89
2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN LITBANG PEMANFAATAN DATA RADAR UNTUK PESISIR DAN LAUT

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUHpusfatja.lapan.go.id/files_uploads_ebook/publikasi/Buku Laporan... · ini intinya terdiri dari 6 Bab yang ... peluncuran, frekuensi, polarisasi,

  • Upload
    votuong

  • View
    244

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

2015

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LAPAN

LITBANG PEMANFAATAN DATA RADAR UNTUK PESISIR DAN LAUT

i

LAPORAN KEGIATAN LITBANGYASA

LITBANG PEMANFAATAN

DATA RADAR UNTUK PESISIR DAN LAUT Oleh: Maryani Hartuti Muchlisin Arief Teguh Prayogo Sartono Marpaung Emiyati Nanin Anggraini Anneke K. S. Manoppo Rossi Hamzah Anang Dwi Purwanto Hamdi Eko Putranto Tival Godoras

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Kalisari No. 8 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710

Telp. (021) 8710065 Faks. (021) 8722733

ii

iii

KATA PENGANTAR

Undang-undang No. 21 tahun 2013 mengamanatkan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk menetapkan metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa) pemanfaatan penginderaan jauh sebagai dasar dalam penentuan metode dan kualitas pengolahan data. Kegiatan litbangyasa tersebut tentunya tidak dilakukan dalam waktu setahun atau dua tahun sehingga metode dan kualitas data langsung ditetapkan, namun memerlukan proses dan waktu yang cukup panjang. Agar setiap kegiatan untuk menuju hal tersebut terdokumentasi dengan baik, maka disusunlah buku laporan setiap tahunnya.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, penyusunan buku hasil litbangyasa dengan judul Litbang Pemanfaatan Data RADAR untuk Pesisir dan Laut telah diselesaikan dengan baik. Buku ini disusun sebagai bukti pertanggungjawaban hasil kegiatan litbangyasa yang dibiayai oleh DIPA Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Buku ini intinya terdiri dari 6 Bab yang memuat (1) Pendahuluan, (2) Tujuan dan Sasaran, (3) Tinjauan Pustaka, (4) Bahan dan Metode, (5) Hasil dan Pembahasan, dan (6) Kesimpulan dan Saran. Buku ini disertai dengan lampiran-lampiran yang mendukung hasil kegiatan tersebut.

Dalam penyusunan buku ini tentunya melibatkan tim litbangyasa yang bekerja selama tahun 2015, narasumber baik dari tim litbangyasa yang lain dan perguruan tinggi, dan juga pihak-pihak lain yang terkait. Masukan-masukan dan hasil-hasil diskusi memperkaya kegiatan ini sehingga mendapatkan hasil yang semakin baik. Kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu kegiatan ini, saya selaku Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada tim litbangyasa yang telah melakukan kegiatan litbangyasa ini, selain buku ini diharapkan juga dipublikasikan hasil temuan-temuan yang sudah didapatkan dalam media yang lain seperti Jurnal, baik nasional maupun internasional.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, buku ini tentunya tidak sempurna, namun ini akan menjadi dokumen yang penting dalam kegiatan penelitian dan pengembangan selanjutnya. Kritik dan saran terkait penyusunan buku ini dapat disampaikan langsung, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini akan dapat membantu agar penyusunan buku berikutnya menjadi lebih baik.

Jakarta, 14 Desember 2015

Kepala

PusatPemanfaatanPenginderaanJauh,

Dr. M. Rokhis Khomarudin

iv

v

DAFTAR ISI

Halaman:

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

I. PENDAHULUAN 1

II. TUJUAN DAN SASARAN 2

III. TINJAUAN PUSTAKA 2

3.1. Penginderaan Jauh Radar 2

3.1.1. TerraSAR-X 4

3.1.2. Sentinel 1 6

3.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove 7

3.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak 9

3.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal 10

3.5. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak 11

3.5.1. Deteksi Obyek/Bintik Gelap 11

3.5.2. Ekstraksi Kenampakan Tumpahan Minyak 12

3.5.3. Klasifikasi Tumpahan Minyak 12

IV. BAHAN DAN METODE 14

4.1. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove 14

4.1.1. Studi Area 14

4.1.2. Data 14

4.1.3. Metode 14

4.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak 15

4.2.1. Studi Area 15

4.2.2. Data 16

4.1.3. Metode 16

4.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal 16

4.3.1. Studi Area 16

4.3.2. Data 17

4.3.3. Metode 17

4.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak 17

4.4.1. Studi Area 18

vi

4.4.2. Data 18

4.4.3. Metode 18

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19

5.1. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove 19

5.1.1. TerraSAR-X 19

5.1.2. Sentinel 1 23

5.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak 26

5.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal 27

5.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak 31

5.4.1. Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap Jawa Tengah 31

5.4.2. Tumpahan Minyak di Laut Timor 34

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 34

DAFTAR PUSTAKA 35

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 1. Satelit Sentinel 1 6

Gambar2. Lokasi Penelitian Mangrove 14

Gambar 3. Alur Penelitian Mangrove 15

Gambar 4. Lokasi Penelitian Tambak: Gresik Jawa Timur 15

Gambar 5. Alur Penelitian Identifikasi Tambak 16

Gambar 6. Lokasi Penelitian Deteksi Kapal 16

Gambar 7. Alur Penelitian Deteksi Kapal 17

Gambar 8. Lokasi Deteksi Tumpahan Minyak 18

Gambar 9. Alur Penelitian Deteksi Tumpahan Minyak di Laut Timor 19

Gambar 10. Citra dan Kisaran Nilai Sigma VV 20

Gambar 11. Citra dan Kisaran Nilai Sigma HH 20

Gambar 12. Lokasi Transek 21

Gambar 13. Pola Sigma Transek 1 21

Gambar 14. Pola Sigma Transek 2 22

Gambar 15. Pola Sigma Transek 3 22

Gambar 16. Pola Sigma Transek 4 22

Gambar 17. Pola Sigma Transek 5 23

Gambar 18. Pola Sigma Transek 6 23

Gambar 19. Tampilan Citra Sentinel 1 Cilacap 23

Gambar 20. Tampilan RGB data Sentinel 1 24

Gambar 21. Lokasi Transek 24

Gambar 22. Pola Sigma pada Lokasi Transek 25

Gambar 23. Hasil Klasifikasi Unsupervised 25

Gambar 24. RGB false colour composit 26

Gambar 25. Distribusi Tambak Berdasarkan Klasifikasi dengan Metode

Density Slicing

26

Gambar 26. Citra PISAR L2 (kiri) dan citra ALOS PALSAR (kanan) yang

digunakan dalam deteksi kapal

27

Gambar 27. Training Sampel Objek Kapal Data PISAR 28

Gambar 28. Training Sampel Objek Kapal Data ALOS PALSAR 28

Gambar 29. Potongan Script Fungsi Ekstraksi Keypoint Untuk Training Sampel 28

Gambar 30. Potongan Script Fungsi Konversi Format Keypoint ke dalam

Format Array Tabel

29

viii

Gambar 31. Potongan Script Fungsi Deteksi Kapal 29

Gambar 32. Hasil Proses Deteksi Kapal Data ALOS PALSAR (HH), Pelabuhan

Jakarta

30

Gambar 33. Hasil Proses Deteksi Kapal Data PISAR L2 (HH), Selat Lembeh,

Bitung

30

Gambar 34. Indikasi Oil slick dari Landsat 8 31

Gambar 35. Deteksi Keberadaan Tumpahan Minyak pada Titik 1 dan 2 32

Gambar 36. Deteksi Keberadaan Tumpahan Minyak pada Titik 3 32

Gambar 37. Deteksi Tumpahan Minyak dari Data Sentinel 1 33

Gambar 38. Hasil Pengolahan Deteksi Minyak Data TerraSAR-X di Laut Timor

pada Tanggal 21 September 2009.

34

ix

DAFTAR TABEL

Halaman:

Tabel 1. Kanal Frekuensi untuk Radar Berdasarkan IEE Standard 521-1984 3

Tabel 2. Satelit, tahun peluncuran, frekuensi, polarisasi, dan resolusi spasial

Sensor SAR

4

Tabel 3. SpesifikasiSistemTerraSAR-X 5

Tabel 4. Parameter sistemTerraSAR-X 5

Tabel 5. Luas Area Tutupan Lahan Hasil Klasifiasi Citra Sentinel 1 Tanggal 22

Maret 2015.

27

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman:

Lampiran 1. Karya Tulis Ilmiah untuk Diterbitkan pada Prosiding SINASJA 2015 41

Lampiran 2. Laporan Survey Lapangan 54

Lampiran 3. Tutorial Oil Spill Detection Menggunakan Software S-1

Toolboxdengan Data Terrasar-X.

67

x

1

LITBANG PEMANFAATAN DATA RADAR UNTUK PESISIR DAN LAUT

Maryani Hartuti, Muchlisin Arief, Teguh Prayogo, Sartono Marpaung, Emiyati, Nanin Anggraini, Anneke K.S. Manoppo, Rossi Hamzah, Anang Dwi Purwanto,

Hamdi Eko Putranto, dan Tival Godoras

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN *)E-mail: [email protected]

I. PENDAHULUAN Data satelit penginderaan jauh optik telah banyak dimanfaatkan pada berbagai

sektor, khususnya untuk pesisir dan laut. Saat ini telah banyak tersedia data radar dari berbagai sensor satelit, mulai dari diluncurkannya SEASAT tahun 1978, ERS, JERS, ALOS, Envisat, RADARSAT, hingga Sentinel-1. Data radar mempunyai kelebihan dibandingkan data optik, terutama dengan kemampuannya menembus awan dan tidak tergantung pada cahaya matahari. Namun, pemanfaatan data radar dirasakan masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu mulai lebih banyak penelitian dengan fokus pemanfaatan data radar, terutama untuk aplikasi pesisir dan laut.

Beberapa penelitian dan kegiatan pemanfaatan data radar untuk pesisir dan laut, antara lain deteksi tumpahan minyak di Teluk Jakarta dan Selat Madura menggunakan datar ERS-1/SAR. LAPAN juga terlibat dalam tim nasional untuk kejadian tumpahan minyak seperti di Montara, Laut Timor tahun 2009, dan perairan Bintan tahun 2014. Kegiatan Riset PKPP tahun 2012 melakukan inventarisasi tambak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menggunakan data ALOS Palsar. Kegiatan SAFE Project tahun 2013-2014 bekerja sama dengan Tokyo University menggunakan data ALOS Palsar untuk pendugaan biomassa mangrove di Segara Anakan, Cilacap.

Data dari radar altimeter (TOPEK/POSEIDON/JASON) telah dimanfaatkan pada kegiatan antara lain analisis kerentanan pesisir terhadap muka laut di Jakarta (2009), Semarang (2010). Data Sea surface height telah dikaji pemanfaatannya untuk penentuan zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) mulai tahun 2012 hingga tahun 2015 ini. Kajian data suhu permukaan laut dari radar pasif (TMI, AMSR) dilakukan pada penelitian inhouse tahun 2012.

Penginderaan jauh radar dapat dibagi menjadi radar aktif dan pasif. Sensor radar aktif bekerja dengan mengirimkan sinyal kemudian mengukur hamburan balik dari objek yang dikenainya. Radar aktif dibedakan lagi berdasarkan jenis sensornya, yaitu Synthetic Aperture Radar (SAR), altimeter, dan scatterometer.

Pemanfaatan data SAR untuk pesisir dan laut antara lain untuk mangrove, tambak, tumpahan minyak, deteksi kapal, gelombang internal, dan gelombang laut. Aplikasi radar altimeter antara lain angin permukaan, arus geostrofik, geoid laut, dan kenaikan muka air laut. Pemanfaatan radar scatterometer antara lain angin

permukaan dan gelombang laut. Radar pasif antara lain dimanfaatkan untuk salinitas dan suhu permukaan laut.

2

Dari berbagai aplikasi data radar untuk pesisir dan laut dipilih beberapa aplikasi prioritas yang dilakukan pada tahun 2015. Pada tahap selanjutnya akan dilanjutkan dengan pendalaman pada aplikasi tertentu dan kajian topik-topik aplikasi yang lain. Pada kegiatan tahun 2015 ini dilakukan pengkajian dan penerapan metode pengolahan data SAR untuk mangrove, tambak, deteksi kapal, dan tumpahan minyak.Ruang lingkup kegiatan meliputi pemanfaatan data SAR untuk:

- Identifikasi dan penghitungan luas mangrove.

- Identifikasi tambak, jenis tambak tradisional dan intensif, dan penghitungan luas tambak.

- Deteksi objek kapal. - Deteksi tumpahan minyak, penghitungan luas tumpahan minyak.

Hasil litbang ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh sektor terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan lainnya, antara lain untuk: - Pemantauan hutan mangrove.

- Inventarisasi tambak. - Pemantauan illegal fishing.

- Deteksi tumpahan minyak.

II. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan pengkajian dan penerapan metode pengolahan data radar untuk mangrove, tambak, deteksi kapal, dan tumpahan minyak. Sasaran dari kegiatan ini adalah: - Tersedianya metode pengolahan data radar untuk mangrove. - Tersedianya metode pengolahan data radar untuk tambak. - Tersedianya metode pengolahan data radar untuk deteksi kapal. - Tersedianya metode pengolahan data radar untuk tumpahan minyak.

III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Penginderaan Jauh Radar

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Soenarmo, 2009). Lilleland dan Kiefer (1979) menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek maupun daerah atau fenomena yang dikaji. Secara umum, sistem penginderaan jauh terdiri dari objek di permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas. Informasi permukaan bumi dapat diperoleh secara terus menerus dengan menggunakan sistem penginderaan jauh satelit, karena teknologi ini mempunyai kemampuan resolusi temporal yang relatif cepat. Salah satu data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk deteksi kondisi permukaan bumi adalah data Radio Detection and Ranging (RADAR).

3

Tujuan utama dari SAR ialah untuk membentuk suatu citra yang merepresantisakan hasil dari pantulan gelombang radar dari suatu cakupan area menjadi sebuah citra. Pantulan gelombang radar dinyatakan dalam istilah jumlah yang dikenal sebagai Radar Cross Section (RCS) dan dilambangkan dengan simbol

σ. Untuk berbagai kebutuhan termasuk perbandingan sistem SAR dengn perbedaan resolusi biasanya berdasarkan pada perhitungan RCS. Hasil dari proses tersebut biasanya dinamakan dengan Normalised Radar Cross Section (NRCS) yang

merupakan hasil dari iluminasi RCS per unit area. NCRS dikenal juga dengan nama radar backscattering coefficient dan dilambangkan dengan simbol σ0.

Faktor utama yang perlu diperhatikan ketika membahas citra SAR yaitu platform-nya atau alat pembawa sensor radar tersebut. Sistem SAR bisa berasal dari satelit atau pesawat terbang. Citra SAR yang berasal dari satelit biasanya lebih kompleks dan memerlukan biaya besar dalam membuatnya dan kebalikan dari citra SAR yang berasal dari pesawat terbang. Multi frekuansi dan multi polarisasi lebih mudah didapatkan pada citra SAR yang menggunakan pesawat terbang dan memiliki kualitas citra yang lebih baik. Disisi lain citra SAR dari satelit memiliki cakupan yang lebih luas dan waktu perekaman lebih sering. Secara umum citra SAR dari satelit bagus untuk pemantauan dalam area yang luas sedangkan citra SAR dari pesawat terbang bagus untuk keadaan atau kondisi tertentu.

Tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi dan panjang gelombang yang telah ditetapkan untuk radar. Panjang gelombang radar jauh lebih besar dari pada spectrum sinar tampak. Sistem pencitraan radar menghindari panjang gelombang yang lebih pendek dari band-K karena pada panjang gelombang tersebut dipantulkan oleh uap air dan partikel atmosfer lain. Namun, band microwave

frekuensi tinggi digunakan dalam instrument cuaca radar Doppler untuk mendeteksi hujan dan badai. Band yang khusus digunakan untuk penginderaan jauh SAR adalah band-X, C, dan beberapa gelombang yang sangat panjang. L-band dan radar UHF dapat menembus tanaman dan kadang-kadang digunakan untuk mendeteksi kanopi pohon di area hutan (Ager, 2013).

Tabel 1. Kanal Frekuensi untuk Radar Berdasarkan IEE Standard 521-1984

(Ager,2013)

Band Range Frekuensi (GHz) Range Panjang Gelombang (cm)

UHF 0.3 1 100 30

L 1 2 30 15

S 2 4 15 7.5

C 4 8 7.5 3.75

X 8 12 3.75 2.5

Ku 12 18 2.5 1.67

K 18 27 1.67 1.11

Ka 27 40 1.11 0.75

V 40 75 0.75 0.60

W 75 110 0.60 0.27

mm 110 300 0.27 0.10

Berbagai satelit yang membawa sensor SAR ditampilkan pada Tabel 2. Diawali

peluncuran Seasat tahun 1978, sejumlah satelit SAR telah diluncurkan diiringi dengan peningkatan resolusi spasial, kemampuan polarisasi, dan luas liputan area. Satelit L-band umumnya digunakan dalam aplikasi darat. C-band banyak digunakan

4

untuk kelautan, sehingga dipilih untuk mendapatkan data kecepatan angin dari SAR. X-band sangat bermanfaat untuk mendapatkan resolusi yang sangat tinggi dengan ukuran antenna sedang. Penggunaan X-band untuk memperoleh data angin juga tengah banyak dikaji (Monaldo et al., 2013).

Tabel 2. Satelit, tahun peluncuran, frekuensi, polarisasi, dan resolusi spasial Sensor SAR (Moneira et al., 2013)

Satelit Tahun Peluncuran

Frekuensi Polarisasi Resolusi

Seasat 1978 L HH 25 m

ERS-1 1991 C VV 25 m

JERS-1 1992 L HH 18 m

ERS-2 1995 C VV 25 m

RADARSAT-1 1995 C HH 25-50 m

Envisat 2002 C VV, HH, HV, VH 30-1000 m

ALOS 2006 L Full-Pol 7-88 m

TerraSAR-X 2007 X Full-Pol 3 m

RADARSAT-2 2007 C Full-Pol 2-100 m

COSMO-SkyMed 1-4 2007-2010 X HH, VV 3 m

TanDEM-X 2010 X Full-Pol 3 m

ALOS-2 2013 L Full-Pol 7-88 m

Sentinel-1A 2014 C HH, VV, VH, HV 5-20 m

3.1.1. TerraSAR-X

TerraSAR-X adalah radar satelitbaruJerman yang telahdiluncurkanpadaJuni 2007 denganmasaberlakunya 5 tahun, akantetapidiperpanjanghingga lima tahunkedepankarenasatelittersebutmasihbekerjadengan normal danbaterainyamasihdalamkondisi yang sangatbaik. TerraSAR-X memilikipanjanggelombang 31 mm denganfrekuensi 9.6 GHz. TerraSAR-X memperolehgambardengankualitastinggidenganresolusimencapai 1 m. FiturdariTerraSAR-X: a. resolusihingga 1 m, b. akurasiradiometriksangatbaik, c. akurasigeometris yang taktertandingioleh sensor

pesawatruangangkasakomersiallainnya, d. waktuaksessitus yang cepat 2,5 hari max. (2 haripada 95% probabilitas)

untuksetiaptitik di bumi, e. kelincahanunik (switchcepatantara modus pencitraandanpolarisasi).

TerraSAR-X memperoleh data radar dalamtiga mode pencitraanutamaberikut: a. Spotlight: sampai 1 m resolusi, ukuranscene 10 km (lebar) x 5 km (panjang);

5

b. StripMap: hingga 3 m resolusi, ukuranscene 30 km (lebar) x 50 km (panjang); c. ScanSAR: sampai 16 m resolusi, ukuranscene 100 km (lebar) x 150 km

(panjang). TerraSAR-X mampumentransmisikangelombang X band padaduapolarisasi – H

dan V – kearahbumi yang akandipantulkanpadainstrumendanditerimakembalioleh radar. Spesifikasidan parameter sistemTerraSAR-X dapatdilihatpadaTabel3danTabel 4.

Tabel 3.SpesifikasiSistemTerraSAR-X

Tabel 4. Parameter sistemTerraSAR-X

6

3.1.2. Sentinel 1

Sentinel1 merupakan misi satelit kerjasama European Comission (EC) dan European Space Agency (ESA). Satelit ini bekerja pada band C, mempunyai 4 mode

pencitraan dengan berbagai resolusi spasial hingga 5 meter dan cakupan sampai 400 km. Satelit tersebut memiliki kemampuan dual polarisasi, waktu perulangan yang sangat pendek dan penyediaan produk dengan cepat, Pada setiap perekaman data, tersedia pengukuran yang tepat untuk posisi dan attitude satelit.

Gambar 1. Satelit Sentinel 1

Misi Sentinel1adalah konstelasi dari 2 satelit, yaitu Sentinel1A dan Sentinel1B.

Sentinel1didisain untuk bekerja secara terprogram sebelumnya, mode operasi non-konflik, mengamati seluruh daratan, pesisir, dan rute kapal dengan resolusi yang tinggi, dan mencakup lautan secara global. Hal ini memungkinkan kehandalan secara operasional dan konsistensi arsip data jangka panjang untuk berbagai aplikasi.

Sentinel1A (S-1A) telah diluncurkan pada tahun 2014, dan Sentinel1B dijadwalkan untuk diluncurkan pada 18 bulan setelah S-1A.Sentinel1mempunyai tujuan untuk aplikasi berikut:

a. Pemantauan daratan: hutan, air, tanah, pertanian b. Dukungan pemetaan darurat pada kejadian bencana alam c. Pemantauan laut untuk lingkungan maritim d. Pengamatan es di laut dan daratan es e. Produksi peta es resolusi tinggi f. Prediksi kondisi es di laut g. Pemetaan tumpahan minyak h. Deteksi kapal i. Pemantauan perubahan iklim.

Orbit Satelit: 1. Sun-synchronous, near-polar, circular orbit

2. Tinggi orbit 693 km 3. Sudut inklinasi 98,18o 4. 12 hari repeat cycle di equator untuk tiap satelit, 175 orbit/cycle.

7

Mode pencitraan, lebar sapuan dan resolusi: i. Strip Map Mode: 80 km swath, resolusi spasial 5 x 5 m ii. Interferometric Wide Swath: 250 km swath, resolusi spasial 5 x 20 m iii. Extra-wide swath: 400 km swath, resolusi spasial 20 x 40 m iv. Wave-Mode: 20 x 20 km, resolusi spasial 5 x 5 m. Produk data: 1. Level-0 Raw 2. Level-1 Single Look Complex 3. Level-1 Ground Range Detected 4. Level-2 Ocean

3.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove Pasal 1 menyatakan bahwa mangrove adalah sekumpulan tumbuh-tumbuhan Dicotyledoneae dan atau Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai

persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove adalah salah satu jenis hutan hujan tropis yang tumbuh di sepanjang garis pantai perairan tropis dengan ciri yang unik dibandingkan dengan hutan yang lain. Hutan ini meskipun termasuk pada golongan besar hujan tropis, karena tumbuh di wilayah intertidal maka tanaman ini digolongkan sebagai Halophytes (saline plants) (Wibisono, 2004). Mangrove adalah vegetasi yang

tumbuh pada zona transisi antara darat dan laut di daerah intertidal pantai, muara (estuaria), dan lingkungan karang yang ditandai dengan angin kencang, ada genangan, suhu tinggi, dan tanah anaerobik berlumpur (Kathiresan et al., 2001; Lugo et al., 1974; Nontji, 2005; Wibisono, 2011) sehingga sifat yang dimiliki tidak

persis sama dengan sifat pada hutan hujan tropis daratan. Mangrove memiliki peranan penting akan keberadaan wilayah pesisir karena

menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, serta menahan banjir dan gelombang. Selain itu, mangrove juga berperan pada rantai makanan bagi makhluk yang hidup di wilayah pesisir seperti anak kepiting, udang, ikan, dan larva(Manson et al., 2005; Mumby et al., 2004; Nagelkerken et al., 2008; Naylor et al., 2000, dan Cannicci et al., 2008). Begitu juga dengan fauna seperti burung,

serangga, mamalia, dan reptil serta beberapa jenis tumbuhan seperti jamur, alga, dan lamun membentuk suatu komunitas di hutan mangrove (Kathiresan dan Bingham, 2001, Mumby et al., 2004, Nagelkerken et al., 2008, Cannicci et al., 2008).

Tanaman mangrove juga berperan sebagai bio filter bagi kualitas air, memisahkan antara endapan dengan nutrisi di derah pesisir yang tercemar (Lugo dan Snedaker 1974; Marshall, 1994;dan Walter et al., 2008). Secara ekonomis fungsi hutan

mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata. Peranan penting lain yang saat ini sedang menjadi topik pembicaraan adalah peranan mangrove untuk menanggulangi perubahan iklim karena mangrove berperan sebagai penyeimbang karbon untuk wilayah pesisir (Boullion et al., 2008 dan Kristensen et al., 2008).

8

Meskipun tanaman mangrove memiliki peranan yang sangat penting bagi wilayah pesisir, namun keberadaannya semakin berkurang. Penyebab terbesar berkurangnya hutan mangrove adalah akibat konversi menjadi tambak, permukiman, dan kawasan industri. Akibatnya hal tersebut, maka kualitas perairan pesisir merosot tajam. Hal ini disebabkan oleh adanya intrusi dan abrasi air laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir. Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya untuk menjaga kelestarian mangove salah satunya dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.

Lebih dari dua dekade, teknologi penginderaan jauh digunakan untuk mengetahui kondisi serta ekosistem mangrove seperti yang dilakukan oleh Giri et al., 2007; Blasco et al., 2001; Seto et al., 2007; Vaipasha et al., 2006; Aschbacher et al., 1995; Cornejo et al., 2005;Manson et al., 2001; Mumby et al., 1999; Wang dan Sousa 2009; dan Kuenzer et al., 2011. Penelitian ini lebih banyak menggunakan data optis seperti Landsat, SPOT, Worldview, Quickbird, Ikonos, dan lain sebagainya, sedangkan data radar masih sedikit yang mengkajinya.

Beberapa data radar yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan mangrove adalah ALOS PALSAR, ERS, JERS, TerraSAR-X, dan lain sebagainya. Penggunaan dara radar untuk mendeteksi mangrove menjadi alternatif terkait dengan tingginya perawanan di wilayah tropis. Indonesia yang terletak di wilayah tropis memiliki tingkat perawanan yang tinggi sehingga menyebabkan tampilan objek hasil perekaman optik terhalang oleh awan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian dengan memanfaatkan data radar sehingga informasi di permukaan bumi tetap dapat terdeteksi walaupun tertutup oleh adanya awan.

Salah satu objek di permukaan bumi yang menarik untuk dikaji dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh adalah vegetasi mangrove. Penginderaan jauh pada vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove tumbuh di daerah pesisir dan mempunyai zat hijau daun (klorofil). Sifat optik menyerap spektrum sinar merah dan sangat kuat memantulkan spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tapi bahan-bahan ini tidak menyerap sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan. Beberapa penelitian yang dapat dilakukan dengan menggunakan penginderaan jauh untuk ekosistem mangrove adalah sebagai berikut (Chaudhury dalam Suseno, 2005):

a. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove. b. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove. c. Identifikasi keberadaan mangrove dan profil dataran berlumpur. d. Manitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove. e. Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik, dan sistem alirannya. f. Identifikasi tipe-tipe tanah. g. Monitoring karakteristik air (salinitas, turbiditas) di daerah mangrove. h. Monitoring tata guna lahan mangrove (akuakultur dan kehutanan). i. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data radar antara lain identifikasi tutupan permukaan mangrove (Wang et al., 1993), kerusakan

9

hutan (Pasqualini et al., 1999), dan biomassa (Proisy et al., 2000; Mougin et al., 1999; dan Proisy et al., 2003). Selain itu juga terdapat beberapa penelitian tentang efek dan hubungan di antara kanopi hutan bakau, struktur tegakan, dan respon hamburan balik dari sistem SAR, dicontohkan oleh NASA / JPL AIR SAR (AIRSAR) sistem pada frekuensi yang berbeda (C, L , P-band) dan mode polarisasi (HH, VV, HV) (Kuenzer et al., 2011). Penelitian dengan menggunakan data radar di Indonesia juga telah banyak dilakukan seperti Sutanto et al. (2014), Kushardono (2012), dan Setyawan et al. (2014).

3.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak

Wilayah pesisir dan lautan berpotensi besar dalam menyediakan sumber kehidupan. Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan paling tidak menghasilkan sumberdaya ikan lebih kurang 6,17 juta ton per tahun yang berasal dari perikanan tangkap (Mulyadi, 2005). Akan tetapi FAO,2007 menyebutkan bahwa kondisi perikanan di perairan Indonesia, khususnya di Perairan Samudera Hindia cenderung mengarah pada over exploited dan Samudera Pasifik telah mengalami full exploited. Sebagai alternatif usaha perikanan

selain penangkapan adalah melalui usaha budidaya yang memanfaatkan kawasan pesisir, baik budidaya perikanan berbasis lahan darat (land-based aquaculture) maupun di laut (marine-basedaquaculture). Kegiatan budidaya yang paling umum

dilakukan di kolam/empang, tambak, tangki, karamba, serta karamba apung. Definisi tambak atau kolam menurut Biggs et al. (2005) adalah badan air yang berukuran 1 m2 hingga 2 ha yang bersifat permanen atau musiman yang terbentuk secara alami atau buatan manusia. Jenis-jenis tambak yang ada di Indonesia meliputi: tambak intensif, tambak semi intensif, tambak tradisional dan tambak organik. Perbedaan dari ketiga jenis tambak tersebut terdapat pada teknik pengelolaan mulai dari padat penebaran, pola pemberiaan pakan, serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo, 2000). Perkembangan tambak di Indonesia secara intensif meningkat sejak tahun 1990. Pengembangan tambak tersebut dilakukan melalui upaya konversi hutan mangrove (Gunarto, 2004).

Di Indonesia, sentra produksi tambak tersebar di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar produksi tambak berasal dari pulau Jawa terutama di sepanjang pantai utara Jawa yang terbentang dari provinsi Banten hingga Jawa Timur. Salah satu daerah yang memiliki potensi lahan budidaya tambak yang menjadi sentra produksi perikanan air tawar adalah Kabupaten Subang. Potensi lahan tambak di Kabupaten Subang berada di wilayah dataran rendah, di wilayah Subang bagian utara, yang meliputi kecamatan Sukasari, Pusakanagara, Legonkulon, dan Blanakan. Pada tahun 2010 produksi perikanan tambak yang dihasilkan adalah sebesar 13.610 ton dan pada tahun 2012 mencapai 17.210,637 ton (subang.go.id). Pada akhir tahun 2012 revitalisasi tambak dilakukan di pantai utara Jawa dalam rangka industrialisasi perikanan budidaya, salah satunya dengan penebaran benih udang dan bandeng dengan tujuan meningkatkan perekonomian negara dan mensejahterakan pebudidaya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Revitalisasi dilaksanakan di 6 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Serang seluas 150 Ha, Tangerang, Karawang 79 Ha, Subang 360 Ha, Indramayu 166 Ha, dan Cirebon 245 Ha. Dengan demikian Kabupaten Subang merupakan daerah revitalisasi tambak paling luas dibandingkan daerah lain, dengan mempotensikan kembali tambak yang sudah tidak digunakan atau yang sudah tidak

10

produktif. Hal ini disebabkan oleh Kabupaten Subang yang memiliki potensi terbesar untuk mengembakan perikanan budidaya tawar khususnya untuk komoditas udang dan bandeng.

Revitalisasi atau perubahan lahan untuk dimanfaatkan atau dikembangkan menjadi lahan tambak atau lahan pertanian lainnya biasanya dilakukan untuk meningkatkan nilai perekonomian. Selama proses perubahan pada umumnya nilai ekosistem lahan tambak tidak diperhatikan sehingga dapat merusak kelestarian lingkungan. Pemantauan perubahan penggunaan lahan tambak dengan menggunakan citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi sejauh mana pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan ekosistem.

Data inderaja optis dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat digunakan sebagai alat dalam membantu memberikan informasi detil tutupan lahan dan deteksi perubahannya. Data optis merupakan sumber data yang penting dalam banyak analisis deteksi perubahan lahan. Akan tetapi, kualitas informasi yang dihasilkan dari data optis sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan atmosfer (Chen, 2007). Tidak seperti sensor optis, data Synthetic radar dapat menembus awan, sehingga memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra yang berkualitas tinggi dibawah kondisi cuaca yang kompleks, sehingga dapat menjadi sumber data yang efisien untuk pengamatan penggunaan lahan dan perubahannya.

ALOS PALSAR-2 merupakan salah satu contoh data radar yang dapat dimanfaatkan untuk pemetaan, pemantauan wilayah, bencana, dan sumber daya alam. L-Band SAR-2 (PALSAR) merupakan radar microwave aktif dengan rentang frekuensi 1.2 GHz yang pada misi sebelumnya dikenal dengan Daichi/PALSAR. PALSAR-2 diharapkan mampu mengamati siang dan malam di semua kondisi cuaca. Pemanfaatan data radar untuk pemantauan lahan tambak telah banyak dilakukan. Kai Liu et al., 2010 mengamati perubahan lahan tambak dengan menggunakan 3 data temporal Radarsat-1C. . Selain itu aplikasi penggunaan data radar adalah penelitian mengenai teknik klasifikasi tutupan lahan di perairan pesisir dengan pendekatan berbasis objek menggunakan data ALOS PALSAR (Chen et al., 2014). Lapan telah melakukan pemantauan lahan tambak di daerah Maros, Provinsi Sulawesi Selatan (Marini et al., 2013) pada program Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui riset insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kementrian Riset dan Teknologi pada tahun 2012. 3.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal

Meskipun teknologi SAR lebih baru dibandingkan satelit optik, namun SAR telah lebih dominan digunakan dalam deteksi kapal selama lebih dari satu decade. Mallas and Graber (2013) menjelaskan bahwa salah satu kelebihan utama SAR adalah variabilitas mode pencitraan SAR, dengan resolusi yang berbeda dan cakupan yang berbeda, yaitu mode ScanSAR, stripmap, dan spotlight.

Pada mode ScanSAR cakupan citra mencapai ratusan kilometer dengan resolusi 50-100 m. Mode ini sering digunakan untuk mendeteksi kapal karena cakupannya yang luas, namun objek kapal cenderung tampak kecil sehingga struktur kapal tidak jelas terlihat. Pada mode stripmap, dengan resolusi lebih tinggi, yaitu 3-20 m dan cakupan sampai 150 km, kapal besar dapat terlihat strukturnya, dan mode ini juga dapat digunakan untuk deteksi kapal. Mode spotlight, dengan

resolusi tertinggi sekitar 1 m, dan cakupan sekitar 10 km, mode ini jarang digunakan

11

untuk deteksi kapal, namun mempunyai resolusi yang lebih detil untuk melihat struktur kapal. Mode ini dapat digunakan di lokasi tertentu untuk memantau kapal, seperti di pelabuhan. Katmoko (2013) menggunakan data Pi-SAR untuk deteksi kapal secara otomatis berdasarkan pendekatan rapid feature detection. Hasil riset

menunjukkan bahwa metode tersebut dapat mendeteksi 32 objek yang diduga sebagai kapal dari data Pi-SAR-L2 perairan Sulawesi Utara perekaman tanggal 8 Agustus 2012.

3.5. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak

Beberapa metode deteksi tumpahan minyak dilakukan oleh antara lain Solberg (2005), Akkartal dan Sunar (2008), dan Sheta et al. (2012). Metode yang dilakukan

Solberg (2005) adalah algoritma deteksi tumpahan minyak yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu, deteksi bintik-bintik gelap pada gambar, komputasi fitur/kenampakan pada wilayah tersebut, dan mengklasifikasikan setiap area baik sebagai tumpahan minyak atau yang menyerupai tumpahan minyak. Beberapa makalah lain terkait deteksi tumpahan minyak (Fiscella et al. 2000 dan Frate et al. 2000) menggunakan tahapan serupa, dimana metode tersebut pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 oleh Solberg et al. (1996). Algoritma pendeteksi tumpahan minyak meliputi pengolahan awal (preprocessing), masking wilayah daratan, deteksi bintik-bintik gelap, ekstraksi dan klasifikasi fitur bintik-bintik gelap. Langkah pertama dari metode ini adalah mengkonversi citra SAR kedalam format yang biasa digunakan dan mengkoreksi geometrik dan proyeksi geografis. Selanjutnya dilakukan penutupan (masking) daratan untuk menutupi lokasi daratan pada citra. Citra RADARSAT ScanSAR dibagi-bagi kedalam beberapa baris untuk arah rentang sapuan ke samping (range direction) dalam rangka mengoptimalkan

waktu pengolahan dan menghindari besarnya variasi hamburan balik yang diakibatkan oleh rentang sudut datang yang relatif besar. Untuk citra Envisat ASAR dengan cakupan yang luas, tahapan pertama adalah melakukan penutupan daratan dengan mengkonversi tutupan daratan kedalam grid untuk menghindari resampling pola spekel (speckle), selain itu juga dilakukan normalisasi nilai hamburan balik terkait dengan besaran sudut datang (incident angle). Koreksi sudut datang

dilakukan dengan menerapkan sebuah model pendekatan yang didasarkan pada penyesuaian profil range terhadap suatu profil terbaik untuk diproses lebih lanjut.

3.5.1. Deteksi Obyek/Bintik Gelap

Algoritma pendeteksi obyek/bintik gelap didasarkan pada penentuan nilai ambang adaptif (adaptive tresholding) yang ditentukan menurut nilai bentuk hamburan balik dalam sebuah jendela (window) yang besar. Nilai ambang adaptif

disimbolkan dengan k (dB) di bawah nilai rata-rata hamburan balik. Data angin digunakan untuk menentukan nilai k. Sebuah algoritma piramid diperlukan untuk memproses citra RADARSAT ScanSAR. Pada citra pirami, suatu piksel dengan nilai

N terdiri dari rat-rata M piksel pada kondisi N-1. Setiap tingkatan piramida merupakan nilai ambang yang menghasilkan suatu piramida biner. Pada akhirnya obyek/bintik gelap terbangun dari penggabungan citra biner yang berbeda dalam sebuah piramida. Penggunaan piramida tiga tingkat/level untuk citra Envisat ASAR menunjukkan hasil kurang baik karena resolusi spasial lebih kecil. Selanjutnya digunakan piramida dua tingkat untuk citra Envisat ASAR apabila informasi data angin sebagai input tidak ada, untuk itu digunakan homogenitas terbatas untuk

12

menghitung nilai ambang sesuai ketentuan yang telah buat. Secara umum untuk citra SAR, bahwa rasio nilai kekuatan terhadap nilai rata-rata (PMR: Power-to-Mean Ratio) merupakan nilai ukuran terbaik untuk nilai homogenitas. Citra dengan kondisi

kecepatan angin yang tinggi atau sedang memiliki nilai kenampakan menyerupai minyak yang lebih kecil, dan kenampakan permukaan laut hampir homogen seperti yang terukur pada nilai PMRnya. Pada kondisi kecepatan angin rendah, obyek yang menyerupai tumpahan minyak lebih sering teramati, meskipun memiliki variasi. Indikasi kenampakan menyerupai tumpahan minyak pada satu scene citra akan dapat diperoleh dengan menghitung nilai PMR pada suatu jendala terbatas (local window). Nilai ambang diatur sedemikian rupa berdasarkan pada nilai PMR.

3.5.2. Ekstraksi Tumpahan Minyak

Modul ekstraksi untuk Radarsat dan Envisat menggunakan sejumlah fitur-fitur yang sama (dengan sedikit memodifikasi khususnya operator untuk nilai kisaran obyek/bintik terang yang terdiri dari algoritma sederahana deteksi kapal untuk masing-masing sensor). Sejumlah fitur-fitur dihitung untuk setiap obyek/bintik yang terdeteksi dari ukuran terkecil. Fitur-fitur merupakan percampuran dari pendeskripsi area standar (standard region descriptor) dalam analisis citra yang disesuaikan dengan fitur-fitur untuk mendeteksi tumpahan minyak. Menurut Solberg et al., 1999 bahwa fitur-fitur tersebut yaitu: a. Kompleksitas tumpahan (slick complexity). b. Nilai PMR tumpahan (slick power-to-mean ratio). c. Perbedaan atau nilai kontras tumpahan (slick local contrast). d. Lebar tumpahan (slick width). e. Keberadaan tumpahan dalam lingkup terbatas (slick local neighbours). f. Keberadaan tumpahan dalam lingkup lebih luas (slick global neighbours). g. Gradient batas tumpahan (border gradient). h. Luas tumpahan (slick area). i. Jarak dengan kapal yang terdeteksi (distance to detected ship). j. Kelandaian tumpahan (slick planar moment). k. Jumlah wilayah tumpahan dalam suatu citra (number of regions in the image). l. Tingkat kehalusan kontras tumpahan (slick smoothness contrast).

3.5.3. Klasifikasi Tumpahan Minyak

Setelah obyek/bintik gelap terdeteksi dan terekstraksi, maka diperoleh sejumlah M obyek/bintik gelap yang akan diklasifikasikan sebagai obyek tumpahan minyak atau obyek menyerupai tumpahan minyak. Kerangka pengklasifikasian diperuntukkan bagi citra ERS, Radarsat dan Envisat yang merupakan kombinasi dari model pengkelasan secara statistik yang menggabungkan pengetahuan sebelumnya in terms of loss functions dan suatu pendekatan menurut aturan-aturan dasar (untuk lebih rinci lihat (Solberg et al., 1999)). Kemungkinan awal untuk mendeteksi obyek

tumpahan minyak atau obyek menyerupai tumpahan minyak diatur dikoreksi berdasarkan ketentuan-ketentuan dasar. Tumpahan minyak dibagi menjadi sub kelompok yang berbeda berdasarkan tingkat kekuatan angin dan bentuk seperti yang terukur dari tingkat kelandaian tumpahan. Masing-masing sub kelompok untuk obyek tumpahan minyak atau obyek menyerupai tumpahan minyak memiliki parameter-parameter untuk pengkelas secara statistik (Gaussian).Keluaran atau hasil dari pengkelas menunjukkan bahwa tumpahan hanya dikelaskan sebagai

13

minyak dengan dilengkapi lokasi koordinat geografis serta tingkat kepercayaan dari pendugaan.

Akkartal dan Sunar (2008) menggunakan metode Analisis Visual, Penerapan filter (Filtering: Lee, Gamma, Frost, Median dan Low Pass) Penentuan nilai ambang (Thresholding) dan Segmentasi, Analisis tekstur menggunakan metode GLCM (Grey Level Co-occurrence Matrix) seperti homogenitas, entropi, dan sudut anguler, Klasifikasi tumpahan minyak dengan metode Maximum Likelihood (dengan sampling

pada area homogen). Penerapan metode dengan melakukan filtering, tresholding dan segmentasi cukup efektif digunakan bahkan untuk beberapa kasus yang berbeda. Penerapan Filter Lee merupakan yang paling efektif untuk tumpahan minyak yang terpisah secara nyata. Penerapan Filter Gamma memberikan hasil lebih baik pada tumpahan minyak yang menyebar, sedangkan FilterFrost, Median dan Low Pass memberikan hasil yang cukup baik untuk tumpahan minyak yang

sebagian besar berbentuk linier (memanjang). Berdasarkan pengamatan bahwa klasifikasi tumpahan minyak masih memungkinkan dilakukan untuk luas tumpahan minyak 1,18 km2. Metode yang diterapkan dapat berfungsi dengan baik pada tumpahan minyak yang kurang menyebar dan pada area yang beragam. Hasil analisis tekstur GLCM seperti homogenitas, entropi, dan sudut anguler menunjukkan kecocokan dengan hasil teknik thresholding dan segmentasi. Berdasarkan hasil studi ini bahwa citra SAR dapat memberikan informasi yang bernilai dalam pemantauan dan pengambilan keputusan terkait masalah pencemaran laut. Untuk itu disarankan perlu dibangun sistem pemantauan tumpahan minyak yang mampu secara operasional dala rangka melindungi perairan nasional dan internasional.

Metode yang digunakan oleh Sheta et al. (2012) berfokus pada segmentasi dan

karakteristik tumpahan minyak di laut menggunakan citra SAR berdasarkan teknik local dan global thresholding serta klasifikasi tumpahan minyak dengan mengekstraksi beberapa fitur menggunakan pendekatan statistik terkait fitur-fitur pada fenomena tumpahan minyak. Metode yang digunakkan terdiri dari Penajaman Citra (image enhancement), Segmentasi Citra (image segmentation), Ekstraksi Kenampakan Obyek (feature extraction) dan Pengenalan Obyek Tersegmentasi

tumpahan minyak dan yang menyerupai tumpahan minyak. Penajaman Citra terdiri dari peregangan nilai kontras (contrast stretching) dan penerapan filter gaussian (gaussian filtering). Kemudian dilakukan Deteksi Obyek/bintik Gelap dengan tahapan perhitungan Local Threshold (karakteristik utama tumpahan minyak dicirikan dengan tingkat kegelapannya terhadap latar belakang [background]), Land Masking dan Global Threshold. Tahap selanjutnya adalah penggabungan citra land masking dan hasil dari tahap perhitungan global threshold menggunakan algortima deteksi

obyek/bintik gelap. Kemudian dilakukan ekstraksi kenampakan obyek menggunakan 8 kriteria (area tersegmentasi, maksimum obyek tersegmentasi, nilai Entropi [e], Uniformity [U], Mean [m], Standar Deviasi [σ], Skewness [μ3], Smoothness [R]).

Tahap terakhir adalah klasifikasi obyek tumpahan minyak dan non-minyak.

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove 4.1.1. Studi Area

Lokasi penelitian mangrove adalah di Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah dan di Nabire, Papua. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan wilayah

14

tersebut memiliki hutan mangrove yang cukup. Lokasi penelitian mangrove disajikan pada Gambar 2.

Cilacap, Jawa Tengah

Nabire, Papua

Gambar 2. Lokasi Penelitian Mangrove

4.1.2. Data

Data SAR yang digunakan pada penelitian mangrove adalah TerraSAR-X dan Sentinel1.

4.1.3. Metode

Terdapat beberapa metode yang digunakan pada penelitian deteksi mangrove. Hal ini disesuaikan dengan karateristik data yang digunakan. Metode yang digunakan untuk identifikasi mangrove adalah klasifikasi unsupervised serta transek

lokasi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: Sentinel 1 Toolbox, ENVI, ER MAPPER, ARC VIEW. Alur penelitian disajikan pada Gambar 3.

15

Alur untuk data TerraSAR-X wilayah

Cilacap

Alur untuk data Sentinel 1 wilayah Cilacap

Alur untuk data TerraSAR-X wilayah Nabire

Gambar 3. Alur Penelitian Mangrove

4.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak 4.2.1. Studi Area

Lokasi penelitian tambak adalah Gresik. Hal ini disebabkan karena wilayah Gresik memiliki daerah tambak yang cukup luas, sehingga sebagian besar penduduknya memiliki usaha budidaya tambak. Lokasi penelitian tambak disajikan pada Gambar4.

Gambar 4. Lokasi Penelitian Tambak di Gresik Jawa Timur

16

4.2.2. Data

Data SAR yang digunakan untuk penelitian tambak adalah Sentinel 1. 4.2.3. Metode

Identifikasi tambak dilakukan dengan klasifikasi metode density slicing. Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: Sentinel 1 Toolbox, ENVI, ER MAPPER, ARC VIEW. Alur penelitian disajikan pada Gambar 5.

Data Radar Sentinel 1

Polarisasi VH dan VV

Koreksi geomteri, cropping

dan konversi format

Klasifikasi density

slicing menggunakan

Citra VH

Pembuatan Komposit RGB

(R= VH, G=VV dan B=(vh-vv)/(vh+vv))

Informasi tutupan

lahan tambak

False colour

Komposit RGBEditing

Gambar 5. Alur Penelitian Identifikasi Tambak

4.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal 4.3.1. Studi Area

Lokasi penelitian deteksi kapal adalah Teluk Jakarta dan Lembeh, Bitung Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian deteksi kapal disajikan pada Gambar 6.

Teluk Jakarta

Lembeh, Bitung, Sulawesi Selatan

Gambar 6. Lokasi Penelitian Deteksi Kapal

17

4.4.2. Data

Data yang digunakan untuk penelitian deteksi kapal adalah Pi-SAR L2 tanggal 8 Agustus 2012 dengan lokasi selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Selatan dan ALOS PALSAR tanggal 31 Januari 2007 dengan lokasi pelabuhan Jakarta. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan lalu lintas kapal yang relatif padat. 4.4.3. Metode

Metode yang digunakan yaitu metode SURF, sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, yang merupakan modifikasi dari metode SIFT. Metode SURF yang diimplementasikan pada tulisan ini merupakan cara lain dalam memanfaatkan metode SURF dalam mendeteksi objek. Dua tahap proses yang dilakukan yaitu tahap satu proses pembelajaran objek kapal dan tahap dua deteksi kapal. Gambar7 menampilkan dua alur penelitian yaitu tahap pertama:mechine learning, dan tahap

kedua adalah deteksi kapal.

Tahap mechine learning Tahap deteksi kapal

Gambar 7. Alur Penelitian Deteksi Kapal 4.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak 4.4.1. Studi Area

Studi area untuk deteksi tumpahan minyak adalah Laut Timor dan Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah. Lokasi tumpahan minyak dapat dilihat pada Gambar 8.

18

Laut Timor

Perairan Cilacap Jawa Tengah

Gambar 8. Lokasi Deteksi Tumpahan Minyak

4.4.2. Data

Data yang digunakan untuk deteksi tumpahan minyak di Laut Timor pada tahun 2009 adalah TerraSAR-X tanggal 21 September 2009. Data tersebut bersumber dari Montara Well Head Platform (WHP) di Australia. Deteksi tumpahan minyak di

wilayah Segara Anakan Cilacap pada Bulan Mei 2015 menggunakan data Sentinel 1 serta didukung dengan informasi dari data Landsat 8.

Data Sentinel1 yang digunakan adalah data L1 (IW Swath) dengan format GeoTiFF pada akuisisi 23 Mei 2015 (19:10:32 WIB). Data tersebut merupakan single polarisasi VV dengan proyeksi Geografi (Datum: WGS-84, Lat-Long). Data pendukung yang digunakan adalah Landsat 8 OLI-TIRS level L1T format GeoTiFF Path/Row: 121/065 dengan tanggal akusisi 20 Mei 2015 (13:47:14 WIB). Data tersebut berproyeksi UTM (Datum: WGS-84, Zona UTM: 49).

4.4.3. Metode

Metode yang digunakan pada deteksi tumpahan minyak di Teluk Penyu Cilacap adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data satelit Sentinel 1A dan Landsat 8 2. Pengolahan data Sentinel-1A

a. Pengolahan awal b. Analisis visual:

i. Penajaman citra ii. Identifikasi tumpahan minyak secara visual iii. Penentuan panjang dan lebar sebaran tumpahan minyak

3. Pengolahan data Landsat 8

a. Pengolahan awal b. Penajaman citra c. Pembuatan komposit RGB

Metode yang digunakan untuk deteksi tumpahan minyak di Laut Timor dapat

dilihat pada Gambar 9.

19

Gambar 9. Alur Penelitian Deteksi Tumpahan Minyak di Laut Timor

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemanfaatan Data Radar untuk Mangrove 5.1.1. TerraSAR-X

Identifikasi mangrove dengan menggunakan data TerraSAR-X dilakukan di dua lokasi, yaitu Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah dan Nabire Papua. Lokasi ini dipilih karena memiliki mangrove yang relatif luas dan spesies yang beragam. Hasil identifikasi disajikan sebagai berikut:

A. Identifikasi mangrove di Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah.

Hasil penelitian pemanfaatan data radar untuk mangrove dengan menggunakan TerraSAR-X di daerah Cilacap telah di presentasikan pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh pada tanggal 11-12 November 2015 di IPB Conventional Center

Bogor dan saat ini dalam proses untuk diterbitkan pada Prosiding SINASJA. Hasil karya tulis tersebut disajikan pada Lampiran 1.

B. Identifikasi mangrove di Nabire, Papua.

Penelitian identifikasi mangrove di wilayah Nabire menggunakan data TerraSAR-X dua polarisasi HH dan VV tanggal 29 September 2007. Tampilan citra HH dan VV sulit untuk dibedakan dan pola/tekstur objek mangrove juga hampir sama dengan objek lainnya. Rona dan tekstur serta kisaran nilai sigma TerraSAR-X disajikan pada Gambar 10 dan 11.

20

Gambar 10. Citra dan Kisaran Nilai Sigma VV

Gambar 11. Citra dan Kisaran Nilai Sigma HH

Identifikasi mangrove yang dilakukan adalah identifikasi secara sederhana dengan menggunakan transek. Terdapat 6 lokasi transek yang tersebar di beberapa tempat seperti yang terlihat pada Gambar 12.

21

Gambar 12. Lokasi Transek

Hasil transek menunjukkan sigma mangrove yang sangat bervarisi dengan pola yang sangat beragam. Sigma mangrove dan non mangrove sulit untuk dibedakan. Hal ini dimungkinkan Nabire memiliki variasi kontur permukaan yang beragam serta hutan yang relatif masih luas dan tebal sehingga mangrove memiliki nilai sigma yang hampir sama dengan objek yang lain. Nilai sigma masing-masing transek disajikan pada Gambar 13 – 18.

Gambar 13. Pola Sigma Transek 1

1 2 3

4

5 6

mangrove

Non mangrove

22

Gambar 14. Pola Sigma Transek 2

Gambar 15. Pola Sigma Transek 3

Gambar 16. Pola Sigma Transek 4

23

Gambar 17. Pola Sigma Transek 5

Gambar 18. Pola Sigma Transek 6

5.1.2. Sentinel 1

Data Sentinel 1 yangdigunakan pada penelitian ini memiliki dua polarisasi, yaitu VH dan VV. Secara visual, kedua tampilan dari VH dan VV hampir sama, akan tetapi apabila dilihat secara seksama citra VV berwarna sedikit lebih terang. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.

VH

VV

Gambar 19. Tampilan Citra Sentinel 1 Cilacap

24

Berdasarkan kombinasi Red-Green-Blue (RGB) dimana R: VV, G: VH, dan B:

VV/VH maka tampilan dari data Sentinel 1 disajikan pada Gambar 5.2. Secara

tekstur dan rona dari RGB, dapat diidentifikasi lokasi yang terdapat vegetasi

mangrove. Lokasi yang diidentifikasi terdapat mangrove memiliki tekstur yang lebih

halus dibandingkan dengan objek yang lain seperti yang terlihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Tampilan RGB data Sentinel 1

Berdasarkan pola tekstur tersebut, maka dilakukan transek untuk melihat

distribusi nilai sigma dari vegetasi mangrove. Lokasi transek dipilih pada lokasi yang

mewakilibeberapa teksture seperti non mangrove, mangrove, dan air seperti yang

ditampilkan pada Gambar 21.

Gambar 21. Lokasi Transek

Hasil dari pengambilan nilai dari lokasi transek menunjukkan pola sigma yang berbeda antara non mangrove, mangrove, dan air. Non mangrove memiliki pola

Non mangrove

Non mangrove

mangrove

Mangrove

Non mangrove

Non mangrove

25

yang beragam, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara objek yang tinggi dan objek yang rendah. Mangrove memiliki pola sigma yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan objek non mangrove dan memiliki variasi yang tidak jauh berbeda. Hal ini dapat disimpulkan bahwa mangrove di lokasi tersebut memiliki ketinggian yang hampir sama. Berbeda dengan objek mangrove dan non mangrove, air memiliki pola yang hampir stabil. Kondisi ini dapat diartikan bahwa pada saat perekaman, perairan (dalam hal ini adalah sungai) dalam kondisi yang tenang tidak banyak gelombang. Pola sigma pada objek transek dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Pola Sigma pada Lokasi Transek

Selain melakukan identifikasi mangrove berdasarkan pola sigma, pada penelitian ini dilakukan klasifikasi unsupervised untuk melihat distribusi mangrove di Segara Anakan, Cilacap. Hasil klasifikasi unsupervised menunjukkan bahwa

mangrove terdistribusi di sekitar muara sungai. Akan tetapi, pada klasifikasi ini masih terdapat kelemahan, yaitu banyak objek yangtercampur antara air, mangrove dan non mangrove. Selain itu, terdapat vegetasi yang tumbuh jauh dari lokasi pasang surut tetapi teridentifikasi sebagai mangrove. Secara umum dapat disimpulkan bahwa data Sentinel 1 dengan dua polarisasi masih sulit untuk klasifikasi mangrove akan tetapi mudah untuk klasifikasi antara daratan dan perairan. Hal ini terlihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Hasil Klasifikasi Unsupervised 2 polarisasi VH VV

mangrove

air

Non mangrove

koordinat

sig

ma

Objek teridentifikasi sebagai mangrove

mangrove mangrove

26

5.2. Pemanfaatan Data Radar untuk Tambak

Data radar yang digunakan untuk identifikasi tambak adalah Sentinel 1 tanggal 22 Maret 2015. Data Sentinel 1 memiliki dua polarisasi VH dan VV. Komposit RGB dengan menggunakan metode gradient VH dan VV menghasilkan false colour composit yang dapat membedakan objek tambak, non tambak dan laut. Seperti terlihat pada Gambar 24.

Gambar 24. RGB false colour composit

Identifikasi tampak dilakukan dengan menggunakan klasifikasi metode density slicing. Density slicing dilakukan pada polarisasi VH berdasarkan tiga kelas tutupan lahan, yaitu tambak (0<Digital number<= 60), non tambak (Digital number> 60) dan laut (Digital number =0). Hasil klasifikasi dan didukung dengan informasi dari data

RGB serta hasil survey lapangan yang dilakukan pada tanggal 17 – 22 Agustus 2015 maka dapat diidentifikasi lokasi tambak di wilayah Gresik Jawa Timur. Berdasarkan hasil klasifikafi tersebut maka diperoleh luas area tambak yang ada di Jawa Timur sebesar 88.767,094 Ha. Distribusi dan luas tambak serta laporan survey lapangan dapat dilihat di Gambar 25, Tabel 5.1, dan Lampiran 2.

Gambar 25. Distribusi Tambak Berdasarkan Klasifikasi dengan Metode Density Slicing

27

Tabel 5.Luas Area Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi

Tutupan Lahan Luas Area (Ha)

Tambak 88.767,09

Non Tambak 605.557,59

Laut 255.538,37

5.3. Pemanfaatan Data Radar untuk Deteksi Kapal

Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu Pi-SAR L2 tanggal 8 Agustus 2012 dengan lokasi selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Selatan dan ALOS PALSAR tanggal 31 Januari 2007 dengan lokasi pelabuhan Jakarta. Pi-SAR L2 memiliki resolusi 2,4 meter yang merupakan data yang diolah sampai dengan koreksi ortho oleh JAXA-EORC (Japan Aerospace Exploration Agency – Earth Observation Research Center). Sedangkan untuk data ALOS PALSAR memiliki resolusi 12,5

meter. Polarisasi yang digunakan untuk kedua data tersebut yaitu polarisasi HH. Gambar 26 menampilkan citra PISAR dan ALOS PALSAR yang digunakan pada penelitian.

Gambar 26. Citra PISAR L2 (Kiri) dan Citra ALOS PALSAR (Kanan) yang Digunakan dalam Deteksi Kapal

SURF yang digunakan merupakan fungsi dalam OpenCV untuk python library.

OpenCV mendukung metode SURF sebagaimana fungsi fungsi lainnya yang telah tersedia. Inisialisasi desrkriptor dengan pilihan dimensi 64 atau 128 disesuaikan dengan kondisi. Tahap awal proses yaitu penentuan keypoints dan descriptor (Mordvintsev et al., 2014).

Metode SURF pada tulisan ini dibagi menjadi dua tahap, sebagaimana telah dijelaskan pada bab metode. Tahap pertama yaitu proses pembelajaran dari training sampel objek kapal. Sampel yang digunakan baik itu dari data PISAR maupun data ALOS PALSAR diproses secara bersamaan dalam menentukan keypoint untuk

28

setiap objek. Hasil deteksi keypoint pada objek kapal yang digunakan sebagai training sampel, digabungkan dan disimpan ke dalam database keypoint dalam format file teks.

Gambar 27 merupakan sampel objek kapal hasil cropping dari data PISAR yang dijadikan training sampel untuk proses pembelajaran. Sedangkan Gambar 28 menampilkan sampel objek kapal dari data ALOS PALSAR. Setiap objek kapal akan dideteksi keypoint yang terdapat dalam potongan citra tersebut, kemudian keypoint

akan disimpan dalam format teks file.

Gambar 27. Training Sampel Objek Kapal Data PISAR

Gambar 28. Training Sampel Objek Kapal Data ALOS PALSAR

Dalam penentuan keypoint, nilai threshold yang digunakan untuk variable

hessian adalah 500. Fungsi ekstraksi akan membaca setiap objek kapal yang dijadikan training sampel dalam satu folder secara otomatis. Fungsi dibuat menggunakan bahasa pemrograman python, dengan menggunakan library SURF yang terdapat pada OpenCV. Gambar 29 menampilkan potongan script dari fungsi untuk ekstraksi keypoints dari setiap objek kapal, lalu disimpan ke dalam database.

Gambar 29. Potongan Script Fungsi Ekstraksi Keypoint Untuk Training Sampel

Setiap set nilai keypoint, akan dilakukan konversi format data untuk

penyimpanan ke dalam database. Hal ini untuk menyesuaikan dengan standar penyusunan data dalam format array keypoint ke dalam format arraydatabase. Script untuk funsgsi konversi keypoint ditampilkan pada Gambar 30.

29

Gambar 30. Potongan Script Fungsi Konversi Format Keypoint Ke Dalam Format Array

Tabel

Setelah memiliki susunan atau database keypoint dari berbagai bentuk objek

kapal, tahap selanjutnya yaitu mendeteksi setiap objek kapal yang terdapat dalam satu citra SAR dalam cakupan yang lebih luas. Keypoint yang terdapat dalam database akan digunakan sebagai referensi dalam menemukan setiap objek kapal yang memiliki niai keypoint yang sama dengan keypoint yang telah tersimapan dalam database. Gambar 31 menampilkan potongan script fungsi deteksi kapal dari sebuah citra SAR.

Gambar 31. Potongan Script Fungsi Deteksi Kapal

Hasil proses dari deteksi kapal yaitu dengan memberikan keypointkeypoint pada

setiap objek kapal yang ditemukan. Keypoint akan ditampilkan dengan titik berwarna merah. Setiap objek kapal yang terdeteksi, akan memiliki satu atau lebih keypoint, sesuai dengan keypoint yang ditemukan. Gambar 32 menampilkan hasil deteksi

kapal dari data ALOS PALSAR. Hasil yang diperoleh dengan input ALOS PALSAR yaitu, tidak semua objek kapal terdeteksi nilai keypointnya. Masih terdapat beberapa objek kapal yang belum teridentifikasi. Selain itu pada area daratan muncul teridentifikasi nilai keypoints. Hal ini dikarenakan belum dihilangkannya nilai area

untuk daratan.

30

Gambar 32. Hasil Proses Deteksi Kapal Data ALOS PALSAR (HH), Pelabuhan Jakarta

Sama halnya dengan hasil deteksi kapal pada ALOS PALSAR, hasil dari data PISAR didapati tidak semua objek kapal teridentifikasi. Nilai keypoint juga ditemukan

untuk daratan dibeberapa lokasi. Oleh karena itu diperlukan land masking atau proses penghilanagan area daratan sebelum masuk ke dalam proses deteksi kapal. Hal ini untuk menghindari salah identifikasi keypoint objek kapal. Gambar 33 menampilkan hasil proses deteksi kapal dari data PISAR L2.

Gambar 33.Hasil Proses Deteksi Kapal Data PISAR L2 (HH), Selat Lembeh, Bitung

Selain menghilangkan objek daratan yang diantaranya termasuk pulau pulau kecil dan lokasi lokasi tambang lepas pantai (rig). Selain itu menambahkan beberapa

31

sampel lainnya dari berbagi bentuk dan ukuran objek kapal baik itu untuk data PISAR maupun data ALOS PALSAR. Hal ini dilakukan agar proses deteksi kapal lebih maksimal dan optimal sehingga setiap objek kapal yang terdapat pada citra SAR bisa teridentifikasi seluruhnya.

5.4. Pemanfaatan Data Radar untuk Tumpahan Minyak 5.4.1. Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap Jawa Tengah

Analisis awal yang dilakukan adalah deteksi keberadaan tumpahan minyak dari citra Landsat 8. Dengan menggunakan komposit RGBGreen-Blue-Coastal/Aerosol (321) danRed-Green-Blue (432) dapat terlihat adanya oil slick. Oil slick tersebut

dapat dilihat pada Gambar 34.

RGBGreen-Blue-Coastal/Aerosol (321)

RGBRed-Green-Blue (432)

Gambar 34. Indikasi Oil slick dari Landsat 8

Berdasarkan lokasi oil slicktersebut maka dapat dilakukan pendugaan dimana

terjadinya tumpahan minyak seperti yang disajikan pada Gambar35 – 36. Pada gambar tersebut terlihat tiga lokasi yang terdeteksi terjadi tumpahan minyak yang terdeteksi dengan adanya objek berwarna gelap di perairan.

32

Gambar 35. Deteksi Keberadaan Tumpahan Minyak pada Titik 1 dan 2

Gambar 36. Deteksi Keberadaan Tumpahan Minyak pada Titik 3

Hasil deteksi tumpahan minyak dari citra optis Landsat 8, maka dijadikan informasi untuk melakukan deteksi dengan menggunakan data SAR. Penggunaan data SAR memperlihatkan tumpahan minyak yang lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan data optis. Perairan yang terdapat tumpahan minyak akan terlihat lebih gelap dibandingkan dengan perairan yang tidak terkena tumpahan minyak. Perairan Cilacap yang terkena tumpahan minyak dapat dilihat pada Gambar 37.

33

Gambar 37. Deteksi Tumpahan Minyak dari Data Sentinel 1

Berdasarkan hasil deteksi Citra Sentinel-1 tanggal 23 Mei 2015 (19:10:32 WIB) kenampakan berwarna gelap yang tersebar di Perairan Cilacap (Teluk Penyu dan Pulau Nusa Kambangan) diduga merupakan kenampakan tumpahan minyak. Pola sebaran tersebut tidak menunjukkan adanya kenampakan obyek yang menyerupai tumpahan minyak (look a-like) seperti alga bloom (Feng et al., 2013), sargasum,

kumpulan sampah, maupun perbedaan kedalaman perairan (akibat topografi dasar perairan).

Selain itu, dugaan tersebut ini di dukung dengan penemuan fakta di lapangan berupa minyak yang terapung di perairan serta di tepi pantai Teluk Penyu dan Pulau Nusa Kambangan. Keberadaan alga dan sejenisnya atau akumulasi sampah tidak ditemukan di tengah maupun di sepanjang pantai.

Kenampakan fenomena alga bloom diperairan Cilacap dalam kurun waktu 20-23

Mei 2015 tidak ditemukan (jenis alga maupun warna laut yang berubah warna sesuai pigmen alga [hijau, coklat, merah, biru, dan lain-lain.]). Fenomena ini juga berpotensi menyebakan kematian masal pada ikan-ikan di lokasi tersebut (apabila alga tersebut merupakan jenis beracun) atau karena perairan mengalami proses eutrofikasi (berkurangnya jumlah oksigen terlarut pada suatu perairan akibat digunakan fotosintesis oleh fitoplankton/algae dalam jumlah yang ekstrim).

Kandungan MPT/kekeruhan/sedimentasi yang tersuspensi di kolom air (Perairan Teluk Penyu) tidak akan meredam Gelombang Capillary (capillary wave) di permukaan laut sehingga tidak akan memberikan kenampakan rona gelap pada Citra SAR, (hanya tumpahan minyak yang dapat meredam capilarry wave dan

menyebabkan permukaan laut menjadi rata tidak bergelombang, sehingga kenampakan pada citra SAR menjadi lebih gelap [kekasaran permukaan laut tanpa minyak akan menampakkan rona lebih terang karena menghamburkan gelombang radar], Ulaby et al., 1982 and Robinson, 1985).

Pada Citra SAR, kedalaman perairan akan tampak di permukaan laut apabila terdapat gerakan air (arus) permukaan yang berasal dari perairan dengan batimetri yang lebih dalam menjumpai batimetri perairan yang lebih dangkal (contoh: dari kedalaman 20 – 26 menjadi < 15 m) (Aplers et al., 1984).

34

5.4.2. Tumpahan Minyak di Laut Timor

Berdasarkan hasil deteksi tumpahan minyak di Laut Timor dari data TerraSAR-X tanggal 21 September 2009, tumpahan minyak telah menyebar dari Montara WHP, bergerak ke arah utara dan timur laut hingga di Laut Timor yang merupakan Perairan Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya pergerakan arus pada saat musim barat di Laut Timor yang bergerak ke arah utara.Gambar 38menunjukkan bahwa daerah yang berwarna putih merupakan minyak yang terdeteksi pada area tersebut. Proses pengolahan data TerraSAR-X untuk tumpahan minyak disajikan di Lampiran3.

Gambar 38. Hasil pengolahan deteksi minyak data TerraSAR-X di Laut Timor

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

(1) Kesimpulan untuk identifikasi mangrove Data SAR (TerraSAR-X dan Sentinel 1) menjadi alternatif pengganti data optis

untuk pemantauan mangrove di wilayah Indonesia yang memiliki tutupan awan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara visual rona dan tekstur mangrove dapat dibedakan dengan objek yang lain. Mangrove memiliki tektur yang halus serta rona yang berwarna lebih cerah dibandingkan dengan objek yang lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian, data SAR dengan single dan dua polarisasi sulit

digunakan untuk identifikasi vegetasi mangrove. Hasil klasifikasi yang dilakukan pada wilayah Cilacap dengan menggunakan data Sentinel 1, objek mangrove terdeteksi bercampur dengan objek lainnya. Begitu pula dengan pola sigma mangrove di Nabire. Mangrove memiliki pola yang hampir sama dengan objek lain sehingga sulit untuk membedakan.

(2) Kesimpulan untuk identifikasi tambak Komposit RGB dengan komposisi R band VH, G band VV, dan B band (VH-

VV)/(VH+VV) memberikan komposit warna di mana objek tambak berwarna biru gelap, laut biru cerah, vegetasi berwarna hijau dan lahan terbuka/bangunan berwarna merah muda. Dengan demikian komposit ini dapat menunjukkan objek tambak dan non tambak. Klasifikasi tambak dan non tambak dilakukan dengan density slicing band VH dan interpretasi visual komposit RGB. Berdasarkan hasili dentifikasi dengan menggunakan data Sentinel 1, luas tambak di wilayah Gresik adalah 88.767,09 ha.

35

(3) Kesimpulan untuk deteksi kapal Metode SURF sangat efisien dalam aplikasi deteksi kapal menggunakan data

SAR, baik itu PISAR dan ALOS PALSAR. Proses deteksi kapal hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk mendeteksi kapal dengan luasan input citra satu scene penuh. Metode SURF mendeteksi semua ukuran kapal yang memiliki bentuk sesuai dengan bentuk yang terdapat pada referensi (database). Tahap selanjutnya yaitu menambahkan proses lainnya seperti land masking termasuk pulau kecil dan

lokasi rig. Selain itu diperlukan penambahan training sampel dari berbagai bentuk objek kapal untuk bisa mendeteksi seluruh bentuk objek kapal yang tampak pada data SAR.

(4) Kesimpulan untuk deteksi tumpahan minyak Tumpahan minyak yang sering terjadi akibat adanya tabrakan kapal atau

kebocoran. Hal ini tentunya akan mencemari perairan dimana tumpahan itu terjadi. Dengan memanfaatkan data SAR, maka dapat dideteksi lokasi serta pergerakan dari tumpahan minyak tersebut. Dari tampilan citra SAR, tumpahan minyak akan terlihat dengan jelas sebagai objek yang berwarna lebih gelap dibandingkan dengan warna perairan di sekitarnya.

6.2. Saran Salah satu kelebihan dari data SAR adalah mampu mendeteksi objek yang

tertutup oleh awan. Akan tetapi untuk beberapa objek tertentu diperlukan polarisasi yang lebih lengkap untuk memudahkan identifikasi objek tersebut. Oleh karena ituuntuk penelitian yang akan datang hendaknya digunakan data SAR dengan multi polarisasi. Selain itu, diperlukan data lapangan yang cukup untuk mendukung tingkat akurasi dari hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA Ager, T.P. 2013. An Introduction to Synthetic Aperture Radar Imaging.

Oceanography 26(2):20–33, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.28. Akkartal A., dan F. Sunar. 2008. The Usage of Radar Images in Oil Spill Detection.

The International Archives of the Photogrammetry. Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B8. Beijing.

Aschbacher, J., Ofren, R., Delsol, J.P., Suselo, T.B., Vibulsresth, S.,dan Charrupat, T. 1995. An Integrated Comparative Approach To Mangrove Vegetation Mapping Using Advanced Remote Sensing and GIS Technologies: Preliminary results. Hydrologica, 295, 285-295.

Biggs, J., Williams, P., Whitfield, M., Nicolet, P., dan Weatherby, A.2005.15 Years of Pond Assessment in Britain: Results And Lesson Learned From The Work of Pond Conservation. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater

Ecosystems. 15: 693-714. Blasco, F., Aizpuru, M.,dan Gers, C. 2001. Depletion Of The Mangroves Of

Continential Asia. Wetlands Ecol. Manage, 9, 245-256.

Blasco, F., Gauquelin, T., Rasolofoharinoro, M., Denis, J., Aizpuru, M., dan Caldairou, V. 1998. Recent Advances In Mangrove Studies Using Remote Sensing Data. Mar. Freshwater Res. 49, 287-296.

36

Cannicci, S., Burrows, D., Fratini, S., Smith, T.J., Offenberg, J., dan Dahdouh-Guebas, F. 2008. Faunal Impact On Vegetation Structure And Ecosystem Function In Mangrove Forests: A review. Aquat. Bot. 89, 186-200.

Cao, Y.G., Yan, L.J.,dan Zheng, Z.Z.2008. Extraction of Information on Geology Hazard From Multi-Polarization Sar Images, The International Archives of the Photogrammetry. Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol.

XXXVII. Part B4. Beijing, pp.1529-1532. Caruso, M.J., M. Migliaccio, J.T. Hargrove, O. Garcia-Pineda, dan H.C. Graber.

2013. Oil Spills and Slicks Imaged by Synthetic Aperture Radar. Oceanography 26(2):112–123, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.34.

Chen, C.2007. Signal and Image Processing for Remote Sensing. CRC. Dahdouh-Guebas, F. 2002. The Use of Remote Sensing and GIS in The

Sustainable Management of Tropical Coastal Ecosystems. Environ. Develop.

Sustain. 4, 93-112. Dierking, W. 2013. Sea Ice Monitoring by Synthetic Aperture Radar. Oceanography

26(2):100–111, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.33. ESA. 2014. Sentinel-1 TOOLBOX Help Pages: Object detection. Sentinels

Application Platform. Everitt, J.H., Yang, C., Sriharan, S., dan Judd, F.W. 2008. Using High Resolution

Satellite Imagery to Map Black Mangrove on the Texas Gulf Coast. J. Coast.

Res. 24, 1582-1586. Foster, R. 2013. Signature of Large Aspect Ratio Roll Vortices In Synthetic Aperture

Radar Images of Tropical Cyclones. Oceanography 26(2):58–67,

http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.31. Freeman, A., dan Durden, S.L.1998. A Three-Component Scattering Model for

Polarimetric SAR Data. IEEE Trans. on GRS, GRS-36(3), pp. 963-973. Gade, M., V. Byfield, S. Ermakov, O. Lavrova, danL. Mitnik. 2013. Slicks As

Indicators For Marine Processes. Oceanography 26(2):138–149,

http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.39. Garcia-Pineda, O., I. MacDonald, C. Hu, J. Svejkovsky, M. Hess, D. Dukhovskoy,

dan S.L. Morey. 2013. Detection Of Floating Oil Anomalies From The Deepwater Horizon Oil Spill With Synthetic Aperture Radar. Oceanography 26(2):124–137, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.38.

Giri, C., Pengra, B., Zhu, Z., Singh, A.,dan Tieszen, L.L. 2007. Monitoring Mangrove Forest Dynamics Of The Sundarbans In Bangladesh And India Using Multi-Temporal Satellite Data From 1973 To 2000. Estuar. Coast. Shelf Sci. 73, 91-100.

Giri, C.P., Kratzschmar, E., Ofren, R.S., Pradhan, D.,dan Shrestha, S. 1996. Assessing Land Use/Land Cover Dynamics in Two Identified Hot Spot Areas: Oudomxay Province of Lao P.D.R. and Mekong Delta of Vietnam. In

Proceeding of The 17th Asian Conference on Remote Sensing, Colombo, Sri Lanka, 4–8 November 1996.

Graber, H.C., dan Horstmann, J. 2013. Introduction To The Special Issue On Ocean Remote Sensing With Synthetic Aperture Radar. Oceanography 26(2):18–19,

http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.35. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan

Pantai. Jurnal Litbang Pertanian vol 23: No. 1: 19-25

37

Haralick, R.M., 1985. Statistical and Structural Approaches to Textur. Digital Image

Processing and Analysis. Volume 2. IEEE Comp. Soc. Press, pp. 304-322. Hernández Cornejo, R., Koedam, N., Ruiz Luna, A., Troell, M.,dan Dahdouh-

Guebas, F. 2005. Remote Sensing And Ethnobotanical Assessment Of The Mangrove Forest Changes In The Navachiste-San Ignacio-Macapule Lagoon Complex, Sinaloa, Mexico. Ecol. Soc. 10, art. 16.

Horstmann, J., Wackerman, C., Falchetti, S., dan Maresca, S. 2013. Tropical Cyclone Winds Retrieved From Synthetic Aperture Radar. Oceanography

26(2):46–57, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.30. Jackson, C.R., J.C.B. da Silva, G. Jeans, W. Alpers, dan M.J. Caruso. 2013.

Nonlinear Internal Wavesin Synthetic Aperture Radar Imagery. Oceanography

26(2):68–79, http://dx.doi.org/10.5670/ oceanog.2013.32. Kathiresan, K.,dan Bingham, B. 2001. Biology Of Mangroves And Mangrove

Ecosystems. Adv. Mar. Biol. 40, 81-251. Kushardono, D., 2012. Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dengan Data SAR Dual-

Polarisasi Menggunakan Normalized Difference Polarization Index dan Fitur Keruangan dari Matriks Kookurensi. Jurnal Penginderaan Jauh Vol.9 No.1

pp.12-24. Lehner, S., A. Pleskachevsky, D. Velotto, dan S. Jacobsen. 2013. Meteo-Marine

Parameters And Their Variability Observed By High Resolution Satellite Radar Images. Oceanography 26(2):80–91,

http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.36. Lillesand, T.M., danKiefer, R.W.1979. Remote Sensing And Image Interpretation.

New York: John Wiley & Son. Lilesand, T.M., danKiefer, R.W., 1999. Remote Sensing And Image Interpretation,

4th Edition. New York Wiley. Lugo, A.E., dan Snedaker, S.C. 1974. The Ecology Of Mangroves. Ann. Rev. Ecol.

Systemat. 5, 39-64. Mallas, P.A., dan H.C. Graber. 2013. Imaging Ships From Satellites. Oceanography

26(2):150–155, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.71. Monaldo, F.M., C.R. Jackson, dan W.G. Pichel. 2013. Seasat to RADARSAT-2:

Research to operations. Oceanography 26(2):34–45, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.29.

Romeiser, R. 2013. The Future Of SAR-Based Oceanography: High-Resolution Current Measurements By Along-Track Interferometry. Oceanography

26(2):92–99, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.37. Manson, F.J., Loneragan, N.R., McLeod, I.M., dan Kenyon, R.A. 2001. Assessing

Techniques for Estimating The Extent of Mangroves: Topographic Maps; Aerial Photographs and Landsat TM Images. Mar. Freshwater Res. 52, 787–792.

Manson, F.J., Loneragan, N.R., Skilleter, G.A.,dan Phinn, S.R. 2005. An Evaluation Of The Evidence For Linkages Between Mangroves And Fisheries: A Synthesis Of The Literature And Identification Of Research Directions. In

Oceanography and Marine Biology: An Annual Review; Gibson, R.N., Atkinson, R.J.A., Gordon, J.D.M., Eds.; Taylor and Francis: London, UK, Volume 43, pp. 485-515.

Mougin, E., Proisy, C., Marty, G., Fromard, F., Puig, H., Betoulle, J.L., dan Rudant, J.P. 1999. Multifrequency And Multipolarization Radar Backscattering From Mangrove Forests. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. 37, 94-102.

38

Mulyadi, S,. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Mumby, P.J., Green, E.P., Edwards, A.J.,dan Clark, C.D. 1999. The Cost-

Effectiveness Of Remote Sensing For Tropical Coastal Resources Assessment And Management. J. Environ. Manag. 55, 157-166.

Mumby, P.J., Edwards, A.J., Arias-Gonzáles, E., Lindeman, K.C., Blackwell, P.G., Gall, A., Gorczynska, M.I.,Harborne, A.R., Pescod, C.L., Renken, H., Wabnitz, C.C., dan Llewellyn, G. 2004. Mangrove Enhance The Biomass Of Coral Reef Fish Communities In The Caribbean. Nature : 427, 533-536.

Nagelkerken, I., Blaber, S.J., Bouillon, S., Green, P., Haywood, M., Kirton, L.G., Meynecke, J.-O., Pawlik, J., Penrose, H.M., Sasekumar, A.,dan Somerfield P.J. 2008. The Habit Function Of Mangroves For Terrestrial And Marine Fauna: A Review. Aquat. Bot. 89, 155-185.

Natsir, M. 2014. Klasifikasi Palsar Multi-Polarisasi di Daerah Aceh . Seminar

Nasional Penginderaan Jauh 2014, pp. 280-288. Naylor, R.L., Goldburg, R.J., Primavera, J.H., Kautsky, N., Beveridge, M.C., Clay, J.,

Folke, C., Lubchenco, J., Mooney, H., dan Troell, M. 2000. Effect Of Aquaculture On World Fish Supplies Nature: 405, 1017-1024.

Nock, R., dan Nielsen, F. 2004. Statistical Region Merging. IEEE transactions on

pattern analysis and machine intelligence. Vol. 26,pp. 1452-1458. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan

Pasqualini, V., Iltis, J., Dessay, N., Lointier, M., Guelorget, O., dan Polidori, L. 1999. Mangrove Mapping In North-Western Madagascar Using SPOT-XS And SIR-C Radar Data. Hydrobiologica 413, 127-133.

Primavera, J.H. 1997. Socio-economic Impacts Of Shrimp Culture. Aquac. Res. 28,

815-827. Rasolofoharinoro, M., Blasco, F., Bellan, M.F., Aizpuru, M., Gauquelin, T., dan

Denis, J. 1998. A Remote Sensing Based Methodology For Mangrove Studies In Madagascar. Int. J. Remote Sens. 19, 1873-1886.

Sambodo, K. A., Teguh, K., dan Santoso, H., 2005. Klasifikasi Data Polarimetrik RADAR dengan Menggunakan Metode Dekomposisi Cloude & Pottier,

Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV, hal 79-84, Surabaya, Indonesia. Sambodo, K.A., 2012, Semi-Automatic Ship Detection Using Pi-Sar-L2 Data Based

on Rapid Feature Detection Approach. International Journal of Remote

Sensing And Earth Sciences Vol. 9 No. 2 December 2012 Solberg A.S., 2005. Automatic Detection and Estimating Confidence For Oil Spill

Detection in SAR Images. ISPRS Proceeding. ISRSE 2005. Sheta A., Alkasassbeh, M., Braik, M., dan Ayyash, H.A. 2012. Detection of Oil Spills

in SAR Images using Threshold Segmentation Algorithms. International

Journal of Computer Applications (0975 - 8887) Volume 57 - No. 7, November 2012.

Shimada, M., Isoguchi, O., Tadono, T., dan Isono, K., 2009. PALSAR Radiometric and Geometric Calibration. IEEE Transactions on Geoscience and Remote

Sensing, 47(12), pp. 3915-3932 Selvam, V., Ravichandran, K.K., Gnanappazham, L., dan Navamuniyammal, M.

2003. Assessment Of Community-Based Restoration Of Pichavaram Mangrove Wetland Using Remote Sensing Data. Curr. Sci. 85, 794-798.

Sentinel-1 User Handbook, 2013. https://sentinel.esa.int/

39

Seto, K.C.,danFragkias, M. 2007. Mangrove Conversion And Aquaculture Development In Vietnam: A Remote Sensing-Based Approach For Evaluating The Ramsar Convention On Wetlands. Glob. Environ. Change, 17, 486-500.

Setyawan, R.E, Puspaningsih, N, dan Saleh, M.C. 2014. Klasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur, Dengan Citra Terrasar-X High Resolution. Seminar Nasional

Penginderaan Jauh 2014: 129-140 Soenarmo, S.H. 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi

Geografis Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: ITB. Suseno. 2005. Penggunaan Indeks Vegetasi dalam Penginderaan Jauh Penentuan

Luas Hutan Mangrove. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sutanto, Ahmad., Trisakti, B, dan Arimurthy, A.M. 2014. Perbandingan Klasifikasi

Berbasis Obyek dan Klasifikasi Berbasis Piksel pada Data Citra Satelit Synthetic Aperture Radar untuk Pemetaan Lahan. Jurnal Penginderaan Jauh

Vol. 11 No. 1 Juni 2014 :63-75 Suwono, E. 2009. Aplikasi Deteksi Obyek Pada Citra Digital Dengan Metode Global

Contour Shape, skripsi sarjana, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas

Teknologi Informasi,Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tong, P.H., Auda, Y., Populus, J., Aizpura, M., Habshi, A.A.,dan Blasco, F. 2004.

Assessment From Space Of Mangroves Evolution In The Mekong Delta; In Relation To Extensive Shrimp Farming. Int. J. Remote Sens. 25, 4795-4812.

Vaiphasa, C., Skidmore, A.K., dan de Boer, W.F. 2006. A Post-Classifier For Mangrove Mapping Using Ecological Data. ISPRS J. Photogramm. Remote

Sens. 61, 1-10. Wang, L. dan Sousa, W.P. 2009. Distinguishing mangrove species with laboratory

measurements of hyperspectral leaf reflectance. Int. J. Remote Sens. 30, 1267-1281.

Wibisono, M.S. 2011. Pengantar Ilmu Kelautan.Penerbit Universitas Indonesia. Widigdo, B., 2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Ekobiologis untuk Menentukan

Potensi Alami Kawasan Pesisir untuk Budidaya Udang. Prosiding Pelatihan

untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor 21 – 26 Februari 2000. PKSPL IPB, Bogor. 5 hal.

40

41

Lampiran 1. Karya Tulis Ilmiah untuk Diterbitkan pada Prosiding SINASJA 2015

APLIKASI DATA SATELIT TERRA SAR-X UNTUK MENDETEKSI HUTAN MANGROVE

STUDY KASUS: KABUPATEN CILACAP

Nanin Anggraini*), Muchlisin Arief

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN *)Email: [email protected]

Abstrak Terra SAR-X merupakan merupakan satelit radar yang dapat beroperasi pada 3 mode yang berbeda dan polarisasi yaitu: High Resolution SpotLight Mode, SpotLight Mode (SL), StripMap Mode (SM), dan ScanSAR Mode (SC) yang

meberikan citra SAR resolusi tinggi. Walaupun dalam interpretasi citra radar masih banyak kendala, karena citra radar memberikan informasi kekasaran objek dan juga mempunyai mono polarisasi. akan tetapi pada dekade akhir ini, sudah mulai digunakan karena citra SAR tidak terganggu oleh tutupan awan. Pada makalah ini diterangkan tentang pendeteksian mangrove diawali dengan pengamatan nilai backscatter dari masing-masing objek penutup lahan untuk menentukan jenis filtering yang harus digunakan, kemudian hasil proses filtering dilakukan segmentasi. Sebagai akhir proses dilakukan dencity slicing untuk penampilan hasil akhirnya. Hasil dari proses segmentasi secara digital menggunakan citra radar mono-polarisasi untuk memisahkan mangrove dari vegetasi lainnya masih banyak kendala, karena nilai backscatter antara

mangrove dengan vegetasi lainnya banyak yang sama. yang artinya mangrove dan non mangrove dapat secara visual dengan menganlisis kekasarannya. Penelitian ini bisa dilanjutkan dengan menggunakan multi polarisasi, karena multi polarisasi dapat menaikkan akurasi pendeteksian.

Kata Kunci: Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentasi, Synthetic Aperture Radar.

Abstract Terra SAR-X is a radar satellites that can operate in three different modes and polarization, namely: High Resolution Spotlight Mode, Spotlight Mode (SL), StripMap Mode (SM), and ScanSAR Mode (SC) which gives a SAR image high resolution. Although the radar image interpretation are still many obstacles, because the radar images provide information about the object roughness and also having mono polarization. but at the end of this decade, has begun to be used, because SAR image is not disturbed by cloud cover. In this paper explained about mangrove detection begins with the observation backscatter value of each object to determine land cover types of filtering

42

that must be used. then the results of the filtering process is performed segmentation. As the end of the process is done dencity slicing to the appearance of the end result. Results of the segmentation process digitally using a mono-polarization radar imagery to separate the mangrove vegetation are still many obstacles, because of the value of mangrove vegetation backscatter among other much the same. which means mangrove and non-mangrove can visually with menganlisis roughness. This research can be continued by using multi-polarization, because multi polarization can raise the detection accuracy.

Key Words: Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentation, Synthetic Aperture Radar

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan, yang dengan sendirinya mempunyai banyak wilayah atau lokasi-lokasi yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Wilayah tersebut biasanya tumbuh hutan mangrove yang merupakan salah satu sumber daya wilayah pesisir dan laut. Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang surut yang menggenangipada aliran sungai.

Kawasan tersebut berfungsi baik sebagai tempat pemijahan ikan-ikan diperairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kadungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Komposisi mangrove di Indonesia bervariasi dari satu pulau ke pulau lain. Selain flora, fauna mangrove juga terdiri dari Gastropoda terdapat 50 spesies, Bivalvia terdapat 6 spesies dan Crustacea terdapat 34 spesies (Kusmana, 2012). Selain fauna menetap, ada sejumlah spesies yang menggunakan ekosistem mangrove hanya sebagai habitat sementara, apakah itu untuk pemijahan, pembibitan, atau tempat tinggal, misalnya banyak spesies udang telah terbukti tergantung pada ekosistem mangrove (Macnae,1974).

Penginderaan jauh satelit merupakan alat yang relatif murah dan mudah diperoleh untuk memantau wilayah yang sulit dijangkau. Citra satelit SAR (Syintetic Aperture Radar) mempunyai keuntungan dibandingkandengancitra satelitoptik antara lain dapat menembus awan dan tidak tergantung pada pencahayaan sinar matahari, dan saat ini citra SAR sudah mempunyai resolusi temporal maupunresolusi spasial yang lebih baik, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan metodeguna memantau sumber daya hutan (Holopainen et al., 2010). Citrapenginderaan jauhjuga sumber yangmenarik untuk mengekstraksiinformasitutupan lahan, di manadengan

43

menggunakan algoritma tertentu pada citra maka akan diperoleh klasifikasiberbagai jenis tutupan lahan(Debojit etal,2011).

Beberapa penelitian yang telah menggunakan citra SAR antara lain: Rausteet al.,2007yang telah melakukanestimasivolumevegetasi menggunakancitra resolusi tinggicitra radar ALOS (Advanced LandObservingSatellite) dan hasilnya menunjukkan bahwa citra ALOS mempunyai ketelitian relatif lebih baik jika dibandingkannya dengan data radar dari satelit JERS-1 (JepangEarthResourcesSatellite-1). Rausteet al., 2008, telah melakukan pemetaanbiomassadikawasan hutanboreal, Finlandia menggunakan data ALOSdanTerraSAR-X, hasilnya menunjukkan bahwauntuk estimasi biomassa dengan dataALOS polarisasi HH-VV lebih baik daridata yangTerraSAR-X. Perko et al., 2011 telah melakukan penelitian klasifikasicitra untuk daerahhutandidasarkaninformasibackscatterTerrasar X-band. Penelitian tersebut menggunakan modeltinggikanopi dan informasikoherensiinterferometric. Hasilnya menunjukkan bahwa akurasiklasifikasi mencapai 90%, dan resolusi tinggisensorX-band memberikancitrayang dapat digunakanuntuk penilaianhutanotomatisdalam skala besar. Pemisahan mangrove dan non mangrove dilakukan dengan melakukan proses thresholding/segmentasi nilai reflektansi mangrove dari citra AVNIR-2 di daerah Pulau Lancang. Hasilnya menunjukkan hampir 80% nilai reflektansi citra AVNIR-2 mendekati nilai reflektansi yang diperoleh dari pengamatan (Arief,2013).

Penelitian ini mengkaji aplikasi data TerraSAR-X untuk mendeteksi atau membedakan hutan mangrove dan non mangrove yang didasarkan pada nilai backscatternya. Nilai backscatter mangrove diperoleh dari pengamatan pada citra.

Lokasi penelitian adalah di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah citra TerraSar-X mono/single polarisasi HH (Horizontal Horizontal) yang direkam pada tanggal 14 Januari 2012, yang didukung

dengan informasi lapangan yang dilakukan pada tanggal 11 sampai dengan 18 Agustus 2015

1.1 SATELIT TERRA SAR-X

TerraSAR-x merupakan satelit radar German yang diluncurkan pada pertengahan tahun 2007yang bekerja pada frekwensi tinggi X-band (9,65 GHz). Misi satelit ini adalah (Suess et al., 2002): untuk memberikankomunitas ilmiahdengan kualitastinggi, multi-modeX-band SAR-data untuk mendukung penelitian ilmiah; serta untuk mendukung pasar komersial dan untuk layanan data yang berkelanjutan, produk informasi berdasarkan TerraSAR-X. (lihat Gambar 1)

44

Gambar 1. Satelit penginderaan jauh TerraSAR-X (Sumber: DLR, 2015)

Gambar 1 menunjukkanbeberapa detaildarisatelitTerraSAR-X dan panel

suryayang dipasangdi atasbussatelit dimana antena SARberadadi sisibawah satelit. TerraSAR dapat mentrasmisikan signal dalam X-band dalam dua polarisasai Horizontal (H) dan Vertikal (V). Aantena TerraSAR-X dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan dapat menghasilkancitra polarimetrik tunggal atau ganda. Disamping itu, sensor SAR dapat beroperasi pada mode dan polarisasi yang berbeda (Vignolles et al. 2010) yaitu:

a) Mode Spotlight (SL) resolusi tinggi (High Resolution Spotlight) dengan resolusi spatial 1 m dengan ukuran scene nya 10 km (lebar) x 5 km (panjang),

b) Mode SpotLight (SL) dengan resolusispasial2 m, dengan ukuran scene nya 10 km (lebar) x 10 km (panjang),

c) Mode StripMap (SM) dengan resolusi spasial 3,3 m dengan luas daerah scene nya 30 km (lebar) x 50 km (panjang),

d) Mode ScanSAR (SC) dengan resolusi spasial 5 hingga 14,8 mdengan luas wilayah scene nya 100 km (lebar) x 150 km (panjang).

Penjelasan tentang masing-masing mode dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

45

Tabel 1. Overview mode citra TerraSAR-X (Sumber : Scheuchl et al, 2009)

SpotLight Mode (SL) StripMap Mode ScanSAR Mode

Polarization single: HH or VV

dual: HH/VV

single: HH or VV

dual: HH/VV,

HH/HV or VV/VH

single: HH or VV

Scene dimensions

10 x 10 (km) (SL)

10 x 5 (km) (HS)

10x10 (km) (SL)

10 x 5 (km) (HS)

50 x 30 (km) 50 x 15 (km) 150 x 100 (km)

Azimuth resolution

1.7m (SL) 1.1m (HS)

3.4m (SL) 2.2m (HS)

3.3m 6.6m 18.5m

Full performanc e range

20° - 55° 20° - 55° 20° - 45° 20° - 45° 20° - 45°

Ground range resolution (@ incidence angle)

1.48 – 3.49m

(@55°...20°) HS with 300MHz 0.74 – 1.77m

(@55°...20°)

1.70 – 3.49m

(@55...20°)

1.70 – 3.49m (@45°...20°)

1.70 – 3.49m (@45°...20°)

1.70 – 3.49m (@45°...20°)

Data yang diperoleh dari empat mode tersebut diatas, dapat diproses dan

menghasilkan empat produk citra yang berbeda (Scheuchl et al., 2009), yaitu:

1) Single Look Slant Range Complex (SSC), SSC adalah basic single look product (produksi dasar single look ) dari sinyal radar. Piksel spasi berukuran sama di azimuth dan dalam kisaran miring. Data ditulis dalam bentuk kompleks, yaitu masing-masing sampel terdiri dari real dan bagian imajiner.

2) Multi Look Ground Range Detected (MGD) MG Dadalah produk multi-look dengan mengurangi speckle dan sel resolusi pixel di tanah hampir mendekati persegi. Pixel berukuran sama dia zimuth dan dalam jangkauan miring. Data ini telah dilakukan proyeksi polinomial sederhana dilakukan dalam jangkauan untuk ellipsoid untuk mencapai piksel sekitar kuadrat.

3) Geocoded Ellipsoid Corrected (GEC), GECadalah multi-look detected product. (produk multi-look terdeteksi). Data yang diperoleh dapat diproyeksikan dan resampel -baik UTM atau UPS dengan WGS84 sebagai referensi.

46

4) Enhanced Ellipsoid Corrected (EEC). Seperti MGD dan GEC, MEE adalah multi-look detected product atau produk multi-look terdeteksi. Namun dapat diproyeksikan dan resampel -baik UTM atau UPS menggunakan referensi WGS84 dan Digital Elevation Model (DEM)

TerraSAR-X, X-band satelit resolusi tinggi milik German telah mengumpulkan citrasejak diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007. Data dengan kualitas kualitas luar biasa dan priode pengulangan yang relatif tinggi (11 hari) dapat digunakan untuk berbagai aplikasi (Buckreuss et al., 2003: Faller and Weber, 2007) antara lain: a. Pemetaan topografi Pemetaan: 2D dan 3D, dalam skala ke 1: 25.000, b. Permukaan Gerakan (Surface Movement). Berdasarkan Timeseries

diakuisisi oleh TerraSAR-X lebih luas perpindahan permukaan yang sama yang disebabkan oleh pertambangan bawah permukaan, minyak ekstraksi / gas, pembangunan infrastruktur, penggalian, atau teknik bawah tanah dapat divisualisasikan

c. Perubahan Deteksi (Change Detection) untuk pemantauan proyek konstruksi skala besar, jaringan infrastruktur, pemantauan dan dokumentasi perubahan dan perkembangan

d. Pemetaan Penutup Tanah dan Penggunaan Lahan (Land Cover and Land Use Mapping): informasi tutupan lahan / penggunaan lahan yang akurat dan up-to-date, juga dari tempat, di mana sulit untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan teknologi lain karena awan permanen

e. Cepat Tanggap Darurat (Rapid Emergency Response): karena periode pengulang yang relatif cepat TerraSAR-X, maka data TerraSAR-X dapat memberikan informasi dalam hal bencana alam atau buatan manusia (gempa bumi misalnya, banjir, konflik militer dll)

f. Pemantauan lingkungan (Environmental monitoring): misalnya pemantauan hutan, pemantauan banjir, aplikasi kualitas air

2. METODE 2.1 DATA METODE

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah TerraSar-X mono/single polarisasi HH (Horizontal Horizontal) yang direkam pada tanggal 14 januari 2012

dengan wilayah Kabupaten Cilacap, khususnya Segara Anakan dan sekitarnya (lihat Gambar 2) dan dengan data survey lapangan yang dilakukan pada tanggal 11-18 Agustus 2015. Survey lapangan yang dilakukan tersebut menggunakan alatGPS Trimble Juno 3B yang berfungsi sebagai pengukur posisi titik pengukuran, Camera DSLR, Spektrometer Ocean Optics HR4000 CG-UV-NIR sebagai alat pengukur

reflektansi pohon. Alat untuk memproses data TerraSAR adalah: software ER Mapper, ENVI IDL 4.7 dan 5.0 (untuk menyajikan output pemerosesan dan pemerograman IDL)

47

a

b Gambar 2. Lokasi penelitian

a. Peta kabupaten Cilacap dan sekitarnya (Sumber: Whiteet al. 1989)

b. Citra TerraSar-X Segara Anakan dan sekitarnya tanggal 14-01-2012

Algoritma atau alur proses yang digunakan untuk memproses data TerraSAR adalah sebagai berikut :

1. Membaca data dengan menggunakan soft ware Sentinel-1 . 2. Transformasi dari citra amplitudo ke citra decibel ataubackscatter. 3. Mengamati nilai backscatter dari titik pengamatan dan menentukan nilai

backscater hasil pengamatanyang digunakan sebagai nilai acuan dalam menentukan nilai thresholding

4. Melakukan tresholding. 5. Analisis citra dan melakukan klasifikasi 6. Selesai

3. ANALISIS DAN DISKUSI

Sebagaimana diterangkan diatas bahwa tahapan pemprosesan data menggunakan software Sentinel-1. Data radarSat terdiri dari informasi Ampolitudo dan Intensity yang direkam dalam 2 byte dalam bilangan integer (terdistribusi dari nol sampai dengan 3628), setelah diproses dengan software Sentinel-1 menghasilkan citra/informasi db (decibel) dan backscatter yang kedua duanya disimpan dalam 4 byte real. kedua citra tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. dibawah ini.

48

(a)

(b)

Gambar 3. Citra decibel dan backscatter dari TerraSar-x

a. Citra decibel RadarSar-X dan distribusi frekwensinya b. Citra backscatter RadarSar-X dan distribusi frekwensinya

c.

Pada Gambar 3.a, memperlihatkan bahwa nilai decibel terdistribusi dari -48,04 sampai dengan 16, 55 dan nilai backscatter terdistribusi dari nol sampai dengan 2.5. untuk dapat membedakan antara mangrove dengan vegetasi lainnya, maka perlu diamati baik dari tekstur masing-masing vegetasi maupun dari ditribusi nilai backscatternya. Untuk pengamatan tekstur dari objek yang terdapat pada citra terraSar-X, dengan jelas dapat dibedakan antara perumahan, mangrove, bukan mangrove, tambak dan perumahan. untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. tekstur dari beberapa objek yang terdapat pada citra TerraSar-X

Pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa secara tekstural objek mangrove dapat dibedakan secara murah dengan objek tambak, sawah, perkebunan maupun objek man-made seperti perkampungan, jalan raya dan sebagainya. Pada Gambar tersebut memperlihatkan bahwa tekstur objek mangrove relatif lebih mulus dibandingkan dengan objek lainnya. akan tetapi

49

untuk melakukan proses segmentasi perlu diamati nilai backscater dari masing-masing objek tersebut. pengamatan nilai backscatter dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5.Pengamatan Nilai Backscatterdari Mangrove dan Non Mangrove

yang Terdapat pada Citra Terrasar-X di Daerah Sapu Regel.

Pada Gambar 5 memperlihatkan nilai backscatter di daerah sapu regel, yang mana didaerah tersebut didominasi oleh mangrove jarang dan pendek (kurang lebih ketinggian 3 sampai 4 meter. Karena mangrove pada daerah tersebut tumbuh jarang, maka tumbuh tanaman lainnya seperti deris (pohon mangrove yang tumbuh merambat) dan pohon lainnya yang tumbuh merambat, sehingga menambah rapatnya vegetasi didaerah tersebut. Vegetasi demikian ini, yang dapat memberikan sifat homogenitas pada nilai backscatter, akan tetapi kadang kala disela-sela tumbuhan tersebut ada juga beberapa pohon nipah yang pohonnya lebih tinggi dari pohon sekelilingnya, sehingga sekumpulan pohon nipah ini yang menyebabkan nilai backscatter pada titik lebih tinggi dari nilai piksel tetangganya.

Lain halnya, dengan daerah yang didominasi dengan tumbuhan mangrove jenis nipah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini. Pada Gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai backscatter untuk mangorve yang didominasi dengan pohon nipah mempunyai nilai yang sama dengan tumbuhan semak belukar dan kebun rakyat. sehingga untuk wilayah tersebut sangat sulit untuk membedakan mangrove dengan tumbukan lainnya.

50

Gambar 6. Pengamatan nilai backscatter dari mangrove dan non mangrove

yang terdapat pada citra TerraSar-X di daerah sapu regel

Dengan melihat kedua contoh diatas, maka melakukan segmentasi langsung dari citra digital menggunakan mono polarisasi untuk membedakan mangrove dan non mangrove sangat sulit (seperti Gambar 5), kecuali wilayahnya hanya terdapat tumbuhan yang homogen (seperti Gambar 6). Hal ini disebabkan, karenacitraradardibentuk olehinteraksikoherengelombang mikro ditransmisikanolehtarget. Oleh karena itu, selalu mengandung efek spekel noise yang diakibatkan dari hasilpenjumlahankoherensinyalyang duhamburkan dari permukaan objek dan didistribusikansecara acakdalam setiappixel. Citraradar yang dihasilkan kadang kala lebih banyak spekel-noise. Spekelnoise ini kadang kala dapat diminimalisir/filterpenghapusanspekelpada gambardigital sebelumlayar dananalisis lebih lanjut.Untuk mengetahui efek filter pada citra, dibahas terlebih dahulu dalam satu dimensi seperti pada Gambar 7. dibawah ini.

(a)

(b)

Gambar 7. Nilai backscatter 1 Dimensi dan efek filter lowpass dan erosi

51

Pada Gambar 7. memperlihatkan efek filter lowpass pada windows 3x3, 5x5, dan filter erosi pada windows 5x5. Efek filter lowpass baik ukuran windows 3x3 maupun 5x5, mengakibatkan penurunan intensitas noise spekel secara signifikan, dengan posisi spekel yang sama dengan posisi spekel pada citra. Lain halnya dengan efek dari filter erosi juga mengakibatkan penurunan intensitas noise spekel secara signifikan. Akan tetapi kelemahannya posisi noise spekel bergeser ke arah piksel tetangganya. Oleh karena itu. pada penelitian ini digunakan filter lowpass dengan ukuran window 5x5.

Hasil dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 8.a dibawah ini, sedangkan Gambar 4.6.b. adalah grafik frekwensi backscatter dari citra hasil proses filtering.

(a)

(b) Gambar 8. Citra hasil filtering

a. Citra TerraSar-X setelah proses filter

b. Distribusi nilai backscatter dar Gambar a

Pada Gambar 8b. memperlihatkan bahwa frekwensi grafik backscatter

tidak terdistribusi normal, sehingga agak sulit mencari nilai thresholdingnya. untuk melakukan nilai thresholding maka dilakukan pengamatan nilai backscatter secara langsung pada citra hasil proses lowpass filte seperti terlihat pada Gambar 9 dibawah ini.

(a)

(b)

Gambar 9. Citra hasil proses loww pass filter dan frekwensi nilai backscatter a. Line tracing citra TerrSar-x

b. Distribusi nilai Backscatter dari gambar a

52

Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai backscatter antara mangrove dan non mangrove sangat sulit dibedakan, begitu nilai backscatter dari pohon nipah dengan vegetasi tinggi. oleh karena itu, nilai threshold dilambil dari rata-rata nilai backscatter yang dianggap benar-benar mangrove (menurut hasil survey). Dalam hal ini nilai threshold ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pada citra. untuk segmentasi air, nilai threshold adalah 0,03. Hasil dari segmentasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.

(a) (b)

Gambar 10. citra hasil segmentasi dari citra yang telah dilakukan filtering a. Hasil proses segmentasi b. Region yang diperbesar

Gambar 10 memperlihatkan bahwa: proses segmentasi air di sungai lebih mudah dibandingkan dengan air laut. hal ini disebabkan bahwa hamburan balik di laut tidak seratus persen spekuler atau boleh dikatakan permukaan air tidak smooth (tidak halus), sehingga ada sebagian air laut yang diklas kan sebagai mangrove. Sebaliknya ada sebagian mangrove yang diklas sebagai air. hal ini mungkin disebabkan efek bayangan, karena mengrove diregion tersebut sudah ditebang oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil proses segmentasi, mangrove dapat dikelompokkan kedalam 3 klas yaitu: Pertama tumbuhan mangrove yang pendek dan jarang dengan mengrove ikutannya deris (nilai threshold 0.03 - 0.2); kedua tumbuhan mangrove dengan agak tinggi (sekitar 3 meter) dan rapat juga dengan diselingi dengan deris; ketiga mangrove dengan diselingi pohon nipah (nilai threshold 0.5 - 1.00), dan yang terakhir bukan mangrove termasuk tumbuhan di semak belukar (> 1,2). dan tidak bisa menklaskan kedalam jenis tumbuhan mangrove.

Walaupun hasil segmentasi ini dapat mengklaskan hampir 70 % lebih tumbuhan mangrove. Sisanya diklaskan ke klas air dan ke klas non mangrove. Akan tetapi proses ini tidak dapat dikatakan berhasil. Karena pertama ada sebagian air yang juga diklaskan ke dalam klas mangrove dan sebaliknya ada klas mangrove juga dklaskan ke klas air; kedua ada juga non mangrove yang dklaskan ke dalam mangrove. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa memisahkan vegetasi dan non mangrove secara dijital menggunakan monopolarisasi sangat sulit. Oleh karena itu, penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan menggunakan citra radar multipolarisasi.

53

4. KESIMPULAN

Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Citra TerraSar-X, objek mangrove dapat dibedakan dengan objek lainnya berdasarkan teksturnya. Karena tekstur mangrove relatif lebih smooth dibandingkan lainnya.

Berdasarkan hasil proses segmentasi dari citra dijital, mangrove hanya dapat dibedakan menjadi 3 klas yaitu: mangrove pendek dan jarang, mangrove rapat, dan mangrove dengan diselingi pohon nipah (mangrove heterogen), yang mana ketiga region tersebut masih mengikutsertakan tumbuhan deris sebagai mangrove ikutannya. Hasil pengklasan ini amat sangat tidak menggembirakan, karena banyak vegetasi non mangrove diklaskan kedalam mangrove terklaskan.

Deteksi hutan mangrove menggunakan metode segmentasi citra dijital dari citra TerraSar-X monopolarisasi sangat sulit. Hal ini disebabkan sifat fisik dari citra radar, yang dibentuk olehinteraksikoherengelombang mikro yangditransmisikanolehtarget, yang selalu mengandung efek spekel noise. Efek ini diakibatkan dari hasilpenjumlahankoherensinyalhamburan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diteruskan baik dengan menggunakan citra TrraSAR-x maupun citra radar lainnya dengan multipolarisasi.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami ucapkan untuk Bapak Syarif Budiman M.Sc, sebagai kepala Bidang Sumber Daya Pesisir dan Laut, yang telah banyak membantu dalam mengerjakan penyelesaian kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, M., T. Prayogo, R. Hamzah. (2013). Metode Segmentasi otomatis

untuk ekstraksi hutan mangrove menggunakan data satelit AVNIR-2, Studi Kasus: Pulau Lancang, Jurnal Teknologi Dirgantara Akreditasi LIPI Nomor: .474/AU2/P2M-LIPI/2012. Vol.11, No.1 Juni.

Buckreuss S., Balzer W., Mühlbauer P., Werninghaus R. (2003). The TerraSAR-X Satellite Project. In Proceedings IGARSS03, Toulouse (France).

Kusmana, C. 2012. Management Of Mangrove Ecosystem In Indonesia. Paper Presented in Workshop on Mangrove Re-plantation and Coastal Ecosystem Rehabilitation, 7 February 2012, Faculty of Forestry Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.

Debojit, B. J. H., Arora Manoj K., Balasubramanian R. (2011). Study and Implementation of a Non-Linear Support Vector Machine Classifier. International Journal of Earth Sciences and Engineering ISSN 0974-5904, Volume 04, No 06 SPL, October 2011, pp. 985- 988.

54

DLR. (2015). Radar satellite TerraSAR-X. http://www.dlr.de/iss/en/DesktopDefault.aspx/tabid-1412/2072_read-3536/gallery-1/gallery_read-Image.19.1953/. [03 November 2015].

Faller N. and Weber M. (2007) TerraSAR-X and TanDEM-X: Revolution in Spaceborne Radar. In Proceedings IGARSS07, Barcelona (Spain).

Holopainen M., Haapanen R., Karjalainen M., Vastaranta M., Hyyppa J., Xiaowei Yu, Touminen S., Hyyppa H. (2010), Comparing Accuracy of Airborne Laser Scanning and TerraSAR-X Radar Images in the Estimation of Plot-Level Forest Variables, Remote Sens. Vol. 2. no.2 pp. 432-445. doi: 10.3390/rs2020432.

Macnae W (1974). Mangrove Forests and Fisheries. FAO/IOFC/DEV/74/34. Rome: FAO.

Perko R., Raggam H., Deutscher J., Gutjahr K.and Schardt M. (2011). Forest Assessment Using High Resolution SAR Data in X-Band, Remote Sens. 2011, 3, 792-815; doi:10.3390/rs3040792

Rauste, Y.; Lönnqvist, A.; Molinier, M.; Ahola, H.; Häme, T. (2007). ALOS PALSAR data in boreal forest monitoring and biomass mapping. In Proceedings of 1st Joint PI Symposium of ALOS DataNodes, Kyoto, Japan, November.

Rauste, Y.; Lönnqvist, A.; Ahola, H. (2008). Mapping Boreal forest biomass with imagery frompolarimetric and semi-polarimetric SAR sensors. Ambiencia, 4, 172-180.

Suess M., Riegger S., Pitz W., Werninghaus R. (2002). TerraSAR-X – design and performance. In Proc. 4th European Conference on Synthetic Aperture Radar, Eusar2002, Cologne, pp. 49-52.

Scheuchl B., Koudogbo F., Petrat L., von Poncet F. (2009). TerraSAR-X: Applications for Spaceborne High Resolution SAR Data, Anais XIV Simpósio Brasileiro de Sensoriamento Remoto, Natal, Brasil, 25-30 april 2009, INPE, p. 7457-7464.

Vignolles C.,Tourre M.Y., Mora O., Imanache L., Lafaye M. (2010). TerraSAR-X high-resolution radar remote sensing: an operational warning system for Rift Valley fever risk, Geospatial Health, Vol.5 No. 1,pp.23-31. http://dx.doi.org/10.4081/gh.2010.184

White T.A., Martosubroto P., and Sadorra M. S.M (1989). The CoastalEnvironmental Profileof Segara Aanakan-Cilacap, SouthJava,Indonesia, Published by: International Center for Living Aquatic Resources, Manag. on behalf of the Association of Southeast Asian Nationsl United States, Coastal Resources Management Projec, Printed in Manila. Philippines, ISBN 971-1022-54-0

55

Lampiran 2. Laporan Survey Lapangan

LAPORAN SURVEY LAPANGAN

Litbang Pemanfaatan Data Radar untuk Pesisir dan Laut

Gresik, 17 – 22 Agustus 2015

Dra. Maryani Hartuti, M.Sc.

Sartono Marpaung, S.Si.

Nanin Anggraini, M.Si.

Sudiarto

Personel Pendukung Lapangan:

Akhmad Khofiyudin, S.Pi.

(Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gresik)

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 2 0 1 5

56

Pendahuluan

Data satelit penginderaan jauh optik telah banyak dimanfaatkan pada berbagai sektor, khususnya untuk pesisir dan laut. Saat ini telah banyak tersedia data radar dari berbagai sensor satelit, mulai dari diluncurkannya SEASAT tahun 1978, ERS, JERS, ALOS, Envisat, RADARSAT, hingga Sentinel-1. Data radar mempunyai kelebihan dibandingkan data optik, terutama dengan kemampuannya menembus awan dan tidak tergantung pada cahaya matahari. Namun, pemanfaatan data radar dirasakan masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu mulai penelitian dengan fokus pemanfaatan data radar, terutama untuk aplikasi pesisir dan laut.

Pemanfaatan data radar (SAR) untuk pesisir dan laut antara lain untuk mangrove, tambak, tumpahan minyak, deteksi kapal, gelombang internal, dan gelombang laut. Aplikasi radar altimeter antara lain angin permukaan, arus geostrofik, geoid laut, dan kenaikan muka air laut. Pemanfaatan radar scatterometer antara lain angin permukaan dan gelombang laut. Radar pasif antara lain dimanfaatkan untuk salinitas dan suhu permukaan laut.

Dari berbagai aplikasi data radar untuk pesisir dan laut akan dipilih beberapa aplikasi prioritas yang dilakukan pada tahun 2015. Pada tahap selanjutnya akan dilanjutkan dengan pendalaman pada aplikasi tertentu dan kajian topic-topik aplikasi yang lain. Pada kegiatan tahun 2015 ini dilakukan pengkajian dan penerapan metode pengolahan data SAR untuk mangrove, tambak, deteksi kapal, dan tumpahan minyak.

Pada survey lapangan ini akan dilakukan untuk topik litbang SAR untuk identifikasi tambak. Pertimbangan topik ini yang dipilih untuk survey lapangan adalah karena masih kuranganya data in situ untuk tambak. Untuk topik mangrove diperoleh data in situ bersama dengan kegiatan Litbang Ekosistem Pesisir. Topik deteksi kapal mendapatkan data in situ dari data VMS dan AIS. Topik Tumpahan Minyak memperoleh data in situ dari hasil survey Tim Nasional Tumpahan Minyak di Laut Timor dan Bintan.

Kegiatan pengamatan lapangan difokuskan pada jenis tambak tradisonal, intensif, dan garam. Lokasi pengamatan pada sentra-sentra tambak di Kabupaten Gresik. Data yang dikumpulkan adalah lokasi, jenis tambak, data iklim dari BMKG Kabupaten Gresik, serta data pendukung lainnya (seperti pasang surut). Sosialiasi dan FGD dengan Dinas dan Instansi terkait serta masyarakat juga dilakukan untuk menyampaikan potensi data satelit untuk pengelolaan pesisir, serta mendapatkan masukan terkait kondisi lingkungan, perairan, dan sosial masyarakat.

Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur menjadi lokasi yang dipilih dengan pertimbangan Provinsi Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Gresik merupakan wilayah lokasi budidaya tambak, baik tambak ikan maupun tambak garam. Disamping itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui program INDESO menetapkan Kabupaten Gresik untuk daerah penelitian tambak.

1. Tujuan 1) Melakukan pengamatan objek tambak beserta jenisnya (tambak tradisonal,

intensif, garam). 2) Mengumpulkan data dan informasi terkait dengan kegiatan Litbang

Pemanfaatan Data Radar untuk Identifikasi Tambak

57

3) Melakukan sosialiasi pemanfaatan data penginderaan jauh (radar dan optik) untuk pesisir dan laut

2. Metode Survey Lapangan Pengamatan objek tambak terdiri dari parameter-parameter seperti pada Tabel

1. Tabel 1. Pengamatan Objek Tambak

No Parameter Peralatan/Cara Pengambilan

Keterangan

1. Posisi lokasi pengamatan

GPS

2. Jenis Tambak Visual, wawancara

3. Jumlah Kincir Visual

4. Pemilik Wawancara

5. Luas tambak Pengukuran, wawancara

6. Waktu pengamatan Visual (jam)

7. Kondisi cuaca, tutupan awan dan tipe awan

Visual Di tambah dokumentasi dari kamera (photo)

8. Arah angin dan kecepatan angin

Visual dan Prediksi secara kualitatif

9.

Lingkungan sekitar pengamatan (muara sungai, dekat permukiman, di laut lepas, dll)

Visual Di tambah dokumentasi dari kamera (photo)

3. Peralatan yang digunakan

Tabel 2.Peralatan Survey Lapangan

No Peralatan Ketersediaan

1 GPS LAPAN

2 Kamera LAPAN

3 Perahu Sewa pakai /pinjam

4 Form Isian Survey Di Print di LAPAN dan diperbanyak

5 Kertas dan alat tulis Beli/Bawa dari LAPAN

6 Papan alas untuk menulis Beli/Bawa dari LAPAN

7

Print citra satelit wilayah pengamatan dengan titik lokasi pengamatannya (transek)

Bawa dari LAPAN

58

4. Personil dan Jadwal Survey 1) Personil

Kegiatan survey lapangan dilaksanakan oleh anggota tim kegiatan, ditambah staf dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gresik. Daftar personil ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Personil Pelaksana Survey Beserta Tugas

No Nama Bidang/Instansi Tugas

1 Dra. Maryani Hartuti,

M.Sc.

SDWPL Koordinator kegiatan,

pengukuran

2 Sartono Marpaung,

S.Si.

SDWPL Pengukuran,

Dokumentasi

3 Nanin Anggraini, M.Si. SDWPL Pengukuran

4 Sudiarto TU Pengukuran

5 Akhmad Khofiyudin,

S.Pi. (Ka Sie

Perikanan Budidaya)

Dinas Kelautan,

Perikanan, dan

Peternakan

Kab. Gresik

Koordinasi lokal

2) Waktu

Kegiatan survey lapangan dilaksanakan pada tanggal 17 sampai dengan 22 Agustus 2015, dengan waktu efektif di lapang selama empat hari dengan pelaksanaan sebagai berikut:

a. Tiga hari untuk pengamatan di lokasi sentra tambak (Kecamatan Bungah, Manyar, Ujung Pangkah, Panceng).

b. Satu hari untuk sosialiasi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pesisir dan laut.

Jadwal kegiatan dan lokasi ditunjukkan pada Tabel5 berikut dan Gambar 1 dan

2.

Tabel 5. Agenda Kegiatan Survey Lapang NO TANGGAL KEGIATAN KETERANGAN

1 17 – 08 – 2015 Perjalanan Jakarta – Gresik

Persiapan Sosialisasi dan Kegiatan Survey

2 18 – 08 – 2015 Survey tambak dan Mangrove Kecamatan Manyar, Bungah

3 19 – 08 – 2015 Survey tambak dan Mangrove Kecamatan Ujung Pangkah

59

4 20 – 08 – 2015 Survey tambak Kecamatan Panceng

5 21 – 08 – 2015 Sosialisasi Kantor Diskan Kabupaten Gresik

6 22 – 08 – 2015 Perjalanan Gresik - Jakarta

5. Hasil survey lapangan

Titik Koordinat Survey Radar Gresik

No. Lokasi Lintang Bujur

1 Hotel Sapta Nawa -7.167115 112.649813

2 Kantor DKPP -7.162025 112.628436

3 Manyar 1 -7.095311 112.590514

5 Manyar 2 -7.057654 112.610314

6 Manyar 3 -7.055820 112.609728

7 Manyar 4 -7.052459 112.624179

8 Manyar 5 -7.050072 112.627687

9 Bungah 1 -7.029974 112.639641

10 Bungah 2 -7.019197 112.650034

11 Bungah 3 -7.010880 112.640559

12 Bungah 4 -7.021602 112.636873

13 Bungah 5 -7.029240 112.635195

14 Kedanyang -7.191047 112.611036

15 Napes -7.193771 112.620699

16 U. Pangkah 1 -6.903841 112.554361

17 U. Pangkah 2 -6.902506 112.562601

18 U. Pangkah 3 -6.918706 112.580789

19 U. Pangkah 4 -6.903603 112.599517

20 U. Pangkah 5 -6.900302 112.605891

21 U. Pangkah 6 -6.892111 112.607779

22 U. Pangkah 7 -6.890661 112.613473

23 U. Pangkah 8 -6.888472 112.617666

24 U. Pangkah 9 -6.903185 112.595769

25 U. Pangkah 10 -6.902037 112.595541

26 U. Pangkah 11 -6.912472 112.568556

27 U. Pangkah 12 -6.878141 112.556903

28 U. Pangkah 13 -6.868971 112.562034

29 U. Pangkah 14 -6.858628 112.570356

30 U. Pangkah 15 -6.844084 112.575663

31 U. Pangkah 16 -6.864718 112.564567

4

7

2

60

32 U. Pangkah 17 -6.877763 112.553997

33 U. Pangkah 18 -6.866705 112.534361

34 U. Pangkah 19 -6.860048 112.529687

35 U. Pangkah 20 -6.870614 112.519586

36 U. Pangkah 21 -6.869127 112.525952

38 Panceng 1 -6.906846 112.518098

39 Panceng 2 -6.902186 112.485471

40 Panceng 3 -6.900904 112.482306

41 Panceng 4 -6.891385 112.459706

42 Panceng 5 -6.889752 112.460227

43 Panceng 6 -6.884558 112.457417

Lokasi Titik Survey Radar di Kabupaten Gresik

61

6. Dokumentasi Survey

Tambak Garam di Manyar

62

Tambak Tradisional di Manyar

63

Mangrove di Kecamatan Bungah

64

Mangrove dan Tanah Timbul di Ujung Pangkah

65

Tambak Tradisional di Ujung Pangkah

66

Tambak Intensif di Panceng

67

Tambak Intensif di Panceng

68

69

Lampiran 3. Tutorial Oil Spill Detection Menggunakan Software S-1 Toolboxdengan Data Terrasar-X.

1. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka software S-1 Toolbox. Apabila telah dibuka akan muncul tampilan seperti gambar di bawah ini.

Langkah selanjutnya adalah mengimport data yang akan diolah dengan cara membuka File>Import Raster Data> SAR Data > TerraSAR-X seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

70

Langkah selanjutnya adalah memilih lokasi tempat file yang akan diolah berada, dan yang dibuka adalah file .xml seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Setelah itu file akan terbuka seperti gambar di bawah ini:

71

Proses pengolahan data yang dilakukan adalah Oil Spill Detection. Langkah pengerjaan Oil Spill Detection juga terdapat pada Help S-1 Toolbox sehingga akan lebih mudah apabila akan mengerjakan proses pengolahan Oil Spill Detection, penjelasan Oil Spill Detection pada Help S-1 Toolbox juga dibuka seperti pada gambar di bawah ini.

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam proses pengolahan data Oil Spill Detection adalah melakukan koreksi radiometrik dengan melakukan langkah seperti berikut: SAR Processing > Radiometric > Calibrate , seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

72

Screen Calibration akan terbuka lalu bisa dipilih lokasi file dimana pengolahan data akan disimpan. Selain itu tools lain dibiarkan dalam keadaan default.

Setelah proses kalibrasi dilakukan akan muncul hasilnya seperti gambar di bawah ini.

73

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan reprojection data dengan melakukan langkah seperti berikut:

SAR Processing > Geometric > Reprojection , seperti ditunjukkan seperti gambar di bawah ini.

Screen Reprojection akan terbuka lalu bisa dipilih lokasi file dimana pengolahan data akan disimpan. Selain itu tools lain dibiarkan dalam keadaan default.

74

Setelah proses reprojection dilakukan akan muncul hasil pengolahan data seperti di bawah ini.

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan speckle filtering dengan melakukan langkah seperti berikut:

SAR Processing > Speckle Filtering > Single Product Speckle Filter , seperti ditunjukkan seperti gambar di bawah ini.

75

Screen Speckle Filtering akan terbuka lalu bisa dipilih lokasi file dimana pengolahan data akan disimpan. Selain itu tools lain dibiarkan dalam keadaan default.

Setelah proses Speckle Filtering dilakukan akan muncul hasil pengolahan data seperti di bawah ini.

76

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan Oil Spill Detection dengan melakukan langkah seperti berikut:

SAR Processing > Ocean Tools > Oil Spill Detection , seperti ditunjukkan seperti gambar di bawah ini.

Dalam proses Oil Spill Detection, tools yang digunakan juga sekaligus melakukan Land Masking. Pada screen Oil Spill Detection seperti yang ditunjukkan di bawah ini dapat dilihat tools Land Mask. Source Band yang dipilih adalah Sigma0_VV dan tools lain dibiarkan dalam keadaan default.

77

Setelah proses Oil Spill Detection dilakukan akan muncul hasil pengolahan data seperti di bawah ini.

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH - 2015