1
juga akan berdampak pada pe- ningkatan ekonomi masyarakat. Kami melihat pemerintah dae- rah sangat responsif, yang juga melibatkan masyarakat, LSM, perguruan tinggi, hingga per- usahaan swasta lokal dan multi- nasional,” ujar Duta Besar Nor- wegia untuk Indonesia Eivind S Homme saat berkunjung ke Taman Nasional Sebangau, Pa- langkaraya, pekan lalu. Ia pun menguar teori bahwa kontribusi 80% penggundulan hutan dan pembalakan liar dunia yang terjadi di Indonesia bisa diatasi secepatnya dengan pola pelibatan berbagai unsur tersebut. Bukti itu terpapar di Taman Nasional Sebangau. Pengelo- laan taman nasional seluas 568.700 hektare yang melibat- kan beberapa lembaga ternyata menunjukkan hasil maksimal. Saat ini, taman itu mendapat perhatian besar dari Garuda Indonesia, Bank Indonesia, Holcim, Pricewaterhouse Coo- pers (PwC), hingga Google Inc. Perhatian ditunjukkan perusahaan itu setelah mereka bertemu dalam acara bisnis untuk lingkungan (business for environment/B4E) di Jakarta, 27-29 April lalu. “Saya merasa gembira ka- rena melihat perkembangan Taman Nasional Sebangun. Di sini, kerja sama tidak ha- nya terjadi antara LSM seperti World Wildlife Fund (WWF) dengan Kementerian Kehu- tanan, tetapi juga antusiasme dari banyak perusahaan untuk membantu melestarikannya,” ujar Homme. Ada kesan khusus sang duta besar ketika berkunjung ke Sebangau. Tiga kali sudah ia mengunjungi taman itu, yakni pada 2009, Januari lalu, dan akhir April. Ia melihat inten- sitas kebakaran lahan gambut sudah menurun. Begitu juga pembalakan liar, penanganan para perusak lingkungan, hing- ga pelibatan masyarakat sekitar untuk membantu menjaga ta- man nasional di sekitar Sungai Sebangau ini. Tidak sekadar berkontribusi menanam pohon untuk peng- hutanan kembali, perusahaan seperti Garuda Indonesia di- harapkan bisa menyebarluas- kan kampanye sadar lingkung- an kepada para penumpang. Salah satu yang sudah digulir- kan Garuda adalah mendorong program satu penumpang satu pohon. Hal yang sama diharapkan bisa dilakukan Google Inc, yang menjadi operator mesin pencari (search engine) terde- pan di dunia maya. Pantauan melalui tur Google Earth bisa membuat banyak pihak melihat perkembangan taman nasional. Itu berarti mengundang lebih banyak elemen memberi kontri- busi penyelamatan lingkungan. (SS/N-2) [email protected] 23 RABU, 11 MEI 2011 USANTARA Hutan Lestari Penghuni Nyaman njaga Gambut Dunia PERJALANAN menyusuri sela-sela tum- buhan rasau (Pandanus helicopus) di Sungai Sebangau terasa mendebarkan. Di atas perahu motor berkapasitas 12 orang, di atas hamparan air berkedalaman 3-7 meter, ter- bayangkan buaya muara yang bisa muncul kapan saja. Aliran yang seolah tak bertepi itu membe- lah Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng). Yosua, 46, pengemudi taksi air (sebutan perahu motor) dengan tarif Rp3 juta untuk rute pergi pulang dari Dermaga Kereng Bangkirai, Palangkaraya, sesekali melambat- kan laju saat harus memutar kemudi perahu mengikuti kelokan sungai tersebut. Kecemasan hilang saat perjalanan sekitar 1 jam berakhir di Resort Taman Nasional Se- bangau yang dikelola Balai Taman Nasional Sebangau Kementerian Kehutanan yang bekerja sama dengan organisasi konservasi global, WWF Indonesia. Taman Nasional Sebangau yang merupakan kawasan lahan gambut dialiri Sungai Seba- ngau dan Sungai Katingan, dengan total luas lahan 568.700 hektare. Hutan itu berstatus taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 423/Menhut- II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Kawasan itu menjadi habitat konser- vasi bagi 6.000-9.000 orang utan ( Pongo pygmaeus). “Ini merupakan habitat terbesar di dunia berdasarkan hasil penelitian WWF 2007,” ujar Program Manager of WWF Kalimantan Tengah Rosenda Chandra Kasih. Populasi orang hutan liar itu jauh lebih besar daripada populasi mamalia sejenis di Taman Nasional Tanjung Puting di provinsi yang sama, yang kini mencapai 2.000 ekor. Tanjung Puting merupakan pusat konser- vasi dan penangkaran orang utan yang sebagian besar dari hasil razia kepemilikan di masyarakat. Belantara itu juga dihuni monyet berhidung besar (bekantan), macan dahan, bangau tong- tong, hingga burung khas Kalimantan, yakni burung enggang. Daerah tangkapan air itu berpenduduk 61.684 di 46 desa. Sebagian besar masyarakat bergantung nafkah mereka pada kekayaan yang dikandung Taman Nasional Sebangau, seperti mencari ikan. Pada kurun waktu 1980-1995, kawasan itu berstatus hutan produksi yang dieksploitasi 13 perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Mereka membangun kanal untuk mengeluarkan kayu dari hutan. Kanal-kanal itu mengakibatkan berkurangnya kandungan air di belantara Sebangau sehingga kawasan ini mudah terbakar. “Penyebab terjadinya kekeringan dan keru- sakan gambut adalah keberadaan ratusan ka- nal yang dipergunakan untuk mengeluarkan kayu. Kebakaran menyebabkan kerusakan lingkungan, terdesaknya binatang penghuni hingga dampak pada kesehatan dan masalah ekonomi untuk masyarakat dan pemerintah,” ujar Kepala Badan Nasional Taman Nasional Sebangau Haryadi. Untuk memulihkan kerusakan itu, restorasi lahan gambut dilakukan melalui pengelolaan air (canal blocking). Saat ini telah terbangun 428 dam untuk memulihkan degradasi gambut, dengan memelihara kelembapan, menghin- dari terjadinya kebakaran supaya tidak ada emisi karbon dioksida (CO2) yang terlepas. “Kita juga berusaha melibatkan masyarakat sekitar. Solusi terpenting mengatasi per- masalahan lahan gambut, yaitu mengurangi kebakaran. Kuncinya adalah gambut akan perlahan kembali berfungsi secara ekologis jika tidak kering dan terbakar,” ujarnya. Ia mengutarakan keterlibatan masyarakat dan pihak swasta serta dunia usaha diperlu- kan untuk pengelolaan dan pelestarian lahan gambut. “Salah satu program, yaitu pohon baru (new trees) di lahan kritis di Sebangau, kami rancang untuk melibatkan pihak swasta. Prinsip utama dalam program ini perusahaan swasta komitmen untuk membiayai penanam- an untuk sejumlah hektare yang diinginkan, untuk menyelamatkan habitat di area kritis di Sebangau,” tambah Rosenda. Keterlibatan perusahaan (baik swasta mau- pun badan usaha milik negara/BUMN) ber- bentuk pembelian pohon dengan harga US$3 per pohon. Minimal pembelian sekitar 400 pohon untuk ditanam di lahan 1 hektare. Tumbuh kembang pohon akan dimonitor melalui teknologi geotagged dan bisa dilihat melalui layanan daring (online). Pembibitan serta penanaman akan dilaku- kan masyarakat sekitar dengan spesies lokal, seperti jenis tanaman yang direkomendasi- kan belangeran (Shorea belangeran), gerong- gang (Cratoxylum sp), tumih (Combretocarpus rotundatus ), tutup kabali ( Diospyros sp), pantung (Dyera lowii), atau jelutung (Dyera costulata ). “Ini akan menjadi tambahan pendapatan untuk masyarakat sehingga mereka merasa ikut terlibat dan tidak lagi melakukan pembukaan lahan dan pembalak- an liar,” paparnya. Tumbuhan itu menjadi penyedia makanan bagi habitat di hutan Sebagau. Saat ini, menurut Rosenda, penghijauan tengah dilakukan terhadap 26 ribu hektare lahan yang rusak di Sebangau. Meskipun pengelolaannya belum sem- purna, Sebangau diharapkan menjadi contoh yang baik dalam pelestarian hutan rawa gambut. Itu juga diharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi para penghuninya dengan kebutuhan hidup mereka tersedia di belantara sehingga tidak perlu lagi ke luar hutan untuk mencari mangsa. (Jaz/N-1) batan rakyat setempat harus sekitar 20% dari luas lahan yang dikelola perusahaan swasta. Dengan penetapan daerah itu sebagai wilayah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reduce emis- sions from deforestation and forest degradation/REDD), pihaknya mencanangkan target menekan 20 ribu ton emisi dalam dua tahun di lahan 50 ribu hektare. “Kami ingin menyeimbang- kan pertumbuhan ekonomi yang kami capai di kisaran 6,4% pada 2010 dan menekan angka kemiskinan dari 6,7% dan 3,88% angka penganggur- an tanpa harus membabi buta merusak alam,” tandas Wakil Gubernur. Daerah percontohan Kalimantan Tengah juga menjadi daerah fokus percon- tohan dari kesepakatan mora- torium hutan yang diteken pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia, awal 2010. Indonesia berkomitmen akan melakukan moratorium konversi hutan dan lahan gam- but selama dua tahun yang dimulai pada awal 2011. Sebagai konsekuensinya, Norwegia menjanjikan dana hi- bah US$1 miliar. Pemberlakuan moratarium selama dua tahun itu diharapkan bisa menu- runkan emisi karbon hingga 26% pada 2020. “Tujuan dari kesepakatan ini MEMELIHARA KELEMBAPAN: Pembuatan bendungan (dam) merupakan upaya memelihara kelembapan lahan gambut untuk menghindari terjadinya kebakaran dan berkurangnya emisi gas karbon yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 428 dam telah dibangun di Taman Nasional Sebangau dengan memblokade kanal-kanal yang dulu dipakai mengangkut kayu hasil pembalakan liar. rasau (Pandanus helicopus) di Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah, Sabtu (30/4) lalu. Kawasan hutan FOTO-FOTO: MI/JAJANG SUMANTRI ME lah ter me

RABU, 11 MEI 2011 njaga Gambut - ftp.unpad.ac.id · Solusi terpenting mengatasi per-masalahan lahan gambut, yaitu mengurangi kebakaran. Kuncinya adalah gambut akan ... bagi habitat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RABU, 11 MEI 2011 njaga Gambut - ftp.unpad.ac.id · Solusi terpenting mengatasi per-masalahan lahan gambut, yaitu mengurangi kebakaran. Kuncinya adalah gambut akan ... bagi habitat

juga akan berdampak pada pe-ningkatan ekonomi masyarakat. Kami melihat pemerintah dae-rah sangat responsif, yang juga melibatkan masyarakat, LSM, perguruan tinggi, hingga per-usahaan swasta lokal dan multi-nasional,” ujar Duta Besar Nor-wegia untuk Indonesia Eivind S Homme saat berkunjung ke Taman Nasional Sebangau, Pa-langkaraya, pekan lalu.

Ia pun menguar teori bahwa kontribusi 80% penggundulan hutan dan pembalakan liar dunia yang terjadi di Indonesia bisa diatasi secepatnya dengan pola pelibatan berbagai unsur tersebut.

Bukti itu terpapar di Taman Nasional Sebangau. Pengelo-laan taman nasional seluas 568.700 hektare yang melibat-kan beberapa lembaga ternyata menunjukkan hasil maksimal.

Saat ini, taman itu mendapat perhatian besar dari Garuda Indonesia, Bank Indonesia, Holcim, Pricewaterhouse Coo-pers (PwC), hingga Google Inc. Perhatian ditunjukkan perusahaan itu setelah mereka bertemu dalam acara bisnis untuk lingkungan (business for environment/B4E) di Jakarta, 27-29 April lalu.

“Saya merasa gembira ka-rena melihat perkembangan Taman Nasional Sebangun. Di sini, kerja sama tidak ha-nya terjadi antara LSM seperti World Wildlife Fund (WWF) dengan Kementerian Kehu-tanan, tetapi juga antusiasme dari banyak perusahaan untuk membantu melestarikannya,” ujar Homme.

Ada kesan khusus sang duta besar ketika berkunjung ke Sebangau. Tiga kali sudah ia mengunjungi taman itu, yakni pada 2009, Januari lalu, dan akhir April. Ia melihat inten-sitas kebakaran lahan gambut sudah menurun. Begitu juga pembalakan liar, penanganan para perusak lingkungan, hing-ga pelibatan masyarakat sekitar untuk membantu menjaga ta-man nasional di sekitar Sungai Sebangau ini.

Tidak sekadar berkontribusi menanam pohon untuk peng-hutanan kembali, perusahaan seperti Garuda Indonesia di-harapkan bisa menyebarluas-kan kampanye sadar lingkung-an kepada para penumpang. Salah satu yang sudah digulir-kan Garuda adalah mendorong program satu penumpang satu pohon.

Hal yang sama diharapkan bisa dilakukan Google Inc, yang menjadi operator mesin pencari (search engine) terde-pan di dunia maya. Pantauan melalui fi tur Google Earth bisa membuat banyak pihak melihat perkembangan taman nasional. Itu berarti mengundang lebih banyak elemen memberi kontri-busi penyelamatan lingkung an. (SS/N-2)

[email protected]

23 RABU, 11 MEI 2011USANTARA

Hutan Lestari Penghuni Nyaman

njaga Gambut Dunia

PERJALANAN menyusuri sela-sela tum-buhan rasau (Pandanus helicopus) di Sungai Sebangau terasa mendebarkan. Di atas perahu motor berkapasitas 12 orang, di atas hamparan air berkedalaman 3-7 meter, ter-bayangkan buaya muara yang bisa muncul kapan saja.

Aliran yang seolah tak bertepi itu membe-lah Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Yosua, 46, pengemudi taksi air (sebutan perahu motor) dengan tarif Rp3 juta untuk rute pergi pulang dari Dermaga Kereng Bangkirai, Palangkaraya, sesekali melambat-kan laju saat harus memutar kemudi perahu mengikuti kelokan sungai tersebut.

Kecemasan hilang saat perjalanan sekitar 1 jam berakhir di Resort Taman Nasional Se-bangau yang dikelola Balai Taman Nasional Sebangau Kementerian Kehutanan yang bekerja sama dengan organisasi konservasi global, WWF Indonesia.

Taman Nasional Sebangau yang merupakan kawasan lahan gambut dialiri Sungai Seba-ngau dan Sungai Katingan, dengan total luas lahan 568.700 hektare. Hutan itu berstatus taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.

Kawasan itu menjadi habitat konser-vasi bagi 6.000-9.000 orang utan (Pongo pygmaeus).

“Ini merupakan habitat terbesar di dunia berdasarkan hasil penelitian WWF 2007,” ujar Program Manager of WWF Kalimantan Tengah Rosenda Chandra Kasih.

Populasi orang hutan liar itu jauh lebih besar daripada populasi mamalia sejenis di Taman Nasional Tanjung Puting di provinsi yang sama, yang kini mencapai 2.000 ekor. Tanjung Puting merupakan pusat konser-vasi dan penangkaran orang utan yang sebagian besar dari hasil razia kepemilikan di masyarakat.

Belantara itu juga dihuni monyet berhidung besar (bekantan), macan dahan, bangau tong-tong, hingga burung khas Kalimantan, yakni burung enggang.

Daerah tangkapan air itu berpenduduk 61.684 di 46 desa. Sebagian besar masyarakat bergantung nafkah mereka pada kekayaan yang dikandung Taman Nasional Sebangau, seperti mencari ikan.

Pada kurun waktu 1980-1995, kawasan itu berstatus hutan produksi yang dieksploitasi 13 perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Mereka membangun kanal untuk mengeluarkan kayu dari hutan. Kanal-kanal itu mengakibatkan berkurangnya kandungan air di belantara Sebangau sehingga kawasan ini mudah terbakar.

“Penyebab terjadinya kekeringan dan keru-sakan gambut adalah keberadaan ratusan ka-

nal yang dipergunakan untuk mengeluarkan kayu. Kebakaran menyebabkan kerusakan lingkungan, terdesaknya binatang penghuni hingga dampak pada kesehatan dan masalah ekonomi untuk masyarakat dan pemerintah,” ujar Kepala Badan Nasional Taman Nasional Sebangau Haryadi.

Untuk memulihkan kerusakan itu, restorasi lahan gambut dilakukan melalui pengelolaan air (canal blocking). Saat ini telah terbangun 428 dam untuk memulihkan degradasi gambut, dengan memelihara kelembapan, menghin-dari terjadinya kebakaran supaya tidak ada emisi karbon dioksida (CO2) yang terlepas.

“Kita juga berusaha melibatkan masyarakat sekitar. Solusi terpenting mengatasi per-masalahan lahan gambut, yaitu mengurangi kebakaran. Kuncinya adalah gambut akan perlahan kembali berfungsi secara ekologis jika tidak kering dan terbakar,” ujarnya.

Ia mengutarakan keterlibatan masyarakat dan pihak swasta serta dunia usaha diperlu-kan untuk pengelolaan dan pelestarian lahan gambut. “Salah satu program, yaitu pohon baru (new trees) di lahan kritis di Sebangau, kami rancang untuk melibatkan pihak swasta. Prinsip utama dalam program ini perusahaan swasta komitmen untuk membiayai penanam-an untuk sejumlah hektare yang diinginkan, untuk menyelamatkan habitat di area kritis di Sebangau,” tambah Rosenda.

Keterlibatan perusahaan (baik swasta mau-pun badan usaha milik negara/BUMN) ber-bentuk pembelian pohon dengan harga US$3 per pohon. Minimal pembelian sekitar 400 pohon untuk ditanam di lahan 1 hektare.

Tumbuh kembang pohon akan dimonitor melalui teknologi geotagged dan bisa dilihat melalui layanan daring (online).

Pembibitan serta penanaman akan dilaku-kan masyarakat sekitar dengan spesies lokal, seperti jenis tanaman yang direkomendasi-kan belangeran (Shorea belangeran), gerong-gang (Cratoxylum sp), tumih (Combretocarpus rotundatus), tutup kabali (Diospyros sp), pantung (Dyera lowii), atau jelutung (D yera costulata). “Ini akan menjadi tambahan pendapatan untuk masyarakat sehingga mereka merasa ikut terlibat dan tidak lagi melakukan pembukaan lahan dan pembalak-an liar,” paparnya.

Tumbuhan itu menjadi penyedia makanan bagi habitat di hutan Sebagau.

Saat ini, menurut Rosenda, penghijauan tengah dilakukan terhadap 26 ribu hektare lahan yang rusak di Sebangau.

Meskipun pengelolaannya belum sem-purna, Sebangau diharapkan menjadi contoh yang baik dalam pelestarian hutan rawa gambut. Itu juga diharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi para penghuninya dengan kebutuhan hidup mereka tersedia di belantara sehingga tidak perlu lagi ke luar hutan untuk mencari mangsa. (Jaz/N-1)

batan rakyat setempat harus sekitar 20% dari luas lahan yang dikelola perusahaan swasta.

Dengan penetapan daerah itu sebagai wilayah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reduce emis-sions from deforestation and forest degradation/REDD), pihaknya mencanangkan target menekan 20 ribu ton emisi dalam dua tahun di lahan 50 ribu hektare. “Kami ingin menyeimbang-kan pertumbuhan ekonomi

yang kami capai di kisaran 6,4% pada 2010 dan menekan angka kemiskinan dari 6,7% dan 3,88% angka penganggur-an tanpa harus membabi buta merusak alam,” tandas Wakil Gubernur.

Daerah percontohanKalimantan Tengah juga

menjadi daerah fokus percon-tohan dari kesepakatan mora-torium hutan yang diteken pemerintah Indonesia dengan

pemerintah Norwegia, awal 2010. Indonesia berkomitmen akan melakukan moratorium konversi hutan dan lahan gam-but selama dua tahun yang dimulai pada awal 2011.

Sebagai konsekuensinya, Norwegia menjanjikan dana hi-bah US$1 miliar. Pemberlakuan moratarium selama dua tahun itu diharapkan bisa menu-runkan emisi karbon hingga 26% pada 2020.

“Tujuan dari kesepakatan ini

MEMELIHARA KELEMBAPAN: Pembuatan bendungan (dam) merupakan upaya memelihara kelembapan lahan gambut untuk menghindari terjadinya kebakaran dan berkurangnya emisi gas karbon yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 428 dam telah dibangun di Taman Nasional Sebangau dengan memblokade kanal-kanal yang dulu dipakai mengangkut kayu hasil pembalakan liar.

rasau (Pandanus helicopus) di Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah, Sabtu (30/4) lalu. Kawasan hutan

FOTO-FOTO: MI/JAJANG SUMANTRI

MElahterme