111
QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsīr al-Kasysyāf Karya Imam al-Zamakhsyarī dan Kitab Tafsir Mafātih al-Ghāib Karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh: Moch. Qomari 1112034000039 JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

  • Upload
    others

  • View
    72

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR

(Studi Qiraat pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsīr al-Kasysyāf Karya

Imam al-Zamakhsyarī dan Kitab Tafsir Mafātih al-Ghāib Karya Imam

Fakhru al-Dīn al-Rāzi)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Moch. Qomari

1112034000039

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019 M/1440 H

Page 2: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Page 3: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Page 4: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Page 5: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

v

PEDOMAN TRANSLITERASI1

Arab Indonesia Arab Indonesia

ṭ ط a ا

ẓ ظ b ب

‘ ع t ت

gh غ ts ث

f ف j ج

q ق ḥ ح

k ك kh خ

l ل d د

m م dz ذ

n ن r ر

w و z ز

h ه s س

’ ء sy ش

y ي ṣ ص

h ة ḍ ض

Vokal Panjang

Ā آ

Ī إي

Ū أو

1Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS).

Vol.1, no.1 Januari 2013

Page 6: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

vi

Abstrak

Penelitian ini memfokuskan pada varian qiraat dalam ayat-ayat teologis,

dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan dosa besar dan nasib pelaku

dosa besar. Pembahasan qiraat dikaji dari berbagai sisi, mulai dari ragam, bentuk,

kualitas, fungsi dan pengaruhnya terhadap penafsiran. Kitab primer yang menjadi

topik pembahasan adalah Tafsīr al-Kasysyāf karya Imam al-Zamakhsyarī dan

Mafātih al-Gḥāib karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi. Kedua kitab tafsir tersebut

dipilih karena keduanya mencantumkan qiraat dalam penafsiran dan ditulis oleh

pemuka aliran madzhab teologi yang berbeda. Fokus masalah utamanya adalah

bagaimana ragam qiraat dan pengaruh ideologi madzhab pada penafsiran ayat-

ayat teologis tentang dosa besar dan nasib pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-

Kasysyāf dan Mafātih al-Ghāib.

Kajian ini menghasilkan dua poin penting dari segi qiraat dan tafsir. Dari

segi qiraat, kedua kitab Tafsir sama-sama mencantumkan qiraat dalam penafsiran

sebagai informasi qiraat, alternatif makna, bahkan sebagai pembelaan terhadap

madzhab mufassir. Keunggulan Tafsīr al-Kasysyāf dalam mencantumkan qiraat

penjelasannya yang detail tentang qawāid nahwiyyah. Kekurangannya adalah al-

Zamakhsyari jarang menyebutkan periwayatnya, bahkan tidak adanya filterisasi

baik dari qiraat sab’ah, asyrah maupun arba’a asyrah. Sedangkan Al-Rāzi lebih

sering mencantumkan periwayat qiraat dan terkadang menukil dari al-Kasysyāf.

Selain itu, beliau juga lebih menjelaskan perbandingan antar ragam qiraat. Segi

tafsir, terutama dalam ayat-ayat tentang dosa besar. al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi

saling memperdebatkan persoalan tentang kategori dosa besar. Al-Zamakhsyarī

menganggap tidak ada ampunan bagi pelaku dosa besar kecuali bagi mereka yang

dikehendaki Allah dan posisinya berada diantara dua posisi. Sedangkan al-Razi

berasumsi pelaku dosa besar masih diampuni dan pelakunya masih dianggap

mukmin. Al-Rāzi dalam tafsirnya tentang ayat-ayat dosa besar cenderung meng-

counter pendapat-pendapat al-Zamakhsyarī. Kedua tafsir tersebut sama-sama

mencantumkan qiraat pada ayat-ayat dosa besar sebagai penguat argumen serta

pembelaan madzhab. Pada intinya, penafsiran keduanya dalam menafsirkan ayat-

ayat dosa besar dan nasib pelaku dosa besar masih dilatarbelakangi oleh ideologi

madzhab yang dianutinya.

Kata Kunci: qiraat, tafsir, pelaku dosa besar, aliran teologi, al-Kasysyāf, Mafātih

al-Ghāib

Page 7: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

vii

KATA PEGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya yang

diberikan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini bisa rampung. Shalawat

dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad Saw.

beserta keluarganya, sahabat-sahabtnya serta para pengikutnya yang telah

mensyiarkan Islam di berbagai penjuru dunia.

Alhamdulillah, penulisan skripsi yang berjudul “Qiraat dalam Kitab

Tafsir: Studi Qiraat Pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsir al-Kasysyaf

Karya Imam al-Zamakhsyari dan Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Imam

Fakhruddin al-Razi” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini

merupakan salah satu syarat tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Agama

(S.Ag) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan. Oleh

sebab itu, penulis merasa perlu untuk menghaturkan terima kasih kepada pihak

yang telah ikut serta membantu proses penyelesaian skripsi ini. Terutama terima

kasih penulis kepada:

1. Kedua orang tua penulis, ayahanda M. Muslim dan Ibunda Ngasri yang

tiada henti memberikan support moril dan materil untuk menyelesaikan

skripsi ini. Tak lupa pula kepada saudara penulis, Mas M. Mubayyin dan

Adik M. Khusnaini Mubarak yang selalu mengingatkan penulis untuk

lulus dari bangku perkuliahan.

2. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA. Selaku pembimbing

penulisan skripsi ini. Yang tiada lelah meluangkan waktu dan

kesabarannya membimbing penulis. Nafa’anallahu bi ulumihi.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sayang sekali kepada

anak didiknya, tidak lelah untuk terus mendorong anak didiknya agar cepat

lulus dan menyelesaikan tugas akhir.

Page 8: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

viii

4. Ibu Banun Bina Ningrum, M. Pd. Sebagai Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang juga terus mendorong

mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir.

5. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, MA dan segenap Stake

Holder Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarata yang telah

membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

6. Rektor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Prof. Dr. Amani Lubis, MA.

Beserta jajarannya.

7. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

khususnya dosen Jurusan Tafsir Hadis, terima kasih banyak atas

pencerahan, ilmu, dan didikannya kepada penulis. Nafa’anallahu bi

ulumihim.

8. Para teman-teman angkatan. Teman angkatan TH 12 khusunya kelas TH A

dan teman Bidikmisi. Semoga silaturahimnya terus terjaga dan selalu

menjadi teman yang baik.

9. Teman Aliyah, khusunya teman seperjuangan yang kuliah di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Abdullah Hamid, Rizky Subagia dan Nur Halim.

10. Terima kasih kepada para senior dan teman-teman alumni PP. Tarbiyatut

Tholabah di Jakarta (Wasiat Jakarta) atas kebersamaan sebagai keluarga di

tanah rantau.

11. Orang tua asuh dan keluarga di Jakarta, Dr. Ulinnuha Husnan, MA. Pak

dhe Marjono, Budhe Sumiati, Alex Prasetyo, Sulthon Hidayat, Om

Timbul, Abrohul Isnaini, M.Hum, M. Muhaimin, Ahmad Taufik, Imam

Wahyudi, Abu Dzar, Ahmad Nidhomuddin, Muhammad Hakim, Lukman

Hakim al-Hadi, Moh. Ikhwan dan teman-teman yang lainnya, yang tidak

dapat penulis sebut satu per-satu.

12. Orang-orang terdekat, Mbah H. Ali Usman, Mbah Rawi dan Mbah Sarti,

Mbah Nur Sholihin, Pak lek Ihsan, Mbah Abdul Mujib, Paklek Naryo dan

Bulek Sari, Pak dhe Asy’ari, Naufal Azka As-Shidqie, Nur Azizah dan

Baqiyatus Sholihah.

Page 9: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

ix

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut

membantu proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah Swt. senantiasa

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua. Amin.

Ciputat, 5 Mei 2019

Moch. Qomari

Page 10: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………ii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………...........iii

LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………...iv

PEDOMAN TRNSLITERASI……………………………………………………v

ABSTRAK ……………………………………………………………………….vi

KATA PENGANTAR …………………………………………………………..vii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….1

B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………...7

C. Pembatasan Masalah ……………………………………………..............8

D. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Penelitian …………………………...8

E. Metodologi Penelitian …………………………………………………....9

F. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………...11

G. Sistematika Penulisan ……………………………………………………13

BAB II QIRAAT DAN TAFSIR

A. Qiraat ……………………………………………………………………14

1. Pengertian Qiraat…………………………………………………….14

2. Sejarah Munculnya Qiraat……………………………………………15

3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat………………………………………..20

a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas………………………………..20

b. Qiraat Ditinjau dari segi Kuantitas……………………………….21

B. Tafsir …………………………………………………………………….24

1. Pengertian Tafsir……………………………………………………..24

2. Sejarah Perkembangan Tafsir………………………………………..25

C. Hubungan Qiraat dan Tafsir ……………………………………………..28

D. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir……………………………….33

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ DAN IMAM FAKHRU

AL-DĪN AL-RĀZI

A. Biografi Imam al-Zamakhsyarī ………………………………………….36

1. Riwayat Hidup Imam al-Zamakhsyarī ……………………................36

Page 11: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

xi

2. Karya-karya Imam al-Zamakhsyarī………………………………….38

3. Karakteristik Kitab al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-

‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl, ………………………………………………....40

4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr al-Kasysyāf ………………………..46

B. Biografi Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………………...48

1. Riwayat Hidup Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi………………………...48

2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………..49

3. Karakteristik Kitab Tafsir al-Kabīr (Tafsīr Mafātih al-Ghāib)……...52

4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib …………………57

BAB IV QIRAAT DALAM AYAT-AYAT TEOLOGIS ( DOSA BESAR

NASIB PELAKU DOSA BESAR)

A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi dan Perdebatan tentang Dosa Besar dan

Nasib Pelaku Dosa Besar ………………………………………………..59

B. Pengertian Dosa Besar dan Macam-macam Dosa Besar ………………..60

C. Ayat-Ayat tentang Dosa Besar dan Pelaku Dosa Besar

a. Surat Ali Imrān Ayat 91 ………………………………………........63

b. Surat al-Nisā’ Ayat 31 ………………………………………………64

c. Surat al- Māidah Ayat 36-37 ………………………………………...67

d. Surat al-Māidah Ayat 60……………………………………………..69

e. Surat al Taubah Ayat 106 ……………………………………………73

f. Surat al-Furqān Ayat 68-70 …………………………………….........75

g. Surat al-Zumar Ayat 53 ……………………………………………...77

h. Surat al-Syuura ayat 37………………………………………………80

D. Tabel Qiraat ……………………………………………………………...81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………...92

B. Saran …………………………………………………………………….94

Daftar Pustaka ………………………………………………………………….96

Page 12: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad Saw. sebagai pedoman dan undang-undang dasar bagi umatnya.2

Kehadiran al-Qur‟an tidak bisa lepas dari kondisi turunnya al-Qur‟an di wilayah

Arab. Otomatis, al-Qur‟an menggunakan bahasa Arab agar mudah dipahami oleh

masyarakat Arab. Kultur masyarakat Arab dengan banyaknya bani dan kafilah

tentunya memiliki dialek masing-masing. Dalam QS. Ibrahim (14) : 4 Allah SWT

berfirman:

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa

kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.

Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk

kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi

Maha Bijaksana”

Nabi sangat memahami keberagaman atau perbedaan-perbedaan dialek bangsa

Arab. Akibat beragamnya dialek di tanah Arab, Nabi berusaha menjaga umatnya

dari berbagai kesulitan dan memberikan kemudahan untuk memahami al-Qur‟an.

Hal ini tercermin ketika Jibrīl datang membawa perintah kepada Nabi untuk

membacakan al-Qur‟an kepada umatnya dengan satu huruf. Nabi dengan

memohon ampun kepada Allah, melalui malaikat Jibrīl meminta agar hurufnya

2 Pengertian semacam ini disepakati oleh para ulama ahli al-Qur‟an. Hanya saja sedikit

berbeda-beda redaksinya. Manna‟ Khalīl al-Qattan mendefinisikan al-Qur‟an merupakan firman

Allah yang diberikan nabi Muhammad melalui malaikat Jibrīl dan membacanya bernilai badah.

Lihat; Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa) h.17.

Lain pula dengan al-Zarqani, beliau mengemukakan al-Qur‟an ialah kalam Allah yang diberikan

Nabi Muhammad dari surat al-Fātihah hingga surat al-Nās. Lihat; Abdul „Aẓim al-Zarqani,

Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an (Mesir: Isa al-Bābi al-Halabi, t.t) juz 1, h. 19

Page 13: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

2

ditambah. Setelah itu, hurufnya ditambah hingga tujuh huruf. Dalam salah satu

riwayat hadis dijelaskan:

ثني عب يد الل ثني حرملة بن يحيى أخب رنا ابن وىب أخب رني يونس عن ابن شهاب حد و بن عبد اللو بن و حدثو عتبة أن ابن لم على حرف أن رسول اللو صلى اللو عليو عباس حد وسلم قال أق رأني جبريل عليو الس

عة أحرف .ف راجعتو ف لم أزل أستزيده ف يزيدني حتى ان ت هى إلى سب “Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyā telah mengabarkan

kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihāb

telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bahwa Ibnu

Abbās telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shalla allahu 'alaihi wa

sallam bersabda: "Mula-mula Jibrīl membacakan al-Qur`an padaku dengan satu

huruf (bacaan dengan satu lahjah) saja. Lalu saya memohon agar ditambahkan.

Maka Jibrīl pun menambahkannya hingga menjadi tujuh huruf (lahjah bacaan)”.3

(HR. Muslim)

Berbagai ragam qiraat selain memudahkan membaca teks al-Qur‟an juga

sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur‟an. Qiraat menjadi salah satu referensi

penting mufassir dalam menafsirkan al-Qur‟an. Terbukti dengan banyaknya para

mufassir yang menggunakan qiraat dalam menafsrikan al-Qur‟an, seperti al-

Ṭābari,4 Ibnu Katsīr,

5 al-Zamakhsyarī

6 serta masih banyak yang lainnya.

Keberadaan qiraat tersebut memberikan kemudahan bagi siapa saja yang ingin

mendalami makna al-Qur‟an, baik berupa hukum, hikmah dan juga pemaknaan

secara luas. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa, dengan adanya

perbedaan ragam qiraat yang berimplikasi pada perubahan penafsiran. Seperti

3 Muslim Ibn Hajāj al-Naisaburī, Ṣaḥih Muslim (Dar Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, t.th), Juz I,

bab Bayān anna al-Qur‟an „alā Sab‟atu Ahruf wa Bayān Ma‟nahu . no 1355. 4 Abū ja‟far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Katsīr bin Ghālib al-Ṭabari yang lebih

populer dengan nama al-Ṭabari atau Abū-Ja‟far. Lahir di Amul (Thabaristan) tahun 224 H./ 839

M. atau 225 H./ 840 M dan wafat tahun 310 H. di Baghdad dalam usia 81 tahun. Kitab agungnya

adalah Jāmi‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. M. Husain al-Dzahabi, Tafsīr Wa Mufasirūn, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2003) vol I, h. 147. 5 Nama Lengkapnya „Imādu al-Dīn abū al-Fida‟ Ismā‟il ibn Zarā‟ al-Busra al-Dimasyqī,

dengan karangan tafsirnya yang terkenal kitab Tafsīr Ibnu Katsīr. Lihat; M. Husain Al-Dzahabi,

Tafsīr Wa al-Mufassirūn, vol I, h. 242. 6

Beliau merupakan pemuka aliran Mu‟tazilah. Nama lengkapnya „Abdu al-Qāsim

Mahmūd ibn Muhammad ibn Umar al-Khawārizmi al-Zamakhsyarī, beliau mengarang karya

monumental dalam bidang tafsir yang diberi nama Tafsīr Al-Kasysyāf. Lihat; M. Husain Al-

Dzahabi, Tafsīr Wa Mufassirūn, vol I, h. 304. Kedua tokoh ini akan dibahas di dalam skripsi.

Page 14: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

3

pendapat Imam Mujāhid di dalam kitabnya Sab‟ah fī Qiraat bahwa qiraat dapat

berpengaruh dalam hukum.

7.التي رويت فى أألحكام فكاثار ،أما االثار التي رويت فى الحروفو

“Dan adapun atsar (al-Qur‟an) diriwayatkan dalam huruf-huruf (perbedaan

qiraat), maka atsar juga diriwayatkan dalam hukum-hukum”.

Pendapat seperti ini diperkuat oleh salah satu riwayat:

حدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن محمد بن إبراىيم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قال : أخبرنا أبو بكر أحمد بن في األحكام" ختلفوا اختلف الناس في القراءة كما اقال: " ،رحمة اهلل عليو ،موسي بن العباس بن مجاىد

للمسلمين.ختلف عن الصحابة والتابعين توسعة ورحمة ورويت في األثار باال

Telah menceritakan pada kami Abū Abdullah Ahmad bin Muhamad bin

Ibrāhim bin Abzun al-Anbāri al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami

Abū Bakr Ahmad bin Mūsa bin Abbās bin Mujāhid, berkata: “Perselisihan

manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan

juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in

menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.8

Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:

.عنو مما سألتو كثير عن أسألو أن احتجت ما عباس ابن أسأل أن قبل مسعود ابن قراءة قرأت كنت لو9

Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ūd sebelum bertanya kepada Ibn

„Abbās, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan

kepadanya (al-Qur‟an).

Pengaruh qiraat dalam penafsiraan menjadikan seorang mufassir untuk

menafsirkan al-Qur‟an sesuai kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Hal ini

tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun seorang mufassir adalah seorang

manusia, yang hidup dalam politik keberagamannya. Atas dasar asumsi tersebut,

7

Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Daarul Ma‟arif) h. 49. Yang

dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang

dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah). 8 Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 45.

9 Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn

h. 33.

Page 15: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

4

bisa dikatakan dalam menafsirkan al-Qur‟an, sang mufassir tidak mungkin bisa

melepaskan prejudice-prejudice atau latar belakang kehidupannya. Lebih Jelasnya

bahwa masih sangat kuatnya ideologi-ideologi yang dibawa seorang mufassir

ketika sudah berinteraksi dengan al-Qur‟an.10

Beragam kitab tafsir dari klasik hingga modern yang mencantumkan qiraat

dalam penafsirannya. Diantara berbagai kitab yang mencantumkan qiraat dalam

penafsiran ialah Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib.11

Al-Kasysyāf

merupakan karya monumental Imam al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir.

Sedangkan Mafātih al-Ghāib atau dikenal dengan Tafsīr al-Kabīr merupakan

karya dari Imam al-Rāzi yang hidup di masa pemerintahan khalīfah al-Makmūn.

Keduanya mencantumkan qiraat dalam kitab tafsirnya dan sama-sama mengusung

corak teologis yakni madzhab Mu‟tazilah dan Sunni.

Beberapa ulama telah mengemukakan pendapat bahwa Tafsīr al-Kasysyāf

merupakan tafsir yang bercorak teologi Mu‟tazilah. Seperti yang dikemukakan

Ahmad al-Nayyir, dalam kitab al-Intiṣāf, al-Hafīdz Ibnu Hajar al-Asqalanī, dalam

al-Syāfi fī Takhrīj Ahādīts al-Kasysyāf, dan Syaikh Muhammad Ulyān al-

Marzuki, dalam Hasyīyah Tafsīr al-Kasysyāf dan Masyāhidah Inṣaf „alā

Syawāhid al- Kasysyāf memaparkan bahwa Tafsīr al-Kasysyāf bernuansa teologis

dan cenderung membawa paham ideologi Mu‟tazilah. 12

Letak unsur i‟tizāli dapat

ditemukan dalam ayat-ayat usūl al-khamsah.13

Penafsiran al-Zamakhsyarī

mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan usūl al-khamsah cenderung membela

madzhab teologi yang dianutnya. Namun ketika berhadapan dengan ayat-ayat

10

Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat

Teologis dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016) h. 5. Baca lebih lengkap dalam Abdul Mustaqim,

Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS. 2012) 11

Kedua Kitab ini yang akan dijadikan bahan peneliitian mengenai ayat-ayat teologis

tentang pelaku dosa besar yang didalamnya terdapat penggunaan qiraat dan menganalisa

implikasinya terhadap penafsiran. 12

Bustami Saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyâri tentang Teologi Mu'tazilah

dalam Tafsîr al-Kasysyâf,” Jurnal al-Ihkam V, No. 1 (Juni 2001): h. 8 13

Usūl al-Khamsah ialah kaidah dasar teologi Mu‟tazilah yang mencakup al-Tauhīd

(meng-Esa-kan Allah), al-Adl (keadilan), al-Wa‟du wa al-Wa‟īd (janji dan ancaman), al-Manzilah

baina Manzilatain (kedudukan diantara dua tempat) dan al-Amr bī al-Ma‟rūf wa al-Nahyi „an

Munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran).Lihat; Tim Riset Majelis Tinggi Urusan

Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia Islam, (Kairo: Al-Majlis Al-A‟la li Al-

Syu‟un Al-Islamiyah, 2007), h. 1119-1128.

Page 16: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

5

yang bertentangan dengan paham yang dianutnya, al-Zamakhsyarī terkesan

mencari jalan tengah dengan menakwilkan makna yang tidak berseberangan

dengan kaidah dasar Mu‟tazilah yakni usūl al-khamsah.14

Bersamaan dengan ketenaran Tafsir al-Kasysyāf muncul seorang ahli tafsir

sekaligus filosof terkemuka yang beraliran Sunni yakni Imam Fakhru al-Dīn al-

Rāzi. Beliau merupakan seorang teolog sekaligus filosof terkemuka dengan kitab

tafsirnya Mafātihul Ghāib disebut-sebut sebagai karya terakhir dalam literatur

tafsir yang sebagian besar pembahasan tafsirnya ini lebih kental muatan ilmu

kalam dan filsafat. Dalam menafsirkan al-Qur‟an ia memakai cara ulama-ulama

mutakallimīn, dalilnya ia susun dalam pembahasan ke-Tuhan-an. Penafsirannya

yang panjang lebar mengenai masalah kalam ini memiliki misi untuk menolak

pendapat-pendapat Mu‟tazilah dan sekte-sekte yang sesat dengan hujjah dan

argumen yang mematikan serta mengajukan sanggahan atas tuduhan-tuduhan

orang yang ingkar dan keras hati, yang ujung-ujungnya adalah pembelaan dan

memperkuat posisi Asy‟ariyah.15

Tafsir ini selalu memperhatikan hal-hal yang

telah disimpulkan oleh aliran Mu‟tazilah dalam metode penafsirannya dan di

setiap waktu menolaknya dengan modelnya sendiri yang sempurna.16

Selain itu, jika ditilik dalam sejarah peradaban keilmuan Islam terkait dengan

tokoh sentral yang menjadi fokus penelitian, yakni al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi

merupakan mufassir yang hidup pada masa abad pertengahan. Jika ditelaah, pada

abad ini merupakan kejayaan dalam bidang keilmuan,17

akan tetapi juga politik

Islam mengalami kemerosotan pada waktu yang bersamaan. Selain keadaan

tersebut, masa ini juga merupakan masa „perdebatan‟ antara madzhab dan aliran

dalam tubuh umat Islam. Masing-masing menganggap bahwa aliran Islamnya-lah

14

Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian

Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 36-39 15

Muhammad Ali al-Shabuni, al Tibyan Fi Ulumil Qur‟an, Terj Moch Chudori Umar dan

Moh. Matsna HS (Bandung:Ma‟arif, 1996), h. 263 16

Ridhoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”

Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 37-38 17

Dalam Sejarah peradaban Islam tercatat bahwa, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam

mengalami perkembangan yang signifikan dengan sikap terbuka, akomodatif dan juga selektif

pada masa dinasti Abbasiyah (750 M -1258 M), dan masa ini lebih dikenal dengan masa „kejayaan

Islam‟. M. Fida Busyro Karim‚ Islam Masa Dinasti Abbasiyah‛ dalam Hanung Hasbullah dkk,

Mozaik Sejarah Islam (Yogyakarta: Nusantara Press. 2011), h. 132.

Page 17: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

6

yang paling sesuai dengan kehendak Allah. Mu‟tazilah dengan aliran rasionalnya

menjadi aliran yang lebih dominan, hal ini lebih disebabkan karena ideologi

paham Mu‟tazilah merupakan madzhab resmi negara yang telah diresmikan pada

masa pemerintahan al-Makmūn.18

Aliran lain seperti Khawārij, Syi‟ah, Sunni

tentunya tetap memperlihatkan eksistensinya, meskipun ajaran mereka tidak

seirama dengan kepemerintahan ketika itu. Tidak bisa dipungkiri, penguatan dan

pembenaran ideologi tersebut, menggunakan al- Qur‟an sebagai senjata ampuh

yang mereka ambil dengan tafsir.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih jauh qiraat dalam penafsiran al-

Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī

Wujūh al-Ta‟wīl dan Imam al-Rāzi dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib yang akan

difokuskan ke dalam ayat-ayat teologis terutama yang berbicara tentang dosa

besar dan pelaku dosa besar. Oleh sebab itu, dalam penulisan teologis, maka yang

dimaksudkan adalah teologi secara khusus terkait dosa besar dan nasib pelaku

dosa besar seperti kufur, berzina, berputus asa atas rahmat Allah dan lain

sebagainya. adapun ayat-ayat yang dipilih untuk dijadikan acuan adalah ayat-ayat

tentang dosa besar yang di dalamnya terdapat qiraat.

Kedua tokoh tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama,

metodologi tafsir yang digunakan keduanya relatif sama, begitu juga dengan corak

yang diambil adalah corak teologis.19

Kedua, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi

18

Abdul Mustaqim lebih jauh melihat bahwa, dengan madzhab resmi negara yang

bercorak sangat rasional berimplikasi pada bentuk penafsiran al-Qur‟an yang lahir pada masa itu,

yakni bentuk penafsiran yang lebih di tuntut untuk lebih rasional pula (tafsir bi al-Ra‟yi), dengan

kata lain masa ini sudah menawarkan metode baru dalam tafsir al-Qur‟an jika dilihat dari bentuk

dan model penafsiran sebelumnya yang lebih memilih tafsir bi al-ma‟tsur. Abdul Mustaqim,

Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,

Hingga Modern-Kontemporer, (Yogyakarta: Adab Press. 2014), .h. 97. 19

Mengenai Corak Penafsiran, Tafsir al-Kasysyaf cenderung bercorak kalam Mu‟tazili

dan Adabi dengan dikemas melalui dialogis, karena hampir disetiap ayat al-Zamakhsyari

menggunakan kata “in qulta? qultu” artinya jika kamu bertanya, saya jawab. Lihat; Anshori.

“Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf,” Jurnal Sosio-Religia VIII, no.3 (Mei 2009): h. 601. Berbanding

terbalik dengan al-Razi yang memiliki corak relatif lebih luas. Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib

penulis mendapati corak falsafi, fiqhi, i‟tiqādi dan laun „ilmi. Berdasarkan metode dan corak

penafsiran dalam perspektif M. Ridlwan Nasir, Tafsīr Mafātih al-Ghāib termasuk dalam kategori

al-tafsīr bī al-ra‟yi dari segi sumber penafsiran, bayani dari segi cara penjelasan, tafsili dari segi

keluasan penjelasan, tahlili dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, dan i‟tiqadi dari segi

kecenderungan aliran, yaitu Asy‟ariyah Sunni. Al-Rāzi dikenal luas sebagai tokoh Asy‟ariyah

yang fanatik, sehingga unsur-unsur teologi Asy‟ariyah bisa ditemukan dalam tafsir ini sebagai

Page 18: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

7

merupakan dua tokoh yang memiliki posisi penting dalam sejarah perhelatan kei-

Islaman, terutama terkait aliran keduanya. Keduanya tidak mengenal lelah dalam

membela ideologi yang dianut. Kenyataan tersebut, dapat dilihat dan diidentifikasi

lewat beberapa karya yang dihasilkan. Ketiga, keduanya memiliki pengaruh besar

dalam ilmu-ilmu ke-Islam-an, khususnya dalam bidang ilmu tafsir.20

Keempat, al-

Zamakhsyari dan al-Razi sama-sama memberikan perhatian yang cukup dalam

qiraat. Dengan studi perbandingan, akan ditemukan lebih jauh komentar dan sikap

mereka terkait qiraat, ragam dan kualitas qiraat yang merka gunakan dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Begitu juga, penelitian ini lebih jauh akan menganalisa

pencantuman qiraat yang digunakan dalam penafsiran.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditemukan beberapa masalah yang

muncul. Diantaranya sebagai berikut:

1. Berkaitan dengan kaidah mufassir dalam menggunakan qiraat sebagai

sumber tafsir.

2. Ragam qiraat dalam kitab tafsir.

3. Berkaitan dengan implikasi penggunaan qiraat dalam penafsiran al-

Qur‟an.

pembelaannya terhadap akidahnya. Lihat penjelasan lengkap; Mohammad Subhan Zamzami.

“Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis

IV, No. 1, (Juni 2014): h.174 20

Imam al-Zamakhsyarī memang seorang yang ahli dalam bidang kebahasaan, seperti

sastra, balāghah, nahwu dan ilmu kebahasaan Arab lainnya. Maka tidak heran jika penafsirannya

banyak terpengaruh dari bahasa. Quraish Shihab dalam catatannya merekomendasikan bahwa al-

Kasysyaf sangat bagus bagi kalangan mahasiswa, karena kitab tersebut sangat teliti dalam

kebahasaan. Al-Dzahabi juga mengomentari kitab ini bahwa penafsiran al-Zamakhsyari lebih

berorientasi pada balaghah dan kebahasaan ialah untuk mengungkapkan sisi keindahan yang

terkandung dalam al-Qur‟an. Lihat; Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir

al-Kasysyaf: Kajian Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir UIN sunan kalijaga I, no. 1 (Januari-Juni 2016): h. 35. Lihat juga; al-Dzahabi, Tafsir wa al-

Mufassirun, h. 365-366. Demikian juga dengan al-Razi, para mufassir belakangan banyak yang

merujuk pada Tafsir al-Kabir. Banyak penemuan ilmiah yang lahir dari pengkajian Tafsir Mafatih

Al-Gaib, diantara yang merujuk pada tafsir ini adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid

Ridha, Ruhul Ma‟ani karya al-Alusi dan lain sebagainya. Gambaran tersebut memperlihatkan

bahwa beliau sangat berpengaruh besar dalam dunia Islam, karena bagaimanapun pemahaman

Islam saat ini tidak bisa lepas dari hasil temuan dan rumusan al-Razi. Aswadi. “Konsep Syifa

dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi,” (Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta), 2007. h. 72-73

Page 19: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

8

4. Latar belakang al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi menggunakan qiraat dalam

penafsiran.

5. Berkenaan dengan pemanfaatan pencantuman qiraat sebagai alat tafsir.

6. Pengaruh madzhab teologi Mu‟tazilah dan Sunni terhadap penafsiran

al-Qur‟an.

7. Berkaitan dengan kecenderungan mufassir dalam memilih qiraat

tertentu.

8. Sikap mufassir terhadap ayat muhkamat dan mutasyabihat.

9. Dampak ideologi madzhab mufassir terhadap penafsiran.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Identifikasi masalah di atas sangatlah kompleks. Apabila dibahas dalam satu

penelitian pembahasannya tidak terfokus. Maka dari itu diperlukan adanya

pembatasan masalah. Diperlukannya pembatasan masalah agar penelitian ini lebih

terarah dan pembahasannya bisa fokus serta maksimal. Adapun penelitian ini

memiliki batasan masalah yakni, bagaimana pencantuman qiraat dan seberapa

pengaruh ideologi madzhab dalam penafsiran ayat-ayat teologis dosa besar dan

pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib?

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa

tujuan, diantaranya:

1. Mengungkap penggunaan ragam qiraat dalam ayat-ayat teologis terkait

dosa besar dan nasib pelaku dosa besar dan pengaruhnya terhadap

penafsiran.

2. Mengungkap pengaruh aliran teologis mufassir dalam menggunakan

qiraat sebagai alternatif pencarian makna dan pembelaan terhadap

madzhab.

Adapun signifikansi penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Secara teoritis subtansi, penelitian ini diharapkan dapat menambah

khazanah keilmuan bagi sarjana ilmu studi al-Qur‟an dan Tafsir.

Sekaligus menjadi bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya.

Page 20: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

9

2. Secara praktis, penelitian ini diaharapkan dapat memberikan wawasan

terhadap masyarakat umum, terutama mahasiswa tafsir hadis tentang

ilmu qiraat dan penggunaanya di beberapa kitab tafsir sebagai salah

satu instrumen dalam menafsirkan al-Qur‟an.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian adalah salah satu upaya yang ditempuh oleh seorang peneliti

melalui prosedur dan kaidah-kaidah dalam penelitian.21

Adapun macam-macam

penelitian bisa berupa dengan merode kualitatif dan kuantitatif. Oleh karena itu,

untuk menghasilkan data yang objektif dan akurat, penulis menggunakan metode

sebagai berikut:

1. Jenis dan Objek Penelitian

Jenis penelitian ini berupa penelitian pustaka (library research), yaitu

penelitian kualitatif berdasarkan olah data berupa kata bukan angka. Maka dari

itu penelitian ini termasuk penelitian yang mengarah pada eksplorasi yang

mendalam mengenai data-data yang terkait.22

Fokus objek kajian yang diteliti

seputar pencantuman qiraat terhadap ayat-ayat teologis dosa besar dan nasib

pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib.

Meninjau lebih lanjut bagaimana peran aliran teologis seorang mufassir terhadap

penafsirannya dengan menggunakan qiraat sebagai alat untuk menafsirkan al-

Qur‟an.

2. Sumber Data

Penulis mengklasifikasikan sumber data yang digunakan menjadi dua sumber,

sebagai berikut:

a. Data Primer, yang digunakan ialah Tafsīr al-Kasysyāf karya Imam al-

Zamakhsyarī dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib karya Imam Fakhru al-Din al-

Rāzi.

b. Data Sekunder, yaitu data pendukung yang terkait penelitian, seperti

buku atau kitab ulūm al-Qur‟an, illmu tafsir, ilmu qiraat, ensiklopedi

21

Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 61. 22

Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995) Jilid 1, h. 3.

Page 21: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

10

Islam, ilmu kalam, jurnal serta karya ilmiah yang mendukung penelitian

ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan penulis adalah model dokumentasi. Model

dokumentasi merupakan salah satu jenis model pengumpulan data dengan

melakukan aksi memindai, mengambil atau mencari dari sumber data dari

beberapa dokumen, bisa berupa kitab-kitab, majalah, jurnal, artikel, surat kabar,

arsip dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini.23

Agar memudahkan pengumpulan data, penulis memfokuskan pengumpulan

data berdasarkan urutan sebagai berikut:

a. Meneliti ayat-ayat yang bernuansa teologis yakni dalil atau ayat-ayat yang

berkenaan tentang dosa besar dan nasib pelaku dosa besar.

b. Mengelompokkan penggunaan qiraat yang berimplikasi pada penafsiran

dan yang tidak memiliki pengaruh pada perubahan makna.

c mengkomparasikan data yang diperoleh.

d. Menganalisa hasil temuan.

4. Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan usaha untuk manarik sebuah kesimpulan dari sebuah

bacaan, buku, jurnal atau yang lain sebagainya dengan melakukan serangkaian

prosedur secara objektif dan sistematis.

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisa data penelitian

ini adalah dengan menggunakan pendekatan deskriptis-analisis. Deskriptis berarti

menggambarkan atau melukiskan keadaan objek yang dikaji sesuai dengan fakta

atau memberikan data yang ada serta memberikan penjelasan terhadapnya.24

Sedangkan analisis berarti proses mencari kesimpulan dari penelitian melalui

perincian terhadap objek yang dikaji atau memilah-milah pengertian dari beberapa

pengertian untuk mencari kejelasan hal yang diteliti.25

23

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1993), h. 202. 24

Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada

University, 1996), h. 73. 25

Anton Baker dan Ahmad Chairuz Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), h. 27.

Page 22: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

11

F. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang pengaruh qiraat

terhadap penafsiran al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut:

1. Salimudin, 2016. Lulusan magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan

tesisnya yang berjudul “Qiraat dalam Kitab Tafsir (Kajian Ayat-ayat

Teologis dalam al-Kasysyāf dan Mafātih al-Ghāib)”. Tesis ini membahas

seputar pengaruh qiraat dalam kajian ayat-ayat teologis tentang irādah Allah

dan af‟āl al-ibād dengan membandingkan pemikiran dua tokoh yang

memiliki aliran berbeda, yakni Mu‟tazilah dan Sunni. Dalam

kesimpulannya, antara tafsir dan madzhab mufassir memiliki keterkaitan.

Adanya dua model tali rantai antara al-Qur‟an dengan madzhab yakni,

perbedaan pemahaman al-Qur‟an berimplikasi kepada perbedaan madzhab

atau aliran. Atau bisa juga perbedaan madzhab akan berimplikasi pada

perbedaan pemahaman terhadap al-Qur‟an. Kedua kitab tafsir lebih

mencerminkan kepada model kedua atas dasar keduanya hadir sama-sama

dalam rangka membela masing-masing madzhab. Dan tidak bisa dinafikan,

qiraat sebagai salah satu „alat‟ tersebut.

Penelitian ini mengungkap persamaan dan perbedaan kedua tokoh dalam

menggunakan qiraat sebagai alat tafsir. Persamaannya adalah meliputi qiraat

sebagai sumber penafsiran al-Qur‟an, alternatif pencarian makna, dan

sebagai pembelaan terhadap madzhab. Adapun perbedaannya seperti

pemahaman mengenai qiraat, seperti al-Rāzi berpendapat bahwa qiraat

bersifat tauqifī sementara al-Zamakhsyari beragumen qiraat bersifat ijtihadī.

Al-Zamakhsyarī dalam qiraat lebih konsen ke qawāi‟d nahwiyah sedangkan

al-Rāzi fokus terhadap periwayatan qiraat.

2. Muhammad Alaika Nasrulloh, 2011. Dalam tesisnya yang berjudul

“Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran al-Qur‟an (Studi

Qiraat Sab‟ah pada Kitab tafsir al-Mishbah Karya Quraish Shihab)” IAIN

Sunan Ampel Surabaya. Tesis ini juga membahas seputar kecenderungan

mufassir dalam menggunakan salah satu qiraat sebagai instrument

Page 23: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

12

penafsiran al-Qur‟an, serta kaidah yang digunakan Quraish Shihab terhadap

perbedaan qiraat dalam menafsirkan al-Qur‟an.

Dalam kesimpulannya, Quraish Shihab mencantumkan qiraat sebagai alat

tafsir bila dalam perbedaan qiraat tersebut menimbulkan perbedaan makna.

Namun beliau tidak pernah menjelaskan wajh al-qiraat tersebut disandarkan

kepada imam qiraat yang mana. Beliau juga terkadang tidak menyinggung

perbedaan bacaan tersebut bila mana perbedaan tersebut dianggap tidak

memiliki signifikansi perbedaan makna. Quraish Shihab juga memiliki

kecenderungan dalam menggunakan qiraat riwayat Ḥafs. Hal ini

dikarenakan qiraat Ḥafs sangat masyhur dipakai di Indonesia.

3. Afriadi Putra, 2015. Tesis yang berjudul “Perbedaan qiraat dan

Implikasinya terhadap Penafsiran al-Qur‟an (Studi Kitab Tarjuman al-

Mustafid Surat al-Baqarah)” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam

tesisnya membahas berbagai ragam qiraat yang difokuskan dalam surat al-

Baqarah dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid serta pengaruhnya terhadap

penafsiran. Penelitian ini juga membahas seberapa jauh pengaruh mufassir

dalam menggunakan qiraat sebagai alat tafsir di era awal Islam di Indonesia.

Penelitian ini mengkaji peran Abdul Ra‟uf al-Sinkili sebagai ulama

pertama dalam sejarah penulis kitab tafsir di Indonesia yang menggunakan

qiraat sebagai alat tafsir sekaligus pengenalan qiraat sebagai alat bantu

tafsir. Selain itu juga, tesis ini membahas pengaruh mufassir dalam

menggunakan qiraat sebagai sumber tafsir, seperti aspek teologis,

kebahasaan, fiqih, dan lain sebagainya. Penelitiaan ini menyebutkan

terdapat 78 ayat yang meliputi kaidah qiraat usūl (tajwid) dan qiraat farsy

(kaidah khusus) dalam surat al-Baqarah.

4. Muhammad Abdul Ghofir. 2015. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan

judul skripsinya “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa (Studi Kitab al-

Kasysyaf „an Haqaiq al-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil

Karya Imam al-Zamkhsyari).

Skripsi ini membahas tentang penggunaan qiraat dalam Tafsir al-

Kasysyāf yang difokuskan pada surat al-Nisā. Pada kesimpulannya, al-

Page 24: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

13

Zamakhsyarī merupakan tokoh yang fanatik terhadap madzhab Mu‟tazilah.

Hal itu terbukti dari berbagai upaya yang dilakukan Zamakhsyarī untuk

membela alirannya dengan menggunakan qiraat sebagai alat bantu tafsirnya

dan Imam al-Zamakhsyarī tidak memperhatikan kualitas sanad qiraat yang

dipakai dalam menafsirkan al-Qur‟an.

G. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan penelitian, sistematika penulisan sangat diperlukan guna

mempermudah pemahaman, serta agar penelitian lebih terarah. Oleh karena itu,

kerangka sistematika penelitian ini dituangkan dalam beberapa bab dan subbab,

sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan dalam penelitian yang meliputi uraian

tentang hal-hal pokok yang mendasari penelitian. Dalam pendahuluan tersebut

terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,

tujuan dan signifikansi penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, memuat tentang kajian yang terkait dengan ilmu qiraat dan tafsir.

Dalam kajian tersebut dijelaskan tentang segala hal yang berkenaan dengan qiraat

yaitu tentang pengertian qiraat, kualitas dan kuantitas qiraat. Selain itu dalam bab

ini juga menerangkan mengenai pengertian tafsir, corak dalam tafsir, ideology

madzhab dalam tafsir dan hubungan antara qiraat dan tafsir.

Bab ketiga, mengkaji tentang biografi Imam al-Zamakhsyarī dan Imam Fakhru

al-Dīn al-Rāzi, metode penulisan dan corak Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih

al-Ghāib, serta qiraat dalam dua kitab tersebut.

Bab keempat, membahas tentang data penelitian serta analisanya, yaitu

meneliti pencantuman qiraat pada ayat-ayat teologis tentang pelaku dosa besar

dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib.

Bab kelima, berisi tentang penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran,

yang terkait dengan hasil kajian dari penelitian ini.

Page 25: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

14

BAB II

QIRAAT DAN TAFSIR

A. Qiraat

1. Pengertian Qiraat

Qiraat secara bahasa merupakan maṣdar (verbal noun) dari kata qaraa dan

jama‟ dari qiraah yang berarti „bacaan‟.26

Menurut istilah, qiraat adalah salah satu

madzhab (aliran) pengucapan Qur‟an yang dipilih salah seorang imam qurra‟

sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan lainnya. Qiraat ini ditetapkan

bedasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasūlullah Saw.27

Senada dengan Manna‟ Khalīl al-Qattan, al- Ṣabuni mengemukakan bahwa

qiraat adalah suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur‟an, yang

diikuti oleh salah seorang imam qiraat yang berbeda dengan madzhab lainnya,

berdasarkan pada sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi

Muhammad Saw.28

Berbanding jauh dengan pengertian menurut al-Zarkasyī yang nampaknya

hanya menekankan pada lafal-lafal al-Qur‟an yang memiliki perbedaan qiraat.

Menurutnya, bahwa qiraat ialah perbedaan lafal-lafal al-Qur‟an yang tercantum di

dalamnya huruf-huruf dan cara membacanya.

واعلم أن القرأن والقراءات حقيقتان متغايرتان، فالقرأن ىو الوحي المنزل على محمد صلى اهلل عليو وسلم كيفيتها: من تخفيف و الحروف أو للبيان واإلعجاز، والقراءات ىي اختالف ألفاظ الوحي المذكور فى كتب

وتثقيل وغيرىما. “Dan ketahuilah bahwa al-Qur‟an dan qiraat hakikatnya keduanya berbeda.

Jika al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

sebagai penjelasan dan mukjizat, sedangkan qiraat merupakan perdebatan lafal-

lafal al-Qur‟an yang di dalamnya menyangkut huruf-huruf maupun cara

26

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Lintera AntarNusa, 2007)

h. 247. Juga: Ṣabuni, Muhammad Ali, al-Tibyān fi Ulūm al-Qur‟an, terj. Moch Chudori Umar dan

Moh. Matsna HS, (Bandung: Ma‟ ārif, tt), 1996 h. 223. 27

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 247 28

Muhammad Ali al-Ṣabuni, Al-Tibyān fī 'Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Alam al-Kutb,

1985), 229.

Page 26: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

15

pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfīf (meringankan), tatsqīl

(memberatkan) dan lain sebagainya.29

Terdapat beberapa pandangan ulama mengenai pengertian qiraat. Adapun

pandangan mengenai pengertian qiraat menurut al-Dimyaṭi dan Imam

Syihābuddin al-Qusṭalānī menurut penulis memiliki pengertian yang melengkapi

dari berbagai pengertian di atas. Adapun pandangan al-Dimyati dan Imam

Syihābuddin al-Qusṭalānī sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin AF, bahwa qiraat

adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur‟an, baik

yang disepakati maupun yang masih diperdebatkan di kalangan para ahli qiraat,

yang menyangkut kebahasaan, seperti; i‟rāb (susunan kata) hadzf (membuang

huruf), itsbāt (menetapkan huruf), tahrīk (memberi harakat), taskīn (memberi

tanda sukun), faṣl (memisahkan huruf), waṣl (menyambungkan huruf), ibdāl

(menggantikan huruf atau lafal tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui al-

simā‟ (indera pendengaran) wa al-Naql (artinya qiraat dibacakan dihadapan Nabi

kemudian Nabi Muhammad Saw. men-taqrīr-kan (membenarkan/menetapkan).30

Berdasarkan beragam definisi qiraat diatas, dapat disimpulkan bahwa makna

qiraat meliputi beberapa aspek. Pertama, cara pengucapan lafal-lafal al-Qur‟an

seperti yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. atau oleh sahabat di

hadapan beliau yang disetujuinya. Kedua, qiraat itu berasal dari Nabi Muhammad

Saw. baik secara fi‟liyyah (peragaan praktis) maupun taqrīr (rekomendasi atau

persetujuan). Ketiga, qiraat itu bisa terdiri satu atau lebih dari satu versi bacaan.

Keempat, qiraat merupakan madzhab/aliran cara pengucapan dan memiliki sanad

yang bersambung sampai Rasūlullah Saw.

2. Sejarah Munculnya Qiraat

Para ulama mempunyai kesimpulan yang berbeda-beda tentang kepastian

munculnya qiraat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qiraat muncul pertama kali

29

Badru al-Dīn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyī, al-Burhān fī Ulūmi al-Qur‟an,

(Maktabah Dār al-Turāts tt), juz I, h. 318. 30

Hasanuddin AF, Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbaṭ Hukum dalam

al-Qur‟an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. h. 112-113. Lihat juga: Al-Faḍl, Abdul Hādi, al-

Qiraat al-Quraniyat, Beirut: Dār al-Majma al-„Ilmi, 1979, h. 63. Juga: Syihābuddin al-Qusṭalānī,

Laṭāif al-Isyārat li Funūn al-Qur‟an al-Qiraat, (Kairo: tt, tt) h. 170.

Page 27: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

16

di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur‟an. Sebagian ulama yang lain

mengatakan qiraat muncul setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Sejumlah ulama

yang berpandangan bahwa qiraat muncul di Makkah didasari dengan bukti bahwa

sebagian besar surat-surat al-Qur‟an adalah Makkiyah, yang di dalamnya

tercantum permasalahan qiraat sebagaimana juga yang terdapat pada surat-surat

Madaniyah. Dapat diambil kesimpulan bahwa qiraat sudah ada bersamaan dengan

turunnya al-Qur‟an di Makkah sebelum Nabi hijrah ke Madinah.31

Adapun hadis

yang memperkuat bahwa qiraat muncul pertama kali di Makkah sebagaimana

yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.32

Bahwasanya Umar bin Khatab berkata, “Pada masa Rasulullah, aku

pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat al-

Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan

ternyata ia membacanya dengan huruf (bacaan) yang begitu banyak, yang

Rasulullah sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka

aku pun ingin segera menyergapnya saat salat. Namun aku menunggunya

hingga salam dan langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya,

“Siapa yang membacakan surat ini padamu?” ia menjawab, “Rasulullah

yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah

berdusta, demi Allah, sesungguhnya Rasulullah telah membacakan surat

yang telah aku dengar ini darimu-padaku.” Maka aku pun segera

membawanya menghadap Rasulullah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah,

aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan cara baca

yang belum Anda ajarkan padaku.” Akhirnya Rasulullah bersabda,

“Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya

dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Lalu Rasulullah

bersabda, “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau

bersabda lagi, “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya

sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah. Kemudian Rasulullah

31

Ahmat Saepuloh “Qiraat Pada Masa Awal Islam,” Jurnal Episteme IX, No. 1, (Juni

2014): h. 29. 32

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid IV, (Beirut: Dar Ibnu Katsir al-Yamamah, 1987), h. 1923.

Page 28: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

17

bersabda, “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah

menambahkan, “al-Qur‟an diturunkan dengan sab‟ah ahruf (tujuh dialek)

karena itu bacalah sesuai kemampuan kalian.”

Hadis di atas membahas mengenai bacaan Hisyam yang dianggap aneh oleh

Umar bin Khattab tentang surat al-Furqan. Adapun al-Furqan termasuk dalam

surat Makkiyah. Dapat disimpulkan bahwa qiraat sudah ada semenjak al-Qur‟an

diturunkan di Makkah.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa awal kemunculan qiraat diturunkan

di Madinah pasca peristiwa hijrah. Pada masa ini orang-orang yang masuk Islam

sudah banyak dan saling berbeda dakam ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.

Sehingga Allah Swt. memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk membaca

al-Qur‟an dengan tujuh huruf.33

Pendapat ini diperkuat dengan oleh hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya,34

demikian juga Ibnu

Jarir dalam kitab tafsirnya: 35

“Dari Ubay bin Ka‟b r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika berada di

tempat sumber air Bani Giffar mengatakan bahwa Jibril mendatanginya

dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau untuk

mengajarkan al-Qur‟an kepada umatmu dalam satu huruf.” Lalu Nabi

berkata: Aku memohon kepada Allah ampunan dan kemurahan-Nya.

“Sesungguhnya umatku tidak sanggup yang demikian itu (bacaan al-

Qur‟an hanya satu huruf).” Kemudian Jibril datang yang kedua kalinya

dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau untuk

mengajarkan al-Qur‟an kepada umatmu dalam satu huruf.” Nabi pun

berkata: Aku memohon kepada Allah ampunan dan kemurahan-Nya.

“Sesungguhnya umatku tidak sanggup yang demikian itu (bacaan al-

Qur‟an hanya sat u huruf).”

33

Sya‟ban Muhammad Ismail, Mengenal al-Qur‟an, terj. Said Agil Husin al-Munawwar

(Semarang: Dina Utama, 1993), h. 60-61. Lihat: Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat:

Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, (Mekkah: Maktabah al-Faisiliyah, 1985), h. 32-33. 34

Hadis lengkapnya lihat di Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, al-Jami‟ al-

Sahih, juz II (Beirut: Dar al-Jalil, t.t.), h. 203. 35

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari Jami‟ al-Bayan min Ta‟wil

al-Qur‟an, tahqiq Mahmud Muhammad Syakir, Juz I, cet. 2. (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.),

h. 40.

Page 29: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

18

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa ragam qiraat sab‟ah muncul di kota

Madinah pada masa hijrah. Hal ini diperkuat dengan letak sumber air Bani Giffar

yang berada di kota Madinah.

Masing-masing versi pendapat kemunculan qiraat memiliki dasar yang sama-

sama kuat. Namun dari perbedaan pendapat awal kemunculan qiraat tersebut

masih dapat dikompromikan. Munculnya qiraat di Mekkah bersamaan dengan

diturunkannya al-Qur‟an. Akan tetapi saat itu qiraat belum dibutuhkan karena

belum ada perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yakni Quraisy. Qiraat

mulai dipakai setelah Nabi Muhammad Saw. di Madinah, di mana mulai banyak

orang yang masuk Islam dari berbagai kabilah yang bermacam-macam dengan

dialek yang berbeda.36

Menurut pendapat yang paling rajih (unggul) mengatakan, al-Qur‟an

diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur sekitar 23

tahun; 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.37

Semenjak Rasululullah

Saw. menerima wahyu, beliau mengajarkan ayat-ayat tersebut kepada para

sahabatnya. Kemudian para sahabat mendengarkan dengan seksama bagaimana

Rasululullah membaca (tilawah) dan segala yang disampaikan olehnya. Pada saat

mengajarkan kepada para sahabat, Nabi menggunakan huruf yang berbeda-beda

sesuai dengan kemampuan para sahabat, agar mereka tidak mengalami kesulitan

dalam membaca al-Qur‟an. Akibatnya, para sahabat mendapati al-Qur‟an dengan

bacaan yang beragam. Beberapa sahabat mendapatkan bacaan hanya satu huruf

saja, sedangkan sahabat lainnya mendapatkan lebih dari satu versi bacaan.

Sehingga para sahabat membaca al-Qur‟an dengan huruf yang berbeda-beda

sesuai dengan yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Perbedaan bacaan ini tidak

jarang menimbulkan perdebatan di kalangan para sahabat sendiri, akan tetapi

mereka mengklarifikasi bacaannya kepada Rasulullah Saw, kemudain Rasulullah

membenarkan semuanya.38

36

Abduh al-Rajihi, al-Lahjah al-„Arabiyyah fi al-Qiraat al-Qur‟aniyyah, (Alexandria:

Dar al-Ma‟rifat al-Jami‟iyyah, 1996), h. 69. 37

Nabil bin Muhammad Ibrahim „Ali Isma‟il, „Ilm al-Qiraat: Nasy‟atuhu Atwaruhu-

Atsaruhu fi „Ilm al-Syari‟ah, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1419), h. 65. 38

Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat: Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, h. 31.

Page 30: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

19

Adapun berbagai qiraat memang dinisbatkan kepada orang-orang tertentu,

seperti qiraat Nafi, Ibnu Katsir, „Ashim dan lain sebagainya. Namun penisbatan

ini bukanlah karena qiraat itu merupakan hasil ijtihad mereka sendiri, melainkan

hasil pilihan mereka terhadap satu qiraat dari berbagai ragam versi qiraat yang

telah ada dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Mereka

juga berupaya mendalami ilmu qiraat serta menyebarluaskan bacaannya kepada

masyarakat, sehingga bacaan tersebut dinisbatkan oleh masyarakat terhadap

mereka.39

Oleh sebab itu, sungguh keliru jika orang-orang menyangka bahwa qiraat

hanyalah bacaan al-Qur‟an yang beragam muncul karena perbedaan bahasa dan

logat semata atau karena tulisannya pada mulanya tidak bersyakal.40

Thoha

Husein misalnya, mengatakan bahwa qiraat sab‟ah bukan bersumber dari wahyu,

sehingga orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir. Menurutnya, sumber

qiraat adalah perbedaan lahjah (logat) sehingga boleh diingkari dan boleh

diperdebatkan.

Hal ini diperkuat oleh hadis Sa‟id bin Mansur dalam Sunan-nya. Berkata Abu

„Amr Al-Dani, “Para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf

Qur‟an menurut aturan yang popular dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai

dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi pendapat paling shahih dalam

periwayatan dan penukilan. Karena itu bila riwayat mutawatir, maka aturan

kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya,

sebab qiraat merupakan sunnah muttaba‟ah dan wajib diterima seutuhnya serta

39

Imam al-Qoisy dalam bukunya al-Ibanah mengajukan pertanyaan apa sebab yang

menjadikan banyaknya perbedaan qiraat diantara ulama. Masing-masing memilih bacaannya

sendiri yang sesuai dengan bacaan gurunya. Beliau menjawab perkataan tersebut dengan

mengatakan bahwa masing-masing qari‟ menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, juga

berbeda qiraatnya. Kemudian masing-masing mengajarkan qiraat tersebut kepada murid-muridnya,

sehingga tersebarlah beragam qiraat di masyarakat. Al-Qoisy, al-Ibanah, h. 61-62. Sebagaimana

dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, 2007, h. 440.

Lihat:Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2. 40

Thoha Husein, al-Adab al-Jahili, h. 98-99. Al-Thohawi mengomentari al-ahruf al-

sab‟ah adalah rukhsah (keringanan), dikarenakan sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang

sama, karena mereka tidak pandai memahami tulisan. Kemudian qiraat sab‟ah dinasakh dengan

hilangnya kesulitan yang mereka hadapi pada masa awal Islam yang kemudian diperolehnya

kemudahan dalam tulisan. Berdasarkan paparan di atas, kedua pendapat ini jelaslah keliru. Lihat:

Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2.

Page 31: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

20

dijadikan sumber acuan”. Seperti ucapan Zaid bin Tsabit ”Qiraat adalah sunnah

muttaba‟ah, sunnah yang harus diikuti.”41

Uraian di atas menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kapan tepatnya

qiraat mulai diturunkan. Sebagian ulama mengatakan qiraat muncul pertama kali

di Makkah. Sebagian ulama juga mengemukakan bahwa qiraat diturunkan di

Madinah dengan keterangan hadis yang lokasinya berada di Madinah. Adapun

pendapat yang lebih unggul menurut para ulama adalah qiraat muncul bersamaan

dengan turunnya al-Qur‟an yakni selama 23 tahun yakni 13 tahun di Makkah dan

10 tahun di Madinah. Selain itu, kemunculan beragam qiraat murni bersumber

dari Rasululullah Saw. yang kemudian dinisbatkan oleh masyarakat terhadap para

qurra (imam qiraat).

3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat

a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas

Sebagian ulama menyimpulkan kualitas qiraat menjadi enam macam.

1. Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh banyak periwayat yang tidak

mungkin besepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai

Rasūlulllah Saw.

2. Masyhūr, yakni qiraat yang ṣahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat

mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani serta

masyhur dikalangan para qurra. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat

semacam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan

3. Ahād, adalah qiraat yang sanadnya menyalahi rasam Utsmani, menyalahi

kaidah bahasa Arab dan tidak terkenal dikalangan para ahli qiraat.

Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi

membaca اقري حسان متكئين على رفارف خضر وعب (al-Rahman (55):76), dan yang

diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca لقد جاءكم رسول من أن فسكم (al-

Taubah (9):128), dengan membaca fathah pada huruf fa‟.

41

Mansur dalam Sunan-nya. Lihat; Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h.

17

Page 32: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

21

4. Syadz, yaitu qiraat yang tidak ṣahih sanadnya, seperti qiraat ين -al) ملك ي وم الد

Fatihah (1):4), dengan bentuk fi‟il madli dan menasabkan lafaz ي وم.

5. Mauḍū‟, yaitu qiraat yang tidak memiliki asal. Seperti qiraat yang dihimpun

oleh Muhammad Ibn Ja‟far al-Khuzai‟i (w. 408 H) yang menurutnya

digolongkan pada Abu Hanifah. Contohnya adalah bacaan “Innama yakhsya

llahu min „ibadihi al-ulama‟a,” yang semestinya dibaca sebagaimana ayat

berikut.

6. Mudraj, yaitu bacaan yang diambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran.

Seperti qiraat Ibn Abbas: م من ليس عليكم جناح أن ت بت غوا فضال من ربكم فى مواسم الحج فإذا أفضت

م الحج فى مواس kalimat ,(al-Baqarah (2):198) عرفات adalah penafsiran yang

disisipkan ke dalam ayat.42

b. Qiraat Ditinjau dari Segi Kuantitas

Sedangkan klasifikasi qiraat berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai

berikut:

1. Al-Qiraat al-Sab‟ (Qiraat Sab‟ah): adalah qiraat yang diriwayatkan oleh

tujuh imam qiraat yang sudah maklum.

a. Imam qiraat yang masyhur di kota Madinah, Abū Abdurrahman Nāfi‟

bin Abī „Abdurrahman bin Abī Nu‟aim. Beliau berguru kepada

„Abdurrahman bin Hurmuz al-„Araj, Abī Hurairah, Ibnu „Abbās dan

Abū Ja‟far al-Qa‟qa‟. Adapun Muridnya adalah „Isa bin Munya Qālun

dan Utsmān bin Sa‟īd yang memiliki laqab Warasy.

b. Imam qiraat yang masyhur di kota Makkah, „Abdullah ibn Katsīr.

Qiraat beliau diriwayatkan oleh dua orang muridnya yang bernama al-

Bāzi dan Qunbūl.

c. Imam qiraat yang masyhur di kota Syam, „Abdullah bin „Amr al-

Yahsubi. Muridnya ialah Hisyām bin „Imār bin Nusair dan „Abdullah

bin Ahmad bin Bāsyir bin Zakwan.

42

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 256-257.

Page 33: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

22

d. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Abū Bakar „Āsim bin Abī

Najud. Beliau berguru pada Abī „Abdirrahman. Adapun muridnya

adalah Syu‟bah dan Ḥafs.

e. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Hamzah bin Habīb al-Zayyāt.

Beliau memiliki kunyah Abū Imārah. Beliau berguru kepada al-

„Amasy, Ibnu Abī Lailī, Sa‟īd bin Jābir dan lain sebagainya. Adapun

muridnya adalah Khalāf dan Khalād.

f. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, „Ali bin Hamzah al-Kisā‟i.

Muridnya adalah al-Lais bin Khālid al-Baghdadi atau dikenal dengan

Abū al-Hārits dan Abū „Umar bin Ḥafs bin „Umar bin „Abdul „Aziz al-

Dauri al-Nahwi atau dikenal dengan al-Dauri.

g. Abū „Amr bin „Alā, perawinya adalah al-Dauri (juga periwayat al-

Kisā‟i) dan Abū Syu‟aib Ṣālih bin Ziyād bin „Abdullah al-Sūsi.43

2. Qiraat al-„Asyr (qiraat sepuluh): adalah qiraat Sab‟ah yang dilengkapi

dengan tiga imam qiraat. Yakni, qiraat Ya‟qūb al-Baṣri, qiraat Khalāf, dan

qiraat Yazid bin Qa‟qa‟ (Abu Ja‟far al-Madani).

3. Qiraat al-Arba‟ „Asyr (qiraat empat belas) adalah qiraat „Asyrah ditambah

qiraat empat Imam qiraat, yakni qiraat Hasan al-Baṣri, qiraat Muhammad

bin „Abdurrahman atau dikenal dengan Ibnu Muhaiṣin, qiraat Yahyā bin

Mubārak al-Yazidi al-Nahwi, dan qiraat Abū al-Farāj Muhammad bin

Ahmad al-Syanabudz.44

Untuk menghindari penyelewengan qiraat yang sudah muncul, maka

para ahli qiraat membuat semacam parameter berupa persyaratan-

persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima setelah melalui penelitian yang

mendalam. „Abdu al-Hādi al-Faḍl misalnya telah melakukan penelitian

terhadap masalah ini dan mengemukakan berbagai persyaratan yang

dikemukakan oleh para ahli qiraat. Walaupun menurutnya terdapat sedikit

perbedaan dalam menetapkan persyaratan bagi qiraat yang tergolong sahih

43

Ibn Mujāhid, Kitab al-Sab‟ah fī al-Qira‟at (Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.) h. 88-101. 44

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 261-262.

Page 34: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

23

(al-qira‟ah al-ṣaḥiḥah), namun prinsipnya sama. Persyaratan-persyaratan

tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Ibn Khalawaih (w. 370 H.) menetapkan persyaratannya qiraat itu haruslah

sepadan atau sesuai dengan rasm al-musḥaf; harus sesuai dengan kaidah

bahasa Arab; dan qiraat tersebut haruslah bersambung periwayatannya.

2. Makkī ibn Abī Ṭālib (w.437 H.) menentukan persyaratannya dengan

artinya qiraat tersebut mesti bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab baku

artinya qiraat itu haruslah sepadan atau sesuai dengan rasm al-musḥaf; dan

qiraat itu telah disepakati oleh para ahli qiraat pada umumnya.

3. Al-Kawsyi‟ (w. 680 H.) merumuskan persyaratan itu dengan ( السندصحة )

artinya qiraat tersebut memiliki sanad yang ṣāḥiḥ; ( العربيةموافقة ) artinya qiraat

itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab; dan ( الرسم مطابقة ) artinya qira‟at itu

harus sepadan dan sesuai dengan rasm al-musḥaf.

4. Ibn al-Jazari (w. 833 H.) menetapkan persyaratannya qiraat itu sesuai

dengan ketentuan bahasa Arab meski dalam satu segi, qiraat itu cocok

dengan salah satu musḥaf Utsmani meskipun secara perkiraan; dan artinya

qiraat itu ṣāḥiḥ sanadnya. 45

Pemaparan para pendapat para ulama di atas, semuanya memiiki pendapat

yang sama mengenai tiga syarat qiraat bisa diterima (shahih). Pertama, qiraat

harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Kedua, qiraat harusah sesuai dengan

rasm Utsmani. Ketiga, qiraat harus memiliki sanad yang muttasil (tersambung)

sampai kepada Rasulullah Saw.

45

Hampir semua ahlu qurra menentukan persyaratan diterimanya qiraat dengan 3 hal

yakni sesuai dengan rasm Usmani, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab dan Sanadnya tersambung

sampai Rasūlullah Saw. Lihat Hilmah Latif, Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana

VII , No. 2, (Tahun 2013):, h. 68. Lihat juga: Musa Ibrahim al-Ibrahim, Buhūtsu Manhajiyyah fī

Ulūm al-Qur‟an, (Oman: Dār Imar, 1996). h. 73. Lihat, Sayyīd Risqit Ṭawil, fī Ulūm al-Qiraah

(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Faiṣailiah, 1985), h. 48.

Page 35: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

24

B. Tafsir

1. Pengertian Tafsir

Tafsir secara bahasa adalah bentuk maṣdar dari kata fassara-yufassiru-tafsīran

yang berarti al-īḍah wa al-tabyīn, yang memiliki makna penjelasan, uraian,

keterangan, interpretasi dan komentar.46

Adapun menurut Syaikh Manna‟ Khalil

al-Qattan, secara etimologi kata tafsir berarti al-ibānah wa kasyfu al-mughaṭa

(menjelaskan dan menyingkap yang tertutup).47

Pengertian tafsir dalam kamus Lisān al-Arāb, tafsir memiliki arti menyingkap

maksud dari kata yang samar. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur‟an surat al-

Furqān: 33.

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang

ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling

baik penjelasannya”.48

Beberapa pendapat tentang pengertian tafsir. Menurut al-Zarqani dan al-

Zarkasyī, secara istilah tafsir ialah ilmu untuk memahami al-Qur‟an yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan menjelaskan makna, hukum

dan hikmahnya.49

Menurut Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Manna‟ al-

Qattan, beliau mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara

pengucapan lafal al-Qur‟an, makna lafal-lafal tersebut, baik perkata maupun

dalam kalimat yang utuh, serta hal-hal lain yang melengkapinya.50

46

Abu „Aẓim al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah

al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6 47

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabāhits fi Ulūm al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyūrat al-„Aṣr al-

Hadis), 1973. h. 323 48

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabahīts fī Ulūm al-Qur‟an, 1973. h. 324 49

Abu Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah

al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6. Lihat Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h.

324 50

Hal-hal yang melengkapi ialah pengetahuan mengenai asbabun nuzul, nasikh-mansukh,

kisah-kisah, dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur‟an. Lihat Manna‟ Khalil

al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h. 324

Page 36: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

25

Al-Kilabī berpendapat dalam at-Tāṣil bahwa tafsir ialah bayān menjelaskan al-

Qur‟an, menerangkan maknanya serta menjelaskan makna yang dikehendaki

dengan nasbnya atau dengan isyarat atau tujuannya.51

Defenisi-definisi diatas, menarik kesimpulan bahwa; Pertama, dilihat dari segi

objek pembahasan tafsir adalah kitābullah (al-Qur‟an) yang di dalamnya

terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi fungsi dan tujuannya adalah

menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan al-Qur‟an sehingga dijumpai

hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga,

dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad

mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,

sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir

Sejarah perkembangan tafsir telah melewati fase-fase pertumbuhan dan

perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi

SAW sampai sekarang. Terdapat tiga fase dalam perkembangan tafsir sebagaimana

uraian sebagai berikut.52

Pertama, masa kelahiran, pertama kali al-Qur‟an turun, al-Qur‟an langsung

ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan al-Qur‟an tersebut. Artinya sebagian

ayat yang turun itu menafsirkan (menjelaskan) bagian yang lain sehingga

pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik berdasarkan

penjelasan ayat yang turun itu.

Kedua, masa pertumbuhan, masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam

beberapa periode. Pertama, periode Nabi Muhammad Saw. dan sahabat (abad I

H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh

beliau berdasarkan wahyu Allah Swt. Kedua, periode tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in

(abad 2 H/VIII M). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah al-Qur‟an,

hadis-hadis Nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra‟yu dan ijtihad.

51

T.M. Hasbi Aṣ-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Bulan

Bintang) h. 178 52

Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam, “ Jurnal JIA XIV,

No. 2 (Desember 2013): h. 67.

Page 37: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

26

Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh

Abdullah bin Abbas (w. 63 H), Sa‟id Bin Jubair (w.93), di kota Madinah berada

dibawah pimpinan Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah

pimpinan Abdullah bin Mas‟ud, diantara ciri-ciri tafsir masa ini adalah memuat

banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan

sudah muncul benih-benih fanatisme madzhab. Periode ini berakhir dengan

ditandai meninggalnya tabi‟in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan

sedangkan masa tabi‟it tabi‟in berakhir pada tahun 220 H. Pada masa ini corak

tafsir didominasi dengan corak tafsir historis53

dan corak fiqih.54

Ketiga, masa perkembangan, pada masa ini perkembangan tafsir dapat

dikelompokkan dalam beberapa periode:

1. Periode Ulama Mutaqaddimin (abad III – VIII H/1X-XIII M ), periode ini

dimulai dari akhir zaman tabi‟it tabi‟in sampai akhir pemerintahan dinasti

Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M atau

mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : al-Qur‟an, hadits

Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat para tabinat tabi‟in,

cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir. Diantara para mufassir tersebut

adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu‟bah Ibn Hajjaj (w. 160 H)

2. Periode Ulama Muta‟akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX M), periode ini

muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun

656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286 H/ 1888

M, sumber tafsir pada masa ini al- Qur‟an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat,

riwayat para tabi‟in, riwayat para tabi‟inat tabi‟in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan

53

Seseorang yang ingin memahami al-Qur‟an secara benar misalnya maka yang

bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur‟an yang disebut sebagai ilmu Asbāb

al-Nuzūl. Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung

dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara

syari'at dari kekeliruan memahaminya. Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang

dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat tersebut

diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung dibalik teks-

teks ayat itu. Lihat: Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam,” h. 67. 54

Penafsiran al-Qur‟an dengan melalui pendekatan fiqih dan hukum pada masa awal

turunnya al-Qur‟an sampai munculnya madzhab fiqih yang berbeda-beda, para mufasir ketika itu

jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan al-

Qur‟an yang bersinggungan dengan ayat hukum. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran,

(Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014), h. 284.

Page 38: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

27

istinbath mufassir, pendapat para mufassir terdahulu.diantara para mufassir periode

ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-

Ta‟wil (Tafsir al-Baidhawi), Fakhruddin al-Razi (w.606 H) pengarang tafsir

Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir). Pada masa ini corak tafsir yang berkembang

adalah corak teologi-falsafi,55

corak kebahasaan,56

dan corak ilmi,57

3. Periode Ulama Modern (abad XIV H-XIX M s/d Sekarang), zaman ini

bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX Masehi sampai sekarang, yaitu sejak

dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani

(1254 H/1838 M), Muhammad Abduh (1266 H/1845 M) diantara produk tafsir

pada masa ini adalah Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1952 M) penulis

Tafsir al-Maraghi, tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis Tafsir

Fi Zilalil Qur‟an dan Ali al-Shabuni pengarang Tafsir Rawa‟i al-Bayan, Tafsir

Ayatu al-Ahkam min al-Qur‟an dan kitab Sofwatu al-Tafasir. Pada masa ini corak

tafsir yang popular adalah corak tafsir adabi ijtima‟i.58

55

Tafsir falsafi adalah tafsir yang dilakukan dengan dua cara yaitu menjelaskan

ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran yang telah terurai dalam filsafat dan

menakwilkan kebenaran-kebenaran agama dengan pikiran-pikiran filsafat. Lihat: Muhammad

Husein adz-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II (Mesir : Dār al-Maktub al-Haditsah,

1976), h. 418. Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur‟an yang tidak hanya ditulis

oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang

dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Lihat Juga: Abdul Mustaqim,

Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,

Hingga Modern-Kontemporer, 131-132. 56

Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan maksud

ayat yang terkandung dalam al-Qur‟an muncul karena selain al-Qur‟an sendiri memberi

kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraiṣ Ṣihab, corak lughāwi

(kebahasaan) muncul akibat banyaknya non Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat

kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan perlu menjelaskan

kepada mereka tentang keistimewaan dan keīdalaman kandungan al-Qur‟an. Salah satu contoh

tafsir bernuansa lughāwi ialah Abū Su‟ūd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi dengan tafsirnya

Irsyād al-„Aql al-Sālim ilā Mazāya al-Kitāb al-Karīm. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul

Quran, h. 284 57

Corak tafsir „ilmi ialah corak penafsiran al-Qur‟an yang pembahasannya menggunakan

istilah atau term-term ilmiah dalam mengungkapkan ayat al-Qur‟an, dan berusaha melahirkan

berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.

Lihat: Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h.

135. Lihat: Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 474. Tafsir dengan corak „ilmi juga

sebagai penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat di dalam al-Qur‟an dengan mengkaitkannya

dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa kini. Lihat pula: Sayyid Agil Husin al-

Munawwar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.

72. 58

Corak Adābi Ijtimā‟i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang

aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur‟an (balāghah), yang menjadi

Page 39: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

28

C. Hubungan Qiraat dan Tafsir

Al-Qur‟an dan qiraat merupakan dua hal yang berkaitan namun hakikatnya

berbeda. Menurut Imam al-Zarkasyi, qiraat sesungguhnya berbeda dengan al-

Qur‟an. Jika al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Saw. sebagai bayān (penjelasan) dan i‟jāz (mukjizat). Sedangkan qiraat

merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur‟an yang di dalamnya menyangkut huruf-

huruf maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfīf (meringankan),

tatsqīl (memberatkan) dan lain sebagainya.59

Qiraat dengan penafsiran memiliki hubungan yang sangat erat. Diibaratkan

seperti sisi uang logam, tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Jika qiraat

tinjauannya pada segi pembacaan teks maka tafsir adalah efek atau perubahan

makna dari pembacaan teks. Oleh karena itu, terkadang perbedaan qiraat sangat

mempengaruhi terhadap penafsiran.

Menurut Ahmad Bazamul implikasi qiraat terhadap penafsiran meliputi

beberapa hal berikut ini:

1. Implikasi qiraat dalam memperjelas makna ayat.

2. Implikasi qiraat dalam memperluas konteks ayat.

3. Implikasi qiraat dalam menghilangkan kekeliruan tentang makna ayat.

4. Implikasi qiraat dalam menonjolkan berbagai gaya bahasa (uslūb).

5. Implikasi qiraat dalam menerangkan berbagai hukum fiqih.60

Menurut Imam Mujahid di dalam bukunya kitab Sab‟ah fī Qiraat bahwa

qiraat dapat berpengaruh dalam hukum.

.فكاثارالتي رويت فى أألحكام ،وأما االثار التي رويت فى الحروف61

dasar kemukjizatan al-Qur‟an. Atas dasar tersebut, mufassir menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an,

menampilkan sunnatullah yang tertuang di dalam alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia

dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus dan persoalan umat

manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur‟an. Lihat: Prof.

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 108. 59

Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumi al-Qur‟an,

(Maktabah Dar al-Turats tt), juz 1, h. 318. 60

Ikmal Zaidi bin Hashim, “Metode Penentuan dan Penggunaan Penganalisaan Qiraat

dalam Karya-karya Tafsir,” dalam seminar, “International Research and Innovation Conference

2014 (IRMIC2014),” Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor, h. 113.

Page 40: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

29

“Dan adapun atsar (al-Qur‟an) diriwayatkan dalam huruf-huruf

(perbedaan qiraat), maka atsar juga diriwayatkan dalam hukum-hukum”.

Pendapat serupa juga dikemukan dalam kaidah yang menyatakan bahwa

qiraat jika dibenturkan dengan penafsiran dapat menimbulkan efek tafsir.

األحكام فى اإلختالف يظهر القراءات اختالف

Perbedaan qiraat menyebabkan terjadinya perbedaan hukum.62

Pendapat seperti ini diperkuat oleh salah satu riwayat:

: أخبرنا أبو بكر أحمد بن يم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قالحدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن محمد بن إبراىختلفوا في األحكام" اختلف الناس في القراءة كما اقال: " ،رحمة اهلل عليو ،موسي بن العباس بن مجاىد

اإلختالف عن الصحابة والتابعين توسعة ورحمة للمسلمين.ورويت في األثار بTelah menceritakan pada kami Abu Abdullah Ahmad bin Muhamad bin

Ibrahim bin Abzun al-Anbari al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami

Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid, berkata: “Perselisihan

manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan

juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in

menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.63

Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:

64 .عنو مما سألتو كثير عن أسألو أن احتجت ما عباس ابن أسأل أن قبل مسعود ابن قراءة قرأت كنت لو

Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ud sebelum bertanya kepada Ibn

„Abbas, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan

kepadanya (al-Qur‟an).

Qiraat dalam ranah tafsir, ada qiraat mempunyai pengaruh dalam penafsiran

dan ada pula yang tidak memiliki pengaruh dalam penafsiran. Kebanyakan qiraat

memiliki pengaruh dalam bidang fiqih. Berikut adalah contoh qiraat yang

memiliki pengaruh dalam penafsiran dan yang tidak berdampak terhadap

penafsiran.

a. Qiraat yang berdampak pada penafsiran

1. Surat al-Maidah ayat 6

61

Ibnu Mujahid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Dār al-Ma‟arif) h. 49. Yang

dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang

dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah). 62

Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 258. 63

Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab‟ah fi al-Qiraat, h. 45. 64

Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,

h. 33.

Page 41: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

30

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak

mengerjakan ṣalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai

dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai

dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan

jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang

air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh

air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah

mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak

menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan

menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Pokok persoalan yang akan dijelaskan berkaitan dengan ayat di

atas adalah tentang qiraat “arjulakum” yang berimplikasi pada apakah

didalam berwuḍu kedua kaki wajib dicuci atau hanya wajib diusap

dengan air saja. Ibnu Katsīr, Hamzah dan Abū „Amr membacanya

dengan kasrah lam sehingga terbaca arjulikum, sedangkan Nāfi‟, Ibn

„Āmir dan al-Kisā‟i membacanya dengan fatḥah lam sehingga menjadi

arjulakum.65

Bacaan arjulakum menurut pembacanya adalah ma‟ṭūf kepada

wujuhakum. Konsekwensi hukum yang lahir dari qiraat ini adalah

65

Ibn Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 242

Page 42: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

31

bahwa ketika berwuḍu hendaklah kaki itu dicuci.66

Selain dasar qiraat

itu menurut mereka juga ditopang oleh hadis dari Rasūlullah Saw.

riwayat Bukhāri yang mengancam orang berwuḍu tanpa mencuci tumit

dengan api neraka. Hadis itu berbunyi :

“Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man 'Arim bin al-Faḍal

berkata, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu

Bisyir dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin 'Amru berkata: Nabi ṣ ṣ

ṣallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dalam suatu

perjalanan yang kami lakukan hingga Beliau mendapatkan kami

sementara waktu ṣalat sudah hampir habis, kami berwudhu dengan

hanya mengusap kaki kami. Maka Nabi ṣallallahu 'alaihi wa sallam

berseru dengan suara yang keras. "celakalah bagi tumit-tumit yang

tidak basah akan masuk neraka." Beliau serukan hingga dua atau tiga

kali.”67

Sedangkan qiraat arjulikum ma‟ṭuf kepada ru‟ūsikum. Qiraat ini

melahirkan hukum bahwa seseorang yang berwuḍu hanya wajib

mengusap kakinya dengan air.68

Uraian diatas memperlihatkan besarnya pengaruh perbedaan qiraat

dalam proses penetapan hukum.

b. Qiraat yang tidak mempunyai pengaruh terhadap penafsiran

Adapun qiraat yang tidak berpengaruh terhadap penafsiran adalah sebagai

berikut. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Nur: 33.

“Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan

pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak

mencari keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada

mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

66

Al-Syaukanī, Tafsīr Faṭḥu al-Qadīr didalam CD al-Maktabah al-Syamilah pada

penafsiran QS. al-Ma‟idah (5) : 6 67

Imam Bukhari, Ṣaḥih al-Bukhāri, Bab Siapa yang mengeraskan suaranya dalam

menyampaikan ilmu, Hadis no 58. Sumber Lidwa 9 Hadis. 68

Al-Baiḍawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl di dalam CD al-Maktabah al-

Syamilah pada penafsiran QS. al-Ma‟idah (5)

Page 43: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

32

Ayat tersebut di atas menjelaskan, bahwa para pemilik budak-budak

wanita diharamkan memaksa budak-budak wanita tersebut untuk melakukan

prostitusi (pelacuran), karena hendak mencari keuntungan duniawi. Apabila

budak-budak wanita itu dipaksa untuk melakukan hal yang demikian, maka

Allah akan mengampuni mereka.

Sehubungan dengan ayat di atas, dalam qiraat syadzat yaitu qiraat dari Ibn

„Abbās, qiraat Ibn Mas‟ūd dan Jābir bin Abdullah disebutkan من بعده فإن هللا

Qiraat tersebut tidak berpengaruh terhadap instinbāṭ إكراههن لهن غفور رحيم

hukum. Karena lafaz لهن dalam ayat terebut menunjukkan bahwa ampunan

Allah itu ditujukan (diberikan) kepada budak-budak wanita yang dipaksa oleh

tuannya untuk melakukan pelacuran, dan juga ditujukan kepada tuannya yang

memaksa mereka untuk melakukan pelacuran tersebut.69

Menurut pandangan Imam al-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf,70

عليو فى انها غير آثمةال حاجة الى تعليق المغفرة بهن الن المكرىة على بخالف المكره Ampunan Allah (dalam ayat tersebut) tidak memerlukan tambahan lafaz ( لهن),

karena budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan zina (pelacuran),

jelas tidak berdosa, lain halnya dengan orang yang memaksa (tuan mereka).

Senada dengan pernyataan al-Zamakhsyarī di atas, al-Rāzi mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut.71

فإن اهلل غفور رحيم بهن. ألن اإلكراه ازال اإلثم والعقوبة ألن للمكرىة اما المكره فال عذرلو فيما فعل

Firman Allah فإن هللا غفور رحيم maknanya adalah, sesungguhnya Allah

mengampuni mereka (budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan

pelacuran). Unsur paksaan dapat menghilangkan dosa dan sanksi hukum.

Unsur paksaan merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) bagi budak-

69

Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Instinbaṭ Hukum dalam

al-Qur‟an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). h.237. 70

Abū al-Qāsim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), h. 67. 71

Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-

Kabīr Mafātih al-Ghāib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 222.

Page 44: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

33

budak wanita yang dipaksa, sementara bagi yang memaksa, unsur paksaan

tidak merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) atas perbuatannya.

C. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir

Penafsiran ideologis muncul karena dua faktor. Pertama, pergolakan politik

umat Islam periode awal. Kedua, perdebatan teologis di antara mereka. Dua

faktor ini mencuat ke permukaan setelah tragedi besar (al-Fitnah al-Kubrā),

terutama setelah perang Siffin antara pihak „Ali bin Abī Ṭālib dan Mu‟awiyyah

bin Abū Sufyan yang melahirkan kelompok Khawārij, Syī‟ah dan kelompok pro

Bani Umaiyyah. Setelah itu, kemudian muncul kelompok Qadariyah, Murji‟ah,

Mu‟tazilah, dan Sunni. Mereka seringkali terlibat dalam perdebatan politis-

teologis dan berlindung di bawah teks al-Qur‟an dan hadis.72

Sebagai konsekuensinya, pengaruh pergolakan politik dan ideologi ini

memengaruhi proses kodifikasi ilmu-ilmu ke-Islaman, terutama tafsir. Pada

masa ini setiap kelompok teologi mengkodifikasi disiplin keilmuan masing-

masing yang produknya berbeda satu sama lain, sehingga mempengaruhi disiplin

keilmuan ke generasi setelahnya, hingga sekarang. Tradisi Sunni melahirkan

penafsiran bercorak Sunni, tradisi Syī‟ah melahirkan penafsiran bercorak Syī‟ah,

tradisi Mu‟tazilah melahirkan penafsiran Mu‟tazilah, dan begitu seterusnya.

Bahkan tradisi yang sama bukan berarti corak penafsiran teologisnya juga sama,

tetapi semakin terkotak-kotak dalam sekat perbedaan dalam satu rumpun

teologi.73

Fakta membuktikan bahwa kesamaan teks al-Qur‟an bisa tampil dalam wajah

tafsir berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan tendensi penafsir. Apalagi

ditambah dengan kenyataan bahwa banyak ayat al-Qur‟an berkaitan dengan

persoalan akidah. Ini termasuk faktor penting terbukanya penafsiran tendensius

ini, karena penafsir akan berkomentar sedikit atau banyak tentang ayat tersebut

ketika berhadapan dengannya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan

72

Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”

Jurnal Mutawatir IV, No. 1, (Januari-Juni 2014): h. 175. 73

Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”

h. 176.

Page 45: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

34

bahwa tidak ada satu karya tafsir pun yang bebas dari penafsiran dengan tendensi

teologis tertentu, baik kadarnya sedikit maupun banyak.74

Karakteristik tafsir teologi-falsafi bisa dilihat dari segi penyampaian tafsir.

Aspek gaya bahasa, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis,

sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran yang diikuti dan objektifitas

penafsirnya. Dengan mengerti aspek-aspek tersebut, maka akan ditemukan

karakteristik tafsir abad pertengahan, khususnya tafsir yang bercorak teologi-

falsafi.

1. Syarat dengan kepentingan subjektif (ideologis) mufassirnya. Para mufassir

umumnya ahli atau pakar di bidang ilmu dan ideologi tertentu, sehingga

mereka fokus untuk mencari alternatif makna (mencocokkan teori atau

doktrin mereka dengan ayat-ayat al-Qur‟an). Seringkali di sini mufassir

terjebak dalam kepentingan golongan daripada mendahulukan objektifitas

penafsiran.

2. Kajian lebih difokuskan ke dalam pembahasan tema-tema teologis-filosofis

dibanding mengedapankan kandungan al-Qur‟an.

3. Tafsir bernuansa teologis-filosofis rentan bermuatan fanatisme sektarian dan

pembelaan terhadap aliran madzhab yang diikuti.

4. Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihāt. Ayat-ayat al-Qur‟an tertentu yang

memiliki konotasi berbeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh

kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya untuk

membela aliran yang diikuti. Masing-masing golongan dari berbagai aliran

saling mengaku bahwa ayat-ayat yang sesuai dengan madzhabnya dikatakan

muhkamāt, sedangkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan pendirian

musuhnya diklaim mutasyabihāt. Maka dari itu, perlu dilakukan

pentakwilan yang sesuai dengan keyakinannya.

5. Adanya kecenderungan truth claim. Mereka berusaha mencari dukungan

dari masyarakat maupun pemerintah melalui klaim kebenaran dan juga

74

Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”

h. 176.

Page 46: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

35

menunjukkan kebenaran pihaknya dengan menjustifikasi dari ayat al-

Qur‟an.75

75

Riḍoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”

Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 32-33.

Page 47: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

36

BAB III

BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ

DAN IMAM FAKHRU AL-DĪN AL-RĀZI

A. BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ

1. Riwayat Hidup Imam al-Zamakhsyarī

Sebagaimana tertulis dalam kitab tafsirnya, nama lengkap beliau adalah Abū

al-Qasīm Mahmūd ibn „Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī. Al-Zamakhsyarī

lahir di sebuah desa yang terletak di wilayah Khawarizm, kawasan Turkistan

(saat ini Rusia) pada hari Rabu 27 Rajab 467 H/1074 M.75

Beliau lahir pada

masa pemerintahan Mālik Syah al-Saljūqī dan menterinya Niḍam al-Mulūk

(465 H-485 H.) yaitu masa yang paling gemilang dalam kebangkitan sastra dan

ilmu pengetahuan.76

al-Zamakhsyarī menggambarkan sendiri tentang kebesaran nama ayahnya,

bahwa ia seorang ahli sastra yang taat beribadah, selalu berpuasa dan bangun

tengah malam. Namun, karena diduga terlibat masalah politik dengan penguasa

saat itu, ayahnya di masukkan ke dalam penjara. Ibn al-„Āsir, sebagaimana

dikutip oleh al-Juwaini, menggambarkan bahwa perdana menteri saat itu

adalah orang yang berperilaku buruk, hingga akhirnya ayah al-Zamakhsyarī

meninggal karena mengalami penyiksaan di dalam penjara.77

Sementara sosok

ibunya digambarkan oleh Zamakhsyarī sebagai seorang yang lemah lembut dan

penuh kasih sayang.78

75

Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakir AS. (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2007), hlm. 530. 76

Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, (Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1966),

h. 35. lihat: Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf”, Jurnal Sosio-Religia VIII, No. 3, (Mei

2009): h. 596. 77

Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān

I„jāzihi, (Mesir: Dār al-Ma„ārif, t.t), h. 26. 7878

Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān

I„jāzihi, h. 25.

Page 48: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

37

Semasa kecil al-Zamakhsyarī diajarkan langsung oleh ayahnya sendiri.

Beliau diajarkan menulis, membaca dan menghafal al-Qur‟an.79

Menjelang

usia remaja beliau pergi meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke

Khawarizm (Bukhara). Bukhara sendiri pada masa Samaniyyin merupakan

tempat orang-orang besar, pusat raja-raja dan tempat munculnya bintang-

bintang sastrawan dunia.80

Al-Zamakhsyarī melakukan rihlah ke berbagai negeri untuk mengincar

pangkat dan kedudukan yang dapat menunjang ilmunya. Untuk mewujudkan

cita-citanya tersebut, al-Zamakhsyarī mencoba menarik simpati para pembesar

kerajaan. Beliau pergi ke Khurasan kemudian ke Asfahan (sekarang wilayah

Iran), tempat istana kerajaan Saljuk Malik Syah (w. 511 H). Pada tahun 512 H,

al-Zamakhsyarī menderita sakit yang membuatnya berpikir kembali akan

niatnya yang salah. Akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan

perjalanan menuju Baghdad dengan maksud menimba ilmu pengetahuan dari

para agamawan dan cendekiawan. Di sini beliau mempelajari hadis dari ahli

hadis ternama yaitu Abū al-Khattab ibn al-Bitr, Abū Sa„d al-Syīfani dan

Syaikh al-Islām Abū Mansūr al-Hārisī. Ia juga belajar dari al-Damiganī,

seorang ahli fiqih yang bermadzhab Hanafī.81

Kemudian Zamakhsyarī bermukim di Khawarizm dan berguru kepada

Mahmūd bin Jarār al-Dābi al-Isfahānī Abū Muẓar al-Nawawi atau yang

dikenal dengan Abū Mudlar, seorang tokoh Mu'tazilah yang mengusai berbagai

macam ilmu.82

Di bawah bimbingan Abū Mudlar, Zamakhsyarī berhasil

menguasai sastra Arab, logika/mantiq, filsafat dan teologi dan beliau menjadi

salah satu ulama yang disegani dan menempati posisi yang cukup tinggi dalam

bidang pemerintahan.

79

Sayyīd Muhammad Ali Ayazi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa

Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al-Ṭaba‟ah Wa al-Nasyr Wizārah al-Tsaqafah wa al-Irsyād al-

Islāmi, t.t.), h. 574 80

Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 35. 81

Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān

I„jāzihi, h. 33-35. 82

Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān

I„jāzihi, h. 28

Page 49: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

38

Destinasi pengembaraan al-Zamakhsyarī dalam mencari ilmu selanjutnya

ialah ke kota Mekah. Kemudian, menetaplah ia di sana selama tiga tahun.

Karena tempat tinggal beliau yang bertetanggaan dengan Baitullah, ia pun

diberi gelar Jārullah.83

Selama tiga tahun di Mekah beliau bertemu dengan

bangsawan bijaksana yang bernama „Ali bin „Isā bin Hamzah bin Wahas yang

memiliki kesamaan dalam pemikiran, kemudian Ibnu Wahas mendorong al-

Zamakhsyarī untuk menulis sebuah karya besar yang fenomenal dengan judul

al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta‟wīl.84

Selepas dari Mekah, beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad kemudian ke

Khawarizm, selang beberapa tahun di Khawarizm beliau pun wafat. Menurut

al-Juwaini yang bersumber dari Ibnu Batutah bahwa al-Zamakhsyarī wafat di

daerah Jurjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm, pada hari „Arafah pada tahun

538 H (14 Juni 1114 M).85

2. Karya-karya Imam al-Zamakhsyarī

al-Zamakhsyarī merupakan tokoh Islam yang memiliki kecerdasan dan

keilmuan yang luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau

dalam berbagai bidang keilmuan. Diantaranya sebagai berikut:

a. Bidang Tafsir

1. al-Kasysyāf „an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa „Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-

Ta‟wīl

2. al-Kasysyāf fī al-Qirāat

b. Bidang Hadis

1. Al-Fāiq fī Ghārib al-Hadīts

c. Bidang Fiqih

1. Ru‟ūsu al-Masāilil Fiqhiyyah (fī al-Khilāfi al-Fiqhi baina madzhabī

Abī Hanīfah wa al-Syāfi‟i)

2. Syāfi al-„Ai min Kalām al-Syāfi‟i

83

Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Beirut: Dār al-Arqam ibn

Abi al-Arqām, t.t,), h. 278. 84

Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 55. 85

Ibnu Munayyīr, Al-Masā‟il Al-I‟tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-Zamakhsyarī,

(Saudi Arabia: Dar al-Andalas, 1418 H), Jilid I, h. 41.

Page 50: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

39

3. Al-Minhāj (fī Usūli al-Fiqhi)

4. ḍālatu al-Nāsyidi fī „Ilmi Farāiḍi

d. Bidang Sejarah, Adab dan Tasawuf

1. Rabī‟ul Abrār wa Nusūs al-Akhbār (Mukhtaratu Syatā min al-Adābi

wa al-Tarīkhi wa al-„Ulūmi)

2. Al-Risālah al-Nāsiḥah

3. Al-Qāsidatu al-Bu‟ūḍiyyati (wa Ukhrā fi Masāili al-Ghazālī)

4. Masāalatu fī Hikmati al-Syahādati

e. Kitab Syarah

1. Syarah Maqāmati al-Zamakhsyarī (Al-Nasāih al-Kibār)

2. Syarah Ba‟ḍa Musykilāt al-Mufassal

3. Syarah Abyāti Kitāb Sibawaih

f. Bidang Nahwu, Ma‟āni, Kebahasaan dan lain sebagainya

1. Al-Mufassal fī Ta‟līmi al-Nahwi

2. Asāsu al-Balāghah

3. Al-Mufrad wa al-Muallif fī al-Nahwi

4. Al-Amāli fī al-Nahwi

5. Nakt al-I‟rab fī Ghāribi al-I‟rab

6. Samīm al-„Arābiyyah

7. Jawāhir al-Lughah

8. Al-Asmā fī al-Lughah

9. Al-Anmudj (Mukhtasar min Mufassal fī al-Nahwi)

10. Al-Amkinah wa al-Jibāl wa al-Miyāh wa al-Baqā‟ al-Masyhūrah fī

Asy‟āri al-„Arāb

11. Muqaddimah al-Adāb (Mu‟jam „Arābi Fārisī)

12. Syaqāi al-Nu‟man fī Ḥaqāiq al-Nu‟man (Manāqib Imam Abū

Hanīfah)

13. Al-Atwāq al-Dzahab, Al-Naṣāiḥ al-Sighār (fi al-Wa‟di wa al-

Raqāiqi)

14. Al-A‟jabu al-„Ajāib fī Syarhi li-Ummiyati al-„Arāb

15. Al-Amāli fī Kulli Fann

Page 51: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

40

16. Ta‟līmu al-Mubtadi wa Irsyādi al-Muhtadi (Jamlu fī al-„Arābiyyah

wa Tarjamatha bi al-Fārisiyyah li al-Nāsyiīn)

17. Khasāisu al-„Asyrati al-Kirāmi al-Barārati

18. Diwānu al-Zamakhsyarī

19. Mutasyābahu Usāmi al-Ruwwāh

20. Al-Muhājatu fī al-Ahāji wa al-Aghluṭati

21. Al-Mustaqṣā fī Amtsāli al-„Arāb

22. Mu‟jam al-Ḥudūd

23. Al-Mufrad wa al-Murakkab (au Muallafu)

24. Muqāmati al-Zamakhsyarī

25. Nuẓatu al-Musta‟nīs

26. Al-Nasāihu al-Sighār wa al-Bawāligu al-Kibār

27. Nawabig al-Kalam (Hukmu wa Aqwal)

28. Tasliyah al-Darīr

29. Diwānu al-Rasāil

30. Diwānu al-Tamtsīl

31. Risūlatu fī al-Majāz wa al-Isti‟ārah

32. Al-Mustasyqā fī Amtsāl

33. Sawāiru al-Amtsāl

34. Al-Qistās.86

3. Karakteristik Kitab Tafsir al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-

Aqāwīl fī Wujūh al-Ta‟wīl

a. Sejarah Penulisan Tafsīr al-Kasysyāf

Salah satu kitab tafsir yang menggunakan pendekatan sastra adalah kitab

Tafsīr al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī. Tafsir ini merupakan karya tafsir

bercorak sastra yang muncul pada periode pertengahan. Tafsir pada periode

pertengahan adalah tafsir yang ditulis semenjak abad ke-9 M hingga abad

86

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, Juz I. h. 15-17. Lihat; Mustafa al- Ṣawi al-Juwaini,

Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān I„jāzihi, h. 50.

Page 52: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

41

ke-20 M. Sementara menurut kategorisasi Harun Nasution, periode

pertengahan dalam tafsir dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M.87

Sebagaimana uraian yang dipaparkan oleh al-Zamakhsyarī dalam

mukaddimah kitab tafsirnya, bahwa penulisan kitab tafsir ini berawal dari

keperihatinan Zamakhsyarī melihat banyaknya ulama dari kalangan

Mu„tazilah yang memahami al-Qur'an dengan cara mencampuradukkan

antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip pokok agama. Kelompok disebut

dengan nama al-Fī‟ah al-Najīyah al-„Adliyyah. Setiap kali mereka datang

berdiskusi, al-Zamakhsyarī memberikan penjelasan mengenai hakikat

kandungan ayat al-Qur‟an. Tampaknya, penjelasan dan uraian yang

dipaparkan oleh al-Zamakhsyarī dapat ditangkap dengan baik oleh mereka.

Mereka pun menginginkan adanya sebuah kitab tafsir, kemudian mereka

berinisiatif untuk mengusulkannya kepada al-Zamakhsyarī supaya al-

Zamakhsyarī mengungkapkan hakikat makna al-Qur‟an dan semua kisah

yang terdapat di dalamnya, termasuk aspek-aspek pentakwilannya.88

Informasi lain menyebutkan bahwa dorongan juga datang dari kalangan

Mu„tazilah, mereka menginginkan agar Zamakhsyarī bersedia menyusun

sebuah kitab tafsir yang sesuai dengan paham Mu„tazilah dengan

menonjolkan aspek ma„āni yang terkandung dalam al-Qur‟an.89

Karena itu,

sangat beralasan jika Ibn „Asyµr berpendapat bahwa kitab tafsir ini ditulis

untuk mendongkrak popularitas Mu„tazilah sebagai kelompok yan

menguasai balāghah dan ta‟wīl.90

Mengingat dari desakan yang terus

berdatangan, al-Zamakhsyarī pun kemudian merespon dan memulai

penulisan tafsirnya pada tahun 526 H/1132 M ketika berada di Mekah.

Penyusunan kitab tafsir ini memakan waktu selama tiga tahun. Hal ini

87

Maryam Shofa,“Sisi Sunni az-Zamakhsyari”, Jurnal Suhuf IV, No. 1, (2011): h. 54.

Lihat; Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008, h. 25. 88

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 19. 89

Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān

I„jāzihi, h. 77. 90

Jaja Zarkasyi, “Orientasi Bayani az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf”,

Jurnal Studi Al-Qur‟an II, No. 2, (2007): h. 553.

Page 53: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

42

selaras sebagaimana yang dituturkan al-Zamakhsyarī dalam muqaddimah

kitabnya, bahwa masa penyusunan tafsirnya sama dengan masa

pemerintahan Khalīfah Abū Bakr al-Siddīq.91

b. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Kasysyāf

Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartīb al-musḥafi. Setiap surat diawali

dengan basmalah, kecuali surat al-Taubah. Dalam menafsirkan al-Quran,

terlebih dahulu beliau menuliskan ayat akan ditafsirkan, kemudian beliau

memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional, yang

didukung dengan dalil-dalil dari riwayat hadis atau ayat al-Qur‟an.

Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Jika

memang suatu riwayat mendukung pemikirannya, maka ia kutip. Bila tidak,

ia akan menafsirkan tanpa menggunakan riwayat tersebut.92

Langkah-langkah yang digunakan al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan

ayat al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

1. Beliau menyebut nama surat, menyebut surat makkiyah dan

madaniyah-nya, menjelaskan makna surat dan menyebut nama lain

dari surat itu bila ada riwayat yang menyebutkannya, menyebut

keutamaan surat, kemudian beliau memasukkan qiraat, bahasa,

nahwu, ṣaraf dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Kemudian beliau

menjelaskan dan juga menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip

perkataan orang, memberi argumentasi dan membantah pendapat

orang yang berlawanan dengan dia.93

Terkadang al-Zamakhsyarī

memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk

mendukung argumentasinya.

91

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn „Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 19. 92

Lenni Lestari, “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis

Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf)”, Jurnal Syahadah III, No. II,

(Oktober 2014): h. 34. Lihat; Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 1998), h. 50. 93

Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa

Manhajuhum, 578.

Page 54: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

43

2. Tafsīr al-Kasysyāf jika berkaitan dengan ilmu kalam, dia membela

dan mendukung aliran Mu‟tazilah dengan argumen dan dalil yang dia

kuasai.94

Adapun yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum, khususnya

hukum fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih

tanpa ada fanatik pada madzhab Hanafi.95

3. Menjelaskan lafaz dari sudut kebahasaan (al-tahlīl al-lafdza) sesuai

dengan keahlian dia dalam bidang bahasa. Contoh ketika

menafsirkan ayat 7 surat al-Baqarah :

Dia menyebut kata الختم lalu dia buat dialog, jika kamu bertanya, apa

arti menutup hati, pendengaran dan penglihatan? Saya menjawab:

“Tidak ada tutup, karena bukan makna yang sebenarnya melainkan

makna majaz dan mungkin mencakup ma‟na istiarah dan tamtsil.96

c. Metode dan Corak Penafsiran Tafsīr al-Kasysyāf

Al- Zamakhsyarī melakukan penafsiran secara komperehensif terhadap

seluruh ayat al-Qur‟an, dimulai ayat pertama surah al-Fātiḥah sampai

dengan ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa

penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode

tahlīli, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur‟an

dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di

dalamnya sesuai urutan bacaan dalam musḥaf Utsmāni.97

94

Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa

Manhajuhum, h. 579. 95

Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa

Manhajuhum, h. 579. 96

Anshori, Studi Kritis Tafsir Al-Kasysyaf, h. 602. 97

Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1996), h. 12.

Page 55: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

44

Kitab Tafsīr al-Kasysyāf memiliki beberapa corak/kekhasan dalam

penafsirannya. Namun dari beberapa corak, yang paling dominan dalam

tafsir ini adalah corak kebahasaan dan juga corak teologis.

1. Corak Kebahasaan

Al-Zamakhsyarī masyhur dikenal sebagai mufassir yang mahir

bahasa Arab, yang meliputi bidang sastra, balāghah, nahwu, ma‟ani,

bayan dan gramatika bahasa Arab. Sebab kepiawaiannya dalam

bidang kebahasaan tersebut, sangatlah mempengaruhi dan mewarnai

hasil penafsirannya.

Imam al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn

memberikan tanggapan bahwa penafsiran al-Zamakhsyarī lebih

banyak berorientasi pada aspek balāghah tujuannya ialah untuk

menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-

Qur‟an.98

Sehingga Tafsīr al-Kasysyāf sangat terkenal di negara-

negara Islam belahan Timur, karena di sana perhatian masyarakat

pada kesusastraan sangat besar.99

Selain dari aspek balaghāh, aspek

nahwu dan gramatika juga sangat kental dalam tafsir ini. Beliau

memberikan penjelasan mengenai kedudukan kata pada ayat al-

Qur‟an secara mendalam yaitu dari segi i‟rab (kedudukan kata),

kembalinya ḍamir (kata ganti), dan lain sebagainya. Salah satu contoh

penafsiran beliau terhadap QS: al-Baqarah: 23.

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur‟an yang Kami

wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat

(saja) yang semisal al-Qur‟an itu dan ajaklah penolong-penolongmu

selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

98

Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), hlm. 365-366. 99

Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab

Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 54-55.

Page 56: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

45

Menurut al-Zamakhsyarī, kembalinya ḍamir hi pada kata mitslihi,

adalah pada kata mā nazzalnā atau pada kata „abdinā, tetapi yang

lebih kuat ḍamir itu kembali pada ma nazzalna, sesuai dengan maksud

ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-

Qur‟an, bukan Nabi Muhammad.100

2. Corak Kalam/Teologis

Al-Zamakhsyarī merupakan seorang teolog (mutakallimin)

Mu‟tazilah yang tergolong rasionalis, karena kecenderungannya

menggunakan akal. Kedua predikat tersebut (mutakallimin yang

rasionalis) sangat mempengaruhi dan mewarnai penafsirannya.

Corak teologis sendiri merupakan corak penafsiran yang menitik-

beratkan pada persoalan akidah/kalam. Corak teologis merupakan

corak yang paling dominan dalam tafsir ini. Bisa dikatakan bahwa al-

Kasysyaf memiliki corak I‟tizāli (penafsiran mengenai persoalan

akidah/kalam lebih condong atau terkesan ada pembelaan terhadap

paham Mu‟tazilah).101

Penafsirannya mengenai persoalan kalam lebih

cenderung membela paham yang dianutnya, sehingga ayat-ayat yang

kiranya bertentangan dengan keyakinan mazhabnya akan dimaknai

dengan makna lain yang mendukung dan sesuai dengan

madzhabnya.102

Berikut adalah salah satu contoh penafsirannya

terhadap Q.S. al-Qiyamah 22-23:

22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.

23. kepada Tuhannyalah mereka melihat.

100

Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil

wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, Juz I. h. 220. 101

Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian

Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 34 102

Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis dalam

al-Kasysyaf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2016) h. 7. Lihat; Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, h. 55-56. Lihat;

Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian Kritis Metodologis

al-Zamakhsyari,” h. 36.

Page 57: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

46

Al-Zamakhsyarī di dalam kitabnya menafsirkan ayat ini berbeda

dengan para mufassir pada umunya. Ibnu Katsīr dalam kitabnya Tafsīr

Ibnu Katsīr menafsirkan bahwa makna lafaz nāẓirah dalam ayat

tersebut adalah melihat Allah dengan mata telanjang yang diperkuat

oleh hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri. Begitu

juga al-Ṭābari dalam kitabnya Jamī al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an

memaparkan bahwa para mufassir berbeda pendapat dalam

menafsirkan kata nāẓirah. Sebagian mufassir berpendapat bahwa

maknanya adalah melihat Allah. Sedangkan sebagian yang lain

berpendapat bahwa makna lafaz nāẓirah adalah menunggu pahala dari

Allah Swt. Pendapat ini mengindikasikan bahwa Imam al-Ṭābari

dalam menafsirkan kata nāẓirah tidak terpaku pada satu pendapat.

Al-Zamakhsyarī menafsirkan “nāẓirah” dengan mentakwilkan

makna dhahir kata tersebut kepada makna al-tawaqqu‟ wa al-rajā

(berharap).103

Sebenarnya, ayat ini berbicara tentang kemampuan

manusia untuk melihat Allah secara langsung pada hari kiamat.

Namun, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini dipengaruhi oleh

salah satu prinsip madzhab Mu‟tazilah yang dianutnya, yakni prinsip

al-tauhīd. Dalam prinsip al-tauhīd kaum Mu‟tazilah menolak adanya

tajsīm (penyerupaan terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi

pada penafsirannya bahwa melihat Tuhan adalah suatu hal yang

mustahil. Sehingga jika lafaz nāẓirah dimaknai sebagai “melihat”,

tentu penafsiran semacam ini akan menyalahi dan merusak paham al-

tauhīd yang beliau yakini. Oleh karena itu, kata nāẓirah yang

bermakna melihat, beliau palingkan maknanya ke makna lain, yaitu

al-raja (mengharap).

4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr al-Kasysyāf

103

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz 6. h. 270.

Page 58: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

47

Al-Zamakhsyarī adalah pemuka Mu‟tazilah yang mahir dalam berbagai

disiplin ilmu. Mulai dari bidang kebahasaan, „ulūm al-Qu‟ran, fiqih, dan lain

sebagainya. Sebagai mufassir beliau juga mahir di bidang ilmu qiraat. Beliau

belajar ulum al-Qur‟an dan qiraat pada beberapa gurunya, diantaranya, Ibnu

al-„Ārif; Ahmad bin Muhammad (w. 536 H), al-Khasyab; Abdullah bin Ahmad

(w. 567 H), al-Syātibi; al-Qāsim bin Firāh (w. 590 H).104

Keahlian beliau dalam bidang ilmu qiraat dituangkan dalam Tafsīr al-

Kasysyāf. Dalam kesimpulan beberapa karya ilmiah disimpulkan bahwa beliau

kurang memperhatikan kualitas qiraat yang dicantumkannya. Bahkan tak

jarang beliau menggunakan qiraat hanya untuk memperkuat pandangannya

juga membantu penafsirannya.105

Imām al-Zamakhsyarī dalam memaparkan qiraat dalam penafsirannya,

cenderung mengambil qiraat yang dianggap sesuai dan mendukung

argumentasinya.106

Contoh sederhana, ketika al-Zamakhsyarī menterjemahkan

kata “ḥatta yathurn” dalam QS. Al-Baqarah ayat 222, beliau mengambil qiraat

„Abdullah yang membaca “yattahharna” dengan tasydīd yang memiliki arti

“al-ightisāl” (mewajibkan mandi), sedangkan jika dibaca yathurna tanpa

tasydīd, maka artinya putusnya darah haiḍ.

Abū Hanīfah berpendapat bahwa suami boleh menggauli isterinya setelah

putus darah haidnya, jika lama masa haidnya. Meskipun belum mandi dan

tidak boleh menggauli isterinya sebelum mandi, jika masa haidnya tidak lama.

Sedangkan Imam Syāfi‟i berpendapat bahwasanya suami tidak boleh

menggauli isterinya yang putus darah haidnya sebelum mandi. Karena al-

Zamakhsyarī memilih bacaan „Abdullah dengan tasydīd yang berarti setelah

104

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 8. 105

Muhammad Abdul Ghofir, Skripsi “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi

Kitab Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil,,”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) h.

186-187. Lhat; Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis

dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” h. 7. 106

Dr. Anshori LAL, Tafsir Bil Ra‟yi Menafsirkan al-Qur‟an dengan Ijtihad, (Jakarta:

Gaung Persada Press, 2010), h. 167

Page 59: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

48

mandi, maka secara tidak langsung al-Zamakhsyarī sependapat dengan Imam

al-Syāfi‟i.107

B. BIOGRAFI IMAM FAKHRU AL-DĪN AL-RAZĪ

1. Riwayat Hidup Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi

Nama asli al-Rāzi adalah Muhammad bin „Umar bin al-Husain bin al-Hasan

bin „Ali al-Tīmi al-Bakri al-Ṭābari. Beliau memiliki banyak nama laqab dan

kunyah. Dalam Kitab al-„Aqdi al-Juman beliau dijuluki Abū „Abdullah, Abū

al-Ma‟āli, kemudian dalam Tarīkh Ibnu Khaldun beliau dijuluki Ibnu al-

Khatib, di kalangan ulama beliau masyhur dijuluk Abū al-Faḍl. Selain itu

beliau juga memiliki nama julukan seperti, al-Faqīh al-Syāfi‟i, al-Imam,

Fakhru al-Dīn, al-Rāzi dan Syaikhu al-Islām.108

al-Rāzi lahir di Madinah pada tahun 544 H (1148-1209 M) di kota Ray.

Beliau berasal dari keluarga berpendidikan. Ayahnya bernama Dhiya‟ al-Dīn

„Umar yang merupakan ulama besar yang bermadzhab Syafi‟i. Ayahnya sering

mengadakan pengajian di masjid Ray. Oleh sebab itu al-Rāzi dijuluki sebagai

ibnu Khātib (anak seorang khatib).109

Karir akademis beliau sangatlah panjang. Beliau menimba ilmu ke berbagai

guru yang ahli dalam bidangnya. Beliau berguru dari para imam tafsir, bahasa,

dan tokoh Mu‟tazilah. Mulai dari para imam tafsir beliau mengutip Ibn

„Abbās, Ibn al-Kalbi, Mujāhid, Qatadah, al-Suddi, dan Sa‟īd bin Jubair. Dari

pakar bahasa beliau mengutip al-Asmā‟i, Abū „Ubaidah, al-Farra‟, al-Zujāj,

dan al-Mubārrid. Dari kalangan para mufassir beliau mengutip Muqātil bin

Sulaiman al-Maruzu, Abū Ishāq al-Ṭa‟labi, Abū al-Hasan „Ali bin Ahmad al-

Wāhidi, Ibn Qutaibah, Muhammad bin Jarīr al-Ṭābari, Abū Bakr al-Baqīlani,

107

Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil

wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, h. 263. 108

Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafs ī r al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-

Kabir Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M), Juz I, h. 3. 109

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

(Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ,2011), h. 54.

Page 60: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

49

Ibn Furak, dan al-Qaffāl al-Ṣaṣi. Dari tokoh Mu‟tazilah ia mengutip Abū

Muslim al-Asfahāni, al-Qaḍi „Abd al-Jabbār, dan al-Zamakhsharī.110

2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi

Fakhru al-Dīn al-Rāzi merupakan sosok ulama yang mahir dalam berbagai

bidang ke-ilmuan. Beliau menuangkan ilmunya dalam banyak karya di

berbagai disiplin ilmu. Menurut Malik Abdul Hālim apabila dihitung, karya al-

Rāzi berjumlah sebanyak 200 buah.111

Sedangkan menurut Abdul Azīz Majdub

mengatakan bahwa al-Rāzi menghasilkan karya 89 buah dalam bentuk buku

maupun manuskrip. Berikut adalah karya al-Rāzi sebagaimana Sayyid Husein

mengutip dari al-Baghdadi dengan membagi karya Imam Fakhru al-Dīn al-

Rāzi dalam beberapa disiplin ilmu.

a. Bidang Tafsir

1. Mafātih al-Ghāib

2. Kitāb Tafsīr al-Fātihah, yang sekarang merupakan jilid pertama dari

kitab Tafsīr al-Kabīr

3. Kitāb Tafsīr Sūrah al-Baqarah, kitab ini juga tercakup dalam satu jilid

tetapi saat ini telah dicetak sendiri

4. Tafsīr al-Qur‟an al-Ṣaghīr, yang lebih dikenal dengan nama Asrār al-

Ta‟wīl wa Anwār al-Tanzīl

5. Kitāb Tafsīr Asmā‟ Allah al-Husnā

6. Kitāb Tafsīr al-Bayyināt

7. Risālah fī al-Qur‟an al-Tanbīh „alā Asrār al-Mau‟izah al-Qur‟an.

Kitab ini merupakan gabungan antara tafsir kalam dengan

mencantumkan ide-ide sufi metafisika di dalamnya, didasarkan pada

surat al-Ikhlas, ramalan menggunakan dasar surat al-„Ala, mengenai

kebangkitan disandarkan pada surat al-Tīn dan mengenai tekanan

pekerjaan manusia merujuk pada surat al-„Aṣr.

b. Bidang Sejarah

110

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 9. 111

Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kitab al-Misri,

1978), h. 145.

Page 61: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

50

1. Kitāb Manāqib al-Imām A‟zam al-Syāfi‟i

2. Kitāb Faḍāil al-Ṣahābah al-Rāsyidīn

c. Bidang Fiqih

1. Kitāb Mahsūl fī Usūl Fiqh

2. Kitāb al-Ma‟ālim Fiqh

3. Al-Kitāb Ihkām al-Ahkām

d. Bidang Sains dan Teknologi

1. Muhassal Afkār al-Mutaqaddimīn wa al-Mutaakhirīn min al-„Ulamā

wa al-Hukamā‟ al-Mutakallimīn

2. Al-Ma‟alim fī Usūl al-Dīn

3. Tanbīhah Isyārah fī Usūl al-Dīn

4. Kitāb al-Arbā‟in fī Usūl al-Dīn

5. Kitāb Zubdah al-Afkār wa Umdah al-Nazār

6. Kitāb Asās al-Taqdīs

7. Kitāb Tahdīb al-Dalāil wa „Uyūn al-Masāil

8. Mabāḥits al-Wujūd wa al-„Adam

9. Kitāb Jawāb al-Ghailāni

10. Lawāmi‟ al-Bayyināt fī Syarh Asmā‟ Allah wa al- Ṣifat

11. Kitāb al-Qaḍa‟ wa al-Qadar

12. Kitāb al-Khalq wa al-Ba‟ats

13. Kitāb Ismāt al-Anbiyā‟

14. Kitāb al-Riyād al-Mu‟niqāt fī Milāl wa al-Nihāl

15. Kitāb al-Bayān wa al-Burhān fī al-Radd al-Ahla al-Zaigh wa al-

Tughyān

16. Kitāb Masāil Khamsūn fī Usūl al-Dīn

17. Kitāb al-Irsyād al-Nadzar ilā Laṭāif al-Asrār

18. I‟tiqād Farq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn

19. Risālah fī al-Nubūwat

20. Kitāb Syarh al-Wajīz fī al-Ghazāli

e. Bidang Bahasa dan Retorika

1. Kitāb al-Muhassal fī Syarḥ al-Kitāb al-Mufassal li al-Zamakhsyarī

Page 62: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

51

2. Kitāb Syarh Najh al-Balāghah (tidak selesai)

3. Nihāyah al-„Ijāz fī Dāriyāt al-„Ijāz (fī „Ulūm al-Balāghah, Bayān I‟jāz

al-Qur‟an al-Syarīf)

f. Bidang Tasawuf dan Umum

1. Risālah al-Kamāliyah fī Ḥaqāiq al-Ilāhiyyah

2. Risālah Naftār al-Masdūr

3. Kitāb Risālah fī Ḍamm al-Dunyā

4. Risālah al-Majdiyyah

5. Tahsīl al- Ḥaqq

6. Al-Mabāḥits al-„Imādiyyah fī al-Maṭālib al-Ma‟ādiyah

7. Al-Laṭāif al-Ghiyāsiyah

8. Sirāj al-Qulūb

9. Ajwibāh al-Masāil al-Bukhāriyyah

10. Al-Risālah al-Saḥībiyyah

11. Bidang Filsafat

12. Al-Mabāḥits al-Masrūqiyyah

13. Kitāb Syarh „Uyūn Hikmah li Ibn Sinā

14. Nihāyah al-„Uqūl

15. Kitāb al-Mulākhas fī al-Hikmah

16. Kitāb fī Ṭarīqah al-Jadāl

17. Kitāb Risālah fī al-Su‟āl

18. Kitāb Muntakhāb Tanhalusa

19. Mabāḥits al-Jadāl

20. Kitāb al- Ṭarīqah al-„Alā‟iyyah fī al-Khilāfah

21. Kitāb Risālah al-Qudūs

22. Kitāb Tahyīn Ta‟jīz al-Falāsifah

23. Al-Barāhin al-Bahā‟iyyah

24. Kitāb Syifā‟iyyah min al-Khilāf

25. Al-Akhlāq

26. Al-Munāẓarah

27. Risālah Jauhar al-Fard

Page 63: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

52

28. Syarh Musādirah Iqlidīs

29. Kitāb Syarh Siqh al-Zayq li al-Ma‟āri

g. Bidang Ilmu Pasti/Eksak

1. Kitāb Syarh Kulliyāt al-Qanūn

2. Al-Jamī‟ al-„Ulūm

3. Kitāb fī al-Nabd

4. Kitāb al-Jamī‟ al-Kabīr al-Māliki fī al-Ṭibb

5. Sir al-Maktūm

6. Lubābu fī al-Handasah

7. Al-Ikhtiyarāt al-A‟lāiyyah fī al-Ta‟tirah al-Samāwiyyah

8. Risālah fī al-Nafs

9. Ilmu Firāsah

10. Kitāb fī al-Kamāl

11. Tasrih Min al-Ra‟s ila al-Haq.112

3. Karakteristik Kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib

a. Sejarah Penulisan Tafsīr Mafātih al-Ghāib

Kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib ditulis pada abak ke-enam Hijriyah. Pada

abad ini umat Islam mengalami masa sempit, baik dalam urusan politik,

sosial, akademis, maupun akidah. Puncak keterpurukan umat Islam terjadi

pada masa dinasti Abasiyah. Pada masa itu terjadi perselisihan madzhab dan

akidah, bahkan di kota Ray sendiri ada tiga madzhab fiqih yaitu,

Syafi‟iyyah, Hanafiyyah dan Syi‟ah. Muncul juga banyak aliran kalam dan

berbagai perdebatan. Adapun yang masyhur pada masa itu adalah Syī‟ah,

Mu‟tazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Kurrasiyah.

Berbagai alasan di atas memotivasi al-Rāzi menulis kitab tafsir yang

diberi nama Tafsīr al-Kabīr al-Rāzi atau juga sering disebut Tafsīr Mafātih

al-Ghāib dengan 8 jilid besar.113

Tafsir ini ditulis al-Rāzi sebagai reaksi

112

Sayyid Hosein Nasr, The Islamic Intelectual Tradision in Persia, (New York: Happer

Cllins, 1993), h. 108 113

Menurut al-Dzahabi, berdasarkan keterangan dari ulama, al-Rāzi tidak menyelesaikan

penulisan kitab tafsirnya, melainkan disempurnakan oleh orang lain. Ibn Hajar mengatakan,yang

menyempurnakan kitab tafsirnya ialah Ahmad ibn Muhammad ibn Abi al-Hazm Maki Najm al-

Page 64: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

53

terhadap ideologi karangan al- Zamakhsyarī. Berdasarkan pengamatan

penulis, al-Rāzi sering membantah pandangan al-Zamakhsyarī.

b. Sistematika Penulisan Tafsīr Mafātih al-Ghāib

Sistematika penulisan dalam kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib sangatlah

komperehensif. Secara ringkas, dapat dikemukakan langkah-langkah beliau

dalam menafsirkan al-Qur‟an sebagai berikut.

1. al-Rāzi ketika menafsirkan teks-teks al-Qur‟an terkadang beliau

memulainya dengan menyebutkan esensi surat dan munāsabah antar

ayat/surat.

2. Mengawalinya dengan mengemukakan berbagai macam ragam qiraat.

3. Menyebutkan riwayat asbāb nuzulnya, apabila memiliki asbāb nuzul.

4. Analisis kebahasaan yang panjang lebar. Salah satu contoh adalah

ketika beliaumemaparkan balaghah dalam menafsirkan surat al-

Baqarah ayat 185:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan

yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai

petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk

itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”

5. Menyebutkan nama surat, tempat turunnya, dan jumlah ayatnya.

Misalnya surat al-Zalzalah adalah surat Madaniyyah jumlah ayatnya

delapan.

6. Beliau dalam menafsirkan al-Qur‟an terkadang memunculkan

pertanyaan-pertanyaan. Seperti pada surat al-Isra‟ ayat 61:

Dīn al-Makhzumi al-Qumuli, wafat 727 H. sedangkan menurut ṣāḥih al-Kasyf al-Zunūn, yang

menyempurnakan kitabnya bukan hanya Najm al-Dīn, melainkan juga oleh Syihab al-Dīn Khalil

al-Khawiyyi al-Dimasyqi, wafat 639 H. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsīr wa al-

Mufassirūn, jilid I, h. 207.

Page 65: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

54

“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat:

"Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali

iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang

Engkau ciptakan dari tanah?"

7. Pada akhir pembahasan surat yang ditafsirkan oleh al-Rāzi selalu

mengatakan wallahu a‟lamu. Sekaligus diakhiri dengan shalawat

kepada Rasulullah Saw.114

c. Metode dan Corak Penafsiran Tafsīr Mafātih al-Ghāib

Secara umum metodologi tafsir yang digunakan al-Rāzi dalam kitab

Tafsīr Mafātih al-Ghāib adalah sebagai berikut.

1. Ditinjau dari segi metode, kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib menggunakan

metode tahlili dan muqarran, dengan rincian:

a. Metode taḥlīli, Tafsīr Mafātih al-Ghāib tergolong tafsir yang

menggunakan metode taḥlīli, yakni menafsirkan al-Qur‟an dengan

memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang

ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di

dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir.115

b. Metode muqarran, al-Rāzi dalam menafsirkan al-Qur‟an banyak

mengemukakan dan membandingkan pendapat para ulama.

Pendapat yang dipaparkan dari berbagai ulama dalam bidangnya,

mulai ulama mufassir, fuqahā, ulama kalam dan lain sebagainya.

al-Ammari menyatakan bahwa meskipun tafsir al-Rāzi dianggap

oleh sebagian besar ulama sebagai contoh yang sempurna dari

corak tafsir bi al-ra‟yi. Namun hal itu tidaklah menafikan tafsir

114

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

61. lihat; Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 90. 115

Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, h. 31.

Page 66: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

55

tersebut menukil dasar-dasar riwayat atau mankul.116

Diantara

pendapat ulama tafsir yang sering dinukil ialah Muqātil bin

Sulaiman al-Mawarzi, Abū Ishāq al- Ṭa‟labi, Abū Hasan „Ali bin

Ahmad al-Wāhidi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Jarīr al- Ṭabari dan Abū

Bakar al-Baqīlani. Sedangkan dari ulama kalam beliau menukil

Abū Hasan al-Asy‟āri, Abū Muslim al-Asfahāni, al-Qaḍi „Abdul

Jabbār dan al-Zamakhsyarī. Sementara dari ulama fiqih beliau

menukil imam al-Syāfi‟i, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan lain

sebagainya.

2. Segi pendekatan, kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib menggunakan

pendekatan tafsir bi al-ra‟yi (logika).117

Menurut Imam al-Zarqāni,

dalam kitabnya Manāhil al-Irfān fī „Ulūm al-Qur‟an menilai Tafsīr

Mafātih al-Ghāib memiliki pendekatan bi al-ra‟yi al-mahmud.118

Dibuktikan dengan cara interpretasi dan argumentasi yang digunakan

dalam menjelaskan ayat al-Qur‟an dengan menggunakan dalil-dalil

aqliyah (alasan rasional). Realitas al-Rāzi dengan pendekatan bi al-

ra‟yi menurut para ulama dikategorikan sebagai pelopor tafsir bi al-

ra‟yi bersama dengan al- Zamakhsyarī dengan kitab tafsirnya al-

Kasysyāf.119

3. Segi corak penafsiran. Tafsīr Mafātih al-Ghāib bercorak „ilmi, falsafi

dan adābi ijtimā‟i, dengan uraian sebagai berikut.

a. Corak „Ilmi, corak ini banyak terlihat dalam Tafsīr Mafātih al-

Ghāib. al-Rāzi sering menggunakan teori modern untuk

mendukung teorinya dalam menafsirkan al-Qur‟an terutama dalam

konteks ayat Kauniyah. Bahkan menurut pandangan Dr. Mani‟

116

Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.

249. Lihat: Dr. Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, h. 149. 117

Al-Shobuni, Pengantar Studi al-Qur‟an, terj. Muhammad Umar dan Muhammad

Masna HS, (Bandung: al-Ma‟arif, 1987), h. 227. 118

Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum al-Qur‟an, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h.

96. 119

M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,

1989), h. 205.

Page 67: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

56

„Abdul Ḥalim Mahmūd, tafsir karya al-Rāzi ini menyerupai satu

ensiklopedia besar tentang ilmu alam serta ilmu-ilmu lain yang ada

hubungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan

ilmu tafsir yang berfungsi sebagai ilmu bantu untuk memahami dan

menggali isi kandungan al-Qur‟an.120

b. Corak Falsafi, corak tafsir falsafi dapat dibuktikan dari banyaknya

al-Rāzi mengemukakan pendapat ahli filsafat dan ahli kalam. Hal

ini semata untuk menentang konsep-konsep pemikiran teologi

Mu‟tazilah. W. Montgo Mery Watt berkomentar bahwa

pembahasan al-Rāzi mengenai teologi dalam beberapa karya,

dintaranya karya tafsir yang secara otomatis menjadi karakteristik.

Serta yang menjadi pembeda dari tafsir lain adalah dimasukkan

pembahasan teologi dan filsafat dalam penafsiran yang selaras

dengan pemahaman teologi Sunni yang berkembang.121

c. Corak Adabi Ijtimā‟i, corak adabi dibuktikan dengan banyaknya al-

Rāzi dalam menafsirkan ayat sering mengurai kata dari sisi lughah

(kebahasaan) dan qawāid lughah-nya.

“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",

sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah

120

Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 249. Lihat Muhammad Husain al-

Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn,, h. 294. 121

W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, terj.Taufik Adnan Amal, (Jakarta:

Rajawali Press, 1991), h. 267.

Page 68: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

57

yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak

demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia

menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan al-Quran yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan

menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara

mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di

antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api

peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan

dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang

membuat kerusakan.”

al-Rāzi dalam menafsikan kalimat wa qālati al-yahūdu yadu

allahi maghlulatun. Kata yad dalam ayat ini tidak diartikan

secara harfiah sebagai “tangan”, melainkan ditakwilkan dengan

kata lain, yaitu ayat ini merupakan ungkapan ketidakmungkinan

memberi, karena frase ghull al-yad wa bastuha adalah majāz yang

sudah dikenal tentang kikir dan kedermawanan. Padahal bagi

kelompok Sunni lain, Mujassimah, kata yad tetap ditafsirkan

berdasarkan makna harfiahnya yaitu “tangan”, tetapi beliau

bersikukuh dengan penafsirannya dengan menyuguhkan

argumentasi khas kelompok Asy‟āriyah.122

4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib

Sebagaimana Zamakhsyarī dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, al-Rāzi dalam

mencantumkan qiraat juga memilih yang menguatkan argumentasinya.

Contohnya dalam surat al-Nisa ayat 43.

122

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 44-45.

Page 69: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

58

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat

buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak

mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);

sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi

Maha Pengampun.”

Terdapat dua versi bacaan qiraat. Ibn Katsīr, Nāfi‟, „Āṣim, Abū „Amr, dan

Ibnu „Āmir membaca Sedangkan Hamzah dan al-Kisā‟i . ءالمستم النسا

membaca لمستم النساء.123

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud المستم dalam ayat tersebut.

Ibnu „Abbās, al-Hasan, Mujāhid, Qatadah, dan Abū Hanīfah berpendapat,

bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh )الجماع( . Sementara Ibnu Mas‟ūd,

Ibnu „Umar, al-Nakhā‟i, dan Imam Syafi‟i berpendapat yang dimaksud kata

tersebut adalah bersentuhan kulit )إلتقاء البشرتين( baik dalam bentuk persetubuhan

maupun dalam bentuk lainnya.124

Al-Rāzi berkomentar bahwa pendapat yang disebut terakhir adalah rajah

(lebih kuat), karena kata al-lums dalam qiraat )أولمستم(, makna hakikatnya

adalah menyentuh dengan tangan )اللمس باليد(. Pada dasarnya, menurut al-Rāzi,

suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara itu, qiraat

)مفاعلة من اللمس( makna hakikatnya adalah saling menyentuh)أولمستم النساء( , dan

bukan berarti bersetubuh )الجماع( .125

Penafsiran tersebut diatas menjadi acuan bahwa al-Rāzi dalam memilih

qiraat untuk memperkuat argumentasinya, beliau memilih qiraat )أولمستم النساء(

yang sesuai dengan Aliran Sunni dan madzhab fiqih imam al-Syāfi‟i.

123

Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 234. 124

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115. 125

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115.

Page 70: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

59

BAB IV

ANALISA QIRAAT DALAM AYAT-AYAT

DOSA BESAR DAN PELAKU DOSA BESAR

A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi dan Nasib Pelaku Dosa Besar

Munculnya aliran-aliran teologi dipicu oleh persoalan-persoalan politik.

Persoalan politik menyangkut peristiwa pembunuhan „Utsmān bin „Affān yang

berujung pada penolakan Mu‟awiyyah atas kekhalifahan „Ali bin Abī Ṭālib.

Ketegangan antara Mu‟awiyyah dan „Ali mengkristal berujung pada perang

Shiffin yang berakhir dengan keputusan taḥkīm (arbitrase). Sikap „Ali yang

menerima tipu muslihat „Amr bin „Aṣ, seorang utusan dari Mu‟awiyyah

menimbulkan pro dan kontra. Kubu yang kontra beranggapan bahwa persoalan

yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan dengan taḥkīm. Putusan hanya datang

dari Allah dengan kembali kepada al-Qur‟an. Mereka memiliki semboyan la

hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa

Allah (tidak ada pengantara selain Allah). Mereka memandang „Ali bin Abī Ṭālib

telah berbuat salah, lalu mereka meninggalkan barisan „Ali. Dalam sejarah Islam

mereka terkenal dengan nama Khawārij, yakni kelompok yang keluar dan

memisahkan diri atau scheders.126

Pesoalan kalam pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan

mukmin. Dalam artian siapa yang telah murtad dari Islam dan siapa yang masih

tetap Islam. Kelompok Khawārij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang

bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa taḥkīm, yaitu „Ali, Mu‟awiyyah,

dan „Amr bin „Aṣ, Abū Mūsa al-Asy‟āri adalah kafir berdasarkan firman Allah

pada al-Qur‟an surat al-Māidah ayat 44.127

126

Harun Nasuton, Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

(Jakarta: UI Press,1986), h. 6. 127

Prof. Abdul Razak dan Prof. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung:

Pustaka Setia, 2015), h. 35. Liihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam,

terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.

Page 71: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

60

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)

petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara

orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh

orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka

diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi

terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah

kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang

sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,

Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Persoalan di atas menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu sebagai

berikut.

1. Aliran Khawārij memandang bahwa orang yang berdosa besar adalah

kafir, dalam arti keluar dalam Islam, atau tegasnya murtad dan wajib

dibunuh.

2. Aliran Murjiah menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap

mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah

Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

3. Aliran Mu‟tazilah yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi

mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan mukmin.

Orang yang seperti ini mengambil posisi diantara kedua posisi mukmin

dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah

bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi).128

B. Pengertian Dosa Besar dan Macam-macam Dosa Besar

a. Pengertian Dosa Besar

128

W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, h. 6-7.

Page 72: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

61

Dosa besar adalah dosa yang dikhususkan karena memiliki tingkat yang

besar dan bisanya disertai ancaman yang menakutkan. Syaikh Muhammad

bin al-„Utsāmin memberikan definisi dosa besar.

بل ،رتب عليو عقوبة خاصة بمعنى أنها ليست مقتصرة على مجرد النهي أو التحريمالكبائر ىي ما ،أو ما أشبو ذالك ،أو فليس منا ،ال بد من عقوبة خاصة مثل أن يقال من فعل ىذا فليس بمؤمن

والصغائر ىي المحرمات التي ليس عليها عقوبة. ،ىذه ىي الكبائر“Dosa besar adalah segala sesuatu yang Allah ancam dengan suatu

hukuman khusus. Maksudnya perbuatan tersebut tidak sekedar dilarang

atau diharamkan, namun diancam dengan hukuman khusus. Misalnya

disebutkan dalam salah satu dalil “barangsiapa yang melakukan ini, maka

ia bukan mukmin, atau bukan bagian dari kami”. Adapun dosa kecil adalah

dosa yang tidak diancam dengan suatu hukuman khusus”.129

Imam Haramain, al-Ghazāli dan al-Rāzi mengemukakan bahwa dosa

besar ialah setiap suatu perbuatan yang ada unsur penghinaannya terhadap

agama, ketiadaan mempedulikan perintah dan larangan agama serta tidak

menghormati taklif agama.130

Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan:

أو ،او لعنة ،ما قالو المحققون من العلماء : كل ذنب ختمو اهلل بنار -يعني : الكبيرة -هاوضابطيعني : ابن تيمية : أو نفي اإليمان. قلت ومن برئ منو –أو عذاب. زاد شيخ اإلسالم ،غضب

أو قال : ليس منا من فعل كذا أو كذا. ،رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم“Kaidah dosa besar, sebagaimana telah disebutkan oleh ulama

muhaqqiqīn, adalah setiap dosa yang Allah Swt. sangkutkan dengan laknat,

kemurkaan atau dengan adzab. Syaikhu al-Islām Ibnu Taimiyah

menambahkan, juga yang terdapat penafian keimanan. Menurutku juga

termasuk dosa yang Rasulullah Saw. melepas diri darinya, atau Nabi

mengatakan bukan bagian dari golongan kami yang melakukan ini dan

itu”.131

129

https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.html lihat: Fatwa Nurul

„Alad Darbi li Ibni al-Utsamin, Juz, II. h. 24. 130

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, al-Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1964) h. 470. 131

https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.htm Lihat: Fatḥu al-

Majīd, h. 418.

Page 73: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

62

b. Macam-macam Dosa Besar

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan dosa-dosa besar. Ada salah

satu riwayat hadis yang mengatakan dosa besar ada tujuh. Sebagaimana

hadis berikut.

قالوا يا ،عن أبي ىريرة رضي اهلل عنو عن النبي صلى اهلل عليو وسلم قال إجتنبوا السبع الموبقاتن؟ قال الشرك باهلل والسحر وقتل النفس التي حرم اهلل اال بالحق وأكل ألربا وأكل رسول اهلل وما ى

منات الغافالت. أخرجو البخاري في كتاب م الزحف وقذف الم حصنات المؤ مال اليتيم والتولي يو الوصايا.

“Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Saw. bersabda: “jauhilah oleh kalian

tujuh hal yang membinasakan! Mereka berkata: Wahai Rasulullah, apakah

tujuh hal yang membinasakan itu? Beliau bersabda: menyekutukan Allah,

sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali yang berhak

dibunuh, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada

saat jihad serta menuduh zina terhadap wanita-wanita mukmin yang

senantiasa memelihara dirinya. Hadis riwayat al-Bukhari dalam bab

wasiat”.132

Ibnu „Abbās berkata, al-kabāir itu jumlahnya lebih mendekati tujuh

puluh daripada yang tujuh.133

Demi Allah, ucapan Ibnu „Abbās di atas benar

adanya. Hadis sebelumnya tidaklah membatasi jumlah al-kabāir. Pendapat

yang benar dan dilandasi dengan dalil menyebutkan bahwa siapapun yang

melakukan perbuatan dosa yang memiliki ḥad di dunia seperti membunuh,

berizina, mencuri, atau pelakunya yang mendapat ancaman, kemurkaan

serta laknat dari Nabi Muhammad Saw. di akhirat, maka perbuatan itu

termsuk kabāir. Harus diterima pula bahwa kabāir yang satu bisa lebih

besar dibandingkan dengan kabāir yang lain. Rasūlulullah Saw. menghitung

syirik sebagai salah satu kabāir dan pelakunya kekal di neraka juga tidak

akan daimpuni selama-lamanya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Nisaa‟

48 dan 116.

132

Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 15. 133

Isnadnya ṣaḥih. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Jarir, dan al-baihaqi dalam al-

Syu‟ab (Syu‟ab al-Imān). Semua perawinya tsiqah. Imam al-Dzahabi, terj. Abu Zufar Imtihān al-

Syāfi‟i, Dosa-dosa Besar, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), h. 15.

Page 74: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

63

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia

mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang

dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka

sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”

C. Ayat-ayat tentang Dosa Besar

1. Kufur

Surat Ali Imran Ayat 91:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap

dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara

mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang

sebanyak) itu. Bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka

tidak memperoleh penolong.”

Dalam Tafsir al-Kasysyāf, lafaẓ dzahaban, naṣab karena tamyiz. „Amasy

membaca dzahabun dengan rafa‟ sebagai jawaban atas kata mil‟u, seperti yang

dikatakan: aku mempunyai dua puluh orang laki-laki. Firman Allah Swt. (falan

yuqbala) ada yang membaca falan yaqbala karena bina‟ terhadap fa‟il yakni

Allah „Azza wa Jalla, dan naṣab pada lafaẓ mil‟u, jika dibaca menjadi mil‟a

arḍi dengan meringankan hamzah.134

Al-Rāzi dalam tafsirnya, (falan yuqbala) al-Wahidi berkata penuhnya

sesuatu tergantung pada kadar proses pemenuhannya. Dibaca naṣab

(dzahaban) dalam tafsir maknanya adalah bahwa lafaẓ dzahaban merupakan

kalimat yang sempurna kecuali bila lafaẓ dzahaban menjadi mubham, seperti

dalam ungkapan: aku mempunyai dua puluh. Maka angka/jumlah adalah

maklum, sedangkan hitungan adalah mubham. Apabila aku berkata: berupa

134

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa

„Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz I, h. 580-581.

Page 75: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

64

dirham maka menjadi („adad) angka/jumlah. Sebaliknya apabila aku berkata:

dia adalah manusia paling baik yang mengabarkan kebaikannya, dan tidak

menjelaskan dalam hal apa, maka apabila aku berkata tentang teori atau

perbuatan, aku telah menjelaskan dan menonjolkannya atas tafsir. Adapun

apabila aku menonjolkannya, baginya tidaklah mengurangi dan tidak pula

mengangkat derajatnya. Maka kedudukan kata yang tepat adalah naṣab, karena

naṣab merupakan akhaffu al-ḥarakat (harakat paling ringan). Dalam hal ini,

bacaan naṣab tidak berlaku di dalam perkataan Ṣaḥibi al-Kasysyāf (al-

Zamakhsyarī): al-„Amasy membaca (dzahabun) dengan rafa‟ menjadi respon

atas lafaẓ mil‟u. seperti ungkapan: aku mempunyai dua puluh orang laki-

laki.135

al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat pada lafaẓ dzahaban, yakni qiraat

yang membaca dzahaban dan dzahabun sebagaimana juga dunikil al-Rāzi dari

al-Kasysyāf. Adapun al-Zamakhsyarī sedikit memberi penjelasan tentang qiraat

ini. Menurut beliau, jika dibaca dzahabun, perumpaannya adalah seperti aku

mempunyai dua puluh orang laki-laki yang berarti adalah jumlah atau angka.

Sedangkan al-Rāzi lebih menekankan bacaan dzahaban karena lafaẓ dzahaban

merupakan kalimat yang sempurna dengan alasan harakat yang ringan dan

beliau tidak memastikan makna tafsir yang tepat untuk lafaẓ dzahaban, karena

lafaẓ dzahaban bukan berarti jumlah, hitungan atau kadar. Beliau juga

menyatakan bahwa qiraat dzahaban tidak berlaku pada al-Zamakhsyarī.

2. Menjauhi Dosa Besar

Surat Al-Nisa‟ Ayat 31:

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang

kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-

dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

135

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz VIII, h. 144.

Page 76: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

65

Al-Zamakhsyarī dalam Tafsīr al-Kasysyāf, عه ب رهى وجبئش dibaca ب وجش

عه .yakni suatu dosa besar dari maksiat yang dilarang Allah dan Rasul رهى

Dosa besar dan dosa kecil memiliki sifat dan sandarannya. Adapun orang yang

taat namun pernah melakukan dosa besar pahalanya akan hilang. Dosa besar

ada tujuh, yakni syirik, membunuh, menuduh zina, zina, memakan harta anak

yatim, melarikan binatang, ta‟arub ba‟da al-hijrah, dan Ibnu „Umar

menambahkan sihir dan istihlal baitil haram.136

Ada pula yang membaca dengan bacaan ىفش dengan nun ḍammah ada juga

yang membaca ىفش dengan ya‟. Adapun qiraat pada lafaẓ ذخل dengan mim

ḍammah dan ada juga yang membaca ذخل dengan mim fatḥah yang memiliki

arti tempat. Keduanya kedudukannya sama menjadi maṣdar. Nudkhilkum

mudkhalan karima atau nudkhilkum madkhalan karima.137

Sesungguhnya kata kabāir disini tidak dimaksudkan sebagai kata kabīr,

dengan menisbatkan kepada sesuatu. Terlalu sempit juga jika dinisbatkan

kepada sesuatu yang lain. seperti qaul dalam dosa-dosa kecil, kecuali jika

menghukumi dengan adanya penjelasan yang mutlak bahwa makna وجبئش

adalah اىفش. Ketika menetapkan hal ini, tidak diperbolehkan bahwa maksud

ayat (إ رجزجىا وجبئش ب رهى عه) al-kufr? Karena sesungguhnya kufur bermacam-

macam: diantaranya kufur kepada Allah dan para nabi, kufur kepada hari akhir

dan syariat-syariatnya. Adapun maksud sesungguhnya dari kata اجزت ع اىفش

seperti yang telah lalu yakni غفىسا (diampuni). Hal ini sepadan dengan jelas

firman Allah Swt. ( أ ششن ثه وغفش ب دو ره شبءإ هللا ال غفش ).138

Al-Mu‟tazilah berkata sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar

wajib meminta dua ampunan atas dosa-dosa kecil. Adapun menurut kami,

sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar tidaklah wajib meminta

ampunan dosa-dosa kecil, akan tetapi sesuatu yang dilakukan tersebut adalah

136

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 62-63. 137

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, juz II, h. 63-64. 138

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.

Page 77: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

66

al-faḍlu )keutamaan( dan ihsān )kebaikan(, dan hal semacam ini sudah

dijelaskan pada dalil-dalil terdahulu.139

Qiraat al-Mufaḍil dari „Āṣim (ى dengan dua ya‟ di dua huruf atas (ىفش وذخ

ẓamir mukhatab ghaib, dan yang lainnya membaca dengan nun ىفش وىفش yang

bermaksud isti‟nāf al-wa‟di. Qiraat Nāfi‟ ( ذخل ) dengan fatḥah mim dalam

masalah haji misalnya, selebihnya dengan ḍammah, dan tidak ada perselesihan

pendapat di sini ( ذخل صذق ). Qiraat yang membaca dengan fatḥah ( ذخل )

maksudnya adalah (ىضىع اذخىي) pintu atau tempat masuk, sedangkan yang

membaca ḍammah maksudnya adalah maṣdar dan memiliki arti اإلدخبي (cara

memasukkan). Seperti ayat (وذخى إدخبال وشب) dan al-idkhāl al-kirām bermakna

sesungguhnya memasukkan dengan cara yang mulia, sebagai ganti dari firman

Allah Swt. (از حششو ع وجىهه إ جه).140

Al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi memiliki perbedaan penafsiran dalam lafaẓ

kabāiru al-itsm. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat tanpa menyebutkan

periwayatnya, dengan bacaan kabīru al-itsm, dan lafaẓ kabīrun yang spesifik

diartikan dengan kafir. Sedangkan al-Rāzi menyangkal penafsiran qiraat

tersebut bahwa makna kabāir bukanlah kafir. Sebab dalil tentang kafir sudah

disebut dalam ayat lain. Selanjutnya, pada qiraat madkhalā. Al-Zamakhsyarī

dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat madkhalā dan mudkhalā.

Perbedaanya adalah al-Zamakhsyarī hanya menjelaskan kedudukannya.

Sedangkan al-Rāzi memberikan penjelasan, apabila madkhala artinya adalah

tempat maka makna mudkhala dari kata al-idkhal yakni cara masuknya. Selain

itu, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat yukaffir dan

nukaffir. Adapun bedanya al-Rāzi mencantumkan qiraat nudkhilkum pada lafaẓ

yudkhilkum. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak mencantumkan qiraat tersebut.

Al-Zamakhsyarī juga berpendapat bahwa ampunan dosa besar harus diiringi

dengan ampunan dosa kecil. Adapun al-Rāzi menyanggah perkataan tersebut,

beliau beranggapan bahwa ampunan dosa besar tidaklah harus mendapatkan

139

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāi, juz X, h. 81. 140

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.

Page 78: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

67

ampunan dosa kecil terlebih dahulu. Beliau juga menyangkal bahwa orang

yang tidak menjauhi dosa besar bukan berarti ia kafir.

3. Kufur

Surat al-Māidah ayat 36-37:

“36. Sesungguhnya orang-orang yang kafir Sekiranya mereka mempunyai

apa yang dibumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula)

untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan

itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. 37.

mereka ingin keluar dari neraka, Padahal mereka sekali-kali tidak dapat

keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.”

Dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah Swt. (شذو أ خشجىا) qiraat

Abū membaca أ خشجىا dengan ḍammah ya‟ dari kata أخشج. Firman Allah

( qiraat Abū yang telah umum membaca (ثخشج Adapun menurut .ثخبسج

riwayat dari Ikrimah bahwasanya Nāfi‟ bin Azraq berkata kepada Ibnu „Abbās,

“Wahai orang yang buta mata dan buta hati yang menuduh bahwasanya suatu

kaum akan keluar dari neraka”.141

Firman ( ثخشج ب ه maka berkata dia (و

berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan aku membaca sesuai dengan bacaan di

atas ( maksudnya hadza li-al-kuffār (ini adalah untuk orang-orang (ثخبسج

kafir). Maka al-mujribatu (orang-orang yang terpaksa)142

benar-benar telah

141

Mahmud Berkata: “Wahai orang yang buta mata dan buta hati menuduh bahwasanya

suatu kaum akan keluar dari neraka…”. Ahmad berkata: pada pembahasan ini, merupakan ucapan

dengan bahasa kasar yang ditujukan kepada ahlussunnah dan mereka (ahlu sunnah) telah

menampik dengan sesuatu yang tidak mereka ucapkan tentang perkataan di atas, dari berita-berita

bohong yang bercampur fitnah-fitnah yang tidak megenakkan hati yang dipenuhi dengan cinta

sunnah dan ahlu sunnah dengan maksud pembelaan dan klarifikasi. Dan kami akan mengoreksi

cerita ini, dan Allah tidak akan menangguhkan kebenaran akidah sesuai dengan kebenarannya.

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn

al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232. 142

Ungkapan “Maka al-mujribatu (orang-orang yang terpaksa) benar-benar telah

berbohong” ialah pendapat ahlu sunnah dengan mengeluarkan orang yang berdosa besar dari

neraka karena ia stastusnya mukmin, hal ini berberda dengan Mu‟tazilah, orang-orang berkata “la

mu‟min wa la kafir bal wasatahu” bahwa pendosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula kafir

Page 79: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

68

berbohong. Yang mana pada awalnya mereka tidak berbohong dan mengelak.

Hal semacam ini menguraikan maksud-maksud Ibnu al-Azrāq Ibnu Ammi

Rasulullah Saw. ia menjelaskan bahwa telah jelas tertolong dari kaum Quraisy

yang dikecualikan143

dari bani „Abdul Muṭālib. Ibnu Azrāq telah menjelaskan

kabar ini kepada umat dengan penjelasannya yang mendalam. Dari konteks

penjelasan ini, janganlah hanya mengaitkan contoh satu orang dengan

banyaknya penduduk bumi.144

Dalam kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib, mereka (para pendosa) menghendaki

keluar karena ada dua perkara. Pertama, bahwasanya mereka telah

menghendaki demikian, dan mereka telah mencari tempat keluar seperti dalam

firman Allah Swt. ىا هأ أعذ فهب()وب أسادوا أ خشج . Dikatakan jika api menyala

mengangkat mereka ke atas maka di sanalah mereka berharap keluar. Dan

dikatakan mereka menghendaki keluar karena kuatnya api neraka dan api

tersebut mendorong mereka. Kedua, sesungguhnya mereka berharap keluar dan

menghendaki dengan hati mereka. Seperti firman Allah Swt. dalam tema lain

شذو أ ) pandangan ini dikuatkan dengan qiraat yang membaca (سثب أخشجب هب)

.‟dengan menḍammahkan ya (خشجىا ابس145

Kami berpendapat tentang ayat ini, bahwasanya sesungguhnya Allah Swt.

mengeluarkan dari neraka bagi orang yang melafalkan la ilaha illa Allah

dengan ikhlas. Mereka berkata bahwasanya Allah Swt. menjadikan makna ini

sebagai hidayah kepada orang-orang kafir, dan berbagai macam ketakutan

mereka kepada Allah Swt. terhadap ancaman yang pedih. Jikalau pun tidak,

sesungguhnya makna ini adalah mengkhususkan orang-orang kafir dan jikalau

akan tetapi ada di tengah-tengahnya. Dan pembahasan ini telah dijelaskan dalam ilmu tauhid. Abū

al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-

„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232. 143

Ucapan “dan yang dikecualikan” dalam al-Shihah: merupakan seorang laki-laki yang

berbeda, pamannya nabi dan saudara-saudara nabi terdahulu yang mulia. Abū al-Qāsim Mahmūd

ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-

Ta‟wīl, juz II, h. 232. 144

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232. 145

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XI, h. 227-228.

Page 80: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

69

pun tidak dikhususkan terhadap orang-orang kafir. Hanya Allah Swt. yang

mengetahu maknanya. Wallāhu a‟lamu.146

Penafsiran di atas, pada lafaẓ شذو أ خشجىا ابس. Al-Zamakhsyarī dan

al-Rāzi mencantumkan qiraat yang membaca أ خشجىا dengan menḍammahkan

ya‟. Adapun yang membaca أ خشجىا menurut al-Rāzi menguatkan pandangan

bagi mereka yang berharap keluar dari neraka dan menghendaki dengan hati

mereka.

Adapun pada lafaẓ وب ه ثخشج ditafsirkan orang-orang yang berjuang

untuk keluar dari neraka. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat ثخبسج. Beliau

juga memilih bacaan ini, karena sesuai dengan argumentasinya. Menurut beliau

maksud dengan memilih qiraat adalah ditujukaan untuk orang-orang ثخبسج

kafir. Beliau menentang pendapat ahli sunnah yang berpendapat orang yang

berdosa besar masih mukmin dan bisa masuk surga. Beliau berargumen bahwa

orang kafir tidak bisa keluar dari neraka juga tidak di surga. Hal ini beliau

jelaskan dengan cerita paman Nabi („Abdul Muṭālib) yang kafir namun dapat

keluar dari neraka. Namun beliau memperingatkan bahwa itu hanyalah orang

yang dikhususkan, dan hal semacam ini tidak berlaku untuk seluruh umat

manusia. Berbeda dengan al-Rāzi, bahwa orang kafir masih bisa keluar dari

neraka bagi mereka yang mengucapkan lā ilāha illa Allah dengan ikhlas.

4. Kufur (Menyembah Ṭāghut)

Surat al-Maidah ayat 60:

“60. Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-

orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi

Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka

(ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?".

mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”

146

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāibjuz XI, h. 228.

Page 81: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

70

Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah Ta‟āla ( ل ه أجئى ثشش راه ثىثخ

ثىثخ dibaca ,ثىثخ lafaẓ (عذ هللا , dan contoh keduanya شىسح dan شىسح . Jika aku

berkata: perbuatan fasik bisa dihilangkan dengan kebaikan. Lantas bagaimana

yang dimaksud kebaikan dalam keburukan? Perbuatan fasik mendapatkan

hukuman, seperti ungkapan dari al-Wafir:

رحخ ثه ضشة وجع * ..................…………147

Firman Allah Ta‟ala ( و عجذ اطغىد) „aṭaf atas silah148

“ ” seperti yang

dikatakan عجذ اطغىد .maknanya sama وعجذوا اطغىد Qiraat Ubay membaca .و

Sedangkan qiraat dari Ibnu Mas‟ūd و عجذوا اطغىد, dan dibacaوعبثذ اطغىد

„aṭaf pada lafaẓ امشدح. Dibaca وعجذ ,وعجبد ,وعبثذ dan وعجذ maknanya sama yakni

melampaui batas dalam urusan „ubūdiyyah. Seperti ungkapan mereka: laki-laki

yang hati-hati dan cerdas untuk menyampaikan dalam kehati-hatian dan

pemahaman. Al-Kāmil berkata:

أث ج سذ عزشفب * ىى أأل ى أحذ

عجذ أثبو خ وإ * أ ى أ إ ج أث149

147

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 261. 148

Mahmud berkata: (“wa „abda al-thagut „aṭaf atas silah „man‟….”). Ahmad berkata:

pertanyaan-pertanyaan wajib dari faham Qadariyyah sebab mereka mengira bahwasanya Allah

menginginkan mereka untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Sesungguhnya

mereka menyembah berhala-berhala merupakan perbuatan yang keji, dan Allah tidak menghendaki

orang-orang yang berbuat keji akan tetapi membalikkan wujud membelakangi orang yang

mengharapkan-Nya. Oleh sebab itu al-Zamakhsyari berkomentar soal takwil kejadian dengan tidak

memberikan perolongan-pertolongan atau dengan hukum. Seperti dalam firman Allah Ta‟ala (wa

ja‟alnahum aimmata yad‟uuna ila al-nar) dengan artian kami telah menghukumi mereka dengan

hal tersebut. Pemahaman seperti ini merupakan kaidah faham Qadariyah. Adapun akidah ahlu

sunnah yang sepakat ayat ini dipandang secara dhahir, “Bahwa Allah Ta‟ala membelah dan

menciptakan dalam hati mereka mentaati berhala-berhala dan menyembahnya, Allah maha

berkehendak atas sesuatu dan tidak berkehendak atas apa yang tidak Ia kehendaki”. Adapun

apabila dikembalikan kepada faham Qadariyah tentang sebenarnya orang yang tidak tertolong atau

yang dihukum dengan mengeluarkan takwil, “Allah tidak mentakdirkan darinya atas hakikat

dirinya, juga tidak menjelaskannya tanpa penciptaan, jikalau ia memahami kebaikan dan

meninggalkan urusan-urusan yang buruk dan memperluas angan-angan. Dan sesungguhnya Allah

Maha Pengasih lagi Maha Penolong”. Lihat: Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī,

al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262. 149

Aus bin Hajar, dan dikatakan kepada Turfah bin bin al-„Abd huruf hamzah untuk al-

Nida (panggilan). Sedangkan makna al-„abdu ialah kehati-hatian dalam bidang ubudiyyah. Al-

Page 82: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

71

Lafaẓ وعجذ dengan wazan حط. Sedangkan lafaẓ عجذ dari عجذ dengan

ḍammatain jamaknya عجذ. Kata وعجذح dengan wazan وفشح. Kata عجذ, asli katanya

adalah عجذح ialah membuang ta‟ sebab iḍafah atau seperti lafaẓ خذ dengan

jamak خبد. Sedangkan وعجذ,150

sebagai bina‟ karena عجذ اطبغىد dan وأعجذ ,وعجبد

maf‟ūl dan membuang raji‟, memiliki makna وعجذ اطبغىد فه او ثه

(menyembah berhala-berhala di dalam diri mereka atau dihadapan mereka).

Sedangkan qiraat وعجذ اطبغىد memiliki makna صبس اطبغىد عجىدا دو هللا

menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt., seperti

kamu berkata: ( أش) إرا صبس أشا (menjadikan seorang pemimpin). Adapun

bacaan lain seperti qiraat al-Hasan membaca (اطىاغذ).

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, ثىثخ naṣab karena tamyiz, dan wazan-nya

.mengandung makna maṣdar جىصح dan مىخ seperti kamu berucap ,فعىخ

Banyak sekali contoh maṣdar-maṣdar yang menjadi maf‟ul, seperti اعمىي dan

.اسىس151

Ṣahibi al-Kasysyāf telah menyebutkan pada firman Allah Swt. (عجذ اطبغىد)

memiliki beragam versi qiraat. Pertama, qiraat Ubay membaca وعجذوا اطبغىد.

Kedua, qiraat Ibnu Mas‟ūd و عجذوا. Ketiga, qiraat طبغىدا وعبثذ „aṭaf pada

lafaẓ امشادح. Keempat, qiraat وعبثذ, Kelima, qiraat وعجبد. Keenam, qiraat وعجذ.

Ketujuh, qiraat وعجذ dengan wazan حط. Kedelapan, وعجذ. Kesembilan, وعجذ

dengan men ḍammatain, jamak dari kata عجذ. Kesepuluh, membaca وعجذح

Firaa meriwayatkan dengan mendhammahkan, akan tetapi ia berkata: bahwasanya dhammah ba‟

itu karena darurat. Al-Suyuthi berkata: bahwasanya dengan mendhammahkan isim jamak li‟abdi

dengan mensukun. Akan tetapi secara dhahir bertentangan dengan baitnya. “Wahai anak-anakku,

dihadapanku engkaulah orang yang tidak tahu kalau ada orang yang paling hina diantara kalian,

maka sesungguhnya bapak-bapak kalian adalah para budak”. Oleh sebab itu, kata al-amatu

mengkhususkan kepada budak wanita dan „al-abdu pada seorang budak laki-laki. Pengertian yang

beredar dalam bahasa dan mereka memanggil dengan panggilan yang asing. Karena bahwasanya ia

menyesali karena menghadap dengan mencela, dan berulang-ulang kali al-Nida ma‟a idhafah

karena untuk meringankan mereka. Lihat: Diwanuhu, h. 21, al-Lisanu (al-abdu), Bahr al-Muhith

Juz III, h. 530., al-Darr al-Masun, Juz II, h. 558. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-

Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II,

h. 262. 150

Ungkapan (wa „abada) kira-kira dengan fathah „ain dan dhammah ba‟ („abuda)

kanadsin (seperti makna kecerdasan ). Maka hal seperti ini merusak kebenaran. Lihat: Abū al-

Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-

„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262. 151

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 38.

Page 83: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

72

dengan wazan وفشح. Kesebelas, وعجذ yang asal katanya عجذح dengan membuang

ta‟ karena iḍafah, atau seperti kata خذ dengan jamaknya خبد. Keduabelas,

qiraat عجذ. Ketigabelas, qiraat عجبد. Keeempatbelas, qiraat وأعجذ. Kelimabelas,

membaca وعجذ اطبغىد ala bina li al-maf‟ul dan membuang rāji‟, yang memiliki

makna وعجذ اطبغىد dan menyembah berhala-berhala dalam diri mereka ataupun

di hadapan mereka. Keenambelas, وعجذ اطغىد bimakna صبس اطغىد عجىدا دو

.Menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt .هللا رعب

Seperti kamu berucap (أش) dalam kalimat إرا صبس أشا (menjadikan seorang

pemimpin).152

Qiraat Hamzah membaca عجذ اطبغىد dengan fatḥah „ain, menḍammahkan

ba‟, menaṣabkan dal dan men-jar-kan lafaẓ al-taghut. Mereka mengukuhkan

qiraat Hamzah dan yang lainnya serta menisbatkan pada sesuatu yang mestinya

tidak diperbolehkan menyebutkannya. Kaum berkata: إهب سذ ثح وال خطأ

(sesungguhnya tidak ada kekeliruan dan kesalahan dalam qiraat).153

Adapun mereka telah menyebutkan tujuan-tujuan (maksud) bacaan.

Pertama, sesungguhnya اعجذ ialah اعجذ kecuali mereka menḍammahkan ba‟

untuk memperkuat penjelasan. Seperti ucapan mereka: seorang laki-laki yang

berhati-hati dan cerdas untuk menyampaikan dalam kehati-hatian dan

kecerdasan. Maka takwil lafaẓ بغىدعجذ اط adalah penyampaian tujuan dalam

ketaatan kepada syaitan. Dan ini merupakan tujuan yang paling baik. Kedua,

bahwasanya اعجذ dan اعجذ merupakan dua kata. Seperti kata mereka سجع wa سجع.

Ketiga, kata اعجذ jamaknya عجبد, dan اعجبد jamaknya عجذ, seperti kata ثبس dan ثش,

kemudian mereka menitik beratkan pada ḍammatain yang berlipat ganda

kemudian menggantikan yang pertama dengan fatḥah. Keempat, menginginkan

bacaan أعجذ اطبغىد, seperti contoh فس dan أفس (uang dan beruang), kemudian

membuang hamzah dan memindahkan harakat hamzah pada „ain. Kelima,

yang menginginka bacaan وعجذح اطبغىد, seperti yang telah dibahas, yakni

152

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39. 153

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39.

Page 84: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

73

membuang huruf ha‟ dan menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il. Seperti

qiraat Hamzah „abuda.154

Penafsiran di atas, dalam tafsir al-Kasysyāf lafaẓ matsubatan dalam salah

satu qiraat dibaca matswabatan seperti masyuratan dan masywaratan. Pada

penafsiran di atas, pembahasan lebih dominan pada lafaẓ „abada al-ṭāguta

karena memiliki banyak versi bacaan. Menurut al-Rāzi ada 16 versi qiraat pada

lafaẓ „abada al-ṭāguta sebagaimana yang beliau nukil dari Ṣahibi al-Kasysyāf

Al-Zamakhsyarī menafsirkan qiraat „abuda, „abda, „ibādi dan „ābidi dengan

ya‟ maknanya adalah melampaui batas. Sedangkan qiraat yang membaca

„abuda, „ibāda, a‟budu dan „ubda al-ṭāguta memiliki makna mereka

menyembah berhala-berhala dalam diri mereka atau di hadapan mereka.

Adapun qiraat yang membaca a‟bada al-ṭāguta maknanya adalah menjadikan

berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt.

Al-Rāzi menyayangkan pencantuman qiraat Hamzah yang membaca

„abuda dan men-jarkan lafaẓ al-ṭāghuta yang dicantumkan di dalam al-

Kasysyāf. Menurut al-Rāzi pencantuman tersebut hanya untuk suatu

kepentingan saja. Beliau berpendapat, memang tidak ada yang salah dalam

qiraat, namun qiraat semacam ini semestinya tidak perlu dicantumkan. Lebih

lanjut beliau menjelaskan tujuan-tujuan mencantumkan qiraat. Bahwasanya

„abada dan „abadu adalah sama, kecuali menḍammahkan ba‟ untuk

menguatkan penyampaian. Kedua, bahwasanya al-„bda dan al-ab‟du

merupakan dua bahasa yang berbeda, seperti sab‟u dan sab‟a. Ketiga

bahwasanya „abdu jamaknya „ibad dan al-„ibādu jamaknya „abdu. Keempat,

bacaan „abudu al-ṭāguta umpamanya seperti falasa dan aflasa. Kelima „ubdatu

al-thaguta setelah itu kemudian dibaca dengan membuang ha‟ dan

menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il “„abuda” seperti qiraat Hamzah di

atas.

5. Orang-orang yang Ditangguhkan Nasibnya

Surat Al Taubah Ayat 106:

154

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39-40.

Page 85: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

74

“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada

keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengadzab mereka dan adakalanya

Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana.”

Al-Zamakhsyarī dalam tafsirnya, kata شجى dibaca (شجى dan شجئى )

dari kata أسجزه, dan kata أسجأره: jika belakangan dijumpai, di antaranya kata

شجئخ yakni orang-orang dari golongan mukhtalif (berselisih) yang أ

menggantungkan urusannya. Qiraat ( حى dalam qiraat Abdullah dibaca (وهللا ع

( dan adapun terhadap para hamba, maksudnya adalah mereka (وهللا غفىس سح

khawatir terhadap siksa-siksa,155

dan mereka mengharapkan rahmat.156

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, qiraat Hamzah, Nāfi‟, al-Kisā‟i, dan Ḥafs

dari „Āṣim membaca شجى tanpa hamzah dan selain bacaan tersebut membaca

dengan hamzah. Secara bahasa keduanya memiliki arti arja‟at al-amru

(mengharapkan sesuatu) wa arjaituhu bil hamz wa tarkuhu, jika belakangan

dinamakan murjiah, maksud dari nama ini adalah karena sesungguhnya mereka

tidak mengharuskan ucapan orang yang betaubat dengan istighfar (ampunan)

akan tetapi mereka menginginkan ridha Allah Ta‟ala. Imam al-Auzā‟i berkata

karena mereka beramal berdasarkan iman.157

Al-Rāzi menambahkan, al-Hasan berkata yang dimaksud murjauna dalam

ayat (وأخشو شجى ألش هللا) adalah kaum dari orang-orang munafiq, mereka

mengharapkan untuk diakui kehadirannya oleh Rasulullah. al-Rāzi juga

memberikan penjelasan dari al-Zamakhsyarī sesungguhnya kalimat ب ب dan إ أ

ب Allah Swt. telah mensucikan darinya. Dan jawaban yang dimaksud dari .شه أ

155

Ucapan “wa imam lil „ibadi ai khafu „alaihim” ibarat menurut saya (al-Zamakhsyari)

adalah karena keraguan orang yang kembali kepada seorang hamba. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn

Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,

juz III, h. 90. 156

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz III, h. 90-91. 157

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 195.

Page 86: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

75

dan ب adalah soal kekhawatiran dan kecemasan dengan penuh harapan. Maka إ

para manusia berkata binasalah jika maaf mereka tidak diterima Allah, dan

sebagian orang berkata mengharapkan kepada Allah untuk mengampuninya.

Al-Rāzi menambahkan, kaum-kaum yang menyesali jaganlah ragu atas perang

dan perselisihan dari Rasulullah Saw. karena Allah Ta‟ala tidak akan

menghukum orang yang bertaubat dan firman Allah Swt. ( ب عزثه إ )

menunjukkan bahwa sesungguhnya satu penyesalan tidaklah sempurna di

dalam kesungguhan bertaubat.158

Dalam dua penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī sama-sama

mencantumkan qiraat pada lafaẓ murjauna dengan bacaan murjauna dan

murja‟ūna dengan hamzah. Dalam lafaẓ murja‟uuna dengan hamzah muncul

kata al-murji‟ah, menurut al-Zamakhsyarī artinya ialah sekelompok orang

yang berikhtilāf (berselisih) dan menggantungkan urusannya. Sedangkan al-

Rāzi memaknainya bahwa mereka tidak mengharuskan ucapan orang yang

betaubat dengan istighfar (ampunan) akan tetapi mereka menginginkan riḍa

Allah Ta‟ala dan alasan utamanya karena landasan mereka beramal dengan

iman. Dalam hal ini, yang menjadi pembedanya adalah, al-Zamakhsyarī

mencantumkan qiraat wallāhu „alīmun hakīmun dengan bacaan wallāhu

gahfūrun rahīmun, dengan artian bahwa orang-orang yang mengkhawatirkan

atas siksa-siksa, mereka mengharapkan ampunan dan kasih sayang Allah Swt.

Adapun al-Rāzi tidak mencantumkan qiraat tersebut.

6. Syirik, Membunuh dan Zina

Surat al-Furqan ayat Ayat 68-70:

158

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 196.

Page 87: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

76

“68. dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta

Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)

kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang

melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).

69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia

akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina. 70. kecuali orang-orang

yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan

mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.”

Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah (ك أثبب) dalam qiraat ada yang

membaca ك فه أثبب, ada pula yang membaca م dengan menisbatkan alif.

dikatakan al-itsmun maknanya ك جضاء أثب (balasan yang setimpal dengan dosa-

dosa). Ibnu Mas‟ūd membaca أبب yang berarti syadīdun (sangat pedih). Juga

dikatakan yauma dzu ayyam: liyaumi al-„aṣīb. Adapun kata (yuḍa‟if) badal dari

yalqa, karena keduanya memiliki makna satu. Seperti dalam syair.159

ثب ف دبسب ز رأرب ر ب جضال وبسا رأججبرجذ حطج *

Bacaan yuḍa‟ifu dan nuḍa‟ifu lahu al-„adzāba dengan nun dan naṣab pada

kata al-adzāba. Ada juga yang membaca rafa‟ pada kata al-adzāba

kedudukannya menjadi isti‟nāf atau kedudukannya menjadi hāl. Kata yakhladu

dibaca yukhladu karena bina‟ kepada maf‟ul mukhaffafan meringankan dan

mutsaqqalan memberatkan dari ikhlādi dan al-takhlidi. Ada pula yang

membaca takhludu dengan ta‟ „ala al-iltifāt.160

Lantas apa arti melipat gandakan siksa-siksa dan menggantikan

keburukan-keburukan dengan kebaikan? Aku berkata: jika orang musyrik

melakukan maksiat dan syirik bersamaan, ia akan mendapatkan siksa atas

perbuatan syirik dan maksiat pula. Maka akan dilipatgandakan hukuman

kepada orang yang melipatgandakan kesalahannya. Maksud mengganti

159

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 371-372. 160

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372.

Page 88: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

77

keburukan dengan kebaikan ialah dengan menghapusnya dengan taubat, dan

kebaikan-kebaikan adalah iman, taat, dan taqwa. Dikatakan syirik diganti

dengan iman, membuh muslim diganti dengan membunuh musyrikin dan zina

diganti dengan menjauhkan diri dari perbuatan keji.161

Tafsīr Mafātih al-Ghāib, apa maksud al-atsām? Jawabannya ada beberapa

versi. Pertama, bahwa arti atsām adalah balasan atsām (dosa-dosa) dengan

wazan al-wabāla wa al-nakāla. Kedua, pendapat Abī Muslim bahwa al-atsām

dan al-itsmu adalah satu, dan maksudnya disini adalah balasan dosa-dosa yang

kemudian menetapkan nama sesuatu atas balasannya. Ketiga, al-Hasan berkata

al-atsām adalah nama dari nama-nama neraka, dan Mujāhid berkata atsāman

ialah jurang dalam neraka, dan Ibnu Mas‟ūd membaca ayāma, yakni sangatlah

pedih, seperti yang dikatakan yauma dzu atsami liyaumi al-„aṣīb hari dimana

para pendosa pada hari pembalasan yang amat panas.162

Lafaẓ yud‟afu dibaca yud‟afu dan nud‟afu lahu al‟adzab dengan nun dan

naṣab pada lafaẓ al-adzaba, dibaca rafa‟ sebab isti‟naf atau sebab haal.

Begitupun pada lafaẓ yakhladu sebab bina‟ li al-maf‟ul yang meringankan dan

memberatkan dari ikhladi dan al-takhlidi, dibaca al-takhlidi sebab al-iltifat.163

Penafsiran al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi dalam mencantumkan qiraat

hampir sama dan tidak ada perbedaan penafsiran. Perbedaannya hanya al-

Zamakhsyarī mencantumkan qiraat pada lafaẓ yalqa atsāma dengan qiraat م

Keduanya juga mencantumkan qiraat Ibnu Mas‟ūd yang membaca yalqa .أثبب

ayāma yang berarti hari pembalasan yang amat pedih.

7. Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt.

Surat al-Zumar ayat 53:

161

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372. 162

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111. 163

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111.

Page 89: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

78

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap

diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah

yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, lafaẓ (ال رمطىا) dibaca dengan memfatḥah

nun ال رمطىا, meng-kasrah nun ال رمطىا, dan menḍammah nun ال رمطىا. Adapun

lafaẓ (هللا غفش ازىة جعب .yakni dengan syarat bertaubat (إ164

Adapun firman

Allah Swt. (غفش ازىة جعب) dalam qiraat Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd dibaca

orang yang) ربة maksud dari bacaan tersebut adalah (غفش ازىة جعب شبء)

bertaubat), karena sesungguhnya kehendak Allah sesuai dengan kebijaksanaan-

Nya dan keadilan-Nya, bukan karena kepemilikan-Nya dan kekuasaan-Nya.

Dikatakan dalam qiraat Nabi Saw. dan Faṭimah r.a. (غفش ازىة جعب وال جب)

yang artinya “Allah mengampuni semua dosa-dosa dan tidak diberikan

musibah”. Kami melihat tidak ada yang menarik perhatian juga tidak

menakutkan, seperti dalam firman Allah Ta‟āla surat al-Syams ayat 15 ( وال خبف

.(عمجبهب

Dikatakan ahlu Makkah berkata nabi Muhammad Saw. menganggap

bahwasanya orang yang menyembah berhala-berhala dan membunuh jiwa

sebagaimana yang telah dilarang Allah, maka tidak ada ampunan baginya. Lalu

bagaimana jika kami belum berhijrah, sedangkan kami masih menyembah

berhala-berhala dan kami membunuh jiwa sebagaimana yang telah Allah

haramkan? Diriwayatkan bahwasanya „Iyās bin Abī Rabī‟ah dan Walīd bin al-

Walīd masuk Islam dan keduanya berpaling, kemudian mereka disesatkan dan

disiksa, maka mereka tersesat, oleh sebab itu kami berkata, “Allah tidak akan

menerima mereka dengan benar-benar menolak dan tidak ada keadilan

selamanya”.165

164

Ungkapan (ya‟ni bisyarthi taubah), adanya pertaubatan karena umumnya ada unsur

syirik. Adapun jika tidak bertaubat maka tidak ada ampunan terhadap dosa-dosa besar, hal ini

menurut faham Mu‟tazilah. Dan orang yang berbuat dosa besar masih mendapatkan syafaat

dengan hanya bermodalkan keutamaan, menurut ahlu sunnah, (Inna Allaha laa yaghfiru an

yusyraka bihi wa yaghfir maa duuna dlalika liman yasyaa) sebagaimana telah dijelaskan dalam

ilmu tauhid. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312. 165

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312-313.

Page 90: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

79

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, Nāfi‟ Ibnu Katsīr, Ibnu „Amir dan „Āṣim

artinya dikhusukan terhadap orang-orang mukmin. dengan memfatḥah (ب عجبدي)

ya‟ dan yang lainnya „Āṣim dalam beberapa riwayat dengan mengesampingkan

fatḥah, dan semuanya sepakat dengan menetapkan ya‟ karena sesuai dengan

ketetapan dalam mushaf. Kecuali dalam salah satu riwayat Abi Bakr dari

„Āṣim menetapkan tanpa ya‟. Sedangkan qiraat Abū „Amr dan Kisā‟i lafaẓ ( ال

dengan mengkasrah nun, dan yang lainnya dengan mem (رمطىا سحخ هللا

fatḥah nun, dan ini adalah dua bahasa yang berbeda. Ṣahibi al- Kasysyāf

menukil qiraat Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd (غفش ازىة شبء).166

Al-Rāzi dalam menafsirkan lafaẓ (ال رمطىا) maksudnya mencegah mereka

agar tidak berputus asa, karena lafaẓ ini mengandung perintah untuk berharap

kebaikan, maka jika ada perintah berharap tidak pantas baginya kecuali

mengagungkan perintah. Adapun makna (غفش ازىة جعب) maksudnya bukan

sebagai tujuan, akan tetapi mengikutkan arti lafaẓ untuk menunjukkan terhadap

ta‟kīd maka lafaẓ jamī‟an juga merupakan bagian dari ta‟kīd. maksud ayat ini

bahwa Allah adalah Maha Pengampun atas segala dosa-dosa yang menimpa

orang mukmin. Maksudnya adalah bahwa ayat ini tidak mungkin menentang

atas ẓahirnya. Dan suatu keharusan adanya dosa-dosa pasti mendapat

ampunan.167

Penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī memiliki perbedaan dalam

pencantuman qiraat. al-Rāzi mencantumkan qiraat pada lafaẓ qul ya „ibādiya

dengan tiga bacaan, yakni ya „ibādiya, ya „ibādī dan ya „ibādi dengan tafsiran

hanya mengkhususkan untuk orang mukmin. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak

mencantumkan qiraat tersebut. Pada lafaẓ wa la taqnatū, al-Zamakhsyarī

mencantumkan qiraat yang membaca dengan memfatḥah pada huruf nun,

mengkasrah nun dan menḍammah nun. Sedangkan al-Rāzi pada lafaẓ tersebut

hanya mencantumkan qiraat yang membaca memfatḥah nun dan mengkasrah

nun. Menurut al-Rāzi bacaan kedua tersebut merupakan dua bahasa yang

166

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 5-6. 167

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 4-5.

Page 91: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

80

berbeda. Namun baik al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī kompak tidak menjabarkan

makna perbedaan qiraat tersebut.

Adapun pada lafaẓ yaghfiru al-dzunuba jamī‟an. Al-Zamakhsyarī

mencantumkan qiraat Ibnu Mas‟ūd dan Ibnu „Abbās dengan bacaan yaghfiru

al-dzunuba jamī‟an liman yasyā‟ dengan menafsirkan pengecualian yakni

orang yang bertaubat yang Allah kehendaki, dan nampaknya al-Zamakhsyarī

lebih menguatkan penafsiran ini. Karena ketika beliau mencantumkan qiraat

dari Fatimah yang membaca yaghfiru al-dzunuba jamī‟an wa la yubālā. Beliau

mamandang tidak menarik dan tidak menjerakan. Adapun al-Rāzi

mencantumkan qiraat yang juga dinukil dari al-Zamakhsyarī yaghfiru al-

dzunuba jamī‟an liman yasyā‟ dengan tanpa penjelasan.

8. Menjauhi Dosa Besar

Surat al-Syura Ayat 37:

“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji

yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha

Luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika

Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut

ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling

mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Al-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf, bahwa kabāiru al-itsmi adalah dosa-

dosa besar dari jenis ini. Dan dibaca kabīru al-istmi dari Ibnu „Abbās

raḍiyallahu anhu ta‟ala, kabīru al-itsmi yakni al-syirku (syirik). Lafaẓ ( ه

yakni mereka yang khusus mendapatkan ampunan dalam keadaan (غفشو

marah.168

168

Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl

wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 63-64.

Page 92: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

81

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, bahwa orang-orang yang menjauhi dosa-

dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. Qiraat Ibnu Abbas membaca kabīru

al-itsmi yakni al-syirku (syirik). Bacaan ini dinukil dari Ṣahibi al-Kasysyāf dan

menurut saya itu sangatlah jauh. Karena syarat iman telah disebutkan di awal

yakni tidak adanya syirik. Dan dikatakan maksud dari dosa-dosa besar adalah

bid‟ah dan mengerjakan yang syubhat, sedangkan maksud dari kata al-

fawāhisy adalah sesuatu yang berhubungan dengan kuatnya syahwat. Adapun

firman Allah Swt. (وإر ب غضجىا ه غفشو) adalah yang berhubungan dengan

kuatnya amarah. Adapun lafaẓ “al-ghaḍab” dikhususkan dengan lafaẓ “al-

ghufran”. Karena sesungguhnya lafaẓ al-ghaḍab merupakan tabiat neraka,

mendapatkan kepedihan juga ditempatkan dalam keadaan sulit. Oleh sebab itu,

lafaẓ ini dikhususkan. Walllāhu a‟lamu.169

Tafsir di atas, memperdebatkan makna qiraat kabāiru al-itsmi. Al-

Zamakhsyarī mencantumkan qiraat Ibnu „Abbās dengan bacaan kabīru al-itsmi

dibaca mufrad, kabīru, yang spesifik ditafsirkan al-Zamakhsyarī dengan makna

syirik. Sedangkan al-Rāzi menampik penafsiran al-Zamakhsyarī, makna qiraat

kabīru al-itsmi bukanlah syirik. Menurutnya, penafsiran ini sangatlah jauh dari

lafaẓnya, karena syarat iman adalah dengan tidak adanya syirik. Menurut al-

Rāzi sebagaimana yang disebutkan dengan argumen yang mengatakan bahwa

yang dimaksud dosa besar adalah bid‟ah dan mengerjakan yang syubhat.

D. Tabel Qiraat

Qiraat yang dicantumkan al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi dalam kitab tafsirnya

sangat beragam. Terkadang mereka seragam mencantumkan qiraat yang sama

dengan maksud penafsiran yang sama pula. Adapula mereka mencantumkan

qiraat yang sama namun maksud tafsirnya berbeda. Dalam beberapa ayat juga

ditemukan perbedaan dalam pencantuman qiraat dengan maksud tafsir yang sama

dan ada juga yang memiliki perbedaan tafsir. Adapun untuk lebih jelasnya, dapat

dilihat dalam tabel berikut.

169

Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 81.

Page 93: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

82

No Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

1.

Q.S. Ali Imran: 91

يقثلفله

Tidak

mencantum

kan qiraat

Dalam al-

Kasysyāf,

dibaca ḍammah

dan menjadikan

lafaẓ mil‟u

sebagai fa‟il.

فلهيقثل

Tidak

mencantum

kan qiraat

Dalam al-

Kasysyāf

menyimpan

fa‟il Allah dan

menaṣabkan

lafaẓ mil‟u.

االسضملء

Tidak

mencantum

kan qiraat

Dibaca nasab,

meringankan

hamzah. Namun

tidak mengubah

makna.

رهثا رهثا

al-Rāzi

menafsirkannya,

“bukan

merupakan

sebuah ukuran,

kadar dan

jumlah”

رهة qiraat

A‟masy

رهة qiraat

A‟masy

al-Zamakhsyarī

dan al-Rāzi

menafsirkannya,

dengan hitungan

dalam angka

atau jumlah”

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

2.

Al-Nisā‟: 31

كثائشاإلثم

Qiraat

Hamzah, al-

Kisai dan

Khalaf

كثائشاإلثم

Qiraat

Hamzah, al-

Kisai dan

Khalaf

“Meliputi

banyak macam-

macam dosa

besar”

Tidak al-Zamakhsyarī كثيشاإلثم

Page 94: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

83

qiraat Ibnu

„Abbās

mencantum

kan qiraat

menafsirkannya

dengan

“mengkhususka

n dosa besar

pada perbuatan

kafir”. al-Rāzi

menyanggah

karena kufur

bermacam-

macam.”

يكفش

qiraat Ḥafs

dari „Āṣim

يكفش

qiraat Ḥafs

dari „Āṣim

Keduanya

sama-sama

menafsirkan

Allah mmelebur

dosa besar

(tidak ada

penafsiran yang

berbeda)

وكفش

qiraat

Hamzah

وكفش

qiraat

Hamzah

Keduanya

sama-sama

menafsirkan

Allah melebur

dosa besar

(tidak ada

penafsiran yang

berbeda)

Tidak

mencantum

kan qiraat

يذخلكمqiraat Ḥafs

dari „Āṣim

Al-Razi tidak

memberikan

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

Tidak

mencantum

kan qiraat

وذخلكم

Qiraat Nafi‟

Al-Razi tidak

memberikan

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

مذخلqiraat

Hamzah,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

مذخلqiraat

Hamzah,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

Menurut al-

Zamakhsyarī

kedudukannya

sebagai maṣdar.

Menurut al-Rāzi

lafaẓ mudkhala

dari al-idkhal

artinya adalah

Page 95: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

84

cara atau proses

masuknya.

مذخلQiraat Nafi‟

dan Abu

Ja‟far

مذخلQiraat Nafi‟

dan Abu

Ja‟far

“Kedudukan

sebagai maṣdar

dan diartikan

sebagai tempat

masuk yakni

pintu”

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

3.

Al-Māidah: 37

أنيخشجوا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

أنيخشجوا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

al-Rāzi dalam

tafsirannya,

“mereka telah

menghendaki

keluar dari

neraka, dan

mereka telah

mencari tempat

keluar”.

أنيخشجوا

qiraat Abū

Hanifah

أنيخشجو

qiraat Abū

Hanifah ا

al-Rāzi

menafsirkan,

“mereka

berharap keluar

dan

menghendaki

dengan hati

mereka”.

تخشجيه

Tidak

mencantum

kan qiraat

Orang kafir

dapat dari

neraka

تخاسجيه

qiraat Abū

Hanifah

Tidak

mencantum

kan qiraat

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“untuk orang-

orang kafir

tidak bisa keluar

dari neraka”.

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

4. Al-Māidah: 60 مثوتح مثوتح Dalam al-

Kasysyāf,

Page 96: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

85

seperti lafaẓ

“masyuratan

dan

masywaratan”.

عثذالطاغوخ عثذالطاغوخ

al-Zamakhsyarī

menafsirkannya,

“menjadikan

berhala-berhala

sebagai

sesembahan”

عثذوالطاغوخQiraat Ubay

عثذواالطاغوخQiraat Ubay

Orang yang

menyembah

berhala-berhala

مهعثذوا

الطاغوخ

qiraat Ibnu

Mas‟ūd

مهعثذوا

الطاغوخ

qiraat Ibnu

Mas‟ūd

Orang yang

menyembah

berhala-berhala

عاتذي

الطاغوخ

عاتذي

الطاغوخ

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“melampaui

batas dalam

urusan

„ubudiyyah”

عاتذالطاغوخ عاتذالطاغوخ„aṭaf pada lafaẓ

al-qiradata”.

عثادالطاغوخ عثادالطاغوخ

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“menyembah

berhala-berhala

di dalam diri

mereka atau

dihadapan

mereka” dan

“melampaui

batas dalam

urusan

„ubudiyyah”

عثذالطاغوخ عثذالطاغوخ

عثذالطاغوخ عثذالطاغوخDengan wazan

hathama

عثذالطاغوخ عثذالطاغوخAsli katanya

„ubdatu

خعثيذالطاغو عثيذالطاغوخ Asli katanya

dari „abdu

الطاغوخ الطاغوخ عثذ عثذ Jamak dari

„abiidun

Page 97: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

86

عثذجالطاغوخ عثذجالطاغوخ

dengan wazan

kufrata. al-

Zamakhsyarī

menafsirkan,

“menyembah

berhala-berhala

di dalam diri

mereka atau

dihadapan

mereka”

عثذالطاغوخ عثذالطاغوخ

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“melampaui

batas dalam

urusan

„ubudiyyah”

عثادالطاغوخ عثادالطاغوخ

أعثذالطاغوخ أعثذالطاغوخ

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“menyembah

berhala-berhala

di dalam diri

mereka atau

dihadapan

mereka”

عثذالطاغوخ

Qiraat

Hamzah

عثذالطاغوخ

Qiraat

Hamzah

Al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“menyembah

berhala-berhala

di dalam diri

mereka atau

dihadapan

mereka” dan

“melampaui

batas dalam

urusan

„ubudiyyah”. al-

Rāzi

menyayangkan

qiraat ini

dicantumkan

dalam tafsir.

Karena

menurutnya

hanya demi

kepentingan

Page 98: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

87

saja.

الطواغيد

Tidak

mencantum

kan qiraat

Jamak thagut

(beberapa

berhala)

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

5.

Al-Taubah: 106

مشجونqiraat

Hamzah,

Nāfi‟,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

مشجونqiraat

Hamzah,

Nāfi‟,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

“Orang-orang

yang

ditangguhkan”

مشجؤونqiraat Ibn

Katsir, Ibn

„Amir, Abu

„Amr

مشجؤون

qiraat Ibn

Katsir, Ibn

„Amir, Abu

„Amr

al-Zamakhsyarī

menafsirkannya,

“orang-orang

yang berselisih

dan

menggantungka

n urusannya”.

Sedangkan al-

Rāzi

menafsirkannya

“orang-orang

yang beramal

tanpa

pengucapan

lisan tapi

dengan iman”

حكيم عليم

Nāfi‟,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

حكيم عليم

Nāfi‟,

Kisā‟i, Ḥafs

dari „Āṣim

Al-

Zamakhsyari,

“Allah maha

Mengetahui lagi

maha

Bijaksana”

سحيم غفوس

Qiraat Abu

Hanifah

Tidak

mencantum

kan qiraat

Al-

Zamakhsyarī,

“Allah Maha

Pemaaf lagi

Maha

Penyayang”

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Qiraat

dalam

Tafsīr

Keterangan

/Makna Qiraat

Page 99: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

88

Kasysyāf Mafātih al-

Ghāib

6.

Al-Furqan: 68-69

يلقىأثاما

Tidak

mencantum

kan qiraat

Mendapat

pembalasan atas

dosa-dosanya

يلقأياماqiraat Ibnu

Mas‟ūd

يلقأياماqiraat Ibnu

Mas‟ūd

al-Rāzi dan al-

Zamakhsyarī

sama-sama

menafsirkan,

“sangatlah

pedih, seperti

yang, seperti

hari pembalasan

yang amat

pedih”

لهيضعف

العزاب

يضعفله

العزاب

al-Rāzi dan al-

Zamakhsyarī

sama-sama

membaca

ḍammah pada

ya‟ dan

menjadikan fa‟il

pada kata al-

adzab”.

وضعفله

العزاب

وضعفله

العزاب

al-Rāzi dan al-

Zamakhsyarī

sama-sama

membaca

ḍammah pada

nun‟ dan

menaṣabkan

pada kata al-

adzab”. Dibaca

rafa‟ juga

karena isti‟naf

atau karena

haal.

يخلذ يخلذ

Tidak ada

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

يخلذ يخلذ

Dibaca

yukhladu karena

binak terhadap

ma‟ful ringan

Page 100: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

89

dan berat.

يخلذ

Tidak

mencantum

kan qiraat

Tidak ada

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

يخلذ

Tidak

mencantum

kan qiraat

Tidak ada

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

ذخلذ ذخلذDibaca takhlud

karena al-iltifat.

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

7.

Al-Zumar: 53

Tidak

mencantum

kan qiraat

ياعثذي

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim, Ibnu

„Amir dan

Ibnu Katsir

al-Rāzi

menafsirkan,

“hanya

mengkhususkan

untuk orang

mukmin”.

Tidak

mencantum

kan qiraat

ياعثاد

qiraat Abi

Bakr dari

„Āṣim

al-Rāzi

menafsirkan,

“hanya

mengkhususkan

untuk orang

mukmin”

الذقىطوا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

الذقىطوا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

Tidak ada

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

الذقىطوا

qiraat Abū

„Amr dan

al- Kisā‟i

الذقىطوا

qiraat Abū

„Amr dan

al- Kisā‟i

Tidak ada

keterangan

perbedaan qiraat

terhadap

penafsiran

يغفشالزووب

جميعا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

وبيغفشالزو

جميعا

qiraat Nāfi‟,

„Āṣim

Keduanya

sama-sama

menafsirkan

“Allah

Mengampuni

segala dosa-

Page 101: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

90

dosa”

يغفشالزووب

لمهيشاء

qiraat Ibnu

„Abbās dan

Ibnu

Mas‟ūd

يغفشالزووب

لمهيشاء

qiraat „Ibnu

„Abbās dan

„Ibnu

Mas‟ūd

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“orang yang

bertaubat yang

Allah kehendaki

untuk diampuni

dosa-dosanya”.

Adapun al-Razi

dalam Mafatih

al-Ghaib

menukil

penafsiran

dalam al-

Kasysyaf.

يغفشالزووب

جميعاواليثالى

qiraat Nabi

Muhammad

dan Siti

Fāṭimah

Tidak

mencantum

kan qiraat

al-Zamakhsyarī

menafsirkan,

“Allah

mengampuni

semua dosa-

dosa dan tidak

diberikan

musibah”. dan

menurut kami

(al-

Zamakhsyarī)

ini tidaklah

menakutkan.

Ayat al-Qur’an

Qiraat

dalam

Tafsir al-

Kasysyāf

Qiraat

dalam

Tafsīr

Mafātih al-

Ghāib

Keterangan

/Makna Qiraat

8.

Al-Syūra 37

كثائشاإلثم

Qiraat

Hamzah, al-

Kisai dan

Khalaf

كثائشاإلثم

Qiraat

Hamzah, al-

Kisai dan

Khalaf

“Dosa-dosa

besar yang

masih bersifat

umum dan

belum diketahui

kepastian

jumlahnya”

كثيشاإلثم

qiraat Ibnu

„Abbās

كثيشاإلثم

qiraat Ibnu

„Abbās

al-Zamakhsyarī

menafsirkanya

dengan “syirik”.

al-Rāzi

menyanggahnya

bahwa

Page 102: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

91

maknanya

terlalu

menyimpang

jauh kalau

hanya

ditafsirkan

dengan syirik.”

Page 103: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

92

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini membahas tentang pencantuman qiraat dalam tafsir dan tujuan

pencantuman qiraat tersebut. Para mufassir dalam mencantumkan qiraat, apabila

ditelaah tujuannya adalah untuk memberikan informasi adanya ragam qiraat dan

juga membantu mufassir dalam dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebab

ragam qiraat dapat mempengaruhi dan menentukan makna lafadh dan maksud

ayat. Adapun beberapa poin yang menjadi kesimpulan pada penelitian ini.

Pertama, pencantuman qiraat dengan menyebutkan imam qiraat. Pada hasil

penelitian, penulis menemukan bahwa al-Zamakhsyari dan al-Razi tidak

memperdulikan kualitas qiraat yang dicantumkan. Namun al-Razi lebih unggul

dari sisi penyebutan imam qiraat dan hal ini merupakan wujud kehati-hatian al-

Razi dalam mencantumkan qiraat. sedangkan al-Zamakhsyari yang nampaknya

sering mencantumkan qiraat di luar qiraat sab’ah dan juga jarang menyebutkan

imam qiraat.

Kedua, ragam qiraat yang terdapat dalam kedua kitab tafsir, terbagi dalam

ranah ushul dan farsy. Apabila dilihat dari kualiatas qiraat, keduanya sama-sama

memberikan porsi terhadap qiraat di luar qiraat mutawatir baik yang tergolong

dalam „Asyrah, Arba‟a „asyrah, seperti qiraat Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ‘Aisyah,

Ubay dan yang lain sebagainya. Tidak adanya filterisasi dalam pencantuman

qiraat, penulis melihatnya sebagai satu kritikan, karena pencantumannya tidak

memilih qiraat yang mutawatir saja, Akan tetapi disatu sisi menjadi sebuah

kelebihan karena dengan riwayat-riwayat tersebut lebih mempermudah dan

memperluas wawasan dan pengayaan makna al-Qur’an.

Ketiga, bahwa tidak semua perbedaan qiraat berimplikasi terhadap penafsiran.

Adapun apabila diklasifikasikan qiraat yang berpengaruh terhadap penafsiran,

adalah jika perbedaan tersebut terletak pada: 1). Perbedaan i‟rab (kedudukan

kalimat), 2). Perbedaan sharaf (asal kata), 3). Perbedaan khitab, 4). Penambahan

Page 104: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

93

dalam kalimat (ziyada al-kalimat), 5). Perbedaan harakat yang memungkinkan

terjadinya perbedaan makna.

Keempat, fungsi qiraat dalam tafsir al-Kasysyaf dan Tafsir Mafatih al-Ghaib

memiliki beberapa kesamaan. Diantaranya, sebagai sumber penafsiran al-Qur’an,

alternatif pencarian makna, dan sebagai pembelaan terhadap mazhab. Fungsi

terakhir yang lebih nampak dalam kedua kitab tafsir kajian. Kesimpulan ini

berimplikasi pada adanya dua model tali rantai antara al-Qur’an dengan

alirian/madzhab. Pertama, perbedaan pemahaman al-Qur’an berimplikasi kepada

perbedaan madzhab. Kedua, perbedaan madzhab berimplikasi pada perbedaan

pemahaman terhadap al-Qur’an. Kedua kitab tafsir lebih mencerminkan kepada

model kedua atas dasar keduanya hadir sama-sama dalam rangka membela

masing-masing madzhab. Al-Zamakhsyari yang menulis tafsir atas dorongan

kaum Mu’tazilah untuk membuat karya tafsir sebagi pedoman kaum Mu’tazilah

yang kemudian menulis tafsir bercorak i‟tizali dengan memasukkan doktrin-

doktrin Mu’tazilah. Sedangkan kehadiran mafatih al-Ghaib, al-Zamakhsyari yang

juga pemuka ahlu sunnah mengarang kitab tafsir untuk meng-counter pandangan

al-Zamakhsyari. Oleh sebab itu, tidak bisa dinafikan, qiraat sebagai salah satu

‘alat’ tersebut.

Kelima, masing-masing kitab tafsir memiliki keunggulan dan kekurangan

terkait pembahasan qiraatnya. al-Zamakhsyari dalam menampilkan dan mengkaji

qiraat memang sangat konsen dengan bahasan qawa‟id nahwiyah. Kinerja ini pada

akhirnya akan menentukan penilaian al-Zamakhsyari pada sebuah qiraat. Kajian

nahwiyah ini pada prinsipnya sangat bermanfaat dan menjadi panduan banyak

ulama belakangan terkait kajian pemaknaan qiraat. Namun pada sisi yang lain al-

Zamakhsyari seringkali melewati kajian dan kritik riwayat sebuah qiraat, di

samping al-Zamakhsyari memang sedikit pasif dalam membahas perbedaan qiraat.

Sedangkan kelebihan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib adalah penyajiannya

informasi qiraat yang lebih luas terkait periwayatan. Selain menampilkan ragam

qiraat, al-Razi juga seringkali menjelaskan perbandingan antar ragam qiraat yang

ada. Di samping itu, al-Razi dalam banyak tempat lebih aktif dan kritis jika

dibandingkan dengan al-Zamakhsyari dalam merespon ayat yang ada perbedaan

Page 105: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

94

qiraatnya. Meskipun demikian, penafsiran yang dilakukan al-Razi kadang terlalu

luas dan bertele-tele sehingga makna yang dikandung suatu ayat menjadi kabur.

Keenam, dalam ranah kajian teologis, penulis menyimpulkan bahwasanya al-

Zamakhsyari dan al-Razi sama-sama memperdebatkan apa saja kategori dosa

besar dan nasib pelaku dosa besar. Mereka juga sama-sama berteguh pendirian

dari aliran teologi yang dianutinya dalam memandang ayat-ayat tentang dosa

besar dan nasib pelaku dosa besar. Latar belakang al-Zamakhsyari sebagai teolog

Mu’tazilah dalam memandang pelaku dosa besar, argumentasinya sama dengan

kaidah Mu’tazilah yakni “manzilah baina al-manzilatain”, bahwa orang yang

berdosa besar berada di antara dua posisi. Sama halnya dengan al-Razi sebagai

pemuka ahlu sunnah, beliau juga memegang teguh doktrin-doktrin ahlu sunnah.

Bahwa orang-orang yang berdosa besar masih dimungkinkan masuk surga karena

masih dianggap mukmin.

Seperti yang penulis temukan dalam penafsiran surat al-Maidah ayat 36-37. Al-

Zamakhsyarī mencantumkan qiraat بخارجين. Beliau juga memilih bacaan ini,

karena sesuai dengan argumentasinya. Menurut beliau maksud dengan memilih

qiraat بخارجين adalah ditujukaan untuk orang-orang kafir. Beliau menentang

pendapat ahli sunnah yang berpendapat orang yang berdosa besar masih mukmin

dan bisa masuk surga. Beliau berargumen bahwa orang kafir tidak bisa keluar dari

neraka juga tidak di surga. Hal ini beliau jelaskan dengan cerita paman Nabi

(‘Abdul Muṭālib) yang kafir namun dapat keluar dari neraka. Namun beliau

memperingatkan bahwa itu hanyalah orang yang dikhususkan, dan hal semacam

ini tidak berlaku untuk seluruh umat manusia. Berbeda dengan al-Rāzi, bahwa

orang kafir masih bisa keluar dari neraka bagi mereka yang mengucapkan lā ilāha

illa Allah dengan ikhlas.

B. Saran

a. Pembahasan tentang qiraat dalam ranah teologis masih jarang dikaji oleh

para akademisi. Penelitian ini merupakan bagian kecil dari kajian qiraat

secara umum. Karenanya sangat diperlukan banyak kajian tentang qiraat

serta pengaruhnya terhadap penafsiran dengan tema-tema lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa qiraat memiliki cakupan yang luas untuk dibahas.

Page 106: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

95

Mulai dari sejarah qiraat, perbedaan bacaan qiraat, pengaruh qiraat dalam

berbagai bidang; seperti pengaruh qiraat dalam bidang istinbath hukum,

pengaruh qiraat dikaitkan dengan teologi, filsafat, ilmu sains dan lain

sebagainya. Tidak kalah penting juga adalah seperti apa masa depan ilmu-

ilmu qiraat dan upaya membumikan qiraat di masa mendatang.

b. Disarankan kepada pihak Fakultas Ushuluddin untuk menambah koleksi

literatur khusus tentang qiraat. Pengenalan macam-macam qiraat sekaligus

pengaruhnya terhadap penafsiran dan melestarikan qiraat dalam kehidupan

sehari-hari. Harapannya supaya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menjadi

pelopor dan sebagai rujukan kajian qiraat di Indonesia.

Page 107: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

96

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Literatur

AF, Hasanuddin. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath

Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.

al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Mesir : Dār al-

Maktub al-Haditsah, 1976.

_________. Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah, 2003.

_________. Al-Kabāir. penerjamah. Abu Zufar Imtihan al-Syafi‟i. Dosa-dosa

Besar. Solo: Pustaka Arafah, 2007.

al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Penerjamah. Suryan A.

Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

al-Hufi, Ahmad Muhammad. Al-Zamakhsyarī. Kairo: Dār al-Fikr al-Arābi,

1966.

al-Ibrahim, Mūsa Ibrahim. Buhūtsu Manhajiyyah fī Ulūm al-Qur’an. Oman: Dār

Imār, 1996.

al-Juwaini, Mustafa al-Ṣāwi. Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa

Bayān I‘jāzihi. Mesir: Dār al-Ma„ārif, t.t.

al-Munawwar, Sayyid Agil Husin. al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002.

al-Naisaburi, Muslim Ibn Hajāj. Ṣāḥih Muslim. Dār Ihya‟ al-Turāts al-„Arābi, t.t.

al-Qattan, Manna‟ Khalīl. Mabāhits fī Ulūm al-Qur’an. Penerjamah. Mudzakir

AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.

al-Qattan, Manna‟ Khalīl. Mabāhits fī Ulūm al-Qur’an. Riyadh: Mansyūrāt al-

„Aṣr al-Hadīs, 1973.

al-Qusṭalani, Syihābuddin. Laṭāif al-Isyārat li Funūn al-Qur’an al-Qiraat. Kairo:

tt, tt.

al-Ṣabuni, Muhammad Ali. Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’an. Penerjamah. Moch

Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Pengantar Studi al-Qur’an.

Bandung: Ma‟arif, 1996.

Page 108: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

97

al-Ṣabuni, Muhammad Ali. Al-Tibyān fī 'Ulūm al-Qur’an. Beirut: Alam al-Kutb,

1985.

al-Zamakhsyarī, Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar. al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-

Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl, Riyadh: Maktabah al-

Abikan, 1998.

al-Zarkasyī, Badruddin Muhammad bin Abdullah. al-Burhān fī Ulūm al-Qur’an.

Maktabah Dār al-Turāts tt.

al-Zarqanī, Abū „Aẓim. Manāhil al-‘Irfān fī Ulūm al-Qur’an. Beirut: Dār al-

Maktabah al-Arabiyah, 1995.

Amal, Taufik Adnan dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1990.

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1993.

Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

Ayazi, Sayyīd Muhammad Ali. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa

Manhajuhum. Thaheran: Muassasah al-Thaba‟ah Wa al-Nasyr Wizārah al-

Tsaqafah wa al-Irsyād al- Islāmi, t.t.

Baidan, Nashirudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1998.

Baker, Anton dan Ahmad Chairuz Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Fakhru al-Dīn, Muhammad al-Rāzi. Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr

al-Kābir Mafātih al-Ghāib. Beirut: Dār al-Fikr, 1981.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008.

Hadi, Al-Faḍl Abdul. al-Qiraat al-Quraniyat. Beirut: Dār al-Majma al-„Ilmi,

1979.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Ofset, 1995.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014.

Page 109: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

98

Karim‚ M. Fida Busyro. Islam Masa Dinasti Abbasiyah dalam Hanung Hasbullah

dkk, Mozaik Sejarah Islam. Yogyakarta: Nusantara Press. 2011.

LAL, Dr Anshori. Tafsir Bil Ra’yi Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad. Jakarta:

Gaung Persada Press, 2010.

Mahmud, Mani‟ Abdul Halim. Manahij al-Mufassirin. Mesir: Dar al-Kitab al-

Misri, 1978.

Mujāhid, Ibnu. Kitāb al-Sab’ah fī al-Qira’at. Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.

Munayyir, Ibnu. Al-Masā’il Al-I’tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-

Zamakhsyarī. Saudi Arabia: Dār al-Andalas, 1418.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir

dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer.

Yogyakarta: Adab Press, 2014.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS. 2012.

Na‟if, Fauzan. Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari. Editor. A. Rofiq. Studi Kitab

Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.

Nasr, Sayyid Hosein. The Islamic Intelectual Tradision in Persia. New York:

Happer Cllins, 1993.

Nasuton, Harun. Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.

Jakarta: UI Press,1986.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada

University, 1996.

Nawawi, Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin 2. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.

Razak, Prof. Abdul dan Prof. Rosihon Anwar. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung:

Pustaka Setia, 2015.

Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Penerjamah. Moch

Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Bandung: Ma‟arif, 1996.

Shihab, Prof. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka,

2007.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001.

Syafe‟i, Prof. H. Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Page 110: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

99

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern. Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Ṭawil, Sayid Risqit. Fī Ulūm al-Qiraat. Makkah al-Mukarramah: Maktabah

Faishailiah, 1985.

Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Mazhab di

Dunia Islam. Kairo: Al-Majlis Al-A‟lā li Al-Syu‟un Al-Islāmiyah, 2007.

Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Islam. Penerjamah. Taufik Adnan Amal.

Jakarta: Rajawali Press, 1991.

_________. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjamah. Umar Basalim,

Jakarta: P3M, 1987.

Jurnal, Skripsi dan Tesis

Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf.” Jurnal Sosio-Religia. Vol. 2009, 8,

(2009): 596-609.

Aswadi. “Konsep Syifa dalam Tafsir Mafatih al-Gaib Karya Fakhruddin al-Razi.”

Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Ghofir, Muhammad Abdul. “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi Kitab

Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh

al-Ta‟wil.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin

(HIPIUS). Vol. 2013, 1, (2013)

Humaira, Dara dan Khairun Nisa. “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf:

Kajian Kritis Metodologis al-Zamakhsyari”. Jurnal Maghza Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir UIN sunan kalijaga. Vol. 2016, 1, (2016): 31-40.

Latif, Hilmah. Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana VII. Vol. 2013,

2, (2013): 65-79.

Lestari, Lenni. “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari:

Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf.”

Jurnal Syahadah, Vol. 2014. 2, (2014): 31-47.

Sakni, Ahmad Sholeh. “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam”. Jurnal

JIA, Vol. 2013, 14, (2013): 61-75.

Page 111: QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR (Studi Qiraat pada Ayat-ayat ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46606/1/MOCH. QOMARI... · dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

100

Saladin, Bustami. “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyâri tentang Teologi

Mu'tazilah dalam Tafsîr al-Kasysyaf.” Jurnal al-Ihkam V. Vol. 2001, 1,

(2001): 1-18.

Salimudin, “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis dalam al-

Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib.” Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2016.

Samawati, Shoufa. “Tafsir dengan Corak Filsafat (Tafsir Falsafi).” Jurnal Kasyf el

Fikr. Vol. 2015, 2, (2015): 1-19.

Shofa, Maryam.“Sisi Sunni az-Zamakhsyari”. Jurnal Suhuf IV. Vol. 2011, 1,

(2011): 53-73.

Wahidi, Ridhoul dan Amaruddin Asra. “Corak Teologis dalam Penafsiran al-

Qur‟an,” Jurnal Syahadah. Vol. 2014, 3, (2014): 29-39.

Zaidi bin Hashim, Ikmal. “International Research and Innovation Conference

2014 (IRMIC2014),” dalam Metode Penentuan dan Penggunaan

Penganalisaan Qiraat dalam Karya-karya Tafsir, 17-18 November. Kuala

Lumpur: Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor. 2014. h. 104-113.

Zamzami, Mohammad Subhan. “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual

Islam,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis IV. Vol. 2014, 1,

(2014): 163-177.

Zarkasyi, Jaja. “Orientasi Bayani az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf.”

Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 2007, 2, (2007): 1-18.

Website dan Rujukan Media Elektronik

al-Baiḍawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl dalam CD al-Maktabah al-

Syamilah pada penafsiran QS. al-Mā‟idah (5)

al-Syaukani, Tafsir Fatḥū al-Qadir dalam CD al-Maktabah al-Syamilah pada

penafsiran QS. al-Ma‟idah (5) : 6

https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.html diakses pada 9

April 2019.

Imam Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari, “Bab Siapa yang mengeraskan suaranya dalam

menyampaikan ilmu”, Hadis no 58. Sumber Lidwa 9 Hadis.