Upload
terri-repi
View
692
Download
35
Embed Size (px)
Citation preview
I. LATAR BELAKANG
Cagar Alam Tangkoko merupakan salah satu kawasan pelestarian satwa di Sulawesi Utara.
Kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam berdasarkan BG. No. 6 Stbl. 1919 pada tanggal 12
Februari 1919 dengan luas 3196 ha (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).
Keanekaragaman habitat di Cagar Alam Tangkoko tergolong paling tinggi dibandingkan dengan
daerah lain di Pulau Sulawesi dan Indonesia. Kawasan ini memiliki tipe habitat yang lengkap dari
habitat hutan pantai yang terbentang sepanjang 12 km, habitat hutan dataran rendah, habitat hutan
dataran tinggi sampai habitat hutan lumut yang terdapat dipuncak gunung Tangkoko (Mackinnon
and Tamurdji, 1980).
Cagar Alam Tangkoko memiliki 156 jenis burung, 47 diantaranya endemik Sulawesi, antara
lain rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), serta
10 spesies raja udang (Alcedo sp.). Selain itu juga terdapat beberapa jenis mamalia diantaranya
yaki (Macaca nigra), babi hutan (Sus celebensis), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang
(Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis) dan beberapa satwa lain seperti biawak
(Varanus salvator) dan ular piton (Phyton sp.) (Kinnaird and O’brein,1996). Selain sebagai habitat
flora dan fauna, Cagar Alam Tangkoko berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sumber air bersih
bagi kota Bitung dan sekitarnya.
Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaan dan kehidupannya
sangat berhubungan erat dengan keberlangsungan ekosistem alam termasuk kehidupan manusia.
Satwa liar khususnya satwa endemik tidak hanya memiliki peran ekologis namun juga memiliki
peran untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki peran
ekonomis. Dengan melihat betapa pentingnya keberadaan satwa liar, maka perlu dilakukan upaya-
upaya pelestarian satwa, khususnya satwa yang terancam populasinya.
Satwa liar hidup di alam dan berinteraksi dengan lingkungannya atau habitatnya, baik
komponen biotik maupun abiotik. Interaksi antara satwa liar dan lingkungannya disebut dengan
ekologi satwa liar yang merupakan dasar bagi pengelolaannya. Adanya interaksi tersebut
menunjukkan bahwa,kondisi lingkungan mempengaruhi jumlah, (populasi) satwa liar, sebaliknya
satwa liar juga mempengaruhi kondisi lingkungannya .
Pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat satwa liar membutuhkan data mengenai
biologi, ekologi dan perilaku satwa liar yang cukup lengkap, antara lain : jumlah atau kepadatan
populasi, struktur umur, kemampuan reproduksi, tingkat persaingan dan pemangsaan, ketersediaan
pakan dan air, kondisi habitat, perilaku makan, wilayah jelajah, teritori dan perilaku lainnya. Dalam
pengelolaan satwa liar, inventarisasi dan sensus populasi serta analisis dan evaluasi habitat
merupakan data dasar yang sangat penting .
Meningkatnya eksploitasi hutan di kawasan CA. Tangkoko menyebabkan ekosistem satwa
terganggu. Dari beberapa laporan WCS-IP, bahwa penebangan liar, pembukaan lahan pertanian di
dalam kawasan serta perburuan liar, menjadi faktor utama degradasi kerusakan hutan di Cagar
Alam Tangkoko. Rusaknya habitat kemudian akan mempengaruhi daya dukung habitat. Rendahnya
daya dukung habitat dalam suatu populasi akan menyebabkan persaingan dan kenaikan angka
mortalitas (kematian). Berkurangnya sumber makanan, rusaknya habitat alami serta rendahnya
angka kelahiran pada satwa tersebut, dapat menyebabkan penurunan populasi bahkan kepunahan.
Kepunahan menjadi masalah serius yang harus diperhatikan apalagi jika terjadi pada satwa
endemik. Lebih dari itu, kepunahan salah satu spesies akan menyebabkan terganggunya rantai trofik
dan dapat menyebabkan gangguan dalam keseluruhan ekosistem dimana akan secara langsung pula
berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya pelestarian satwa menjadi suatu hal
penting yang harus dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup satwa liar.
Diharapkan setelah mengetahui seberapa besarnya dampak kesrusakan hutan di CA.
Tangkoko terhadap satwa liar, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya, maka dapat
memberikan informasi dan rekomendasi guna membantu mereka yang akan merancang pengelolaan
kawasan CA. Tangkoko, serta dalam upaya pelestarian satwa khususnya satwa endemik yang ada di
CA. Tangkoko.
1.1. Rumusan Masalah
- Bagaimana kondisi habitat di CA. Tangkoko?
- Berapa jumlah populasi satwa liar/endemic (satwa indicator) di CA. Tangkoko?
- Bagaimana stuktur dan komposisi vegetasi di CA. Tangkoko ?
- Seberapa besar tingkat kerusakan habitat yang terjadi di CA. Tangkoko ?
I.2. Tujuan Penelitian
- Mengetahui kondisi habitat CA. Tangkoko.
- Mengetahui populasi satawa liar di CA. Tangkoko.
- Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di CA. Tangkoko
- Mengetahui tingkat kerusakan serta upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan.
I.3. Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi untuk masyarakat dan pemerintah tentang kondisi habitat dan populasi
satwa endemic di CA. Tangkoko.
2. Dapat dijadikan informasi untuk kegiatan pelestarian satwa, khususnya satwa endemic
3. Sebagai informasi untuk kegiatan penelitian selanjutnya.
4. Memberikan informasi jenis vegetasi penyusun dan pola komunitas di CA. Tangkoko
5. Memberikan informasi kerusakan habitat akibat aktivitas manusia di dalam kawasan CA.
Tangkoko.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Populasi
Populasi adalah sekelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang
saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada satu tempat dan dalam waktu tertentu
(Alikodra, 2002). Suatu populasi mempunyai sifat-sifat khusus (karakteristik) yaitu: kepadatan
(density), kelahiran (natality) dan kematian (mortality) (Setiadi dan Tjondronegoro, 1987). Populasi
satwa endemik berubah dalam jangka waktu tertentu, dan hal ini harus diketahui oleh peneliti atau
pengelola agar dapat mengatur dan memperoleh suatu jumlah yang optimal sesuai dengan daya
dukung habitatnya (Alikodra, 2002).
Kepadatan populasi (density) adalah besaran atau ukuran banyaknya individu dalam suatu
populasi yang dihubungkan dengan satuan ruang atau tempat dan pada umumnya dinyatakan
sebagai jumlah idividu didalam satu unit luas atau volume (Alikodra, 2002). Parameter yang
mempengaruhi kepadatan populasi adalah natalitas, mortalitas, emigrasi dan imigrasi. Hal ini
karena adanya interaksi antara individu ataupun spesies dalam lingkungan hidupnya. Dalam proses
interaksi ini, satwa liar dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lain (Alikodra, 2002).
Populasi satwa liar di alam dapat naik, turun, atau stabil . Faktor-faktor yang mempengaruhi
naik-turunnya populasi satwa liar tersebut adalah kelahiran (natalitas) , kematian (mortalitas),
imigrasi dan emigrasi. Naik turunnya populasi satwa liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
ekologis di habitatnya, yaitu : ketersediaan pakan dan air, tempat berlindung, perubahan vegetasi,
fluktuasi iklim, pemangsaan, penyakit dan bencana alam. Selain itu, aktivitas manusia juga
berpengaruh nyata terhadap populasi satwa liar, antara lain : perburuan, peruaakan habitat dan
kebakaran (Alikodra, 2002).
II.2. Habitat
Habitat adalah tempat dimana organisme hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat
berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan, menyediakan makanan, sebagai
tempat istirahat, tidur dan bermalam serta tempat berkembang biak dan membesarkan anak
(Alikodra, 2002).
Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung pertumbuhan populasi satwa liar hingga
mencapai batas maksimum kemampuannya. Kemampuan maksimum dari suatu lingkungan atau
habitat untuk mendukung populasi satwa liar disebut sebagai daya dukung habitat. Dalam batas
daya dukung suatu habitat, populasi satwa liar cenderung stabil dari waktu ke waktu, meskipun
pada kenyataannya populasi tersebut berfluktuasi naik turun di sekitar batas daya dukung tersebut .
II.2.1. Rusaknya Habitat
Seperti yang kita ketahui bahwa habitat adalah tempat dimana organisme hidup dan
berkembangbiak secara alami. Habitat berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam
gangguan, menyediakan makanan, sebagai tempat istirahat, tidur dan bermalam serta tempat
berkembang biak dan membesarkan anak (Alikodra, 2002).
Rusaknya habitat mengakibatkan berkurangnya daya dukung habitat yang berpengaruh
secara langsung pada ketersediaan makanan, dan terganggunya habitat alami yang kemudian
berakibat buruk pada populasi satwa. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan populasi satwa
liar yang ada di CA. Tangkoko. Rusaknya habitat di CA. Tangkoko disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Kebakaran hutan
Kebakaran hutan selama musim kemarau merupakan peristiwa yang terjadi hampir setiap
tahun. Dalam kawasan CA. Tangkoko selama ini telah terjadi kebakaran besar yaitu pada tahun
1991, kurang lebih 800 ha hutan habis terbakar. Selanjutnya pada tahun 1999 juga terjadi
kebakaran, yang mengakibatkan hilangnya 150 ha hutan. Kemudian tahun 2000 kembali terjadi
kebakaran yang menghanguskan 50 ha hutan. Pada tahun 2002 terjadi kebakaran besar, dimana
lokasinya berada di daerah Rumesung, Pante Babi dan disekitar Pinangunian, kira-kira hutan yang
terbakar seluas 800 ha. Dan yang paling terakhir terjadi kebakaran pada tahun 2004, dalam
kebakaran ini hampir 500 ha hutan yang terbakar (WCS, 2005). Dengan melihat beberapa daftar
kebakaran hutan yang terjadi serta luasan wilayah yang hilang terbakar mengindikasikan bahwa
terdapat begitu banyak habitat alami dari satwa liar.
b. Aktivitas Manusia Di dalam Kawasan CA. Tangkoko
Beberapa aktivitas manusia di dalam kawasan yang secara langsung berpengaruh pada
rusaknya habitat adalah :
- Penebangan liar
Sebagian besar areal kawasan, terutama di sekitar hutan dataran rendah dan sepanjang
pesisir telah menjadi sasaran pencurian kayu oleh masyarakat. Dalam laporan WCS tahun 2000
menyatakan bahwa pelaku penebangan liar ini tidak lain adalah masyarakat sekitar kawasan,
antara lain warga desa Pinangunian, Kasuari dan Duasudara. Walaupun alasannya untuk
kebutuhan hidup tetapi aktivitas penebangan liar ini memusnahkan 50 ha hutan per tahun (WCS,
2000).
Penebangan liar ini juga merupakan salah satu faktor utama menurunnya populasi satwa
liar. Pada umumnya penebangan berlangsung di daerah hutan dataran rendah, yang merupakan
habitat dari kuskus beruang (A. ursinus) dan Yaki (Macaca nigra) (WCS, 2000).
- Pembukaan lahan pertanian
Beberapa masyarakat di daerah Pinangunian dan Kasuari telah membuka lahan pertanian di
dalam kawasan, ini terbukti dengan ditemukannya lahan- lahan baru di dalam kawasan. Bahkan
di dekat desa Pinangunian ada lahan yang telah ditanami tanaman tahunan (WCS, 2000).
Yang membahayakan dari pembukaan lahan pertanian adalah dengan cara tebang bakar, hal
ini sungguh sangat merusak kawasan juga habitat satwa liar (WCS, 2000).
II.2.2. Perburuan Liar
Perburuan liar telah menjadi penyebab utama dari penurunan dan hilangnya populasi
kehidupan satwa liar di CA. Tangkoko (WCS, 2000). Perburuan satwa di CA. Tangkoko umumnya
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan memasang perangkap (jerat) dan dengan menggunakan
senapan angin, namun ada juga yang menggunakan anjing untuk berburu (WCS, 2000).
Perburuan satwa ini tidak mengenal waktu. Biasanya bila ada perayaan hari besar atau acara
di desa-desa sekitar kawasan maka semakin tinggi pula tingkat perburuan. Satwa liar diburu untuk
dikonsumsi, diperdagangkan atau dijadikan hewan peliharaan. Dalam perburuan, para pemburu
memburu semua satwa baik itu satwa dewasa atau pun satwa yang masih kecil (WCS, 2000).
II.3. Analisis Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang
hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat
interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan
organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis
(Kusmana, 1997 ).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai
keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain
karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis,
selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya (Kusmana, 1997 ).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara
bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuhtumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-
data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas
hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan (Setiadi, D., I. Muhadiono, dan A. Yusron, 1989)
Untuk mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan Metode Berpetak (Teknik
sampling kuadrat: petak tunggal atau ganda, Metode Jalur, Metode Garis Berpetak) dan Metode
Tanpa Petak (Metode berpasangan acak, Titik pusat kwadran, Metode titik sentuh, Metode garis
sentuh, Metode Bitterlich) (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Jumlah satwa yang terlihat n (luas area)
Jumlah individu n (luas area)
Kerapatan suatu jenisKerapatan seluruh jenis
Luas penutupan suatu jenisLuas petak
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Tangkoko Kecamatan Bitung
Utara. Penelitian dilakukan selama 2 bulan.
3.2. Materi Penelitian
Objek Penelitian
a. Satwa Endemik (Indicator)
- Kuskus beruang (Ailurops ursinus)
- Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix)
- Yaki (Macaca nigra)
b. Vegetasi
- Struktur vegetasi
- Komposisi vegetasi
3.3. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu beberapa buku panduan lapangan,
teropong (binokuler), kompas, altimeter, hand caunter, jam, GPS V Garmin Personal Navigator,
pita berwarna, clinometer, meteran (50 m), alat dokomentasi (kamera) dan alat tulis menulis.
3.4. Analisis Data
1. Untuk pengukuran populasi satwa digunakan metode observasi langsung dengan
menggunakan Line Transect Sampling (Anonymous, 1981).
- Kepadatan populasi (Anonymous, 1981): =
n = Jumlah Pengulangan
- Populasi (Anonymous, 1981): = Kepadatan Populasi X Total Area Kawasan
2. Untuk analisis vegetasi digunakan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974) :
- Kerapatan =
- Kerapatan relatif = X 100%
- Dominansi =
Dominansi suatu jenisDominansi seluruh jenis
Jumlah petak penemuan suatu jenisJumlah seluruh petak
Frekuensi suatu jenisFrekuensi seluruh jenis
- Dominansi relatif = X100%
- Frekuensi =
- Frekuensi relatif = X 100
- Nilai penting = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif
3.5. Prosedur Penelitian
a. Perkiraan Populasi Satwa
1. Pembuatan jalur transek
- Pengamatan pendahuluan, sebagai observasi awal di lapangan yang bertujuan untuk
mengetahui keadaan areal penelitian.
- Menentukan letak dan arah jalur. Terlebih dahulu ditentukan titik permulaan jalur.
- Hari pertama sampai hari keempat melakukan pembuatan garis transek atau jalur survey
- Dalam penelitian ini dibuat 4 jalur transek, yaitu transek dengan panjang A= 3250 m, B=
3250 m, C= 3250 m, dan D= 3250 m. Lebar masing-masing jalur 100 m ( ke 4 jalur
transek yang digunakan merupakan bekas jalur survey WCS yang terakhir digunakan
pada tahun 2005).
- Jalur A terdapat pada habitat hutan dataran rendah sampai dataran tinggi dengan tipe
hutan peimer, jalur B terdapat pada habitat hutan pantai dan hutan dataran rendah dengan
tipe hutan primer, jalur C terdapat pada habitat hutan dataran rendah dan alang-alang
dengan tipe hutan sekunder, jalur D terdapat pada habitat hutan dataran rendah dengan
tipe hutan primer.
- Pada setiap jarak 25 meter dipasangkan tanda (pita berwarna orange).
A=3,25 km
50 m 50 m
100 m
Gambar 1. Ukuran jalur transek
2. Pengambilan data
- Pengambilan data dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pukul 06.00 dan 14.00 untuk
setiap transek.
- Cara pengambilan data yaitu secara teratur kita berjalan pada garis transek dengan
kecepatan rata-rata 1 sampai 1,5 km/jam sambil mengadakan pengamatan.
- Daerah yang diamati adalah daerah sekitar garis transek dengan lebar pengamatan 50 m
kekiri dan 50 m kekanan.
- Pada setiap jalur transek dilakukan 10 kali pengulangan pengamatan.
- Pakaian yang digunakan dalam pengamatan tidak boleh berwarna mencolok.
- Pengamatan dilakukan dengan sangat hati-hati dan berhenti saat melihat kuskus beruang
(A. ursinus), setiap pertemuan dengan satwa dicatat:
- Jumlah individu
- Waktu pertemuan
- Lokasi dalam transek
- Jarak pengamatan dengan objek (jarak perpendicular)
- Tingkah laku umum (general behavior)
- Jarak dari atas tanah
- Vegetasi
b. Analisis Vegetasi
1. Penentuan Petak Ukur
Pengamatan dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan suatu vegetasi yang dikelompokkan
ke dalam :
1) Tingkat semai (seedling), yaitu sejak perkecambahan sampai tinggi 1,5 meter;
2) Tingkat pancang (sapling) yaitu tingkat pertumbuhan permudaan yang mencapai tinggi
antara 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.
3) Tingkat tiang (poles) atau pohon kecil yaitu tingkat pertumbuhan pohon muda yang
berukuran dengan diameter batang antara 10 - 19 cm (dbh).
4) Pohon yaitu tingkat pohon-pohon yang berdiameter batang diatas 20 cm.
Luas petak ukur untuk masing-masing tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut :
- Semai (seedlings) dengan ukuran petak 2 x 2 m
- Pancang (saplings) dengan ukuran petak 5 x 5 m
- Tiang (poles) atau pohon kecil dengan ukuran petak 10 x 10 m
- Pohon (trees) dengan ukuran petak 20 x 20 m
Petak ukur yang dibuat untuk menghitung kerapatan, frekwensi dan dominansi vegetasi
adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Petak Ukur Untuk Pengamatan Vegetasi
Keterangan:
a = Petak semai (2m x 2m)
b = Petak pancang (5m x 5m)
c = petak tiang (10m x 10m)
d = petak pohon (20m x 20m)
2. Pengambilan Data
Dalam setiap petak ukur dilakukan pengamatan terhadap tingkat pohon, tiang (pohon kecil),
sapihan dan semai. Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu yang ada dan diameter
untuk tingkat tiang dan pohon. Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai
tumbuhan bawah. Untuk jenis jenis vegetasi yang belum dapat dikenali, bagian tumbuhan diambil
untuk diidentifikasi lebih lanjut.
3.6. Variabel Penelitian
Variabel yang di ukur pada penelitian ini adalah:
1. Kepadatan populasi
2. Populasi
3. Struktur vegetasi
4. Kerapatan vegetasi
5. Indeks nilai penting
6. Dominasi vegetasi
IV. DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 2002. Tehnik Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Anonimous, 1981. Techniques For The Study Of Primate Population Ecology. National Academy Press. Washington DC.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Informasi Kawasan Konservasi Di Propinsi Sulawesi Utara. Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.
Kinnaird, M.F. and O’ Brien, T.G. 1996. Tangkoko-Duasudara Nature Reserve, North Sulawesi Draft Management Plan 1996-2000, WCS Report For The Directorate Of Nature Conservation And Forestry. WCS. Republic of Indonesia.
Kusmana. C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons.
Setiadi, D., I. Muhadiono, dan A. Yusron. 1989. Ekologi (Penuntun Praktikum). Bogor: Dirjen DIKTI & PAU-IPB.
Wildlife Conservation Society. 2000. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara, Indonesia, Survey Biologi, Patroli, Monitoring Dan Rekomendasi Pengelolaan. Wildlife Conservation Society-Indonesian Program Manado.
Wildlife Conservation Society. 2005. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara, Indonesia, Monitoring Keanekaragaman Hayati, Patroli Dan Rekomendasi Pengelolaan. Wildlife Conservation Society-Indonesian Program Manado.