetap fokus… dan fokus!

LenteraSastra

9

Perhatikan Tenggat Waktu

Terkadang, tergiur dengan beberapa lomba dengan deadlineyang hampir bersamaan. Sementara itu waktu yang dimilikiterbatas. Buatlah rencana pengerjaan yang baik. Yakinlahhasilnya pasti akan baik pula. Kebiasaan mengejar suatupekerjaan menjelang batas akhir bisa berakibat fatal terhadapkarya yang akan dilombakan.

Fokuslah pada tema cerita yang sedang dikerjakan.Kadang begitu antusias ingin menuangkan semuakemampuan sehingga hasil akhirnya malah berantakan.Perhatikan kembali detil yang dilombakan, gunakanteknik penulisan yang sesuai agar karya Andamendapatkan hasil yang maksimal.

Lomba Bukan Garis Finish tapi

Start

Gagal menjadi pemenang dalam lomba bukan berartikalah. Bisa jadi pembelajaran mematangkan karyauntuk dikemudian hari. Demikianpun menjadi pemenanglomba bukanlah akhir dari totalitas karya. Waktu yangakan datang ada tantangan lebih besar yang harusditaklukan.

Lomba adalah Latihan

Semakin sering ikut lomba semakin tahu celah yangbisa dimasuki. Semakin tahu pula, kalau di luar sana adabanyak penulis dengan kemampuan bagus. Jadi,buatlah karya dengan kemampuan sendiri dan percayadengan karya sendiri adalah modal.

Page 10: Purakasastra Edisi 2

LenteraSastra

PAGI-PAGI

Di Lereng bukit kampungkuMentari maluMenengok kilau kerling embun

Sesaat menunggu jatuh pendar kilau kristalMentari memasuki gubukMenyusup celah lubang jendela tuaMenerbang debu yang melayang

Pagi-pagi...Lintas kali bening dari mata air bukitSirip kecil ikan tewasMenari lenggokEkor mengolok pancur bambu

Pagi-pagi..Rindang wana riuh fauna mengurau alam

Pagi-pagi..Ia datang lagiNanti ia pergiUntuk datang lagi 10

PuraKarya - Puisi

Hadiah

Hadiah juga penting untuk diketahui. Hal inimenumbuhkan motivasi untuk menghasilkan karyamaksimal. Pastikan memilih lomba yang disesuaikandengan kemampuan. Hadiah besar maka tingkatkesulitan penulisanpun sulit pula.

Bagi kalian yang telah beberapa kali mengikut lomba tapi belum menang, jangan berkecil hati,tetaplah optimis karena sejatinya seorang juara punya semangat untuk mencoba kembali. Manusiapunya jiwa-jiwa besar untuk mengalahkan kegagalan. Menjadi pemenang untuk diri sendiri.Ayo berlomba! Tetap optimis. Menulislah karena dengan menulis belajar mengasah ketajamanwawasan. Teriakkanlah suara jiwa kalian dengan santun melalui pena dan keyboard. Berikansentuhan kebaikan untuk merubah dunia melalui tulisan.Semoga tips ini bisa bermanfaat!

Oleh : Jabugart joeni regar

Page 11: Purakasastra Edisi 2

PuraKarya - Cerpen

11

Oleh : Nano SudarnoSiang hari. Terik matahari tidak terlalu panas.Hanya berkas-berkas sinar menembusgumpalan kapas langit kecokelatan. Terpaanangin yang berbolak-balik arah seakanmenggambarkan musim tak lama lagi berganti.Di kejauhan sesekali terdengar ‘thiit’ panjangsuara klakson kendaraan yang melintas di jalanraya berselingan dengan deru mesin yang takpernah terhenti. 13.30 siang waktu itu.

Beringin rindang dikelilingi beton melingkartempat duduk terlihat bagai satu tanamandalam pot raksasa. Di kanan kiri tegak berdiribeberapa pohon beringin lain berjajar denganketapang dan munggur. Daun-daun pohon yangberguguran hanya meninggalkan sedikit bagianmelambai-lambai mengikuti kemana anginmenariknya. Hanya nampak satu tanaman yangtetap rindang seakan-akan menjadi payungbagi manusia yang melintas di bawahnya.Kendatipun beberapa daun kuning berguguranberingin itu tetap perkasa di pot raksasanya.

Beringin rindang itu tepat berada di depansebuah gedung. Beton-beton raksasa nampakkokoh menjadi pilar-pilar penyangga atap.Rangka baja atap bangunan itu bagaikancangkang keras gedung yang tak tergoyahkanoleh terpaan hujan dan angin.Warna orange menyalanya diselangi warnaputih dan ornamen-ornamen keramik

berwarna tampak menjadi identitas. Pintu-pintu kaca lebar berjajar menunjukkan bahwagedung itu mampu melahap ribuan manusia kedalamnya. Tepat di bagian atasnya terpampangtulisan tegas yang menunjukkan nama danidentitas pemilik gedung itu. Ya, gedungserbaguna, Multipurpose Building dan satuistilah bahasa Arab yang tak bisa kubaca. Dibawah tulisan itu nampak satu tulisan lebihkecil “Universitas Gajah Wong”

Siang itu, memang tak begitu terik. Nampakbeberapa pedagang kakilima tidak dikerubutipembeli seperti biasanya. Hanya terlihat lalulalang mahasiswa yang beraktifitas di kampus.Berdekatan dengan gedung serbaguna memangterdapat beberapa gedung yang masihmerupakan kompleks kampus Universitas GajahWong. Tak heran bila di depan gedungserbaguna, sering menjadi tempat berkumpulmahasiswa sekedar bersantai atau jajan padapedagang kakilima yang biasanya mangkal.Kadang tempat duduk di sekeliling beringinperdu di depan gedung serbaguna itu dipenuhimahasiswa sehingga nampak seperti manusia-manusia sedang duduk di bibir pot raksasa.Tapi siang itu hanya duduk sendiri. Sepi.

Page 12: Purakasastra Edisi 2

PuraKarya - Cerpen

“Whuueeedddannn, mahasiswa Bro!!”. Akuterhentak dan bertanya dalam hati siapayang menganggapku sebagai mahasiswa. Takpernah ada orang sebelumnya yangmengatakanku demikian selain teman-temankuliahku dan dosen yang mengenalku. Akumemang berpenampilan seadanya, baju belidi loakan dengan sepatunya. Celana jeansyang kupakai setiap kuliah dan kegiatan dikampus karena memang hanya itu yang akupunya. Bahkan juragan di tempatku bekerjasebagai tukang fotokopi sekalipun tak pernahtahu jika aku sebenarnya juga mahasiswa dikampus tempatnya mengajar. Tukangfotokopi, demikian lebih banyak orangmengenalku.

“Pinjam koreknya boss!! Laki-laki yang hanyaberambut di atas telinga dan tengkuknya ituterus nyerocos berbicara. Pintanyameminjam korek api melihatku merokok.

Aku masih terdiam heran melihatnya yangberstelan rapi sepatu pantofel, jas safari birudan celana gelap mengkilat. Dengansenyumnya yang ngekeh terlepas Ncuptemanku yang kebetulan lewat meletakkanjari telunjuk di depan jidatnya condong kekanan. “Ngapa lo?” merasa dianggap gilaoleh sahabatku, laki-laki itu melototmenghardik Ncup. Sementara Ncup memilihberbalik badan berpamitan.

“Aku pulang dulu ya, No. Aku mau main bolanih.” Seraya berjalan menghampiri sepedamotornya yang diparkir, sekali ia menolehpadaku sambil tertawa. “Wealah, SusenoBadar Yogosworo, Caleg Partai Celeng!” Akulebih terheran oleh sahutan pedagangsiomay itu. Aku menduga-duga kenapa iakenal dengan laki-laki berstelan rapi itu.Apakah tetangganya? Ataukah kerabatnya?Aku begitu tertarik hingga melupakansahabatku yang berpamitan. “Ya Ncup, hati-hati” jawabku sekenanya. “Melu edan koe Nonek nanggepi wong kui.” Serunya menyebutnamaku sambil berlalu masih terus tertawa.

“Nyaleg gagal, hartanya habis jadi gila kokngajak-ngajak”. Pedagang siomay itu sekalilagi tahu tentang laki-laki botak ubun-ubunberstelan rapi itu. Aku begitu tertarik, sangattertarik.Tak sadar aku sedikit melamun terusbertanya dalam hati dan menduga-duga.

“Whoe… pinjam korek, boss!!! Suara keraslaki-laki botak ubun-ubun itu di dekat telingamembuatku terperanjat. Geragapan akumencari-cari korek apiku yang seingatkukutaruh di saku kanan celanaku. “Whoe….Korek apinya ada tidak??Teriaknya lagimengejarku. “Hagagagagagaga………….”.

“Ya, ya sebentar. Baru saya cari” jawabkugugup. “Ini, Pak.” lanjutku sembarimenyodorkan korek api warna hijau milikkupadanya.

“Hagagagaga.” Aku masih tak tahu setengahtak percaya apakah isyarat sahabatku tadimemang benar. Lalu laki-laki botak berstelanrapi itu tertawa ngakak tak terkendali sepertitak sadar diri. Aku masih tetap bingung danterheran-heran.

“Lha rokoknya mana?!” suara laki-laki itulagi-lagi mengagetkanku.

“Katanya pinjam korek?” tanyaku masihtetap dalam keheranan “Kok rokoknya jugaminta?” lanjutku. “Mahasiswa kok pelit.”gumamnya. Dua batang rokok kretekmurahan punyaku masih dalam bungkusorangenya pun kusodorkan.

“Mahasiswa kok ngrokok kretek. Murahanlagi.”

“Nek kerso ya monggo” jawabku agak bebahmelihat keanehan orang yang kurang sopanmenurutku ini. Tapi ketertarikankumengalahkannya.

“Ya gak apa-apa lah, daripada tidak ngebul”selorohnya.

Cukup lama aku hanya duduk membatu didepan gedung serbaguna. Terlintas di pikirankadang sekelebat gambar Ncup sahabatkuyang sedang bermain sepak bola. Kadanglembaran-lembaran kertas fotokopi yangmasih terasa hangat sisa cetakan. Entahsudah berapa jam aku duduk di depangedung serbaguna itu. Sementara laki-lakiberstelan rapi itu masih mondar-mandir disekitar gedung serbaguna. Kadang iamemunguti guguran daun-daun beringin danmengelompokkannya berdasarkan warnanyayang hijau, kuning dan kering.

Page 13: Purakasastra Edisi 2

PuraKarya - Cerpen

Kadang tiba-tiba berlari menghampirimahasiswi yang melintas sembarimenggodanya dan tertawa lepas. Kadang iabergumam sendiri membicarakan undang-undang, membicarakan demokrasi dankampanye, entahlah tak semuanya bisakudengar walaupun terus kuperhatikan. Akumemilih tetap mematung di depan gedungserbaguna itu sembari menghabiskan gelaskedua es cincauku. Rokok kretek murahanterakhir pun sudah terasa panas disela jaritengah dan telunjukku yang menjepitnya. Akudiam memperhatikan sekitar dan tetaptertarik tingkah laki-laki rapi itu. Gerak-geriknya tak sedikitpun lepas daripengawasanku. Keabsurdannya pun kadangmembuatku menyunggingkan senyum.

Segerombolan angin tiba-tiba menarik dahan-dahan beringin dan mengajak daun-daunnyamenari. Beberapa kutilang yang baru sajadatang bernyanyi dan memberi irama.Mentari jelang senja yang semakin condongmenyirami pancar-pancar jingga memaksadaun-daun beringin semakin rancak menari.Hingga tak sadar, beberapa daun lanjut usiamabuk jatuh tersungkur ke dasar konblok potraksasa beringin itu. Sementara aku tetaptermangu memperhatikan laki-laki berstelanrapi itu sembari sengaja melepas penat. Akusengaja mengambil jatah libur kerjaku sekaliseminggu hari itu.

“Hagaga”. Berkali-kali laki-laki itu terustertawa lepas tanpa kutahu apa yangditertawakannya. Tiba-tiba ia berlari sekuattenaga tergopoh-gopoh menuju pintu keluar.Entah apa atau siapa yang memanggilnya.Entah apa yang hendak dilakukannya. Atauentah apa yang membuatnya ketakutan. Akuhanya menduga-duga dan terus menerkadalam pikiranku. Satu hisap terakhir rokokkupun sudah kuhembuskan asapnya. Sejauhpandanganku aku mencoba mengikutikemana laki-laki itu berlari. Tapi tak seberapalama, kecepatan laki-laki itu segera membuatpunggungnya tenggelam oleh pilar-pilar pintugerbang. Ia berbelok ke kiri mengikuti trotoarberpagar yang memang disediakan untukpejalan kaki. Tetap berlari. Kencang.

Matahari beranjak senja. Semburatlembayung jingga semakin tegas terlihatmenerobos sela-sela dedaunan seberangjalan. Sekawanan sebangsa camar melintaslangit menuju tenggara.

Di tepi langit agak timur, bulan sabittengkurap samar terlihat diantarasegerombolan domba-domba langit. Seize theday, or die regretting the time you lost, itsempty and cold without you here. Sekutipsuara The Shadow, vokalis band kesukaankunyaring terdengar dari saku celana seorangmahasiswi cantik yang melintas di depanku.Senyumnya yang manis memaksaku sedikitmembungkukkan punggung tandamempersilahkan. Aku kembali larut dalamdudukku. Satu bisikan makna ‘raihlah hari iniatau mati akan merebut waktumu, kau kalah’merasuk ke dalam otakku melalui jejak-jejakmahasiswi yang baru saja melintas didepanku. Di seberang jalan riuh rendah suaracengkerama manusia dan bunyi kendaraansanter terdengar. Ah, jam pergantian kuliahpikirku.

‘Awas!! Awas!!’, satu teriakan keras berulangkudengar. Aku tidak begitu memperdulikansuara siapa atau ada apa. Bodo amat, pikirku.“Permisi. Minggir. Minggir, saya mau lewat.Saya harus sembunyi”. Namun suara ituterdengar tak begitu asing. Suara berat yangbegitu kukenal. Atau setidaknya pernahkuperhatikan hingga aku mengenali suara laki-laki itu.

“Pak…, Pak satpam, tolong saya dicarikantempat sembunyi.” Suara yang sama makinjelas. Aku mencoba mengingat-ingatnya suarasiapa sembari melongok. Ya, benar saja. Suaraitu suara laki-laki berstelan rapi dan berkepalabotak yang tadi mendadak lari tergopoh-gopoh. “Saya harus sembunyi Pak, Sayadikejar Petugas Komite PenyelamatanKewarasan. Saya dituduh gila dan nilep uangrakyat.” rengeknya pada petugas keamananyang berjaga di sekitar gerbang. Ia berpeluhkeringat dengan suara terengah-engah.

“Sembunyi di kuburan seberang temboksana!!” sergah satpam berperawakan kurustinggi itu sekenanya. Kesal. Mungkin petugaskeaamanan itu pun juga merasa bingungharus bersikap apa. Sama sepertiku.

“Haga…ga…ga…ga…ga...” Tiba-tiba laki-laki botak ubun-ubun itu tertawa lepas. ”Pak satpam tak tipu, Pak satpam gue kibulin, Pak satpam tak apusi”. Laki-laki botak berstelan rapi itu mengangkat kemejanya sedada sambil menari berputar-putar memamerkan perut buncitnya. Tetap tertawa lepas.

Page 14: Purakasastra Edisi 2

“Ancriiiittttt, pancen wong edan”. Satpam itubegitu sebal menghujat seraya mengangkatpentungan. “Minggat sana atau tak pentungbotakmu!!”, hardiknya seraya memasangwajah sangar.

Hwekz..,tangtingtung, woyo woyo jos…” laki-laki itu berlari menghindar mundur beberapalangkah masih dengan telanjang perut danmenari-nari. Satpam yang berjaga masih tetapmasam dan menggeleng-gelengkan kepala.“Hagagagaga… haga…” Laki-laki botak ubun-ubun itu tetap lepas tanpa bebanmenertawakan petugas keamanan yangmemarahinya.

Aku masih duduk di depan gedung serbaguna.Suara adzan ashar yang hampir dua jam berlalutak juga membuatku beranjak dari singgasanasepiku. Gemericit belasan burung gerejanampak datang dan pergi berpindah-pindahhinggap. Hawa lengang kompleks kampusmulai terasa, berbalik dengan deru kuda bajayang beradu pacu di lintasan aspal. Krecit-krecit, derik roda gerobak pedagang bakwanmalang melintas. Di depanku beriringan suara‘Permisi bang, mari’. Hanya terlihat pedagangsiomay dan es cincau yang masih nunggupelanggannya yang belum selesai menikmatijajanannya.

“Hagaga”. Suara tawa terengah-engah ituterasa sangat cepat mendekat padaku. “Kabur-kabur….” suara meledek itu terus mengerasberiringan dengan jejak-jejak langkah yang kianmendekat. ’Plak’ satu tamparan agak kerasmendarat mantap di punggung kananku. Akuterperanjat berbalik kanan. ‘Hegege’ satusenyuman lebar kepala botak berpeluh manisterpampang di depan batang hidungku. Hanyaberjarak satu bungkus rokok berbungkusmerah hitam tepi yang disodorkan tepat didepan wajahku.

“Aku hanya melongo dan bingung”. Senangpasti bila rokok itu diberikan padaku karenamemang kesukaanku andai aku punya cukupuang untuk membelinya. Bingung, apakahbenar rokok ini untukku. Heran, mengapa laki-laki tambun berstelan rapi itu tiba-tibamenyodoriku sebungkus rokok. Puzzle-puzzleingatanku mencoba menyambung danmemasangkan apakah ia tadi berlari tergopohhanya untuk membeli rokok? Atau mungkindimana ia mencuri rokok itu?

“Rokok, Mas. Koreknya tadi mana?” duakalimat laki-laki itu kembali membuatkugeragapan dan terbangun dari detik-detikbawah sadarku.” Saya lama tidak merokokdengan teman-teman seperti ini.” Curhatnya.“Oh ya… ini koreknya Pak.” jawabku masihcanggung. ‘Hagagaga’. Tawanya memang selalulepas. “Grogi ya…” menyindir menthelberlagak genit. Tingkahnya yang lepas tanpabeban sedikit membuatku iri padakebebasannya. Rokok yang tadi disodorkannyaia buka lalu diambil sebatang dan dinyalakan.Lelaki itu menghisap dalam-dalam asaprokoknya hingga menembus sanubarinya yangmungkin kering, mungkin kosong atauterkoyak.

“Hoe…, ayo dirokok”. Bungkusan rokok yangtelah diambilnya sebatang itu sekali lagi iasodorkan. Ia tetap menikmati hisapan dalamrokoknya. Beberapa kali bibirnya mengerucutmengepulkan bulat-bulat asap lalu ditiupnyahingga berpendar. “Satu ya, Pak,” pintaku.Kuhunus sebatang rokok lalu kusundut pula.Ujung rokok mulai membara diikuti hembusanasap tipis tegak ke atas seirama sedotankudalam-dalam. Laki-laki itu hanya menjulurkantelapak tangan kanannya terbuka.

Matahari tak lagi tampak. Pendar-pendarsinarnya mulai tersembunyi membenturdinding-dinding kampus. Burung-burungkutilang tak lagi tampak terbang jauhmengembara menjelang senja. Hanyabeberapa kepak sayap tak jauh dari hinggapnyasekedar mencari tempat bertengger melewatidingin malam. Memang, di masa-masapergantian musim yang dingin dan berangintak menentu seperti saat itu, biasanya burung-burung tidur di pohon-pohon yang perdu dantidak terlalu tinggi seperti beberapa pohonberingin dan munggur di sekitar gedung serbaguna itu. Burung-burung gereja sedikit lebihcerdas memilih tempat tidur. Iamenghangatkan diri menyelip di atas plafon-plafon atap. Aku hanya diam membatubersama lelaki berstelan rapi itu dudukberjajar. Tetapi pandangan lelaki itu tak pernahmengitari sekeliling selalu berlari kian kemari.Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sebuahkain putih tepat di depan kami duduk berjajar.Tanpa mengalihkan perhatiannya tangannyamenepuk bahu kiriku.

PuraKarya - Cerpen

Page 15: Purakasastra Edisi 2

Sampeyan mahasiswa kampus ini?Ia bertanya.“kampus Universitas Gajah Uwong, ya?”

“Iya”. Aku mulai berempati setelahperangainya tak lagi liar seperti saat tadipertama bertemu.“Saya mahasiswa FakultasTarbiyah, kenapa?” balik aku bertanya.

“Lihat tulisan itu!”. Jari tengahnya menghadapke atas menunjuk satu tulisan sedikit ganjil.

“Tulisan apa?”Aku benar-benar mulai masukdalam pembicaraannya. Dada bergetarmemang karena belum pernah sebelumnyabertemu orang seperti ini. Tapi aku sedikittenang karena selama beberapa jamkuperhatikan. Laki-laki berstelan rapi itu taksekalipun menyakiti seseorang.

“Tulisan yang mana?” “Itu… itu…” bahunyasedikit condong ke kanan sembari menggantijari tengahnya dengan telunjuk untukmenunjuk tulisan yang dimaksudnya. Akumulai memahami tulisan apa yangdimaksudnya. Lurus di depan terbentangsekitar 3 meter kain putih bertulisan merahdengan tangan “hancurkan penindasan,Indonesia bukan tempat hidup para penindas.”

“Lha terus?”. Aku hanya mengangkat dua bahuagak sinis. “Apa hubungannya dengan sayamahasiswa sini atau saya fakultas apa??” Akunyerocos bersungut-sungut tak tahu maksudlaki-laki itu.

“Ya tidak ada” “Lha terus maksudnyamenunjukkan tulisan itu??”

“Tidak ada”. Jawabnya tegas tapi kalem.“Hanya mengingatkanku dulu pas masihmahasiswa”. Laki-laki itu mulai bercerita.

“Memang bagaimana?” rasa penasaranku tiba-tiba kembali muncul.

“Ya dulu pas masa lengsernya New Era ‘kan,kerjaan saya setiap hari ya cuma demo”. Ceritalelaki itu semakin panjang. “Ya atribut sepertiitu yang selalu saya bawa.”

“Ya Pak??” aku berpura-pura bertanya.Sengaja. Aku tertarik dan ingin tahu apa ceritaorang yang mungkin orang lain menganggapgila ini.

“Gila!!” Ia menggeleng-gelengkan kepala,

pandangan matanya kosong mungkinmenerawang ke tahun 1998, atau hinggap ketengah-tengah kerumunan masa yangberteriak-teriak “Suharno Turun, SuharnoTurun.” Heran, malah orang ini mengatakanaku gila.

“Gila?” tanyaku. “Gila gimana maksudnya?”.“Tulisan-tulisan seperti itu mungkin belumterlalu pedas dibandingkan ucapan-ucapankami saat menghujat Suharno, pimpinan partaiKodok itu.”

“Apanya yang gila?” aku terus memancingdengan umpan ‘gila’ agar kata-katanya terusmengalir.

“Teman-teman saya yang berdemo itu kan jadigenerasi penguasa selanjutnya”“Terus?” “Mereka sekarang pada di selpenjara”

“Masak, Pak?” Gumamku tak begitu percaya.“Iya. Karmin dari partai Kadal itu. Kasto daripartai Coro itu” Ia menyebutkan satu-persatunama pejabat yang menjadi tikus. “Sering lihatTV toh? Napis dari partai Semprul itu juga. Adalagi siapa, itu yang sering diceritakan partaiSapi makan Sapi betina itu. Untung saja orang-orang menganggapku gila, jadi aku tak sempatseperti mereka”

Aku hanya mengangguk-angguk. Sebatang lagirokok kunyalakan. Jalan konblok tepat kamiduduk, dua mahasiswi bertubuh pendekbersepatu hak tinggi memeluk buku-buku tebalterlihat mirip biduan dangdut berjalan lenggak-lenggok. Habis menggoyang dombret, goyangngecor, atau jaran goyang di perpustakaandugaku.

Mungkin benar juga ungkapan laki-lakiberstelan rapi itu, hatiku membenarkanmelihat dandanannya yang mirip golonganeksekutif. Namun sedikit pula terbersitkeraguan ‘jangan-jangan ia hanya mengaku-ngaku’ berkebalikan dengan mereka yangpantang mengaku sebelum terjepit. Lalu, laki-laki berperawakan tegap rapi tambun itu jugamenyalakan sebatang rokok lagi. Diulurkannyatangan-tangannya menengadah di depankuseraya berucap ‘Korek’.

PuraKarya - Cerpen

Page 16: Purakasastra Edisi 2

Jingga langit yang disepuh emas senjasemakin memancarkan indahnya. Di ufuktimur sesabit bulan tua dan setitik bintangperlahan semakin cerah berselimut langit abu-abu. Goresan-goresan jingga titik api menyalanampak berkobar di ufuk timur lautmenangkap cahaya jingga. Hari menjelangtenggelam dalam gelap. Aku baru saja selesaimenunaikan Ashar di masjid seberang. Akumasih kembali duduk di depan gedungserbaguna menunggu temanku yang sanggupmenjemputku pulang ke kontrakan.

Lelaki itu pun masih mematung ditempatnya.Melihat aku telah selesai melakukankewajibanku ia menghampiriku. Ia kembaliduduk didekatku. Ya, dua orang gila kembalibercengkerama.

“Belum pulang?” laki-laki berstelan rapi itumemulai lagi pembicaraannya. “Nunggujemputan temanku” Jawabku tak lagi begitusimpatik. Ya, aku harus segera pulang sebelumgelap kehidupan yang menyelimuti laki-lakibotak ubun-ubun iku menulariku.

Senja perlahan meredup hingga tak lagimenyisakan temaram. Daun-daun munggurmulai mengatup dan terlihat berwarna lebihtua. Gemericit suara burung gereja tak lagiutuh. Di depan pintu gerbang, cahaya-cahayamerah sekilas berkejaran dengan warna-warna terang saling bersliweran penuh deru.

Warna-warna orange dinding-dindingbangunan kampus nampak tegas mengelilingicahaya putih di tengah-tengahnya yangterletak di seberang jalan. Riuh rendah suaramahasiswa di kompleks kampus tak lagiterdengar.

Lampu-lampu dalam ruangan gedungseberang juga tak lagi terlihat menyala.Burung-burung mungkin sudah terlelap dalamhangatnya rumpun-rumpun perdu daunrindang. Sabit angkasa yang tadinya terlihatcerah berpaling dari langit, memilihberselimut mendung seperti mengintip duaorang gila dengan sinis. Gerobak-gerobakkakilima dengan bau sedapnya di sekitargedung serbaguna pun tak lagi terlihat,menyisakan ruang untuk kelelawar-kelelawarmalam menyambut nafkah Ilahi. Gulita pekatbagai payung hitam raksasa menaungi langittenggara.

“Hagaga…. Hagaga…..Hagagagaga….” Tawakeras yang masih membekaskan cerita ditelingaku itu tiba-tiba terpecah di kejauhan.Ya, lelaki berperawakan tambun berkepalabotak ubun-ubun dan berstelan safari rapi itukembali memekik. Suara keras berbicara padadirinya sendiri begitu jelas di telingaku.

“Negeri ini negeri manusia, bukan negeribinatang atau negeri dhemit dan setan. Akumemang tak pantas memimpin negerimanusia ini. Jangankan memimpin, mewakilisaja aku tak layak. Aku pun begitu bingungmembedakan mana manusia, mana iblis,mana binatang. Bahkan aku pun bingungmanusia kah, ibliskah, dhemitkah atausetankah aku ini?

Tuhan jemput sajalah aku! Aku inginmenghadap-Mu. Aku akan bersujud pada-Mudengan gilaku. Biarkan akal tak waraskumemohon negeri ini dipimpin para Malaikat-Mu.

“Hagagaga… hagagagaga… hagagagaga…” Iaberjalan meninggalkanku begitu saja. Semakinjauh. Wajahnya larut di balik dinding malamyang hitam, hanyut bersama gelap, membekubersama embun.

Plumbon, 19 Juli 2014

PuraKarya - Cerpen

Ajari kata-kata untuk menjadikalimat yang baik.

Tuanglah mereka di atas kertasdan bantulah dengan goresanpena.

Jangan biarkan mereka melontardi hati dalam keadaan setajambelati.

(Charis Fitriyanto)

SASTRAQUOTES

16

Page 17: Purakasastra Edisi 2

InfoSastra - Komunitas

FASBuK - Kudus

17

Kota Kudus adalah kota kecil di Jawa Tengah yangmempunyai akar kesusastraan cukup berpengaruh.Pada masanya, sebut saja, Maria MagdalenaBoernomo, Yudhi MS, Jumari HS, Arya Gunawan,Mukti Sp, ADI, dll, adalah sastrawan yang takpernah kering karya. Merekalah yang membawanama Kudus menjadi Kota sastra yang semerbak.

Dari latar belakang tersebut, kemudian terbitlah ideuntuk menggagas sebuah wadah bagi para generasipenerus sastra Kudus. Sekitar tahun 2010 lahirlahForum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus atau biasadisingkat FASBuK. Forum ini adalah ruang kerja fisikdan pemikiran secara berkelanjutan untukmenciptakan inovasi serta varian-varian paketkemasan kegiatan dalam bidang kesusastraan dankesenian lokal, yang nantinya mampu menjadi asetatas keberagaman kebudayaan nasional maupundaerah, sehingga tercapai ruang bersama untuksaling berbagi, bertukar pikiran, demi sebuah cita-cita luhur serta tumbuhnya nilai-nilai kesadaranmanusia yang berbudaya. Begitulah visi-misi yangdigaungkan.

Secara rutin, tiap bulannya FASBuK menggelar acara Sastra dan Seni Budaya yang meliputi : Apresiasisastra, sarasehan budaya, pertunjukan musik, tari, pementasan drama/teater, dan sebagainya.

Kegiatan Pementasan

Page 18: Purakasastra Edisi 2

Event yang baru saja dilaksanakan , tepatnya 27 Oktober 2014, di Auditorium UniversitasMuria Kudus, bekerja sama dengan kelompok teater kampus dan beberapa komunitas teateryang lain, mereka menggelar sebuah acara apresiasi sastra kampus yang bertema “SemestaMerindu”. Acara yang dimulai sejak pukul 19.30 WIB itu menampilkan pembacaan danmusikalisasi puisi, teatrikal puisi dan diskusi dengan nara sumber Yudhi MS (pendiri FASBuK).Acara tersebut diramaikan oleh penampilan dari Teater Obeng, Teater Coin, Teater Tigakoma,Teater Aura dan Sekam (UMK), Paradigma dan Teater Satoesh ( STAIN KUDUS ), dan TeaterAmusa II.

Dengan agenda seperti ini diharapkan generasi muda terutama di kota Kudus dan sekitarnyadapat terus semangat dalam menciptakan karya-karya sastra, serta menjaga nilai-nilaikearifan tradisi lokal dan budaya.

InfoSastra - Komunitas

Kegiatan Pementasan

Kegiatan Diskusi

Latifa / Red

Page 19: Purakasastra Edisi 2

KAUM MUDA,

KAUM YANG BERKARYA

MARI BERKARYA UNTUK

INDONESIA..!!!

Memperingati 86 tahun Sumpah Pemuda

28 Oktober 2014

19

Page 20: Purakasastra Edisi 2

KajianSastra

…and what are poets for in a destitute time?[1] DemikianMartin Heidegger[2] (1889-1976) memulai kalimat awal essay-nyayang berjudul, What are Poets for. Pertanyaan ini, juga di diajukanoleh seorang penyair besar Jerman abad 20, yakni Hölderlin,[3]

dalam puisinya yang berjudul Bread and Wine. Sebuah pertanyaanmenukik yang menyentuh persoalan hakekat seorang penyair.Heidegger menyukai puisi-puisi Hölderlin. Kesukaan tersebutmemberi penegasan bahwa ia seorang penikmat puisi. Essay-nya,tentang What are Poets for, memberi ulasan mendalam soal“siapakah manusia itu”? Bagi, Martin Heidegger puisi adalah bahasatertinggi. Bahasa puisi mampu membawa orang pada pengertianmendalam tentang otentisitas manusia beserta segala sesuatu yanghadir bersamannya dalam kehidupan.

[1] Martin Heidegger, What are Poets For? dalam Poetry, Language, Though, New York: Harper Perennial

Classic, 2001, hlm 89.[2] Martin Heidegger, filsuf besar abad 20 asal Jerman. Pada 1923 ia menjadi professor di Universitas di

Marburg. Pada 1927 ia menerbitkan karya besarnya berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu). Gagasan

filsafatnya banyak mempengaruhi berbagai bidang penelitian yang luas. Tradisi filsafat yang digeluti dan

diwariskannya: Fenemenologi, Eksistensialisme, dan Hermeneutika. Dalam bidang Fenomenologi ia

banyak berguru pada Edmund Husserl. Dalam bidang Eksistensialisme ia banyak berguru pada Nietzche

dan Sorren Kierkegaard. Murid-muridnya yang menjadi filsuf terkemuka antara lain; Hanna Arendt, Hans

Gadamer, Hans Jonas, Emanuel Levinas, Jacques Derrida, Jean-Paull Sartre, Leo Strauss, dll. Selain,

karya besar Sein und Zeit, ratusan essay filsafat ditulisnya, termasuk beberapa diantaranya berkaitan

dengan puisi (The Thinker as Poet, What are Poets for?, Language, Poetically Man Dwells).[3] Johann Christian Freiderich Hölderlin (1770-1843), penyair besar Jerman, kerap dikelompokan dalam

aliran Romantisme.

PENYAIRSEBAGAIPENYINGKAPKEBENARANOleh : Elfridus Silman, SMM, SS

20

Foto : Internet

Page 21: Purakasastra Edisi 2

[4]Bdk. Magda King, Heidegger’s Philosophy: A Guide To His Basic Thoght, New York:The Macmillan

Company, 1964, hlm 66.[5]Prof. Dr. Eko Armada Riynto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm

41.[6]Ibid.

Dalam karyanya, Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heideggermengulas tentang manusia sebagai realitas Ada yang bereksistensi,dalam kemenduniaan dan kemewaktuan. Heidegger menyebut manusiadengan terminologi yang khas, yaitu Dasein. Kata Dasein dalam bahasaJerman merupakan bentukan dari kata dasar, Da (secara harafiah berarti;di sini/di sana) dan Sein (menjadi/ada)[4].

Problem linguistik ini kerap kali mengakibatkan inkonsistensidan ketidaktepatan dalam penerjemahan konsep Dasein Heidegger.Term ini secara tepat dapat diterjemahkan dengan “Ada-di-sana”. Sebab,bagi Heidegger, manusia bukanlah seperti yang kita lihat “di sini”. Tetapimanusia adalah dia, yang memiliki segala kekayaan “di sana[5]”. “Di-sana”, tidak merujuk pada suatu tempat. Tetapi memaksudkan maknakedalaman manusia yang tidak terlihat.[6] Keistimewaan manusia(Dasein) dari antara benda-benda (seiendes) adalah kemampuannyauntuk mempertanyakan dirinya, dan segala sesuatu yang terlingkup olehkesadarannya. Manusia “yang bertanya” mengindikasikan sebuahpencarian makna.

Pertanyaan Heidegger, “untukapa para penyair”? bukan pertama-tamamempertanyakan tujuan kehadiranseorang penyair di telinga dan mata parapengagumnya, melainkan mengantarmanusia pada jalan ekspolorasi filosofistentang keberadaannya. Apakah yangdapat menciptakan syair-syair?Rembulan, mentari, bintang,tetumbuhan, angin, ataukah bunga?Tentu tidak. Hanya seorang penyair yangdapat mengungkapkan bahwa rembulan,mentari, bintang, tetumbuhan, danbunga, bisa berkata dan bersyair. Hanyamanusia yang dapat menciptakan syair-syair. Bagi Heidegger, manusia yangdapat menciptakan syair adalah manusiaotentik, yang secara eksisitensial beradadalam Destitute time. Namun, apakahmanusia otentik itu?

KajianSastra

21

Page 22: Purakasastra Edisi 2

Manusia paling otentik adalah manusia yang berada dalamdestitute time. Destitute merupakan sebuah karakter situasional ketiadaanuang, makanan, rumah, kepemilikan[1] atau apa pun yang membuat hidupitu bermukim pada zona nyaman. Dalam destitute time manusiamengalami situasi naturalnya sebagai manusia. Heidegger menguraikandestitute time secara radikal dengan menginterpretasi kata abyss,sebagaimana yang telah digunakan Hölderlin. Abyss (abyground) adalahdasar, di mana akar menusuk dan berpijak.[2] Di situlah manusiamenemukan kodrat naturalnya.

Manusia mengalami eksistensinya sebagai manusia murni,dengan kesadaran penuh akan Ada-nya. Ia mengalami dirinya sebagaimanusia yang mencari makna sekaligus lapangan pencarian makna itu[3].Dan, siapakah seorang penyair dalam Destitute time? Ia adalah figur yangmenemukan originalitas manusia yang terjalin secara relasional-eksistensial dengan segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam hidup.

[1] Bdk. Cambrige Advanced Learner’s Dictionari, third edition.[2] Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 89.[3]Ibid.

KajianSastra

22

Foto : Internet

Page 23: Purakasastra Edisi 2

Menjadi penyair dalam destitute time artinyamenghadirkan/menyingkapkan segala sesuatu untuk menemukanorisinalitasnya[4]. Ia menyingkapkan otentisitas dirinya dan segala sesuatuyang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya. Ia bernyayitentang makna keberadaan dirinya dan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Musikalitasnya tereksplorasi dalam keindahan kata. Ia adalahfigur dewa yang menyingkapkan orisinalitas makna dari realitas “menjadimanusia”. Maka hakekat seorang penyair yakni sebelum dia sungguh-sungguh menjadi seorang penyair, ia berada dalam situasi destitute time.Dalam situasi itu, ia menciptakan sebuah pertanyaan puitis bagi seluruhkeberadaan dan panggilannya menjadi penyair[5]. Pertanyaan puitisitulah, yang menjadi sarana penyingkap kebenaran. Dan setiappertanyaan selalu mengindikasikan adanya pencarian.

Jalan penyingkapan itu ditempuh dengan mengalami sendiriketersembunyian hakekat segala sesuatu (manusia, benda-benda,peristiwa) dalam bentuk kontemplasi.[6] Dalam kontemplasinya, iamenyingkap ketersembunyian hakekat segala sesuatu menjadiketaktersembunyian. Lain kata, segala yang tersembunyi akan menjaditampak dalam kontemplasi. Setiap syair, merupakan jawaban atasmanefastasi dari hakekat manusia beserta segala sesuatu yang ada. Danpuisi tidak secara langsung menerangkan hakekat dari segala sesuatuyang ada[7]. Ia menerangkan sesuatu melalui simbol, dengan teknikpengunaan diksi yang indah. Namun, hakekat puisi tidak terutama padadiksi, atau pada pesan yang memukau wilayah rasa, melainkan dialamisebagai sebuah orgasme akal budi. Sebab, in se seorang pemikir ituadalah seorang penyair, demikian pun sebaliknya. Teknik merangkaikata-kata indah juga tak dapat diabaikan. Sebab, menciptakan puisi ituadalah “the work of art.”

Pertanyaannya adalah bagaimana pesan puisi sampai padapendengar atau pembacanya? Sesungguhnya, pesan orisinalitas puisitidak akan sampai pada pendengar atau pembacanya, jika pendengaratau pembaca tidak masuk di jalan yang sama dengan sang penyairdalam destitute time-nya. Dengan kata lain, pembaca harus masuk dalamkerangka kontemplasi penyairnya.

[4] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 90.[5] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 91.[6] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 93.[7] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 95

KajianSastra

23

Page 24: Purakasastra Edisi 2

Lihat saja, Chairil Anwar tampak menjadi salah satu dari antaraberibu tulang berserak antara Kerawang-Bekasi, dalam puisinya KerawangBekasi. Ia dengan kesadaran penuh bahwa ada satu titik yang mengakhirieksistensi manusia. Titik itu mengubah segalanya. Tak ada lagi situasieksistensial yang menandakan kehidupan. Kegelapan tanpa suara. Sebagaipenyair, Anwar bertanya tentang hakekat dari tulang-tulang berserakan itu,yang akhirnya dapat bersuara, seolah ia ada dalam dunia mereka. Hanyaorang sadar sebagai manusia saja yang akan mengalami, menjadi tulangtanpa suara, yang dapat menangkap pesan kematian. Hanya orang yangpeka akan situasi ketertindasan yang dapat merasakan bias terror. Anwarmampu menggeledah suara harapan dari beribu tulang yang berserakanantara Kerawang dan Bekasi.

KajianSastra

“An author ought to write for the youth of his own generation, the critics of the next, and the

schoolmaster of ever afterwards.”

“Seorang penulis harus menulis bagi kaum muda dari generasinya sendiri, para kritikus berikutnya, dan

kepala sekolah dari yang sesudahnya.”

F. Scott Fitzgerald

SASTRAQUOTES

24

Page 25: Purakasastra Edisi 2

25

Meja Kayu

warna-warna noda di atas mejamembentuk lukisan abstrak wajah perempuankusut, keriputbibirnya mengulum setengah potong senyum. lelehan kopi mengering tumpahan teh dan sirup diburu semut menyatu dengan barik-barik kayu berpumpun dengan debu-debu yang terbang dan hinggap di mana saja bukan semacam melanoderma dosa itu menodai jiwa.

Kursi Tua

lapuk adalah usia yang ditawarkan senjapatah lebih pada maskara di atas rentadan kesetiaanmu terhadapku menjadi kenangan yang tak lagi bisa menopang bokong-bokong kepedihanpun bersandarnya punggung-punggung kekecewaan.pada masanya kau harus istirahatmelepas kerangkeng gelisah lekati sejarah meski akhirnya tubuhmu hanya bisa meringkuk tak tentu memejam pelupuk.

PuraKarya - Puisi

Oleh : Zidny Ilma

Oleh : Zidny Ilma

Page 26: Purakasastra Edisi 2

UNTAI CINTABERBENTUK LINGKARANTAK BERUJUNG

PuraKarya - Cerpen

26

Oleh : Jabugart joeni regar

Ilustrasi : Martono Loekito

Page 27: Purakasastra Edisi 2

Setahun menjalin rasa, jujur, hingga kini aku belum memahami kenapa Mirantimenyukaiku dan menaruh aku sebagai seseorang yang amat penting dalam hidupnya. Akuhanya seseorang yang mungkin belum bisa masuk kategori pria idaman. Aku alumniperguruan tinggi swasta lokal di kotaku. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta denganjabatan standar keluarga seperti kebanyakan orang. Sementara Miranti dan keluarganya,barangkali jauh dari keadaan keluargaku. Mirantai boleh dibilang hidup dalam sebuahkeluarga mapan, sejahtera, dan dikenal sebagai keluarga rukun.

Kadang aku berpikir untuk berpisah. Sepertinya ia lebih baik menjadi sahabat kusaja. Semuannya itu, akibat dari perbedaan kasta yang kurasakan amat mencolok. Kalauditanya apakah aku menyayanginya? Akan kujawab tanpa ragu sedikitpun, "ia, aku amatsayang padanya melebihi rasa sayang terhadap siapa pun".

Jujur, awalnya aku ragu menjawab tawaran hati yang disampaikannya bukandengan kata-kata tapi dengan rasa. Aku ragu karena takut, aku tidak mampu kelakmemberikan kebahagiaan layaknya pria membahagiakan pasangannya. Itu saja yangmengganjal dalam pikiranku. Menurutku, ini amat prinsipil dalam menapaki sebuahhubungan. Aku tidak mau hubungan ini hanya sekedar proforma saja. Aku ingin memiliki diaseutuhnya tanpa dilandasi beban apapun.

Suatu hari, saat langit senja membias warna keperakan di ufuk barat kotaku, akubersama Miranti dí sebuah tempat sejuk hutan cemara. Ada kali berbatu berair bening, didasarnya bertabur pasir putih dan ikan-ikan mungil berenang lalu lalang seperti sengaja inginmenghibur kami dengan kepakan sirip kecilnya dan lenggok ekornya yang lucu. Tempat sejukini terletak di pinggir di kotaku. Tempat itu menjadi tempat keluarga-keluarga atau pasangansperti kami melepas lelah. Lelah bergurau di sungai, Miranti rehat duduk bersandar di sebuahpohon cemara ukuran sedang. Akupun menyusulnya duduk di tumpukan tebal daun-dauncemara kering.

"Bang, Ranti gak pernah mengharap apapun selain rasa sayang yang telah abangberikan selama ini" sahut Ranti sambil kembali menaruh kepalanya di bahuku serayamenggosok-gosokkan rambut di leherku. Aku menahan debar yang makin kuat mengalirisendi - sendi dadaku. Aku amat menyukai itu. Kupahami bahwa gerak tubuh itu adalah untuklebih meyakinkan aku bahwa apa yang telah diperlihatkannya selama ini adalah gambaranketulusan betapa besar rasa sayangnya kepadaku. Bahwa kalimat singkat yang barusandiutarakannya sudah cukup membungkam sisa rasa ragu yang mengganjal langkahku.Keraguan itu serta merta beranjak pupus ditelan kata-kata penuh makna. Kueratkan rengkuhtanganku di bahunya sebagai ganti kata dariku menjawab apa yang di sampaikannya. Katayang cuman sedikit itu seolah melepas beban berat di pundakku selama setahun ini.

Dua tahun berjalan, entah kenapa satu ketika aku melakukan kesalahan yang menurutku sangat fatal. Miranti tahu tentang hal itu tetapi ia tidak pernah

menyinggungnya, yang lebih membuat rasa bersalahku semakin menghantui adalah dengan sikapnya yang tidak berubah sedikitpun, seperti biasa ia selalu

memperhatikanku, mengingatkanku lewat pesan-pesan singkat di ponselku agar jam makan siangku tidak terlewati saat aku sibuk bekerja. Ia menjemputku kala dia punya

waktu senggang atau sekedar menitip penganan di pos security untuk ku nikmati senja hari dan beberapa bentuk perhatian lainnya masih dilakoninya seperti biasa.

Dan kurasakan itu semua dilakukan dengan tulus seperti hari-hari lain. Karena dengan sikap itulah, aku yang sudah bertekad di dalam hati untuk tidak mengulangi kekhilafan

itu, malah makin hari merasakan rasa bersalah yang kian mendera. Aku berharap, ia memulai mempertanyakan hal yang ketika itu berlangsung di

matanya.

PuraKarya - Cerpen

27

Page 28: Purakasastra Edisi 2

Hal yang menjadi bebanmenderaku akhir-akhir ini adalah satu haritak sengaja Miranti melihatku bersamaseorang perempuan cantik. Ia salah satusenior di kantor kerjaku. Ia kerap kusapaRirin. Saat itu aku dan Ririn keluar darisebuah rumah makan yang ramai di kunjungisaat jam makan siang. Menu makanannyaberagam, harga lumayan terjangkau,dekorasi taman dan ruangannya asri dantertata apik unik. Kami usai makan siang disitu, rupanya Miranti juga ingin makan siang.Sebenarnya tidak masalah kalau saat ituMiranti tidak melihat tangan Ririn yg sudahkuanggap kakak itu, dan di kantor terbiasabergurau denganku. Ia sedang menggamitlenganku, entah sejak kapan tanpa kusadari.Menyadari itu spontan, rasa bersalahmenghinggapiku. Aku ingin memanggilMiranti tetapi belum sempat kupanggil iasudah berbalik meninggalkan kami.Tampaknya ia membatalkan niatnya untukmakan siang.

Satu hari di penghujung pekan,aku mengajak Miranti ke satu tempat yangkuanggap layak untuk menjelaskan problemyang mengganjalku. Sebuah tempat yangteduh, ditumbuhi beragam jenis bunga-bunga alam dan salah satunya Dandeliondengan untai seperti kapas-kapas putih diputiknya sedang bermekaran.

"Ranti, aku ingin membicarakansesuatu yang sangat menggangguku akhir-akhir ini. Tetapi setelah aku mengungkapnya,kamu boleh memarahiku bahkan akuberharap kamu memukulku agar rasabersalah yang membelenggu ini dapatkusingkirkan". Aku mencoba membuka katauntuk mengusir kebekuan yang kurasakan.Aku bicara seraya berdiri di hadapan Rantiyang duduk di sebuah bangku taman."Hmm..Ranti mengerti apa yang akan abangutarakan" Ranti menyahut denganmemamerkan senyum sumringah serayamelirik kearahku. Ada kesan riang dipadudengan gelitik yang menyusup ke hatiku,saat sikap yang baru kali ini di perlihatkankepadaku. Aku menikmati sikap Ranti

barusan, dan serasa membuka belenggu hati.Lalu aku duduk di sampingnya, sengaja akumemberi jarak dengannya. "Bang, Ranti kanudah cukup dewasa untuk menyikapikejadian seperti itu. Ranti banyak belajar dariabang untuk menyikapi hal seperti itu. Rantisengaja tidak menyapa abang saat itu agarkehadiran Ranti tidak mengganggu suasanabaik. Ranti mengikuti kata hati bahwa sikapitulah yang terbaik, yang bisa kulakukan saatitu. Ranti sangat percaya sama abang". Akutidak menyelanya, kubiarkan ia bicara. Akutahu bahwa Ranti sedang mengatakan katahati yang sebenarnya dan aku lega sekalisetelah ia mengatakan itu. Aku tahu bahwabukan hanya aku saja yang terbebaniproblema itu. Ranti pun menyimpan itudenagan rapi, jauh lebih rapi dari carakumenyembunyikan kerisauan itu. Iamemahami bahwa aku mengajaknya ke sinifokus hanya untuk membahas itu. "Saatabang bersama Ririn, awalnya hatiku sakitmelihat itu. Bohong kalau Ranti bilang tidakmerasakan apa-apa. Tapi aku bisa netralisirsuasana hatiku dengan menanam keyakinanbahwa yang kusaksikan itu bukanlah sepertiyang ku pikirkan. Sengaja Ranti tidakmenayakan ini karena kalau itu kulakukan,kedewasaan yang abang tanamkan padakuakan sia-sia". Kusela ia bicara denganmenaruh telunjukku perlahan di bibirnya.Menurutku kalimat itu cukup untukmemupus rasa bersalahku. "Ran, thanks atasrasa percaya yang telah kamu lakukan, akujanji akan menjaga itu" Ku raih tubuhnya,kurengkuh ia dengan sepenuh jiwaku.

Sebuah senja yang teramat manisdengan hembusan angin semilir. Di langitmelintas iring-iringan bangau di temaramsiluet mentari merah jingga menuju ufukperaduannya. Rentang hati putih Mirantimembuka tali yang membelengguku. ThanksMiranti.Thanks honey.

Cinta Miranti berwarna putihseperti lingkaran tak berujung mengalirseperti air bening susuri relung temuimuaranya. Muara itu adalah aku. Ujunglingkaran itu juga aku. ***

PuraKarya - Cerpen

28

Page 29: Purakasastra Edisi 2

29

Perempuan Sunyi

ia selalu menunggu pendar purnamamerambati guguran daun mahoni

sambil menulis berbab-bab kesunyian dan sisa rentam hujanbersamaan itu di tepi sungai, katak melantun tembangtemaram memancing rimbun awan agar pecah,lalu lelehannya membasahi kembara angan

biar tak melulu terjebak dalam perut kunang-kunangperempuan, di rumahnya ia menyunting hening

lekat menatap jendela yang terbuka memamah malam merekam rapal dan jejak yang kian pudar

“benamkan aku dalam doamu yang tak jua purna dalam sajak-sajak yang mulai sesak”

purnama belum sepenuhnya dara katak riang kerana seorang perempuan

langit-langit matanya menurunkan hujan menggenangi wajah

yang lupa bagaimana cara menulis rona purnama hatinya tenggelam di laut kenang

Oleh :Zidny Ilma

PuraKarya - Puisi

Gambar: Internet

Page 30: Purakasastra Edisi 2

30

Embun di Atas Daun Maple

Oleh : Hadis Mevlana

Secawan Harapan

Oleh : Sariak Layung, dkk

Page 31: Purakasastra Edisi 2

AKU DAN YANG TAK KUTAHU

PuraKarya - Cerpen

Oleh : Khairyl Achmad31

Foto : Internet

Page 32: Purakasastra Edisi 2

“Kau harus jatuh untuk bisa bangkit”.Hanya mampu melihat dari balik jendela. Bukan, bukan karena tak mau tapi, saat ia

mendekat mereka selalu menghindarinya. Masih bisa tersenyum, melihat keriangan mereka, berlarianke sana kemari, sungguh tampak sangat menyenangkan. Melekatkan jemari tangannya ke kaca jendela,seakan ikut bermain bersama, tersenyum lagi, mata bulat yang indah itu menatap senang kearahteman- temannya yang tengah asyik bermain di halaman. Bibir mungilnya bergerak- gerak, namun tiba-tiba ia menurunkan tangannya. Pandangannya juga berubah, buru- buru memalingkan wajahnya,seperti sedang ketakutan. Dari taman, seorang bocah laki- laki memandang sinis ke arahnya, nyalinyaseketika ciut. Kembali menekuri buku pelajarannya. Ya, buku adalah satu- satunya teman yang takpernah mengeluhkan keadaannya, buku juga tak pernah membuatnya sakit, kecuali jika buku itu jatuhmengenai kepalanya, sembari tersenyum kecil dengan pemikiran konyolnya.

“Kenapa kamu ga ikut main?”. Suara lembut itu, suara yang begitu ia kenal, seseorang yangsangat ia hargai. Menoleh kearah sumber suara, wanita berkerudung lembut tersenyum ke arahnya,begitu hangat, begitu menentramkan,

“Kinan sayang, ibu lihat kamu selalu di kelas, apa kamu ga bosen?”. Kinan tersenyum kecillalu menggeleng. Tanpa suara, gadis kecil berwajah manis itu hanya menunjuk ke arah buku pelajaranyang sedang asyik ia “mainkan,” tersenyum lembut, tangan hangatnya membelai rambut Kinan penuhkasih sayang,

“Baik lah, tapi belajar terus, apa kamu ga bosen?”. Tersenyum lebih lebar, masih tanpasuara, mata bulat mungil itu sangat menggemaskan.

“Ya sudah lah, belajar yang rajin ya Kinan, semoga kamu jadi yang terhebat”. Mengangguk-angguk, lalu tersenyum lagi. Benar benar tak mau bicara.

Ibu Riyanti pergi, melangkah keluar kelas. Mata Kinan masih mengikuti langkah wanita yangsangat ia hormati. Sepertinya, Kinan harus meralat semua pemikirannya tadi, temannya bukan cumanbuku- buku pelajaran, tapi juga Ibu Riyanti, wanita yang selalu membuatnya terkagum, yang selalumenemaninya di jam istirahat.

Kinan berjalan tertatih, kakinya memang tak sempurna. Kaki kanannya lebih kecil dari kakikirinya. Ia berjalan perlahan menggunakan alat bantu kreg, satu langkah, tas kecil yang ada dipunggunggnya ikut bergerak gerak.

“Hey lihat, anak cacat, bisu itu. Hati-hati jangan dekat dekat dengannya”. Celoteh seorangbocah lelaki yang berjalan di seberang. Kinan hanya terdiam. Lagi pula apa yang di katannya memangbenar.

“Kenapa anak seperti dia boleh sekolah di tempat kita, dasar anak penyakitan!” timpalseorang gadis manja yang menggendong tas berwarna pink. Menatap sinis ke arah Kinan, dan lagi- lagigadis mungil ini tak bisa berbuat apa- apa. Semua yang dikatakan teman-temannnya, memang dirasabenar.

Kata ibuku, “Hati-hati, Kinan punya penyakit berbahaya, kalau dekat- dekat dia nanti bisatertular”. Kinan malah tersenyum mendengar kalimat itu. Ia menghentikan langkahnya, membuatsemua anak yang berjalan berhenti pula. Mereka tampak terkejut, entah tak percaya atau ingin tahuapa yang akan dilakukan Kinan. Namun dengan santai, Kinan kembali melanjutkan langkahnya, berjalantertatih di tengah terik matahari yang mulai garang. Anak- anak bandel itu sedikit lega. Kinan takberbuat sesuatu, mereka buru- buru mempercepat langkahnya menuju rumah. Setelah cukup jauh,Kinan berhenti, lalu duduk santai, di bawah sebuah pohon. Ibu hari ini tak bisa menjemput Kinan, adaurusan penting katanya. Jadi, kinan harus berusaha sendiri berjalan pulang, tanpa ditemani ibu yangsangat ia cintai.

PuraKarya - Cerpen

32

Page 33: Purakasastra Edisi 2

Gadis itu tersenyum-senyum memperhatikan tingkah para semut yang berderet,membawa apa saja ke sarangnya. Terkadang ia merasa iri, dan tak jarang mempertanyakan dirinyayang terlahir berbeda. “Andai aku bisa seperti kalian, selalu bersama dan bermain dengan senang,”lirih hatinya berkata pada semut- semut itu. Terkadang Kinan juga kesal dengan dirinya sendiri.Kinan tak pernah menyalahkan teman- temannya yang usil dan selalu menghinanya. Kinan takpernah lagi menangis diperlakukan seperti itu. Kinan sudah mengerti dan yang menjadi temanbaiknya saat ini hanyalah buku pelajarannya, buku yang tak akan berbuat jahat padanya. Entah lah,Kinan merasa tak begitu mengerti, mungkin karena Kinan masih kecil. Ah, sudahlah, Kinan capek,matanya mulai sayu, berjalan jauh dengan tongkat bantuan cukup melelahkan, tanpa sadar, iatertidur tenang di bawah lindungan daun-daun hijau. Menutupinya dari sinar matahari yangmembakar.

“Kinan sayang, bangun”. Membuka matanya, senyum hangat ibu menyambutnya.“Maafkan ibu, kamu capek ya, kau tahu ibu sangat khawatir, mencari mu kemana-

mana”. Wanita kepala tiga itu mengangak tubuh mungil Kinan.“Ibu janji, Ibu akan jemput Kinan setiap hari”. Mengecup kening gadis itu penuh kasih

sayang.Gadis itu sudah tak perduli, ia hanya merangkul tubuh Ibunya, erat- erat. Sangat erat.

Perasaan itu tiba- tiba saja menyusup, wanita lembut itu merasakan getaran yang hebat, tersalurdari Kinan, air matanya meleleh, tak kuasa dengan apa yang ia rasakan. Tak percaya, begitu pahitnyaperasaan yang Kinan rasakan, tak percaya gadis manisnya begitu menderita, tak percaya bahwasedalam ini perasaan yang ada padanya. Kinan memang tak banyak bicara, tak seperti anak- anaklainnya yang mudah sekali mengadu pada orang tuanya jika mendapat masalah. Baru kali ini, Kinanmenunjukkan perasaannya yang tersimpan jauh di lubuk hati. Dari dekapan erat itu, ia bisa rasakan,betapa kosong dan betapa gelapnya, betapa pahitnya semua yang Kinan rasakan.

“Ya Allah, sebegitu ‘tega’ kah engkau pada gadis kecil ini. Lihatlah perasaannya yangmenjerit- jerit, tersembunyi di balik wajahnya yang menggemaskan tersimpan rasa pahit yang cukupdalam”. Air mata itu harus meleleh lagi. Kinan semakin memeluk erat tubuh ibunya.

“Baiklah sayang, Ibu akan menjagamu dan mencari obat untukmu”. Tak kuasa lagi, airmata itu terus menetes.

“Ibu, Kinan takuutt,” lirih mulut kecil itu tak begitu jelas. Jantung wanita itu semakinterasa teriris, mendekap putri kecilnya, lalu berjalan pulang.

“Tuhan, putri kecilku sudah terlahir tak sempurna, haruskah ia juga menderita penyakitterkutuk itu?” Satu keluhan terlontar dari bibir yang bergetar, mengingat kembali surat keterangandari rumah sakit, sebuah pukulan yang menohok keras hatinya, seakan tak percaya bahwa putrikecilnya mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Benar- benar mengirishatinya, hancur sudah. Bagaimana bisa? Dalam perjalanan pulang itu, air mata tak berhentimenetes, lirih- lirih keluh pun tak henti- hentiya mengalir.

Kinan tertidur pulas, mata kecil yang indah itu tertutup, sangat lelap dan tampak begitumenggemaskan. wanita lembut itu mengambil secarik kertas yang terselip di saku baju Kinan.Membukanya, sebuah undangan sosialisasi terkait HIV AIDS untuk anak-anak. Air mata itu mengalirlagi, dipeluknya tubuh mungil itu erat- erat.

“Kinan sayang, bagaimana pun keadaan mu, kau tetap akan jadi anak ibu, anak ibu yangibu banggakan”. Mengecupnya berkali- kali. Air matanya jatuh mengenai pipi mungil Kinan. Gadis itumasih terlelap sangat pulas. Seakan tak ada lagi masalah. Tersenyum.

“Mereka tak salah, mereka adalah korban seharusnya ditolong, bukan di benci”.“Mereka masih punya hak untuk mewujudkan mimpi”.“Mereka juga punya cita-cita, anggap saja mereka sedikit berbeda, dan kita tidak boleh

saling membedakan”.“Dengan hanya dekat dengan mereka, tak akan tertular, jadi dekati mereka seperti yang

lainnya”.

PuraKarya - Cerpen

33

Page 34: Purakasastra Edisi 2

Seorang dokter relawan dengan semangat memberi penjelasan, kepada seluruh muridbeserta orang tua masing- masing. Pendapat dokter itu membuat sedikit kericuhan, berbincang satusama lain, menyebutkan sebuah nama. Nama yang menurut mereka sudah menjadi momok, yangmengerikan bagi anak- anak mereka.

Terdiam, mereka semua terdiam, seluruh mata memandang ke depan. Seorang gadis kecil,dengan tongkat kayu di tangannya, gadis manis itu meminta microphone, degub jantungnya berdebarhebat. Ia perlahan mulai mengatur nafasnya, tercengang. Mereka yang ada dalam ruangan itumenyaksikan Kinan yang berdiri. Guru- guru pun ikut kaget, tak tahu apa yang akan di lakukan Kinandengan mic itu.

Nuun, walqolami wamaa yasthuruun.Maa anta bini’mati robbika bimajnuun.Wa inna laka laajron ghoiro mamnuun.Wainnaka la ‘ala khuluqin adhim.Fasatubshiru wa yubshiruun.Biayyikumul maftuunInna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilih, wa huwa a’lamu bilmuhtadiin.Fala tuthi’il mukadz-dzibiin.Waddu law tudhinu fayudhinuun.Wala tuthi’ kulla hallafimmahiin.Hammaazimmasysyaaim binamiimMannaa'il lilkhoiri mu'tadin atsiim'utullim ba'da dzaalika zaniim [1].……………………………………………Semua terdiam, membisu, suara itu begitu lembut, halus, indah. Seorang wanita,

menangis. Air matanya tumpah. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak tahu lagi harus berkata apa,hatinya renyuh, mendengar suara Kinan. Kinan yang jarang bersuara, Kinan yang sering membisu,Kinan yang pendiam, sebuah surat yang sering ia bacakan untuk Kinan, Sebuah surat yang sering iaperdengarkan lewat mp3 player, sebuah surat yang selalu menemani Kinan tidur. Tak sanggup lagiberkata apa- apa. Semua tamu yang ada di ruangan itu ikut tercengang, beberapa di antara merekajuga menetikkan air mata.

Wanita itu berlari ke depan. Mendekap putri kesayangannya, memeluknya erat, sangaterat dan dalam.

“Ibu, meski Kinan ga ngerti, penyakit apa yang Kinan derita, meski Kinan tak tahu berapalama lagi Kinan harus bertahan hidup, meski Kinan anak yang terlahir cacat, meski Kinan anak yangpenyakitan, meski Kinan tak punya teman, selalu dijauhi, karena penyakit yang Kinan ga ngerti, Kinanmasih punya Ibu, Kinan masih punya buku, Kinan masih punya Bu Riyanti, Kinan masih punya semut-semut kecil yang menemani Kinan saat menunggu ibu datang menjemput, Kinan masih punya suratalqolam yang menemani tidur Kinan. Terima kasih bu”. Tangis pecah, gemetar memeluk tubuhmungilnya.

“Maafkan Ibu Kinan, meski aku bukan ibu kandung mu, Kinan akan tetap jadi anak ibu”.Lirih kecil dalam hati itu tetap tersimpan begitu dalam, bersaman rahasia Tuhan, rahasia lima tahunsilam, saat pertama kali ia menemukan Kinan, bayi malang yang terbuang, seperti kebanyakan anakmalang korban lahir di luar pernikahan, atau kehamilan yang tak diinginkan oleh para pekerja seksjalang. Riyanti tak perduli, seketika rasa keibuannya muncul dan berhasrat untuk merawatnya, meskiia belum menikah. Banyak yang mencibir, menuduh tetapi ia tak perduli, yang ia tahu sampai saat inihanya kasih sayangnya pada Kinan.

Seseorang tiba- tiba berdiri, sebuah tepuk tangan. Satu- dua, semua mulai ikutmemberikan semangat. Pada Kinan juga mewakili mereka yang menderita, seperti Kinan.

*Cerpen ini terinspirasi dari lirik lagu Katy Perry – Firework.[1].Al Qur’an Surat Al Qalam Ayat 1-13

PuraKarya - Cerpen

34

Page 35: Purakasastra Edisi 2

35

PuraKarya - Puisi

Tanya (Tanpa) JawabOleh :Arcee Rheinata

Dua kali jeda di kala yang samaPada titik sebelum komaSemudah membalik lembar tanyaMata, bibir berdalil sangka

Tak ingin meraba Ada ApaPun memaki ApaAku hanya SiapaYang tak suka pada KenapaMalam kembali temaramLara telah rebah bersemayamTidurlah, RinduIngatlah aku saat membuka matamu

UsaiOleh: Anonimus

Diantara batas ujung matakuBerhentilahLucuti semua amarah yang memakuRetakkanlah

Menyemai nira pada pucuk rumbiaTerdepakJelaga menyisir percakapan gulmaTersedak

Ingin kukemasi dawai bisuLelah menelan nadanyaMati tak bergerak akuPamit menelan gulita

Page 36: Purakasastra Edisi 2

PuraKarya – Cerita Rakyat

[1]

Cirebon – Jawa Barat

Angin berarak menerpa dedaunan. Ujung atap rumbia yangmamayungi rumahnya dari panas dan hujan itupun ikut terombang-ambingoleh angin. Matahari menyenja di barat sana sedang dadanya berdebar tidakmenentu. Menunggu memang hal yang paling menjengkelkan bagi setiaporang. Terlebih menunggu tanggapan dari lamaran yang dibawakan ibunya.Lamaran kepada seorang gadis kemayu yang ia temui sewaktu hendak mluku[2]

di sawah Pak Bunawas. Gadis kemayu dan kenes yang mula-mula memangmembuatnya kesal namun tak bisa ia pungkiri suara gadis itu telah memanggil-manggil jiwanya untuk merindu tiada henti.

Kemat jaran guyang adalah pengasihan yang konon sangat ampuh untukmembuat lawan jenis tergila-gila. Pengasihan yang dulu mengharuskan sanglelakon puasa ngableng (puasa tanpa berbuka) selama 40 hari 40 malamdan di akhiri dengan patih geni (tidak tidur sehari semalam) ini biasanya dikerjakan oleh orang-orang jaman dulu karena sakit hati.

Oleh : Ade Junita

36

Page 37: Purakasastra Edisi 2

Yen isun iki aran BaridinUrip lagi menderita batinSaban dina lagi nyandang isinSebabe durung ngalami kawinArep kawin arep durung orang takonBonggan sapa kader akeh wadonKembang sirsak iwak blanakWonge blesak ambune blenakBagen mlarat baridin lanangDemen wadon ikuh wenangMekonon soten lanang gah apa lanangeMekonon soten wadon gah apa wadoneWadone kula larang reganeOra pantes baridin jodoneYen bli kelakon sun bagen lara badaneLamun kelakon isun si bagen edaneNgomong mkonon apa temananGelem sumpah pitung turunan[3]

PuraKarya – Cerita Rakyat

Ahh…, betapa mengingatnya adalah hal terindah yang bisa ia rasakan saat ini.Kekenesan gadis itu malah membuat hatinya ketar-ketir menahan cinta yang memenuhijiwanya. Namun bukan kepalang kagetnya saat dilihatnya Mak Wangsih pulang denganberurai air mata. Lantas debar-debur yang ia rasakan beberapa saat tadi kini bergantimenjadi cemas yang tiada terkira. Pasti ada hal buruk yang menimpa Maknya. Dan yanglebih membuatnya cemas adalah inti hal buruk itu adalah menimpa dirinya. Ya, mungkinsaja…

“Baridin…!” ucap Maknya seketika di depan anak lelaki semata wayangnya.Lengan baju yang ia kenakan sudah kuyup dengan air mata yang terus mengalirsepanjang jalan. “Sing sabar, Cung. Ratmina ikuh dudu golongane kita. Bli pantes dadijodoe sira. Wis Cung, lurua wadon sejen bae. [4]”

“Memangnya kenapa, Mak? Lamaranku bagaimana, Mak?” jawab Baridindengan sangat penasaran.

“Sudah jangan pikirkan lagi. Lamaranmu mereka tolak. Malah Makmu inimereka anggap pengemis. Ratmina tidak peduli sama sekali.”

“Tidak mungkin, Mak. Mak sudah ngomong baik-baik? Coba sekali lagi Mak!Tolonglah Mak coba sekali lagi! Anakmu ini tidak akan bisa hidup tanpa Ratmina, Mak.”

“Baridin!” keluh Maknya. Didekatinya anaknya. Dielusnya pundak anaklelakinya. “Dengarkan Mak, cari saja wanita lain. Entah tetangga kita, entah anak temanMak sewaktu tandur atau teman bermainmu. Mak akan melamarkannya untukmu. Asaljangan Ratmina. Mak tidak tahan direndahkan seperti itu.”

“Mboten, Mak! Baridin cuma pengen Ratmina.”“Jadi kamu tidak mau mendengarkan Makmu?” tanya Mak tak percaya.“Tidak, Mak.”“Kalau begitu pergi kau dari sini! Kau lebih memilih membiarkan Makmu

direndahkan daripada memilih wanita lain. Tidak pantas kau menjadi anakku!” kataMaknya.

JARAN G

UYANG

37

Page 38: Purakasastra Edisi 2

Perlahan dari belakang temankaribnya menghampiri. “Din! Kenapakamu, Din?”

Baridin tak menjawab.Pikirannya melayang tak tahu arah. Iabingung sendiri. Maknya mengusir iadari rumah. Uang tak punya, hartabenda hanya pakaian yang ia kenakan.Malam nanti ia belum tahu akan tidur dimana.

“Din!” kembali temankaribnya memanggil.

“Ya, Dinulur. Sira kuh weruanbae ana batur lagi nelangsa. Tapisayang, sira durung pernah ngrasanilarane wong kapegot tresna. [5]”

“Kamu sakit hati karenaRatmina menolak lamaranmu, Din. Akutahu dari Makmu. Dan apa kau tahuDin? Sebagai seorang teman aku tidaktega melihatmu seperti ini.”

”Kesuwun, Lur. Melase sira blibakal bisa ngobati laranengati. [6]”

Mata hatinya barangkali sudahtertutup oleh kelabu perasaannya.Barangkali hatinya pun benar-benarsudah remuk yang berbentuk sehinggatak dihiraukannya tiap perkataan temankaribnya itu. Matahari semakinmemerah. Semakin terasa cepat waktuberlalu.

“Sepertinya warisan bapakkutepat untukmu, Din.”

Baridin masih terdiam. Ia tidakingin mendengar bualan sahabatnya. Iatahu, Dinulur hanya yatim piatu yangpapa.

Ia tak punya apa-apa. Orangtuanya pun dulu hanya seorang kulisawah. Kakek-nenek tak ada. Hanyahidup sendiri.

Tempat tinggal hanya gubukrumbia yang tak jauh beda denganrumah Maknya. Tak mungkin adawarisan yang sempat ditinggalkan orangtuanya.

“Eh, Din. Kau tidak percayakalau bapak mewariskan sesuatupadaku?” tanya Dinulur mencobamengalihkan perhatian Baridin.

“Bli ngandel!” [7]

“Kalau kau benar-benar cintaRatmina, warisan bapakku ini pantasuntuk kau coba, Din. Coba lihatlah!”

“Apa itu, Dinulur? Kertaskumal dengan tulisan aksara jawa kuna?Apa ini Dinulur?

“Itulah bacaan kemat JaranGoyang, Din,” jawab Dinulur denganterkekeh. Ia begitu senang melihatsahabatnya beralih perhatian.

Kedua mata Baridin kini begitulekat memperhatikan tiap hurufnya.Tiap kata ia eja dengan begitu seksama.Perkata, perkalimat perlahan iahapalkan. Senyumnya seketikamerekah. Dinulur terkekeh melihatsenyum kembali merekah di bibirsahabatnya. Sebagai seorang sahabatdari kecil memang sudah sepantasnyamembantu kesusahan temannya.

PuraKarya – Cerita Rakyat

38

Page 39: Purakasastra Edisi 2

Matahari sudah tenggelam.Gelap menyelimuti. Dari kejauhan kelap-kelip obor yang menerangi tiap rumahterlihat menembus reranting semakbelukar yang tumbuh sembarang danmemenuhi kebun. Bebunyi jangkrik dankatak sawah bersahutan seolah arak-arakan sebuah pesta besar untuk alamtengah dimulai.

Baridin beranjak dariduduknya. Bersama teman karibnya iamelangkah pulang. Ia akan tidur di gubuksahabatnya. Tengah malam nanti, tepatmalam jum’at kliwon ia akanmerapalkannya. Ya, hatinya mantapuntuk melakukan itu. Cinta telahmembuat tekadnya bulat. Suratminaharus bisa ia luluhkan.

*****40 hari pun berlalu. Terik siang

begitu hangat menerpa bumi. Bebunyibelalang sawah terdengar dari beberapasudut.

CETARRR…! Dilecutkannyacambuk kecil untuk mendorong kembalitenaga kerbau yang dirasa mulaimelambat. Tak jauh beda dengan Baridinyang memegang kendali. Napasnyabegitu pelan. Dengan kedua mata yanglemah menatap. Juga hanya sedikittenaga yang ia punya. Ya, telah 40 hariperutnya tidak kemasukan makanan danminuman. Entah akan sampai pada napasyang ke berapa nyawanya terenggut.

Di antara hentakan kerbau ditengah sawah, lamat-lamat dilihatnyaseorang perempuan dengan pakaiancompang-camping berjalan tergesa-gesamendekat.

“Kang Baridin…!” pelandidengarnya perempuan itu memanggilnamanya.

“Kang Baridin, kulane melu,Kang…” . Kini ia yakin ia tak salah dengar.Perempuan dengan dandanan yangsudah tidak karuan itu memangmemanggil-manggil namanya.

Semakin dekat semakin jelasBaridin melihat wajah perempuan itu.

Dan sedetik kemudian ia terkesiap. Ya,perempuan itu pasti perempuan yangtelah menolak lamarannya tempo dulu.Ya, dia Suratmina.

“Suratmina! Lhoh… lhoh… jadikamu benar gila ya? Ternyata benar kataDinulur, Suratmina gila karena kematJaran Guyang.” Baridin terkekeh melihatmelihat kenyataan persis seperti yang iainginkan.

“Kang Baridin, kulane melu,Kang. Yuk kita nikah yuk! Hehehe…hehehe…!”

Sekarang kau malah meminta-minta dinikahi. Mana Suratmina yangdulu mengaku dilamar pilot, pengusaha,orang gedungan? Sekarang malah mintadinikahi Baridin yang hanya tukangbajaka sawah, lelaki miskin. Tapi Baridintidak akan sudi menikahimu, Suratmina.Karena congkakmu Mak Wangsih sampaimengusirku dari rumah.

“Kang… ayo nikah kang! Kang…Ba…” terputus-putus Suratmina berkata.Napasnya dengan seketika melambatdengan drastis. “Kang Ba… ri… di..n!” danhilang. Tubuhnya pun ambruk di depanBaridin.

Baridin hanya melongo melihatitu. Kakinya seakan terpaku melihat itu.Beberapa petani yang kebetulanmelihatnya berteriak-teriak memberitahu yang lain. Dan segeralah merekaberdatangan. Dinulur yang kebetulanpun ada di situ dengan cepatmenghampiri Baridin.

“Din, kok wajahmu pucatsekali. Din…!” Dinulur memanggil-manggil Baridin yang mulai kehilangankesadarannya.

“Kepengenan kula kelakon Lur.Sekien kula wis tenang!”[8] tepatbeberapa detik setelah Baridinmengatakan itu, badannya ambruk.Dinulur memegang pergelangan tanganBaridin dan memeriksa nadinya. Lenyap.Tak ada lagi denyut nadinya.

“Innalillahi…”

PuraKarya – Cerita Rakyat

39

Page 40: Purakasastra Edisi 2

[1] Keseluruhan cerita ini diambil dari cerita drama Tarling Klasik daerah Cirebon dengan judul Baridin.[2] Membajak.[3] Ini aku yang bernama Baridin

hidup sedang menderita batintiap hari menyandang malukarena belum pernah kawin(nikah)mau kawin atau belum tak tanyasebab siapa padahal banyak perempuanbunga sirsak ikan blanakorangnya jelek baunya tidak enakbiarpun miskin Baridin lelakimencintai perempuan itu bolehbegitupun siapa dulu perempuannyabegitupun siapa dulu lelakinyaperempuan itu saya mahal harganyatidak pantas berjodoh Baridinkalau tidak tercapai tak apa sakit badan inikalau tercapai lebih baik aku gilangomong seperti itu apa benarberani sumpah tujuh turunan.

*Pantun berbalas yang dilakukan Baridin dan Suratmina sebagai dialog dalam Drama Tarling.

[4] Yang sabar, Cung. Ratmina bukanlah golongan kita.­ Tidak pantas jadi jodohmu. Cari saja wanita lain.[5] Kau tahu saja ada teman lagi nelangsa. Tapi sayang, kau tidak pernah merasakan sakitnya patah hati.[6] Terimakasih, Lur. Rasa kasihanmu tidak bisa mengobati hati yang terluka.[7] Tidak percaya.[8] Keinginanku sekarang tercapai, Lur. Sekarang aku sudah tenang.

PuraKarya – Cerita Rakyat

PuraKarya - Puisi

40

Page 41: Purakasastra Edisi 2

Meraih bunyi nyanyi sunyiMenyibak sepi

Menaruh sepiDi sini lentik lembut jemariPiawai petik warna seribu

senardenting rupa beribu-ribu

Malam merentang tanganSwara-swara jari jemari

Memetik tali temaliTingkah rindu

Ngiang laguLagu rindu

Rindu biru(Ketika)

Denting teringat susuri sunyiLembut dawai elus sunyi

malam sunyi bergelut dawaitersisa satu

lagu sunyi lagi

Sarimatondang090814

(KETIKA) DAWAI HARPA MENGELUS SUNYI

41

PuraKarya - Puisi

Oleh : Jabugart joeni regar

Page 42: Purakasastra Edisi 2

Adalah Dahlan Iskan, pemilik HU Jawa Pos itu, pernahmengungkapkan bahwa membaca novel itu boleh dianggap sebagaipagar hidup. Mengapa demikian? Bagi Dahlan Iskan, seseorang yangpernah mengalami hidup miskin, bekerja keras, lalu menjadi kaya,“Ketika menjadi kaya, manusia berada di persimpangan”,ujarnya ketika diwawancari wartawan, saat menunggu acarapeluncuran film “Sepatu Dahlan” di Islamic Book Fair Senayan,beberapa waktu lalu.

Ketika menjadi kaya, demikian Dahlan Iskan, pasti bertanyadalam hatinya, apakah menjadi orang kaya yang baik atau menjadimanusia yang rakus. Kalau menjadi kaya rakus, step berikutnyastroke. Karena itu, perlu dicarikan langkah pengantisipasiannya.Salah satunya, kata Dahlan Iskan adalah melalui membaca novel.Dengan membaca novel karya sastrawan, seseorang yang berada dipersimpangan,akan menjadi tenang. “ Membaca novel itu, semacampagar dalam hidup”, ujarnya.

KajianSastra

42

Page 43: Purakasastra Edisi 2

Dahlan Iskan benar, bagaimanapun juga, dengan membaca misalnya membaca novel,berarti kita berhadapan dengan pengalaman orang lain. Di sana ada konflik, di sana pula adasolusinya meski tersirat, tetapi ketika kita mencermati alur ceritanya, pasti saja nilai-nilai yangterkandung di dalamnya, dapat membantu seseorang untuk mengatasi masalah hidupnya. Intinya,bagaimana rohani kita tersirami nilai – nilai hidup, sehingga rohani kita tidak kering kerontang.Itulah salah satu makna dari pagar dalam hidup tadi.

Sayang sekali, fakta riil di lapangan, ada yang membiarkan jiwanya kering. Dia mengejarhidup agar jadi orang terkaya, tanpa mempertimbangkan kebutuhan rohani. Setiap waktu, diisinyadengan mengejar kekayaan. Sementara itu, dia tidak pernah takut rohaninya kering. Iya, akibatnyatepat seperti yang dikatakan Dahlan Iskan, “ Kalau kaya rakus, step berikutnya stroke”.

Kita tidak menghendaki stroke, tentunya. Bagaimanapun juga, menjadi kaya tentusejatinya, tidak saja kaya materi, akan tetapi juga harus kaya hati. Dengan kaya hati, sudah pasti,dapat dijadikan tempat berpijak yang kokoh dan kuat. Berbekal hati yang tentram juga, kitamengetahui duduk persoalan dari sebuah permasalahan yang sering bersarang di hati. Kita tidakmau menerima akibat dari persoalan yang membuat hidup kita hancur berantakan.

Mencermati uraian sepintas di atas, tentu kita berkesimpulan, bahwa hidup ini harus adapagarnya, sehingga hal-hal yang membuat kita stroke misalnya, tidak terjadi. Kata orang bijak,” Kitaperkecil dan mengurangi keburukan-keburukan akibat dari keteledoran kita”. Ini pun dilaksanakankalau kita menyadari bahwa hakikat hidup itu dipahami. Hidup , kata Ustad, adalah suatu karunia.Jadi, jangan sampai diabaikan, hidup hanyalah sementara, dan ketika waktunya tiba, kita pastidipanggil-NYA.

Sayang sekali, banyak orang yang tidak memperhatikan hakikat hidup itu. Akibatnya,banyak pula yang mengalami gangguan teknis dalam hidupnya, karena salah jalan dan salah haluan.Dia mengejar kekayaan tanpa memperhatikan kebutuhan rohaninya. Mestinya, dipahami, semakinkaya, semakin pegang petunjuk Allah yang tercantum dalam kitab suci. Dengan berpegang padapetunjuk Allah kita akan selamat sepanjang masa.

Selain membaca petunjuk Allah dalam kitab sucinya, kita pun berusaha menyiram rohanidengan membaca karya sastra seperti novel. Bagaimanapun juga seperti diungkapkan Dahlan Iskandi atas tadi, patut diacungi jempol. Dahlan Iskan pahami bahwa kehadiran sastra dalam hal ini novel,adalah perpaduan antar subjek (diri sastrawan) dengan objek ( ide, suasana, tema, alam , dll).

Nah, untuk tidak sekedar ngomong, penulis mengangkat penggalan karya Kahlil Gibrandalam “Pakaian” yang terkumpul dalam Sang Musafir . Nilai apa yang akan kita petik setelah membacaisinya? Namun sebelumnya, kita berusaha mencermati terlebih dahulu, isi penggalannya, berikut ini :

“Suatu hari si Cantik dan si Buruk bertemu di pantai. Keduanya saling mengajak, “Mari kitamandi di laut!” Keduanya menanggalkan pakaian, kemudian berenang. Tak beberapa lama si Burukkembali ke pantai, lalu mengenakan pakaian si Cantik, lantas pergi. Si cantik pun lantas ke pantai. Iatak dapat menemukan pakaiannya, karena malu telanjang, dikenakannya pakaian si Buruk. Sampaikini, kita tak dapat mengenali mereka masing-masing. Namun ada juga yang dapat mengenali wajah siCantik, meski pakaiannya demikian. Dan ada pula yang dapat mengenali wajah si Buruk, karenapakaiannya tak dapat menyembunyikannya.”

Dapatkah kita menangkap isi cerita singkat dan sederhana di atas? Iya , bentuk ceritanyaamat sangat sederhana, bukan? Namun di balik sederhananya cerita tersebut, tersimpan pulasejumlah amanat yang amat berguna bagi kita. Amanat apa itu?

KajianSastra

43

Page 44: Purakasastra Edisi 2

KajianSastra

Bermula dari alur cerita, tergambar dua orang gadis, seorang berwajah cantik dansatunya berwajah buruk. Keduanya mandi bersama di laut dan seterusnya, akhirnya kita temukanamanat. Tentu saja, jangan lupa berusaha menghubungkan perangai dari kedua gadis tersebut.Pertanyaan yang perlu diangkat di sini, adalah “Wajarkah sikap si Buruk?” Dari rangkaian peristiwayang dilakukan si Buruk, kita temukan karakternya, yakni Si Buruk ingin tampil cantik dengan carayang tidak terpuji.

Dari simpulan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan dari penggalan di atas, amanatnyaadalah : (1) Sebaiknya kita menyadari kelemahan yang ada; (2) Jangan berbuat menghalalkan setiapcara untuk meraih ambisi; (3) Berpikirlah yang praktis tetapi harus berpositif; dan (4) Jadilah orangyang pandai dan bijaksana. Kedua sikap inilah yang dapat membedakan baik buruknya sesuatu.

Ternyata, karya seseorang itu, bukan sekedar untuk dihadirkan di tengah masyarakatpembaca. Pada saat membaca karya, apakah itu fiksi berupa cerpen atau novel, bahkan puisi, tentusaja ada nilainya yang perlu ditangkap. Nilai-nilai itu, amat berguna bagi kemanusiaan , karenadapat menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.

Patutlah dicatat bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu dapat ditemukan juga dalam karyafiksi. Nilai-nilai tersebut antara lain : (1) Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalahdasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia; (2) Nilai etik adalah nilai manusiasebagai pribadi yang berkaitan dengan benar salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat,misalnya kejujuran; dan (3) Nilai keagamaan adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yangdiberikan oleh warga masyarakat pada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yangbersifat suci sehingga menjadi” pedoman”, bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakatbersangkutan.

Hasil perpaduan ide/nilai sastrawan tersebut, ternyata sanggup berfungsimembangkitkan kesadaran bahwa kualitas pribadi pembacanya esok hari, lebih baik ketimbangkualitas pribadinya hari ini. Karena itu, ketika dia menemukan hal-hal yang menyenangkan dalamnovel tersebut, dia mulai pasang senyum, selanjutnya dia ambil hikmahnya untuk dikonsumsikandalam keseharian.

Nilai-nilai yang diambil pembaca itu, bukan tanpa dasar. Di dalam novel selalu ada nilai,antara lain nilai agama, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Bagi sastrawan, menuliskarya sastra seperti novel, memiliki fungsi antara lain : (1) medium kreasi ( wadah buat proses danhasil ciptaan ); (2) medium komunikasi ( sarana untuk berhubungan dengan khalayak atau siapa saja); (3) medium ekspresi ( alat untuk mengungkapkan diri ); (4) meng-abadi-kan ide, memori, suasana,proses, nilai suatu tema, peristiwa, dll; (5) Proses dan medium untuk meningkatkan akal budi,mengembangkan daya cipta, memberi input/konsumsi bagi rohani jiwa, dan hati sertamempertinggi nilai insan pribadi.

Sastrawan sudah menghadirkan nilai dalam karyanya, mengapa pula kita tinggalkan?Bukankah belajar sastra adalah belajar pengalaman orang lain? Kalau jawabannya, salah satunyaadalah belajar pengalaman yang bernilai, maka adalah benar ungkapan Dahlan Iskan, bahwa dalamhidup ini, rohani harus diberi kebutuhannya, “Jangan biarkan rohani kering-kerontang!” ujarnyasembari menambahkan,” Membaca novel itu, semacam pagar dalam hidup”. ***)

Sumber bacaan:(1)Bundel Majalah Psikologi “ANDA” edisi no.76 s.d. 81g dalam , Agustus 1983(2) Kimia dan Ekonomi Kata dalam Puisi: Usman D.Ganggang dalam HU Suara mandiri(3) Sjafi’e Imam,DR.H.1997.Kumpulan LKS.Jakarta:Depdikbud(4) Hardyani,Rita Dr.1990.Penuntun Belajar Bahasa dan sastra Indonesia.Bandung:GenecaExact.(5) Indriani K,Pudji.2005.Kompetensi Bahasa dan sastra Indonesia.Jakarta:Literatur Media Sukses.(6) Diknas.2006.Panduan Materi Ujian Nasional. Jakarta:Pusat Penilaian Pendidikan(7) Kliping Koran Pak Oles 16-31 Maret 2014

44

Page 45: Purakasastra Edisi 2

45

Karet MotivasiSampaikan pesan ajaibmu dengan cara yang ajaib

Oleh : Nuryanto Gracia

Kuas MimpiMelukis mimpi besar bersamamu

Oleh : Putu Dwieka Putri

Page 46: Purakasastra Edisi 2

Sastracyber - Wawancara

Pak Azwar Chatib bicara soal sastra. Kami berbincang renyah. Ide-ide yangdilontarkannya sangat menarik, sekaligus membuka cakrawala berpikir kita tentang sastra. Beliaumengulas beberapa ide sastra yang sungguh menyegarkan, termasuk mengulas soal sastra cyber.Dari ulasannya, mata dan hati kita dibawa pada pemahaman yang positif tentang setiap karyasastra. Dalam dunia cyber, khususnya Sastra Cyber Indonesia, barangkali kita mengenal sebutan“Sang Penulis Kopi” yang dialamatkan kepadanya. Disebut demikian oleh karena, dalam setiapkarya-karya puisi yang terlahir darinya, selalu terselip kata “kopi” atau ”secangkir kopi”.

Menurut pria kelahiran Bukit Tinggi, pada tanggal 1 Mei 1955 ini, maraknya karya sastracyber di jaringan sosial atau media sosial, khususnya di Indonesia, terjadi oleh karena cara pandangkita. Kita memandang cyber sebagai wadah yang mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Jadi,wajar saja jika banyak orang memanfaatkannya untuk kepentingan penyajian karya sastra, sepertipuisi, prosa, cerpen, dll.

Menurut Pak Azwar, sastra sangat penting jika dikaitkan dengan konteks kebudayaan,dari sudut sistem tingkat enam, dalam lapis kebudayaan. Ketika kami, tanyakan rincian dari lapistingkat enam itu, Pak Azwar pun tak pelit menjelaskannya.

Drs. Azwar Chatib M.Si

46

Oleh : Dian Rusdi

Page 47: Purakasastra Edisi 2

Kata Pak Azwar, “kebudayaan itu ada yang mengatakan isinya 7. Mulai dari lapis terluaryaitu sistem mata pencaharian (ekonomi), sampai ke lapis terdalam yaitu sistem religi (termasukkepercayaan dan agama)”. Ketujuh isi yang dimaksud oleh beliau, sebagai berikut:• Sistem mata pencaharian• Sistem peralatan.• Sistem pengetahuan.• Sistem kemasyarakatan.• Sistem bahasa.• Sistem kesenian termasuk seni sastra.• Sistem religi.

Lebih lanjut, Pak Azwar berkata, “Sastra itu termasuk mendekati kebudayaan. Jadi, salahsatu sifat bawaan kesusastraan itu, di samping universal adalah nilai art (seni dan halus). Sastra yangsesungguhnnya bukan yang lebay, ngik ngok dan sebangsanya. Puisi, misalnya, bermuatan mulaiekonomi, sampai agama, juga memiliki muatan keindahan dan kehalusannya. Namun, itu jugatergantung dengan aliran yang dia pakai. Tidak apa sebenarnya orang menulis puisi penuh katajorok. Tentu saja ada nilai artistik, estetika dan lain sebagainya, yang mempengaruhi atau tidakmempengaruhi”.

Pak Azwar, seorang Dosen di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) diUIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menambahkan, “dan sastra juga menjadi gambaran pemahamandan perilaku serta kondisi atau situasi tertentu. Soal mendidik atau tidaknya, sangat tergantung daricara pandang yang dipakai. Misalkan, saya mau membikin Tuhan mati tersungkur di cangkir kopi.Bagaimana coba? Selanjutnya, segala sesuatu ada ilmu dan seninya. Oleh karena ketiadaanpenguasaan ketiga hal tersebut (pemahaman, prilaku dan kondisi), maka karya sastra yangdihasilkan ‘seenaknya,’ seperti yang sering dikeluhkan. Hal ini kerap terjadi pada karya puisi. Dalampuisi, perlu pemilihan diksi yang tepat, objektif, rasional, dan ada taste (rasa bahasa), sehinggakarya yang dihasilkan memiliki kualitas makna dan karenannya tidak sekedar berkarya”.

Disela-sela perbincangan itu, kami meminta pendapat beliau, prihal grup Forum SastraIndonesia (Forsasindo). Beliau termasuk anggota di group tersebut. Menurutnya, grup Forsasindoadalah grup yang baik, bagus, dan memiliki anggota yang banyak. Dalam group tersebut kitaberhadapan dengan publik. Karena itu, ia menyarankan supaya Group Forsasindo bisa merilispostingan sepuluh terbaik versi Forsasindo, terutama berkaitan dengan postingan puisi. Bagi PakAzwar, postingan sepuluh puisi terbaik itu bisa menjadi acuan atau contoh puisi bagi publik ataupun penulis puisi. Jadi, ada nilai pendidikan dari postingan itu. Beliau menjelaskan metode yangbisa dipakai, misalnya, memilih sepuluh puisi terbaik yang diposting selama seminggu atau selamasebulan.

Sastracyber - Wawancara

47

Page 48: Purakasastra Edisi 2

Pria yang telah mengabdikan diri menjadi stafdosen UIN Syarif Hidayatullah, sejak tahun 1985 itu berkata,“dulu namanya lAIN, sekarang namanya UIN, lalu mulaitahun 1990 dimutasi ke (FIDKOM) sampai sekarang”.Perkataan ini, membawa dia pada ingatan tentang dosen-dosen yang mengajar pada tahun 1985 di FakultasUshuluddin.

Kemudian Pak Azwar berpesan, “pesan saya kepadapenulis pemula, teruslah menulis dan sambil belajar, janganpernah mencela karya pemula, beri like, beri komentarpositif sambil mengarahkannya. Kalau ada yang minta saranminta koreksi, ya, dilayani saja, hitung-hitung bagi-bagi ilmudan bimbingan”. Setelah itu, ia memberikan beberapa tipsuntuk menulis sastra yang baik, sebagai berikut :• Siapkan pesan• Siapkan latar• Pilih diksi• Bangun alur• Rangkai kata sesuai alur• Perhatikan dan pertimbangkan pilihan kata, strukturkalimat, kepantasan, rasa, kehangatan, dll.

Diakhir wawancara itu, Pak Azwar berujar, “Jikamempunyai diksi kunci, jangan lupa agar selalu diselipkan,seperti tulisan saya yang kadang kala selalu ada kata kopi.Kalau inspirasinya boleh dari mana saja, yang penting bisaterolah menjadi suatu pesan. Sebab puisi tanpa pesan yangjelas sepertinya kehilangan kekuatan”.

Sastracyber - Wawancara

SAJIANOleh : Azwar Chatib

Entah itu siang atau malamSelalu hadirkan,

Bagian dari perjalananAda sajian,

Selalu menemani setiaDari racikan aroma dan rasaMerengkuh sepanjang anganDalam sajian secangkir kopi.

•Aku berhak sebagai manusia, setelah terjamah, terjajah hidup resah, memilih merdeka mencari dan memungut orgasme celoteh jiwa, membuat coretan wadahi muntahan sepetak ladang isi kepala lewat kata dan kalimat. Itu sungguh merdeka!

DZ Sandyarto

48

Salah satu contoh puisi milik Pak Azwar yangmemakai kata “Kopi”.

Pamulang. 22/09/14

Page 49: Purakasastra Edisi 2

49

Sunset Di Tanah Anarki

Oleh : Asrof - SIP

Batam dan Bintan

Oleh : Ali Label

Page 50: Purakasastra Edisi 2

50

Sajak Tanah Basah

Aku mencintaimu dalam diamSaat kurasa burung-burung di atas ranting yang mulai lapuk ituIkut-ikutan cemburu dan mencintaimu

Kau ikat hatiku dengan senyum merekah yang kunantiKau semikan kembang candu yang bersemayam di hati gundahyang tak kunjung memekar ini

Aku hanya ingin kembang cintamu gugur di atas tanah merah yang kupeluk erat ini,Saat getaran sukma membungkam habis rintik hujan kesunyianyang tak pernah mengantarkan kembang cintamu itu

Lalu sorot mata bagai ujung pedang melihat ke arahkudan berkata dengan tak sabaran,

“Ah.. kau menggangguku saja, kubangan”Ya, aku hanya kubangan, kubangan rindu yang selalu menantimu

Dengan malu, aku menjawab berbisik,“Aku hanya ingin melihat senyum kuncup kembang di pipimu itu”Kau menertawakan hamparan tanah merah yang basah dan bau rindu iniMengejek getaran hati yang retak ini,Menghentikan degup jantung yang membiruMengapa kau tertawa?

Tak bersediakah kau menggugurkan kembang cintamudi tanah basah dan bau yang kau anggap kubangan ini?

Oleh : Andev

PuraKarya - Puisi

Page 51: Purakasastra Edisi 2

51

InfoSastra - Acara

Bulan Bahasa dan Sastra

Universitas Negeri Malang

September merupakan bulan penting bagi Mahasiswa JurusanSastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Pada bulaninilah mereka yang tergabung dalam Himpunan MahasiswaJurusan (HMJ) Sastra Indonesia, menggelar salah satu acaraakbar yang sudah rutin diadakan sejak tahun 1988 setiap akhirbulan September hingga akhir bulan Oktober. Acara tersebutdiberi nama : Bulan Bahasa dan Sastra.Bulan Bahasa dan Sastra (BBS) 2014 kali ini digelar mulaitanggal 18 September sampai 30 Oktober 2014 denganmengusung tema "Melestarikan Kebudayaan Indonesia MelaluiBahasa dan Sastra untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter diEra Globalisasi".

Ada 8 acara yang diselenggarakan dalam gelaran BBS tahun ini, antara lain :Seminar Nasional, Lomba Video Dokumenter ( LVD ), Pelatihan Manajemen Perpustakaan Berbasis Automasi, Lomba Adu Cerdas Bahasa Indonesia, Lomba Pidato Bahasa Jawa, Festival Teater tingkat SMA , Festival Teater tingkat SMP dan Expo Sasindo.

Acara pembuka BBS diisi dengan Seminar Nasional, mendudukkan tema besar "Bahasa dan Sastra Indonesia : Teks dan Model Pembelajaran Inovatif dalam Implementasi Kurikulum 2013“ ujar Chairul Mustofa sebagai salah satu panitianya. Seminar yang terbuka untuk umum tersebut membahas topik-topik yang berkaitan dengan model pembelajaran yang berhubungan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013.

Event yang digelar setiap tahun ini bertujuan agar anak bangsa tidak lupa dengan budaya asli bangsa Indonesia. Sebagai mahasiswa sastra, Mustofa memandang keadaan sastra saat ini masih banyak yang awam. “Saya masih sering menjumpai orang yang berpendapat kalau sastra itu identik dengan hal negatif, tapi juga tak sedikit yang memandang sastra itu sebagai suatu keindahan”, begitu ungkapnya.

HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang didukung penuh oleh Bakti Budaya Djarum Foundation bersama-sama menjadikan event ini sebagai gerakan untuk memajukan sastra dan menghidupkan karakter generasi muda Indonesia di bidang bahasa dan sastra. “Saya yakin penerus bangsa ini pemuda-pemudi hebat. Jadikan bangsa ini bagai puisi cinta yang indah dan bermakna untuk bangsa lain”, begitu kata Mustofa menutup informasinya mengenai event BBS.

Foto

dar

i : h

ttp

://n

ews.

acar

aap

a.co

m/

BBS 2014

Latifa / Red

Page 52: Purakasastra Edisi 2

52

Untuk kerjasama, pemasangan iklan dan distribusi majalah,hubungi kami di :

Telepon : 08 111 510 170 (Manaek Sinaga)089 89 120 411 (Irfan Purnama)

E-mail : [email protected] : Jl. Nuri No. 5A, Cipadu Jaya

Tangerang, Banten 15155