162
PUTUSAN Nomor 45/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas yang diwakili oleh: Nama : Ir. H. Muhammad Mawardi, MM. Tempat/tanggal lahir : Amuntai, 5 Juni 1962 Pekerjaan : Bupati Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah Alamat : Jalan Pemuda KM. 5,5 Kuala Kapuas disebut sebagai-----------------------------------------------------------Pemohon I; 2. Nama : Drs. Hambit Bintih, MM. Tempat/tanggal lahir : Kapuas, 12 Februari 1958 Pekerjaan : Bupati Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah Alamat : Jalan Cilik Riwut KM 3, RT 011, RW. 003, Desa Kuala Kurun, Kecamatan Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas disebut sebagai-----------------------------------------------------------Pemohon II; 3. Nama : Drs. Duwel Rawing Tempat/tanggal lahir : Tumbang Tarusan, 25 Juli 1950 Pekerjaan : Bupati Katingan, Provinsi Kalimantan

PUTUSAN Nomor 45/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN … MK Nomor 45PUU... · Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), dan Pasal 28D ayat

Embed Size (px)

Citation preview

PUTUSAN

Nomor 45/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas yang diwakili oleh:

Nama : Ir. H. Muhammad Mawardi, MM.

Tempat/tanggal lahir : Amuntai, 5 Juni 1962

Pekerjaan : Bupati Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah

Alamat : Jalan Pemuda KM. 5,5 Kuala Kapuas

disebut sebagai-----------------------------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Drs. Hambit Bintih, MM.

Tempat/tanggal lahir : Kapuas, 12 Februari 1958

Pekerjaan : Bupati Gunung Mas, Provinsi Kalimantan

Tengah

Alamat : Jalan Cilik Riwut KM 3, RT 011, RW. 003,

Desa Kuala Kurun, Kecamatan Kuala Kurun,

Kabupaten Gunung Mas

disebut sebagai-----------------------------------------------------------Pemohon II;

3. Nama : Drs. Duwel Rawing

Tempat/tanggal lahir : Tumbang Tarusan, 25 Juli 1950

Pekerjaan : Bupati Katingan, Provinsi Kalimantan

2

Tengah

Alamat : Jalan Katunen RT. 008, RW. 002, Desa

Kasongan Baru, Kecamatan Katingan

Hilir, Kabupaten Katingan

disebut sebagai----------------------------------------------------------Pemohon III;

4. Nama : Drs. H. Zain Alkim

Tempat/tanggal lahir : Tampa, 11 Juli 1947

Pekerjaan : Bupati Barito Timur, Provinsi Kalimantan

Tengah

Alamat : Jalan Ahmad Yani, Nomor 97, RT. 006,

RW. 001, Desa Mayabu, Kecamatan

Dusun Timur, Kabupaten Barito Timur.

disebut sebagai----------------------------------------------------------Pemohon IV;

5. Nama : H. Ahmad Dirman

Tempat/tanggal lahir : Sukamara, 20 Oktober 1960

Pekerjaan : Bupati Sukamara, Provinsi Kalimantan

Tengah

Alamat : Jalan M. Shaleh RT. 005, RW 002, Desa

Padang, Kecamatan Sukamara, Kabupaten

Sukamara

disebut sebagai----------------------------------------------------------Pemohon V;

6. Nama : Drs. Akhmad Taufik, M.Pd.

Tempat/tanggal lahir : Tanjung Karang, 19 Februari 1962

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan G. Obos IX/Perum Charita Permai,

Nomor 25, RT. 003, RW. 006, Kelurahan

Menteng, Kecamatan Jekan Raya Palangka

Raya;

disebut sebagai----------------------------------------------------------Pemohon VI;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 23 Mei 2011 dan tanggal 30 Mei 2011 memberi kuasa kepada M.E. Manurung, S.H., Teddy Turangga, S.H., LL.M., Dr.

3

Agus Surono, S.H., M.H., Rio Riyadi, S.H., dan Imron Halimi, S.H., para advokat yang tergabung pada Kantor Advokat Triple M Law Firm, yang beralamat di Jalan Swadarma Utara II, Nomor 1, Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;

Mendengar keterangan dari para Pemohon;

Mendengar keterangan para ahli dan saksi dari para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;

Mendengar keterangan ahli dari Pemerintah;

Membaca keterangan tertulis Pihak Terkait;

Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon, Pemerintah, dan Pihak

Terkait;

Membaca kesimpulan dari para Pemohon dan Pemerintah

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan

bertanggal 14 Juli 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 Juli 2011

berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 255/PAN.MK/2011 dan

terdaftar pada tanggal 22 Juli 2011 dengan registrasi Perkara Nomor 45/PUU-

IX/2011, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada

tanggal 22 Agustus 2011, menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”), di mana salah satu kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

4

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar,...”

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Selanjutnya disebut “UU MK”), menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

3. Bahwa menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, secara hierarkis kedudukan

UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap

ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945;

4. Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, para

Pemohon mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi (selanjutnya

disebut “Mahkamah”) melakukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009

tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU

Kehutanan”);

5. Bahwa oleh karena objek permohonan para Pemohon adalah Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan, maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas,

Mahkamah berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan

pengujian UU Kehutanan.

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dan Kerugian Konstitusional Para Pemohon

2.1. Kedudukan Pemohon I Selaku Pemerintah Daerah 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa: “Pemohon

adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

5

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,

yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang

diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

2. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK, lembaga

negara dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-

Undang terhadap UUD 1945;

3. Bahwa eksistensi Pemohon I selaku Pemerintah Daerah dalam

permohonan ini didasarkan kepada Undang-Undang Darurat

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan

(Resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat

Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Provinsi

Kalimantan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959

tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun

1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di

Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9) sebagai

Undang-Undang;

4. Bahwa Pemohon I bertindak dalam kedudukannya sebagai Bupati

Kapuas sesuai Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

131.62-170 Tahun 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan

Pengesahan Pengangkatan Bupati Kapuas Provinsi Kalimantan

Tengah tertanggal 10 Maret 2008;

5. Bahwa di samping itu, dalam mengajukan permohonan ini,

Pemohon I juga mendapat Surat Kuasa Khusus Nomor

6

183.1/35/DPRD.2011 dan Surat Tugas Nomor

183.1/34/DPRD.2011 dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Kapuas tanggal 13 Mei 2011;

6. Bahwa Pemohon I selaku Bupati Kabupaten Kapuas, menurut

Pasal 25 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut “UU Pemerintahan

Daerah”) menyatakan: “Kepala daerah mempunyai tugas dan

wewenang mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan

dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”;

7. Bahwa dengan demikian maka Pemohon I mempunyai kapasitas

sebagai lembaga negara untuk bertindak selaku Pemohon dalam

permohonan ini.

2.2. Kedudukan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI Selaku Perorangan

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, perorangan

warga negara Indonesia dapat mengajukan permohonan

Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945;

2. Bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan

Pemohon VI adalah perorangan warga negara Indonesia yang

dibuktikan identitas yang hak-hak konstitusionalnya telah

dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

3. Bahwa dengan demikian maka Pemohon II, Pemohon III,

Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI mempunyai kapasitas

sebagai perorangan untuk bertindak sebagai Pemohon dalam

permohonan ini;

2.3. Kerugian Konstitusional Pemohon I Selaku Pemerintah Daerah

1. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan

Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor

11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan

selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak

dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud

Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

7

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon

yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh

Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang

menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara

kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya

permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang

didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

2. Bahwa Pemohon I selaku Pemerintah Daerah mempunyai hak

dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18

ayat (6), Pasal 18A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Pasal 1 ayat (3)

“Negara Indonesia adalah negara hukum”

Pasal 18 ayat (2)

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan”

Pasal 18 ayat (5)

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”

Pasal 18 ayat (6)

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”

8

Pasal 18A ayat (2)

“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan

selaras berdasarkan undang-undang”

Pasal 28D ayat (1)

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”

3. Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c UU

Pemerintahan Daerah menyatakan “Kepala Daerah mempunyai

kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan memelihara

ketenteraman dan ketertiban masyarakat” dan juga Pasal 25

huruf f UU Pemerintahan Daerah menyatakan “Kepala daerah

mempunyai tugas dan wewenang berwenang untuk mewakili

daerahnya di dalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk

Kuasa Hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”; dan oleh karena itu Pemohon I dengan ini

mendalilkan adanya hak konstitusional masyarakat yang tinggal di

Kabupaten Kapuas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3),

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan

Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;

Pasal 28 G ayat (1)

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan

dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang merupakan hak asasi”

Pasal 28 H ayat (1)

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

9

Pasal 28H ayat (4)

“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik

tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh

siapa pun”

4. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I

maupun masyarakat Kabupaten Kapuas telah dirugikan dengan

adanya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang

menyatakan”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang

ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, terutama

yang menyangkut frasa “ditunjuk dan atau”;

5. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I

maupun masyarakat Kabupaten Kapuas dirugikan akibat adanya

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dilatarbelakangi dan diuraikan

sebagai berikut:

a. Bahwa Kabupaten Kapuas berdiri sejak tahun 1950

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

C.17/15/3 tanggal 29 Juni 1950 dan menjadi daerah otonom

sejak tahun 1953 dengan diundangkannya Undang-Undang

Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan (Resmi)

Daerah Otonomi Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat

Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Provinsi

Kalimantan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-

Undang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27

Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat

Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan

Daerah Tingkat II di Kalimantan sebagai Undang-Undang;

b. Bahwa sejak tahun 2002 Kabupaten Kapuas dimekarkan

menjadi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas (selaku

Kabupaten Induk), Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten

Gunung Mas (Kabupaten hasil pemekaran) yang dibentuk

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang

Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan,

Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten

10

Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung

Raya dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan

Tengah;

c. Bahwa secara geografis Kabupaten Kapuas terletak pada 00 8’

48” - 30 27’ 00” Lintang Selatan dan 1130 2’ 36” - 1140 44’ 00’’

Bujur Timur yang meliputi luas wilayah 1.499.900 ha atau

setara dengan 9,77 % luas wilayah Provinsi Kalimantan

Tengah;

d. Bahwa batas-batas wilayah Kabupaten Kapuas adalah

sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas,

Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Utara;

Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan

Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan; Sebelah

Barat berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau; dan

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Barito Selatan

Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Kuala

Provinsi Kalimantan Selatan;

e. Bahwa Kabupaten Kapuas terdiri dari 17 kecamatan dan

berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang

dilakukan Badan Pusat Statistik jumlah penduduknya adalah

329.440 jiwa dengan klasifikasi 167.937 laki-laki dan 161.503

perempuan dengan tingkat kepadatan penduduk 21,96

jiwa/km2;

f. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun

1953 juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959,

Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas diberikan wewenang

sebagai berikut:

Pasal 5

Daerah dengan mengingat peraturan-peraturan yang

bersangkutan menyelenggarakan segala sesuatu yang perlu

untuk menjalankan tugas, wewenang, hak dan kewajibannya,

antara lain:

a. menyusun dan menyelenggarakan Sekretariat Daerah serta

pembagiannya menurut yang diperlukan;

11

b. menyelenggarakan segala sesuatu yang berhubungan

dengan urusan kepegawaian, perbendaharaan,

pemeliharaan harta dan miliknya serta lain-lain hal untuk

melancarkan jalannya pekerjaan-pekerjaan Pemerintah

Daerah.

Pasal 6

(1) Daerah mendirikan dan menyelenggarakan rumah-sakit

umum dan balai pengobatan umum untuk kepentingan

kesehatan dalam wilayah daerahnya.

(2) Rumah-sakit umum dan balai pengobatan umum yang

dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk pengobatan

dan perawatan orang-orang sakit terutama yang kurang

mampu dan yang tidak mampu.

(3) Jika dipandang perlu Daerah dapat mendirikan dan

menyelenggarakan rumah sakit dan balai pengobatan

khusus.

Pasal 16

(1) Daerah: a.membuat, memperbaiki, memelihara dan

menguasai jalan-jalan umum dalam daerahnya beserta

bangunan-bangunan turutannya, dan segala sesuatu yang

perlu untuk keselamatan lalu lintas di atas jalan-jalan

tersebut; b.membuat, memperbaiki, memelihara dan

menguasai bangunan bangunan penyehatan, seperti

pembuluh-air-minum, pembuluh pembilas dan lain-lain

sebagainya, kecuali apabila Daerah Tingkat I yang

bersangkutan menjalankan tugas wewenang, hak, dan

kewajiban yang dimaksud itu menurut ketentuan-ketentuan

dalam Pasal 16 ayat (1) sub b juncto Pasal 9 sub b

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956 juncto Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1958; c.membuat, membeli,

menyewa, memperbaiki, memelihara dan menguasai

gedung-gedung untuk keperluan urusan yang termasuk

rumah-tangga Daerah; d.mengatur dan mengawasi

12

pembangunan, pembongkaran, perbaikan dan/atau

perluasan rumah, gedung, bangunan dan lain- lain

sebagainya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan

oleh Daerah; e.mengurus dan mengatur hal-hal lain

sebagai berikut: 1.lapangan-lapangan dan taman-taman

umum; 2.tempat-tempat pemandian umum; 3. tempat

pekuburan umum; 4.pasar-pasar dan los-los pasar; 5.

pasanggrahan-pasanggrahan; 6.penyeberangan-

penyeberangan; 7. pencegahan bahaya kebakaran;

8.penerangan jalan; 9.lain-lain pekerjaan untuk umum yang

bersifat setempat.

(2) Jalan-jalan umum yang ada dalam wilayah Daerah yang

menurut ayat (1) sub a dikuasai oleh Daerah itu, pada

waktunya ditetapkan oleh Dewan Pemerintah Daerah

Tingkat I yang bersangkutan dan diumumkan dalam

lembaran Daerah Tingkat I dimaksud.

Pasal 47

(1) Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak

bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh

Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga

dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam

Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada

Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan

hak pakai, kecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain

sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.

(2) Barang inventaris dan barang bergerak lainnya, yang

dibutuhkan untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga

dan kewajiban Daerah diserahkan kepada Daerah tersebut

dalam hak- milik.

(3) Segala hutang-piutang yang bersangkutan dengan urusan

rumah tangga yang diserahkan kepada Daerah pada waktu

penyerahan menjadi tanggungan Daerah tersebut, dengan

ketentuan bahwa penyelesaian soal-soal yang timbul

mengenai hal itu dapat diminta pada Pemerintah Pusat.

13

(4) Untuk penyelenggarakan urusan-urusan dan kewajiban-

kewajiban Daerah termaksud dalam Undang-undang ini

Kementerian atau Pemerintah Daerah Tingkat I yang

bersangkutan menyerahkan kepada Daerah tersebut, uang

sejumlah yang ditetapkan dalam ketetapan Menteri atau

Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan, sekedar

perbelanjaan urusan yang dimaksud sebelum

diselenggarakan oleh Daerah tersebut, termasuk dalam

anggaran belanja Kementerian atau Pemerintah Daerah

Tingkat I yang bersangkutan, dengan mengingat

peraturan-peraturan yang berlaku mengenai perimbangan

keuangan antara Negara dan Daerah-daerah dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 dan

ketentuan-ketentuan pelaksanaannya.

g. Bahwa sejak berdiri pada tahun 1950, di Kabupaten Kapuas

sudah dibangun pusat pemerintahan, perkantoran,

perkampungan, rumah-rumah penduduk, tempat ibadah,

rumah sakit maupun objek-objek vital lainnya;

h. Bahwa pada tanggal 12 Oktober 1982 telah dikeluarkan

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982

tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah

Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 hektar

(selanjutnya disebut sebagai ”Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982”) yang di dalamnya menunjuk wilayah hutan di

Kabupaten Kapuas;

i. Bahwa berdasarkan Peta Lampiran Kepmentan Nomor 759

Tahun 1982, seluruh wilayah Kabupaten Kapuas merupakan

kawasan hutan dengan komposisi sebagai berikut:

No. Fungsi Kawasan Luas (ha)

1. Hutan Lindung (HL) 5.395

2. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 823.904

3. Hutan Produksi (HP) 499.684

4. Hutan Produksi yang dapat di

Konversi (HPK)

170.917

14

Total 1.499.900

j. Bahwa di dalam Diktum kedua Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982 menyatakan bahwa ”Batas sementara kawasan hutan

tersebut pada amar Pertama terlukis dalam peta pada

Lampiran Surat ini, sedangkan batas tetap akan ditetapkan

setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di

lapangan”;

k. Bahwa Diktum Ketiga Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982

menyatakan “Memerintahkan kepada Direktur Jenderal

Kehutanan untuk melaksanakan pengukuran dan penataan

batas Kawasan Hutan tersebut di lapangan”;

l. Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan

Pemeriksaan Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008

terhadap Manajemen Kehutanan yang dilakukan Departemen

Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) di Provinsi

Kalimantan Tengah menyatakan bahwa penetapan kawasan

hutan di Provinsi Kalimantan Tengah baru dilakukan pada 2

kelompok hutan dari 75 kelompok hutan yang tercatat yaitu

seluas 6.215,10 ha atau 0,06% dari kawasan hutan tetap;

m. Bahwa pada tanggal 30 September 1999 telah diundangkan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

yang dimasukkan dalam Lembaran Negara Tahun 1999

Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888;

n. Bahwa di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan

”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan

atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap”;

o. Bahwa definisi Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan berbeda dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan di mana dalam Pasal 1 angka 4 "Kawasan

Hutan" ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri

ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap;

15

p. Bahwa dengan adanya frasa ”ditunjuk dan atau ditetapkan”

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan, maka penunjukan kawasan hutan telah ditafsirkan

secara keliru oleh Pemerintah Pusat yang menganggap

mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan penetapan

kawasan hutan serta mempunyai kekuatan hukum yang pasti,

Quod Non, padahal menurut Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan

menyatakan “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai

berikut:

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,

c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan”

dan ayat (2) menyatakan ”Pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

memperhatikan rencana tata ruang wilayah”

q. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kawasan hutan baru

mempunyai kepastian hukum ketika sudah melalui proses

pengukuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU

Kehutanan;

r. Bahwa beberapa Keputusan dan Peraturan yang menyatakan

bahwa penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan

yaitu: Surat Menteri Kehutanan Nomor S.426/Menhut-VII/2006

tanggal 12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri Kehutanan

tentang Status Kawasan Hutan yang Ditujukan kepada Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tembusan

Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Jaksa

Agung RI dan Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan

dengan penggalan sebagai berikut:

“5. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 dijelaskan bahwa Kawasan hutan adalah wilayah

16

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

6. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

meskipun suatu kawasan hutan belum ditata batas dan

ditetapkan oleh pemerintah, statusnya adalah kawasan

hutan.

9. Menyikapi hal tersebut pada butir 6 di atas, dengan ini kami

sampaikan bahwa:

a. Wilayah-wilayah tertentu yang telah ditunjuk oleh

Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan dan

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap

adalah secara legal sudah merupakan kawasan hutan.

b. Meskipun kawasan tersebut belum ditata batas, namun

pemanfaatan dan penggunaan di atas kawasan

tersebut sudah mempunyai akibat hukum yang terikat

dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, kiranya dari

jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai

pemahaman yang sama terhadap status kawasan hutan

sehingga pelanggaran-pelanggaran di bidang kehutanan

dapat dijerat dengan ketentuan-ketentuan yang ada

meskipun statusnya baru dalam tahap penunjukan”

s. Bahwa penafsiran Kementeriaan Kehutanan yang menyatakan

penunjukan kawasan hutan mempunyai kekuatan hukum juga

dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi

Kawasan Hutan:

Pasal 2

(1) Kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila:

a. telah ditunjuk dengan keputusan Menteri; atau

b. telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas; atau

c. Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan

oleh Menteri; atau

17

d. Kawasan Hutan telah ditetapkan dengan Keputusan

Menteri.

(2) Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan keputusan

Menteri, atau suatu areal telah di tata batas oleh Panitia

Tata Batas, atau berita acara tata batas telah disahkan

oleh Menteri Kehutanan, atau tata batas telah ditetapkan

oleh Menteri, atau kawasan hutan telah ditetapkan dengan

keputusan Menteri, maka yang digunakan sebagai acuan

kawasan hutan adalah status yang terakhir.

t. Bahwa dilihat dari tahapan pengukuhan kawasan hutan, maka

penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan

pengukuhan kawasan hutan [Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU

Kehutanan], sedangkan Penetapan adalah kegiatan tahap

akhir pengukuhan kawasan hutan di mana sudah terdapat

kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu

kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap;

u. Bahwa karena di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

terdapat frasa ”ditunjuk dan atau”, maka Pihak Pemerintah

(dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan penegak hukum)

diberikan peluang untuk mengartikan penunjukan sama

dengan penetapan kawasan hutan, padahal berdasarkan

Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan penunjukan dan

penetapan adalah hal yang berbeda;

v. Bahwa karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka

dalam suatu undang-undang harus terdapat konsistensi dan

koherensi antara pasal yang satu dan pasal yang lain. Oleh

karena itu, ketidak-konsistenan antara Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan

telah melanggar prinsip negara hukum sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

w. Bahwa pada tanggal 10 Juli 2003, Menteri Kehutanan yang

pada saat itu Muhammad Prakosa mengeluarkan Surat

Edaran Nomor 404/Menhut-II/03 yang berisi bahwa “Bagi

setiap provinsi yang belum ada Keputusan Menteri Kehutanan

18

tentang penunjukan kembali atas kawasan hutan yang

didasarkan pada hasil pemaduserasian antara Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi

tersebut mengacu dan berpedoman pada Keputusan Menteri

Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)”;

x. Bahwa karena Provinsi Kalimantan Tengah belum mempunyai

Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali

atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil

pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan

(TGHK), maka kawasan hutan mengacu pada Keputusan

Menteri Pertanian, yaitu Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982;

y. Bahwa karena Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan memberikan

peluang kepada Pihak Kementerian Kehutanan untuk

memberikan tafsir penunjukan mempunyai status hukum yang

sama dengan penetapan kawasan hutan, maka dalam setiap

kebijakannya, Pemerintah (dalam hal ini Kementerian

Kehutanan) selalu menyatakan bahwa penunjukan kawasan

hutan mempunyai status hukum yang sama dengan

penetapan kawasan hutan sehingga Keputusan Menteri

Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan digunakan

acuan dalam penegakan hukum kehutanan;

z. Bahwa dengan adanya peluang yang diberikan Pasal 1 angka

3 UU Kehutanan untuk mentafsirkan penunjukan sama

dengan penetapan kawasan hutan yang mengakibatkan

secara legal seluruh wilayah Kabupaten Kapuas merupakan

kawasan hutan, maka berakibat bangunan-bangunan,

gedung-gedung pemerintah, jalan-jalan, fasilitas umum, rumah

sakit, gedung sekolah maupun fasilitas masuk dalam kawasan

hutan;

aa. Bahwa karena berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan,

penunjukan dapat diartikan telah berkekuatan hukum dan

seluruh wilayah Kabupaten Kapuas dimasukkan ke dalam

19

kawasan hutan, maka Pemohon I tidak bisa melaksanakan

kewenangannya untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya

dalam memberikan perijinan usaha yang baru dan

perpanjangan izin yang lama terkait dengan izin usaha

perkebunan, pertambangan, peternakan dan lain sebagainya

kepada pihak lain;

bb. Bahwa disamping itu, dalam memberikan ijin usaha untuk

menjalankan otonomi seluas-luasnya, Pemohon I juga

mendapatkan ancaman dikriminalisasi oleh aparat penegak

hukum dan Kementerian Kehutanan karena dianggap

memberikan ijin baru maupun izin perpanjangan karena

dianggap masuk kawasan hutan;

cc. Bahwa berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982,

wilayah Kabupaten Kapuas seluruhnya masuk kawasan hutan,

sehingga dalam menjalankan aktivitas dan kewenangannya

serta dalam mengatur daerahnya, Pemohon I harus meminta

ijin terlebih dahulu kepada Menteri Kehutanan;

dd. Bahwa Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyatakan ”Pemerintah

daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan Pemerintah Pusat”. Sedangkan Pasal 18 ayat (6)

menyatakan “Pemerintahan daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”;

ee. Bahwa dengan adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, maka

Pemohon I tidak bisa menjalankan otonomi seluas-luasnya

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan

juga tidak bisa mengatur daerahnya dengan menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain sebagaimana

dilindungi dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, karena seluruh

wilayah Pemohon I dianggap sebagai kawasan hutan hanya

berdasarkan penunjukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan, bukan berdasarkan pengukuhan

sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan;

20

ff. Bahwa selain itu, aset-aset daerah yang telah ada sejak

berdirinya Kabupaten Kapuas berpotensi hilang karena

seluruh wilayah Kabupaten Kapuas (Pemohon I) dimasukan

dalam kawasan hutan;

gg. Bahwa dengan adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dan

Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982, maka rumah dan tanah

milik Rakyat Kabupaten Kapuas yang menurut Peta Lampiran

Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 berada di kawasan hutan

berpotensi diambil oleh negara untuk dijadikan kawasan

hutan. Dengan demikian, adanya Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan menyebabkan hak konstitusional Rakyat

Kabupaten Kapuas khususnya terkait dengan hak atas harta

benda yang dibawah kekuasaannya sebagaimana dilindungi

oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; hak untuk bertempat

tinggal sebagaimana dilindungi Pasal 28H ayat (1); dan hak

milik sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28H ayat (4) UUD

1945, dirugikan dan/atau berpotensi hilang;

hh. Bahwa karena berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982, seluruh wilayah Kabupaten Kapuas ditunjuk sebagai

kawasan hutan, maka Pemohon I beserta 329.440 penduduk

Kabupaten Kapuas dapat dipidana berdasarkan Pasal 50 ayat

(3) huruf a dan b juncto Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan:

Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b:

“Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah.

b. merambah kawasan hutan”.

Pasal 78 ayat (2):

“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf

b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”

21

Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

terutama yang menyangkut frasa “ditunjuk dan atau”

bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil

sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

karena mengakibatkan Pemohon I dan penduduk Kabupaten

Kapuas berpotensi dipidana dengan UU Kehutanan karena

seluruh wilayahnya ditunjuk sebagai kawasan hutan.

6. Bahwa dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas

maka kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah

Daerah adalah sebagai berikut:

a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan

kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin baru

maupun perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya di

bidang perkebunan, pertambangan, perumahan dan

permukiman, maupun sarana dan prasana lainnya;

b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena

kawasan yang akan dimanfaatkan dalam berbagai bidang

seperti perkebunan, pertambangan, perumahan dan

permukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya, masuk

sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan

kawasan hutan;

c. Tidak dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena

seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan jika tidak

dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki

kawasan hutan tanpa ijin atau memberikan ijin di bidang

perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman,

maupun sarana dan prasana lainnya di dalam kawasan hutan;

e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas

atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara

karena dianggap masuk kawasan hutan.

22

7. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan

Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor

11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan

selanjutnya, maka Pemohon I telah memenuhi syarat pertama

dan kedua, karena hak dan/atau kewenangan Pemohon I sebagai

lembaga negara yang dilindungi oleh UUD 1945 sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat

(5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945, serta hak konstitusional masyarakat Kabupaten

Kapuas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D

ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28H

ayat (4) UUD 1945 dilanggar dengan adanya Ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan, khususnya yang menyangkut frasa

“ditunjuk dan atau”. Pemohon I juga telah memenuhi syarat ketiga

dan keempat, sebagaimana diuraikan dalam Butir 6. Pemohon I

memenuhi syarat kelima, di mana jika frase “ditunjuk dan atau”

dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dianggap tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat atau jika kawasan hutan diartikan

sebagai wilayah tertentu telah mengalami proses pengukuhan,

baik itu penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan

oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap, maka kerugian konstitusional Pemohon tidak akan

atau tidak lagi terjadi, karena dengan adanya mekanisme

pengukuhan kawasan hutan khususnya penataan batas,

pemetaan dan penetapan, maka hak-hak pihak ketiga,

masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon I akan terlindungi;

8. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing)

Pemohon I telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

2.4. Kerugian Konstitusional Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V Selaku Perorangan

1. Bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V

merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak

konstitusional yang dijamin konstitusi untuk mendapatkan

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang

23

adil dalam naungan Negara Hukum sebagaimana dimaksud

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

2. Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon secara

pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-

masing diancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan

Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin

baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam

kawasan hutan. Ancaman pidana tersebut karena adanya Surat

Menteri Kehutanan Nomor S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April

2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan

Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi Kalimantan

Tengah;

3. Bahwa selama menjabat sebagai Bupati, Pemohon II, Pemohon

III, Pemohon IV dan Pemohon V telah menerbitkan dan/atau

memperpanjang ijin usaha perkebunan, pertambangan, ijin usaha

lainnya di wilayahnya;

4. Bahwa jika mengacu Peta Lampiran Kepmentan Nomor 759

Tahun 1982, dinyatakan bahwa seluruh wilayah Kabupaten

Gunung Mas, Kabupaten Katingan, Kabupaten Sukamara, dan

Kabupaten Barito Timur berada di kawasan hutan, maka setiap

perijinan harus mendapat ijin dari Menteri Kehutanan;

5. Bahwa dalam pemberian ijin usaha perkebunan, pertambangan,

usaha lainnya di wilayahnya, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon

IV dan Pemohon V tidak memerlukan ijin kepada Menteri

Kehutanan karena Menteri Kehutanan belum melakukan

pengukuhan kawasan hutan sampai saat ini;

6. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

S.95/Menhut-IV/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Laporan

Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Prosedural, dan Hasil

Ekspose Penanganan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak

Prosedural Untuk Kegiatan Perkebunan dan Pertambangan pada

tanggal 27 Oktober 2010 di Palangka Raya, diduga telah terjadi

adanya pelanggaran tindak pidana kehutanan atas penggunaan

kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan tanpa ijin

24

dari Menteri kehutanan. Hal ini mengakibatkan adanya ancaman

kepada Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V

yang masing-masing pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya

masing-masing karena adanya ketidakpastian dalam penentuan

kawasan oleh Kementerian Kehutanan akibat adanya tafsir yang

tidak jelas terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

7. Bahwa pada tanggal 18 April 2011, Menteri Kehutanan

menerbitkan Surat Nomor S. 193/Menhut-IV/2011 tentang Tim

Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan yang

Tidak Prosedural di Provinsi Kalteng yang ditujukan kepada

Gubernur Kalimantan Tengah dan Bupati/Walikota se-Provinsi

Kalimantan Tengah. Di dalam surat tersebut dinyatakan

“Berdasarkan hasil ekpose Bupati/Walikota se-Provinsi

Kalimantan Tengah dan data serta informasi yang telah kami

peroleh dari instansi terkait dan laporan masyarakat, diduga telah

terjadi adanya pelanggaran tindak pidana kehutanan atas

penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan dan

pertambangan tanpa ijin Menteri Kehutanan. Di samping itu

diduga terjadi pelanggaran tindak pidana lainnya seperti korupsi,

lingkungan dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat. Untuk

menyikapi kondisi tersebut, kami telah membentuk tim untuk

melakukan penyelidikan dan penyidikan atas penggunaan

kawasan hutan yang tidak prosedural”;

8. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dapat

ditafsirkan “penunjukan” kawasan hutan sama dengan

“penetapan” kawasan hutan dan jika mengacu kepada Peta

Lampiran Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 yang

menempatkan bahwa seluruh wilayah Kabupaten Gunung Mas,

Kabupaten Katingan, Kabupaten Sukamara, dan Kabupaten

Barito Timur berada di kawasan hutan, maka perijinan yang

dikeluarkan oleh Pemohon II, Pemohon III,Pemohon IV dan

Pemohon V dianggap tidak prosedural dan termasuk dalam

tindak pidana kehutanan turut serta mengerjakan dan/atau

menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak

25

sah; turut serta merambah kawasan hutan dan turut serta

melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin

Menteri Kehutanan;

9. Bahwa Menteri Kehutanan juga pernah mengeluarkan pernyataan

“Para kepala daerah harus segera mencabut izin-izin usaha di

kawasan hutan yang terus bekerja walau belum mendapat

persetujuan Menteri Kehutanan. Apabila tidak segera mencabut

izin tersebut, para kepala daerah patut diduga turut terlibat

merambah kawasan hutan” (Kompas, 25 Juni 2010);

10. Bahwa sebagai warga negara yang baik Pemohon II, Pemohon

III,Pemohon IV dan Pemohon V mematuhi hukum sepanjang

pelaksanaan dan norma hukum yang digunakan tidak

bertentangan dengan hukum itu sendiri serta sesuai dengan asas

negara hukum serta asas kepastian hukum dan keadilan.

Faktanya, akibat penerapan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang

dapat dibuktikan adanya kontradiksi dengan ketentuan Pasal 14

dan Pasal 15 UU Kehutanan tidak sejalan dengan asas Negara

Hukum dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum telah

membuat Pemohon II, Pemohon III,Pemohon IV dan Pemohon V

dirugikan hak-hak konstitusionalnya.

11. Bahwa pengertian kawasan hutan sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dan Penjelasan Menteri

Kehutanan tentang Status Kawasan Hutan NoMOR 426/Menhut-

VII/2006 tanggal 12 Juli 2006 menimbulkan ketidakpastian dalam

penafsirannya karena bertentangan dengan pengertian kawasan

hutan sebagaimana ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU

Kehutanan, yang mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum

karena adanya penerapan yang multi tafsir terhadap ketentuan

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

12. Bahwa sesuai Surat Nomor S.575/Menhut-II/2006 tanggal 11

September 2006 perihal Pencabutan Surat kepala Badan

Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 773/VIII-KP/2000

tanggal 12 September 2000, yang menyatakan “Hasil paduserasi

26

antara RTRWP dengan TGHK Provinsi Kalimantan Tengah yang

telah ditetapkan oleh Gubernur Kalimantan Tengah dengan

Keputusan Nomor 008/965/4/BAPP tanggal 14 Mei 1999 tidak

dapat dijadikan acuan dan pedoman dalam penentuan status

kawasan hutan karena belum ditindaklanjuti dengan Keputusan

menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan.”

13. Bahwa sesuai Surat Nomor S.255/Menhut-II/07 tanggal 11 April

2007 perihal Pemanfaatan areal/kawasan hutan, menentukan

bahwa “Penggunaan kawasan hutan yang didasarkan Perda

sebagai KPP dan KPPL yang tidak perlu pelepasan kawasan

hutan dari Menteri Kehutanan, dapat mengakibatkan pelanggaran

hukum dan dapat diancam sanksi pidana,” menunjukkan adanya

ketidakpastian hukum akibat adanya penerapan tafsir sepihak

oleh Kementerian Kehutanan tentang pengertian kawasan hutan

atas ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan.

14. Bahwa memperhatikan fakta-fakta tersebut pada butir 2 s.d 13

tersebut di atas maka kerugian konstitusional Pemohon II,

Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V selaku perorangan

adalah sebagai berikut:

a. Dapat dipidana karena memasuki dan menduduki kawasan

hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang;

b. Dapat dipidana karena memberikan ijin baru dan/atau

memperpanjang izin yang ada sebelumnya untuk usaha

bidang pertambangan, perkebunan dan usaha lainnya di

wilayah Kabupaten Pemohon II, III, IV, dan V, karena seluruh

wilayahnya masuk kawasan hutan.

15. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan

Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor

11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan

selanjutnya, maka Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan

Pemohon V telah memenuhi syarat pertama dan kedua, karena

hak dan/atau kewenangan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon

IV, dan Pemohon V selaku perorangan yang dilindungi oleh UUD

1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D

27

ayat (1) UUD 1945, dilanggar dengan adanya Ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan, khususnya yang menyangkut frasa

“ditunjuk dan atau”. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan

Pemohon V juga telah memenuhi syarat ketiga dan keempat

sebagaimana diuraikan dalam Butir 14. Syarat kelima juga

terpenuhi, di mana jika frase “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan dianggap tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat atau jika kawasan hutan diartikan sebagai

wilayah tertentu telah mengalami proses pengukuhan, baik itu

penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan oleh

Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap, maka kerugian konstitusional Pemohon tidak akan atau

tidak lagi terjadi, karena dengan adanya mekanisme pengukuhan

kawasan hutan khususnya penataan batas, pemetaan dan

penetapan, maka terdapat kepastian hukum dan kejelasan terkait

dengan wilayah Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan

Pemohon V;

16. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing)

Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V telah

sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

2.5. Kerugian Konstitusional Pemohon VI Selaku Perorangan

1. Bahwa kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon VI

adalah tidak adanya kepastian hukum menyangkut hak

kebendaan sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945, hilangnya hak kebendaan sebagaimana dilindungi

dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan hak milik sebagaimana

dilindungi dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; 2. Bahwa Pemohon VI memiliki 2 bidang tanah yang berlokasi (a)

terletak di jalan Yakut I seluas 200 m2 tanah ini dibeli dari Saidul

Abror dengan kepemilikan Surat Kepemilikan Tanah, (b) terletak

di jalan G. Obos IX yang dibeli dari Abdul Manan seluas 619 m2

dengan bukti kepemilikan Surat Kepemilikan Tanah; 3. Bahwa untuk meningkatkan bukti kepemilikan, Pemohon VI

mendaftarkan permohonan hak milik ke BPN Kota Palangka Raya

28

pada tanggal 2 Mei 2008. Berkas permohonan hak milik Pemohon

VI dinyatakan lengkap pada tanggal 2 Juli 2008 dan langsung

diminta membayar biaya pengukuran dan pendaftaran hak

sebesar biaya yang ditetapkan; 4. Bahwa pada tanggal 31 Maret 2011, pengajuan permohonan hak

milik Pemohon VI ditolak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Palangka Raya dengan Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota

Palangka Raya Nomor 226/300.5.62.71/III/2011 yang

menyatakan setelah diteliti terhadap plotting peta kawasan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam wilayah Kota Palangka

Raya sesuai Surat Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor

S.486/Menhut-VII/2010 tanggal 20 September 2010 permohonan

Hak Milik atas tanah dimaksud terletak pada kawasan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selanjutnya permohonan

Hak Milik atas nama Pemohon VI untuk sementara belum dapat

diproses lebih lanjut, karena lokasi tanah yang dimohon terletak

pada kawasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang

alih fungsinya memerlukan persetujuan DPR RI; 5. Bahwa dengan mempersamakan “penunjukan” kawasan hutan

sama dengan “penetapan” kawasan hutan yang berarti bahwa

penunjukan kawasan hutan mempunyai nilai kepastian hukum,

maka tanah milik Pemohon VI terancam diambil oleh negara

untuk dijadikan kawasan hutan. Dengan demikian, adanya Pasal

1 angka 3 UU Kehutanan menyebabkan hak konstitusional

Pemohon VI khususnya terkait dengan hak atas harta benda yang

di bawah kekuasaannya sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28G

ayat (1) UUD 1945 dan hak milik sebagaimana dilindungi dalam

Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 terancam hilang; 6. Bahwa berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta sebagaimana

telah diuraikan butir 2 s.d butir 5 tersebut di atas maka kerugian

konstitusional Pemohon VI selaku perorangan adalah sebagai

berikut:

29

a. tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam mengurus Hak

Kebendaan dan Hak Milik karena tanah yang dimohonkan

haknya dianggap berada di kawasan hutan;

b. tidak dijaminnya Hak atas kebendaan karena adanya

ancaman bahwa kebendaan/lahan tersebut dianggap berada

di kawasan hutan;

c. tidak dijaminnya hak milik kebendaan karena sewaktu-waktu

berpotensi diambil oleh Negara karena dianggap bahwa lahan

tersebut berada di kawasan hutan;

7. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan

Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor

11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan

selanjutnya,, maka Pemohon VI telah memenuhi syarat pertama

dan kedua, karena hak dan/atau kewenangan Pemohon VI

sebagai perorangan yang dilindungi oleh UUD 1945 sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H

ayat (4) UUD 1945 dilanggar dengan adanya Ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan, khususnya yang menyangkut frasa

“ditunjuk dan atau”. Pemohon VI juga telah memenuhi syarat

ketiga dan keempat, sebagaimana diuraikan dalam butir 6. Syarat

kelima juga terpenuhi, di mana jika frase “ditunjuk dan atau”

dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dianggap tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat atau jika kawasan hutan diartikan

sebagai wilayah tertentu telah mengalami proses pengukuhan,

baik itu penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan

oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap, maka kerugian konstitusional Pemohon tidak akan

atau tidak lagi terjadi, karena dengan adanya mekanisme

pengukuhan kawasan hutan khususnya penataan batas,

pemetaan dan penetapan, maka hak-hak Pemohon VI akan

dilindungi;

8. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing)

Pemohon VI telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

30

III. Alasan-Alasan Para Pemohon Mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

A. Alasan Umum Permohonan pengujian ini karena dengan berlakunya ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan beberapa ketentuan yang

terdapat pada UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18

ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,

yang menyebabkan hak-hak konstitusional para Pemohon dirugikan.

Secara khusus akan diuraikan di bawah ini.

B. Alasan khusus 3.1. Para Pemohon Berhak atas Pengakuan, Jaminan,

Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil

1. Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945,

telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Indonesia adalah

negara hukum. Adapun ciri-ciri sebagai negara hukum yaitu

diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya

kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil;

2. Bahwa secara yuridis UUD 1945 memberikan jaminan yang

sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyediakan instrumen

berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum, di mana dinyatakan: ”Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

3. Norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip negara

hukum yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal.

Dalam kualifikasi yang sama, para Pemohon tidak mendapat

31

hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum akibat berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan;

3.2. Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan Menimbulkan Ketidakpastian Hukum terhadap Status Kawasan Hutan 1. Bahwa menurut Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menentukan

bahwa ”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk

dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap.”;

2. Bahwa untuk menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan

hutan harus dilakukan kegiatan pengukuhan kawasan hutan

yang menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Kehutanan

yang menyatakan: “Berdasarkan inventarisasi hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah

menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.” Selanjutnya

agar memberikan kepastian hukum atas suatu kawasan hutan,

maka harus dilakukan kegiatan pengukuhan kawasan hutan

bukan kegiatan penunjukan dan/atau penetapan kawasan

hutan sebagaimana Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan yang

menyatakan: “Kegiatan pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk

memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.”

3. Bahwa kegiatan penunjukan kawasan hutan adalah

merupakan bagian dari kegiatan pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan

yang menyatakan:

(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. Penunjukan kawasan hutan

b. Penataan batas kawasan hutan

c. Pemetaan kawasan hutan, dan

d. Penetapan kawasan hutan

32

(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata

ruang wilayah.

4. Bahwa Penjelasan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan

dinyatakan bahwa:

“Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan

pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:

a. Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang

batas luar;

b. Pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan

lorong-lorong batas;

c. Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan

d. Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan,

terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah

hak.

5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 14,

Pasal 15 dan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan,

pengertian kawasan hutan yang hanya ditafsirkan sebagai

kegiatan penunjukan, bukan dengan kegiatan pengukuhan

kawasan hutan menimbulkan ketidakpastian hukum kawasan

hutan. Penunjukan kawasan hutan merupakan kegiatan awal

dalam pengukuhan kawasan hutan yang secara runtut meliputi

kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas

kawasan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan

hutan. Dengan kalimat lain bahwa penetapan kawasan hutan

merupakan kegiatan penutup dari pengukuhan sebuah

kawasan sebagai kawasan hutan.

6. Bahwa dengan adanya tafsir yang dilakukan sepihak oleh

Kementerian Kehutanan terhadap pengertian kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan yang menyatakan bahwa penunjukkan sudah

mempunyai kekuatan hukum, maka berdampak kepada

pelaksanaan penegakan hukum di bidang kehutanan yang

33

tidak adil dan melanggar hak konstitusional bagi Para

Pemohon;

7. Bahwa akibat ditafsirkannya kawasan hutan dengan hanya

penunjukan, maka mengakibatkan adanya ketidakpastian

hukum dalam menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan

hutan dan tumpang tindih dalam pemberian izin kawasan

hutan;

8. Bahwa ketidakjelasan pengertian kawasan hutan juga

ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik

Indonesia (BPK RI), di mana pada pemeriksaan semester II

Tahun 2009 telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas

kegiatan pengukuhan kawasan hutan Tahun Anggaran 2005

s.d 2009 pada Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan

Provinsi dan Instansi terkait lainnya di Provinsi Sumatera

Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur

dan DKI Jakarta. Hasil Pemeriksaan BPK RI menyimpulkan

bahwa pelaksanaan kegiatan pengukuhan kawasan hutan

masih kurang ekonomis dan efektif karena kelemahan

kebijakan dan pelaksanaan kegiatan;

9. Bahwa berdasarkan kegiatan audit BPK RI tersebut dapat

disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam rangka

memberikan kepastian hukum terhadap kawasan hutan

adalah melalui kegiatan pengukuhan kawasan sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan,

bukan dengan penunjukan dan/atau penetapan kawasan

hutan sebagaimana diatur sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3

UU Kehutanan, yang memberikan pengertian tentang

kawasan hutan yang keliru/salah;

10. Bahwa terdapat kesalahan implementasi pengertian kawasan

hutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3

UU Kehutanan, adanya kebijakan yang dilakukan oleh

Kementerian Kehutanan dalam menentukan luas kawasan

hutan di beberapa Provinsi berdasarkan hasil audit kinerja

pengukuhan kawasan hutan, pada semester II Tahun 2009

34

oleh BPK RI. Beberapa Provinsi tersebut dapat digambarkan

secara lebih rinci sebagai berikut:

a. Provinsi Sumatera Utara Perkembangan penentuan kawasan hutan di Sumatera Utara

dikelompokkan ke dalam empat tahapan, yaitu

Pertama, era register yang dimulai pada masa Pemerintahan

Belanda tahun 1916 sampai dengan 1944 dengan total luasan

definitif kawasan hutan 1.121.500,22 ha yang tersebar secara

administrasi pengelolaan hutan pada delapan wilayah kerja

Cabang Dinas Kehutanan (CDK).

Kedua, era TGHK dengan terbitnya Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 923/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember

1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati

I Sumatera Utara seluas 3.780.132,02 Ha sebagai kawasan

hutan yang dilengkapi dengan lampiran peta TGHK skala

1:500.000.

Ketiga, era RTRWP dengan terbitnya Perda Provinsi

Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tanggal 28 Agustus

2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2003-2008, berdasarkan Perda

tersebut luas kawasan hutan seluas 3.679.338,48 Ha.

Keempat, era penunjukan dengan terbitnya Kepmenhut

Nomor SK44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 tentang

penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera

seluas lebih kurang 3.742.120 Ha dengan lampiran Peta

Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara skala 1:250.000.

Kelima, era terbitnya Kepmenhut Nomor 201/Menhut-II/2006

tanggal 5 Juni 2006 tentang perubahan Kepmenhut Nomor

44/Menhut-II/2005 dan Perubahan Peruntukan Kawasan

Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan kelima tahapan perkembangan penentuan

kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, dapat disimpulkan

35

bahwa telah terjadi suatu kesalahan implementasi kebijakan

yang diambil oleh Pemerintah karena adanya pemahaman

yang keliru terhadap pengertian kawasan hutan sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan.

b. Provinsi Kalimantan Timur

Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur dapat

dikemukakan beberapa tahapan sebagai berikut:

Pertama, era penunjukan kawasan hutan menurut TGHK

sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor

024/Kpts/Um/1/1983, di mana luas kawasan hutan di Provinsi

Kalimantan Timur seluas 21.144.000. Ha

Kedua, era RTRWP sesuai Perda Nomor 12 Tahun 1983

yang disusun berdasarkan RTRWP masing-masing

Kabupaten yang mengacu pada Tata Guna Hutan

Kesepakatan dengan mempertimbangkan rencana

pembangunan dan pengembangan daerah.

Ketiga, era penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi

seluas 14.651.553 Ha dituangkan dalam Kepmenhut No.

79/Kpts-II/2001 beserta lampiran peta kawasan hutan.

Penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi membagi

kawasan hutan menjadi kawasan Hutan Konservasi seluas

2.165.198 Ha, Hutan Lindung seluas 2.751.702 Ha dan Hutan

Produksi seluas 9.734.653 Ha.

Berdasarkan data luasan lahan tersebut, masih harus

memerlukan kegiatan lanjutan agar sebuah kawasan tersebut

dapat dikukuhkan menjadi kawasan hutan, yaitu ditata batas

dan temu gelang, untuk selanjutnya ditetapkan oleh Menteri

Kehutanan. Berdasarkan hasil audit BPK RI tersebut,luas

kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur yang telah

ditetapkan sebagai kawasan hutan adalah seluas 139.859,36

Ha atau seluas 0,95% dari luas kawasan hutan di Provinsi

Kalimantan Timur. Dapat disimpulkan bahwa pengertian

36

kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3

UU Kehutanan harus dimaknai dengan pengertian kegiatan

pengukuhan kawasan hutan bukanlah sebagai penunjukan

dan/atau penetapan kawasan hutan, agar konsisten sesuai

dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan.

c. Provinsi Kalimantan Barat Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat dapat

dikemukakan beberapa tahapan sebagai berikut:

Pertama, era penunjukan kawasan hutan sesuai Tata Guna

Hutan Kesepakatan sesuai Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, di mana luas kawasan hutan di

Provinsi Kalimantan Barat seluas 9.204.375 Ha

Kedua, era RTRWP sesuai Perda Nomor 1 Tahun 1995

tentag RTRWP Kalimantan Barat yang disusun berdasarkan

RTRWP masing-masing Kabupaten yang mengacu pada

TGHK dengan mempertimbangkan rencana pembangunan

dan pengembangan daerah.

Ketiga, era penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi

seluas 14.651.553 Ha dituangkan dalam Kepmenhutbun

Nomor 259/Kpts-II/2000 beserta lampiran peta kawasan

hutan. Penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi membagi

kawasan hutan menjadi kawasan Hutan Konservasi seluas

1.645.580 Ha, Hutan Lindung seluas 2.307.045 Ha dan Hutan

Produksi seluas 5.226.135 Ha.

Berdasarkan data luasan lahan tersebut, masih harus

memerlukan kegiatan lanjutan agar sebuah kawasan tersebut

dapat dikukuhkan menjadi kawasan hutan, yaitu ditata batas

dan temu gelang, untuk selanjutnya ditetapkan oleh Menteri

Kehutanan. Dari hasil tata batas yang telah dilakukan oleh

Kementerian Kehutanan terdapat perbedaan antara Tata

Guna Hutan Kesepakatan dan berdasarkan SK Penunjukan

yang berakibat banyak hasil tata batas yang tidak dapat

digunakan lagi, namun demikian Kementerian Kehutanan

37

mengakui hasil tata batas tersebut yang membawa implikasi

terhadap bagian di luar kawasan hutan yang ditunjuk masih

diakui sebagai kawasan hutan sehingga menyebabkan

adanya ketidakpastian dalam menentukan sebuah kawasan

sebagai kawasan hutan. Berdasarkan hasil audit BPK RI

tersebut, luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat

sampai September 2009 yang telah ditetapkan sebagai

kawasan hutan adalah seluas 979.798, 47 Ha atau seluas

10,67% dari luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

harus dimaknai dengan pengertian kegiatan pengukuhan

kawasan hutan bukanlah sebagai penunjukan dan atau

penetapan kawasan hutan, agar konsisten sesuai dengan

ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan dan dalam

praktiknya menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan.

11. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah

melakukan kajian tentang Kebijakan Titik Korupsi dalam

Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan dan Kajian

sistem Perencanaan dan Pengelolaan kawasan Hutan pada

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian

Kehutanan yang pemaparannya telah disampaikan oleh Wakil

Ketua KPK, Mochammad Jasin di hadapan Menteri Kehutanan

pada tanggal 3 Desember 2010;

12. Bahwa dari kajian Kebijakan titik Korupsi dalam Lemahnya

Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, KPK telah

menemukan adanya ketidakpastian definisi kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

13. Bahwa berdasarkan Kajian KPK, dalam proses penunjukan

kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan telah dilakukan

secara tidak fair atau bertentangan dengan asas fair

procedure terhadap aturan-aturan pelaksanaan dari UU

Kehutanan, sehingga melemahkan legalitas dan legitimasi

38

88,2% kawasan hutan yang sampai saat ini belum selesai

ditetapkan;

14. Bahwa berdasarkan Kajian KPK, tidak ada kepastian hukum

terhadap peta penunjukan kawasan hutan karena faktanya

terdapat sekurang-kurangnya 4 versi peta kawasan hutan

dengan skala yang berbeda-beda, yang mengakibatkan selisih

luas kawasan hutan 4 hingga 16 juta ha;

15. Bahwa berdasarkan Kajian KPK, akibat penunjukan yang

belum dilakukan pengukuhan kawasan hutan mengakibatkan

terdapat 119 potensi konflik di wilayah Provinsi dan

kabupaten/kota pemekaran yang sebagian atau seluruhnya

berada di kawasan hutan, antara lain di Kabupaten Nduga,

Papua (216.800 ha) di kawasan hutan lindung dan Kabupaten

Raja Ampat (6.084.500 ha) di kawasan hutan konservasi.

Terkait Harmonisasi Tata Ruang Wilayah dengan kawasan

hutan, sekurang-kurangnya terdapat potensi konflik pada 10

kabupaten/kota pemekaran di Provinsi Lampung dan 4

kabupaten/kota pemekaran di Provinsi Sulawesi Selatan

karena tidak mengusulkan perubahan kawasan hutan;

16. Bahwa berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta tersebut di

atas, maka Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan khususnya yang

menyangkut frasa “ditunjuk dan atau” mengakibatkan

ketidakpastian hukum terkait status kawasan hutan dan

bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

3.3. Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan Menimbulkan Ketidakpastian Hukum di Wilayah Para Pemohon 1. Bahwa Provinsi Kalimantan Tengah di mana para Pemohon

tinggal, telah dibentuk dengan Undang-Undang Darurat

Nomor 10 Tahun 1957 juncto Undang-Undang Nomor 21

Tahun 1958. Undang-Undang ini belum memberikan batasan

yang jelas, mana yang termasuk wilayah kawasan hutan dan

mana yang bukan kawasan hutan. Namun demikian secara

administrasi telah berlangsung tata kelola pemerintahan di

39

seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan berjalan

sampai saat ini, termasuk penentuan batas-batas administrasi

wilayah yang mencakup daerah-daerah kabupaten di

Kalimantan Tengah;

2. Bahwa pada tanggal 12 Oktober 1982 dikeluarkan Kepmentan

Nomor 759 Tahun 1982. Substansi dari Kepmentan Nomor

759 Tahun 1982 adalah sebagai berikut:

Memutuskan.

Menetapkan

Pertama: Menunjuk areal hutan di wilayah Provinsi Dati I

Kalimantan Tengah seluas ±15.300.000 ha sebagai kawasan

hutan dengan fungsi dan luas seperti perincian sebagai

berikut:

1. Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata 729.919 ha

2. Hutan Lindung 800.000 ha

3. Hutan Produksi terbatas 3.400.000 ha

4. Hutan produksi biasa 6.000.000 ha

5. Hutan produksi yang dapat dikonversikan 4.302.101 ha

Kedua: Batas sementara kawasan hutan tersebut pada amar

Pertama terlukis dalam peta pada lampiran surat keputusan ini

sedangkan batas tetap akan ditetapkan setelah dilaksanakan

pengukuran dan penataan batas di lapangan.

Ketiga: Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Kehutanan

untuk melaksanakan pengukuran dan penataan batas

Kawasan Hutan tersebut di lapangan.

Keempat: Kawasan hutan yang telah ditunjuk/ditetapkan

sebelum diterbitkannya Surat Keputusan ini, yang letaknya

diluar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam diktum

Pertama Surat Keputusan ini tetap tidak mengalami

perubahan selama belum ada penetapan lebih lanjut.

Kelima: Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal

ditetapkannya dengan ketentuan, bahwa segala sesuatu akan

40

diubah dan diatur kembali apabila dikemudian hari ternyata

terdapat kekeliruan dalam penetapan ini.

3. Bahwa batas-batas sementara kawasan hutan tersebut pada

amar Pertama tercantum dalam Peta Lampiran Kepmentan

Nomor 759 Tahun 1982, sedangkan batas tetap akan

ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan

batas di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa penunjukan

luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah

sebagaimana dirinci dalam Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982 menunjukkan masih belum final karena hal tersebut

masih bersifat sementara dan masih memerlukan kegiatan

lanjutan yaitu pengukuran dan penataan batas di lapangan;

4. Bahwa berdasarkan Peta Lampiran Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 dan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, seluruh

wilayah Provinsi Kalimantan Tengah di mana para Pemohon

tinggal, berada di kawasan hutan;

5. Bahwa untuk melaksanakan pengukuran dan penataan batas

kawasan hutan tersebut di lapangan telah diperintahkan

kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk melaksanakan

kegiatan tersebut. Namun pada praktiknya kegiatan tersebut

hingga saat diajukannya permohonan ini belum diselesaikan

secara tuntas yang hingga saat ini telah menyebabkan adanya

berbagai permasalahan dalam penentuan kawasan hutan di

Provinsi Kalimantan Tengah khususnya di wilayah Para

Pemohon;

6. Bahwa sejak tahun 1993, Provinsi Kalimantan Tengah telah

memiliki RTRWP dengan adanya Perda Tingkat I Kalimantan

Tengah Nomor 5 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah. Perda

tersebut kemudian diubah dengan Perda Provinsi Kalimantan

Tengah Nomor 8 Tahun 2003;

7. Bahwa Lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 1993 merupakan

respon atas terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992

tentang Penataan Ruang yang menginstruksikan kepada

41

Pemerintah Provinsi untuk membentuk Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi (RTRWP). Cakupan dari RTRWP berisi

tentang arahan penataan ruang yang di dalamnya terdapat

arahan kawasan hutan. Selanjutnya selain dengan

pembentukan Perda, Penyempurnaan RTRWP Kalimantan

Tengah juga dilakukan dengan koordinasi dengan Tim Pusat

(BKTRN) pada tanggal 4 Juni 1994, ditandatangani oleh

Bappeda Provinsi Daerah Kalimantan Tengah, Ditjen

BANGDA Depdagri dan Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna

Hutan (INTAG) Departemen Kehutanan saat itu.

Penyempurnaan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah

tersebut telah disahkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri

Nomor 68 Tahun 1994 tanggal 20 Juni 1994. Oleh karena itu,

sejak tahun 1993 luas Provinsi Kalimantan Tengah adalah

15.356.400 ha, dengan rincian: 4.207.225 ha adalah kawasan

non hutan, sedangkan sisanya seluas 11.149.145 ha

merupakan kawasan hutan;

8. Bahwa Paduserasi RTRWP Kalimantan Tengah dengan

Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982, dilakukan dengan

membentuk Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Kalimantan Tengah Nomor 008/054/IV/BAPP tanggal 16 Maret

1999 tentang Hasil pemaduserasian antara Peta Kawasan

Lindung dan Budidaya Rencana Tata Ruang Wilayah dengan

Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Daerah

Tingkat I Kalimantan Tengah. Pembentukan Keputusan

Gubernur tersebut sebagai tindak lanjut Kesepakatan Rapat

Tim tanggal 23 desember 1998 yang ditandatangani Tim

Pemda Tingkat I Provinsi Kalimantan tengah dan Tim

Departemen Kehutanan dan Perkebunan saat itu yang diwakili

oleh Direktur Bina Program Ditjen Inventarisasi dan Tata Guna

Hutan. Dengan adanya paduserasi, maka luas wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah meningkat menjadi

15.759.594,45 ha dengan komposisi kawasan non hutan

seluas 5.325.233,27 ha dan kawasan hutan seluas

42

10.434.361,18 ha. Dalam Pasal 5 Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor 008/054/IV/BAPP

menyatakan bahwa “Dengan telah diterbitkannya Peta

dimaksud pada Pasal 3, maka Peta Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK) dinyatakan tidak berlaku lagi bagi

arahan penggunaan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah.”;

9. Bahwa pada tanggal 12 September 2000, Kepala Badan

Planologi Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Surat

Nomor 778/VIII-KP/2000 tentang pertimbangan Pelepasan

Kawasan Hutan untuk Perkebunan, yang pada intinya

menyatakan bahwa “Berkenaan dengan pencadangan areal

untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan pada

Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan

Pemukiman dan Penggunaan Lainnya (KPPL) berdasarkan

paduserasi RTRWP dengan TGHK Kalimantan Tengah

(Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor

008/965/IV/BAPP tanggal 14 Mei 1999, maka tidak lagi

memerlukan proses pelepasan kawasan hutan”;

10. Bahwa permasalahan ketidakpastian kawasan hutan di

wilayah para Pemohon diawali dengan terbitnya Surat Edaran

Menteri Kehutanan Nomor 404/Menhut-II/03 tanggal 10 Juli

2003 yang memberikan instruksi sepihak terhadap Provinsi

yang belum mempunyai Peta Paduserasi antara TGHK

dengan RTRWP untuk menggunakan acuan TGHK. Terbitnya

Surat edaran tersebut seolah-olah meniadakan proses

paduserasi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah selama 4 tahun mulai dari

tahun 1994 sampai dengan 1998;

11. Bahwa pada tanggal 20 September 2003 dibentuklah Perda

Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 8 Tahun 2003 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

menyatakan bahwa luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

menjadi 15.356.700 ha dengan komposisi kawasan hutan

seluas 5.061.846, 46 ha dan kawasan hutan seluas

43

10.294.853, 52 ha. Pembentukan Perda Nomor 8 Tahun 2003

merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun

1992 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perda

Nomor 8 Tahun 2003 telah ditetapkan pada tanggal 20

September dan diundangkan di Palangka Raya pada tanggal

13 Oktober 2003 dalam Lembaran Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Tahun 2003 Nomor 28 Seri E;

12. Bahwa mengacu pada Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan dan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

404/Menhut-II/03, Kementerian Kehutanan telah melakukan

tindakan-tindakan hukum yang mendasarkan kepada

pengertian kawasan hutan yang sebenarnya masih belum ada

kepastian hukum. Dasar kawasan hutan yang dalam

praktiknya masih mengacu pada Kepmentan Nomor 759

Tahun 1982 yang menyatakan seluruh wilayah Provinsi

Kalimantan Tengah masuk kawasan hutan;

13. Bahwa pada tanggal 11 September 2006, Menteri Kehutanan

menerbitkan Surat Menteri Kehutanan Nomor S.575/Menhut-

II/2006 perihal Pencabutan Surat Kepala Badan Planologi

Kehutanan dan Perkebunan Nomor 778/VII-KP/2000 tanggal

12 September 2000, bahwa permohonan penggunaan

kawasan KPP dan KPPL ditindaklanjuti dengan Pelepasan

Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan. Kondisi inilah yang

menyebabkan adanya ketidakpastian hukum dalam

pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah

dan khususnya di wilayah Para Pemohon;

14. Bahwa Menteri Kehutanan juga mengeluarkan Surat Nomor

S.255/Menhut-II/07 tanggal 11 April 2007 perihal Pemanfaatan

areal/kawasan hutan, menentukan bahwa “Penggunaan

kawasan hutan yang didasarkan PERDA sebagai KPP dan

KPPL yang tidak perlu pelepasan kawasan hutan dari Menteri

Kehutanan, dapat mengakibatkan pelanggaran hukum dan

dapat diancam sanksi pidana”;

44

15. Bahwa berdasarkan Peta RTRWP Provinsi Kalimantan

Tengah Tahun 2003 dapat disimpulkan bahwa Ibu kota Kuala

Kapuas (kantor pemerintahan, pemukiman penduduk) berada

pada Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) dan

Kawasan Pengembangan Produksi (KPP). Apabila mengacu

pada Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September

2000, bahwa Kawasan KPP dan KPPL tidak memerlukan

Pelepasan Kawasan Hutan. Selanjutnya apabila mengacu

pada Surat Menteri Kehutanan Nomor S.575/Menhut-II/2006

tanggal 11 September 2006 perihal Pencabutan Surat Kepala

Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 778/VII-

KP/2000 tanggal 12 September 2000, bahwa permohonan

penggunaan kawasan KPP dan KPPL ditindaklanjuti dengan

Pelepasan Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan. Kondisi

inilah yang menyebabkan adanya ketidakpastian hukum

dalam pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi Kalimantan

Tengah dan khususnya di wilayah para Pemohon;

16. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

404/Menhut-II/03 dan memperhatikan belum dapat

disahkannya RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah, maka

pada tanggal 28 Februari 2011 yang ditindaklanjuti dengan

Kesepakatan Bersama Bupati/Walikota dan Ketua DPRD Se-

Kalimantan Tengah telah membuat kesepakatan bersama

yang isinya sebagai berikut:

a. Bahwa untuk menjamin stabilitas wilayah dan kepastian

hukum, atas keberadaan Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

tetap digunakan sebagai dasar hukum pengambilan

kebijakan dalam rangka pemanfaatan ruang dan

penggunaan kawasan untuk kesejahteraan rakyat,

kepentingan pembangunan dan investasi di Provinsi

Kalimantan Tengah.

45

b. Hal-hal yang menyangkut aspek hukum dan administrasi

dalam rangka penguatan Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Nomor 8 Tahun 2003 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

dikoordinasikan oleh Gubernur Kalimantan Tengah dan

seluruh Bupati/Walikota dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota

se-Kalimantan Tengah sepakat untuk mendukung

kebijakan yang diambil Gubernur Kalimantan Tengah.

17. Bahwa selanjutnya atas kesepakatan bersama tersebut telah

ditindaklanjuti oleh Gubernur Kalimantan Tengah, dengan

menyampaikan Laporan Kepada Presiden Republik Indonesia,

sesuai Surat Nomor 126/151/III.1/ADPUM tanggal 27 April

2011 perihal Laporan Adanya kesepakatan bersama

Bupati/walikota dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota se

Kalimantan Tengah. Dalam laporan tersebut disampaikan

bahwa “Usulan Penetapan rencana tata Ruang wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) yang sudah berjalan 4

(empat) tahun dan sampai saat ini belum ada

penyelesaiannya, maka bersama ini dilaporkan bahwa seluruh

Bupati/Walikota se-Kalimantan Tengah dan Ketua DPRD

Kabupaten/Kota se-Kalimantan Tengah pada tanggal 5 April

2011 telah menyepakati bahwa Peraturan Daerah (PERDA)

Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

provinsi Kalimantan Tengah tetap digunakan sebagai dasar

untuk pengambilan kebijakan”;

18. Bahwa pengertian kawasan hutan sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, yang dalam kenyataannya

Kementerian Kehutanan dalam menentukan kawasan hutan

masih mengacu pada Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982

yang hanya bersifat beschikking sementara dan bukanlah

peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, maka untuk memberikan

adanya kepastian hukum dalam menentukan kawasan hutan

46

ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan harus ditafsirkan

bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang

dikukuhkan sebagai kawasan hutan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, bukan

ditafsirkan sebagaimana pengertian ditunjuk yang ada secara

harfiah dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan.

19. Bahwa berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta tersebut di

atas, maka Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan mengakibatkan

ketidakpastian hukum di wilayah administrasi Para Pemohon,

khususnya terkait status kawasan hutan dan bertentangan

dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

1 ayat (3) UUD 1945.

3.4. Hak konstitusional para Pemohon Atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum Menjadi Tidak Pasti karena Para Pemohon Sewaktu-Waktu Dapat Dipidana Jika Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Masih Menjadi Rujukan Untuk Menentukan Wilayah Kawasan Hutan 1. Bahwa di dalam UU Kehutanan yang mengatur tindak pidana

kehutanan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 juncto Pasal

78 UU Kehutanan, kawasan hutan dijadikan sebagai salah

satu unsur utama tindak pidana kehutanan. Pasal 50 ayat (3)

UU Kehutanan menyatakan: Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan

dengan radius atau jarak sampai dengan:

1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan

sungai di daerah rawa;

3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

47

6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan

pasang terendah dari tepi pantai.

d. membakar hutan;

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil

hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari

pejabat yang berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,

menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan

yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan

hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi

atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,

tanpa izin Menteri;

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang

tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan

sahnya hasil hutan;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang

tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh

pejabat yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang

lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut

hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat

yang berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk

menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam

kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan

kebakaran dan kerusakan serta membahayakan

keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam

kawasan hutan; dan;

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-

tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-

undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang.

48

2. Bahwa karena Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan ditafsirkan

“penunjukan kawasan hutan” mempunyai kedudukan yang

sama dengan “penetapan kawasan hutan”, maka telah

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan unsur

kawasan hutan dalam tindak pidana kehutanan;

3. Bahwa dalam penegakan hukum di Kalimantan Tengah,

selama ini menggunakan acuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan dan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982, tanpa

mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU

Kehutanan untuk menentukan apakah suatu wilayah

merupakan suatu kawasan hutan atau bukan kawasan hutan;

4. Bahwa berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982,

seluruh wilayah para Pemohon berada di kawasan hutan,

maka Para Pemohon terancam dipidana berdasarkan Pasal

50 ayat (3) huruf a juncto Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan

karena telah mengerjakan dan atau menggunakan dan atau

menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan ancaman

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp 5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah);

5. Bahwa Peta Lampiran Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982

tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan

wilayah kawasan hutan karena hanya bersifat sementara dan

tidak melihat kondisi faktual di lapangan. Hal ini dapat dilihat

dalam butir kedua Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 yang

menyatakan bahwa ”Batas sementara kawasan hutan tersebut

pada amar Pertama terlukis dalam peta pada Lampiran Surat

ini, sedangkan batas tetap akan ditetapkan setelah

dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan”;

6. Bahwa dalam hukum pidana harus ada kepastian hukum

terkait unsur-unsur tindak pidana, agar pelaku dapat dimintai

pertanggung jawaban pidana. Untuk menghindari adanya

ketidakpastian hukum, maka unsur “kawasan hutan” di dalam

tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Pasal 50

juncto Pasal 78 UU Kehutanan haruslah jelas dan tidak

49

menimbulkan multitafsir serta tidak menggunakan acuan batas

sementara, tetapi harus menggunakan batas tetap yang

dilakukan penataan batas di lapangan yang merupakan

bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan;

7. Bahwa ketidakpastian hukum pengertian kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

bertentangan dengan asas nullum crimen sine lege stricta

(tidak ada perbuatan dapat dipidana tanpa ada aturan yang

jelas dan tegas). Konsekuensi selanjutnya dari makna ini

adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas,

sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat menyebabkan

adanya ketidakpastian hukum;

8. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU

Kehutanan, maka acuan suatu kawasan dikatakan sebagai

kawasan hutan yang mempunyai kekuatan hukum pasti jika

telah menjalani proses pengukuhan kawasan hutan, bukan

hanya melalui proses penunjukan kawasan;

9. Bahwa perijinan yang dikeluarkan oleh Pemohon I, Pemohon

II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V berada di

kawasan hutan berdasarkan Peta Lampiran Kepmentan

Nomor 759 Tahun 1982 menjadi tidak prosedural dan

termasuk dalam tindak pidana kehutanan;

10. Bahwa sesuai Surat Menteri Kehutanan Nomor S.255/Menhut-

II/07 tanggal 11 April 2007 perihal Pemanfaatan

areal/kawasan hutan, menentukan bahwa “penggunaan

kawasan hutan yang didasarkan PERDA sebagai KPP dan

KPPL yang tidak perlu pelepasan kawasan hutan dari Menteri

Kehutanan, dapat mengakibatkan pelanggaran hukum dan

dapat diancam sanksi pidana”

11. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor:

S.95/Menhut-IV/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang

Laporan Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Prosedural, dan

Hasil Ekspose Penanganan Penggunaan Kawasan Hutan

Yang Tidak Prosedural Untuk Kegiatan Perkebunan dan

50

Pertambangan pada tanggal 27 Oktober 2010 di Palangka

Raya, diduga telah terjadi adanya pelanggaran tindak pidana

kehutanan atas penggunaan kawasan hutan untuk

perkebunan dan pertambangan tanpa ijin dari Menteri

kehutanan. Hal ini mengakibatkan adanya ancaman kepada

Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan

Pemohon V yang masing-masing pekerjaannya sebagai

Bupati di wilayahnya karena adanya ketidakpastian dalam

penentuan kawasan oleh Kementerian Kehutanan akibat

adanya tafsir yang tidak jelas terhadap ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan;

12. Bahwa pada tanggal 18 April 2011, Menteri Kehutanan

menerbitkan Surat Nomor S. 193/Menhut-IV/2011 tentang Tim

Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan

yang Tidak Prosedural di Provinsi Kalteng yang ditujukan

kepada Gubernur Kalimantan Tengah dan Bupati/Walikota se-

Provinsi Kalimantan Tengah. Di dalam Surat Nomor S.

193/Menhut-IV/2011 dinyatakan “Berdasarkan hasil ekpose

Bupati/Walikota se-Provinsi Kalimantan Tengah dan data serta

informasi yang telah kami peroleh dari instansi terkait dan

laporan masyarakat, diduga telah terjadi adanya pelanggaran

tindak pidana kehutanan atas penggunaan kawasan hutan

untuk perkebunan dan pertambangan tanpa ijin Menteri

Kehutanan. Di samping itu diduga terjadi pelanggaran tindak

pidana lainnya seperti korupsi, lingkungan hidup dan

penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat. Untuk menyikapi

kondisi tersebut, kami telah membentuk tim untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan atas penggunaan kawasan hutan

yang tidak prosedural”;

13. Bahwa Menteri Kehutanan juga pernah mengeluarkan

pernyataan “Para kepala daerah harus segera mencabut izin-

izin usaha di kawasan hutan yang terus bekerja walau belum

mendapat persetujuan Menteri Kehutanan. Apabila tidak

segera mencabut izin tersebut, para kepala daerah patut

51

diduga turut terlibat merambah kawasan hutan” (Kompas, 25

Juni 2010);

14. Bahwa Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak

konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan

perlindungan hukum yang pasti, di mana dalam bidang hukum

pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “Suatu perbuatan tidak dapat

dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-

undangan pidana yang telah ada sebelumnya”;

15. Bahwa berdasarkan alasan yuridis dan bukti faktual tersebut

pada butir 1 s.d butir 14 menunjukkan bahwa ketentuan Pasal

1 angka 3 UU Kehutanan telah merugikan hak konstitusional

para Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum karena Para Pemohon sewaktu-waktu dapat

dipidana jika ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan masih

menjadi rujukan untuk menentukan wilayah kawasan hutan

yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945.

3.5. Penulisan Frasa “dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Tidak Lazim Dalam Penulisan Sebuah Pasal Dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan Kawasan

hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap;

2. Bahwa di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan terdapat

frasa “dan atau”;

3. Bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik haruslah mengacu Lampiran Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan;

4. Bahwa dalam butir 68 Lampiran Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 menyatakan Jika unsur atau rincian dalam

tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan

52

kata “dan” yang diletakkan di belakang rincian kedua dari

rincian terakhir. Butir 69 Lampiran Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 menyatakan jika rincian dalam tabulasi

dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata

“atau” yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian

terakhir. Butir 70 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 menyatakan jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan

sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata

“dan/atau” yang diletakkan di belakang rincian kedua dari

rincian terakhir;

5. Bahwa merujuk pada Lampiran Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tidak dikenal frasa “dan atau”, melainkan

“dan/atau” untuk menunjukkan rincian kumulatif dan alternatif;

6. Bahwa dengan demikian adanya frasa “dan atau” yang ada di

dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyalahi ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan

merupakan hal yang tidak lazim dalam penulisan peraturan

perundang-undangan.

3.6. Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Tidak Konsisten dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan 1. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan memberikan peluang

kepada Pemerintah untuk menafsirkan penunjukan

mempunyai status hukum sama dengan penetapan kawasan

hutan, maka dalam setiap kebijakannya, Pemerintah (dalam

hal ini Kementerian Kehutanan) menyatakan bahwa

penunjukan kawasan hutan mempunyai status hukum yang

sama dengan penetapan kawasan hutan sehingga Keputusan

Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan

digunakan sebagai acuan dalam penegakan hukum di bidang

kehutanan;

2. Bahwa beberapa Keputusan dan Peraturan yang menyatakan

bahwa penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan

yaitu: Surat Menteri Kehutanan Nomor S.426/Menhut-VII/2006

53

tanggal 12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri Kehutanan

tentang Status Kawasan Hutan yang Ditujukan kepada Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tembusan

Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Jaksa

Agung RI dan Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan

dengan penggalan sebagai berikut:

“Poin 5. Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 Tahun 1999

dijelaskan bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu

yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Poin 6. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa meskipun suatu kawasan hutan belum ditata batas dan

ditetapkan oleh pemerintah, statusnya adalah kawasan hutan.

Poin 9. Menyikapi hal tersebut pada butir 6 di atas, dengan ini

kami sampaikan bahwa:

a. Wilayah-wilayah tertentu yang telah ditunjuk oleh Menteri

Kehutanan sebagai kawasan hutan dan dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap adalah secara legal

sudah merupakan kawasan hutan.

b. Meskipun kawasan tersebut belum ditata batas, namun

pemanfaatan dan penggunaan di atas kawasan tersebut

sudah mempunyai akibat hukum yang terikat dengan

peraturan perundangan yang berlaku.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, kiranya dari

jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai

pemahaman yang sama terhadap status kawasan hutan

sehingga pelanggaran-pelanggaran di bidang kehutanan

dapat dijerat dengan ketentuan-ketentuan yang ada meskipun

statusnya baru dalam tahap penunjukan”;

3. Bahwa penafsiran Kementeriaan Kehutanan yang menyatakan

penunjukan kawasan hutan mempunyai kekuatan hukum juga

dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

54

P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi

Kawasan Hutan:

Pasal 2

(1) Kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila:

a. telah ditunjuk dengan keputusan Menteri; atau

b. telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas; atau

c. Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan

oleh Menteri; atau

d. Kawasan Hutan telah ditetapkan dengan Keputusan

Menteri.

(2) Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan keputusan

Menteri, atau suatu areal telah di tata batas oleh Panitia

Tata Batas, atau berita acara tata batas telah disahkan

oleh Menteri Kehutanan, atau tata batas telah ditetapkan

oleh Menteri, atau kawasan hutan telah ditetapkan dengan

keputusan Menteri, maka yang digunakan sebagai acuan

kawasan hutan adalah status yang terakhir.

4. Bahwa adanya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

terutama yang menyangkut frasa “ditunjuk dan atau” dan juga

tafsir dari Kementerian Kehutanan yang menyatakan

“Wilayah-wilayah tertentu yang telah ditunjuk oleh Menteri

Kehutanan sebagai kawasan hutan dan dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap adalah secara legal

sudah merupakan kawasan hutan”, bertentangan dengan

Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan yang menyatakan ”Kegiatan

pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas

kawasan hutan”;

5. Bahwa Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan menyatakan

“Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 ayat (1) dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,

55

c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan”

dan ayat (2) menyatakan ”Pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

memperhatikan rencana tata ruang wilayah”

6. Bahwa dilihat dari tahapan pengukuhan kawasan hutan, maka

penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan

pengukuhan kawasan hutan [Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU

Kehutanan], sedangkan Penetapan adalah kegiatan tahap

akhir pengukuhan kawasan hutan di mana sudah terdapat

kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu

kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap;

7. Bahwa mengacu pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan,

penunjukan dan penetapan adalah hal yang berbeda dan

suatu kawasan mempunyai kepastian hukum sebagai

kawasan hutan jika telah menjalani seluruh proses

pengukuhan, mulai dari penunjukan, penataan batas,

pemetaan dan penetapan;

8. Bahwa di dalam Putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor

123/PUU-VII/2009 bertanggal 2 Februari 2010, Halaman 100,

Mahkamah menyatakan “Bahwa dalam suatu Undang-Undang

harus terdapat konsistensi dan koherensi antara pasal yang

satu dan pasal yang lain, demikian juga dengan penjelasan

pasal-pasal tersebut, sehingga tidak boleh terdapat kontradiksi

dalam Undang-Undang yang bersangkutan”.

9. Bahwa karena Negara Indonesia adalah Negara hukum dan

juga sejalan dengan Putusan Nomor 123/PUU-VII/2009, maka

dalam suatu Undang-Undang harus terdapat konsistensi dan

koherensi antara pasal yang satu dan pasal yang lain. Oleh

karena itu, ketidakkonsistenan antara Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan

telah melanggar prinsip negara hukum sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

56

3.7. Lokasi-Lokasi di Kabupaten Kapuas Secara Faktual Bukan Berupa Hutan, Namun Dinyatakan Sebagai Kawasan Hutan Akibat Adanya Ketentuan Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan 1. Bahwa Kabupaten Kapuas sudah ada sejak tahun 1950 yang

secara otonom dibentuk dengan UU Darurat Nomor 3 Tahun

1953 juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 dan telah

dibangun rumah sakit, sekolah, jalan raya, jembatan, kantor-

kantor pemerintahan, perumahan dan permukiman dan lain

sebagainya;

2. Bahwa berdasarkan Peta US Army Map Service Tahun 1962,

beberapa lokasi di Kabupaten Kapuas berupa persawahan,

semak belukar, jalan dan lain sebagainya;

3. Bahwa berdasarkan Peta Penutupan Lahan Provinsi

Kalimantan Tengah hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2002-

2003, Kabupaten Kapuas tidak hanya terdiri dari hutan,

melainkan terdapat semak belukar, semak belukar rawa,

pertanian lahan kering, sawah, dan permukiman.

4. Bahwa Di Kabupaten Kapuas, sejak tahun 1930 sudah

didirikan rumah sakit oleh Zending Basle di kampung Barimba

Kecamatan Kapuas Hilir dengan nama: Rumah Sakit

Hanggulan Sinta. Bahwa sejak tahun 1966, Pemerintah

Daerah memindahkan rumah sakit dari Barimba ke jalan

Kapten Pierre Tendean Kelurahan Selat Hilir Kecamatan Selat

menempati tanah seluas 60.000 m2. Bahwa pada tanggal 6

Februari 1993, Rumah Sakit Hanggulan Sinta berganti nama

menjadi RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo dengan

menempati gedung baru yang ada di jalan Tambun Bungai

Nomor 16 Kuala Kapuas.

5. Bahwa RSUD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo yang lokasinya

berada di titik koordinat 03000’34.8’’ Lintang Selatan dan

114023’20.0’’ Bujur Timur berdasarkan Kepmentan Nomor 759

Tahun 1982 berada di kawasan Hutan Produksi yang dapat

Dikonversi (HPK), namun secara riil merupakan bangunan

rumah sakit;

57

6. Bahwa di Kabupaten Kapuas pada tanggal 1 Agustus 1961

juga didirikan SMAN 1 Kuala Kapuas yang pada awalnya

sekolah ini berada di kawasan Jalan Pelajar yang merupakan

komplek pelajar, namun seiring dengan perkembangan dan

perluasan kota sehingga sekarang berada di Jalan Letjen

Soeprapto Nomor 66 Kuala Kapuas;

7. Bahwa berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982,

lokasi SMAN 1 Kuala Kapuas yang berada di titik koordinat

03001’18.7’’ Lintang Selatan dan 114023’29.0’’ Bujur Timur

berada di kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi

(HPK), namun secara riil berupa bangunan sekolah;

8. Bahwa beberapa lokasi di Kabupaten Kapuas, terutama di

Kecamatan Kapuas yang menurut Kepmentan Nomor 759

Tahun 1982 merupakan kawasan hutan, namun secara riil

bukan merupakan kawasan hutan dapat dibuktikan dengan

bukti-bukti di lapangan sebagai berikut:

Tabel

Kondisi Riil Kabupaten Kapuas

No. Koordinat Berdasarkan Peta

Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982

Kondisi Riil

1. 03000’43.4’’ LS

114023’16.6’’ BT

Hutan Produksi Konversi Pengadilan Negeri

Kuala Kapuas

2. 03000’45.7’’ LS

114023’14.6’’ BT

Hutan Produksi Konversi Kantor DPRD Kapuas

3. 03001’04.1’’ LS

114’23’05.0 BT

Hutan Produksi Konversi Kejaksaan Negeri

Kuala Kapuas

4. 03001’09.3’’ LS

114’23’20.2 BT

Hutan Produksi Konversi Masjid Darul Muttaqin

5. 03001’06.6’’ LS

114023’13.9’’ BT

Hutan Produksi Konversi Gereja Sinta

6. 03001’29.2’’ LS

114023’23.2’’ BT

Hutan Produksi Konversi Kepolisian Resort

Kapuas

7. 02057’56.2’’ LS

114025’00.7’’ BT

Hutan Produksi Konversi Kantor Bupati Kapuas

8. 03000’47.2’’ LS

114023’16.3’’ BT

Hutan Produksi Konversi Kantor Pertanahan

Kabupaten Kapuas

58

9. 02059’56.3’’ LS

114023’37.1’’ BT

Hutan Produksi Konversi Perumahan Pemuda

Permai

10. 02059’11.0’’ LS

114024’50.4’’ BT

Hutan Produksi Konversi Persawahan Pulau

Petak

11. 03001’17.1’’ LS

114023’34.4’’ BT

Hutan Produksi Konversi Pusat Perbelanjaan

Danaumare

9. Bahwa lokasi-lokasi sebagaimana disebutkan di atas apabila

didasarkan pada “penunjukan kawasan hutan”, maka

seluruhnya berada di kawasan hutan. Namun demikian

apabila dalam menentukan kawasan hutan melalui

mekanisme proses pengukuhan kawasan hutan, maka

kawasan tersebut bukan merupakan kawasan hutan.

3.8. Aset-Aset Daerah Pemohon I Maupun Fasilitas Lainnya yang Dibangun Sejak Tahun 1950 Berada di Kawasan Hutan Akibat Adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 1. Bahwa Pemohon I memiliki aset-aset dan fasilitas lainnya yang

berada di kawasan hutan antara lain: a. bangunan dan tanah yang digunakan sebagai kantor maupun

fasilitas penunjang Pemerintahan Daerah Kabupaten Kapuas; b. prasarana jalan di Kabupaten Kapuas terdiri dari jalan negara

459,90 km, jalan provinsi 463,35 km dan jalan kabupaten

1.722,04 km; c. bangunan gedung sekolah antara lain: 132 bangunan TK, 845

bangunan SD, 64 bangunan SLTP, 20 bangunan SLTA, dan 2

bangunan Perguruan Tinggi; d. tempat ibadah antara lain: 308 masjid, 530 langgar, 22

musholla, 169 gereja dan 54 pura; e. prasarana kesehatan antara lain: 23 Puskesmas, 120

Puskesmas Pembantu, 31 Poskesdes, 97 Polindes, 1 rumah

sakit, 3 klinik bersalin swasta dan 21 balai pengobatan swasta; 2. Bahwa Pemohon I berpotensi kehilangan aset-aset Daerah

maupun fasilitas lainnya sebagaimana tersebut di atas jika Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan dijadikan rujukan untuk menentukan

59

wilayah kawasan hutan, karena aset-aset daerah beserta fasilitas

pendukung lainnya yang telah dibangun sejak tahun 1950 tersebut

dianggap berada di kawasan hutan.

3.9. Pemohon I Tidak Bisa Mengembangkan Potensi Daerah Karena Seluruh Wilayahnya Ditunjuk Sebagai Kawasan Hutan 1. Bahwa berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982, seluruh

wilayah Kabupaten Kapuas ditunjuk sebagai kawasan hutan:

No. Fungsi Kawasan Luas (ha)

1. Hutan Lindung (HL) 5.395

2. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 823.904

3. Hutan Produksi (HP) 499.684

4. Hutan Produksi yang dapat di

Konversi (HPK)

170.917

Total 1.499.900

2. Bahwa jika mengacu pada Perda Provinsi Kalimantan Tengah

Nomor 8 Tahun 2003, kawasan Kabupaten Kapuas dibagi

sebagai berikut:

• Hutan Lindung : 14.400 ha

• Konservasi Mangrove : 8.000 ha

• Konsevasi Ekosistem Air Hitam : 9.200 ha

• Konservasi Flora dan Fauna : 48.800 ha

• Konservasi Hidrologi : 120.000 ha

• Konservasi Gambut Tebal : 73.200 ha

• Hutan Produksi Terbatas : 339.600 ha

• Hutan Produksi : 322.850

• Kawasan Pengembangan Produksi : 340.250 ha

• Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain : 142.000 ha

• Areal Transmigrasi : 6.800 ha

• Kawasan Handil Rakyat : 74.800 ha

3. Bahwa jika mengacu kepada Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982,

maka Pemohon I tidak bisa mengembangkan potensi daerahnya

karena harus meminta ijin kepada Menteri Kehutanan ketika

menjalankan aktifitas dan kewenangannya di Kabupaten Kapuas;

60

4. Bahwa potensi Unggulan Kabupaten Kapuas yang berasal dari

sektor pertanian, perkebunan, pertambangan dan sektor lainnya

merupakan motor penggerak ekonomi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat;

5. Bahwa potensi unggulan ekonomi masyarakat Kabupaten Kapuas

yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam seluruhnya

berada di wilayah kawasan hutan;

6. Bahwa Kabupaten Kapuas dikenal sebagai lumbung padi Provinsi

Kalimantan Tengah, hal ini mengingat masih besarnya kontribusi

sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kabupaten Kapuas

dan banyaknya tenaga kerja yang terserap oleh sektor pertanian

merupakan ciri khas dari Kabupaten Kapuas. Di wilayah pasang

surut dan non pasang surut tercatat, Luas potensi lahan 109.373

ha, terdiri dari sawah dan lahan kering dengan luas lahan yang

pernah dibuka 161.434 ha, dengan sisa luas lahan

pengembangan 115.939 ha. Sedangkan lahan aktif untuk

tanaman padi sawah, padi tegalan, palawija dan hortikultura

berjumlah 222.181 ha. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kapuas,

keragaman perkembangan tanaman pangan dan holtikultura di

Kabupaten Kapuas dapat dilihat pada Tabel berikut ini :

Tabel

Perkembangan Tanaman Pangan dan Holtikultura

No Jenis Komoditi Tahun

2008 2009 2010

Realisasi Realisasi Realisasi

1 2 3 4 5

1. Tanaman Padi :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

106,284

99.053

27.99

277.279

113,319

105.601

30.12

318.117

93,831

109,295

29.75

325,148

2. Tanaman Jagung :- Luas tanam

- Luas Panen

1,035

436

480

510

655

305

61

No Jenis Komoditi

Tahun

2008 2009 2010

Realisasi Realisasi Realisasi

1 2 3 4 5

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

36.75

1,072

37.41

1,908

34.58

1,055

3. Tanaman Kedelai :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

322

418

11.53

482

660

612

11.31

518

589

285

11.37

331

4. Tanaman Kacang Tanah :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

165

112

11.25

351

251

395

11.49

424

56

54

11.37

61

5. Tanaman Kacang Hijau :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

23

48

8.38

57

30

53

8.46

69

11

12

8.20

10

6. Tanaman Ubi Kayu :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

1,386

1,225

116.40

14,402

1,573

1,324

118.44

15,681

1,075

1,622

119.45

19,375

7. Tanaman Ubi jalar :- Luas tanam

- Luas Panen

- Produksi (Ku/Ha)

- Produksi (Ton)

177

117

61.44

2,408

326

366

71.01

2,599

192

197

72.73

1,413

Sumber data: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura

Kabupaten Kapuas Tahun 2010

7. Bahwa Kabupaten Kapuas memiliki potensi daerah pesisir

dengan panjang pantai 37 km dan luas perairan 333.780,04 ha

terdiri dari perairan untuk perikanan darat yang meliputi perairan

sungai sebesar 151.720 ha, rawa 156.362,04 ha, danau 98 ha

dan untuk perikanan laut sebesar 25.600 ha. Total luas potensi

lahan 6.065 ha dengan potensi usaha budidaya perikanan

62

meliputi ikan mas, betutu, patin, udang, gabus, bawal, lele dan

lain-lain. Potensi tangkapan perairan laut meliputi jenis udang,

kakap, kepiting, bakau dan lain-lain. Jumlah hasil produksi

perikanan darat dan perikanan laut untuk 4 (empat) tahun terakhir

selalu mengalami peningkatan terus menerus. Pada tahun 2007

produksi perikanan darat sebesar 3.292,78 ton dengan nilai

penjualan sebesar Rp. 3.292.786.000, sedangkan perikanan laut

dengan hasil produksi sebesar 6.573,09 ton dengan nilai

penjualan sebesar Rp. 6.573.092.000. untuk tahun 2010 produksi

perikanan darat sebesar 7.729,07 ton dengan nilai penjualan

sebesar Rp. 154.581.400.000, sedangkan perikanan laut pada

tahun yang sama dengan nilai produksi sebesar 6.546,34 ton,

nilai penjualan sebesar Rp. 114.770.600.000, untuk jelasnya hasil

produksi perikanan laut dan perikanan darat untuk 4 (empat)

tahun terakhir dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel Produksi Perikanan

Tahun

Tahun

Perikanan Darat Perikanan Laut

Produksi (Ton) Nilai (Rp) Produksi

(Ton)

Nilai (Rp)

2007 3.292,78 3.292.786.000 6.573,09 6.573.092.000

2008 4.586,35 77.967.950.000 6.504,43 81.955.818.000

2009 6.216,54 105.681.180.000 6.546,34 98.195.100.000

2010 7.729,07 154.581.400.000 6.546,34 114.770.600.000

Sumber data :Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kapuas Tahun 2010

8. Bahwa Perkembangan Perkebunan di Kabupaten Kapuas

terkonsentrasi pada 4 (empat) jenis komoditi meliputi tanaman

karet, kelapa sawit, kelapa dan kopi di mana komoditas karet

menempati urutan pertama untuk luas areal dan tingkat produksi.

Penyebaran kedua komoditas tersebut relatif merata di 12

kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas. Karet pada umumnya

lebih banyak terkonsentrasi di Kecamatan Mantangai sementara

kelapa lebih banyak terkonsentrasi di Kecamatan Kapuas Kuala,

sedangkan tanaman sawit lebih banyak terkonsentrasi di

63

Kecamatan Kapuas Hulu, Kapuas Tengah dan Kecamatan

Mantangai, yang saat ini masih dalam tahap pembukaan lokasi

dan sebagian pada tahap penanaman. Untuk lebih jelasnya

perkembangan tanaman perkebunan di Kabupaten Kapuas dapat

dilihat pada Tabel berikut: Tabel

Luas Areal dan Hasil Produksi Tanaman Perkebunan No Jenis Tanaman dan

Hasil Produksi Tahun

2008 2009 2010

1.

Tanaman Karet :

a. Luas areal (Ha)

b. Hasil produksi (Ton) :

1. Kadar Karet Kering

2. Slab

28.171

16.504

55.345

28.681

16.519

55.027

30.261

16.310

55.027

2. Tanaman Kelapa :

a. Luas areal (Ha)

b. Hasil produksi (Ton)

10.519

10.321

10.659

10.342

10.659

10.864

3. Tanaman Kopi :

a. Luas areal (Ha)

b. Hasil produksi (Ton)

601

51

652

51

652

40

Sumber data : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas Tahun

2010

9. Bahwa kehadiran Perkebunan Besar Swasta yang berinvestasi di

Kabupaten Kapuas disamping dapat membuka lapangan kerja

bagi masyarakat juga menyumbang pendapatan bagi negara.

Tercatat sebanyak 6 (enam) PBS yang telah menyampaikan

laporan tentang PPh Pasal 21, Pasal 23 dan PPn yang mencapai

Rp. 42.556.733.377,58. Sedangkan Rencana Investasi bidang

Perkebunan di Kabupaten Kapuas terbagi dalam 2 (dua) kawasan

yaitu : kawasan pasang surut atau kawasan lahan basah dan

kawasan lahan kering atau wilayah non pasang surut, Untuk lebih

jelasnya perkembangan perkembangan investasi di Kabupaten

Kapuas dapat dilihat pada tabel berikut:

64

Tabel Rencana Investasi Bidang Perkebunan

di Kabupaten Kapuas Tahun 2010

No Nama

Perusahaan Luas Areal

(Ha) Besar Investasi

(Rp / Milyar) Realisai

(Rp / Milyar) Lokasi

Kecamatan Ket

1 2 3 4 5 6 7

1. PT. Rezeki Alam

Semesta Raya 20.000 450.000.000.000 154.329.000.000 Kec. Mantangai

sudah

operasi

2. PT. Graha Inti

Jaya 12.100 298. 000.000.000 123.804.090.013 Kec. Mantangai

sudah

operasi

3. PT. Fajar Mas

Indah Plantations 12.000 365.000.000.000 21.082.000.000 Kec. Kapuas Barat

sudah

operasi

4. PT. Sepalar Yasa

Kartika 14.000 690. 000.000.000 25.200.000.000

Kec. Selat

dan Basarang

sudah

operasi

5. PT. Dian Agro

Mandiri 20.310 250.000.000.000 22.000.000.000

Kec. Mantangai,

Kapuas Murung

sudah

operasi

6. PT. Globalindo

Agung Lestari 24.000 369.000.000.000 200.500.000.000

Kec. Mantangai

dan Kapuas

Murung

sudah

operasi

7. PT. Kahayan Agro

Lestari 20.000 574.201.000.000 2.500.000.000 Kec. Timpah

sudah

operasi

8. PT. Hijau Pertiwi

Indah Plantations 17.200 350.911.000.000 100.306.046.869

Kec. Kapuas

Kuala

sudah

operasi

9. PT. Sakti Mait

Jaya Langit 10.000 867.160.000.000 20.764.500.000

Kec. Mantangai

dan Timpah

sudah

operasi

10. PT. Kalimantan

Ria Sejahtera 17.000 361.730.000.000 142.764.500.000

Kec. Kapuas

Tengah

sudah

operasi

11. PT. Wana Catur

Jaya Utama 12.500 450.000.000.000 90.000.000.000

Kec. Kapuas

Tengah

sudah

operasi

12. PT. Kapuas Maju

Jaya 17.500 365.000.000.000 232.635.909.352

Kec. Kapuas

Tengah

sudah

operasi

13. PT. Agro Subur

Permai 16.500 690.000.000.000 19.813.478.745

Kec. Kapuas

Tengah

sudah

operasi

14. PT. Dwi Warna

Karya 12.500 369.000.000.000 214.397.569.477

Wilayah Kec.

Kapuas Hulu

sudah

operasi

15. PT. Susanti

Permai 15.000 442.800.000.000 139.855.036.362

Wilayah Kec.

Kapuas Hulu

sudah

operasi

16. PT. Fliet Green

Power 15.831 339.033.638.181 -

Wilayah Kec.

Kapuas Tengah

dan Timpah

belum

operasi

17. PT. Bawan Indah

Perkasa 17.000 350.360.000.000 -

Wilayah Kec.

Kapuas Tengah

belum

operasi

18. PT. Kalimantan

Agung Lestari 12.500 304.341.766.000 -

Wilayah Kec.

Kapuas Tengah

dan Timpah

belum

operasi

65

No Nama

Perusahaan

Luas Areal

(Ha)

Besar Investasi

(Rp / Milyar)

Realisai

(Rp / Milyar)

Lokasi

Kecamatan Ket

1 2 3 4 5 6 7

19.

PT. Bumi

Sampana

Plantation

16.500 433.584.000.000 - Wilayah Kec.

Kapuas Tengah

belum

operasi

20. PT. Eko Lestari 7.000 339.033.638.181 - Wilayah Kec.

Kapuas Hulu

belum

operasi

21. PT. Hamparan

Mitra Abadi 14.000 350.976.228.000 - Kec. Kapuas Hulu

proses

perizina

n

22. PT. Makmur

Bersama Asia 15.000 418.236.000.000 -

Kec. Kapuas

Tengah dan

Timpah

proses

perizina

n

23. PT. Bina Sarana

Sawit 20.000 441.336.000.000 -

Kec. Kapuas

Tengah dan

Timpah

proses

perizina

n

24. PT. Mitra Sawit

Sejahtera 6.500 166.219.728.000 -

Kec. Kapuas

Tengah

dan Timpah

belum

operasi

25. PT. Mitra Sawit

Sejahtera 13.500 313.900.000.000 -

Kec. Kapuas

Tengah

dan Timpah

belum

operasi

Sumber data : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas Tahun 2010

10. Bahwa Kabupaten Kapuas cukup kaya akan barang tambang dan

berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pada

umumnya pertambangan tersebut dikelola oleh swasta dan

masyarakat. Adapun jenis tambang yang terdapat di Kabupaten

Kapuas tersebut seperti batubara, emas, batu gamping, tanah liat,

kaolin, pasir kuarsa, pasir zirkon, pasir sungai dan gambut, yang

penyebarannya berada di Wilayah Kecamatan Kapuas Hulu,

Kapuas Tengah, Kecamatan Timpah dan Kecamatan Mantangai,

dengan tingkat komposisi sebagaimana pada tabel berikut ini:

Tabel Jenis Bahan Tambang Mineral dan Batubara

di Kabupaten Kapuas

No Bahan Galian

Sumber Daya Hipotetik

(Ton) Tereka (Ton)

Terkira (Ton)

Terukur (Ton)

1 2 3 4 5 6 7

1 Batubara

913.575.066,47 0,00 136.299.713,15 436.611.243,49 340.664.109,83

66

No Bahan Galian

Sumber Daya Hipotetik

(Ton) Tereka (Ton)

Terkira (Ton)

Terukur (Ton)

2 Emas

8.875.000,00 0,00 8.875.000,00 0,00 0,00

3 Batu

Gamping

207.572.600,00 0,00 207.572.600,00 0,00 0,00

4 Tanah

Liat

156.450.000,00 0,00 156.450.000,00 0,00 0,00

5 Kaolin

86.452.500,00 0,00 86.452.500,00 0,00 0,00

6 Pasir

Kuarsa

409.968.005,00 0,00 342.108.750,00 67.859.255,00 0,00

7 Pasir

Zircon

23.297.644,41 81.231,16 11.052.682,00 5.627.950,25 6.535.781,00

8 Pasir

Sungai

795.000,00 0,00 0,00 0,00 795.000,00

9 Gambut

1.800.000,00 0,00 0,00 0,00 1.800.000,00

Sumber Data : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kapuas Tahun 2010

11. Bahwa dengan adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, maka

Pemohon I tidak dapat mengembangkan daerah secara optimal,

tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya dan tidak dapat

mengimplementasikan Perda RTRWP serta RTRWK karena

seluruh Kabupaten Kapuas merupakan kawasan hutan;

12. Bahwa berdasarkan alasan yuridis dan bukti faktual sebagaimana

tersebut pada butir 1 s.d butir 11, maka ketentuan Pasal 1 angka

3 UU Kehutanan bertentangan ketentuan Pasal 18 ayat (2) ,

Pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945.

3.10. Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan Mengakibatkan Pemerintah Pusat Dapat Sewenang-Wenang Dalam Memberikan Status Kawasan Hutan di Daerah Para Pemohon 1. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan melegitimasi praktik

penerapan domein verklaring yang dilakukan Pemerintah Pusat

dalam menunjuk kawasan hutan;

2. Bahwa dalam sejarahnya, domein verklaring untuk pertama kali

diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika menetapkan

67

status tanah di Indonesia. Penerapan domein verklaring dapat

dilihat dalam Pasal 1 Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam

S. 1870-118 yang menyatakan “Behoudens opvolging van de

tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel

gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van

eigendom wordt bewezen domein van de Staat is”. Jika

diterjemahkan: “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan

dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas

bahwa semua tanah yang di pihak lain tidak dapat membuktikan

sebagai hak eigendomnya adalah domein (milik) negara”;

3. Bahwa di dalam buku De Indonesier en zijn grond halaman 58-59,

Van Vollenhoven mengkritik keras praktek domein verklaring

dengan menyatakan “Setidak-tidaknya ada satu kesimpulan yang

tidak dibantah, rumusan-rumusan domein yang katanya

mempertegas dan memperkuat hak-hak adat atas tanah-tanah

usaha, hanya menimbulkan kekacauan belaka; pernyataan

domein yang mengganggap dirinya akan menciptakan ketertiban

dan kepastian, setidak-tidaknya sepanjang mengenai tanah-tanah

usaha, merupakan induk dari sumber keraguan dan

ketidakpastian paling hebat yang dikenal dalam perundang-

undangan Hindia Belanda”;

4. Bahwa dalam sejarahnya asas domein verklaring sebagai dasar

hukum untuk memungkinkan negara memberikan hak atas tanah

kepada pihak lain selaku pemilik tanah, memang bukan

konsepsinya negara modern, melainkan konsepsi feodal dari

zaman abad pertengahan (Middle Ages), seperti yang melandasi

hukum tanah di Inggris dan bekas-bekas negara jajahannya.

Dalam konsepsi ini semua tanah adalah milik Raja;

5. Bahwa meskipun domein verklaring merupakan warisan konsepsi

feodal dan bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat

Indonesia serta asas Negara yang merdeka dan modern

sebagaimana Penjelasan Umum Bagian II Butir 2 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, namun Pemerintah

Pusat masih menggunakan cara tersebut dalam menunjuk

68

kawasan hutan di wilayah Para Pemohon sebagaimana yang ada

dalam Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 dengan menyatakan

“seluruh areal Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan

hutan, tetapi jika ada hak-hak lain yang sah maka akan

dikeluarkan pada saat pengukuran dan penataan batas”;

6. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyebabkan adanya

penunjukan kawasan hutan yang dilakukan secara sewenang-

wenang oleh Pemerintah Pusat, mengakibatkan hubungan

pemanfaatan sumber daya alam antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah tidak dilaksanakan secara adil;

7. Bahwa berdasarkan alasan yuridis dan bukti-bukti faktual tersebut

di atas, maka ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

bertentangan dengan ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945;

3.11. Kewenangan Pemohon I untuk Terlibat dalam Proses Pengukuhan Kawasan Hutan Menjadi Hilang Akibat Penunjukan Kawasan Hutan Disamakan dengan Penetapan Kawasan Hutan 1. Bahwa Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa hubungan

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-

undang;

2. Bahwa dalam Pasal 66 ayat (1) UU Kehutanan menyatakan

“Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah

menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah

Daerah”. Sedangkan ayat (2) “Pelaksanaan penyerahan sebagian

kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan

untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka

pengembangan otonomi daerah”;

3. Bahwa dalam proses pengukuhan kawasan hutan, Pemohon I

diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan penataan batas

kawasan hutan di wilayahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19

ayat (4), Pasal 19 ayat (5) dan Pasal 20 PP Nomor 44 Tahun

2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

69

Pasal 19

Ayat (4) Berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota

menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas.

Ayat (5) Bupati/Walikota bertanggung jawab atas

penyelenggaraan penataan batas kawasan hutan di wilayahnya.

Pasal 20

(1) Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) dilakukan oleh Panitia Tata

Batas kawasan hutan.

(2) Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota.

(3) Unsur keanggotaan, tugas dan fungsi, prosedur dan tata kerja

Panitia Tata Batas kawasan hutan diatur dengan Keputusan

Menteri.

(4) Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) antara lain bertugas :

a. melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan

pekerjaan pelaksanaan di lapangan;

b. menyelesaikan masalah-masalah:

1. hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas;

2. hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan;

c. memantau pekerjaan dan memeriksa hasil- hasil

pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan;

d. membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas

Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan.

(5) Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas

Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang

ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan

diketahui oleh Bupati/Walikota.

70

4. Bahwa dengan adanya kewenangan penataan batas kawasan

hutan yang merupakan bagian dari tahapan pengukuhan

kawasan hutan, maka Pemohon I berwenang dalam proses

penataan batas kawasan hutan di lapangan;

5. Bahwa dengan ditafsirkannya “penunjukan kawasan hutan” sama

dengan “penetapan kawasan hutan” sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, maka Pemohon I tidak

mempunyai kewenangan dalam penataan batas kawasan hutan.

6. Bahwa dengan demikian, Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

menyebabkan hubungan pemanfaatan sumber daya alam antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi tidak adil

karena lebih cenderung mengakomodir kesewenang-wenangan

Pemerintah Pusat dalam menunjuk kawasan hutan, tanpa

melibatkan Pemohon I dalam proses pengukuhan kawasan hutan;

7. Bahwa berdasarkan alasan yuridis sebagaimana diuraikan dalam

butir 1 s.d butir 6, Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan terbukti

bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

3.12. Hak Konstitusional Masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon VI berupa Hak Kebendaan dan Bertempat Tinggal Dirugikan dengan Adanya Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan 1. Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 mengakui adanya hak

konstitusional kebendaan perorangan yang selengkapnya

menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan

dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang merupakan hak asasi”;

2. Bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 juga mengakui hak untuk

bertempat tinggal “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”;

3. Bahwa berdasarkan Data Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Kapuas Tahun 2010, jumlah bangunan rumah yang

71

dimiliki penduduk adalah 87.863 unit, dengan komposisi sebagai

berikut: Tabel

Bangunan Rumah di Kabupaten Kapuas

No. Kecamatan Klasifikasi

Bangunan Rumah

Jumlah Bangunan

Rumah

1 2 3 4

1 Kecamatan

Kapuas Barat

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 4.073 unit

2. Campuran = 197 unit

3. Bukan tempat tinggal = 151 unit

4.421

2 Kecamatan Pulau

Petak

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 4.656 unit

2. Campuran = 303 unit

3. Bukan tempat tinggal = 96 unit

5.055

3 Kecamatan

Kapuas Kuala

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 8.536 unit

2. Campuran = 519 unit

3. Bukan tempat tinggal = 146 unit

9.201

4 Kecamatan

Kapuas Hulu

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 2.699 unit

2. Campuran = 249 unit

3. Bukan tempat tinggal = 82 unit

3.000

5 Kecamatan Selat Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 22.878 unit

2. Campuran = 1.585 unit

3. Bukan tempat tinggal = 1.562 unit

26.025

6 Kecamatan

Kapuas Hilir

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 2.887 unit

2. Campuran = 253 unit

3. Bukan tempat tinggal = 115 unit

3.255

7 Kecamatan

Kapuas Timur

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 5.901 unit

2. Campuran = 294 unit

3. Bukan tempat tinggal = 95 unit

6.290

8 Kecamatan

Basarang

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 4.169 unit

2. Campuran = 268 unit

3. Bukan tempat tinggal = 109 unit

4.546

9 Kecamatan

Mantangai

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 7.412 unit

2. Campuran = 505 unit

3. Bukan tempat tinggal = 156 unit

8.073

72

10 Kecamatan

Kapuas Tengah

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 4.468 unit

2. Campuran = 476 unit

3. Bukan tempat tinggal = 159 unit

5.103

11 Kecamatan

Kapuas Murung

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 9.838 unit

2. Campuran = 505 unit

3. Bukan tempat tinggal = 169 unit

10.512

12 Kecamatan

Timpah

Klasifikasikan bangunan rumah meliputi :

1. Tempat tinggal = 2.023 unit

2. Campuran = 282 unit

3. Bukan tempat tinggal = 83 unit

2.388

Total Bangunan Rumah 1. Tempat tinggal = 79.540 unit 2. Campuran = 5.436 unit 3. Bukan tempat tinggal = 2.887 unit

87.863

Sumber Data: Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Kapuas Tahun 2010

4. Bahwa merujuk pada Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 dan

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, maka bangunan rumah

Penduduk yang berjumlah 87.863 unit masuk dalam kawasan

hutan;

5. Bahwa dengan dinyatakan sebagai kawasan hutan, maka 87.863

unit rumah yang dikuasai dan dimiliki penduduk dan juga 79.540

unit rumah yang dijadikan tempat tinggal, berpotensi diambil oleh

negara atas nama berada di kawasan hutan;

6. Bahwa tanah yang dimiliki oleh Pemohon VI juga berpotensi

diambil oleh negara karena berdasarkan Surat Menteri Kehutanan

Republik Indonesia Nomor S.486/Menhut-VII/2010 tanggal 20

September 2010 tanah tersebut terletak pada kawasan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);

7. Bahwa apabila kawasan hutan dilakukan melalui proses

pengukuhan kawasan hutan yang tahapannya meliputi

penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka

hak kebendaan masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon VI

tidak berpotensi dirampas oleh negara atas nama kawasan hutan;

8. Bahwa berdasarkan alasan yuridis dan bukti faktual sebagaimana

disebut pada butir 1 s.d butir 7 tersebut di atas membuktikan

73

bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan

ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

3.13. Hak Konstitusional Masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon VI berupa Hak Milik Dirugikan dengan Adanya Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan 1. Bahwa Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang

berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”;

2. Bahwa berdasarkan Data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten

Kapuas telah menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan

sebanyak 454 bidang untuk luas tanah 27,24 ha, Sertifikat Hak

Milik sebanyak 71.235 bidang untuk luas tanah 13.752,7152 ha,

Sertifikat Hak Guna Usaha sebanyak 1 bidang untuk luas tanah

9,063 ha, Hak Pakai sebanyak 775 bidang untuk luas tanah

401,4776 ha dan Hak Pengelolaan sebanyak 5 bidang untuk luas

tanah 5 ha;

3. Bahwa merujuk pada Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 dan

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, maka seluruh wilayah Kabupaten

Kapuas merupakan Kawasan Hutan yang secara langsung

berdampak bahwa tanah-tanah yang telah diberikan sertifikat oleh

Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kapuas berada di

kawasan hutan;

4. Bahwa dengan dinyatakan sebagai kawasan hutan, maka tanah-

tanah yang mempunyai sertifikat yang sah yang dikeluarkan oleh

BPN, berpotensi diambil oleh negara karena berada di kawasan

hutan tanpa diberikan ganti rugi;

5. Bahwa Pemohon VI yang memiliki 2 (dua) bidang tanah yang

berlokasi (a) terletak di jalan Yakut I seluas 200 m2, tanah ini

dibeli dari Saidul Abror dengan kepemilikan SKT, (b) terletak di

jalan G. Obos IX yang dibeli dari Abdul Manan seluas 619 m2

dengan bukti kepemilikan SKT, tidak dapat melakukan

pengurusan sertifikat hak milik;

6. Bahwa pengajuan permohonan hak milik Pemohon VI ditolak oleh

BPN Palangka Raya dengan Surat Kepala Kantor Pertanahan

74

Kota Palangka Raya Nomor 226/300.5.62.71/III/2011 yang

menyatakan setelah diteliti terhadap plotting peta kawasan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam wilayah Kota Palangka

Raya sesuai Surat Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor

S.486/Menhut-VII/2010 tanggal 20 September 2010 permohonan

Hak Milik atas tanah dimaksud terletak pada kawasan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selanjutnya permohonan

Hak Milik atas nama Pemohon VI untuk sementara belum dapat

diproses lebih lanjut, karena lokasi tanah yang dimohon terletak

pada kawasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang

alih fungsinya memerlukan persetujuan DPR RI;

7. Bahwa dengan adanya penunjukan kawasan hutan sama dengan

penetapan kawasan hutan yang berarti bahwa penunjukan

kawasan hutan mempunyai nilai kepastian hukum, maka tanah

milik Pemohon VI berpotensi diambil oleh negara untuk dijadikan

kawasan hutan;

8. Bahwa apabila kawasan hutan dilakukan melalui proses

pengukuhan kawasan hutan yang tahapannya meliputi

penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka

tanah-tanah yang bersertifikat tersebut pastilah dikeluarkan dari

kawasan hutan. Hal ini disebabkan dalam proses pengukuhan,

khususnya penataan batas dan penetapan terdapat kegiatan

penyelesaian hak-hak pihak ketiga. Dalam Pasal 20 ayat (4) PP

Nomor 44 Tahun 2004 menyatakan “Panitia Tata Batas Kawasan

Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain bertugas:

a. melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan

pekerjaan pelaksanaan di lapangan;

b. menyelesaikan masalah-masalah:

1. hak-hak atas lahan/tanah disepanjang trayek batas;

2. hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan;

c. memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan

pekerjaan tata batas di lapangan;

d. membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas

Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan.”

75

Selanjutnya Pasal 22 ayat (2) menyatakan “Dalam hal

penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih

terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka

kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan

memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk

diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan”;

9. Bahwa dengan demikian, jika kawasan hutan diartikan sebagai

kawasan yang ditunjuk, maka berakibat Pemohon VI juga tidak

bisa melakukan pengurusan sertifikat hak milik atas tanah yang

dimiliki.

10. Bahwa jika kawasan hutan dilakukan melalui proses

pengukuhan kawasan hutan yang meliputi penunjukan,

penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka hak-hak

konstitusional berupa hak milik atas tanah Penduduk Kabupaten

Kapuas maupun Pemohon VI tidak dirugikan;

11. Bahwa berdasarkan alasan yuridis dan bukti faktual

sebagaimana diuraikan pada butir 1 s.d butir 10 membuktikan

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan ketentuan

Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

3.14. Dengan Ditafsirkannya Penunjukan Kawasan Hutan Sama dengan Penetapan Kawasan Hutan Mengakibatkan Kementerian Kehutanan Hanya Mengejar Target Luasan Kawasan Hutan Tanpa Memperdulikan Upaya Untuk Menjaga Hutan

1. Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan, terdapat kecenderungan paradigma untuk

menentukan keberhasilan kinerja Kementerian Kehutanan

hanya dilihat dari jumlah luasan hutan yang telah ditunjuk, tanpa

memperhatikan kondisi faktual hutan;

2. Bahwa di dalam Buku “Memperkokoh Pengelolaan Hutan

Indonesia: Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah” yang dibuat

Arnold Contreas Hermosilla dan Chip Fay menyatakan

“Terdapat anomali dalam penunjukan kawasan hutan di

Indonesia. Kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan

sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki

76

sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali.

Kawasan dengan ukuran kira-kira 10 kali luas Belgia telah

diklasifikasikan sebagai kawasan hutan tetapi tidak memiliki

hutan yang tumbuh di atas lahannya. Ada juga sekitar 8 juta

hektar hutan tidak diklasifikasikan sebagai bagian dari kawasan

hutan meskipun sebagian di antaranya bahkan adalah hutan

tropik tua”. Asal-usul kekacauan dan kebingungan ini karena

penunjukkan kawasan hutan tidak dilanjuti tahapan pengukuhan

kawasan hutan selanjutnya;

3. Bahwa dengan adanya paradigma dari Kementerian Kehutanan

untuk mengejar target luasan kawasan hutan tanpa

memperhatikan kondisi faktual kawasan tersebut,

mengakibatkan Kementerian Kehutanan tidak menitikberatkan

keberhasilan kinerja dalam menjaga hutan. Dampaknya yaitu

terjadi deforestasi kawasan hutan seluruh Indonesia selama

periode 2003 – 2006 adalah 3,52 juta hektar atau angka

deforestasi rerata tahunan 1,17 juta ha/tahun;

4. Bahwa akibat paradigma Kementerian Kehutanan dalam

mengukur kinerja hanya didasarkan pada luasan kawasan hutan

yang telah ditunjuk, maka sampai saat ini dalam menentukan

luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah masih

mengacu pada Kepmentan Nomor 759 Tahun 1982 di mana

seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah masuk kawasan

hutan;

5. Bahwa mengutip Diktum Ketiga Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982 yang menyatakan Memerintahkan kepada Direktur

Jenderal Kehutanan untuk melaksanakan pengukuran dan

penataan batas Kawasan Hutan tersebut di lapangan dan juga

ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan, maka sudah

seharusnya tahapan pengukuhan kawasan hutan tidak hanya

penunjukkan saja tetapi juga terdapat penataan batas,

pemetaan dan penetapan kawasan hutan;

6. Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan

Pemeriksaan Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008

77

terhadap Manajemen Kehutanan yang dilakukan Departemen

Kehutanan di Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa

penetapan kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah

selama periode 1982-2008, baru dilakukan pada 2 kelompok

hutan dari 75 kelompok hutan yang tercatat yaitu seluas

6.215,10 ha atau hanya 0,06% dari kawasan hutan tetap;

7. Bahwa dengan ditafsirkannya penunjukan kawasan hutan sama

dengan penetapan kawasan hutan oleh Kementerian

Kehutanan, maka hal ini menyimpang terhadap filosofi UU

Kehutanan sendiri, karena tahapan pengukuhan kawasan hutan

tidak hanya penunjukkan kawasan, akibatnya Kementerian

Kehutanan hanya mengejar target luasan kawasan hutan yang

ditunjuk tanpa memperdulikan kondisi faktual hutan.

IV. Kesimpulan

1. Bahwa Pemohon I mempunyai legal standing sebagai Pemerintah Daerah,

sedangkan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan

Pemohon VI mempunyai legal standing sebagai perorangan warga negara

Indonesia dalam perkara pengajuan permohonan ini;

2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat

(5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G

ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dirugikan

dengan adanya frasa “ditunjuk dan atau” yang ada di dalam Pasal 1 angka

3 UU Kehutanan;

3. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah

adalah:

a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan

kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin bidang

perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun

sarana dan prasana lainnya;

b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang

akan dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti perkebunan,

pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan

78

prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan

pengukuhan kawasan hutan;

c. Tidak dapat mengimplementasikan Perda RTRWK dan RTRWP karena

seluruh wilayahnya merupakan kawasan hutan jika tidak dilakukan

pengukuhan kawasan hutan;

d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan

hutan tanpa ijin serta memberikan izin usaha lainnya di kawasan hutan,

jika di Kabupaten Kapuas tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah

dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk

kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

4. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan

Pemohon V selaku perorangan adalah sebagai berikut:

a. Dapat dipidana karena memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa

ijin dari pihak yang berwenang;

b. Dapat dipidana karena memberikan ijin usaha bidang pertambangan,

perkebunan dan usaha lainnya di wilayah Kabupaten Pemohon II, III, IV,

dan V yang menurut penunjukan termasuk dalam kawasan hutan.

5. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon VI selaku perorangan adalah

sebagai berikut:

a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam mengurus Hak

Kebendaan dan Hak Milik karena tanah yang dimohonkan haknya

dianggap berada di kawasan hutan; b. Tidak dijaminnya Hak atas kebendaan karena adanya ancaman bahwa

kebendaan/lahan tersebut dianggap berada di kawasan hutan; c. Tidak dijaminnya hak milik kebendaan karena sewaktu-waktu berpotensi

diambil oleh Negara karena dianggap bahwa lahan tersebut berada di

kawasan hutan; 6. Bahwa Para Pemohon berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil;

7. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menimbulkan ketidakpastian hukum

terhadap status kawasan hutan;

8. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menimbulkan ketidakpastian hukum

di Wilayah para Pemohon;

79

9. Bahwa hak konstitusional para Pemohon atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam negara hukum terutama

yang menyangkut proses pidana menjadi tidak pasti karena para Pemohon

sewaktu-waktu dapat dipidana jika ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan masih menjadi rujukan;

10. Bahwa penulisan “dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan tidak

lazim dalam penulisan sebuah pasal dalam peraturan perundang-undangan;

11. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan tidak konsisten dengan

Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan;

12. Bahwa lokasi-lokasi di Kabupaten Kapuas wilayah Pemohon I secara

faktual bukan berupa Hutan, namun dinyatakan sebagai kawasan hutan

akibat adanya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

13. Bahwa aset-aset Daerah Pemohon I maupun fasilitas lainnya yang

dibangun sejak tahun 1950 dinyatakan sebagai kawasan hutan akibat

adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dan Kepmentan Nomor 759 Tahun

1982;

14. Bahwa Pemohon I tidak bisa mengembangkan potensi daerah karena

seluruh wilayahnya ditunjuk sebagai kawasan hutan;

15. Bahwa kewenangan Pemohon I untuk terlibat dalam proses pengukuhan

kawasan hutan menjadi hilang, jika penunjukan kawasan hutan

dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan;

16. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan mengakibatkan Pemerintah Pusat

dapat sewenang-wenang dalam memberikan status kawasan hutan di

daerah Para Pemohon;

17. Bahwa hak konstitusional masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon VI

berupa hak kebendaan dirugikan dengan adanya Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan;

18. Bahwa hak konstitusional masyarakat Kabupaten Kapuas dan Pemohon VI

berupa hak milik dirugikan dengan adanya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

19. Bahwa dengan ditafsirkannya penunjukan kawasan hutan sama dengan

penetapan kawasan hutan mengakibatkan Kementerian Kehutanan hanya

mengejar target luasan kawasan hutan tanpa memperdulikan upaya untuk

menjaga hutan.

V. Petitum

80

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,

dengan ini Para Pemohon mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai

berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sepanjang frasa “ditunjuk dan

atau” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sepanjang frasa “ditunjuk dan

atau” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon Majelis

Hakim menyatakan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan adalah sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang

dimaknai “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang dikukuhkan sebagai

kawasan hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya

sebagai hutan tetap, melalui penunjukan, penataan batas, pemetaan dan

penetapan kawasan hutan”;

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah

mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-48,

sebagai berikut :

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Menjadi Undang-Undang

3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang

81

Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953

tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di

Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9)

sebagai Undang-Undang

4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953

tentang Pembentukan (Resmi) Daerah Otonom

Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota

Besar Dalam Lingkungan Propinsi Kalimantan

5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

131.62-170 Tahun 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian

dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Kapuas Provinsi

Kalimantan Tengah tertanggal 10 Maret 2008

7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Kuasa Khusus Nomor 183.1/35/DPRD.2011

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kapuas

tanggal 13 Mei 2011

8. Bukti P-8 : Fotokopi Surat Tugas Nomor 183.1/34/DPRD.2011 Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kapuas tanggal 13

Mei 2011

9. Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Hambit

Bintih, M.M.

10. Bukti P-10 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Duwel

Rawing

11. Bukti P-11 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. H. Zain

Alkim

12. Bukti P-12 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama H. Ahmad

Dirman

13. Bukti P-13 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Akhmad

Taufik,M.Pd.

14. Bukti P-14 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan Nomor S.575/Menhut-

II/2006 tanggal 11 September 2006 perihal Pencabutan Surat

Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor

778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September 2000

82

15. Bukti P-15 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan Nomor S.776/Menhut-

II/2006 tanggal 22 Desember 2006 perihal Tanggapan

Pencabutan Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September

2000

16. Bukti P-16 : Fotokopi Surat Kepala Badan Planologi dan Perkebunan

Nomor 778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September 2000 perihal

Pertimbangan Pelepasan Hutan Untuk Perkebunan

17. Bukti P-17 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan Nomor S.426/Menhut-

VII/2006 tanggal 12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri

Kehutanan tentang Status Kawasan Hutan

18. Bukti P-18 : Fotokopi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-

II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan

Hutan

19. Bukti P-19 : Fotokopi Keputusan Menteri Pertanian Nomor

759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di

Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas

15.300.000 hektar Sebagai Kawasan Hutan

20. Bukti P-20 : Fotokopi Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

404/Menhut-II/03 tanggal 10 Juli 2003

21. Bukti P-21 : Fotokopi Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

S.95/Menhut-IV/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang

Laporan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak

Prosedural

22. Bukti P-22 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan dengan Nomor

S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April 2011 Perihal Tim

Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan

Yang Tidak Prosedural di Provinsi Kalimantan Tengah

23. Bukti P-23 : Fotokopi Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Palangka

Raya Nomor 226/300.5.62.71/III/2011 tanggal 31 Maret 2011

Perihal Permohonan Hak Milik Atas Tanah An. Drs. Akhmad

Taufik,M.Pd

24. Bukti P-24 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan Nomor S.486/Menhut-

VII/2010 tanggal 10 September 2010 Perihal Persetujuan

83

Pemanfaatan Kawasan APL pada Revisi RTRWP Kalimantan

Tengah

25. Bukti P-25 : Fotokopi Surat Perintah Setor Kantor Pertanahan Kota

Palangka Raya Nomor D.I.305/4859/2008 tanggal 2 Juli 2008

atas Permohonan Drs. Akhmad Taufik,M.Pd

26. Bukti P-26 : Fotokopi Bukti Pembayaran Biaya Proses Hak atas Tanah

Atas Nama Drs. Akhmad Taufik,M.Pd

27. Bukti P-27 : Fotokopi Bukti Pembayaran Biaya Transport Proses Hak

Atas Tanah dalam Rangka Pelayanan Pemeriksaan Tanah

Atas Nama Drs. Akhmad Taufik,M.Pd

28. Bukti P-28 : Fotokopi Gugatan Tata Usaha Negara Nomor

04/G/2011/PTUN.PLK tanggal 4 Mei 2011

29. Bukti P-29 : Fotokopi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah

Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah;

30. Bukti P-30 : Fotokopi Sekilas Pandang Kabupaten Kapuas

31. Bukti P-31 : Fotokopi Profile Potensi dan Peluang Investasi Kabupaten

Kapuas

32. Bukti P-32 : Fotokopi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Kabupaten Kapuas Tahun 2010

33. Bukti P-33 : Fotokopi Laporan Sensus Penduduk Kabupaten Kapuas

Tahun 2010 Badan Pusat Statistik

34. Bukti P-34 : Fotokopi Data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten

Kapuas

35. Bukti P-35 : Fotokopi Kesepakatan Bersama Bupati/Walikota dan Ketua

DPRD Kabupaten/Kota Se-Kalimantan Tengah

36. Bukti P-36 : Fotokopi Rumusan Hasil Rapat Koordinasi Pemerintah

Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Wilayah Kalimantan

Tengah Tahun 2011

37. Bukti P-37 : Fotokopi Kumpulan Kliping Koran dan Media Massa Perihal

Permasalahan Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah

38. Bukti P-38 : Fotokopi Buku “Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia:

Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah” yang dibuat Arnold

Contreas Hermosilla dan Chip Fay

84

39. Bukti P-39 : Fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan

Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008 terhadap

Manajemen Kehutanan yang dilakukan Departemen

Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) di Provinsi

Kalimantan Tengah

40. Bukti P-40 : Fotokopi Peta Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor

759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di

Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas

15.300.000 hektar

41. Bukti P-41 : Fotokopi Peta RTRWP Kalimantan Tengah Tahun 2003

42. Bukti P-42 : Fotokopi Peta Wilayah Kabupaten Kapuas Provinsi

Kalimantan Tengah Berdasarkan Peta RTRWP 2003

43. Bukti P-43 : Fotokopi Peta Wilayah Kabupaten Kapuas Provinsi

Kalimantan Tengah Berdasarkan Peta TGHK Provinsi

Kalimantan Tengah

44. Bukti P-44 : Fotokopi Peta Penutupan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah

Tahun 2003

45. Bukti P-45 : Fotokopi Peta Amuntai berdasarkan US Army Map Service

Tahun 1962

46. Bukti P-46 : Fotokopi Surat Menteri Kehutanan Nomor S.255/Menhut-

II/07 tanggal 13 April 2007 perihal Pemanfaatan

areal/kawasan hutan

47. Bukti P-47 : Fotokopi Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor

SE.04/Menhut-VII/2005 tanggal 7 Juni 2005 Hal Usulan

Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan di Wilayah

Kabupaten/Kota

48. Bukti P-48 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

Selain itu para Pemohon juga mengajukan 5 (lima) orang Ahli yang

didengar keterangannya di depan persidangan pada tanggal 4 Oktober 2011 dan

pada tanggal 8 November 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai

berikut

1. Prof. Dr. H.M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum.

85

• Bahwa apabila memperhatikan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 yang rumusannya adalah bahwa kawasan hutan adalah

wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, bila dilihat dari aspek

legal drafting itu masuk dalam ketentuan umum. Ketentuan umum ini berisi

batasan tentang pengertian atau definisi, berisi tentang singkatan atau

akronim, berisi hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal

berikutnya, seperti asas, maksud, dan tujuan;

• Bahwa fungsi ketentuan umum adalah untuk menjelaskan makna,

pengeritan, atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal lain yang

bersifat umum terhadap materi pokok yang diatur dalam undang-undang

yang bersangkutan.

• Bahwa apabila kita lihat pengeritan Pasal 1 angka 3 dimaksud untuk

memberikan pengertian terhadap materi pokok yang diatur dalam hal ini

adalah Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Pasal 14 terdiri dari dua ayat, Pasal 15 juga terdiri dari dua ayat;

• Bahwa dengan memperhatikan pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 1

angka 3 dengan materi pokok yang terdapat dalam Pasal 14 dan Pasal 15

Undang-Undang Nomor 41, maka jelas bahwa pengertian Pasal 1 angka 3

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, dengan argumentasinya

sebagai berikut:

Pertama, tentang soal kepastian hukum, di dalam Pasal 14 dan Pasal

15 dijelaskan bahwa yang memberikan kepastian hukum atas kawasan

hutan adalah kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan

pengukuhan kawasan hutan itu meliputi empat tahapan, yaitu:

a. Penunjukan kawasan hutan, b. Penataan batas kawasan hutan, c. Pemetaan kawasan hutan, dan d. Penetapan kawasan hutan.

Status dan batasan kawasan hutan yang memberikan kepastian hukum

apabila dilakukan dengan empat tahapan ini. Jadi rangkaian kegiatan

dari empat tahapan, penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan

penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas kawasan hutan. Oleh karena

86

itu, apabila dilakukan hanya satu tahapan, yaitu berupa penunjukan

kawasan hutan saja, belum dapat memberikan kepastian hukum; Bahwa dapat disimpulkan norma Pasal 1 angka 3 yang digunakan

hanya pada frasa ‘ditunjuk’, bukan ditetapkan sebagai tindakan

Pemerintah untuk menentukan status dan batasan kawasan hutan,

jelas tidak menimbulkan kepastian hukum, berarti Pasal 1 angka 3

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Kedua adalah dari aspek hukum administrasi. Dalam hukum

administrasi, salah satu tindakan Pemerintah, dalam kaitan ini yang kita

kenal adalah penetapan atau keputusan Pemerintah. Istilah

penunjukan, tidak dikenal di dalam bagian dari bestuurshandelingen; Bahwa dalam hukum administrasi, salah satu aspek untuk mengukur

keabsahan penetapan adalah menyangkut soal prosedur pembuatan.

Karena cacat prosedur, dapat menyebabkan cacatnya penetapan.

Prosedur standar tindakan Pemerintah adalah terdiri dari tahapan

persiapan, termasuk di dalamnya peran serta masyarakat dan

kemudian tahapan terakhir adalah pengambilan keputusan atau

penetapan.

• Bahwa tahapan persiapan diperlukan untuk menghindari cacat karena

ketidakcermatan atau ketelitian. Kecermatan atau ketelitian dimaksud agar

untuk menetapkan fakta yang benar, sehingga tersangkut asas

pemeriksaan yang teliti. Asas ini mensyaratkan bahwa pengambilan

keputusan oleh Pemerintah harus didahului oleh pemeriksaan yang teliti

tentang fakta;

• Bahwa selain itu di dalam bagian yang terpenting di dalam hukum

administrasi modern untuk menjamin hak-hak dasar warga negara, agar

warga negara tidak menjadi objek, melainkan menjadi subjek yang aktif

terlibat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, maka harus

dimungkinkan seluruh warga masyarakat mengajukan keberatan yang

terkait, yang ada kepentingan, dan peran serta masyarakat sebelum

keputusan yang diambil;

• Bahwa kaitannya dengan kasus ini, dalam proses pengukuhan kawasan

hutan, maka apabila kita perhatikan di dalam penjelasan Pasal 15 angka 1,

kegiatan yang tersangkut dengan penunjukan, itu disebutkan adalah

87

pertama pembuatan peta, penunjukan yang bersifat arahan tentang batas

luar. Yang kedua, pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan

lorong-lorong batas. Yang ketiga, pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi

rawan. Dan yang terakhir pengumuman rencana. Pengumuman rencana

batas kawasan hutan, termasuk di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan

tanah hak;

• Bahwa kegiatan penunjukan oleh Pasal 17 PP Nomor 44 Tahun 2004

dikatakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu untuk menjadi

kawasan hutan. Dan ini juga telah diakui sendiri oleh Pemerintah di dalam

Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/KPTS-II/2001

dan untuk Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2004;

• Bahwa kalau dilihat bagian lain dari tahapan persiapan, hal yang penting,

yang terkait langsung dengan kasus a quo adalah adanya pemeriksaan

yang teliti dari Pemerintah tentang fakta yang benar dan peran serta

masyarakat;

• Bahwa di dalam tahapan proses pengukuhan kawasan hutan, yang

dimaksud dengan pemeriksaan teliti dari Pemerintah, kecermatan, dan

peran serta masyarakat, hal tersebut hanya terdapat pada tahapan kedua,

yaitu dalam penataan batas. Hal ini disebutkan di Pasal 19 ayat (2) PP

Nomor 44 Tahun 2004. Kegiatan itu adalah pertama pemancangan patok

batas sementara. Yang kedua, pengumuman hasil pemancangan patok

batas sementara. Yang ketiga, inventarisasi dan penyelesaian,

inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di

sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan, dan di penyusunan

berita acara pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek batas atas hasil

pemancangan patok batas sementara; Penyusunan berita acara

pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan

patok batas sementara; Pemancangan pal batas yang dilengkapi dengan

lorong batas; Pemetaan hasil penataan batas; Pembuatan dan

penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas; dan

Pelaporan kepada menteri dengan tembusan kepada gubernur;

• Bahwa setelah penataan batas, tahapan ketiga adalah pemetaan, dan

terakhir adalah penetapan.

88

• Bahwa penetapan kawasan hutan adalah sebagaimana disebutkan Pasal

1 angka 11 PP Nomor 44 Tahun 2004, penegasan tentang kepastian

hukum mengenai status batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi

kawasan hutan tetap. Dengan demikian, apabila melihat ketentuan Pasal 1

angka 3 yang hanya pada tahapan penunjukan tidak diikuti dengan

tahapan kedua, ketiga, yaitu penataan batas dan pemetaan, jelas hal ini

tidak memberikan perlindungan kepada warga negara yang harus aktif

dalam penyelenggaraan administratif pemerintahan. Dengan demikian,

Pasal 1 angka 3 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat

(3), Pasal 28F, dan Pasal 28I ayat (1) ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945;

2. Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.

• Bahwa dalam perspektif hukum positif, khususnya hukum tertulis atau

peraturan perundang-undangan seperti halnya Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999, tidak selamanya memberikan jaminan kepastian hukum.

Dalam hal-hal tertentu, hukum tertulis dapat menjadi sumber ketidakpastian

hukum, apabila rumusan, kaidah dari hukum tertulis tidak jelas arti, maksud,

dan tujuannya yang kita kenali sebagai istilah ambigous, atau rumusannya

dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretative), atau bahkan terjadi

inkonsistensi di dalam penggunaan, lebih-lebih lagi kalau terjadi kebijakan

pelaksanaan yang menyimpang dari bunyi atau maksud hukum tertulis

yang bersangkutan, semuanya itu dapat menjadi sebab timbulnya

ketidakpastian hukum;

• Bahwa cara untuk mengatasi kekurangan peraturan perundang-undangan,

sebagaimana yang ahli sebutkan di atas adalah dengan memperbesar

peranan hakim. Dalam hal ini hakim bukan hanya sekadar mulut atau

corong undang-undang, tapi sebagai pihak yang mempertimbangkan baik,

buruk, manfaat suatu peraturan perundang-undangan agar hukum tetap

terlaksana dengan adil dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya

bagi kehidupan masyarakat;

• Bahwa untuk hal tersebut di atas, Hakim harus menafsirkan, melakukan

analogi, melakukan penghalusan hukum (argumentum a contrario), bahkan

lebih jauh dari itu, manakala diperlukan, hakim harus menciptakan hukum

untuk memutus suatu perkara. Hal ini menimbulkan fenomena baru dalam

89

sistem hukum kontinental, yaitu makin pentingnya peranan putusan hakim

atau yurisprudensi sebagai subsistem hukum;

• Bahwa atas dasar itu sangat tidak beralasan, Menteri Kehutanan

menafsiirkan secara sepihak Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 khususnya frasa ‘ditunjuk dan/atau’ dalam rumusan

Pasal 1 angka 3 tersebut, dengan menyatakan bahwa penunjukan adalah

sama dengan penetapan kawasan hutan, hal itu tampak dari:

1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5426/Menhut-VII/2006 tanggal

12 Juli 2006;

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P50/Menhut-II/2009 tentang

Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan;

3. Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 404/Menhut-II/2003-nya

mengacu dan berpedoman pada keputusan Menteri Pertanian Nomor

759 tahun 2002 tentang Penunjukan Area Hutan di Wilayah Provinsi

Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 hektare.

• Bahwa maksudnya tidak beralasan adalah karena yang pertama, selaku

menteri yang notabene adalah pembantu presiden adalah pelaksana

undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang 41 Tahun 1999

karena dia berada pada domain atau cabang kekuasaan eksekutif yang

dipimpin oleh presiden sebagai chief of executive atau chief of government

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar

1945. Kalaupun konsisten melaksanakan dengan ketentuan Pasal 1 angka

3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, seharusnya pemerintahlah yang

melaksanakannya, bukan menteri karena pengertian pemerintah dalam

Pasal 41 angka 14 adalah pemerintah pusat, sedangkan pengertian

pemerintah pusat menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah yang dikutip

selengkapnya yaitu, “Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan negara republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

• Bahwa yang kedua, jangankan menteri, presiden yang mengangkat dan

memberhentikan menteri tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan

bunyi ketentuan yang ada dalam undang-undang, oleh karena itu, tindakan

90

Menteri kehutanan yang menafsirkan secara sepihak ketentuan Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah tindakan tanpa

wewenang atau ultra vires. Sehingga apa pun bentuk hukum atau tindakan

ultra vires itu, sama sekali tidak memiliki legal binding dan oleh karenanya

batal demi hukum, van rechtwegenietig atau null and void;

• Ketiga, kewenangan untuk menafsirkan bunyi ketentuan yang terdapat

dalam undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999, ada pada hakim;

• Bahwa kebijakan pelaksanaan menyimpang dari bunyi atau maksud hukum

tertulis atau peraturan perundang-undangan adalah salah satu sumber

penyebab timbulnya ketidakpastian hukum. Penyimpangan kebijakan yang

diambil oleh Menteri Kehutanan yang dituangkan ke dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas adalah satu contoh

nyata dari sumber penyebab timbulnya ketidakpastian hukum;

• Bahwa selain kebijakan pelaksanaannya menyimpang, rumusan kaidah

hukum yang tertulis ataupun peraturan perundang-undangan yang ambigu

adalah juga menjadi sebab timbulnya ketidakpastian hukum. Rumusan

kaidah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 khususnya frasa

‘ditunjuk dan/atau’ dinilai oleh para Pemohon menimbulkan ketidakpastian

hukum yang berimplikasi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon;

• Bahwa menghadapi rumusan kaidah hukum yang ambigu di satu pihak dan

kewajiban mengadili di pihak lain, maka hakim tidak mungkin menjadi

sekadar corong atau mulut undang-undang.

• Bahwa Hakim dalam menjalankan tugasnya dituntut juga untuk memberi arti

suatu ketentuan agar dapat mencakup suatu peristiwa hukum tertulis,

bahkan wajib menemukan hukum untuk menyelesaikan peristiwa konkret

tertentu.

• Bahwa untuk kepentingan tersebut hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

• Bahwa metode yang dapat digunakan oleh hakim untuk menerapkan atau

menemukan hukum secara tepat bagi keperluan memecahkan masalah

hukum konkret yang dihadapi, dilakukan dengan penemuan hukum

(Rechtsvinding atau legal finding);

91

• Bahwa ada 2 metode utama yang digunakan hakim dalam penegakan

penerapan hukum yaitu penafsiran dan konstitusi hukum. Dalam hal perkara

a quo lebih relevan hanya menggunakan metode penafsiran;

• Bahwa penafsiran atau interpretasi adalah usaha untuk memberi makna

suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar di

dalam memecahkan suatu permasalahan hukum, perbedaan antara norma

dan/atau suatu sengketa hukum;

• Bahwa dengan mengutip pendapat dari J.A. Pointer dalam Rechtsvinding,

didapati bermacam-macam metode penafsiran, diantaranya yang ahli

anggap relevan dalam kasus ini adalah penafsiran berdasarkan tata bahasa

atau ilmu bahasa, penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan peraturan

perundang-undangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penafsiran

sistematis;

• Bahwa penafsiran berdasarkan tata bahasa atau gramatika adalah

penafsiran yang berusaha menemukan arti atau makna kata-kata atau

kalimat dalam teks peraturan perundang-undangan dengan cara

menghubungkan arti kata, atau kata-kata dengan pengertian, atau kata-kata

dengan pengertian arti yang lazim dipakai sehari-hari;

• Bahwa dalam Burgerlijk Wetboek atau BW didapati ketentuan mengenai

cara menafsirkan secara gramatika suatu perjanjian. Misalnya, Pasal 1342,

“Jika kata-kata suatu persetujuan jelas tidak diperkenankan menyimpang

dalam menafsirkan, karena dalam undang-undang ada prinsip, apabila kata-

kata atau kata-kata dalam suatu undang-undang telah cukup jelas, dilarang

untuk ditafsirkan, meskipun secara keseluruhan kaidahnya kurang atau

tidak baik.”

• Bahwa Pasal 1343, “Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai

penafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang

membuat persetujuan itu daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.”

• Bahwa Pasal 1344, “Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu

harus dimengerti menurut artinya yang memungkinkan janji itu

dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu

dilaksanakan.”

• Bahwa Pasal 1345, “Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih

arti yang paling sesuai dengan sifat persetujuan. Dalam peraturan

92

perundang-undangan, suatu kata atau kata-kata harus diberi arti

sebagaimana kata atau kata-kata tersebut diartikan dalam bahasa sehari-

hari.”

• Bahwa penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan peraturan perundang-

undangan, penafsiran berdasarkan wet histories dilakukan dengan meneliti

bahan-bahan penyusunan rancangan dan menelusuri pembicaraan di DPR

dan dari lain bahan yang bertalian pembentukan suatu undang-undang atau

peraturan perundang-undangan;

• Bahwa tidak kurang penting untuk diperhatikan yaitu berbagai hasil kajian

atau academic chart atau rancangan akademik yang disusun dalam rangka

pembuatan undang-undang tersebut, dan yang terpenting seperti adalah

penafsiran sistematik;

• Bahwa Penafsiran sistematik bertolak pada sebuah prinsip, hukum adalah

sebuah sistem. Untuk menemukan arti, atau pengertian suatu norma, atau

istilah dilakukan dengan cara menghubungkan satu ketentuan dengan

ketentuan-ketentuan lain, baik dalam peraturan perundang-undangan yang

sama maupun dengan peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum

yang lain;

• Bahwa dengan menggunakan penafsiran sistem sistematik, maka ketentuan

Pasal 1 angka 3 khususnya frase ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’ berkorelasi

dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999. Kedua pasal ini berada di bagian ketiga di bawah judul Pengukuhan

Kawasan Hutan. Ketentuan Pasal 1 angka 3 selengkapnya berbunyi,

“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan

oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”

Ketentuan Pasal 14 menegaskan:

Ayat (1): “Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan

hutan.”

Ayat (2): “Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum

atas kawasan hutan.”

Sedangkan ketentuan Pasal 15 menyebutkan:

93

Ayat (1): “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. Penunjukan kawasan hutan,

b. Penantaan batas kawasan hutan,

c. Pemetaan kawasan hutan, dan

d. Penetapan kawasan hutan.”

Ayat (2): “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilakukan dengan mempraktikkan rencana tata ruang wilayah.”

• Bahwa hal terpenting dari ketiga ketentuan tersebut di atas sekaligus

menjawab dan memperjelas makna frasa ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’

dalam rumusan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999, adalah terletak pada kegiataan pengukuhan kawasan hutan

sebagai proses, cara, pembuatan, mengukuhkan untuk memberi legalitas

atau kepastian hukum atas kawasan hutan;

• Bahwa pengukuhan kawasan hutan itu sendiri dilakukan melalui proses:

a. Penunjukan kawasan hutan,

b. Penantaan batas kawasan hutan,

c. Pemetaan kawasaan hutan, dan

d. Penetapan kawasan hutan.

• Bahwa penunjukan kegiatan hutan merupakan kegiatan awal dari

pengukuhan kawasan hutan yang masih harus diikuti oleh kegiatan

penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan akhirnya

pada penetapan kawasan hutan;

• Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penunjukan kawasan

hutan merupakan kegiatan awal dari pengukuhan kawasan hutan,

sedangkan penetapan kawasan hutan merupakan kegiatan penutup dari

pengukuhan kawasan hutan. Dua-duanya baik penunjukan dan penetapan

adalah bagian dari proses ke arah pengukuhan suatu kawasan sebagai

kawasan hutan. Pengukuhan itu sendiri merupakan legalitas untuk

memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan;

• Bahwa atas dasar itu, guna menjamin adanya kepastian hukum serta

menutup peluang untuk ditafsirkan lain dan sekaligus menunjukkan

konsistensi dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15, maka ketentuan

ketentuan Pasal 1 angka 3, khususnya frasa ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’

94

harus dinyatakan bersyarat (conditionally constitutional) yaitu konstitusional,

sepanjang dimaknai kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang

dikukuhkan sebagai kawasan hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap, melalui proses penunjukan, penataan

batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan;

• Bahwa bila tidak dimaknai demikian, maka ketentuan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang 41 Tahun 1999 menimbulkan ketidakpastian hukum dan

ketidakkonsistenan dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15, sebagai

sesuatu yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan juga

berimplikasi terganggunya penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai

sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan daerah,

sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat

(6), serta Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

• Bahwa Last but not least membawa implikasi juga terjadinya pelanggaran

terhadap hak-hak asasi manusia sebagai sesuatu yang bertentangan

dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28H

ayat (1), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dan tidak kalah

pentingnya, akhirnya membuka peluang ditafsirkannya secara sepihak oleh

Menteri Keuangan, serta berimplikasi merugikan hak-hak konstitusional

para Pemohon;

3. Tommy Hendra Purwaka, S.H., LL.M., Ph.D.

• Pertama, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Kesejahteraan umum diartikan sebagai suatu keadaan di mana seluruh

rakyat Indonesia hidup dalam tidak takut akan hari esok karena kebutuhan

hidup setiap warga negara terpenuhi;

• Bahwa salah satu sumber daya alam yang diharapkan dapat dipergunakan

untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut adalah hutan. Untuk dapat

memenuhi harapan tersebut, hutan harus seabaik-baiknya diurus melalui

kegiatan pengurusan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 sampai

dengan Pasal 65 Undang-Undang Kehutanan. Dalam hal ini, kita fokuskan

kepada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Kehutanan;

95

• Bahwa kegiatan pengurusan hutan tersebut di atas, bila dilakukan

seluruhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka hutan sebagai

objek dari kegiatan pengurusan dapat diharapkan menjadi salah satu

kontributor utama terwujudnya kesejahteraan umum. Namun demikian,

kenyataan menunjukkan bahwa tahap-tahap kegiatan pengurusan hutan

tersebut di atas, tidak terlaksana di Kalimantan Tengah sesuai ketentuan

undang-undang, dan yang terlaksana adalah jalan pintas, yaitu hanya

dengan melaksanakan penunjukkan dan/atau penetapan kawasan hutan

berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, untuk

mempertahankan keberadaan hutan sebagai hutan tetap. Jalan pintas itu

sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kegiatan pengurusan

hutan, dengan demikian, pelaksanaan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Kehutanan tidak akan dapat mewujudkan kesejahteraan umum,

sebagaimana dikemukakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945;

• Dari sudut pemahaman hutan sebagai sumber daya alam, Pasal 18A ayat

(2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa hubungan

pemanfaatan hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur

dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Keadilan dan keselarasan yang tercipta dalam hubungan pemanfaatan

hutan tersebut akan menghasilkan, misalnya saja efisiensi dalam bidang

ekonomi, kesejahteraan dalam bidang sosial, dan keberlanjutan dalam

kegiatan pembangunan di daerah;

• Pelaksanaan hubungan pemanfaatan hutan secara adil dan selaras antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana digambarkan di

atas, ternyata tidak pernah dapat diwujudkan dengan penunjukan dan/atau

penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Kehutanan. Sebaliknya, pelaksanaan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Kehutanan dewasa ini telah menimbulkan banyak

permasalahan, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional

Pemerintah Daerah, kepala daerah sebagai perseorangan, dan

masyarakat daerah;

• Bahwa hutan merupakan salah satu jenis kekayaan alam yang terkandung

di dalam bumi dan air Indonesia yang dikuasai, bukan dimiliki oleh negara

96

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, penggunaan,

pemanfaatan, pengelolaan hutan oleh Kementerian Kehutanan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan dapat dicapai hanya dengan

menunjuk, dan menetapkan kawasan hutan, serta mempertahankan

kebenarannya hanya sebagai hutan tetap berdasarkan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Kehutanan, tanpa melibatkan Pemerintah dan rakyat

daerah yang memiliki hak-hak konstitusional atas hutan dan hak-hak

konstitusional lainnya yang berkaitan dengan hutan;

• Bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh rakyat dan

Kementerian Kehutanan hanya dapat menguasainya berdasarkan mandat

dari rakyat. Dari sudut hukum kekayaan negara, hutan yang demikian itu

disebut domain public. Negara hanya menguasai dan tidak memiliki.

Penguasaan oleh negara tersebut dilaksanakan oleh Kementerian

Kehutanan dalam bentuk kegiatan pengelolaan, pemanfaatan, dan

penggunaan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan sebesar-besar

kemakmuran rakyat;

• Bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan tersebut, lebih merupakan

kegiatan kepemilikan daripada kegiatan dari pihak penerima kuasa atau

mandat. Kegiatan kepemilikan akan menempatkan hutan sebagai domain

privat dalam kekayaan negara. Sebagai konsekuensinya, kegiatan tersebut

ternyata kemudian melanggar hak-hak konstitusional dari rakyat yang

memberikan mandat kepadanya.

4. Kurnia Toha, S.H., LL.M., Ph.D.

• Bahwa pokok persoalan dalam perkara ini adalah ketentuan Pasal 1 angka

3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang berbunyi, “Kawasan hutan

adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”;

• Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan

ketentuan umum dan mengenai definisi. Dengan demikian, semua kata atau

frasa atau kalimat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 harus

mempunyai definisi yang sama dengan definisi yang ada dalam Pasal 1

dimaksud;

97

• Selanjutnya Pasal 14 menyatakan, “Berdasarkan inventarisasi hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan

pengukuhan kawasan hutan.” Pasal 14 ayat (2), “Kegiatan pengukuhan

kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk

memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.”;

• Sedangkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan, “Pengukuhan

kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui

proses sebagai berikut:

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,

c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan.”

• Bahwa di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) disebutkan, “Penujukan

kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan,

antara lain:

a. berupa pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas

luar,

b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong

batas,

c. pembuatan parit batas atau pada lokasi-lokasi rawan, dan

d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan terutama di lokasi-

lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.”

• Bahwa apabila dikaji ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 14 dan Pasal 15

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, maka adalah wajar kalau

menimbulkan perbedaan penafsiran, baik di kalangan instansi pemerintah,

penegak hukum, maupun di kalangan akademisi. Hal ini terjadi karena tidak

adanya kesamaan rumusan dan arti antara ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 1 angka 3 dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999.

• Bahwa Pasal 1 angka 3 menyatakan kawasan hutan adalah wilayah daerah

tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan. Pasal 14 ayat (1) menyatakan,

“Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan

pada inventaris inventarisasi hutan.” Dan Pasal 15 ayat (1) menyatakan,

“Pengukuhan kawasan hutan melalui 4 tahap, yaitu penunjukan kawasan

98

hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan

penetapan kawasan hutan.”;

• Bahwa dari rumusan Pasal 15 ayat (1) diketahui bahwa 4 tahap

pengukuhan kawasan hutan adalah kumulatif. Hal ini dipertegas oleh

penjelasan Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa penunjukan kawasan

hutan baru merupakan kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan.

Dengan demikian, untuk sampai pada penetapan kawasan hutan,

penunjukan kawasan hutan harus diikuti ketiga tahap berikutnya.

Sedangkan dari definisi Pasal 1 angka 3 kawasan hutan adalah wilayah

tertentu yang ditunjuk, dan/atau ditetapkan, dan seterusnya. Sehingga

penetapan kawasan hutan bisa dilakukan melalui satu tahap, yaitu ditunjuk

atau pada tahap persiapan;

• Bahwa dari kajian tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa

ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini

mengakibatkan:

1. Adanya ketidakpastian hukum karena dapat mengakibatkan adanya

perbedaan penafsiran;

2. Dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, bahkan

instansi pemerintah lainnya karena proses penetapan kawasan hutan

cukup dilakukan dengan ditunjuk tanpa perlu melalui proses yang sesuai

dengan prinsip-prinsip negara hukum atau prinsip-prinsip due process of

law;

• Selanjutnya akan dikaji, apakah ketentuan Pasal 1 angka 3 mengakibatkan

dilanggarnya hak-hak Konstitusi dan menyebabkan kerugian Konstitusi para

Pemohon;

• Bahwa yang menyatakan hak atas tanah, antara lain memberikan hak untuk

menguasai, hak untuk menggunakan, hak untuk mengelola, hak untuk

mendapatkan penghasilan, dan hak untuk mengusahakan;

• Nicholas Mercuro dalam bukunya The Fundamental Interrelationship

Between Goverment And Property, menyatakan bahwa hak-hak kebendaan,

termasuk hak atas tanah tidak banyak artinya apabila tidak ditentukan

secara jelas dan tidak pasti. Apabila tidak jelas, maka akan menyebabkan

tidak adanya jaminan dan akan menyebabkan konflik di masyarakat;

99

• Hernando de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital: Why Capitalism

Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, menekankan pentingnya

jaminan kepastian hukum atas properti bagi kesejahteraan suatu bangsa.

Ahli properti lainnya, Yoram Barzel dalam bukunya Economic Analysis of

Property Rights, menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan adanya

jaminan dan kepastian hukum atas properti adalah adanya perlindungan,

dan peraturan yang jelas, serta perlindungan dari penegak hukum;

• Bahwa dari berbagai pendapat tersebut, dapat kita ketahui bahwa hak-hak

atas kebendaan atau property rights baru mempunyai arti dan bisa

dilaksanakan apabila terdapat jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.

Sedangkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, baru terdapat

apabila terdapat perlindungan dari pemerintah melalui peraturan yang jelas

dan adanya perlindungan dari penegak hukum;

• Bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menjadi undang-undang, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal

18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), dan Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2),

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H

ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, serta doktrin atau pendapat para Ahli

mengenai hakikat hak-hak kebendaan ataupun wilayah termasuk hak atas

tanah, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 3, khususnya frasa ditunjuk dan/atau

ditetapkan, mengakibatkan penunjukan kawasan hutan mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan,

sehingga menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, jaminan,

perlindungan, dan melanggar keadilan yang merupakan sendi-sendi

utama dari negara hukum. Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bertentangan dengan Pasal 1

ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

2. Dengan disamakannya penunjukan kawasan hutan dengan penetapan

kawasan hutan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999, mengakibatkan tidak adanya kepastian

100

hukum, jaminan, perlindungan, dan keadilan, sehingga menyebabkan

pemerintah daerah tidak dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan, menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya,

menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan

selaras sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat

(5) dan Pasal 18 ayat (6), dan Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945.

3. Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini

juga telah mengakibatkan dilanggarnya hak setiap orang atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum karena hak atas tanahnya tidak

dapat didaftarkan karena ditunjuk sebagai kawasan hutan, sehingga

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

4. Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

telah menyebabkan tidak adanya perlindungan terhadap pribadi,

kehormatan, martabat, harta benda, rasa aman, dan perlindungan dari

ancaman ketakutan karena dengan frasa penunjukan dan/atau, dapat

mengakibatkan hilangnya hak milik atas tanah dan/atau harta benda

lainnya, serta terbukanya kemungkinan untuk dipersalahkan melakukan

tindak pidana, sehingga bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945.

5. Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

dapat menyebabkan tidak dapatnya terciptanya hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik karena tidak

ada jaminan hak atas tanahnya yang ditunjuk sebagai kawasan hutan,

sehingga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945.

6. Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

dapat menyebabkan diambil alihnya hak milik pribadi secara sewenang-

wenang karena hanya dengan penunjukan sebagai kawasan hutan, hak

milik pribadi akan hilang. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip

negara hukum, di mana hak milik pribadi hanya boleh diambil alih

101

apabila sesuai dengan due process of law dan dengan ganti rugi yang

adil;

5. DR. Sadino, S.H., M.H.

• Bahwa pada pokoknya isi permohonan para Pemohon adalah menyatakan

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan sepanjang frasa ditunjuk

dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang selanjutnya

yaitu atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon Majelis

Hakim menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan adalah

sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara bersyarat yaitu

konstitusional sepanjang dimaknai kawasan hutan adalah wilayah tertentu

yang dikukuhkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap melalui penunjukan

penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan;

• Bahwa kalau dilihat dari sisi permohonan para Pemohon, tentunya dapat

dipahami bahwa permasalahan kehutanan saat ini sangat kompleks dan

diperlukan adanya kepastian hukum bagi semua pihak, baik itu Para

Pemohon maupun Termohon untuk mencari keadilan dan kepastian hukum

atas apa yang telah dialami oleh para Pemohon, khususnya terkait dengan

permasalahan pengertian kawasan hutan dengan memperhatikan Provinsi

Kalimantan Tengah yang keberadaannya dijamin dengan Undang-Undang

Dasar 1945, yang telah dibentuk dengan Undang-Undang Darurat Nomor

10 Tahun 1957, yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 1959;

• Namun, keberadaan yang dijamin tersebut, ternyata dikesampingkan

melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10 Tahun

1982 tentang penunjukan area hutan di wilayah Provinsi Kalimantan DATI I

Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 hektar atau setara dengan 99,4%

dari luas Provinsi Kalimatan Tengah, yang didiami pada saat itu oleh sekitar

350.000 penduduk;

• Bahwa permasalahan yang terjadi jika mengacu kepada surat keputusan

menteri tersebut, Kalimantan Tengah diidentikkan wilayah yang tidak ada

aktifitas pemerintahan dan aktivitas masyarakatnya, bahkan aktifitas

pemerintah daerah dan mayarakat yang ada sebelumnya pun menjadi

102

berhenti. Dalam rentang waktu yang sudah cukup lama sebelumnya,

pemerintah daerah yaitu Pemohon I telah mendirikan dan

menyelenggarakan rumah sakit umum dan balai pengobatan untuk

kepentingan kesehatan di daerahnya;

• Bahwa Pemohon I Daerah Kapuas, berdasarkan Undang-Undang Darurat

Nomor 3 Tahun 1953 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 27

Tahun 1959 juga diberi wewenang membuat, memperbaiki, memelihara,

dan menguasai jalan umum di daerahnya beserta bangunan-bangunan dan

segala sesuatu yang perlu, termasuk mengurus, mengatur lapangan-

lapangan dan taman-taman umum, pekuburan umum, pasar-pasar dan los

pasar, pesanggrahan-pesanggrahan, penyeberangan-penyeberangan, dan

pekerjaan lainnya.

• Bahwa secara singkatnya, sejak tahun 1950 di Kabupaten Kapuas telah

dibangun dan berdiri pusat pemerintahan, perkantoran, perkampungan dan

pemukiman penduduk, tempat ibadah, tempat kesehatan, dan objek-objek

vital lainnya;

• Bahwa Pemerintah Daerah Kapuas juga telah mengatur dirinya sendiri atas

aset-aset dengan berpedoman kepada undang-undang pemerintahan

daerah, mulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1965, sampai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pemerintahan Daerah pada saat itu;

• Bahwa jika melihat sejarah pada tahun 1982, siapa yang berani menentang

pemerintah pusat saat itu yang sangat berkuasa dan tujuannya saat itu

untuk kepentingan ekonomi dengan dibukanya kran investasi di bidang

pengusahaan hutan, di mana seluruh wilayah Kalimantan Tengah telah

dikaveling dalam bentuk hak pengusahaan hutan yang saat itu tanpa

memperhatikan kondisi pemerintahan yang ada di daerah itu;

• Bahwa apa yang dialami pemerintah daerah hampir sama di seluruh

kabupaten di masyarakat Kalimantan Tengah adalah sebuah bentuk

pelanggaran hak konstitusional secara terstruktur dan systemic yang

sampai saat ini belum terselesaikan dikarenakan Kementerian Kehutanan

atau Termohon tidak memprioritaskan pelaksanaan pengukuhan kawasan

hutan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dan menurut

103

kaidah teknis kehutanan, misalnya menyatakan antara penunjukan dan

penetapan mempunyai kekuatan hukum yang sama;

• Bahwa Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan

Keputusan Menteri Pertanian 759 Tahun 1982, bertentangan dengan

peraturan kehutanan itu sendiri;

• Bahwa meskipun surat Menteri Pertanian sudah berumur mendekati 30

tahun, ternyata surat tersebut sangat sakti karena terbukti sampai saat ini

masih dijadikan dasar pijakan pengelolaan hutan di wilayah Kalimantan

Tengah dengan menentukan kawasan hutan dengan penunjukan, padahal

Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1982 menurut pendapat ahli

tidak dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan karena Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1967 hanya mengenal penetapan kawasan hutan;

• Bahwa Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 telah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, belum

juga terlihat ada pembenahan terhadap surat keputusan Menteri Pertanian

dimaksud;

• Bahwa perubahan era orde baru ke era reformasi yang terjadi secara

cepat, ternyata belum menjadi perhatian untuk dilakukan perubahannya.

Padahal menurut pendapat ahli, keberadaan surat keputusan pertanian

tersebut hanya bersifat internal dan memerintahkan kepada Direktur

Jenderal Kehutanan untuk melakukan pengukuhan kawasan hutan;

• Bahwa permohonan para Pemohon sangat realistis karena yang

dimohonkan adalah dilaksanakan pengukuhan kawasan hutan secara benar

sesuai dengan norma hukum kehutanan yang berlaku untuk menjamin

kepastian hukum agar tidak mengakibatkan kerugian terkait dengan hak-

hak konstitusional para Pemohon itu sendiri karena Para Pemohon

mengetahui di dalam pengukuhan tersebut mengandung makna

memberikan kepastian hukum;

• Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 mengamanatkan pengukuhan kawasan hutan;

• Bahwa secara jelas dan tegas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967

tentang Ketentuan Pokok Kehutanan mengartikan kawasan hutan adalah

104

wilayah-wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan

sebagai hutan tetap;

• Bahwa di dalam menuju penetapan, sesuai dengan Pasal 15 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikenal adanya

pengukuhan kawasan hutan, di mana di dalam pengukuhan kawasan hutan

tersebut dinyatakan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut, yaitu:

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,

c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan

• Bahwa undang-undang memerintahkan untuk melakukan pengukuhan,

tetapi Termohon baru hanya melaksanakan penunjukan kawasan hutan.

Berarti baru menjalankan satu langkah awal dari pengukuhan itu sendiri;

• Mengapa harus 4 tahap kegiatan dalam pengukuhan? Karena Termohon

terikat dengan ketentuan hukumnya sendiri menurut peraturan perundang-

undangan di bidang kehutanan agar tidak menghilangkan hak-hak

pemerintah daerah dan hak-hak masyarakat. Hak-hak tersebut harus

diselesaikan, baik itu terkait dengan hak-hak yang bersifat publik dan juga

hak-hak privat keperdataan, seperti hak milik, hak bertempat tinggal,

property right, dan hak masyarakat asli di wilayah yang ditunjuk menjadi

kawasan hutan;

• Bahwa selain mekanisme kepengukuhan kawasan hutan, Undang-Undang

Kehutanan tidak mengatur penyelesaian hak-hak pemerintah daerah, hak

masyarakat, dan hak-hak lain yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan.

Malah sebaliknya, Termohon memerintahkan dan memberikan saran agar

pemerintah daerah atau Permohon I dan para Permohon lainnya diminta

mengajukan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.

Tentunya apa yang dilakukan Termohon tersebut malah melanggar

ketentuan hukum kehutanan itu sendiri yang menjadi acuannya dan lebih

tidak memberikan kepastian hukum atas apa yang telah dimiliki oleh para

Permohon. Sebaliknya, para Permohon diancam dengan Undang-Undang

Kehutanan dengan sanksi pidana dan seterusnya;

105

• Bahwa Permohon VI juga tidak mendapatkan kepastian hukum di dalam

memperoleh hak atas tanah, meskipun tanah tersebut telah dibeli dan akan

dipergunakan untuk sarana pemenuhan hak masyarakat untuk bertempat

tinggal dan berpotensi tanah tersebut dirampas atas nama negara dan

diancam dengan sanksi pidana;

• Bahwa Definisi yang diberikan oleh Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menyimpang dari makna

dari roh, dari jiwa Undang-Undang Kehutanan itu sendiri. Karena rezim

yang ditunjuk dan/atau tersebut hanya termuat di dalam ketentuan umum,

tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut di batang tubuh;

• Bahwa dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kehutanan,

kewenangan pemerintah tidak ada kewenangan menunjuk kawasan hutan

dan secara tegas kewenangan yang diberikan adalah:

a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan.

b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau

kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan.

c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

kehutanan;

• Bahwa dengan memerhatikan wewenang tersebut, jelas rezim Undang-

Undang 41 Tahun 1999 adalah rezim penetapan untuk menentukan

kawasan hutan, bukan ditunjuk sebagaimana Termohon lakukan dari tahun

1985 sampai saat ini. Dampak penunjukan kawasan hutan sepihak di

wilayah para Permohon yang lebat;

• Mengapa penunjukan tersebut membawa dampak yang amat berat

terhadap konsep kehutanan di Indonesia yang saat ini dan cenderung

melanggar hak-hak konstitusional para Permohon? Jika dilihat dari

permasalahan hukum yang timbul, penunjukan tersebut akan menimbulkan

dampak lanjutan dan terus-menerus di seluruh Wilayah Indonesia pada

umumnya dan Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya, di mana para

Permohon berdomisili;

• Bahwa sampai saat ini Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah

provinsi Kalimantan Tengah masih sering terjadi silang pendapat tentang

106

pemaknaan kawasan hutan, karena hanya sepihak ditunjuk dan tidak

ditindaklanjuti dengan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan kawasan

hutan oleh Termohon bersifat multitafsir:

• Bahwa Konsepsi pengelolaan hutan yang sering dikemukakan pemerintah

adalah konsep pengelolaan hutan yang berpedoman atas ekologi, ekonomi,

dan sosial, dan melupakan konsepsi kepastian hukum atas kawasan hutan

itu sendiri;

• Bahwa permasalahan yang dihadapi Permohon adalah ingin memperoleh

kepastian hukum atas kawasan hutan yang saat ini ditafsiran oleh peraturan

perundang-undangan di bidang Kehutanan Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Kehutanan;

• Bahwa Jika dari pengertian saja terjadi multitafsir dan tidak memberikan

kepastian hukum, maka pengaturan hukum di bawahnya juga akan terjadi

perbedaan penafsiran yang kemungkinan akan dipergunakan untuk mencari

pembenar masing-masing pihak;

• Bahwa definisi kawasan hutan yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 41 tentang Kehutanan diganti dengan peraturan perundang-

undangan di bawahnya dan ketentuan teknis kehutanan. Sehingga

mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi semua pihak, termasuk

para Permohon dan juga kawasan hutan itu sendiri;

• Bahwa Pendapat senada juga diberikan oleh Komisi Pemberatasan

Korupsi. Di dalam melakukan kajian korupsi di bidang kehutanan,

pemaparan hasil kajian kebijakan titik korupsi dalam lemahnya hukum pada

kawasan hutan dan kajian perencanaan dan pengelolaan sumber daya

hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian

Kehutanan.

• Bahwa dari kajian kebijakan titik korupsi dalam lemahnya kepastian hukum

pada kawasan hutan, KPK menemukan adanya ketidakpastian definisi

kawasan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang

Perencanan Kehutanan, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32

Tahun 2001 tentang Kriteria Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan

Fungsi Kawasan Hutan;

107

• Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan

ketidakkonsistenan di dalam menentukan kawasan hutan dengan

direduksinya asas pair prosedur dalam konsep penunjukan kawasan hutan

pada Aturan-Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan. Dengan memotong prosedur baku, yaitu standard

operational procedure teknis kehutanan, sehingga melemahkan legalitas

dan legitimasi 88,2% kawasan hutan atau 105,8 juta hektare yang saat ini

belum selesai ditetapkan;

• Bahwa terhadap temuan-temuan tersebut, KPK merekomendasikan kepada

Menteri Kehutanan untuk mencabut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

50 Tahun 2009 dan seterusnya;

• Bahwa perlu disampaikan, ketentuan Pasal 14 ayat (1) menyatakan,

“Pemerintah menjalankan pengukuhan kawasan hutan.” Pasal 14 ayat (2)

bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan, sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.

Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (1) dan seterusnya;

• Bahwa dengan merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

Kehutanan, maka penunjukan kawasan hutan hanyalah salah satu proses

pengukuhan kawasan hutan. Oleh karena itu, hasil penunjukan kawasan

hutan hanyalah bersifat sementara;

• Bahwa suatu kawasan hutan mendapat kepastian hukum, jika telah melalui

beberapa proses tahapan pengukuhan kawasan hutan, seperti penunjukan

kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan,

dan penetapan kawasan hutan;

• Bahwa untuk mendukung norma hukum kehutanan yang mempunyai

kepastian hukum adalah penetapan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44

Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang memberikan beberapa

definisi:

- Pasal 1 angka 8, “Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian dan

seterusnya.”

- Pasal 1 angka 9, “Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal

peletakan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.”

- Pasal 1 angka 10, “Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan

yang meliputi proyeksi batas, pemacangan batok batas, pengumuman,

108

inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan

batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan Berita Acara Tata

Batas.”

- Pasal 1 angka 11, “Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan

tentang kepastian hukum mengenai status, batas, luas suatu kawasan

hutan menjadi kawasan hutan tetap.”

- Pasal 15 mengenai pengukuhan, Pasal 16 ayat (2) pengukuhan

kawasan hutan yang melalui 4 tahap. Definisi yang sama juga diatur

dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 juncto

Keputusan Menhut Nomor 48/Menhut-II/2004 tentang Penetapan

Kawasan Hutan, Perubahan Status, dan Fungsi Kawasan Hutan.

• Bahwa Pasal 1 angka 3 menyatakan, “Penunjukan kawasan hutan adalah

penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.” Ini adalah

sama dengan apa yang telah diuraikan di dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 44 Tahun 2004. Dengan mempertimbangkan berbagai peraturan

perundang-undangan di bidang kehutanan tersebut, maka ahli berpendapat

mempersamakan penunjukan kawasan hutan dengan penetapan kawasan

hutan adalah sebuah pelanggaran atas norma hukum kehutanan itu sendiri,

sehingga perlu ada putusan hukum dari Mahkamah Konstitusi atas apa

yang telah diajukan oleh para Pemohon agar tidak terjadi pelanggaran hak-

hak konstitusional para Pemohon;

• Dengan dasar hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka ahli

berpendapat bahwa terdapat beberapa surat Menteri Kehutanan yang

berisi penafsiran ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan

yang tidak sesuai dengan norma hukum kehutanan dan teknis kehutanan,

seperti Surat Menteri Nomor S429/Menhut-VII/2006, tanggal 12 Juli 2006,

perihal Penjelasan Menteri Kehutanan tentang status kawasan hutan,

maupun melalui Peraturan Menteri Kehutanan, seperti Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi

kawasan hutan yang dinyatakan dalam Pasal 2, di mana kawasan hutan

telah memmpunyai kekuatan hukum apabila:

a. ditunjuk dengan Keputusan Menteri, atau

b. telah ditata batas oleh panitia tata batas,

c. Berita Acara tata batas kawasan hutan telah disahkan menteri, atau

109

d. kawasan hutan telah ditetapkan dengan keputusan menteri.

Bahwa hal tersebut menunjukan ada penafsiran yang berbeda-beda.

Kerugian konstitusional para Pemohon akibat penunjukan dipersamakan

dengan penetapan:

• Bahwa dengan merujuk kepada Putusan Mahkamah, sejak Putusan Nomor

006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor 11/PUU-V/2007,

tanggal 20 September 2007, dan putusan-putusan selanjutnya, yang mana

Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional yang dimaksud Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang MK harus

memenuhi lima syarat, yaitu:

1. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

diberikan Undang-Undang Dasar 1945.

2. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon

dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan

pengujian.

3. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik, khusus aktual,

atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dan

dapat dipastikan akan terjadi.

4. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Pemohon, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak

terjadi.

• Bahwa dengan memperhatikan ketentuan tersebut di atas, jika Termohon

hanya menunjuk saja tanpa melakukan kewajiban hukum, melakukan

pengukuhan kawasan hutan, maka ahli berpendapat bahwa telah terjadi

pelanggaran hak-hak konstitusional bagi para Pemohon, namun sebaliknya,

jika dilakukan pengukuhan kawasan hutan, ahli berpendapat pelanggaran

hak-hak konstitusional kemungkinan tidak terjadi karena lebih adanya

kepastian hukum sebagaimana dikehendaki Undang-Undang Dasar 1945,

terkait dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18, dan seterusnya.

Mempersamakan Penunjukan Dengan Penetapan Berakibat Terjadinya

Perusakan Hutan Tidak Terkendali:

110

• Bahwa penunjukan kawasan hutan tidak dilakukan pengukuhan adalah

melanggar Peraturan Perundang-undangan Kehutanan dan melanggar hak

konstitusi para Pemohon. Jika diperhatikan dari tenggang waktu penunjukan

kawasan hutan di wilayah para Pemohon yang didasari dengan Keputusan

Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982, tanggal 12 Oktober 1982

tentang Penunjukan Areal Hutan Di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I

Kalimantan Tengah Seluas 15.300.000 ha, maka, di wilayah Pemohon tidak

ada kegiatan masyarakat. Pemerintah daerah baik itu provinsi,

kabupaten/kota, kecamatan, desa, dan masyarakatnya semuanya masuk

dalam kawasan hutan. Padahal secara hukum, pemerintah daerah dan

masyarakat sudah bertempat tinggal lebih dahulu di Kalimantan Tengah

atau wilayah para Pemohon. Apakah benar penunjukan tersebut diberikan

oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan boleh bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar 1945 itu sendiri? Terlebih secara semena-mena, Surat

Keputusan Menteri Pertahanan yang diadopsi kepada Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999;

• Bahwa multitafsir norma hukum kehutanan, terutama terkait dengan

pengertian kawasan hutan, khusunya frasa ditunjuk dan/atau ditetapkan,

menurut pendapat ahli, telah mempengaruhi perusakan hutan di Indonesia

secara sistemik dan terstruktur, dan telah mempersulit pelaksanaan

penegakan hukumnya.

• Bahwa pelaksanaan penegakan hukum saat ini tidak berjalan secara baik

dan efektif karena norma hukum tentang kawasan hutan yang juga tidak

pasti;

• Bahwa data dari ICW dari tahun 2005 sampai dengan 2008 menyatakan,

72% tersangka kasus kehutanan diputus bebas. Dan hasil analisisnya,

salah satu alasannya karena tidak ada kepastian definisi kawasan hutan.

Dari 82% terkait dengan petani. Data juga menunjukkan, sampai saat ini

tingkat kerusakan hutan di Indonesia masih berlangsung terus-menerus.

Termohon sendiri mengakui bahwa berdasarkan buku Perhitungan

Deforestasi Indonesia Tahun 2008, Dirjen Planologi Kehutanan 2008, luas

deforestasi kawasan hutan seluruh Indonesia selama periode 2003-2006

adalah 3,52 juta hektare atau angka deforestasi ini rata-rata tahunan

sebesar 1,1 juta hektare per tahun;

111

• Bahwa berdasarkan uraian yang Ahli sampaikan maka ahli berpendapat;

1. Para Pemohon telah memiliki kedudukan hukum dan terdapat kerugian

hak konstitusional,jika ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Kehutanan tidak diberikan tafsir yang jelas oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang

memberikan penafsiran atas ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar ada kepastian

hukum, bukan menteri kehutanan atau pejabat lainnya.

3. Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, Ahli berkeyakinan

dan berpendapat, hak-hak konstitusional para Pemohon tidak terjadi

serta dapat mengurangi terjadinya kerusakan hutan secara sistemik

dalam bentuk deforestasi atau kerusakan hutan yang terjadi secara

terus-menerus di hampir seluruh wilayah Indonesia dan khususnya bagi

daerah para Pemohon.

4. Mekanisme hukum baik perdata, dalam bentuk ganti rugi, relokasi, dan

seterusnya tidak diatur dalam Undang-Undang Kehutanan.

Penyelesaian pihak ketiga, hanya melalui mekanisme pengukuhan

kawasan hutan dalam tahapan penetapan batas. Bagaimana akan

menyelesaikan hak-hak ketiga? Jika penataan batas yang merupakan

bagian dari pengukuhan kawasan hutan tidak dilakukan.

5. Baik secara norma hukum kehutanan maupun teknis kehutanan yang

dikehendaki Undang-Undang Kehutanan adalah tahap akhirnya adalah

penetapan. Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka

Mahakamah Konstitusi telah menghilangkan status quo atas kebijakan

pemerintah yang selama ini berlangsung dan akan mempertahankan

hutan yang tersisa untuk diselamatkan.

6. Penegakan hukum pidana kehutanan akan mengalami kegagalan,

sejak awal, apabila kebijakannya itu sendiri yaitu tahap formulasi tidak

ada kepastian hukum, sehingga akan berpengaruh kepada tahap

aplikasi dan tahap eksekusi, misalnya kantor polisi, kantor kejaksaan,

kantor pengadilan, kantor gubernur, bupati, dan fasilitas umum juga

dimasukkan dalam kawasan hutan.

7. Sebagai contoh konkret adalah pelaksanaan pengukuhan kawasan

hutan di Pulau Jawa dan Madura yang telah dilakukan pengukuhan

112

yaitu empat tahap yang saat ini dilakukan pengelohannyanya oleh

Perum Perhutani. Kawasan hutannya telah lebih pasti dan memberikan

kepastian hukum atas kawasan hutan itu sendiri. Pemerintah daerah

dan masyarakat mengakui dan menghormati atas kawasan hutan

tersebut karena telah dilalui melalui pengukuhan kawasan hutan. Hutan

yang tersisa lebih aman dan bahkan masyarakat aktif membangun

hutan rakyat sebagai bentuk kesadaran akan kelestarian

lingkungannya.

8. Pengelolaan hutan yang saat ini yang hanya memperhatikan aspek

ekologi, ekonomi, dan sosial. Maka dengan Mahkamah Konstitusi

mengabulkan permohonan ini, akan menjadi prioritas yang sama adalah

aspek kepastian hukum atas kawasan hutan itu sendiri.

9. Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka aktivitas di

wilayah para Pemohon dapat berjalan dalam mewujudkan

pembangunan kesejahteraan wilayah para Pemohon saat ini. Dalam

falsafah Dayak sering kali diucapkan, “Ela tempon petak manana sare,”

yang artinya memiliki tanah tetapi tidak bisa leluasa menanami, “Ela

tempon kajang bisa puat,” yang artinya memiliki rumah tetapi tidak bisa

mendiami secara aman, dan “Ela tempon uyah batawah belai,” yang

artinya memiliki garam tetapi maknanya rasa tawar makanannya;

10. Penentuan kawasan hutan yang dilakukan oleh tahapan dalam

pengukuhan yang diminta Pemohon akan lebih memberikan kepastian

hukum ke depannya.

Selain mengajukan Ahli, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang saksi

yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 4 Oktober 2011 yang pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut:

1. I Ktut Subandi

• Bahwa hutan adalah sebagai salah satu ekosistem yang berperan sebagai

penyangga kehidupan dan penyeimbang lingkungan hidup yang berperan

bagi keberlanjutan kehidupan di muka bumi, baik yang bersifat lokal

maupun yang bersifat global.

• Bahwa peran hutan di Provinsi Kalimantan Tengah telah banyak

berkontribusi untuk model pembangunan Negara Republik Indonesia dan

menyumbangkan devisa yang tidak sedikit untuk menunjang program-

113

program pembangunan, namun sejak ditunjuknya wilayah Kalimantan

Tengah sebagai kawasan hutan yang hampir mencapai 99,6%, sampai

saat ini belum memberikan kepastian hukum karena Pemerintah Pusat

hanya mendasarkan pada penunjukan.

• Bahwa hal tersebut sangat sering menimbulkan konflik penggunaan lahan di

lapangan antara Pemerintah, baik itu proyek-proyek Pemerintah yang

menggunakan lahan dengan masyarakat adat, atau pun adanya

perusahaan, atau perusahaan perhutanan, perkebunan, pertambangan, dan

lain-lain dengan dengan masyarakat adat Kalimantan Tengah, hal ini

disebabkan batas-batas kawasan hutan di lapangan tidak ada;

• Bahwa sejarah kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah dan

permasalahan yang timbul akibat tidak adanya batas-batas kawasan hutan

di lapangan sebagai berikut:

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Menteri Pertanian melalui

Surat Keputusan Nomor 759/KPTS/UM/X/1982 tanggal 12 Oktober

1982, menunjuk wilayah Provinsi Kalimantan Tengah seluas

19.300.000 hektare sebagai kawasan hutan dengan fungsi kawasan

hutan sebagai berikut; Hutan Suaka Alam seluas 729.919 hektare,

Hutan Lindung seluas 800.000 hektare, Hutan Produksi Terbatas

seluas 3.400.000 hektare, Hutan Produksi Biasa seluas 6.088.000

hektare, Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 4.302.181

hektare, dan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan

Provinsi DATI I Kalimantan Tengah Tahun 1982, skala 1:500.000

sebagai lampirannya.

Melihat pembagian fungsi kawasan hutan tersebut di atas, apabila

diperbandingkan dengan luas Provinsi Kalimantan Tengah seluas

19.356.700 hektare, maka dapat disimpulkan bahwa 99,6% luas

wilayah Provinsi Kalimantan Tengah berada di dalam lokasi hutan,

dan berdasarkan analisa terhadap Peta Rencana Pengukuhan dan

Penatagunaan Hutan Provinsi DATI I Kalimantan Tengah tahun 1982

yang dikenal dengan Peta TGHK tahun 1982 dapat diketahui bahwa

Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah dan ibu kota kabupaten se-

Kalimantan Tengah secara umum di dalamnya ada gedung-gedung

114

perkantoran Pemerintah, pemukiman penduduk, sarana umum, dan

lain-lain, semuanya masuk ke dalam kawasan hutan. Sebagai contoh,

pola ruang di Kabupaten Kapuas, apabila mengacu peta TGAK tahun

1982 yaitu presentase kawasan hutannya 99,06% dan nonkawasan

hutannya hanya 0,9% dan ini berarti semua wilayah Kabupatan

Kapuas yang telah berumur 205 tahun, berada di dalam kawasan

hutan.

• Bahwa mengenai tata cara penandatanganan nota kesepakatan telah diatur

melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 680/KPTS/UM/1981

tanggal 8 Agustus 1981 tentang Pedoman Penatagunaan Nota

Kesepakatan yang mana pada amar memutuskan telah ditetapkan Pasal 1

ayat (1) bahwa penatagunaan nota kesepakatan di suatu wilayah Provinsi

adalah kegiatan guna menentukan kedudukan hutan di wilayah provinsi

bersangkutan menurut fungsinya yang didasarkan atas kesepakatan antara

instansi terkait dengan pengguna lahan di daerah, yang dalam hal ini,

instansi teknis kehutanan di pusat maupun di daerah menyiapkan naskah

rencana penatagunaan nota kesepakatan yang selanjutnya

dimusyawarahkan antara instansi yang berkaitan dengan penggunaan

lahan di daerah dengan koordinasi gubernur kepala daerah tingkat 1 yang

bersangkutan untuk mendapat kesepakatan;

• Namun, proses kesepakatan yang ditandatangani antara Menteri Pertanian

dengan Gubernur Kalimantan Tengah pada saat itu yang melahirkan peta

rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan provinsi Dati I Kalimantan

Tengah Tahun 1982 belum dapat dipahami oleh saksi dan belum bisa

diterima dengan akal sehat karena faktanya 99,6% wilayah Provinsi

Kalimantan Tengah adalah hutan dan hal ini benar-benar mengebiri hak-hak

konstitusi saksi. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut tetap berlaku, maka

berdampak konsekuensi hukum terhadap upaya-upaya pengembangan

wilayah dan pembangunan yang saksi lakukan di daerah;

• Bahwa di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

759/KPTS/UM/10/1982, pada keputusan bagian ketiga, Menteri Pertanian

memerintahkan kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk melaksanakan

pengukuran dan penataan batas kawasan hutan di lapangan. SK Menteri

Pertanian tersebut sudah sangat jelas mengamanatkan setelah kawasan

115

hutan ditunjuk, maka untuk selanjutnya agar dilakukan pengukuran dan

penataan batas kawasan di lapangan agar dapat menjamin kepastian

hukum batas kawasan hutan dengan batas-batas nonkawasan hutan.

Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal (1) angka

3, kawasan hutan didefinisikan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu

yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap;

• Bahwa sejak ditunjuknya wilayah Kalimatan Tengah sebagai kawasan

hutan yang hanya didasarkan pada penunjukan saja dan sampai dengan

sekarang tidak dilakukan pengukuran dan penataan batas di lapangan, baik

itu penataan batas terhadap kawasan hutan maupun penataan batas

terhadap fungsi kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan terdiri atas hutan

soka alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan

hutan produksi yang dapat dikonversi. Hal ini sering kali menyebabkan

timbulnya konflik penggunaan lahan di lapangan karena ketika Pemerintah

Pusat maupun Pemerintah Daerah mendirikan perizinan kehutanan,

pertambangan, perkebunan, dan lain-lain yang menggunakan kawasan

hutan di dalam wilayah Provinsi Kalimatan Tengah, selalu saja terjadi

konflik-konflik penggunaan lahan dengan masyarakat adat Kalimatantan

tengah yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Dan sepanjang

penyelesaian masalah yang saksi ketahui, selalu saja masyarakat menjadi

pihak yang kalah dan hak-hak konstitusinya diabaikan. Padahal masyarakat

juga mempunyai alas hak terhadap hal-hal yang menjadi miliknya yaitu ada

yang berupa verklaring, ada rekomendasi adat, dan lain-lain;

• Bahwa akibat tidak jelasnya batas-batas kawasan hutan, maka saksi selaku

aparat pemerintah di daerah sangat sulit sekali dalam memberikan

pelayanan perizinan kepada masyarakat maupun dunia usaha, terkait

dengan perizinan bidang perkebunan, pertanian, perikanan, perumahan,

dan pemukiman maupun sarana dan prasarana lainnya karena areal yang

dimohon berstatus sebagai kawasan hutan. Dan apabila hal ini saksi

lakukan atau saksi berikan, maka berdampak hukum pidana karena

dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa izin serta

memberi izin usaha lainnya di dalam kawasan hutan.

116

2. Jaholong Simamora

• Bahwa di dalam pengalaman saksi di Kantor Pertanahan Kabupaten

Kapuas, sejak tanggal 17 Juli 2008 sampai dengan bulan November 2010,

layanan pertanahan persertifikatan tanah untuk yang pertama kali itu

berhenti total, dan sejak November 2010 sampai saat ini dapat melayani

khususnya di perkotaan saja, jadi di luar kota tidak bisa melayani, dan juga

banyak proyek-proyek yang tertunda dan dibatalkan, serta pemohon-

pemohon persertifikatan tanah untuk hak milik yang pada kenyataannya

memang adalah hak adat, tetapi dengan RTRWP atau TGHK 1982, di mana

Kalimantan Tengah dinyatakan hampir 100% adalah hutan, BPN dibayangi

rasa ketakutan dan takut dipidana, sehingga pelayanan pertanahan macet.

Jadi banyak kegiatan-kegiatan yang sifatnya bisa merugikan masyarakat

dan BPN tidak dapat melayani;

[2.3] Menimbang bahwa Pemerintah pada persidangan tanggal 21 September

2011 telah memberikan keterangan lisan dan juga telah memberikan keterangan

tertulis kepada Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 September 2011 yang pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut:

I. Pokok Permohonan

a. Bahwa Pemohon I berkedudukan selaku Bupati Kapuas, yang bertindak untuk

dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan

Tengah, sedangkan Pemohon II sampai dengan Pemohon VI dalam hal ini

bertindak dalam kapasitasnya selaku perorangan, mengajukan permohonan

Uji Materiil (constitutional review) terhadap Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menjadi Undang-Undang, terhadap UUD 1945;

b. Bahwa menurut Pemohon I ketentuan Pasal 1 angka 3, Undang-Undang

a quo didalilkan telah membuat Pemohon I tidak bisa melaksanakan

kewenangannya untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam

117

memberikan perizinan usaha yang baru dan perpanjangan izin yang lama

terkait dengan izin usaha perkebunan, pertambangan, peternakan dan lain

sebagainya kepada pihak lain; sedangkan bagi Pemohon II, Pemohon III,

Pemohon IV, dan Pemohon V secara pribadi yang pekerjaannya sebagai

Bupati di wilayahnya masing-masing, telah diancam pidana sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 Undang-Undang a quo

karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya

dl dalam kawasan hutan; dan menurut Pemohon VI dengan ketentuan Pasal

1 angka 3 Undang-Undang a quo telah mengakibatkan hilangnya Hak

Kebendaan dan Hak Milik dari Pemohon VI;

c. Bahwa Menurut Pemohon I sampai Pemohon VI Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 759/Kpts/UM/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang

Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan

Tengah Seluas 15.300.000 Ha dianggap sebagai dominasi Pemerintah pusat

atas kawasan hutan sebagai halnya domain verklaring yang ditetapkan oleh

Pemerintah Kolonial Belanda dalam menguasai dan memiliki tanah secara

besar-besaran.

d. Singkatnya menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo

telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat

(5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat

(1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;

II. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dinyatakan bahwa Pemohon adalah

pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstituslonalnya

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

118

Ketentuan dl atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud

dengan "hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon

yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan

dan membuktikan:

a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal

51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011;

b. hak dan/atau kewenangan konstituslonalnya dalam kualifikasi dimaksud

dianggap telah diruglkan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 diatur bahwa pemerlntahan daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerlntahan Daerah dijelaskan bahwa

pemerlntahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerlntahan daerah

kabupaten/kota dan dprd kabupaten/kota artinya jelas bahwa untuk dapat

dikatakan sebagai Pemerlntahan Daerah, maka Bupati (dalam hal ini

Pemohon I dalam permohonan Undang-Undang a quo) harus bersama-

sama DPRD.

Faktanya dalam mengajukan permohonan Bupati Kapuas tidak bersama-

sama dengan DPRD sebagai unsur Pemerlntahan Daerah sesuai ketentuan

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerlntahan Daerah tetapi hanya mendasarkan Surat Kuasa Khusus dan

Surat Tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kapuas.

Dengan demikian, secara yurldis kedudukan hukum Pemohon I tidak dapat

dikwalifikaslkan sebagai Pemerlntahan Daerah Kabupaten Kapuas, namun

hanya berkedudukan sebagai perorangan.

2. Selanjutnya untuk Pemohon II sampai dengan Pemohon V, meskipun

pekerjaannya sebagai Bupati, namun tegas-tegas menyatakan dirl sebagai

Perorangan.

119

Oleh karena terbukti bahwa Pemohon I berkedudukan sebagai perorangan

dan Pemohon II sampai Pemohon V tegas-tegas menyatakan sebagai

Perorangan, maka secara yuridls tidak memiliki kapasitas untuk

menyatakan bahwa kewenangan konstituslonalnya telah diruglkan sebagai

akibat rumusan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, karena yang memiliki

kewenangan konstitusional dalam memberikan perijinan hanyalah pejabat

negara yang bertindak dalam jabatannya dan sesuai kewenangannya,

3. Selanjutnya untuk Pemohon VI, yang berkedudukan sebagai warga negara

dan merasa diruglkan karena permohonan sertiflkatnya ditolak oleh Kantor

Pertanahan dengan alasan bahwa bidang tanah yang bersangkutan

termasuk dalam kawasan hutan yang belum ada pelepasan dari Menteri

Kehutanan, adalah bukan domain Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa

dan mengadilinya.

Dengan demikian, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah

sepatutnyalah jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara

bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon I, Pemohon II, Pemohon

III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet

ontvankelljk verklaard).

III. Penjelasan Pemerintah Atas Materi Yang Dimohonkan Untuk Diuji

Terhadap materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon,

Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut:

Landasan filosifls tentang pengaturan pengelolaan hutan adalah bahwa hutan

sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak

ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, harus

dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan

dengan akhlak yang mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hutan sebagai modal Pembangunan Nasional memiliki manfaat yang nyata

bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, naik manfaat ekologi,

sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk Itu hutan

harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara

berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi

120

sekarang maupun yang akan datang (Penjelasan Umum UU Kehutanan, alinea

1 s.d alinea 3).

Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga

kehidupan, hutan memberikan manfaat yang besar bagi manusia, oleh karena

itu harus dijaga kelestarlannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi

dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitan dengan dunia

internaslonai menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan

nasional (alinea 1 s.d alinea 3 penjelasan umum UU Kehutanan).

Landasan filosofls terbitnya UU Kehutanan tersebut adalah sejalan dengan

ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai landasan konstitusional, yang

mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan

kepemilikan tetapi Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk

mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaltan dengan hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum

antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta

mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. (Penjelasan Umum UU

Kehutanan, alinea ke 4).

Pemerintah menyadari bahwa kebutuhan penggunaan lahan untuk berbagai

kepentingan semakin meningkat, seiring bertambahnya penduduk dan kegiatan

pembangunan di berbagai bidang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut, maka dalam pengurusan dan pengelolaan hutan Pemerintah perlu

menyusun Rencana Penatagunaan Hutan. Oleh karena itu sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan maka sebelum lahirnya UU

Kesehatan, Pemerintah mengambil suatu kebijaksanaan menyusun Rencana

Penatagunaan Hutan di setiap wilayah Proplnsi dengan melalui kesepakatan

antara instansi-instansi yang berkaitan di Daerah, yang kemudian disebut

dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penatagunaan Hutan

Kesepakatan di suatu wilayah Provinsi adalah kegiatan guna menentukan

peruntukan hutan di wilayah Provinsi yang bersangkutan yang menurut

fungsinya didasarkan pada kesepakatan antara instansi yang berkaitan dengan

penggunaan lahan. Dalam penyusunan Rencana Penatagunaan Hutan

Kesepakatan tersebut yang dijadikan dasar pertimbangan adalah:

121

a. Letak dan keadaan hutan (antara lain potensi, flora dan fauna);

b. TopografI;

c. Keadaan dan sifat tanah;

d. Iklim;

e. Keadaan dan Perkembangan masyarakat;

Naskah Rencana Penatagunaan Hutan Kesepakatan tersebut disusun oleh

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi bersama Kepala Balai Planologi Kehutanan,

termasuk dalam penentuan lokasi Kawasan Hutan Produksi Tetap dalam

rangka memenuhi luas Kawasan Hutan Optimal. Naskah tersebut

dimusyawarahkan antara instansi yang berkaitan dengan penggunaan lahan di

Daerah dengan koordinasi Gubernur yang bersangkutan untuk mendapat

kesepakatan. Naskah Rencana Penatagunaan Hutan Kesepakatan yang telah

dimusyawarahkan dan disepakati di daerah dengan rekomendasi Gubernur

yang bersangkutan disampaikan kepada DIrektur Jenderal Kehutanan untuk

dinilai dan disempurnakan untuk kemudian diajukan kepada Menteri Pertanian

untuk mendapat pengesahan. Naskah Rencana Tata Guna Hutan Kesepekatan

(TGHK) Inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi Pemerintah untuk

melakukan penunjukan kawasan hutan di tiap-tiap Provinsi, termasuk

diantaranya di Provinsi Kalimantan Tengah.

Dengan demikian lahirnya Keputusan Menteri Pertanian Nomor

759/Kpts/UnVi0/i982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi

DATII Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 ha sebagai kawasan hutan,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beriaku dan

melalui kesepakatan antar instansi di daerah.

Dapat Pemerintah sampaikan bahwa salah satu contoh Tata Guna Hutan

Kesepakatan adalah Provinsi Kalimantan Tengah sesuai Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982, sebagai berikut:

PETA RENCANA PENGUKUKAN DAN PENATAGUNAAN HUTAN

PROP. DATI. I KALIMANTAN TENGAH

122

SEKALA 1 : 500.000

Dari contoh tersebut terllhat bahwa penatagunaan hutan yang dilakukan oleh

Pemerintah tidak dilakukan secara sewenang-wenang karena sudah melalui

proses kesepakatan instansi-instansi terkait lainnya di daerah.

Pemerintah memandang bahwa andaikan kemudian Keputusan Tata Guna

Hutan Kesepakatan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan

pembangunan di daerah, maka Daerah dapat mengusulkan kepada

Pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap luasan kawasan hutan in

casu, dengan mengeluarkan status (merubah peruntukan) kawasan hutan yang

direncanakan untuk kepentingan pembangunan sektor lain. Perubahan

peruntukan tersebut tentu harus didasarkan pada ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan melalui kajian oleh Tim Terpadu,

sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Kehutanan.

Dapat Pemerintah sampaikan bahwa terhadap Tata Guna Hutan Kesepakatan

Provinsi Kalimantan Tengah, para Pemohon melalui Gubernur Kalimantan

Tengah telah mengajukan usulan perubahan kawasan hutan dalam Revisi Tata

Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Terhadap usulan tersebut,

Pemerintah telah membentuk Tim Terpadu yang bertugas melakukan peneiitian

terhadap usulan perubahan kawasan hutan yang diusulkan oleh Gubernur

Kalimantan Tengah tersebut. Berdasarkan hasil peneiitian dari Tim Terpadu

tersebut, direkomendasikan:

123

a. Perubahan peruntukan kawasan hutan seluas ± 1.405.595 hektar;

b. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 689.666 hektar; dan

c. Penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 29.672

hektar.

Dari kawasan hutan seluas ± 1.405.595 hektar yang direkomendasikan untuk

perubahan peruntukan menjadi bukan kawasan hutan oleh Tim Terpadu,

seluas ± 236.939 hektar merupakan perubahan yang berdampak penting dan

cakupan yang luas serta bernilai strategis, sehingga berdasarkan ketentuan

Pasal 19 ayat (2) UU Kesehatan perlu mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka

Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Nomor SK.292/Menhut-II/2011

tanggal 31 Mei 2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi

Bukan Kawasan Hutan seluas + 1.168.656 (satu juta seratis enam puluh

delapan ribu enam ratus lima puluh enam) hektar, Perubahan Antar Fungsi

Kawasan Hutan seluas + 689.666 (enam ratus delapan puluh sembilan ribu

enam ratus enam puluh enam) hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan

menjadi Kawasan Hutan seluas ± 29.672 (dua puluh sembilan ribu enam ratus

tujuh puluh dua) Hektar, di Provinsi Kalimantan Tengah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut Pemerintah tidak lagi terdapat

kerugian konstitusional pada dari para Pemohon, karena semua kepentingan

(kantor pemerintah, pemukiman penduduk, fasiiitas umum, dan fasilitas sosial)

sudah dimasukkan/tertampung ke dalam Keputusan Menteri Kehutanan

tersebut, yaitu ke dalam kawasan hutan seluas + 1.168.565 hektar yang diubah

peruntukannya menjadi bukan kawasan hutan. Dengan telah ditetapkan

Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, diharapkan Pemerintah dapat

mengoptlmalkan kawasan hutan yang telah diubah peruntukannya, sehingga

tidak terdapat lagi perambahan, penguasaan, pendudukan secara tidak sah,

termasuk pemberian izin oleh Bupati atas kawasan hutan yang tidak sesuai

dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pemerintah akan menyampaikan dasar filosofls terhadap

pengertian kawasan hutan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 3

UU Kehutanan yang memberi pengertian kawasan hutan adalah wilayah

124

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan untuk dipertahankan sebagai

kawasan hutan tetap.

Pengertian kawasan hutan sebagaimana dimaksud UU Kehutanan merupakan

panggilan jlwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan sekaligus merupakan

penyempurnaan atas definlsl kawasan hutan sebagaimana dimaksud Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan,

yang mendefinlsikan kawasan hutan sebagai wllayah-wilayah tertentu yang

oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Definlsl

kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah konsekuensi logis dan

pengamanan sumber daya alam dan wilayah sistem penyangga kehidupan

yang telah disepakati untuk dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah guna

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian tersebut akan memberikan

kepastian hukum terhadap kawasan hutan baik yang baru dalam tahap

penunjukan maupun yang sudah dalam tahap penetapan. Bahwa jika kemudian

di dalam kawasan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut

terdapat hak-hak pihak ketiga yang dapat dibuktikan dengan alas hak yang

sah, maka penyelesaian dilakukan melalui penataan batas atas kawasan hutan

yang ditunjuk tersebut, dan terhadap hak-hak Pihak Ketiga yang ada sebelum

penunjukan dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan.

Berikut Pemerintah sampaikan contoh hasil Tata Batas yang telah selesai

dibuat dan ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

125

126

127

Pengertian kawasan hutan tersebut juga tidak dimaksudkan untuk mengurangi

kewenangan Pemerintah Daerah untuk menjalankan urusan otonomi-nya,

karena semua urusan Pemerlntahan termasuk di bidang kehutanan telah dibagi

habis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

Dalam lampiran AA Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 diatur bahwa:

urusan penunjukan kawasan hutan, peran Pemerintah daerah kabupaten/kota

adalah pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung,

kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

Berdasarkan ketentuan tersebut, urusan bidang kehutanan adalah termasuk

urusan bersama antara Pemerintah, Pemerintah provinsi dan Pemerintah

kabupaten/kota. Peran Pemerintah provinsi adalah pemberian pertimbangan

teknis, penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan

pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru. Dengan demikian

menurut Pemerintah dillhat dari peraturan perundang-undangan (wetmatigheid)

maupun asas kemanfaatan (doelmatigheid), rumusan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sudah tepat dan

benar.

Dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penunjukan

Areal Hutan diwilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas

15.300.000 ha dianggap sebagai dominasi Pemerintah Pusat atas kawasan

hutan sebagaimana halnya domain verklaring yang ditetapkan oleh Pemerintah

kolonial Belanda dalam menetapkan kawasan hutan, dapat Pemerintah

tanggapi sebagai berikut:

Domain verklaring adalah merupakan politik Pemerintah Kolonial Belanda

untuk menguasai/memiliki tanah secara besar-besaran untuk kemudian

disewakan kepada pertikelir guna kepentingan perkebunan.

Inti dari domain verklaring adalah suatu pernyataan dari Pemerintah yang

menyatakan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya

hak atas tanah yang bersangkutan maka tanah tersebut adalah milik negara.

Sedangkan penunjukan kawasan hutan yang kemudian lebih dlkenal dengan

Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah suatu penataan ruang

kawasan hutan yang disusun berdasarkan hasil kesepakatan instansi terkait di

128

daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku dan kemudian

dimintakan persetujuan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Direktur

Jenderal Kehutanan dan selanjutnya disahkan oleh Menteri Pertanian dengan

Surat Keputusan.

Dengan demikian adalah sangat tidak tepat apabila menyetarakan antara

domain verklaring dan penunjukkan kawasan hutan dl provinsi sebagaimana

tertuang dalam peta TGHK.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada

Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili

permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan terhadap

UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV,

Pemohon V, dan Pemohon VI tidak mempunyai kedudukan hukum (legal

standing);

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III,

Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk);

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya

(ex aequo et bono).

[2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pemerintah telah

menyerahkan bukti tertulis yang diberi tanda Bukti T-1 sampai dengan bukti T-6

sebagai berikut:

1. Bukti T -1 : - Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan;

- Fotokopi Surat Nomor S.938/Kuh-2/2011, tanggal 20

129

Oktober 2011, perihal Permohonan Enclave Tanah Milik PT.

Pertamina RU V Balikpapan Di Tahura Bukit Soeharo

2. Bukti T -2 : - Fotokopi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan;

- Fotokopi Surat Nomor S.837/KUH-2/2011, tanggal 23

September 2011, perihal Penyelesaian Status Lahan Lokasi

Industri PT.Tri Mustika Semesta di Kecamatan Batu Ampar

Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat;,

3. Bukti T -3 : - Fotokopi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah;

- Fotokopi Enclave Tanah Desa Grugu dan Desa Bringkeng

di Kabupaten Cilacap;

- Fotokopi Surat Nomor S.1233/VII-KUH/2011, tanggal 4

November 2011, perihal Penjelasan Status Kawasan;

4. Bukti T -4 : - Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

- Fotokopi Surat Nomor S.534/Menhut-VII/KUH/2011, tanggal

24 Agustus 2011, perihal Persetujuan Peta Rencana Trayek

Batas Enclave Dusun Talang Gunung Di Dalam Kawasan

Hutan Produksi Tetap Register 45 Sungai Buaya;

5. Bukti T -5 : - Fotokopi Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan Di

Wilayah Provinsi Dati I Kalimantan Tengah Seluas

15.300.000 (Lima Belas Juta Tiga Ratus Ribu Hektar),

Sebagai Kawasan Hutan;

- Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004

tentang Perencanaan Kehutanan;

6. Bukti T -6 : - Fotokopi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

SK.292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan

Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas +

1.168.656 (satu juta seratus enam puluh delapan ribu enam

ratus lima puluh enam) hektar, Perubahan Antar Fungsi

130

Kawasan Hutan Seluas + 689.666 (enam ratus delapan

puluh sembilan enam ratus enam puluh enam) Hektar dan

Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan

Hutan Seluas + 29.672 (dua puluh sembilan ribu enam ratus

tujuh puluh dua) Hektar Di Provinsi Kalimantan Tengah;

- Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010

tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi

Kawasan Hutan;

Selain itu Pemerintah mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar

keterangannya di depan persidangan pada tanggal 21 September 2011 yang pada

pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H.

• Bahwa sebagaimana diketahui Pemerintah dapat sebagai subjek hukum,

dapat melakukan perbuatan nyata maupun perbuatan hukum. Perbuatan

nyata diartikan bahwa dia bukan merupakan peristiwa hukum, tidak

menimbulkan akibat hukum, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum terhadap perbuatannya. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum

atau rechtshandelingen adalah pada dasarnya dia merupakan peristiwa

hukum, menimbukan akibat hukum dari perbuatannya tersebut, dan dapat

dimintakan pertanggujawaban hukum terhadap apa yang dilakukannya.

• Berkenaan dengan perbuatan hukum tersebut, maka kita mengacu pada

Pasal 33 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa negara harus berbuat atau

melakukan perbuatan hukum dalam melangkah, mengelola, dan mengurus

sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat, maka Pemerintah tentu saja satu di antara perbuatan hukum tadi

adalah membuat Undang-Undang. Di dalam undang-undang ada beberapa

hal yang perlu diatur, satu di antaranya adalah mengenai pengertian atau

definisi.

• Makna pengertian atau definisi dalam bab ketentuan umum suatu

perundang-undangan bersifat stipulatif untuk menjadikan sebuah kata

(sebuah istilah) menjadi bahasa hukum. Apabila sudah menjadi bahasa

hukum, akan menjadi rujukan, pedoman bagi pasal-pasal yang berkenaan

dengan istilah tersebut. Juga dalam pengertian tercakup di dalamnya ruang

lingkup tertentu dan adanya kepastian hukum pengertian terhadap istilah

131

hukum yang bersifat denotatif, sehingga diharapkan tidak akan

menimbulkan multitafsir;

• Berkaitan dengan pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan yang berbunyi, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang

ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan, tetap hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut

dalam perspektif hukum:

- Pertama makna ditunjuk dan/atau ditetapkan dalam rumusan Pasal 1

angka 3 memberi arti bahwa wilayah tertentu yang secara ukuran,

teknis, kehutanan perlu diberikan status hukum kepada wilayah tersebut

sebagai kawasan hutan, dengan cara yang pertama kali adalah ditunjuk

dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah, sehingga terhadap wilayah

tertentu tadi yang sudah diberi status hukum seharusnya juga dapat

dilakukan perlakuan sebagai hutan. Dengan demikian, apabila terdapat

sebuah dokumen yang berkenaan dengan penunjukan, maka dapat

memastikan bahwa wilayah itu adalah kawasan hutan dan segala

sesuatu yang berkaitan dengan kawasan hutan berlaku perlakuan

terhadap hutan tersebut, sebagaimana yang diatur dalam UU

Kehutanan. Tujuan penunjukan dalam Undang-Undang tersebut adalah

awal suatu perbuatan hukum untuk pertama kalinya yang diberikan

terlebih dahulu ke dalam sebuah wilayah atau kawasan tertentu,

sehingga dia menjadi kawasan hutan.

- Langkah selanjutnya dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai

kawasan hutan tersebut, maka dia harus diperlakukan sebagai hutan,

sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Sulit dibayangkan bagaimana

kacaunya dan bagaimana kesulitannya, serta bagaimana

ketidakpastiannya, apabila pada kawasan tertentu yang secara existing

benar-benar sebagai hutan, tidak diberikan status hukum sebagai hutan.

Maka pada kawasan tersebut sangat terbuka dan berpotensi untuk

dimanfaatkan dengan secara bebas, secara semena-mena sesuai

dengan kepentingannya. Oleh karena itu, penting sekali untuk ditetapkan

sebagai hutan meskipun dengan penunjukan sebagai awal dasar

persiapan untuk ditetapkannya sebagai kawasan hutan. Dengan

demikian, harapannya setelah diberikan penunjukan dan diperlakukan

132

sebagai hutan, maka berikutnya adalah upaya untuk melindunggi hutan,

sebagaimana dimaksud dalam tujuan dari dibentuknya UU Kehutanan.

• Berkaitan dengan wewenang penunjukan, bahwa secara konseptual

maupun praktis, masalah pengurusan hutan dilaksanakan salah satunya

adalah dengan perspektif dan pendekatan ekosistem, ekoregion, artinya,

pengurusan hutan tidak dapat didasarkan semata-mata pada wilayah

administratif pemerintahan atau teritorial.

• Yang dimaksud dengan pendekatan ekoregion dan ekosistem adalah

bahwa keberadaan dan fungsi hutan harus dilihat pada karakter, jenis, dan

sifat alam. Tidak dapat dipisahkan dan dipilah hanya berdasarkan

kewenangan pemerintahan berdasarkan wilayah daerah teritorial saja. Oleh

karena itu, dalam memahami pengurusan dan pengelolaan hutan tidak

dapat dilepaskan adanya saling keterkaitan antara satu ekosistem dengan

ekosistem lainnya.

• Berdasarkan UU Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2011

tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, dengan amat jelas dan

tandas bahwa pengurusan hutan harus mengutamakan pendekatan

ekoregion atau ekosistem yang berimplikasi bahwa kewenangan

pengurusannya akan terjadi lintas wilayah administrasi pemerintahaan.

• Apabila pengurusan diserahkan sepenuhnya kepada daerah, terutama

dalam rangka penunjukan, maka besar kemungkinan secara teknis

kehutanan akan sangat sulit karena kabupaten/kota akan terikat oleh batas

wilayah administrasi pemerintahan.

• Selain itu fungsi hutan itu meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan

fungsi produksi. Karenanya untuk mengurus atau mengelola hutan

diperlukan sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi,

pengetahuan yang memadai untuk itu. Karena dengan demikian, maka

penetapan kawasan hutan akan dapat diuji secara terstruktur, terukur, dan

teratur, sehingga hutan itu menjadi berfungsi sebagaimana mestinya.

• Substansinya bahwa dalam Pasal 1 angka 3, dalam penunjukan hutan

harus benar-benar dilakukan terhadap wilayah tertentu yang dapat

dikualifikasi secara teknis sebagai hutan, sehingga dapat diberi tanda

tertentu untuk memastikan bahwa wilayah tertentu itu adalah sudah

133

termasuk dalam kawasan hutan, sebagaimana yang ditetapkan dalam

kajian teknis. Selanjutnya dalam penunjukan tersebut dibuat peta,

pemancangan batas, pembuatan peta, dan pengumuman bahwa itu sebagai

sebuah kawasan hutan.

• Oleh karena itu, dalam konteks penentuan penunjukan, tentunya ada

prosedur yang jelas, yang terukur, yang teratur, tidak semena-mena, tidak

diklaim secara sepihak, tidak ujuk-ujuk, dan serta-merta, tapi ada proses,

ada prosedur, ada mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan.

• Dalam penunjukan dilakukan berdasarkan kriteria dan ukuran teknis

kehutanan. Prosesnya berlangsung secara aspiratif, secara akomodatif,

kolaboratif, dan partisipatif, dengan pemerintah daerah dan stakeholders

lainnya untuk menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Oleh

karena itu, dalam dokumen penunjukan ditandatangani oleh berbagai pihak

yang melibatkan para pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah.

• Kaitan antara Pasal 1 angka 3 dengan Pasal 15 adalah Pasal 1 angka 3

merupakan ketentuan yang berisi pengertian atau definisi, penjabaran,

derivasi, turunan dari Pasal 1 angka 3 harus tercermin ke dalam pasal-pasal

yang diatur berikutnya. Jadi, Pasal 15 merupakan kaidah yang merupakan

tindak lanjut dari Pasal 1 angka 3, yang lebih rinci, lebih normatif, lebih

mempunyai daya paksa, lebih punya keteraturan prosedur, lebih punya

kejelasan implikasi hukumnya, oleh karena itu, tidak dapat dilepaskan Pasal

1 angka 3 dengan pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan penunjukan

dan penetapan kawasan hutan.

• Dengan demikian, Pasal 15 merupakan tolak ukur penunjukan yang yang

harus dilakukan selanjutnya dengan melalui berbagai tahapan-tahapan,

yaitu tahapan penataan tetap batas, pemetaan, dan penetapan. Jadi

penunjukan itu memang merupakan tahap awal untuk dilakukan penetapan

yang bersifat definitif oleh Menteri Kehutanan.

• Implikasi hukum yang telah dilakukan penunjukan terhadap hutan adalah

bahwa kawasan hutan yang telah dikukuhkan melalui penunjukan, maka ia

merupakan produk hukum, ia mengikat, dan merupakan dasar bagi

dikeluarkannya berbagai kegiatan, termasuk dalam hal ini perizinan.

134

• Penunjukan berimplikasi kepada pengaturan hutan. Yang pertama, sebagai

wujud fisik. Hutan adalah wujud fisik yang dapat didekati, dirasakan, dilihat

secara indrawi dengan berbagai kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Yang kedua, penunjukan berkenaan dengan adanya kegiatan yang dapat

dikelola secara multipihak, multisektor, multikepentingan, dan sebagainya

terhadap kawasan hutan yang telah ditunjuk tadi. Yang ketiga penunjukan

berimplikasi pada hutan sebagai sumber daya, baik sebagai sumber daya

ekonomi, sumber daya sosial, maupun sumber daya lingkungan, ketahanan,

dan sebagainya yang pada dasarnya diorientasikan kepada hutan untuk

penyangga kehidupan sebagai hutan tetap. Yang keempat, ketika ada

penunjukan, di sana adanya pengakuan, adanya penghormatan, adanya

pemenuhan terhadap hak-hak yang melekat pada hutan dan berkaitan

dengan subjek hukum yang berkaitan dengan hutan tadi. Yang kelima,

dengan adanya penunjukan, maka lahirlah wewenang pemerintah untuk

mengatur, mengurus, mengelola, mengawasi, mendekatkan hukum terkait

dengan kehutanan.

• Dengan demikian, secara garis besar dengan tegas bahwa Pasal 1 angka

3, menurut ahli tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945

karena hal itu tidak terkait dengan pengurangan hak, dengan pengurangan

kewenangan, dan tidak ada satu pun yang berkaitan dengan kerugian yang

dialami oleh para Pemohon.

2. Prof. Dr. Ir. Herwint Simbolon, M.Sc.

• Pasal 1 poin 3 UU Kehutanan, mendefinisikan, “Kawasan hutan adalah

wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Untuk memahami

pengertian istilah kawasan hutan dalam pasal ini, ahli mendekatinya dari 2

aspek, yaitu Pertama aspek fungsi kawasan hutan sebagai ekosistem yang

menopang kehidupan dan yang kedua adalah dari aspek sejarah kawasan

hutan di Indonesia;

• Aspek fungsi kawasan hutan sebagai ekosistem yang menopang

kehidupan.

- Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak

135

dapat dipisahkan. Pengertian ini mengandung makna sebagai hutan

adalah berupa lahan dan habitat aneka ragam sumber daya hayati, baik

flora, fauna, dan jasad renik, dengan berbagai peran dan sistem

interaksi antara satu dengan lainnya.

- Hutan sebagai salah satu ekosistem, berperan sebagai penentu sistem

penyangga kehidupan dan penyeimbang lingkungan hidup, termasuk

iklim, yang di dalamnya termasuk lingkungan hajat hidup orang atau

masyarakat.

- Peran hutan sebagai penyangga dan penyeimbang tidak hanya bersifat

lokal, tetapi juga global. Peran hutan yang sentral dalam lingkungan

hidup adalah merupakan alasan mendasar mengapa perlu ada kawasan

hutan dengan luasan tertentu dan tersebar secara baik yang harus

dipertahankan dan dikelola dan karena peran hutan sangat penting bagi

negara dan bagi hajat hidup orang banyak melalui fungsinya sebagai

penyangga dan penyeimbang kehidupan, maka menurut hemat ahli,

Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menguasai, melindungi, dan

mengelola kawasan hutan sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945,

khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3).

• Aspek sejarah kawasan hutan di Indonesia.

- Sejarah kawasan hutan di Indonesia secara sederhana dapat dibagi

menjadi, Pertama adalah periode pada saat penjajahan Hindia Belanda.

Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan batas

pada kelompok-kelompok hutan di luar tanah hak milik. Kelompok-

kelompok hutan yang telah selesai di tata batas, dicatat, dilakukan

registrasi, dan kemudian dikenal dengan register kawasan hutan. Pada

masa itu tujuan utama penataan gunaan hutan adalah untuk penanaman

pohon jati untuk industri kehutanan dan untuk perlindungan jenis dan

ekosistem. Pada zaman Hindia Belanda, wilayah yang telah selesai

dilakukan registrasi adalah seluruh wilayah pulau Jawa dan Madura dan

beberapa kelompok hutan di Sumatera dan Bali. Kedua adalah periode

pada pemerintahan setelah kemerdekaan. Pada saat ini pemerintah

melakukan mengikuti register yang telah dilakukan oleh Pemerintah

Hindia Belanda sesuai dengan aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945.

Ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

136

Ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5/1967). Undang-Undang ini muncul

karena adanya kebutuhan lahan untuk pembangunan. Adanya kepastian

hukum atas letak, luas, dan batas, serta fungsi-fungsi kawasan yang ada

dan menghindari konflik antarsektor, serta penggunaan kawasan hutan

yang tidak sesuai daya dukung.

- Dalam Pasal 7 UU 5/1967 diatur bahwa untuk menjamin diperolehnya

manfaat sebesar-besarnya dari hutan secara lestari, ditetapkan wilayah-

wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dengan luas yang cukup dan

letak yang tepat. Penetapan kawasan hutan tersebut dilakukan oleh

menteri dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang

ditentukan oleh Pemerintah. Pasal a ayat (3) menyatakan, “Penetapan

tersebut pada ayat (2) didasarkan pada suatu rencana umum

pengukuhan kawasan hutan untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar

pertimbangan dalam menetapkan hutan lindung, hutan produksi, hutan

suaka alam, dan hutan wisata.”

- Berdasarkan pertimbangan tersebut dalam UU 5/1967 diputuskan

kemudian bahwa diperlukan adanya tata guna hutan yang melibatkan

semua unsur terkait dengan lahan di daerah. Hasil kesepakatan para

pemangku kepentingan yang terkait dengan lahan di daerah ini dikenal

dengan nama tata guna hutan kesepakatan. Petanya ditandatangani dan

bersama dan diajukan kepada Gubernur Daerah Tingkat I dan Direktur

Jenderal Kehutanan untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya setelah

disetujui, kemudian disahkan oleh Menteri Pertanian. Pengesahan oleh

Menteri Pertanian tersebut kemudian diberi nama dengan surat

keputusan dan dilampiri dengan peta yang disepakati gubernur dan

Direktur Jenderal Kehutanan. Selanjutnya petanya dikenal dengan

penunjukan kawasan hutan atau tata guna hutan kesepakatan. Jadi, di

sini terlihat ada keikutsertaan dan pelibatan pemerintah daerah.

- Kemudian periode keempat adalah periode penataan ruang wilayah

provinsi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Pada

periode ini Pemerintah Daerah Tingkat I seluruh Indonesia diwajibkan

untuk menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi. Kemudian provinsi

membuat rencana tata ruang wilayah provinsi atau disingkat dengan

RTRWP. Tetapi kemudian apabila RTRWP yang dibuat oleh pemerintah

137

provinsi ditumpangtindihkan dengan peta TGHK yang tadi telah dibuat

pada periode sebelumnya, terlihat bahwa ada permasalahan delineasi

kawasan yang perlu diselesaikan. Maka ketika itu, perlu adanya

keserasian antara RTRWP yang dibuat oleh pemerintah daerah dan

TGHK oleh Kementerian Pertanian Dirjen Kehutanan kala itu atau yang

sudah bersama-sama dengan pemerintah daerah kabupaten dan dinas-

dinas terkait.

- Periode terakhir adalah periode UU Kehutanan. Karena dipandang

sudah tidak sesuai, maka UU 5/1967 diganti dengan UU Kehutanan.

Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 3 inilah kemudian diberi

pengertian bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk

dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap. Tetapi, perlu juga dilihat bahwa di

dalam Undang-Undang yang sama dalam peralihan Pasal 41 diatur

bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum UU

Kehutanan, dinyatakan tetap berlaku berdasarkan UU Kehutanan.

- Sebagai turunan dari UU Kehutanan kemudian ada diterbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

Dalam peraturan pemerintah ini, diatur berbagai aspek secara lebih rinci

lagi mengenai penunjukan, prosedur penunjukan kawasan hutan dan

tahap-tahapannya. Salah satu misalnya Pasal 18 ayat (3) menyatakan,

“Penunjukan wilayah tertentu secara parsial menjadi kawasan hutan

harus menjadi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu berupa usulan atau

rekomendasi gubernur dan/atau bupati/walikota dan secara teknis harus

dapat dijadikan sebagai kawasan hutan”. Selanjutnya juga dalam Pasal

20, misalnya Pasal 20 ayat (2), “Panitia tata batas kawasan hutan

sebagaimana dimaksud, itu dibentuk oleh bupati dan walikota”.

• Peraturan penting lainnya terkait kawasan hutan setelah periode UU

Kehutanan, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010

tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 15/2010) sebagai

turunan dari Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

• Bahwa beberapa pokok penting terkait dengan PP 15/2010 adalah Pasal

30 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 31, yang menyatakan mengenai

138

perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan

kawasan hutan yang berlaku ketentuan perundang-undangan di bidang

kehutanan;

• Dari uraian-uraian di atas ahli menegaskan sebagai berikut:

Peran hutan sebagai penentu penyangga kehidupan dan

penyeimbang lingkungan hidup yang begitu penting, perlu ada

kawasan hutan dengan luasan tertentu dan tersebar secara baik

serta harus dipertahankan dan harus dikelola dengan baik;

Peran hutan sangat penting bagi negara dan bagi hajat hidup orang

banyak, melalui fungsinya sebagai penyangga dan penyeimbang

kehidupan, maka Pemerintah mempunyai kewajiban ntuk

menguasai, melindungi, dan mengelola kawasan hutan sesuai

dengan amanat Undang-Undang 1945;

Bahwa berdasarkan sejarah, kawasan hutan di Indonesia

sebetulnya sudah ditetapkan bahkan sejak Pemerintah Hindia

Belanda, khususnya provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa

dan Madura, Bali, dan sebagian di Provinsi Sumatera. Jauh

sebelum UU Kehutanan dikeluarkan;

Bahwa kawasan hutan di provinsi-provinsi lain di luar Pulau Jawa

juga sudah ditetapkan sebelum diundangkannya UU Kehutanan,

sebagai contoh, kawasan hutan Provinsi Kalimantan Tengah

misalnya didasarkan pada penunjukan kawasan areal hutan pada

tahun 1982, yaitu dengan Nomor Surat 759-KPTS-UM-10 Tahun

1982, tanggal 12 Oktober Tahun 1982. Bukan berdasarkan UU

Kehutanan, tapi berdasarkan UU 5/1967;

Pasal 81 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa kawasan hutan

yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan berdasarkan peraturan

undang-undangan yang berlaku sebelum UU Kehutanan,

dinyatakan tetap berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa UU

Kehutanan lebih berfungsi untuk penguatan dan pengaturan

penetapan pengelolaan kawasan hutan yang sudah ditetapkan

sebelumnya;

Bahwa dari Pasal 17 dan Pasal 18 PP Nomor 44 Tahun 2004

tentang Perencanaan Kawasan Hutan, dapat disimpulkan bahwa

139

tidak mungkin terjadi suatu penunjukan kawasan menjadi kawasan

hutan oleh menteri tanpa ada usulan atau rekomendasi dari bupati

atau gubernur. Sehingga menurut hemat ahli, Pemerintah dalam

hal ini Menteri Kehutanan, menunjukkan kawasan hutan pada

dasarnya hanya bersifat deklarasi dari suatu proses yang dimulai

dari usulan gubernur, atau walikota, atau bupati;

Bahwa Pasal 20 PP 44/2004 tersebut, secara jelas disimpulkan

bahwa kewenangan yang paling besar sebetulnya di dalam

penunjukan kawasan hutan karena prosesnya dari bawah adalah

bupati atau walikota yang bersangkutan;

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait

memberikan keterangan tertulis pada tanggal 18 Oktober 2011, yang

menerangkan sebagai berikut:

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebelum menyampaikan alasan-alasan permohonan menjadi Pihak Terkait,

disampaikan terlebih dahulu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat

menerima permohonan menjadi Pihak Terkait, mendengarkan keterangan

pihak terkait beserta mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang diajukan

oleh Pihak Terkait di dalam pemeriksaan persidangan pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

1.1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun I945 (UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-

undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum [vide Bukti PT-3 dan

Bukti PT-41];

1.2. Bahwa Mahkamah Konstitusi sedang memeriksa permohonan pengujian

Pasal I angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

140

Kehutanan (UU Kehutanan) yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit

Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011]. Pasal I angka 3 Undang-

Undang a quo berbunyi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang

ditunjuk dan atau diietapkan oleh Pemerintah untuk diperlahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap;

1.3. Bahwa berdasarkan Pasal 41 ayat (4) huruf f Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 13 ayat (1)

huruf g Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK

6/2005), disebutkan bahwa salah satu pemeriksaan persidangan di

Mahkamah Konstitusi adalah: Mendengarkan keterangan Pihak Terkait

[vide Bukti PT-6 dan Bukti PT-7]. Bahwa berdasarkan ketentuan-

ketentuan tersebut maka Pihak Terkait dapat memberikan keterangan

dalam pemeriksaan persidangan pengujian Undang-Undang yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;

1.4. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PMK 6/2005 ditentukan bahwa

Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak

langsung dengan pokok permohonan. Selanjutnya disebutkan dalam

Pasal 14 ayat (2) PMK 6/2005 bahwa Pihak Terkait yang berkepentingan

langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh

oleh pokok permohonan;

1.5. Bahwa dalam ketentuan Pasal 42A ayat (1) UU MK dinyatakan bahwa:

Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak

terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi [vide Bukti PT-6].

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut maka Pihak Terkait dapat

mengajukan saksi dan ahli untuk memberikan keterangan dalam

persidangan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi;

1.6. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (5) PMK 6/2005 ditentukan bahwa

Pihak Terkait harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui

Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan

Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang

bersangkutan;

141

1.7. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah

berwenang menerima permohonan dari pihak terkait untuk ditetapkan

sebagai Pihak Terkait, mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait

beserta keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh Pihak Terkait;

2. Kedudukan Hukum Pihak Terkait (Legal Standing)

Kedudukan hukum pihak terkait dijelaskan sebagai berikut:

2.1. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PMK 6/2005 ditentukan bahwa Pihak

Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung

dengan pokok permohonan. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2)

PMK 6/2005 bahwa Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah

pihak yang hak dan atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok

permohonan:

2.2. Bahwa Pihak Terkait mengajukan permohonan menjadi Pihak Terkait dalam

perkara pengujian Pasal I angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh

Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman,

Akhmad Taufik, dan Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011):

2.3. Bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah

Konstitusi oleh Pemohon Pekara Nomor 45/PUU-IX/2011 adalah Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang berbunyi “kawasan hutan adalah wilayah

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

2.4. Bahwa Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II, yaitu Ahmad Rizky dan Khotib

merupakan warga negara Indonesia sang bertempat tinggal di Kampung

Nyuncung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

Provinsi Jawa Barat, yang seluruh wilayah desanya dimasukkan oleh Menteri

Kehutanan menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-

lI/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan

Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok

Hutan Gunung Salak seluasas ± 113.357 (seratus tiga belas ribu tiga ratus

lima puluh tujuh) Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi

Taman Nasional Giunung Halimun-Salak [vide Bukti PT-4]:

142

2.5. Bahwa dalam proses terbitnya Keputusan Menteri Nomor 175/Kpts-II/2003

tersebut di atas dilakukan tanpa keterlibaian dan persetujuan dari Pihak

Terkait dan seluruh penduduk Desa Malasari.

2.6. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-ll/2003

tersebut di atas, maka Pihak Terkait adalah pihak sang terkait langsung

dengan pokok permohonan dari Pemohon pengujian Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain

Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit Bimih [Perkara Nomor

45/PUU-lX/2011|, karena Pihak Terkait merupakan orang terkena dampak

langsung dari penuniukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

2.7. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, Pihak Terkait

mengalami kerugian hak-hak konstitusional karena dengan berlakunya

ketentuan Pasal I angka 3 Undang-Undang a quo, maka seluruh wilayah desa

Pihak Terkait berubah menjadi kawasan hutan, yaitu kawasan hutan dengan

status Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS);

2.8. Bahwa dengan ditunjuknya wilayah desa Pihak Terkait menjadi kawasan

hutan maka Pihak Terkait mengalami potensi kerugian atau kerugian

konstitusional dalam bentuk:

a. kehilangan atau dibatasinya akses dalam pengelolaan sumber daya

hutan;

b. hilangnya rasa aman dari Pihak Terkait dalam mengelola sumber daya

hutan;

c. hilangnya hak milik Pihak Terkait berupa pohon-pohon puspa,

kisampang, huru, kisirem, pasang dan rasamala yang ditanam langsung

oleh Pihak Terkait di atas lahan yang sekarang dijadikan kawasan hutan

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-Il/2003;

d. Berpotensi dijadikan sebagai pelaku tindak pidana atau dikriminalisasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Juncto Pasal 78 UU Kehutanan;

2.9. Bahwa penunjukan kawasan hutan yang menyebabkan wilayah desa Pihak

Terkait menjadi kawasan hutan sebagaimana ditunjuk berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor I75/Kpts-Il/2003 dikeluarkan oleh

Menteri Kehutanan tanpa ada informasi terlebih dahulu dan tanpa ada

143

persetujuan dari Pihak Terkait dan seluruh warga desa di tempat Pihak

Terkait berdomisili;

2.10. Bahwa apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

diajukan oleh Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad

Dirman, Akhmad Taufik, Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/20111,

potensi kerugian atau kerugian konstitusional yang dialami oleh Pihak Terkait

tetap akan terjadi;

2.11. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada hubungan sebab

akibat atau causal verband antara Pihak Terkait dengan permohonan

pengujian Pasal I angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad

Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik,

Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011], yang memunculkan potensi

kerugian dan kerugian konstitusional pada Pihak Terkait.

3. Alasan-Alasan Mengajukan Permohonan Menjadi Pihak Terkait Pihak Terkait mengajukan permohonan untuk menjadi Pihak Terkait dengan

alasan-alasan bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

maupun apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi, Duwel

Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit Bintih

[Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011, kerugian konstitusional Pihak Terkait tetap

terjadi karena ketentuan Pasal 11 angka 3 UU Kehutanan bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (I), Pasal 28H ayat (I),

Pasal 28H ayat (4), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3.1. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945

3.1.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan maupun

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik,

Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011] tidak memberikan

pengakuan, jamlnan perlindungan, dan kepastlan hukum yang adil bagi

Pihak Terkait sebagaimana dljamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

144

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum.

3.1.2. Bahwa dalam proses penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

175/Kpts-11/2003 yang tidak melibatkan dan tidak dengan persetujuan

Pihak Terkait dan penduduk Desa Malasari, maka hal itu merupakan

salah satu bentuk pengingkaran pemerintah terhadap pengakuan

keberadaan Pihak Terkait dan masyarakat yang terkena dampak dari

penunjukan kawasan hutan. Hal tersbeut sekaligus pengabaian

terhadap jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi

Pihak Terkait.

3.1.3. Bahwa dengan tindakan dari Pemerintah yang tidak mengikutsertakan

Pihak Terkait dalam proses penunjukan kawasan hutan berdasarkan

kepada Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan merupakan bentuk

pengingkaran dan pelanggaran terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD

1945.

3.2. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945

3.2.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan maupun

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik,

Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/20111 mengabaikan hak

asasi Pihak Terkait atas Informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal

28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan

pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segalajenis saluran yang tersedia.

3.2.2. Bahwa masyarakat memiliki hak asasi atas informasi atas semua

kegiatan pembangunan dan kebijakan yang akan ditempuh oleh

Pemerintah yang akan berdampak pada kehidupan dan hak miliknya.

3.2.3. Bahwa proses lahirnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

l75/Kpts-II/2003 yang dilakukan tanpa terlebih dahulu dengan

memberikan informasi yang berimbang kepada Pihak Terkait atas

145

dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari penunjukan kawasan

hutan, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.

3.3. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1)

UUD 1945

3.3.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan maupun

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik,

Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/20111 telah menimbulkan

rasa tidak aman dan gangguan terhadap penguasaan benda Pihak

Terkait yang merupakan hak asasi sebagaimana telah dijamin dalam

Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman

dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

3.3.2. Bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Nomor 175/Kpts-lI/2003 yang didasarkan kepada Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka

telah menimbulkan kehilangan hak atas benda yang dimiliki oleh

Pihak Terkait serta kehilangan rasa aman karena berdasarkan

keputusan menteri tersebut, Pihak Terkait merasa takut

memanfaatkan tanah, kebun, dan ladang yang sudah diolah selama

ini.

3.3.3. Bahwa dengan ketiadaan Informasi dan terhadap dampak-dampak

yang akan ditimbulkan dari penunjukan kawasan hutan tersebut,

mengakibatkan Pihak Terkait terampas hak miliknya berupa tanah

dan sumber daya yang ada di atasnya, yang merupakan hak asasi

yang paling mendasar yang harus dilindungi oleh negara. Bahwa

dengan demikian, maka ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

betentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

3.4. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD

1945

146

3.4.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan maupun

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka

3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi, Duwel

Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit

Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011], telah menimbulkan dampak

teruslrnya Pihak Terkait secara hukum dan terganggunya hak asasi

Pihak Terkait untuk hldup sejahtera lahir dan batin serta bertempat

tinggal sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (I) UUD 1945 yang

menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

3.4.2.Bahwa dengan lahirnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-

l 1/2003 yang didasarkan kepada Pasal 1 angka 3 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka secara hukum Pihak

Terkait menjadi kehilangan tempat tinggal yang semestinya harus

dilindungi oleh negara dalam bentuk pemenuhan atas hak ekonoml,

sosial dan budaya.

3.4.3. Bahwa dengan adanya penunjukan kawasan melalul Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-11/2003 yang dilandasi atas Pasal

1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.5. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

3.5.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun apabila Mahkamah

mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan

oleh Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad

Dirman, Akhmad Taufik, Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-

IX/2011), telah mengganggu terpenuhinya hak asasi Pihak Terkait

atas hak milik sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28H ayat (4)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

147

menyatakan bahwa: Setiap orang berhak mempunyai hak milik

pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara

sewenang-wenang oleh siapapun.

3.5.2. Bahwa hak milik merupakan hak asasi yang paling mendasar dan

harus dijamin pengakuan, perlindungan dan pemenuhannya oleh

negara.

3.5.3. Bahwa hak mllik tidak boleh dlambil-alih secara paksa, tanpa ganti

rugi serta tanpa persetujuan dari warga negara. Bahkan

pengambilalihan tanah atau suatu wilayah berdasarkan penunjukan

oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

175/Kpts-lI/2003 yang dilandasi atas Pasal 1 angka 3 Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan suatu

tindakan hukum yang bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.6. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

bertentangan dengan Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

3.6.1 Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun apabila Mahkamah

mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh

Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman,

Akhmad Taufik, Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011], telah

mengganggu terpenuhinya hak asasi Pihak Terkait untuk

mengembangkan budaya dalam hal pengelolaan sumber daya alam

berdasarkan pola-pola tradisional yang dlkenal dengan kearifan lokal

yang dijamin keberadaannya dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang

menyatakan bahwa: Negara memajukan kebudayaan nasional

Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan

masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai

budayanya.

3.6.2 Bahwa konstitusi di Indonesia adalah konstitusi yang tertulis dan

konstitusi yang tidak tertulis. Konstitusi yang tidak tertulis merupakan

norma hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia (living law).

148

Norma-norma yang telah dlwarlsl secara turun temurun telah menjadi

kebudayaan dan menjadi identitas dari masyarakat yang telah ada di

wilayah tersebut yang harus dlhormati dan dijamin keberadaannya oleh

negara.

3.6.3 Bahwa Pihak Terkait dan masyarakat di Desa Malasari

mengembangkan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan sumber daya

alam yang dilakukan secara tradisional. Misalkan larangan menebang

pohon sembarangan, pohon besar dibiarkan mati sampai menjadi

pupuk, upacara asedekah bumi yang dilakukan sebelum menanam padi

dan lain sebagainya.

3.6.4 Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

a quo atau dlterimanya permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi, Duwel Rawing, H.

Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit Bintih [Perkara

Nomor 45/PUU-IX/2011), hak Pihak Terkait untuk mengembangkan

nilai-nilai kebudayaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi

terhalangi karena lahirnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

I75/Kpts-II/2003 yang dilakukan tanpa persetujuan dari masyarakat.

3.6.5 Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan bertentangan dengan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.

3.7. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945

3.7.1. Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan maupun

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1

angka 3 UU Kehutanan yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik,

Hambit Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011], telah bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa: Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemaknmran rakyat.

3.7.2. Bahwa tujuan dari kehidupan berbangsa sebagaimana dinyatakan

dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk membentuk suatu

Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

149

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Senada

dengan itu, maka tujuan dari penguasaan negara atas bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kawasan

hutan, adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3.7.3. Bahwa dalam putusan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

yang dibacakan oleh Mahkamah pada tanggal 16 Juni 2011

disebutkan ada empat tolak ukur untuk mengukur sebesar-besar

kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945, yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii)

tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii)

tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya

alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun

temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam;

3.7.4. Bahwa berdasarkan empat tolak ukur tersebut, tindakan Pemerintah

yang mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor I75/Kpts-

II/2003 yang didasarkan kepada Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan

yang dilakukan tanpa partisipasi, mempertimbangkan kemanfaatan,

tingkat pemerataan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional

Pihak Terkait yang sudah ada secara turun temurun dalani

pengelolaan hutan, maka membuat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

a quo, bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3UUD 1945.

4. Petitum

Berdasarkan segenap alasan yang berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang

disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi, Pihak Terkait memohon kepada

Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan sebagai berikut:

1. Mengabulkan seluruh permohonan Pihak Terkait dalam perkara a quo;

2. Mengabulkan permohonan pemohon untuk menjadi Pihak Terkait dan

mendatangkan saksi dan ahli dalam pemeriksaan pengujian Undang-

Undang a quo;

3. Menolak permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara

150

Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Muhammad Mawardi,

Duwel Rawing, H. Zain Alkim, H. Ahmad Dirman, Akhmad Taufik, Hambit

Bintih [Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011]

4. Menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang frasa

"ditunjuk dan/atau ditetapkan" dimaknai sebagai ditunjuk dan/atau

ditetapkan setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terkena

dampak dari penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan. Sehingga

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dimaknai bahwa: "Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk

dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya

sebagai hutan tetap setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat

yang akan terkena dampak."

5. Menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang lima

tahun sejak pembacaan putusan Mahkamah sampai pemerintah melakukan

penetapan kawasan hutan dengan persetujuan masyarakat yang terkena

dampak dari penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan.

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-

adilnya (ex aequo et bono).

[2.6] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pihak Terkait telah

mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-8,

sebagai berikut :

1. Bukti PT-1 : Bukti fisik tidak diserahkan

2. Bukti PT-2 : Fotokopi Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1999, Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3888);

3. Bukti PT-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

4. Bukti PT-4 : Bukti fisik tidak diserahkan

151

5. Bukti PT-5 : Fotokopi Risalah Sidang Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011

perihal Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Acara Pemeriksaan

Pendahuluan (I). Rabu, 10 Agustus201I

6. Bukti PT-6 : Fotokopi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 70. Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

7. Bukti PT-7 : Bukti fisik tidak diserahkan

8. Bukti PT-8 : Fotokopi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-

II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas

pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok

Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 (seratus tiga belas

ribu tiga ratus lima puluh tujuh) Hektar di Provinsi Jawa

Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak.

[2.7] Menimbang bahwa para pihak telah menyampaikan kesimpulan tertulis yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 November 2011 yang pada

pokoknya para pihak tetap dengan pendiriannya;

[2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara

persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

putusan ini.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa permasalahan utama dari permohonan para

Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

152

Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4412, selanjutnya disebut UU Kehutanan) terhadap

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal

28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan:

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; dan

b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), selanjutnya

disebut UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final antara lain untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD

1945;

[3.4] Menimbang, bahwa karena yang dimohonkan oleh para Pemohon

adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang in casu Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6),

Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan

153

ayat (4) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a

quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat

mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah

mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang

diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

• kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)

UU MK;

• adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh

UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-

putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi

lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

154

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon I adalah Bupati Kapuas berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.62-170 Tahun 2008 tentang

Pengesahan, Pemberhentian Dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Kapuas

Provinsi Kalimantan Tengah yang mewakili Pemerintah Daerah Kabupaten

Kapuas, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Kapuas Nomor 183.1/35/DPRD.2011 (vide bukti P-6 dan bukti P-7),

sedangkan Pemohon II sampai dengan Pemohon VI adalah warga negara

Indonesia yang berhubungan langsung dengan kawasan hutan di Provinsi

Kalimantan Tengah;

[3.8] Menimbang bahwa bedasarkan hal tersebut di atas, menurut Mahkamah

Pemohon I memenuhi kualifikasi sebagai lembaga negara, dan Pemohon II sampai

dengan Pemohon VI memenuhi kualifikasi sebagai perorangan warga negara yang

ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan

mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat

(2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat

(1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 1 (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 18 (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

155

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 18A (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur

dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas

rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Menurut para Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan akibat

berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menyatakan:

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Menurut para Pemohon, Pasal a quo khususnya frasa “ditunjuk dan atau” telah

merugikan para Pemohon dengan alasan sebagai berikut:

156

1. Pemohon I:

a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan

kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian izin bidang

perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana

dan prasana lainnya;

b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang

akan dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti perkebunan,

pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan

prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan

pengukuhan kawasan hutan;

c. Tidak dapat mengimplementasikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten/Kota (RTRWK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

(RTRWP) karena seluruh wilayahnya merupakan kawasan hutan jika tidak

dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan

tanpa izin serta memberikan izin usaha lainnya di kawasan hutan, jika di

Kabupaten Kapuas tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah

dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk

kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;

2. Pemohon II sampai dengan Pemohon V:

a. Dapat dipidana karena memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa

izin dari pihak yang berwenang;

b. Dapat dipidana karena memberikan izin usaha bidang pertambangan,

perkebunan dan usaha lainnya di wilayah Kabupaten Pemohon II,

Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V yang menurut penunjukan

termasuk dalam kawasan hutan;

3. Pemohon VI:

a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam mengurus hak kebendaan

dan hak milik karena tanah yang dimohonkan haknya dianggap berada di

kawasan hutan; b. Tidak dijaminnya hak atas kebendaan karena adanya ancaman bahwa

kebendaan/lahan tersebut dianggap berada di kawasan hutan;

157

c. Tidak dijaminnya hak milik kebendaan karena sewaktu-waktu berpotensi

diambil oleh negara karena dianggap bahwa lahan tersebut berada di

kawasan hutan;

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di

atas, menurut Mahkamah, para Pemohon yang berhubungan langsung dengan

masalah kehutanan di wilayahnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 3

UU Kehutanan, khususnya frasa “ditunjuk dan atau”, oleh karena itu, menurut

Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal

standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pendapat Mahkamah

Pokok Permohonan

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan para Pemohon, membaca dan mendengarkan keterangan

Pemerintah dan keterangan Pihak Terlkait, membaca dan mendengarkan

keterangan saksi dan Ahli dari para Pemohon dan Pemerintah, serta memeriksa

bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait,

sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat

sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan

adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Menurut para Pemohon, frasa

“ditunjuk dan atau” bertentangan dengan UUD 1945;

[3.12.2] Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak

boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan

hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies

Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk

dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan

158

berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan

peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.

Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-

tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies

Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang

akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup

orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan;

[3.12.3] Bahwa antara pengertian yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 dan

ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan terdapat perbedaan. Pengertian dalam Pasal 1

angka 3 Undang-Undang a quo hanya menyebutkan bahwa, “Kawasan hutan

adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15

ayat (1) Undang-Undang a quo menentukan secara tegas adanya tahap-tahap

dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-

Undang a quo menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan

hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d.

penetapan kawasan hutan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-

Undang a quo penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses

pengukuhan kawasan hutan, sementara itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1

angka 3 Undang-Undang a quo dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan

hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam Pasal

15 ayat (1) Undang-Undang a quo;

[3.12.4] Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan suatu

kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di

atas sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau

pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan, “Pengukuhan

kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut Mahkamah ketentuan

tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan

atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai

159

kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan

batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan

hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat

yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan

hutan tersebut;

[3.13] Menimbang bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses

akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan

atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan

asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu

frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo.

Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum

yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang

menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

[3.14] Menimbang bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU

Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah

ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku

berdasarkan undang-undang ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3

dan Pasal 81 Undang-Undang a quo mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau

ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam

Pasal 81 Undang-Undang a quo tetap sah dan mengikat;

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,

menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

160

[4.3] Permohonan para Pemohon beralasan hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5226) serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

5. AMAR PUTUSAN,

Mengadili,

Menyatakan:

• Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

• Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,

161

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

• Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang

dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua

merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Anwar Usman,

Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar,

masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sembilan, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno

Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh satu, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi,

yaitu Achmad Sodiki, selaku Ketua merangkap Anggota, Muhammad Alim,

Harjono, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida

Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi

oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon

dan/atau kuasanya, DPR atau yang mewakili, dan Pemerintah atau yang mewakili,

serta Pihak Terkait;

KETUA

ttd

Achmad Sodiki

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd Muhammad Alim

ttd Harjono

ttd Anwar Usman

ttd

Ahmad Fadlil Sumadi

162

ttd

Hamdan Zoelva

ttd M. Akil Mochtar

ttd

Maria Farida Indrati

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Saiful Anwar