40
1 ASMA BRONCHIAL A. Definisi Asma Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk -batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1 Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan

qwerty

Embed Size (px)

DESCRIPTION

qwerty

Citation preview

Page 1: qwerty

1

ASMA BRONCHIAL

A. Definisi Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa

mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk -batuk terutama malam dan atau

dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,

bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1

Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for

Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas

dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas,

rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini

biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun

bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas

terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).2

B. Epidemiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di

negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti

Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak

masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika

Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di

rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.

Page 2: qwerty

2

Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari

pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian

pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC

(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan

prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi

5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia

(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,Yogyakarta, Malangdan

Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)

berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar

5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.3

C. Faktor Resiko Asma Bronchial

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host

factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik

yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik

(atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan

mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk

berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau

menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan

yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi

pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.1

faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan

genetik asma,

baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko

penyakit asma.

Page 3: qwerty

3

Gambar 1: Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma1

Sumber: Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Indonesia 2015

Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu Menurut GINA 2006:2

1. Asap Rokok

2. Tungau Debu Rumah

3. Jenis Kelamin

4. Binatang Piaraan

5. Jenis Makanan

6. Perabot Rumah Tangga

7. Perubahan Cuaca

8. Riwayat Penyakit Keluarga

9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja

10. Psikologis

Bakat yang diturunkan:AsmaAtopi/ AlergikHipereaktiviti bronkusFaktor yang memodifikasi penyakit genetik

Pengaruh lingkungan :AlergenInfeksi pernapasanAsap rokok / polusi udaraDietStatus sosioekonomi

Asimptomatik atauAsma dini

Manifestasi Klinis Asma (Perubahan ireversibel pada struktur dan fungsi jalan napas)

Page 4: qwerty

4

D. Patofisiologi Asma Bronchial

Gambar 2: Penyempitan saluran napas pada asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara

lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf

otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.

Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk

sejumlah antibodi IgE ab-normal dalam jumlah besar, golongan ini disebut

atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel

mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan

bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,

antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan

antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator

yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan

bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding

bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan

spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran

napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi

Page 5: qwerty

5

merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang

bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi

setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan

kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,

sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci

dalam patogenesis asma.3

Selain faktor atopi, Asma juga merupakan gangguan kompleks yang

melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis

dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor

neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung

sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan,

tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang

pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi

peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus.

Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan

yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.4

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel

jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam

submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel

bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma

dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi

udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi

melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa

menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan

Calcito-nin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,

hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus

merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat

diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif.3

Page 6: qwerty

6

AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan

jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan

(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel

mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut

melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel

parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan

jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua

proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang

kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai

mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan

airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang

sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensia si sel

sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh

restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai

fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.1

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan

remodeling.Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga

komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,

matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,

pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. 1

Perubahan struktur yang terjadi :

• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas Hipertrofi dan hiperplasia

kelenjar mukus

• Penebalan membran reticular basal

• Pembuluh darah meningkat

• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

• Perubahan struktur parenkim

• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Page 7: qwerty

7

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena

sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus

(longstanding inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah

peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah

distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga

pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama

pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

E. Klasifikasi Derajat Asma Bronchial

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian

obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk

mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).

Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya

suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat

menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam

penatalaksanaannya.1

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan

(akut).

1. Asma saat tanpa serangan 1

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:

1) Intermitten

2) Persisten ringan

3) Persisten sedang

4) Persisten berat

Page 8: qwerty

8

Tabel 1 : Klasifikasi Derajat Asma

Derajat Asma

Gejala Gejala Malam Faal Paru

Intermitten Gejala <1x/mingguTanpa gejala diluar seranganSerangan singkat

< 2x sebulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksiAPE ≥ 80% nilai terbaikVariability APE <20%

Persisten Ringan

Gejala >1x/minggu tapi <ix/hari

>2x sebulan VEP1 80% nilai prediksiAPE 80% nilai terbaikVariability APE 20%-30%

Persisten Sedang

Gejala setiap hariSerangan mengganggu aktivitas dan tidurMembutuhkan bronkodilator tiap hari

>1x seminggu VEP1 60-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaikVariability APE >30%

Persisten Berat

Gejala terus menerusSering kambuhAktivitas fisik terbatas

Sering VEP1 <60% nilai prediksiAPE <60% nilai terbaikVariability APE >30%

Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak

(PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:

1) Asma episodik jarang

2) Asma episodik sering

3) Asma persisten(1)

Page 9: qwerty

9

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak5

Parameter klinis,kebutuhan obatdan faal paru asma

Asma episodik jarang

Asma episodik sering

Asma persisten

1 Frekuensi serangan

<1x/bulan >1x/bulan Sering

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan

3 Intensitas serangan

Biasanya ringan

Biasanya sedang

Biasanya berat

4 Diantara serangan

Tanpa gejala Sering ada gejala

Gejala siang dan malam

5 Tidur dan aktifitas

Tidak tergganggu

Sering tergganggu

Sangat tergganggu

6 Pemeriksaan fisik diluar serangan

Normal ( tidak ditemukan kelainan)

Mungkin tergganggu(ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

7 Obat pengendali(anti inflamasi)

Tidak perlu Perlu Perlu

8 Uji faal paru(diluar serangan)

PEFatauFEV1>80%

PEFatauFEV1<60-80%

PEVatauFEV<60%

9 Variabilitas faal paru(bila ada serangan)

Variabilitas>15%

Variabilitas>30%

Variabilitas 20-30%.Variabilitas >50%

PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),

FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang

digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya

serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan

Page 10: qwerty

10

diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan

sedang dan asma serangan berat. 2

Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma

(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat

mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang

tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan

ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak

harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai

prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan

dengan keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi

harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi

awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. 2

Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan 2

Parameter klinis, fungsi

faal paru, laboratorium

Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas

Sesak (breathless)

Berjalan Berbicara IstirahatBayi :Menangis keras

Bayi :-Tangis pendek dan lemah-Kesulitan menetek/makan

Bayi :Tidakmau makan/minum

Posisi Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat

Kata-kata

Kesadaran Mungkin iritabel

Biasanya iritabel

Biasanya iritabel

Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang,

sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi

Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Sulit/tidak terdengar

Page 11: qwerty

11

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal

Retraksi Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Dangkal / hilang

Frekuensi napas

Takipnu Takipnu Takipnu BradipnuPedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

Usia Frekuensi napas normal per menit< 2 bulan <602-12 bulan < 501-5 tahun < 406-8 tahun < 30

Frekuensi nadi

Normal Takikardi Takikardi Dradikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal per menit2-12 bulan < 1601-2 tahun < 1206-8 tahun < 110

Pulsus paradoksus(pemeriksaannya tidak praktis)

Tidak ada (< 10 mmHg)

Ada(10-20 mmHg)

Ada(>20mmHg)

Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

PEFR atau FEV1(%nilai dugaan/%nilai terbaik)Pra bonkodilatorPasca bronkodilator

>60%>80%

40-60%60-80%

<40%<60%, respon<2 jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%PaO2 Normal

(biasanya tidak perlu diperiksa)

>60 mmHg <60 mmHg

PaCO2 <45 mmHg

<45 mmHg >45 mmHg

Sumber : GINA, 2006

Page 12: qwerty

12

Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan

asma terkontrol. Berdasarkan keadaan terkontrol asma dibagi menjadi(2):

1) Asma terkontrol

2) Asma terkontrol sebagian

3) Asma tidak terkontrol

Tabel 4: Level asma terkontrol yaitu :1

No Karakteristik Terkontol Terkontrol parsial

Tak terkontrol

1 Gejala siang ≤ 2x / mgg > 2x / mgg 3 atau lebih keadaan terkontrol parsial pada tiap-tiap minggu

2 Hambatan aktiftas

Tdk ada Ada

3 Gejala malam/ bangun waktu malam

Tidk ada Ada

4 Perlu reliever ≤ 2x /mgg > 2x / mgg

5 Fungsi paru (PEFR/FEV1)

Normal < 80% prediksi atau hasil terbaik (bila ada)

Asma dikatakan terkontrol jika : 1

• Gejala minimal (sebaiknya tidak ada) termasuk gejala malam

• Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise

• Kebutuhan bronkodilator (agonis-2 kerja singkat) minimal (ideal tidak

dibutuhkan)

• Variasi harian APE < 20%

• Nilai AP normal atau mendekati normal

Page 13: qwerty

13

• Efek samping obat minimal

• Tidak ada kunjungan ke gawat darurat

• Kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.

F. Diagnosis Asma Bronchial

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan

beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik

sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari

oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi,

rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis

yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan

jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,

akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 1

RI`WAYAT PENYAKIT / GEJALA :

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.1

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

1. Riwayat keluarga (atopi)

2. Riwayat alergi / atopi

3. Penyakit lain yang memberatkan

4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.1

PEMERIKSAAN FISIK

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat

normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah

mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar

Page 14: qwerty

14

normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat

penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos

saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka

sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar

untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja

pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan

hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu

ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent

chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain

misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan

penggunaan otot bantu napas.1

FAAL PARU

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi

mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai

dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru

antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter

objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:1`

1. obstruksi jalan napas

2. reversibiliti kelainan faal paru

3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan

napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah

diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan

spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).1

a. Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti

vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui

prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada

kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas

dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil

Page 15: qwerty

15

nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi

jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <

80% nilai prediksi.1

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%

atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah

inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis

asma.

- Menilai derajat berat asma

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau

pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow

meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari

plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan

termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat.

Manfaat APE dalam diagnosis asma

- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,

atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)

- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan

variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat

digunakan menilai derajat berat penyakit.

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal

paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat

berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya

dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi

normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik p4enderita yang

bersangkutan.1

Page 16: qwerty

16

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari

untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh

melalui 2 cara:1

- Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan

nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari

sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum

bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator

menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%

dipertimbangkan sebagai asma.

APE malam - APE pagi

Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %

1/2 (APE malam + APE pagi)

- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah

APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,

dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE

malam hari.1

PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS

1. Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada

penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan

uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai

sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat

menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu

berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada

penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan

penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik .1

2. Pengukuran Status Alergi

Page 17: qwerty

17

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui

pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut

mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu

mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan

kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.1

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,

umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan

cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan

positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan

alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu

dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak

dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit

pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total

tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.1

Tabel 5: Diagnosa asma1

1. DIAGNOSIS BANDING

Page 18: qwerty

18

Diagnosis banding asma antara lain sbb :1

Dewasa

Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Bronkitis kronik

Gagal Jantung Kongestif

Batuk kronik akibat lain-lain

Disfungsi larings

Obstruksi mekanis (misal tumor)

Emboli Paru

Anak

Benda asing di saluran napas

Laringotrakeomalasia

Pembesaran kelenjar limfe

Tumor

Stenosis trakea

Bronkiolitis

G. Penatalaksanaan Asma Bronchial

Tujuan penatalaksanaan asma:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)

ireversibel

7. Mencegah kematian karena asma.1

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma

adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang

Page 19: qwerty

19

menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.

Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang

dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga

terjangkau.

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :

1. Edukasi

2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur

7. Pola hidup sehat.1

Program penatalaksanaan asma menurut PDPI:1

1. Edukasi

Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan

maupun berkelompok denganberbagai metode. Pada prinsipnya edukasi

diberikan pada :

Kunjungan awal (I)

Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan

pertama

Kunjungan berikut (III)

Kunjungan-kunjungan berikutnya

2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh penderita

sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan.

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

Page 20: qwerty

20

Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi

sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga

identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan

mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan.

4. Perencanaan pengobatan jangka panjang

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan

napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

1. Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma

terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang

termasuk obat pengontrol : 

a. Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat

serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi

pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggiObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid

 200-500 ug200-400 ug500-1000 ug100-250 ug400-1000 ug

 500-1000 ug400-800 ug1000-2000 ug250-500 ug1000-2000 ug

 >1000 ug>800 ug>2000 ug>500 ug>2000 ug

Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggiObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid

 100-400 ug100-200 ug500-750 ug100-200 ug400-800 ug

 400-800 ug200-400 ug1000-1250 ug200-500 ug800-1200 ug

 >800 ug>400 ug>1250 ug>500 ug>1200 ug 

 

Page 21: qwerty

21

b.  Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu

diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka

panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai

pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6

minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak.

d. Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek

ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin

lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai

studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol

gejala dan memperbaiki faal paru.

e. Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>

12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek

relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi

penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.

Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2

Page 22: qwerty

22

Onset Durasi (Lama kerja)

  Singkat Lama

Cepat Fenoterol

Prokaterol

Salbutamol/ Albuterol

Terbutalin

Pirbuterol

Formoterol

Lambat   Salmeterol

 

f. Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan

pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek

bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat

alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan

obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga

mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah

zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

 

2. Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan

gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki

inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan

napas. Termasuk pelega adalah :

a. Agonis beta-2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan

prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai

kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2

yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi

Page 23: qwerty

23

penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada

serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-

induced asthma

b. Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

c. Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek

penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.

Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal

intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang

disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium

bromide dan tiotropium bromide.

d. Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.

Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia

lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat

diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside

monitoring).

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma

Page 24: qwerty

24

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat

Asma

Medikasi pengontrol harian

Alternatif / Pilihan lain Alternatif

lain

Asma

Intermiten

Tidak perlu -------- -------

Asma

Persisten

Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug

BD/hari atau ekivalennya)

Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers

------

Asma

Persisten

Sedang

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah

agonis

beta-2

kerja lama

oral, atau

Ditambah

teofilin

lepas

lambat

Asma

Persisten

Sedang

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah

agonis

beta-2

kerja lama

oral, atau

Ditambah

teofilin

lepas

lambat

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral

Page 25: qwerty

25

Persisten Berat

 

glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:

teofilin lepas lambat leukotriene modifiers glukokortikosteroid

oral

selang sehari 10 mg

ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengankondisi asma tetap terkontrol

5. Penatalaksanaan serangan akut

Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan

serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan

tepat,selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan

apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang,observasi, rawat inap,

intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut

mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian

pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan

serangan asma. Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi

saat terjadi serangan, apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-

hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah

sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya (lihat bagan

penatalaksanaan asma di rumah).Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter

dan atau fasiliti rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan

memberikan penanganan.

6. Kontrol Teratur

Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan

oleh dokter yaitu :

Tindak lanjut (follow-up) teratur

Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan

7.Pola Hidup

Page 26: qwerty

26

Meningkatkan kebugaran fisis

Berhenti atau tidak pernah merokok

Lingkungan Kerja harus bebas dari faktor pencetus asma

G. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 6

a. Status asmatikus

b. Atelektasis

c. Hipoksemia

d. Pneumothoraks

e. Emfisema

H. Prognosis Asma Bronchial

Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai

komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama

observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari

kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa

sekitar 26% - 78%.

Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih

baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat

dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan

memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai

usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan

sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai

menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan

jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma

terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian.7