Upload
aqil-azizi
View
214
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
qwerty
Citation preview
1
ASMA BRONCHIAL
A. Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk -batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).2
B. Epidemiologi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika
Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di
rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.
2
Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi
5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,Yogyakarta, Malangdan
Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)
berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar
5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.3
C. Faktor Resiko Asma Bronchial
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.1
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.
3
Gambar 1: Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma1
Sumber: Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Indonesia 2015
Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu Menurut GINA 2006:2
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja
10. Psikologis
Bakat yang diturunkan:AsmaAtopi/ AlergikHipereaktiviti bronkusFaktor yang memodifikasi penyakit genetik
Pengaruh lingkungan :AlergenInfeksi pernapasanAsap rokok / polusi udaraDietStatus sosioekonomi
Asimptomatik atauAsma dini
Manifestasi Klinis Asma (Perubahan ireversibel pada struktur dan fungsi jalan napas)
4
D. Patofisiologi Asma Bronchial
Gambar 2: Penyempitan saluran napas pada asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE ab-normal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
5
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.3
Selain faktor atopi, Asma juga merupakan gangguan kompleks yang
melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis
dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor
neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung
sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan,
tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang
pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi
peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus.
Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan
yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.4
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcito-nin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus
merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat
diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif.3
6
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang
sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensia si sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.1
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling.Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,
matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. 1
Perubahan struktur yang terjadi :
• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas Hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus
• Penebalan membran reticular basal
• Pembuluh darah meningkat
• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
• Perubahan struktur parenkim
• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
7
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena
sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah
distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga
pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
E. Klasifikasi Derajat Asma Bronchial
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian
obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).
Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya
suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.1
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut).
1. Asma saat tanpa serangan 1
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:
1) Intermitten
2) Persisten ringan
3) Persisten sedang
4) Persisten berat
8
Tabel 1 : Klasifikasi Derajat Asma
Derajat Asma
Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Gejala <1x/mingguTanpa gejala diluar seranganSerangan singkat
< 2x sebulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksiAPE ≥ 80% nilai terbaikVariability APE <20%
Persisten Ringan
Gejala >1x/minggu tapi <ix/hari
>2x sebulan VEP1 80% nilai prediksiAPE 80% nilai terbaikVariability APE 20%-30%
Persisten Sedang
Gejala setiap hariSerangan mengganggu aktivitas dan tidurMembutuhkan bronkodilator tiap hari
>1x seminggu VEP1 60-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaikVariability APE >30%
Persisten Berat
Gejala terus menerusSering kambuhAktivitas fisik terbatas
Sering VEP1 <60% nilai prediksiAPE <60% nilai terbaikVariability APE >30%
Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:
1) Asma episodik jarang
2) Asma episodik sering
3) Asma persisten(1)
9
Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak5
Parameter klinis,kebutuhan obatdan faal paru asma
Asma episodik jarang
Asma episodik sering
Asma persisten
1 Frekuensi serangan
<1x/bulan >1x/bulan Sering
2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan
3 Intensitas serangan
Biasanya ringan
Biasanya sedang
Biasanya berat
4 Diantara serangan
Tanpa gejala Sering ada gejala
Gejala siang dan malam
5 Tidur dan aktifitas
Tidak tergganggu
Sering tergganggu
Sangat tergganggu
6 Pemeriksaan fisik diluar serangan
Normal ( tidak ditemukan kelainan)
Mungkin tergganggu(ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7 Obat pengendali(anti inflamasi)
Tidak perlu Perlu Perlu
8 Uji faal paru(diluar serangan)
PEFatauFEV1>80%
PEFatauFEV1<60-80%
PEVatauFEV<60%
9 Variabilitas faal paru(bila ada serangan)
Variabilitas>15%
Variabilitas>30%
Variabilitas 20-30%.Variabilitas >50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),
FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
10
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat. 2
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat
mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang
tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan
ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai
prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan
dengan keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi
harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi
awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. 2
Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan 2
Parameter klinis, fungsi
faal paru, laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas
Sesak (breathless)
Berjalan Berbicara IstirahatBayi :Menangis keras
Bayi :-Tangis pendek dan lemah-Kesulitan menetek/makan
Bayi :Tidakmau makan/minum
Posisi Bisa berbaring
Lebih suka duduk
Duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran Mungkin iritabel
Biasanya iritabel
Biasanya iritabel
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang,
sering hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop
Sulit/tidak terdengar
11
Penggunaan otot bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi interkostal
Sedang, ditambah retraksi suprasternal
Dalam, ditambah napas cuping hidung
Dangkal / hilang
Frekuensi napas
Takipnu Takipnu Takipnu BradipnuPedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :
Usia Frekuensi napas normal per menit< 2 bulan <602-12 bulan < 501-5 tahun < 406-8 tahun < 30
Frekuensi nadi
Normal Takikardi Takikardi Dradikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi normal per menit2-12 bulan < 1601-2 tahun < 1206-8 tahun < 110
Pulsus paradoksus(pemeriksaannya tidak praktis)
Tidak ada (< 10 mmHg)
Ada(10-20 mmHg)
Ada(>20mmHg)
Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik
PEFR atau FEV1(%nilai dugaan/%nilai terbaik)Pra bonkodilatorPasca bronkodilator
>60%>80%
40-60%60-80%
<40%<60%, respon<2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%PaO2 Normal
(biasanya tidak perlu diperiksa)
>60 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg
<45 mmHg >45 mmHg
Sumber : GINA, 2006
12
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan
asma terkontrol. Berdasarkan keadaan terkontrol asma dibagi menjadi(2):
1) Asma terkontrol
2) Asma terkontrol sebagian
3) Asma tidak terkontrol
Tabel 4: Level asma terkontrol yaitu :1
No Karakteristik Terkontol Terkontrol parsial
Tak terkontrol
1 Gejala siang ≤ 2x / mgg > 2x / mgg 3 atau lebih keadaan terkontrol parsial pada tiap-tiap minggu
2 Hambatan aktiftas
Tdk ada Ada
3 Gejala malam/ bangun waktu malam
Tidk ada Ada
4 Perlu reliever ≤ 2x /mgg > 2x / mgg
5 Fungsi paru (PEFR/FEV1)
Normal < 80% prediksi atau hasil terbaik (bila ada)
Asma dikatakan terkontrol jika : 1
• Gejala minimal (sebaiknya tidak ada) termasuk gejala malam
• Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
• Kebutuhan bronkodilator (agonis-2 kerja singkat) minimal (ideal tidak
dibutuhkan)
• Variasi harian APE < 20%
• Nilai AP normal atau mendekati normal
13
• Efek samping obat minimal
• Tidak ada kunjungan ke gawat darurat
• Kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
F. Diagnosis Asma Bronchial
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis
yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 1
RI`WAYAT PENYAKIT / GEJALA :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.1
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.1
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
14
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka
sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain
misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.1
FAAL PARU
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:1`
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).1
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
15
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.1
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis
asma.
- Menilai derajat berat asma
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit.
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal
paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat
berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya
dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi
normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik p4enderita yang
bersangkutan.1
16
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara:1
- Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan
nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah
APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari.1
PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS
1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik .1
2. Pengukuran Status Alergi
17
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.1
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan
positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit
pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total
tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.1
Tabel 5: Diagnosa asma1
1. DIAGNOSIS BANDING
18
Diagnosis banding asma antara lain sbb :1
Dewasa
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis
G. Penatalaksanaan Asma Bronchial
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma.1
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma
adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
19
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau.
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat.1
Program penatalaksanaan asma menurut PDPI:1
1. Edukasi
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan
maupun berkelompok denganberbagai metode. Pada prinsipnya edukasi
diberikan pada :
Kunjungan awal (I)
Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan
pertama
Kunjungan berikut (III)
Kunjungan-kunjungan berikutnya
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
20
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan.
4. Perencanaan pengobatan jangka panjang
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggiObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid
200-500 ug200-400 ug500-1000 ug100-250 ug400-1000 ug
500-1000 ug400-800 ug1000-2000 ug250-500 ug1000-2000 ug
>1000 ug>800 ug>2000 ug>500 ug>2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggiObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid
100-400 ug100-200 ug500-750 ug100-200 ug400-800 ug
400-800 ug200-400 ug1000-1250 ug200-500 ug800-1200 ug
>800 ug>400 ug>1250 ug>500 ug>1200 ug
21
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu
diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai
pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6
minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin
lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai
studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru.
e. Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
22
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Formoterol
Lambat Salmeterol
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga
mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah
zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas. Termasuk pelega adalah :
a. Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai
kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2
yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
23
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada
serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-
induced asthma
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal
intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia
lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat
diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).
Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma
24
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat
Asma
Medikasi pengontrol harian
Alternatif / Pilihan lain Alternatif
lain
Asma
Intermiten
Tidak perlu -------- -------
Asma
Persisten
Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug
BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers
------
Asma
Persisten
Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah
agonis
beta-2
kerja lama
oral, atau
Ditambah
teofilin
lepas
lambat
Asma
Persisten
Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah
agonis
beta-2
kerja lama
oral, atau
Ditambah
teofilin
lepas
lambat
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral
25
Persisten Berat
glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:
teofilin lepas lambat leukotriene modifiers glukokortikosteroid
oral
selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengankondisi asma tetap terkontrol
5. Penatalaksanaan serangan akut
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan
serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan
tepat,selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan
apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang,observasi, rawat inap,
intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut
mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian
pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan
serangan asma. Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi
saat terjadi serangan, apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-
hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah
sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya (lihat bagan
penatalaksanaan asma di rumah).Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter
dan atau fasiliti rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan
memberikan penanganan.
6. Kontrol Teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan
oleh dokter yaitu :
Tindak lanjut (follow-up) teratur
Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan
7.Pola Hidup
26
Meningkatkan kebugaran fisis
Berhenti atau tidak pernah merokok
Lingkungan Kerja harus bebas dari faktor pencetus asma
G. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 6
a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema
H. Prognosis Asma Bronchial
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78%.
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma
terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian.7