15
I. LATAR BELAKANG Cagar Alam Tangkoko merupakan salah satu kawasan pelestarian satwa di Sulawesi Utara. Kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam berdasarkan BG. No. 6 Stbl. 1919 pada tanggal 12 Februari 1919 dengan luas 3196 ha (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Keanekaragaman habitat di Cagar Alam Tangkoko tergolong paling tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Sulawesi dan Indonesia. Kawasan ini memiliki tipe habitat yang lengkap dari habitat hutan pantai yang terbentang sepanjang 12 km, habitat hutan dataran rendah, habitat hutan dataran tinggi sampai habitat hutan lumut yang terdapat dipuncak gunung Tangkoko (Mackinnon and Tamurdji, 1980). Cagar Alam Tangkoko memiliki 156 jenis burung, 47 diantaranya endemik Sulawesi, antara lain rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), serta 10 spesies raja udang (Alcedo sp.). Selain itu juga terdapat beberapa jenis mamalia diantaranya yaki (Macaca nigra), babi hutan (Sus celebensis), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis) dan beberapa satwa lain seperti biawak (Varanus salvator) dan ular piton (Phyton sp.) (Kinnaird and O’brein,1996). Selain sebagai habitat flora dan fauna, Cagar Alam Tangkoko berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sumber air bersih bagi kota Bitung dan sekitarnya. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaan dan kehidupannya sangat berhubungan erat dengan keberlangsungan ekosistem alam termasuk kehidupan manusia. Satwa liar khususnya satwa endemik tidak hanya memiliki peran ekologis namun juga memiliki peran untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki peran ekonomis.

(Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

I. LATAR BELAKANG

Cagar Alam Tangkoko merupakan salah satu kawasan pelestarian satwa di Sulawesi Utara.

Kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam berdasarkan BG. No. 6 Stbl. 1919 pada tanggal 12

Februari 1919 dengan luas 3196 ha (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).

Keanekaragaman habitat di Cagar Alam Tangkoko tergolong paling tinggi dibandingkan dengan

daerah lain di Pulau Sulawesi dan Indonesia. Kawasan ini memiliki tipe habitat yang lengkap dari

habitat hutan pantai yang terbentang sepanjang 12 km, habitat hutan dataran rendah, habitat hutan

dataran tinggi sampai habitat hutan lumut yang terdapat dipuncak gunung Tangkoko (Mackinnon

and Tamurdji, 1980).

Cagar Alam Tangkoko memiliki 156 jenis burung, 47 diantaranya endemik Sulawesi, antara

lain rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), serta

10 spesies raja udang (Alcedo sp.). Selain itu juga terdapat beberapa jenis mamalia diantaranya

yaki (Macaca nigra), babi hutan (Sus celebensis), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang

(Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis) dan beberapa satwa lain seperti biawak

(Varanus salvator) dan ular piton (Phyton sp.) (Kinnaird and O’brein,1996). Selain sebagai habitat

flora dan fauna, Cagar Alam Tangkoko berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sumber air bersih

bagi kota Bitung dan sekitarnya.

Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaan dan kehidupannya

sangat berhubungan erat dengan keberlangsungan ekosistem alam termasuk kehidupan manusia.

Satwa liar khususnya satwa endemik tidak hanya memiliki peran ekologis namun juga memiliki

peran untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki peran

ekonomis. Dengan melihat betapa pentingnya keberadaan satwa liar, maka perlu dilakukan upaya-

upaya pelestarian satwa, khususnya satwa yang terancam populasinya.

Satwa liar hidup di alam dan berinteraksi dengan lingkungannya atau habitatnya, baik

komponen biotik maupun abiotik. Interaksi antara satwa liar dan lingkungannya disebut dengan

ekologi satwa liar yang merupakan dasar bagi pengelolaannya. Adanya interaksi tersebut

menunjukkan bahwa,kondisi lingkungan mempengaruhi jumlah, (populasi) satwa liar, sebaliknya

satwa liar juga mempengaruhi kondisi lingkungannya .

Pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat satwa liar membutuhkan data mengenai

biologi, ekologi dan perilaku satwa liar yang cukup lengkap, antara lain : jumlah atau kepadatan

populasi, struktur umur, kemampuan reproduksi, tingkat persaingan dan pemangsaan, ketersediaan

pakan dan air, kondisi habitat, perilaku makan, wilayah jelajah, teritori dan perilaku lainnya. Dalam

pengelolaan satwa liar, inventarisasi dan sensus populasi serta analisis dan evaluasi habitat

merupakan data dasar yang sangat penting .

Page 2: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Meningkatnya eksploitasi hutan di kawasan CA. Tangkoko menyebabkan ekosistem satwa

terganggu. Dari beberapa laporan WCS-IP, bahwa penebangan liar, pembukaan lahan pertanian di

dalam kawasan serta perburuan liar, menjadi faktor utama degradasi kerusakan hutan di Cagar

Alam Tangkoko. Rusaknya habitat kemudian akan mempengaruhi daya dukung habitat. Rendahnya

daya dukung habitat dalam suatu populasi akan menyebabkan persaingan dan kenaikan angka

mortalitas (kematian). Berkurangnya sumber makanan, rusaknya habitat alami serta rendahnya

angka kelahiran pada satwa tersebut, dapat menyebabkan penurunan populasi bahkan kepunahan.

Kepunahan menjadi masalah serius yang harus diperhatikan apalagi jika terjadi pada satwa

endemik. Lebih dari itu, kepunahan salah satu spesies akan menyebabkan terganggunya rantai trofik

dan dapat menyebabkan gangguan dalam keseluruhan ekosistem dimana akan secara langsung pula

berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya pelestarian satwa menjadi suatu hal

penting yang harus dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup satwa liar.

Diharapkan setelah mengetahui seberapa besarnya dampak kesrusakan hutan di CA.

Tangkoko terhadap satwa liar, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya, maka dapat

memberikan informasi dan rekomendasi guna membantu mereka yang akan merancang pengelolaan

kawasan CA. Tangkoko, serta dalam upaya pelestarian satwa khususnya satwa endemik yang ada di

CA. Tangkoko.

1.1. Rumusan Masalah

- Bagaimana kondisi habitat di CA. Tangkoko?

- Berapa jumlah populasi satwa liar/endemic (satwa indicator) di CA. Tangkoko?

- Bagaimana stuktur dan komposisi vegetasi di CA. Tangkoko ?

- Seberapa besar tingkat kerusakan habitat yang terjadi di CA. Tangkoko ?

I.2. Tujuan Penelitian

- Mengetahui kondisi habitat CA. Tangkoko.

- Mengetahui populasi satawa liar di CA. Tangkoko.

- Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di CA. Tangkoko

- Mengetahui tingkat kerusakan serta upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan.

I.3. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi untuk masyarakat dan pemerintah tentang kondisi habitat dan populasi

satwa endemic di CA. Tangkoko.

2. Dapat dijadikan informasi untuk kegiatan pelestarian satwa, khususnya satwa endemic

3. Sebagai informasi untuk kegiatan penelitian selanjutnya.

4. Memberikan informasi jenis vegetasi penyusun dan pola komunitas di CA. Tangkoko

5. Memberikan informasi kerusakan habitat akibat aktivitas manusia di dalam kawasan CA.

Tangkoko.

Page 3: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Populasi

Populasi adalah sekelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang

saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada satu tempat dan dalam waktu tertentu

(Alikodra, 2002). Suatu populasi mempunyai sifat-sifat khusus (karakteristik) yaitu: kepadatan

(density), kelahiran (natality) dan kematian (mortality) (Setiadi dan Tjondronegoro, 1987). Populasi

satwa endemik berubah dalam jangka waktu tertentu, dan hal ini harus diketahui oleh peneliti atau

pengelola agar dapat mengatur dan memperoleh suatu jumlah yang optimal sesuai dengan daya

dukung habitatnya (Alikodra, 2002).

Kepadatan populasi (density) adalah besaran atau ukuran banyaknya individu dalam suatu

populasi yang dihubungkan dengan satuan ruang atau tempat dan pada umumnya dinyatakan

sebagai jumlah idividu didalam satu unit luas atau volume (Alikodra, 2002). Parameter yang

mempengaruhi kepadatan populasi adalah natalitas, mortalitas, emigrasi dan imigrasi. Hal ini

karena adanya interaksi antara individu ataupun spesies dalam lingkungan hidupnya. Dalam proses

interaksi ini, satwa liar dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lain (Alikodra, 2002).

Populasi satwa liar di alam dapat naik, turun, atau stabil . Faktor-faktor yang mempengaruhi

naik-turunnya populasi satwa liar tersebut adalah kelahiran (natalitas) , kematian (mortalitas),

imigrasi dan emigrasi. Naik turunnya populasi satwa liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

ekologis di habitatnya, yaitu : ketersediaan pakan dan air, tempat berlindung, perubahan vegetasi,

fluktuasi iklim, pemangsaan, penyakit dan bencana alam. Selain itu, aktivitas manusia juga

berpengaruh nyata terhadap populasi satwa liar, antara lain : perburuan, peruaakan habitat dan

kebakaran (Alikodra, 2002).

II.2. Habitat

Habitat adalah tempat dimana organisme hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat

berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan, menyediakan makanan, sebagai

tempat istirahat, tidur dan bermalam serta tempat berkembang biak dan membesarkan anak

(Alikodra, 2002).

Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung pertumbuhan populasi satwa liar hingga

mencapai batas maksimum kemampuannya. Kemampuan maksimum dari suatu lingkungan atau

habitat untuk mendukung populasi satwa liar disebut sebagai daya dukung habitat. Dalam batas

daya dukung suatu habitat, populasi satwa liar cenderung stabil dari waktu ke waktu, meskipun

pada kenyataannya populasi tersebut berfluktuasi naik turun di sekitar batas daya dukung tersebut .

Page 4: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

II.2.1. Rusaknya Habitat

Seperti yang kita ketahui bahwa habitat adalah tempat dimana organisme hidup dan

berkembangbiak secara alami. Habitat berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam

gangguan, menyediakan makanan, sebagai tempat istirahat, tidur dan bermalam serta tempat

berkembang biak dan membesarkan anak (Alikodra, 2002).

Rusaknya habitat mengakibatkan berkurangnya daya dukung habitat yang berpengaruh

secara langsung pada ketersediaan makanan, dan terganggunya habitat alami yang kemudian

berakibat buruk pada populasi satwa. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan populasi satwa

liar yang ada di CA. Tangkoko. Rusaknya habitat di CA. Tangkoko disebabkan oleh dua hal, yaitu:

a. Kebakaran hutan

Kebakaran hutan selama musim kemarau merupakan peristiwa yang terjadi hampir setiap

tahun. Dalam kawasan CA. Tangkoko selama ini telah terjadi kebakaran besar yaitu pada tahun

1991, kurang lebih 800 ha hutan habis terbakar. Selanjutnya pada tahun 1999 juga terjadi

kebakaran, yang mengakibatkan hilangnya 150 ha hutan. Kemudian tahun 2000 kembali terjadi

kebakaran yang menghanguskan 50 ha hutan. Pada tahun 2002 terjadi kebakaran besar, dimana

lokasinya berada di daerah Rumesung, Pante Babi dan disekitar Pinangunian, kira-kira hutan yang

terbakar seluas 800 ha. Dan yang paling terakhir terjadi kebakaran pada tahun 2004, dalam

kebakaran ini hampir 500 ha hutan yang terbakar (WCS, 2005). Dengan melihat beberapa daftar

kebakaran hutan yang terjadi serta luasan wilayah yang hilang terbakar mengindikasikan bahwa

terdapat begitu banyak habitat alami dari satwa liar.

b. Aktivitas Manusia Di dalam Kawasan CA. Tangkoko

Beberapa aktivitas manusia di dalam kawasan yang secara langsung berpengaruh pada

rusaknya habitat adalah :

- Penebangan liar

Sebagian besar areal kawasan, terutama di sekitar hutan dataran rendah dan sepanjang

pesisir telah menjadi sasaran pencurian kayu oleh masyarakat. Dalam laporan WCS tahun 2000

menyatakan bahwa pelaku penebangan liar ini tidak lain adalah masyarakat sekitar kawasan,

antara lain warga desa Pinangunian, Kasuari dan Duasudara. Walaupun alasannya untuk

kebutuhan hidup tetapi aktivitas penebangan liar ini memusnahkan 50 ha hutan per tahun (WCS,

2000).

Penebangan liar ini juga merupakan salah satu faktor utama menurunnya populasi satwa

liar. Pada umumnya penebangan berlangsung di daerah hutan dataran rendah, yang merupakan

habitat dari kuskus beruang (A. ursinus) dan Yaki (Macaca nigra) (WCS, 2000).

- Pembukaan lahan pertanian

Page 5: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Beberapa masyarakat di daerah Pinangunian dan Kasuari telah membuka lahan pertanian di

dalam kawasan, ini terbukti dengan ditemukannya lahan- lahan baru di dalam kawasan. Bahkan

di dekat desa Pinangunian ada lahan yang telah ditanami tanaman tahunan (WCS, 2000).

Yang membahayakan dari pembukaan lahan pertanian adalah dengan cara tebang bakar, hal

ini sungguh sangat merusak kawasan juga habitat satwa liar (WCS, 2000).

II.2.2. Perburuan Liar

Perburuan liar telah menjadi penyebab utama dari penurunan dan hilangnya populasi

kehidupan satwa liar di CA. Tangkoko (WCS, 2000). Perburuan satwa di CA. Tangkoko umumnya

dilakukan dengan dua cara yaitu dengan memasang perangkap (jerat) dan dengan menggunakan

senapan angin, namun ada juga yang menggunakan anjing untuk berburu (WCS, 2000).

Perburuan satwa ini tidak mengenal waktu. Biasanya bila ada perayaan hari besar atau acara

di desa-desa sekitar kawasan maka semakin tinggi pula tingkat perburuan. Satwa liar diburu untuk

dikonsumsi, diperdagangkan atau dijadikan hewan peliharaan. Dalam perburuan, para pemburu

memburu semua satwa baik itu satwa dewasa atau pun satwa yang masih kecil (WCS, 2000).

II.3. Analisis Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang

hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat

interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan

organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis

(Kusmana, 1997 ).

Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai

keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain

karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis,

selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya (Kusmana, 1997 ).

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara

bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuhtumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk

pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-

data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas

hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan

komposisi suatu komunitas tumbuhan (Setiadi, D., I. Muhadiono, dan A. Yusron, 1989)

Untuk mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan Metode Berpetak (Teknik

sampling kuadrat: petak tunggal atau ganda, Metode Jalur, Metode Garis Berpetak) dan Metode

Tanpa Petak (Metode berpasangan acak, Titik pusat kwadran, Metode titik sentuh, Metode garis

sentuh, Metode Bitterlich) (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Page 6: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Jumlah satwa yang terlihat n (luas area)

Jumlah individu n (luas area)

Kerapatan suatu jenisKerapatan seluruh jenis

Luas penutupan suatu jenisLuas petak

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Tangkoko Kecamatan Bitung

Utara. Penelitian dilakukan selama 2 bulan.

3.2. Materi Penelitian

Objek Penelitian

a. Satwa Endemik (Indicator)

- Kuskus beruang (Ailurops ursinus)

- Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix)

- Yaki (Macaca nigra)

b. Vegetasi

- Struktur vegetasi

- Komposisi vegetasi

3.3. Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu beberapa buku panduan lapangan,

teropong (binokuler), kompas, altimeter, hand caunter, jam, GPS V Garmin Personal Navigator,

pita berwarna, clinometer, meteran (50 m), alat dokomentasi (kamera) dan alat tulis menulis.

3.4. Analisis Data

1. Untuk pengukuran populasi satwa digunakan metode observasi langsung dengan

menggunakan Line Transect Sampling (Anonymous, 1981).

- Kepadatan populasi (Anonymous, 1981): =

n = Jumlah Pengulangan

- Populasi (Anonymous, 1981): = Kepadatan Populasi X Total Area Kawasan

2. Untuk analisis vegetasi digunakan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974) :

- Kerapatan =

- Kerapatan relatif = X 100%

- Dominansi =

Page 7: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Dominansi suatu jenisDominansi seluruh jenis

Jumlah petak penemuan suatu jenisJumlah seluruh petak

Frekuensi suatu jenisFrekuensi seluruh jenis

- Dominansi relatif = X100%

- Frekuensi =

- Frekuensi relatif = X 100

- Nilai penting = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif

3.5. Prosedur Penelitian

a. Perkiraan Populasi Satwa

1. Pembuatan jalur transek

- Pengamatan pendahuluan, sebagai observasi awal di lapangan yang bertujuan untuk

mengetahui keadaan areal penelitian.

- Menentukan letak dan arah jalur. Terlebih dahulu ditentukan titik permulaan jalur.

- Hari pertama sampai hari keempat melakukan pembuatan garis transek atau jalur survey

- Dalam penelitian ini dibuat 4 jalur transek, yaitu transek dengan panjang A= 3250 m, B=

3250 m, C= 3250 m, dan D= 3250 m. Lebar masing-masing jalur 100 m ( ke 4 jalur

transek yang digunakan merupakan bekas jalur survey WCS yang terakhir digunakan

pada tahun 2005).

- Jalur A terdapat pada habitat hutan dataran rendah sampai dataran tinggi dengan tipe

hutan peimer, jalur B terdapat pada habitat hutan pantai dan hutan dataran rendah dengan

tipe hutan primer, jalur C terdapat pada habitat hutan dataran rendah dan alang-alang

dengan tipe hutan sekunder, jalur D terdapat pada habitat hutan dataran rendah dengan

tipe hutan primer.

- Pada setiap jarak 25 meter dipasangkan tanda (pita berwarna orange).

A=3,25 km

50 m 50 m

100 m

Gambar 1. Ukuran jalur transek

Page 8: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

2. Pengambilan data

- Pengambilan data dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pukul 06.00 dan 14.00 untuk

setiap transek.

- Cara pengambilan data yaitu secara teratur kita berjalan pada garis transek dengan

kecepatan rata-rata 1 sampai 1,5 km/jam sambil mengadakan pengamatan.

- Daerah yang diamati adalah daerah sekitar garis transek dengan lebar pengamatan 50 m

kekiri dan 50 m kekanan.

- Pada setiap jalur transek dilakukan 10 kali pengulangan pengamatan.

- Pakaian yang digunakan dalam pengamatan tidak boleh berwarna mencolok.

- Pengamatan dilakukan dengan sangat hati-hati dan berhenti saat melihat kuskus beruang

(A. ursinus), setiap pertemuan dengan satwa dicatat:

- Jumlah individu

- Waktu pertemuan

- Lokasi dalam transek

- Jarak pengamatan dengan objek (jarak perpendicular)

- Tingkah laku umum (general behavior)

- Jarak dari atas tanah

- Vegetasi

b. Analisis Vegetasi

1. Penentuan Petak Ukur

Pengamatan dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan suatu vegetasi yang dikelompokkan

ke dalam :

1) Tingkat semai (seedling), yaitu sejak perkecambahan sampai tinggi 1,5 meter;

2) Tingkat pancang (sapling) yaitu tingkat pertumbuhan permudaan yang mencapai tinggi

antara 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.

3) Tingkat tiang (poles) atau pohon kecil yaitu tingkat pertumbuhan pohon muda yang

berukuran dengan diameter batang antara 10 - 19 cm (dbh).

4) Pohon yaitu tingkat pohon-pohon yang berdiameter batang diatas 20 cm.

Luas petak ukur untuk masing-masing tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut :

- Semai (seedlings) dengan ukuran petak 2 x 2 m

- Pancang (saplings) dengan ukuran petak 5 x 5 m

- Tiang (poles) atau pohon kecil dengan ukuran petak 10 x 10 m

- Pohon (trees) dengan ukuran petak 20 x 20 m

Page 9: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

Petak ukur yang dibuat untuk menghitung kerapatan, frekwensi dan dominansi vegetasi

adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Petak Ukur Untuk Pengamatan Vegetasi

Keterangan:

a = Petak semai (2m x 2m)

b = Petak pancang (5m x 5m)

c = petak tiang (10m x 10m)

d = petak pohon (20m x 20m)

2. Pengambilan Data

Dalam setiap petak ukur dilakukan pengamatan terhadap tingkat pohon, tiang (pohon kecil),

sapihan dan semai. Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu yang ada dan diameter

untuk tingkat tiang dan pohon. Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai

tumbuhan bawah. Untuk jenis jenis vegetasi yang belum dapat dikenali, bagian tumbuhan diambil

untuk diidentifikasi lebih lanjut.

3.6. Variabel Penelitian

Variabel yang di ukur pada penelitian ini adalah:

1. Kepadatan populasi

2. Populasi

3. Struktur vegetasi

4. Kerapatan vegetasi

5. Indeks nilai penting

6. Dominasi vegetasi

Page 10: (Rancangan Penelitian Analisis Dan Evaluasi Habitat

IV. DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2002. Tehnik Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Anonimous, 1981. Techniques For The Study Of Primate Population Ecology. National Academy Press. Washington DC.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Informasi Kawasan Konservasi Di Propinsi Sulawesi Utara. Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.

Kinnaird, M.F. and O’ Brien, T.G. 1996. Tangkoko-Duasudara Nature Reserve, North Sulawesi Draft Management Plan 1996-2000, WCS Report For The Directorate Of Nature Conservation And Forestry. WCS. Republic of Indonesia.

Kusmana. C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons.

Setiadi, D., I. Muhadiono, dan A. Yusron. 1989. Ekologi (Penuntun Praktikum). Bogor: Dirjen DIKTI & PAU-IPB.

Wildlife Conservation Society. 2000. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara, Indonesia, Survey Biologi, Patroli, Monitoring Dan Rekomendasi Pengelolaan. Wildlife Conservation Society-Indonesian Program Manado.

Wildlife Conservation Society. 2005. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara, Indonesia, Monitoring Keanekaragaman Hayati, Patroli Dan Rekomendasi Pengelolaan. Wildlife Conservation Society-Indonesian Program Manado.