Upload
hakiet
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Abstrak—Energi angin merupakan salah satu sumber
energi terbarukan Akan tetapi kecepatan angin yang
berubah-ubah menjadikan salah satu kendala terutama
bagi desain turbin angin konvensional. Hal ini dapat
menyebabkan putaran turbin angin yang tidak konstan
dan bergantung pada naik turunnya kecepatan angin.
Dalam tugas akhir ini telah dirancang sebuah sistem
pengendalian blade pitch angle pada prototype turbin
angin yang berbasis �euro-fuzzy. Tujuannya adalah untuk
menjaga kecepatan putar shaft agar tetap konstan pada
range operasi generator, yang dianalogikan dengan sebuah
nilai set point tertentu. Kecepatan putaran shaft disensor
menggunakan rotary encoder. Berdasarkan kecepatan
sudut shaft, sistem kontrol mengendalikan sudut pitch
dari blade. Perubahan sudut pitch ini akan secara
signifikan mempengaruhi kecepatan putar shaft. Pada
tugas akhir ini didesain dua buah kontroler. Kontroler
pertama memiliki fungsi keanggotaan input error
sebanyak 7 dan delta error sebanyak 3 . Kontroler kedua
memiliki fungsi keanggotaan input error sebanyak 9 dan
delta error sebanyak 3. Kontroler pertama dinilai gagal
melakukan aksi kontrol karena nilai error steady state
diatas 5% dan tidak dapat mencapai setpoint pada rpm
tinggi. Sedangkan kontroler kedua dapat bekerja dengan
baik dalam mempertahankan set point.
Kata kunci : �euro-fuzzy, sistem pengendalian, sudut pitch, turbin
angin.
I. PENDAHULUAN
eberapa tahun terakhir ini isu tentang pencemaran
lingkungan secara global semakin sering dibicarakan.
Oleh karena itu, penggunaan energi alternatif dan energi yang
ramah lingkungan semakin meningkat. Energi angin
merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang murah
harganya dan merupakan sumber energi alternatif yang baik.
Sebenarnya penggunaan energi angin telah dilakukan sudah
sejak lama. Saat ini turbin angin dipasang pada beberapa
negara untuk memproduksi energi listrik.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
kecepatan angin yang berubah-ubah. Oleh karena itu
pemanfaatan energi anginnya masih sangat minim.
Kebanyakan desain dari turbin angin yang masih ada di
Indonesia masih sangat konvensional dan belum adanya
sistem kontrol sehingga energi listrik yang dihasilkan masih
belum maksimal.[1]
Ada beberapa cara untuk memaksimalkan daya yang
dihasilkan oleh turbin angin. Salah satu cara yang paling
sering digunakan adalah penambahan sistem kontrol pada
turbin angin. Tujuannya adalah untuk mengontrol kecepatan
sudut dari shaft penggerak rotor dari generator. Kontrol
kecepatan sudut ini dibutuhkan generator untuk menghasilkan
kecepatan tertentu agar dapat beroperasi secara penuh. Bila
kecepatan kurang dari range operasi, maka tidak akan
dihasilkan energi listrik yang cukup begitu pula bila kecepatan
melebihi range operasi dari generator, maka generator akan
rusak. Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem pengendalian
kemiringan sudut blade yang yang dapat mengantisipasi
kecepatan angin yang selalu berubah-ubah. Sistem
pengendalian yang akan dibuat berbasis neuro-fuzzy sebab
karakteristik dari kecepatan angin yang tidak linear. Selain itu
neuro-fuzzy juga memiliki kelebihan dalam mengolah data
dan kemampuan untuk mempelajari dan mengatur dirinya.
Sehingga diharapkan sistem pengendalian memiliki
performansi yang baik dan dapat meningkatkan efisiensi dari
turbin angin.
II. DASAR TEORI
A. Energi Angin
Salah satu energi terbarukan yang berkembang pesat di
dunia saat ini adalah energi angin. Pemanfaatan energi angin
ini, selain dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi
fosil, diharapkan juga dapat meningkatkan efektifitas dan
efisiensi sistem pertanian, yang pada gilirannya akan
meningkatkan produktifitas masyarakat pertanian.
Tabel 1. Potensi angin di Indonesia[1]
Kelas Kec.
Angin
( m/s )
Daya
spesifik
( W/ m2 )
Lokasi
( Wilayah )
Skala
Kecil
2.5 –
4.0
< 75 Jawa, NTB,
NTT, Maluku,
Sulawesi
Skala
Menengah
4.0 –
5.0
75 - 150 NTB, NTT,
Sulsel, Sultra,
selatan Jawa
Skala
Besar
> 5.0 > 150 Sulsel, NTB
dan NTT,
Pantai Selatan Jawa
Secara umum, pemanfaatan tenaga angin di Indonesia
memang kurang mendapat perhatian. Sampai tahun 2010,
kapasitas terpasang dari pemanfaatan tenaga angin hanya
mencapai 1,4 MW yang tidakmeningkat dari tahun
Rancang Bangun Sistem Pengendalian Blade Pitch Angle Pada Prototipe
Turbin Angin Berbasis �euro-Fuzzy
Denny Putra Pratama, Dr.Bambang Lelono.W.ST.MT, Ir.Ali Musyafa’M.Sc. Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology
ITS Surabaya Indonesia 60111, email: [email protected]
B
2
sebelumnya. Padahal kapasitas pembangkitan listrik tenaga
angin di dunia telah berkembang pesat dengan laju
pertumbuhan kumulatif sampai dengan tahun 2010 mencapai
23 persen per tahun. Untuk mengetahui perkembangan
penggunaan energy angin diseluruh dunia dapat dilihat pada
gambar 1.
Gbr. 1. Laju Pertumbuhan Energi Angin Tahunan di Dunia[2].
B. Turbin Angin
Sebuah turbin angin memiliki beberapa komponen utama
dalam melakukan fungsinya sebagai alat konversi energi.
Sebuah turbin angin memiliki sejumlah blade yang terpasang
di bagian depan pada sebuah poros putar (shaft) yang
terhubung ke belakang melalui kotak gearbox. Jumlah blade
yang dipasang biasanya berjumlah 2,3, atau 4. Blade ini
berfungsi untuk menangkap energi angin menjadi energi
mekanik putarannya Poros putar keluar dari gearbox menuju
generator di bagian belakang yang mengubah energi mekanis
menjadi energi listrik. Gearbox berfungsi untuk mengubah
kecepatan putar dari shaft yang rendah menjadi kecepatan
putar yang tinggi sebelum masuk ke generator. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.
Gbr. 2. Komponen Horizontal Axis Wind Turbine 2 Blade[3]
C. Prinsip Kerja Turbin Angin
Prinsip dasar bahwa sebuah wind turbine dapat berputar
pada porosnya adalah karena adanya vektor dari gaya lift dan
gaya drag yang dihasilkan akibat bentuk aerodinamis dari
penampang blade tersebut. Pada gambar 2.1 dijelaskan ketika
sebuah airfoil terkena angin dari arah depan, maka akan
menghasilkan vektor gaya lift (L) dan drag (D). Gaya lift dan
gaya drag ini perubahannya dipengaruhi langsung oleh bentuk
geometri blade, kecepatan dan arah angin terhadap garis utama
blade. Akibat dari perubahan gaya lift dan drag, maka
kecepatan sudut dan torsi poros akan berubah pula. Blade
Pitch Angle Control System adalah salah satu mekanisme
kontrol pada wind turbine yang bekerja dengan mengontrol
aerodinamis dari blade melalui kontrol kemiringan sudut
blade terhadap arah tiupan angin (angle of attack) seperti
tampak pada gambar 3. Perubahan sudut blade ini akan
mempengaruhi kecepatan sudut (RPM) dari shaft karena
adanya perubahan jumlah daya tiup angin yang diterima oleh
blade yang dikonversi menjadi kecepatan putar shaft.
Gbr. 3. Vektor Gaya Pada Air Foil dengan Angle of Attack Berbeda [1]
Gbr. 4. Blade Pitch Angle Control System [5]
(a) Tampak Depan (b) Tampak Samping
Daya dari angin yang dapat ditangkap oleh sebuah
horizontal axis wind turbine (HAWT) dapat diturunkan dari
persamaan energi kinetik angin yang bergerak dengan
kecepatan tertentu kearah x. adapun persamaan energi yang
menabrak wind turbine adalah sebagai berikut[3]:
� = �� ���� = �
� (�� ��)��� (1)
Diketahui bahwa daya adalah turunan dari energi terhadap
waktu, maka:
� = ���� = �
� �� ���� ���� = �
� ����� (2)
Selain pada kecepatan angin, power juga tergantung pada
Cp (Coeffisien Power). Semakin besar nilai Cp maka akan
semakin besar power yang dapat ditangkap oleh wind turbine.
Cp sendiri adalah merupakan fungsi dari λ (tip speed ratio)
dan θ (pitch angle). Jadi persamaan 2dapat ditulis kembali
menjadi:
� = �� ������(�, )!�"#$ (3)
Sedangkan λ sendiri dirumuskan sbagai berikut :
% = &'� (4)
Dimana :
λ = tip speed ratio
ω = kecepatan sudut (rps)
v = kecepatan angin (m/s)
R = jari-jari rotor blade (m)
Jika diasumsikan ω adalah konstan sesuai set point yang
diinginkan dan R blade adalah konstan, maka Cp hanya akan
bergantung pada v (kecepatan angin) dan θ (pitcth
sinilah kemudian θ dijadikan variabel yang dikontrol sebagai
kompensasi perubahan kecepatan angin (v) untuk
mendapatkan power yang diinginkan. Sedangkan untuk
mendapatkan θ sesuai dengan yang dibutuhkan dilakukan
pengambilan data dengan menggunakan kecepatan angin (v)
yang ditentukan.
D. Adaptive �euro-Fuzzy Inference System (A�FIS)
ANFIS adalah penggabungan mekanisme
system yang digambarkan dalam arsitektur jaringan syaraf.
Sistem inferensi fuzzy yang digunakan adalah sistem inferensi
fuzzy model Tagaki-Sugeno-Kang (TSK) ord
pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan komputasi.
Salah satu contoh ilustrasi mekanisme inferensi fuzzy TSK
orde satu dengan dua input x dan y. Cara kerjanya seperti
sistem FIS biasa akan tetapi cara perhitungannya
(algoritmanya) berbeda.
1) Struktur A�FIS
Struktur ANFIS yang menggambarkan sistem fuzzy TSK
seperti yang bisa digambarkan dalam diagram blok atau
disebut arsitektur jaringan syaraf feedforward
ini.
Gbr. 5. Struktur ANFIS 5 Lapisan[6]
Pada gambar 5 terlihat sistem neuro-fuzzy
lapisan dengan fungsi yang berbeda untuk tiap lapisannya.
Tiap lapisan terdiri atas beberapa simpul yang dilambangkan
dengan kotak atau lingkaran. Lambang kotak menyatakan
simpul adaptif artinya nilai parameternya bisa ber
pembelajaran dan lambang lingkaran menyatakan simpul
nonadaptif yang nilainya tetap. Adapun persamaan pada tiap
tiap lapisan adalah sebagai berikut
2) Fungsi Keanggotaan
Salah satu fungsi keanggotaan yang digunakan pada ANFIS
adalah tipe segitiga. Fungsi keanggotaan segitiga dibentuk dari
tiga titik dan dua buah garis lurus. Pada
fungsi keanggotaan segitiga dikenal dengan nama
keanggotaan segitiga dapat dirumuskan:
((); +, ,, -) =./0/1
0, ) 3 +45� 65� , + 3 ) 3 ,754756 , , 3 ) 3 -
0, - 3 ) 8/9/:
Jika diasumsikan ω adalah konstan sesuai set point yang
adalah konstan, maka Cp hanya akan
pitcth angle), dari
abel yang dikontrol sebagai
kompensasi perubahan kecepatan angin (v) untuk
yang diinginkan. Sedangkan untuk
mendapatkan θ sesuai dengan yang dibutuhkan dilakukan
pengambilan data dengan menggunakan kecepatan angin (v)
Fuzzy Inference System (A�FIS)
ANFIS adalah penggabungan mekanisme fuzzy inference
yang digambarkan dalam arsitektur jaringan syaraf.
yang digunakan adalah sistem inferensi
Kang (TSK) orde satu dengan
pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan komputasi.
Salah satu contoh ilustrasi mekanisme inferensi fuzzy TSK
orde satu dengan dua input x dan y. Cara kerjanya seperti
sistem FIS biasa akan tetapi cara perhitungannya
Struktur ANFIS yang menggambarkan sistem fuzzy TSK
seperti yang bisa digambarkan dalam diagram blok atau
feedforward seperti di bawah
Struktur ANFIS 5 Lapisan[6]
fuzzy terdiri atas lima
lapisan dengan fungsi yang berbeda untuk tiap lapisannya.
Tiap lapisan terdiri atas beberapa simpul yang dilambangkan
dengan kotak atau lingkaran. Lambang kotak menyatakan
simpul adaptif artinya nilai parameternya bisa berubah dengan
pembelajaran dan lambang lingkaran menyatakan simpul
nonadaptif yang nilainya tetap. Adapun persamaan pada tiap –
Salah satu fungsi keanggotaan yang digunakan pada ANFIS
ga. Fungsi keanggotaan segitiga dibentuk dari
tiga titik dan dua buah garis lurus. Pada software matlab
fungsi keanggotaan segitiga dikenal dengan nama trimf.Fungsi
(10)
Gbr. 6. Contoh Fungsi Keanggotaan Segitiga[7
3) Algoritma Pembelajaran Hybrid
Pembelajaran ANFIS adalah proses pengubahan
parameter fungsi keanggotaan masukan dan keluaran dengan
menggunakan algoritma backpropagation
hybrid. Algoritma hybrid adalah gabungan antara
algoritma backpropagation dan RLSE (
Squares Estimator) yang digunakan untuk memperbaharui
parameter premis.
Tabel 2. Proses Pembelajaran Hybrid
Langkah Maju
Parameter Premis Tetap
Parameter
Konsekuen
RLSE
Sinyal Keluaran
Simpul
E. Mikrokontroler ATMega 16
AVR merupakan seri mikrokontrole
Atmel,berbasis arsitektur RISC (
Computer). Hampir semua instruksi dieksekusi dalam satu
siklus clock. AVR mempunyai 32 register
timer/counter fleksibel dengan mode
internal dan eksternal, serial UART,
dapat diprogram, dan mode menghemat daya, ADC dan
PWM internal. ATMega16 memiliki 40 pin yang memiliki
nama fungsi masing-masing seperti yang terdapat pada
gambar 7.
Gbr. 7. Contoh Fungsi Keanggotaan Segitiga[7
Timer/counter adalah fasilitas dari ATMega16 yang
digunakan untuk perhitungan pewaktuan ATmega16
memiliki 3 modul timer yang terdiri dari 2 buah
8 bit dan 1 buah timer/counter 16 bit.
and Asyncrhronous Serial Receiver and Transmitter
(USART) juga merupakan salah satu mode komunikasi
serial yang dimiliki oleh ATmega16. USART merupakan
komunikasi yang memiliki fleksibilitas tinggi, yang dapat
digunakan untuk melakukan transfer data baik antar
3
Contoh Fungsi Keanggotaan Segitiga[7]
Algoritma Pembelajaran Hybrid
Pembelajaran ANFIS adalah proses pengubahan
n masukan dan keluaran dengan
backpropagation atau algoritma
hybrid. Algoritma hybrid adalah gabungan antara
dan RLSE (Recursive Least
) yang digunakan untuk memperbaharui
Hybrid ANFIS[6].
Langkah Maju Langkah
mundur
Gradient
Descent
Tetap
Laju Kesalahan
AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS 8-bit buatan
Atmel,berbasis arsitektur RISC (Reduced Instruction Set
). Hampir semua instruksi dieksekusi dalam satu
. AVR mempunyai 32 register general-purpose,
fleksibel dengan mode compare, interrupt
, serial UART, Watchdog Timer yang
dapat diprogram, dan mode menghemat daya, ADC dan
ATMega16 memiliki 40 pin yang memiliki
masing seperti yang terdapat pada
i Keanggotaan Segitiga[7]
adalah fasilitas dari ATMega16 yang
digunakan untuk perhitungan pewaktuan ATmega16
memiliki 3 modul timer yang terdiri dari 2 buah timer/counter
16 bit. Universal Syncrhronous
Asyncrhronous Serial Receiver and Transmitter
(USART) juga merupakan salah satu mode komunikasi
serial yang dimiliki oleh ATmega16. USART merupakan
komunikasi yang memiliki fleksibilitas tinggi, yang dapat
transfer data baik antar
4
mikrokontroler maupun dengan modul-modul eksternal
termasuk PC yang memiliki fitur UART.
Metode Pulsa With Modulation (PWM) dapat
digunakan untuk mengatur kecepatan motor dan untuk
menghindarkan rangkaian mengkonsumsi daya berlebih.
PWM dapat mengatur kecepatan motor karena tegangan yang
diberikan dalam selang waktu tertentu saja. PWM ini dapat
dibangkitkan melalui software. Lebar pulsa PWM dinyatakan
dalam Duty Cycle. Misalnya duty cycle 10 %, berarti lebar
pulsa adalah 1/10 bagian dari satu perioda penuh.
Berikut adalah rumusan frekuensi sinyal keluaran pin
OC1A/OC1B (output compare 1A/1B) pada mode CTC
(Clear Timer on Compare Match) PWM dengan
menggunakan timer/counter 1.
(;<=�> = ?@AB�×D×;<=�> (5)
(;<=�E = ?@AB�×D×;<=�E (6)
F. Rotary Encoder
Rotary encoder, atau disebut juga Shaft encoder, merupakan
perangkat elektromekanikal yang digunakan untuk
mengkonversi posisi anguler (sudut) dari shaft (lubang) atau
roda ke dalam kode digital, menjadikannya semacam
tranduser. Perangkat ini biasanya digunakan dalam bidang
robotika, perangkat masukan komputer (seperti optomekanikal
mouse dan trackball), serta digunakan dalam kendali putaran
radar.
Gbr. 8. Rotary Encoder Relatif [8]
G. Motor Servo
Motor servo adalah sebuah motor dengan sistem closed
feedback di mana posisi dari motor akan diinformasikan
kembali ke rangkaian kontrol yang ada di dalam motor servo.
Motor ini terdiri dari sebuah motor, serangkaian gear,
potensiometer dan rangkaian kontrol. Motor servo memiliki
tiga kabel (pin) sebagai inputannya. Secara tipikal (sudah
standart) maka kabel-kabelnya memiliki susunan dan warna-
warna tertentu untuk satu macam inputan. Susunan kabelnya
secara berurutan adalah hitam, merah dan putih, dimana warna
hitam merupakan inputan untuk ground, kabel merah
merupakan inputan untuk Vcc dan kabel putih merupakan
inputan untuk sinyal PWM (kontrol).
Gbr. 9. Komponen penyusun motor servo [8]
III. PERANCANGAN BLADE PITCH ANGLE CONTROL
SYSTEM PADA TURBIN ANGIN
A. Pembuatan Prototype Turbin Angin
1) Pembuatan Blade Turbin Angin
Tipe airfoil yang digunakan pada blade turbin anginnya
merupakan tipe NREL S83N. Pemilihan tipe airfoil ini
berdasarkan referensi yang menyebutkan bahwa tipe NREL
S83N ini cocok digunakan untuk turbin angin skala kecil dan
digunakan pada daerah yang memiliki kecepatan angin
rendah. Blade yang digunakan memiliki panjang 1m dan
terbuat dari bahan fiberglass.
Gbr. 10. Blade Prototype Turbin Angin
Setelah telah selesai dicetak, blade tidak dapat langsung
dipasang pada penopang. Sebelumnya setiap blade harus
ditimbang terlebih dahulu agar diketahui massa dari masing-
masing blade. Setelah ditimbang pasti terdapat perbedaan
massa pada setiap blade. Hal ini dapat menyebabkan putaran
dari turbin angin menjadi tidak seimbang. Untuk
mengatasinya massa blade harus disamakan dengan cara
ditambah atau dikurangi ketebalannya. Pada akhirnya massa
setiap blade disamakan menjadi 1297gram
2) Sensor Kecepatan Putaran
Pada prototype turbin angin ini membutuhkan sebuah
sensor untuk mengetahui kecepatan putaran dari shaft. Oleh
karena itu dibuatlah sensor kecepatan putaran shaft yang
terbuat dari relative rotary encoder. Komponen darirangkaian
sensor yang digunakan terdiri dari piringan hitam tipis yang
memiliki 20 lubang dan sebuah optocoupler atau
photointeruptor. Berdasarkan kondisi gelap dan terang yang
dialami oleh optocoupler inilah yang akan menimbulkan
kondisi high dan low.
Gbr. 11. Sensor KecepatanPutaran
F�G = HHI�J (7)
F�K = HHI�J )60 = ��G ) 3 (8)
Jumlah pulsa yang dikeluarkan rangkaian sensor selama
satu detik (pps) akan diterima mikrokontroler dan akan
dikonversi untuk menghitung banyaknya putaran tiap sekon
(rps) maupun banyakya putaran tiap menit (rpm) seperti pada
persamaan 7 dan 8.
3) Aktuator
Sebagai aktuator untuk memutar blade sehingga dapat
membentuk sudut pitch pitch yang sesuai digunakan sebuah
motor servo untuk masing-masing blade. Motor servo yang
digunakan adalah tipe standar dengan merk GWS Servo
seriS125. Motor servo ini memiliki dimensi 40.5 x 20 x 42
mm dan dapat berputar 1800
searah maupun berlawanan
dengan arah jarum jam. Selain itu servo ini mampu menahan
5
torsi hingga 6kg-cm. Pada setiap motor servo juga dipasang
sebuah gear dengan diameter 3cm. Motor servo ini nantinya
akan bergerak berdasarkan sinyal pwm yang dikirimkan oleh
mikrokontroler. Rangkaian motor servo ini memiliki resolusi
sudut sebesar 50
.
Gbr. 12. Motor ServoGWS S125
4) Rotational konektor
Rotational konektor dibutuhkan untuk memberikan
mensuplai sinyal listrik pada motor servo yang berada dalam
penopang blade yang ikut berputar bersama shaft. Dengan
menggunakan rotational konektor kabel akan berputar
didalam shaft sehingga kabel tidak akan mudah putus. Salah
satu jenis rotational konektor adalah slip ring. Benda ini
memiliki ketahanan dan performansi yang baik. Akan tetapi
slip ring ini sulit dijumpai dipasaran, sehingga digunakanlah
carbon brush slip ring sebagai penggantinya. . Cara kerjanya
adalah dengan menggunakan karbon pada ujung diamnya dan
menggunakan tembaga yang diperoleh dari kabel tunggal
yang dililitkan shaft. Jadi dengan adanya sentuhan (gesekan)
antara karbon dan tembaga inilah yang memungkinkan
tersalurkannya arus listrik
Gbr. 13. Carbon Brush Slip Ring
B. Perancangan Kontroler
Perancangan kontroler berbasis ANFIS dilakukan dengan
menggunakan bantuan ANFIS toolbox yang ada pada software
Matlab. Perancangan tersebut dilakukan dengan beberapa
tahapan. Tahap pertama merupakan menentukan data yang
akan digunakan untuk proses training pembentukan fungsi
keanggotaan. Data yang digunakan harus dapat
merepresentasikan keseluruhan sistem sehingga nanti
didapatkan error yang kecil. Kemudian data tersebut disimpan
pada workspace yang ada pada software Matlab.
1) Deain Pertama
Pada desain pertama ini variabel input yang berupa error
dibagi menjadi 7 fungsi keanggotaan. Sedangkan pada
variabel input yang berupa delta error dibagi menjadi 3 fungsi
keanggotaan. Sehingga nantinya aka nada 21 aturan yang
terbentuk. Proses training berlngsung hingga epoch sekitar
2100 hingga menghasilkan error yang konstan.
Tabel 3. Rule Base yang terbentuk pada desain pertama DE / E NB NM NS Z PS PM PB
N Out1 Out4 Out7 Out10 Out13 Out16 Out19
Z Out2 Out5 Out8 Out11 Out14 Out17 Out20
P Out3 Out6 Out9 Out12 Out15 Out18 Out21
Gbr. 14. Proses Traning Desain Pertama
Gbr. 15. Fungsi Keanggotaan Error Setelah Training
Gbr. 16. Fungsi Keanggotaan Delta Error Setelah Training
2) Desain Kedua
Pada desain kedua ini variabel input yang berupa error
dibagi menjadi 9 fungsi keanggotaan. Sedangkan pada
variabel input yang berupa delta error dibagi menjadi 3 fungsi
keanggotaan. Sehingga nantinya aka nada 27 aturan yang
terbentuk. Proses training berlngsung hingga epoch sekitar
2100 hingga menghasilkan error yang konstan.
Tabel 4. Rule Base yang terbentuk pada desain Kedua DE
/ E NBB NB NM NS Z PS PM PB PBB
N Out 1
Out 4
Out 7
Out 10
Out 13
Out 16
Out 19
Out 22
Out 25
Z Out
2
Out
5
Out
8
Out
11
Out
14
Out
17
Out
20
Out
23
Out
26
P Out 3
Out 6
Out 9
Out 12
Out 15
Out 18
Out 21
Out 24
Out 27
Gbr. 17. Proses Traning Desain Kedua
Gbr. 18. Fungsi Keanggotaan Error Setelah
Gbr. 19. Fungsi Keanggotaan Delta Error Setelah
C. Perancangan Sistem Pengendalian Kemiringan Sudut
Gbr. 20. Diagram Blok Sistem Pengendalian
Sistem pengendalian kemiringan sudut
menggunakan kontroler logika fuzzy yang telah didesain pada
sub bab sebelumnya. Kontroler fuzzy yang digunakan bertipe
Takagi-Sugeno. Hal ini disebabkan karena hasil yang
diperoleh menggunakan training Anfis berupa logika
dengan output yang konstan. Sepeti terlihat pada gambar
input dari pengendali adalah error dan delta error. Error adalah
selisih setpoint dengan variabel kontrol (dalam hal ini pps),
sedangkan delta error adalah selisih error pada waktu sekarang
dengan sebelumnya.
Start
Menghitung jumlah Pulsa Per Sekon (PPS)
Memasukkan nilai setpoint
PPS = Setpoint
Sudut Pitch tidak berubah
Klasifikasi error dan delta error pada
MF Fuzzy yang telah terbentuk
Melakukan aktuasi
berdasarkan FIS
Merubah sudut Pitch
Selesai
Ya
Tidak
Gbr. 21. Diagram Alir Program Sistem Pengendalian
Selanjutnya kontroler tersebut didesain dengan
menggunakan software CodeVision AVR.
dirancang kemudian program ditanamkan pada mikrokontroler
ATMega16. Diagram alur program yang ditanamkan pada
mikrokontroler dapat dilihat pada gambar 21. Program diawali
Setelah Training
Setelah Training
gendalian Kemiringan Sudut
Diagram Blok Sistem Pengendalian
Sistem pengendalian kemiringan sudut blade ini
yang telah didesain pada
yang digunakan bertipe
al ini disebabkan karena hasil yang
berupa logika fuzzy
yang konstan. Sepeti terlihat pada gambar 20
pengendali adalah error dan delta error. Error adalah
l (dalam hal ini pps),
sedangkan delta error adalah selisih error pada waktu sekarang
Klasifikasi error dan delta error pada
MF Fuzzy yang telah terbentuk
Melakukan aktuasi
berdasarkan FIS
Merubah sudut Pitch
Diagram Alir Program Sistem Pengendalian
Selanjutnya kontroler tersebut didesain dengan
odeVision AVR. Selain Setelah
dirancang kemudian program ditanamkan pada mikrokontroler
ATMega16. Diagram alur program yang ditanamkan pada
. Program diawali
dengan memasukkan nilai set point pada
Kemudian program mengitung jumlah pulsa yang ditangkap
oleh sensor rotary encoder setiap sekon (PPS). Selanjutnya
nilai pps dibandingkan dengan nilai set point, apabila sudah
sama maka sudut pitch tidak akan berubah. Apabila nilai pps
yang diterima dari sensor tidak sama dengan set point maka
program akan mengklasifikasikan nilai error dan delta error
pada fungsi keanggotaan fuzzy yang ada kemudian melakukan
aktuasi untuk merngubah sudut pitch
D. Perancangan Sistem Monitoring
Perancangan sistem monitoring ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi yang terjadi pada
secara real time. Selain untuk memantau jalannya
sistem monitoring ini juga berfungsi untuk memulai sistem
pengendalian sudut blade dengan cara memasukka
Sistem monitoring yang telah dibuat memiliki beberapa
fasilitas pendukung untuk mengamati sistem pengendalian
diantaranya kemampuan untuk menyimpan hasil respon dari
sistem pengendalian dan menunjukkannya pada grafik secara
real time. Sistem monitoring yang dirancang menggunakan
software Visual Basic versi 6.0 yang nantinya akan
dihubungkan dengan mikrokontroler yang terpasang pada
minimum sistem dengan komunikasi serial (port DB9).
Perancangan sistem monitoring berdasarkan diagram alur
program yang terdapat pada gambar
Gbr. 22. Diagram Alir Program Sistem Monitoring
Gbr. 23. Tampilan Sistem Monitoring
6
dengan memasukkan nilai set point pada software monitoring.
Kemudian program mengitung jumlah pulsa yang ditangkap
setiap sekon (PPS). Selanjutnya
nilai pps dibandingkan dengan nilai set point, apabila sudah
tidak akan berubah. Apabila nilai pps
ri sensor tidak sama dengan set point maka
program akan mengklasifikasikan nilai error dan delta error
yang ada kemudian melakukan
pitch berdasarkan FIS.
Perancangan Sistem Monitoring
sistem monitoring ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi yang terjadi pada plant (turbin angin)
Selain untuk memantau jalannya plant,
sistem monitoring ini juga berfungsi untuk memulai sistem
dengan cara memasukkan set point.
Sistem monitoring yang telah dibuat memiliki beberapa
fasilitas pendukung untuk mengamati sistem pengendalian
diantaranya kemampuan untuk menyimpan hasil respon dari
sistem pengendalian dan menunjukkannya pada grafik secara
onitoring yang dirancang menggunakan
versi 6.0 yang nantinya akan
dihubungkan dengan mikrokontroler yang terpasang pada
minimum sistem dengan komunikasi serial (port DB9).
Perancangan sistem monitoring berdasarkan diagram alur
yang terdapat pada gambar 22.
Diagram Alir Program Sistem Monitoring
Tampilan Sistem Monitoring
7
IV. PENGUJIAN DAN ANALISA DATA
A. Pengujian Sensor Rotary Encoder
Pengujian diakukan pada 3 kecepatan yang mewakili
kecepatan rendah sedang dan tinggi. Pengambilan data
dilakukan sebanyak 10 kali untuk setiap rentang kecepatan.
Berdasarkan hasil pengujian diperole akurasi dan presisi untuk
setiap rentang kecepatan sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil Pengujian Sensor
Kecepatan (RPM) Akurasi Presisi
60 90,17% 89,28%
80 92,40% 91,53%
130 91,33% 83,89%
Secara keseluruhan pembacaan nilai pps yang ditampikan
pada software monitoring sudah baik karena memiliki nilai
akurasi rata-rata 91% dan presisi 87%. Pembacaan sensor
yang baik akan dapat meningkatkan kinerja dari sistem
pengendalian secara keseluruhan.
B. Pengujian Aktuator
Proses pengujian dilakukan dengan cara memberikan sinyal
PWM dari mikrokontroler ke motor servo kemudian diukur
perubahan sudut yang terjadi pada blade. Pengujian ini
bertujuan untuk mengetahui kesesuaian aktuasi motor servo.
Pengujian diawali dengan memberikan sinyal pwm yang
rendah hingga ke tinggi. Kemudian dilakukan hal yang
berkebalikan yaitu dengan memberikan sinyal pwm yang
tinggi kemudian menuju ke rendah.
Gbr. 24. Grafik Hasil Pengujian Aktuator
Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel 4.2 dan
gambar 24. perbedaan sudut yang dihasilkan saat diberi sinyal
pwm rendah ke tinggi maupun dari tinggi ke rendah sangat
kecil. Perbedaan nilai tersebut bias disebut dengan histerisis.
Histerisis terbesar terjadi pada saat pemberian sinyal PWM
sebesar 14000 atau pada saat 550. Histerisis maksimum
tersebut bernilai 3,33%. Selain itu nilai error rata-rata saat
sudut naik dan turun bernilai kecil yaitu 1,570 dan 0,89
0.
Dengan demikian proses aktuasi pada sistem yang nantinya
akan dikeluarkan oleh kontroler akan bekerja dengan baik.
C. Validasi Anfis
Validasi model ANFIS dilakukan dengan
menggunakan software MATLAB. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui model terbaik dari software sebelum dilakukan
pemrogaman dengan menggunakan CodevisionAVR. Adapun
hasil validasi model dengan menggunakan software MATLAB
dapat dilihat pada gambar di bawah ini .
Gbr. 25. Validasi Anfis Desain Pertama
Gbr. 26. Validasi Anfis Desain Kedua
Pada gambar 25 dan 26 terdapat dua tanda yaitu tanda biru
dan merah. Tanda biru merupakan tanda target dari input yang
telah kita berikan pada MATLAB. Data yang diberikan ini
merupakan data testing, yaitu data yang tidak digunakan
sebagai acuan dalam training data pada MATLAB. Sedangkan
tanda merah merupakan tanda hasil prediksi yang dilakukan
oleh software MATLAB. Pada validasi desin pertama terlihat
bahwa keluaran dari kontroler pertama terdapat selisih saat
sudut keluaran 10 dan 20. Akan tetapi pada desain kedua
hanya terdapat selisih pada saat sudut keluaran sebesar 20.
Selisih yang muncul tersebut diakibatkan oleh fungsi
keanggotaan yang diperoleh dari hasil training. Pada validasi
desain pertama terlihat bahwa nilai error yang terjadi sebesar
0,34 sedangkan pada desain kedua sebesar 0,272. Berdasarkan
hasil validasi, desain kedua memiliki error yang lebih kecil
dibandingkan desain pertama. Hal ini disebabkan karena pada
desain dua memiliki fungsi keanggotaan yang lebih banyak
dan aturan yang terbentuk juga semakin banyak sehingga
pendekatan yang dilakukan semakin baik.
D. Analisa Respon Pengendalian
Analisa terhadap respon sistem pengendalian dapat berupa
analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif
dapat berupa penilaian terhadap parameter kontrol seperti,
maksimum overshoot,dan error steady state. Analisa
kuantitatif dapat dilakukan dengan menentukan parameter
Integral Time Absolute Error (ITAE).Pengujian dilakukan
dengan cara memberikan sumber angin dengan kecepatan
yang berbeda-beda pada setiap set point. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui ketahanan dan kehandalan sistem
pengendalian.
8
1) Analisa Respon Desain Pertama
Gbr. 27. Respon Saat Setpoint=10
Gbr. 28. Respon Saat Setpoint=20
Gbr. 29. Respon Saat Setpoint=30
Gbr. 30. Respon Saat Setpoint=40
Pada gambar 27 saat sistem pengendalian diberikan set
point bernilai 10 sistem merasa kesulitan untuk
mempertahankan nilai pps sesuai dengan set point. Nilai pps
justru berosilasi pada nilai 12 hingga 14. Hal ini disebabkan
kecepatan angin yang terlalu kencang, sehingga meskipun
kontroler sudah memerintahkan agar sudut blade berubah
untuk mengurangi kecepatan putaran shaft turbin angin tetapi
masih tidak mampu mengatasi. Pada saat kondisi steady
memiliki nilai rata-rata pps sebesar 11,838 dan memiliki
standart deviasi sebesar 1,64. Apabila diambil toleransi
sebesar ± 1,64 maka dapat dikatakan bahwa kontroler
memiliki kinerja yang buruk sebab nilai setpoint berada di luar
range toleransi.
Pada gambar 28 saat sistem pengendalian diberikan set
point 20 terlihat bahwa sistem dapat mempertahankan nilai
pps di sekitar nilai set point. Akan tetapi masih terjadi osilasi
yang disebabkan pada saat mencapai set point dan sudut blade
berubah masih ada kecepatan sisa sehingga melebihi set point.
Hal ini juga berlaku pada saat nilai pps kurang dari set point.
Pada saat selang waktu terjadinya osilasi dihitung nilai rata-
rata respond an diperoleh nilai sebesar 19,76. Kemudian
dihitung standart deviasinya yaitu 1,47. Apabila diambil
toleransi sebesar ± 1,47 maka dapat dikatakan bahwa kontroler
memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint berada di luar
range toleransi
Gambar 29 dan 30 merupakan grafik respon sistem pada
saat set point bernilai 30 dan 40 . Pada kedua grafik tersebut
terlihat bahwa respon sistem pengendalian tidak sampai
mencapai setpoint. Hal ini disebabkan pada hasil training
terhadap desain pertama saat keadaan akan mencapai set point
sudut blade sudah diubah agar terjadi pengereman. Sehingga
sistem pengendalian akan susah mencapai set point yang
bernilai besar. Saat diberi set point 30 pps pada kondisi steady
memiliki nilai rata-rata sebesar 26,39 dan memiliki nilai
standart deviasi sebesar 1,52. Saat diberi setpoint 40 pada
kondisi steady memiliki nilai rata-rata 32,58 dan memiliki
nilai standart deviasi sebesar 1,89. Apabila diambil toleransi
sebesar ± standart deviasi maka dapat dikatakan bahwa
kontroler memiliki kinerja yang buruk pada kedua setpoint
tersebut sebab nilai setpoint berada di luar range toleransi.
Untuk analisa kuantitatif dihitung nilai ITAE dari saat t=0
sampai t=200 untuk masing-masing setpoint. Berikut ini
merupakan nilai ITAE untuk setpoint 10, 20, 30,dan 40 secara
berturut-turut yaitu 47.036; 29.666; 81.350; dan 184.630. Nilai
ITAE terkecil terjadi pada saat setpoint bernilai 20. Hal ini
disebabkan memang sistem pengendalian dengan desain
pertama hanya bekerja dengan baik pada saat setpoint bernilai
20. Nilai ITAE terbesar terjadi pada saat setpoint bernilai 40.
Hal ini disebabkan pada waktu yang sama, error yang terjadi
masih cukup besar bila dibandingkan dengan setpoint yang
kecil.
2) Analisa Respon Desain Kedua
Gbr. 31. Respon Saat Setpoint=10
Gbr. 32. Respon Saat Setpoint=20
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
2
4
6
8
10
12
14
16
Waktu (detik)
PPS
set point
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
5
10
15
20
25
Waktu (detik)
PPS
Set point
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
5
10
15
20
25
30
35
waktu (detik)
PPS
setpoint
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2005
10
15
20
25
30
35
40
45
waktu (detik)
PPS
setpoint
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
2
4
6
8
10
12
waktu(detik)
PPS
set point
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
5
10
15
20
25
Waktu (detik)
PPS
set point
respon
9
Gbr. 33. Respon Saat Setpoint=30
Gbr. 34. Respon Saat Setpoint=40
Pada gambar 31 terlihat bahwa terjadi osilasi yang sangat
besar karena pada saat kecepatan rendah putaran turbin angin
sering tidak stabil. Ketidak stabilan putaran ini disebabkan
karena kurang seimbangnya ketiga blade yang menempel pada
pusat poros. Pada saat kondisi steady nilai respon rata-rata
sebesar 9,8 dan nilai standar deviasi sebesar 1,3. Apabila
diambil toleransi sebesar ±1,3 maka dapat dikatakan kontroler
memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint masih berada
dalam range toleransi.
Pada gambar 32 respon sistem pengendalian cenderung
berada diatas nilai setpoint. Hal ini disebabkan karena angin
masih terlalu kencang bagi sistem pengendalian. Padahal
sebenarnya kontroler sudah mengirimkan sinyal untuk
merubah sudut pitch menjadi 50 tetapi masih belum cukup
untuk mengerem kecepatan dari putaran turbin angin sehingga
nilai pps berada diatas setpoint. Pada saat kondisi steady
memiliki nilai rata-rata sebesar 21,02 pps dan standart deviasi
sebesar 1,04. Apabila diberi toleransi sebesar ±1,04 maka
kontroler dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik sebab
nilai setpoint masih berada dalam range tolearansi.
Pada gambar 33 dan 34 terlihat bahwa sistem pengendalian
berjalan cukup baik. Hal ini dapat dilihat pada osilasi yang
semakin kecil dan berada di sekitar setpoint. Pada saat terjadi
proses pengereman nilai pps akan langsung berkurang banyak
sekali sehingga membutuhkan beberapa waktu untuk kembali
lagi menuju setpoint. Saat diberi setpoint 30 pada kondisi
steady memiliki nilai rata-rata sebesar 30,12 dan nilai standart
deviasi sebesar 1,4. Saat diberi set point 40 pada kondisi
steady memiliki nilai rata-rata sebesar 39,33 dan nilai standart
deviasi sebesar 1,72. Apabila diberi toleransi sebesar
±standart deviasi pada setpoint 30 dan 40, kontroler dapat
dikatakan memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint
masih berada dalam range tolearansi..
Untuk analisa kuantitatif dihitung nilai ITAE untuk masing-
masing setpoint. Berikut ini merupakan nilai ITAE untuk
setpoint 10, 20, 30,dan 40 secara berturut-turut yaitu 20.410;
33.425; 34.916; dan 67.809. Nilai ITAE akan semakin besar
seiring dengan nilai setpoint. Hal ini disebabkan pada waktu
yang sama, error yang terjadi pada saat setpoint bernilai besar
masih cukup besar bila dibandingkan dengan setpoint yang
kecil.
E. UJi Setpoint Tracking
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja sistem
terhadap perubahan dari luar sistem maka dilakukan pengujian
perubahan set point. Pengujian perubahan set point dilakukan
dengan cara menaikkan dan menurunkan set point setelah
kondisi steady. Pengujian dilakukan dengan cara mengubah
setpoint dari 20 pps dan 30 pps. Setpoint tersebut dipilih
karena pada setpoint tersebut menggunakan sumber angin
dengan yang sama. Pengujian dilakukan dengan cara
menaikkan setpoint yang semula 20 pps menjadi 30 pps
kemudian setpoint diturunkan kembali pada 20 pps. Setelah itu
dilihat respon pengendalian terhadap perubahan setpoint yang
diberikan
Gbr. 35. Respon Setpoint Tracking Desain Pertama
Gbr. 36. Respon Setpoint Tracking Desain Kedua
Berdasarkan Gambar 35 terlihat bahwa sebenarnya
kontroler sudah mau mengikuti setpoint yang telah diubah.
Akan tetapi pada kontroler desain pertama memang memiliki
kendala untuk mencapai setpoint 30. Sehingga nilai pps akan
susah untuk mencapai nilai 30. Proses untuk menaikkan nilai
pps dari 20 menjadi 30 memerluakan waktu yang lebih lama
bila dibandingkan dengan waktu untuk menurunkan nilai pps
dari 30 menjadi 20. Penyebab utama adalah untuk menaikkan
nilai pps harus menunggu energi dari angin terkumpul terlebih
dahulu sedangkan untuk mengurangi nilai pps hanya tinggal
mengubah sudut pitch agar hanya sedikit energy angin yang
tertangkap oleh blade.
Pada kontroler desain kedua dilakukan pengujian dengan
mengubah setpoint dari 30 ke 40 kemudian diturunkan
kembali ke 30. Setpoint ini dipilih karena kontroler desain
pertama memiliki kinerja yang baik pada nilai tersebut.
Berdasarkan gambar 36 terlihat bahwa kontroler desain kedua
dapat mengikuti perubahan setpoint yang diberikan dengan
baik. Kesamaan yang dimiliki kontroler desain pertama dan
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
5
10
15
20
25
30
35
Waktu (detik)
PPS
set point
respon
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
10
20
30
40
50
Waktu (detik)
PPS
Set point
respon
0 100 200 300 400 500 600 700 800 9000
5
10
15
20
25
30
35
Waktu(detik)
PPS
Set point
respon
0 50 100 150 200 250 300 350 4000
5
10
15
20
25
30
35
waktu (detik)
PPS
setpoint
respon
10
desain kedua yaitu keduanya memerlukan waktu yang lebih
lama untuk menaikkan nilai pps tetepi hanya memerlukan
waktu yang singkat untuk menurunkan nilai setpoint.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan Setelah melakukan penelitian rancang
bangun sebuah sistem pengendalian sudut pitch blade
prototype turbin angin berbasis neuro-fuzzy dapat diperoleh
beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Validasi Anfis untuk kontroler desain pertama
menghasilkan error sebesar 0,239 dan untuk desain
kedua mampu menghasilkan error sebesar 0,0679.
2. Kontroler desain pertama pada kondisi steady memiliki
standart deviasi respon rata-rata sebesar 1,63.Kontroler
desain pertama dinilai kurang baik karena secara tidak
dapat mempertahankan nilai respon berada dalam range
toleransi sebesar plus minus standar deviasi.
3. Kontroler desain kedua pada kondisi steady memiliki
standart deviasi respon rata-rata sebesar 1,36. Kontroler
desain kedua memiliki kinerja lebih baik dibandingkan
desain pertama karena mampu mengendalikan pada
semua nilai setpoint yang diberikan dan menjaganya
tetap berada range toleransi sebesar plus minus standar
deviasi.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian
selanjutnya adalah:
1. Pada saat merangkai turbin angin hendaknya
memperhatikan keseimbangan secara keseluruhan.
2. Ditambahkannya sensor kecepatan angin untuk menjadi
input ketiga dari kontroler
VI. DAFTAR PUSTAKA
[1] Harika, Adam. 2009. Tugas Akhir Rancang Bangun
Blade Pitch Angle Control System Berbasis Classic
Fuzzy Pada Prototype Wind Turbine. Teknik Fisika-
FTI-ITS.Surabaya
[2] World Wind Energy Asociation. 2011.World Wind
Energy Report 2010. World Wind Energy Conference&
Renewable Energy Exhibition.Cairo; World Wind
Energy Asociation.
[3] Jhonson, Kathryn E. 2004. Adaptive Torque Control of
Variable Speed Wind Turbines; National Renewable
Energy Laboratory; Colorado.
[4] Johnson, Gary. 2001. Wind Energy Systems. ___. ___.
[5] Tony Burton, David Sharpe, Nick Jenkins, Ervin
Bossanyi. 2001. Wind Energy Handbook.. New York;
John Wiley & Sons, Ltd
[6] Jang, J.-S. R. 1997. �euro-Fuzzy and Soft
Computing. NewJersey; Prentice-Hall.
[7] Hadi,MS.2008. Mengenal Mikrokontroler ATMega16.
Ilmu komputer.
[8] Tim Panitia Workshop KRI/KRCI. 2006. Workshop
KRI/KRCI 2007 (Modul). Surabaya. PENS-ITS
Biodata Penulis:
4ama : Denny Putra Pratama
4RP : 2407.100.007
TTL : Gresik, 7 Januari 1989
Alamat : Jl. Gebang Putih 62
Riwayat Pendidikan :
• SD4 Pongangan 1 Gresik
(1995 – 2001)
• SMP 4egeri 1 Gresik
(2001 – 2004)
• SMA 4egeri 1 Gresik
(2004 – 2007)
• Teknik Fisika-FTI-ITS
(2007 – sekarang)