Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    1/20

    PERSIAPAN PERIOPERATIF

    PADA PASIEN GAWAT DARURAT

    Dzulfikar DLH

    Maret 2010

    Departemen Ilmu Kesehatan Anak 

    Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

    Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin

    Bandung

    Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak/FKUP dr. Hasan Sadikin Bandung,

    Prof.Dr.Nanan Sekarwana, dr., SpA(K), MARS

    NIP 19491104 197611 1001

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    2/20

    DAFTAR ISI

    I. Pendahuluan

    II. Tahapan yang Perlu Dilakukan Perioperatif 

    III. Pemeriksaan Penunjang Sebelum Operasi

    IV. Premedikasi

    V. Persiapan Perioperatif Lain

    VI. Persiapan Perioperatif pada Anak dengan Keadaan Khusus

    VII. Kesimpulan

    DAFTAR PUSTAKA

    1

    1

    5

    9

    9

    10

    14

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    3/20

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    4/20

    1

    Persiapan Perioperatif pada Pasien Gawat Darurat

    I. Pendahuluan

    Anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam berbagai hal. Perbedaan yang ada

    meliputi perbedaan anatomi dan fisiologis tubuh. Penilaian perioperatif seorang anak yang

    akan menghadapi operasi tentunya membutuhkan perhatian khusus meliputi pemahaman

    menyeluruh terhadap struktur anatomi dan fungsi fisiologis normal seorang anak, pengaruh

     perjalanan penyakit terhadap kondisi fisik anak serta persiapan obat-obatan dan tindakan

     perioperatif yang harus dilakukan untuk mempersiapkan kondisi anak seoptimal mungkin

    dalam menjalani operasi.1,2

    Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa penilaian perioperatif pada pasien anak memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu tindakan operasi. Penilaian

    yang optimal akan memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko dari suatu operasi

    serta menjadi dasar untuktatalaksana post operatif yang memuaskan. Keberhasilan operasi

    tentunya akan mengurangi morbiditas, meningkatkan kualitas dan harapan hidup seorang

    anak khususnya dan meningkatkan taraf kesehatan pada umumnya. Dapat terlihat bahwa

    sesuatu yang tampaknya sederhana ternyata merupakan hal yang sangat bernilai terlebih

    lagi untuk keselamatan seorang pasien, dalam hal ini anak-anak. 1,2

    Dalam referat ini akan dibahas mengenai tahapan yang perlu dilakukan sebelum

    operasi dan tujuan dilakukannya termasuk pemeriksaan penunjang sebelum operasi.

    II. Tahapan yang Perlu Dilakukan Perioperatif 

    Supaya tindakan operasi yang dilakukan dapat optimal baik pada saat dilakukannya

    operasi maupun saat post operatif dibutuhkan penilaian yang teliti mengenai kondisi pasien

    sebelumnya. Tahapan yang perlu dilakukan dalam persiapan perioperatif meliputi

    anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penjelasan mengenai prosedur 

    anestesi yang akan dilakukan berikut manfaat dan resikonya (informed consent ).

    Pembinaan hubungan baik dengan anak dan orangtuanya juga dilakukan saat kunjungan

     perioperatif. 1-5

    Anamnesis

    Keluhan utama merupakan alasan yang menyebabkan seorang anak dibawa oleh

    orangtuanya ke dokter. Informasi durasi, onset, progresivitas dan berat ringannya keluhan

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    5/20

    2

    utama serta keluhan dan gejala yang menyertainya harus digali seteliti mungkin. Riwayat

     penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu berguna untuk mengetahui hal-hal yang

    dapat mengakibatlkan ketidakberhasilan operasi. Riwayat operasi sebelumnya dan

     pemberian obat yang berhubungan dengan keluhan utama dicatat. Kondisi lain seperti

    terdapat dyspnea, riwayat sianosis, edema, perdarahan yang sulit berhenti, dan riwayat

    alergi harus ditanyakan. Obat yang sedang digunakan juga harus diketahui jenis, dosis dan

     jadwal pemberiannya. Riwayat persalinan, riwayat imunisasi, asupan nutrisi serta

     pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya diperhatikan.2-5

    Riwayat penyakit dan silsilah keluarga ( family tree) berguna pada penyakit-penyakit

    kongenital, genetik atau keganasan. Riwayat sosial terutama berperan pada kondisi tempat

    tinggal dan lingkungan serta perkembangan sosial dan akademik seorang anak. 3-5

    Pemeriksaan Fisis

    Tujuan pemeriksaan fisis adalah untuk identifikasi bagian mana yang akan menjalani

    operasi dan menyakinkan bahwa sistim organ yang lain dalam keadaan sehat. Pemeriksaan

     pasien anak harus disesuaikan dengan keadaan setiap anak.   2

    Kontrol infeksi dimulai dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan,

    selain meyakinkan orang tua bahwa kebersihan merupakan hal penting. Pada anak yang

    lebih tua dan kooperatif, pemeriksaan dapat sesuai dengan urutan rutin. Pada bayi dapat

    diposisikan pada meja pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan orang tua pasien

     berada di samping anak untuk menenangkannya. Pakaian pasien dilepaskan secara

    menyeluruh supaya pemeriksaan dapat berlangsung seteliti mungkin.1-5

    Kulit dan Integumen

    Lesi atau benjolan didefinisikan sesuai dengan ukuran, bentuk, konsistensi dan mobilitas.

    Kemerahan (rash) merupakan indikasi proses infeksi atau vaskulitis. Skar dari operasi

    sebelumnya juga harus dicari. Selulitis dapat timbul setelah trauma seperti laserasi, benda

    asing atau luka operasi. Abses diindikasikan dengan eritema, indurasi dan fluktuasi. Pada

    kasus penganiayaan, dapat ditemukan memar dan bekas luka bakar.2

    Nodus Limfatikus

    Limfadenopati dapat terjadi pada berbagai lokasi dan sering melibatkan daerah servikal,

    aksiler, epitroklear atau inguinal dan umumnya disebabkan oleh infeksi sehingga sumber 

    infeksi harus diidentifikasi pada pemeriksaan. Penyebab dapat bakteri, virus, jamur atau

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    6/20

    3

     protozoa. Pembesaran kelenjar getah bening juga dapat merupakan tanda metastasis atau

    keganasan seperti leukemia limfoblastik akut (ALL), penyakit Hodgkin dan limfoma non

    Hodgkin.2

    Kepala, Telinga, Mata, Hidung dan Tenggorokan

    Perhatikan ukuran dan bentuk kepala. Anak-anak dengan fusi abnormal dari sutura

    koronaria biasanya tidak normosefalik. Makrosefali atau mikrosefali dapat merupakan

     petunjuk adanya proses intrakranial. Sklera ikterik menunjukkan disfungsi hati atau

    kandung empedu dan salurannya. Otitis media juga mudah timbul pada anak-anak. Infeksi

     jalan napas atas sering terjadi dan ditandai dengan orofaring yang eritematus atau

    inflamasi turbin nasal disertai rinorea. Pemeriksaan gigi geligi juga penting pada anak-

    anak yang akan dioperasi.2-5

    Dinding Dada dan Paru-paru

    Deformitas bentuk toraks seperti pektus ekskavatum atau pektus karinatum. Berat

    ringannya deformitas tersebut menentukan kemungkinan adanya gangguan pada fungsi

     jantung dan paru-paru. Selain itu identifikasi massa di daerah dada (payudara) juga

    dilakukan terutama pada anak perempuan.2

    Bising inosen yang dapat ditemukan pada anak tidak bersifat patologis akan tetapi

    sering disalahtafsirkan sebagai bising organik sehingga pasien dilakukan pemeriksaan

    khusus yang tidak perlu. Bising inosen dapat terdengar dari masa neonatus sampai dewasa

    muda tetapi paling sering terdengar pada usia 3-7 tahun. Beberapa karakteristik dari inosen

    murmur adalah terdengar pada fase sistolik kecuali dengung vena yang mirip bising

    kontinu, berupa bising ejeksi sistolik pendek, intensitas rendah dan tidak melebihi derajat

    3/6, mungkin melemah bila pasien duduk dan mengeras bila terjadi takikardia akibat

    demam, latihan atau ansietas, serta tidak disertai dengan kelainan struktural jantung dan

     pembuluh darah besar. Dengan memperhatikan karakteristik tersebut umumnya bising

    inosen dapat dipastikan dengan pemeriksaan fisis tanpa pemeriksaan penunjang.6

    Pemeriksaan paru-paru harus dilakukan dengan teliti. Suara napas harus bersih dan

    identik di antara ke dua paru. Proses pada paru-paru dapat ditandai adanya bunyi napas

    abnormal seperti ronki, wheezing  atau crackles.2

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    7/20

    4

    Abdomen dan Inguinal

    Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara sistimatis dan lembut. Pertama-tama

     perhatikan abdomen anak secara menyeluruh, identifikasi bekas luka, lokasi dan

     panjangnya serta bentuk abdomen. Abdomen skafoid dapat merupakan tanda hernia

    diafragmatika tetapi normal pada anak yang kurus. Obstruksi usus, massa abdomen atau

    asites dapat menyebabkan distensi abdomen.2

    Selanjutnya mendengarkan suara bising usus. Tidak adanya bising usus mungkin

    menandakan peritonitis sedangkan suara bising usus yang tinggi menandakan obstruksi

    usus. Perabaan dapat dilakukan mulai dari daerah yang tidak sakit dan terakhir baru di

    daerah yang sakit. Rasa lunak difus dapat merupakan tanda peritonitis. Perhatikan apakah

    nyerinya bersifat superfisial, muskuloskeletal atau viseral.2

    Tanda peritoneal seperti   rebound   dan   guarding   harus dievaluasi dengan lembut.

    Ekspresi wajah dan tingkah laku anak merupakan indikator nyeri yang lebih dapat

    dipercaya dibandingkan verbal. Perabaan dapat memberikan informasi mengenai ukuran,

     bentuk dan konsistensi massa abdomen.2-5

    Pemeriksaan daerah inguinal dilakukan terutama pada hernia atau hidrokel.  Valsava

    maneuver  dapat dilakukan bila hernia tidak tampak.2-5

    Genitalia

    Pemeriksaan genitalia anak laki-laki sangat penting pada kasus-kasus seperti hidrokel dan

    undesensus testis. Teknik transiluminasi dapat berguna untuk visualisasi pada pembesaran

    skrotum tetapi bukan untuk memastikan diagnosis terutama pada bayi. Pemeriksaan

    meliputi ukuran, bentuk dan karakter cairan di dalam skrotum.2

    Pemeriksaan genitalia pada anak perempuan meliputi fusi labia, himen imperforatus

    dan perdarahan vagina atau perineal. Penganiayaan anak harus dicurigai bila terdapat

    robekan atau laserasi pada daerah kemaluan ataupun bila didapatkan cairan keluar dari

    kemaluan yang menandakan kemungkinan infeksi atau penyakit seksual.2

    Rektum

    Pemeriksaan colok dubur merupakan hal yang traumatik bagi seorang anak dan sebelum

     pemeriksaan, orang tua harus mendapatkan penjelasan yang akurat.2

    Tindakan pertama adalah dengan menemukan apakah terdapat fisura, fistula atau lesi

    lain yang dapat terlihat dengan membuka muara anus. Selanjutnya dilakukan colok dubur 

    dengan menggunakan jari kelingking pada bayi dan balita dan jari telunjuk pada anak yang

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    8/20

    5

    lebih besar. Tonus spingter dapat menurun pada pasien dengan anoplasti atau trauma pada

    otot atau bahkan pada medula spinalis.2

    Bila ditemukan massa, tentukan lokasi, ukuran dan konsistensinya. Tumor presakral

    dapat menyebabkan konstipasi pada anak. Rasa sakit dapat disebabkan fisura anal,

    apendisitis atau proses inflamasi di daerah pelvis.2

    Punggung dan Tulang Belakang

    Skoliosis dan deformitas spinal lain sering kali tampak jelas selama pemeriksaan

     punggung. Trauma dapat ditandai dengan memar pada vertebra sedangkan bengkak pada

    sudut kostovertebra dapat menunjukkan kemungkinan pielonefritis atau apendisitis pada

     pasien dengan apendik retrosekal.2

    Ekstremitas

    Clubbing   dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis, terutama pasien dengan

     penyakit paru. Sianosis merupakan indikasi dari oksigenasi atau perfusi yang buruk dan

    harus ditentukan apakah merupakan proses akut atau kronis. Edema dapat menandakan

    adanya gangguan fungsi ginjal dan jantung. Deformitas tulang sekunder akibat patah

    tulang panjang menandai kemungkinan adanya penganiayaan anak.2-5

    Sistim Saraf 

    Tingkah laku anak dapat memberikan banyak informasi mengenai sistim saraf. Anak yang

    aktif berinteraksi dan bermain kemungkinan tidak mengalami gangguan neurologis fokal.

    Pemeriksaan sistim saraf meliputi fungsi saraf kranial, motoris dan sensoris, evaluasi

    refleks dan fungsi kognitif.2

    III. Pemeriksaan Penunjang Sebelum Operasi

    Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Operasi

    Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi kelainan fisiologis atau

    metabolisme yang dapat meningkatkan resiko dalam periode perioperatif. Pemeriksaan

    laboratorium jarang dilakukan pada anak sehat yang dijadwalkan untuk pembedahan rawat

     jalan. Pemeriksaan foto toraks rutin sebelum operasi rutin pada anak-anak juga tidak cukup

    sensitif untuk mendeteksi kelainan akibat anestesi atau pembedahan. Pemeriksaan urin

    sebelum operasi juga tidak dilakukan pada anak tanpa kelainan ginjal atau kandung

    kemih.7

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    9/20

    6

    Situasi akan berbeda pada persiapan perioperatif anak dengan riwayat atau adanya

    suatu kelainan. Pemeriksaan foto toraks akan sangat membantu pada anak dengan riwayat

    aspirasi kronis atau penyakit saluran napas bawah. Mengetahui tingkat hemoglobin penting

     pada anak dengan penyakit anemia   sickle cell   atau penyakit jantung. Seorang anak yang

    memiliki penyakit jantung dan sedang menjalani terapi digoksin harus menjalani

     pemeriksaan natrium, kalium, dan kadar digoksin. EKG dibenarkan dilakukan pada anak 

    dengan   Obstructive sleep apnea syndrome   (OSAS),   Bronchopulmonal dysplasia   (BPD),

     penyakit jantung bawaan, atau skoliosis berat. Kadar elektrolit harus dievaluasi pada anak 

    dengan gagal ginjal atau pada penggunaan diuretik,   angiotensin-converting enzyme

    inhibitor , atau obat lain yang meningkatkan kemungkinan hasil abnormal. Elektrolit juga

    harus ditentukan pada anak dengan   nasogastric   atau   gastrostomy tube   atau nutrisi

     parenteral. Anak dengan antikonvulsan harus menjalani pemeriksaan kadar obat tersebut di

    dalam darah untuk memastikan kadar terapetik obat yang diberikan.2-5,7

    Pemeriksaan Darah Rutin

    Pemeriksaan Hb secara selektif dilakukan pada anak dengan penyakit kronis dan anak 

    yang akan menjalani prosedur dengan potensi kehilangan darah yang signifikan.

    Pemeriksaan Hb harus dilakukan pada bayi berusia kurang dari 6 bulan karena pada usia

    ini secara fisiologis produksi eritrosit mengalami penurunan tingkat Hb dapat sampai 7

    g/dL. Selain itu, pada bayi prematur, tingkat Hb kurang dari 10 g/dL telah dikaitkan

    dengan peningkatan insidensi apnoe paska operasi Pertimbangan pemberian transfusi tidak 

    hanya didasarkan pada kadar Hb dan hematokrit tetapi berdasarkan atas kehilangan darah

    yang sedang berlangsung serta faktor hemodinamik.7,8

    Transfusi   pack red cell   (PRC) harus dilakukan pada pasien dengan Hb 7 g/dL

    tanpa adanya kelainan jantung dan kardiovaskuler. American Collage of Physician

    menentukan kadar Hb yang sama untuk indikasi transfusi. ASA menentukan Hb 6 g/dL

    untuk indikasi transfusi sampai kadar Hb 10 g/dL. Canadian Medical Association

    menentukan kadar Hb 8 mg/dL untuk indikasi transfusi PRC. College of American

    Pathologists menentukan kadar Hb dibawah 6 g/dL atau kehilangan darah yang masif 

    hingga mencapai lebih dari 30-40%. Norton dkk merekomendasikan kadar Hb 11 g/dL dan

    kadar hematokrit 33% untuk melakukan operasi dengan kemungkinan post operasi yang

    optimal.9

    Lekopenia terjadi bila jumlah leukosit kurang dari 4000/mm3

    . Neutropenia terjadi

     bila hitung jenis neutropenia kurang dari 1000/mm3  pada bayi antara usia 2 minggu-1

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    10/20

    7

    tahun dan dibawah 1500/mm3 diatas usia 1 tahun. Orang kulit hitam mempunyai

    kecenderungan netrofil 100-200/mm3 lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih.

    Terapi yang diberikan adalah pemberian antibiotika yang adekuat, dan pemberian  Growth-

    colony stimulating factor   (G-CSF) yang diberikan dengan dosis 0,3µg/kg/hari secara

    subkutan terbukti dapat jumlah netrofil pada pasien netropenia atau pasien netropenia

    dengan berbagai sindrom. Sedangkan pemberian kortikosteroid hingga sekarang masih

    merupakan hal yang kontroversial.Lekositosis terjadi bila jumlah lekosit lebih dari normal

    menurut usia. Bila lekosit lebih dari 50.000/mm3 dinamakan reaksi lekemoid yang

    umumnya terjadi pada anak yang mengalami infeksi. Sedangkan hiperlekositosis terjadi

     bila lekosit lebih dari 100.000/mm3. Hal ini merupakan kegawatdaruratan pada bidang

    hematologi onkologi. Hiperleukositosis pada umumnya terjadi pada anak-anak dengan

     penyakit keganasan sehingga membutuhkan tindakan hidrasi.   10

    Indikasi untuk dilakukan transfusi trombosit adalah nilai trombosit 10.000/mm3

     pada pasien yang stabil, 20.000/mm3  pada pasien dengan adanya keluhan demam atau

    terdapatnya infeksi, 50.000/mm3 untuk persiapan infeksi dan kadar 50.000-100.000/mm3

    untuk keadaan emergensi atau pasien dengan  critical ill .9

    Tes Koagulasi

    Tes koagulasi dilakukan secara rutin pada pasien yang akan menggunakan blokade

    neuraksial seperti tonsilektomi, adenoidektomi atau pasien-pasien dibawah usia 1 tahun

    yang sebelumnya tidak ada riwayat trauma atau perdarahan yang sulit berhenti. Pada

    keadaan seperti ini riwayat prematur dan riwayat selama periode neonatus dibutuhkan

    untuk mengetahui faktor risiko terjadinya gangguan perdarahan seperti rendahnya faktor 

    IX karena hati yang imatur dan defisiensi vitamin K.11

    Bila hasil yang didapatkan normal tidak sepenuhnya menyingkirkan diagnosis

    gangguan perdarahan dan tidak semua anak yang memberikan hasil abnormal akan

    mengalami gangguan koagulasi saat operasi. Tes ini akan berarti bila terdapat riwayat

    gangguan perdarahan sebelumnya.11

    Indikasi untuk pemberian Fresh Frozen Plasma  (FFP) adalah untuk kadar PT atau

    aPTT yang 1,5 kali lebih dari normal. Pemberian FFP dengan dosis 10-15 mL/kg akan

    menaikan konsentrasi faktor plasma 30%. FFP dapat pula diberikan pada untuk pasien

    dengan defisiensi koagulopati atau pasien dengan purpura trombositopenia.9

    Indikasi diberikan transfusi kryopresipitat adalah saat diketahui kadar fibrinogen

    kurang dari 80 mg/dL. Satu unit kryopresipitat per 10 kgBB akan menaikan kadar 

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    11/20

    8

    fibrinogen sampai 50 mg/dL. The ASA Task Force mempunyai 3 rekomendasi untuk 

    diberikan kryopresipitat yaitu profilaksis pada   nonbleeding perioperative   atau pasien

     peripartum dengan defisiensi kongenital fibrinogen atau penyakit Von Willenbrand yang

    tidak responsif terhadap  desmopressin acetate, pasien yang mengalami perdarahan dengan

     penyakit Von Willebrand, koreksi perdarahan mikrovaskuler pada pasien yang mengalami

     perdarahan masif dengan kadar fibrinogen kurang dari 80-100 mg/dL, atau saat kadar 

    fibrinogen tidak dapat diperiksa.   9

    Pemeriksaan Elektrolit

    Kelainan elektrolit sangat jarang terjadi pada anak sehat. Skrining perioperatif untuk 

    kelainan ini umumnya tidak berguna dan tidak mengubah penatalaksanaan anestesi.

    Bahkan bagi pasien rawat inap yang mungkin diduga memiliki insidensi kelainan elektrolit

    lebih tinggi daripada pasien rawat jalan sehat, pemeriksaan sebelum operasi rutin tidak 

    diindikasikan.7,8

    Terapi Albumin

    Pemberian terapi albumin masih merupakan hal yang kontroversial sebelum dilakukannya

    operasi. Hal ini dipertimbangkan karena pada beberapa obat yang digunakan bersamaan

    dengan albumin dapat menimbulkan efek toksisitas. Obat yang sering dilaporkan adalah

     penggunaan fenitoin sebelum operasi. Albumin dapat mempengruhi faktor koagulasi.

    Albumin dapat menurunkan agregasi trombosit dan menimbulkan efek   heparin-like

    activity   sehingga mempengaruhi antitrombin. Albumin mempengaruhi mikrosirkulasi

    karena perubahan permeabilitas kapiler.   9

    Tes fungsi paru

    Tes fungsi paru sering digunakan untuk menilai respon terhadap terapi bronkodilator pada

     pasien dengan bronkospasme yang reversibel. Meskipun jarang diperlukan pada pasien

    dengan asma tanpa komplikasi, tes ini mungkin berguna untuk memprediksi apakah anak 

    dengan kelainan bentuk toraks atau paru seperti skoliosis mengalami peningkatan resiko

    komplikasi anestesi dan insufisiensi pernafasan paska operasi. Pemeriksaan yang sering

    dilakukan oksimetri denyut nadi oksimetri, kapasitas vital paksa (FVC) dan FEV1. Nilai

    mutlak dan rasio dari 2 pengukuran (FEV1/ FVC) merupakan prediktor yang berguna

    untuk mengetahui perlunya ventilasi mekanis paska operasi pada pasien yang beresiko

    (kifoskoliosis). Namun, hasil akurat pengukuran FEV1 dan FVC membutuhkan kerjasama

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    12/20

    9

     pasien, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipercaya pada anak-anak kurang dari 6

    tahun biasanya tidak mungkin.3-5,7,8

    Pemeriksaan Penunjang Lain

    Pemeriksan penunjang lain hanya dilakukan atau indikasi seperti dilakukannya tes fungsi

    ginjal, tes fungsi hati, tes urin rutin, rontgen, EKG, ekokardiografi, USG, CT scan maupun

    Magnetic Resonance Imaging (MRI).11

    IV. Premedikasi

    Premedikasi memiliki banyak pilihan pada pasien pediatrik. Sedatif umumnya dihindari

     pada neonatus atau bayi yang sakit. Anak dengan kecemasan yang berlebihan dapat

    diberikansedatif seperti midazolam (0.3–0.5 mg/kg, maksimal 15 mg). Pemberian oral

    lebih disukai karena kurang traumatik dibandingkan IM walaupun efek baru timbul setelah

    20-45 menit. Dosis kecil midazolam dapat digunakan dengan tambahan ketamine (4-6

    mg/kg). Pasien yang tidak kooperatif membutuhkan midazolam IM (0.1-0.15 mg/kg,

    maksimal 10 mg) dan/atau ketamine (2–3 mg/kg) dengan atropine (0.02 mg/kg).

    Midazolam rektal (0.5–1 mg/kg, maksimum 20 mg) atau methohexital rektal (25–30

    mg/kg larutan 10%) juga dapat diberikan.   3-5

    Sebagian ahli anestesi memberikan obat antikolinergik (atropine 0.02 mg/kg IM)

    untuk menurunkan bradikardia selama induksi. Atropine menurunkan insidensi hipotensi

    selama induksi pada bayi dan neonatus kurang dari 3 bulan selama induksi. Selain itu

    atropine dapat mencegah akumulasi sekret yang dapat menyumbat jalan napas dan

    endotracheal tube. Sekret yang berlebihan dapat menjadi masalah pada pasien saluran

    nafas atas atau akibat pemberian ketamine. Atropine kadang diberikan secara oral (0.05

    mg/kg), IM atau rektal. Banyak ahli anestesi memilih untuk memberikan atropine IV pada

    saat atau sesaat setelah induksi.3-5

    V. Persiapan Perioperatif Lain

    Puasa Sebelum Operasi (PreoperativeFasting )

    Pasien dengan volume asam lambung yang banyak beresiko untuk mengalami aspirasi

     paru dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Resiko aspirasi paru pada anak 

    yang sehat kurang dari 0,05%, praktek NPO setelah tengah malam telah ditinggalkan.  The

     American Society of Anesthesiology telah merevisi pedoman puasa sebelum operasi.12-14

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    13/20

    10

    Anak didorong untuk minum air (clear liquids) dengan tujuan meminimalkan

    kecemasan, hipovolemia dan kemungkinan hipoglikemia yang dapat disebabkan oleh

     puasa yang berkepanjangan sebelum operasi. Obat dengan durasi kerja jangka panjang

    diminum bersama dengan air pada pagi hari sebelum operasi. Anak yang sehat

    diperbolehkan untuk minum air sampai 2 jam sebelum operasi, bayi dapat disusui sampai 4

     jam sebelum operasi, susu formula dapat diberikan sampai 6 jam sebelum operasi.

    Walaupun puasa 6 jam sebelum operasi berlaku untuk makanan ringan, kebanyakan

    makanan padat memiliki kandungan lemak tinggi yang menunda pengosongan lambung.

    Karena faktor ini, banyak ahli anestesi pediatrik menganjurkan puasa 6 jam sebelum

    operasi elektif. Mengunyah permen karet meningkatkan volume cairan lambung sekurang-

    kurangnya 2 kali lipat sehingga umumnya dilarang dalam periode sebelum operasi.3-5,12-14

    VI. Persiapan Perioperatif pada Anak dengan Keadaan Khusus

    Jalan Napas dan Fungsi Paru

    Anestesi umum mengubah fungsi pernafasan secara nyata di hampir setiap tingkat. Efek 

    awal eksitasi refleks jalan napas seperti laringospasme, peningkatan sekresi dan

     bronkospasme selama induksi inhalasi anestesi umum dapat terjadi. Selain itu pada

    anestesi terjadi penurunan kontraktilitas otot pernafasan, depresi fungsi silia, depresi

    respon pusat pernapasan terhadap hipoksia dan hiperkapnia, penurunan volume paru-paru

    dan peningkatan intrapulmonary shunting . Efek ini dapat mengakibatkan obstruksi saluran

     pernapasan atas, hipoventilasi atau apnea, dan hipoksemia. Adanya kondisi yang

    mendasari (prematuritas) atau penyakit pernapasan (asma, displasia bronkopulmonalis)

    sangat beresiko bagi seorang anak. Oleh karena itu informasi rinci tentang penyakit

     pernapasan yang sudah ada sebelumnya harus tersedia selengkap mungkin.15,16

    Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

    Insidensi kejadian gangguan pernafasan perioperatif meningkat 7 kali pada anak dengan

    ISPA atas maupun bawah dan 11 kali jika anak diintubasi. Resiko komplikasi jalan napas

    tetap tinggi hingga 6 minggu setelah ISPA, mungkin sebagai akibat dari perubahan

    reaktivitas saluran napas. Anak dengan ISPA menjalani operasi jantung elektif memiliki 4

    kali lipat peningkatan insidensi komplikasi jalan napas pada induksi anestesi, 2 kali lipat

     peningkatan insidensi komplikasi pernapasan paska operasi, dan 5 kali lipat peningkatan

    infeksi bakteri paska operasi, serta perpanjangan lama tinggal di unit perawatan intensif.

    Kematian selama atau setelah pemberian obat anestesi pada anak dengan ISPA jarang

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    14/20

    11

    dilaporkan. Namun, gangguan jalan napas bertanggung jawab untuk hampir 30% dari

    semua kematian anestesi pediatrik dalam data henti jantung perioperatif pediatrik.

    Peristiwa yang paling umum terjadi adalah laringospasme, obstruksi jalan napas,

    oksigenasi yang tidak memadai, ekstubasi yang kurang hati-hati, intubasi sulit dan

     bronkospasme.15-16

    Anak dengan ISPA bawah dengan disertai adanyasekret mukopurulen, batuk 

     produktif, demam lebih dari 38   oC, letargis atau dicurigai adanya suatu keterlibatan paru

    harus menunda operasi minimal 4 minggu tetapi bagaimanapun pertimbangan keuntungan

    dan kerugian operasi harus tetap dipertimbangkan. Pada hal ini pertimbangan penundaan

    operasi termasuk gejala klinis yang terjadi, kondisi komorbid, jenis operasi yang akan

    dilakukan dan frekuensi ISPA setiap tahunnya.Pada anak dengan terjadinya ISPA bawah

    lebih dari 6 kali per tahun, sangat sulit menentukan kapan waktu operasi yang tepat.11

    Asma

    Asma merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi dan dapat membahayakan pasien

    yang menjalani anestesi umum. Insidensi penyakit jalan napas reaktif meningkat tajam

    dalam populasi pediatrik umum dan sekarang sekitar 25% dari populasi bedah pediatrik.

    Banyak prosedur yang dilakukan secara rutin selama anestesi, terutama laringoskopi dan

    intubasi, yang dapat menyebabkan bronkospasme pada anak asma. Bronkospasme

    intraoperatif dapat membahayakan. Ventilasi sulit, jika bukan tidak mungkin, dan dapat

    menyebabkan hiperkapnia, asidosis, hipoksia, kolaps kardiovaskular dan kematian.17-20

    Secara umum, terapi medis asma perioperatif harus ditingkatkan bahkan pada pasien

    asimtomatik atau pasien dengan asma terkontrol baik untuk membatasi atau mencegah

     bronkospasme intraoperatif. Kortikosteroid jangka pendek sangat efektif dalam mencegah

    mengi perioperatif, bahkan pada pasien asma berat. Anak dengan terapi asma harus sudah

    mulai menggunakan beta-agonis atau obat-obatan oral 3 sampai 5 hari perioperatif. Pada

    anak yang menggunakan obat jangka panjang (oral atau inhalasi) harus diberikan steroid

    dalam dosis untuk eksaserbasi akut. Anak dengan asma yang sedang meminum

     bronkodilator dan steroid secara teratur membutuhkan intensifikasi frekuensi nebuliser,

     penambahan bronkodilator, peningkatan steroid, atau kadang-kadang diperlukan semua

    tindakan-tindakan di atas. Terapi tidak boleh dihentikan sebelum operasi.17-20

    Terapi teofilin untuk penyakit saluran napas reaktif kurang begitu umum dilakukan.

    Anak dengan pengobatan teofilin harus menjalani pemeriksaan kadar obat tersebut di

    dalam darah untuk memastikan kadar terapetiknya dan menghindari efek toksik seperti

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    15/20

    12

    aritmia. Walaupun puasa, semua obat yang diberikan harus diminum dengan 1-2 sendok 

    air pagi hari sebelum operasi.17-20

    Hemofilia

    Pengobatan suportif untuk penderita hemofilia adalah transfusi faktor VIII atau

    kryopresipitat. Kryopresipitat yang diperlukan adalah 0,5xkgBBxkadar yang diinginkan

    (%). Satu kantung kryopresipitat mengandung 100-150 unit faktor VIII. Pemberian

    kryopresipitat tergantung dari keadaan klinis pasien. Hemarthrosis ringan atau hematoma

    membutuhkan faktor VIII 15-20%, hemarthrosis berat atau dengan hematom luas

    membutuhkan faktor VIII 20-40%, pasien dengan operasi berat membutuhkan faktor VIII

    80-100%.  21

    Lama pemberian termasuk derajat beratnya perdarahan, misalnya untuk lamanya

     pencabutan gigi dan epistaksis 2-5 hari, untuk operasi atau luka laserasi luas 7-14 hari.

    Bila tidak tersedia kryopresipitat dapat diberikan plasma segar 10-15 ml/kgBB dan bila

    terjadi perdarahan massif dapat diberikan darah segar 10-20 ml/kgBB disusul oleh

     pemberian kryopresipitat. Bila terjadi hemarthrosis berat harus dilakukan sinovektomi

    untuk mencegah terjadinya kontraktur akibat fibrosis. Bila tersedia preparat faktor VIII

    komersial (Koate) dapat diberikan dengan dosis 25 ml/kgBB.21

    Terdapat prosedural pemberian kryopresipitat sebelum dilakukannya operasi bedah

    minor yaitu diberikan dosis kryopresipitat 50 mg/kgbb, kadar plasma dipertahankan diatas

    60% selama 4 hari dan kadar plasma dipertahankan 20% pada 4 hari sebelumnya

    sedangkan kebijakan pada bedah mayor hampir sama tetapi kadar dalam plasma yang

    harus dipertahankan pada 4 hari berikutnya adalah 40%.   21

    Pada prosedur orthopaedi dosis yang diberikan sampai kadar dalam plasma

    mencapai 100% 1 jam sebelum prosedur dilakukan (50 unit/kgBB). Kadar plasma

    dipertahankan diatas 80% selama 4 hari (40 unit/kgBB 2 kali sehari). Bila penderita digips

     pengobatan dihentikan tetapi bila tidak di gips kadar plasma dipertahankan 20% selama

    ambulasi. Selama rehabilitasi kadar plasma dipertahankan diatas 10% selama 3 minggu.

    Pada prosedur gigi diberikan faktor pembekuan sampai kadar dalam plasma mencapai

    100% 1 jam sebelum prosedur.21

    Tuberkulosis

    Terapi tuberkulosis sebelum operasi yang umumnya dilakukan selama 2 minggu bertujuan

    supaya efek bakteriostatik dan bakterisidal yang dimiliki oleh obat-obat antituberkulosis

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    16/20

    13

    dapat mulai terlihat dalam waktu 2 minggu. Diharapkan setelah pemakaian 2 minggu maka

     bakteri M. tuberkulosis dapat menjadi   dormant   dalam tubuh. Tuberkulosis paru yang

    disertai dengan komplikasi post operasi seperti sepsis akan mengakibatkan bakteri

    tuberkulosis berkembang dengan cepat menjadi tuberkulosis berat seperti tuberkulosis

    milier.

    Penyakit Jantung

    Semua obat anestesi dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Aktifitas  SA node, sistem

    konduksi dan kontraktilitas miokard dapat ditekan dengan anestesi umum. Selain itu, obat

    ini mengubah baik  preload  maupun  afterload  dengan merelaksasikan otot polos vaskular.

    Anestesi umum juga menyebabkan hipoksia paru akibat vasokonstriksi sehingga merusak 

    keseimbangan ventilasi dan perfusi. Kombinasi vasodilatasi dan gangguan kontraktilitas

    miokard sering menyebabkan hipotensi, terutama pada anak yang relatif hipovolemia

     berkepanjangan karena kehilangan cairan secara cepat atau berlebihan (diare, muntah,

     pendarahan). Adanya penyakit jantung akan meningkatkan resiko anestesi sehingga

    evaluasi preanestesi jantung harus mampu mengidentifikasi apakah terdapat disfungsi

     jantung, penyakit jantung struktural, atau hipertensi dan apakah profilaksis endokarditis

    subakut bakteri (SBE) diperlukan.22

    Dibawah ini terdapat beberapa tabel yang merupakan terapi profilaksis antibiotika

    sebelum dilakukannya operasi.  23

    Tabel 1. Pemberian Antibiotika pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna

    Keadaan Obat Dosis

    Risiko tinggi Ampisilin+Gentamisin 50 mg/kgbb i.v/i.m. (maks.2 g)

    1,5 mg/kgbb i.v/i.m (maks 120 mg),30 menit

    sebelum prosedur, 6 jam kemudianAmpisilin 25 mg/kgbb i.v./i.m.

    Atau Amoksisilin 25 mg/kg p.o.

    Risiko tinggi alergi

    amoksisilin/ampisilin

    Vankomisin+Gentamisin 20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam

    1,5 mg/kgbb i.v./i.m

    Diberikan 30 menit sebelum prosedur 

    Risiko sedang Amiksisilin/Ampisilin 50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum prosedur 

    50 mg/kgbb i.v/i.m.

    Diberikan 30 menit sebelum prosdur 

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    17/20

    14

    Risiko sedang yang

    alergi

    amoksisilin/ampisilin

    Vankomisin 20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam

    Diberikan 30 menit sebelum prosedur 

    Tabel 2. Pemberian Antibiotika pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Nafas Atas atau

    Prosedur Esofagus

    Keadaan Obat Dosis

    Profilaksis standar Amoksisilin 50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum

    tindakan

    Tidak dapat minum

    obat

    Ampisilin 50 mg/kgbb i.v/i.m 30 menit

    sebelum tindakan

    Alergi penisilin Klindamisin atau

    Sefaleksin/Sefadroksil atauAzitromisin/Klaritromisin

    20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam

    50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelumtindakan

    15 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum

    tindakan

    Alergi penisilin dan

    tidak dapat minum

    obat

    Klindamisin dan Sefazolin 25 mg/kgbb i.v./i.m 30 menit

    sebelum tindakan

    VII.KesimpulanEvaluasi dan persiapan perioperatif bertujuan meminimalkan resiko anestesi dan

     pembedahan dengan mempersiapkan anak dalam kondisi sesehat mungkin sebelum

    operasi.Anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam hal anatomi dan fisiologi.

    Tahapan yang perlu dilakukan sebelum operasi yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis dan

     pemeriksaan penunjang. Pengetahuan ini memungkinkan seorang anak dipersiapkan

    seoptimal mungkin dalam menghadapi pembedahan dan meminimalkan tingkat morbiditas

    dan mortalitas serendah mungkin. Hubungan yang baik antara dokter, anak dan orang tua

    anak mempermudah usaha tenaga medis dalam memberikan persiapan perioperatif yang

    maksimal bagi seorang anak.

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    18/20

    15

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    19/20

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hughes JM. Parents' experiences of caring for their child following day case surgery:

    a diary study. J Child Health Care. 2004;8:47-58.

    2. Chen LE, Minkes RK. Evaluation of the Pediatric Surgical Patient.

    http//emedicine.medscape.com/article/936148-print. Diakses tgl 9 Februari 2010

    3. Gutsche JT, Duetschman CS. Anesthesia for Children. Dalam: Longnecker DE,

    Brown DL, Newman MF, Zapol WM, penyunting. Anesthesiology. Edisi ke-1. USA:

    McGraw-Hill; 2008:1521-40.

    4. Cravero JP, Kain ZN. Pediatric AnesthesiaA. Dalam: Barash PG, Cullen BF,

    Stoelting RK, penyunting. Clinical Anesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott

    Williams & Wilkins; 2006:1205-18.

    5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. USA:

    McGraw-Hill. 2006:922-50.

    6. Sastroasmoro S, Sampurno SI. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dalam:

    Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting.Kardiologi Anak.1994. Jakarta: Ikatan

    Dokter Anak Indonesia.h. 24

    7. O'Connor ME, Drasner K. Preoperative laboratory testing of children undergoing

    elective surgery. Anesth Analg. 1990;70:176-180.

    8. Hackmann T, Steward DJ, Sheps SB. Anemia in pediatric day-surgery patients:

     prevalence and detection. Anesthesiology. 1991;75:27-31

    9. Mackenzie CF. Transfusion of red cells and blood components in stressed, trauma

    and critical care patients.Dalam: Hahn RG, Prough DS, Svensen CH, penyunting.

    Perioperative fluid therapy. 2007. Newyork: Informa healthcare.h.303-14.

    10. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2.

     Newyork:Churchill Livingstone. h. 159-63

    11. Salvo I, Camporesi A. Preoperative Evaluation. Dalam: Gullo A, Astuto M, Salvo I,

     penyunting. Anesthesia, Intensive Care and Pain in Neonates and Children.2009.

    Milan: Springer-Verlag.h. 80-6.

    12. Litman RS. The difficult pediatric airway. Dalam: Litman RS,penyunting. Pediatric

    Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby;

    2004.

    13. Coté CJ: NPO after midnight for children – a reappraisal. Anesthesiology.

    1990;72:589-592.

  • 8/21/2019 Pustaka Unpad Persiapan-Perioperatif

    20/20

    14. Warner MA, Caplan RA, Epstein BS. Practice guidelines for preoperative fasting and

    the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration:

    application to healthy patients undergoing elective procedures: a report by the

    American Society of Anesthesiologists Task Force on Preoperative Fasting.

    Anesthesiology. 1999;90:896-905.

    15. Tait AR, Malviya S. Anesthesia for the child with an upper respiratory tract

    infection: still a dilemma? Anesth Analg. 2005;100(1):59-65.

    16. Tait AR, Malviya S, Voepel-Lewis T. Risk factors for perioperative adverse

    respiratory events in children with upper respiratory tract infections. Anesthesiology.

    2001;95:299-306.

    17. Malviya S, Voepel-Lewis T, Siewert M. Risk factors for adverse postoperative

    outcomes in children presenting for cardiac surgery with upper respiratory tract

    infections. Anesthesiology. 2003;98:628-32.

    18. Coté CJ. The upper respiratory tract infection dilemma: fear of a complication or 

    litigation. Anesthesiology. 2001;95:283-5.

    19. Toelle BG, Ng K, Belousova E. Prevalence of asthma and allergy in schoolchildren

    in Belmont, Australia: three cross sectional surveys over 20 years. BMJ.

    2004;328:386-7.

    20. Doherty GM, Chisakuta A, Crean P. Anesthesia and the child with asthma. Pediatr 

    Anesth. 2005;15: 446-54.

    21. Hemofilia. Pedoman terapi hematologi. Bandung: Ilmu Kesehatan Anak FKUP

    Banduing.h.3

    22. Wilson W, Taubert KA, Gewitz M. Prevention of infective endocarditis. Guidelines

    from the American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki

    Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the

    Council on Clinical Cardiology, Council on Cardiovascular Surgery and Anesthesia,

    and Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary Working Group.

    Circulation. 2007;116:1736-54.

    23. Madiono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung pada bayi

    dan anak. Jakarta:FKUI.2005. h.51