Upload
vudung
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Draft hasil harmonisasi 14 Okt 2011
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN
. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, senantiasa diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
b. bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk mempertahankan keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan yang membutuhkan ketersediaan alat peralatan pertahanan dan keamanan serta didukung oleh
kemampuan industri pertahanan dan keamanan dalam negeri yang mandiri untuk mencapai tujuan nasional;
c. bahwa ketersediaan alat peralatan pertahanan dan
keamanan selama ini belum didukung oleh kemampuan industri pertahanan dan keamanan dalam negeri secara optimal sehingga
menyebabkan ketergantungan terhadap produk alat peralatan pertahanan dan keamanan luar
negeri;
d. bahwa untuk mewujudkan ketersediaan alat
peralatan pertahanan dan keamanan secara mandiri yang didukung oleh kemampuan industri pertahanan dan keamanan dalam negeri,
diperlukan pengelolaan manajemen yang visioner dengan memperhatikan tata kelola pemerintahan
yang baik, mengandalkan sumber daya manusia yang memiliki idealisme dan intelektualisme tinggi pada berbagai tingkatan manajemen sehingga
mampu mengikuti perkembangan zaman;
2
e. bahwa selama ini ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang industri pertahanan dan keamanan nasional belum sepenuhnya mendorong
dan memajukan pertumbuhan industri yang mampu mencapai kemandirian pemenuhan kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Industri Pertahanan dan Keamanan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 33
ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN
DAN KEAMANAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Industri Pertahanan dan Keamanan adalah industri milik negara secara sendiri atau berkelompok, untuk sebagian atau seluruhnya, menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa
pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan, memiliki sumber daya manusia yang tangguh dan berkompeten serta memiliki fasilitas produksi yang
berada di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan
adalah suatu proses dan cara pemberdayaan industri pertahanan dan keamanan menuju kemandirian industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dan jasa pemeliharaan alat peralatan Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian atau Lembaga Pemerintah NonKementerian, lembaga
negara nonstruktural dan Badan Usaha Milik Negara. 3. Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan adalah segala alat
perlengkapan untuk mendukung pertahanan, keamanan, dan
ketertiban nasional.
3
4. Pengguna Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang selanjutnya disebut Pengguna adalah pihak yang menggunakan dan/atau
memanfaatkan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang dihasilkan oleh Industri Pertahanan dan Keamanan.
5. Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan Keamanan yang selanjutnya disingkat KKIP adalah komite yang mengoordinasikan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan nasional
Industri Pertahanan dan Keamanan. 6. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
Pasal 2 Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan
diselenggarakan dengan asas: a. prioritas; b. keterpaduan;
c. berkesinambungan; d. efektif dan efisiensi berkeadilan;
e. akuntabilitas; f. visioner; g. prima;
h. profesionalisme; i. kualitas; j. kerahasiaan;
k. tepat waktu; l. tepat sasaran;
m. tepat guna; n. pemberdayaan sumber daya manusia nasional; dan o. kemandirian.
BAB II
TUJUAN, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 3 Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan bertujuan:
a. mewujudkan Industri Pertahanan dan Keamanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif;
b. mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan keamanan;
c. meningkatkan kemampuan memproduksi Alat Peralatan Pertahanan
dan keamanan yang akan digunakan dalam rangka membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang handal; dan
d. mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 4
Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan berfungsi: a. memperkuat Industri Pertahanan dan Keamanan;
b. mengembangkan teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan yang bermanfaat bagi pertahanan, keamanan, kepentingan masyarakat;
c. meningkatkan pertumbuhan ekonomi; d. memandirikan sistem pertahanan dan keamanan negara;dan e. membangun dan meningkatkan sumber daya manusia yang tangguh
untuk mendukung Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
4
Pasal 5
Ruang lingkup Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan mencakup aspek kelembagaan, pengelolaan, pemasaran, pembiayaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 6 Kelembagaan Industri Pertahanan dan Keamanan meliputi lembaga,
kerjasama dalam negeri, perluasan usaha, peralihan kepemilikan saham, dan pengguna Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua Lembaga
Paragraf 1 Industri Utama
Pasal 7
Industri utama merupakan Badan Usaha Milik Negara yang difokuskan
pada Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 8
Kepemilikan industri utama seluruh modalnya dimiliki oleh negara.
Pasal 9 Industri utama berada di bawah pembinaan kementerian pertahanan.
Pasal 10 Industri utama dalam memenuhi kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan mencakup industri untuk mendukung kebutuhan tempur dan industri untuk mendukung kebutuhan gerak.
Paragraf 2 Industri Penunjang
Pasal 11 Industri penunjang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang
difokuskan pada pemenuhan kebutuhan penunjang industri utama.
Pasal 12
Kepemilikan industri penunjang merupakan badan usaha yang seluruh atau paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pasal 13
5
Industri penunjang berada di bawah pembinaan kementerian yang membidangi urusan Badan Usaha Milik Negara.
Pasal 14
Industri penunjang dalam memenuhi kebutuhan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan mencakup industri untuk mendukung kebutuhan: a. komando;
b. kendali; c. komunikasi;
d. komputer; e. intelijen; f. pengamatan, pengintaian dan pengenalan;
g. logistik; dan h. bahan dasar amunisi.
Paragraf 3
Industri Pendukung
Pasal 15
Industri pendukung merupakan Badan Usaha Milik Negara untuk
memenuhi kebutuhan pendukung industri utama dan industri penunjang.
Pasal 16
Kepemilikan industri pendukung merupakan badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pasal 17 Industri pendukung berada di bawah pembinaan kementerian yang
membidangi urusan Badan Usaha Milik Negara.
Pasal 18
Kebutuhan pendukung industri utama dan industri penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 untuk mendukung kebutuhan
Perlengkapan Perorangan Lapangan.
Bagian Ketiga
Kerjasama Dalam Negeri
Paragraf 1
Umum
Pasal 19 (1) Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan
dapat dilaksanakan melalui kerjasama dalam negeri dengan industri
swasta nasional. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang
pendidikan, pelatihan, alih teknologi, penelitian, pengembangan, perekayasaan, produksi, pemasaran, dan pendanaan.
Paragraf 2 Kerjasama dengan Industri Utama
6
Pasal 20
(1) Industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat bekerja sama dengan industri swasta nasional utama.
(2) Kerjasama dengan industri swasta nasional utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila industri utama tidak dapat memenuhi kebutuhan Pengguna Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan. (3) Kerjasama dengan industri swasta nasional utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh KKIP.
(4) Industri swasta nasional utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KKIP.
(5) Mekanisme kerjasama industri utama dengan industri swasta nasional utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Kerjasama dengan Industri Penunjang
Pasal 21
(1) Industri penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 hanya dapat bekerja sama dengan industri swasta nasional penunjang.
(2) Kerjasama dengan industri swasta nasional penunjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila industri penunjang tidak dapat memenuhi kebutuhan Pengguna Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan. (3) Kerjasama dengan industri swasta nasional penunjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh KKIP.
(4) Industri swasta nasional penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KKIP.
(5) Mekanisme kerjasama industri penunjang dengan industri swasta
nasional penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Kerjasama dengan Industri Pendukung
Pasal 22
(1) Industri pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat bekerja sama dengan industri swasta nasional pendukung.
(2) Kerjasama dengan industri swasta nasional pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila industri pendukung tidak dapat memenuhi kebutuhan pengguna Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
(3) Mekanisme kerjasama industri pendukung dengan industri swasta nasional pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Perluasan Usaha
Paragraf 1 Perluasan Usaha Industri Utama
Pasal 23
7
(1) Industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam melakukan perluasan usaha industri harus memiliki izin perluasan
dari Menteri Pertahanan. (2) Industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam
melakukan pemindahan lokasi usaha industri harus dengan persetujuan tertulis dari Menteri Pertahanan.
(3) Pelanggaran atas perluasan dan pemindahan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha industri.
Paragraf 2 Perluasan Usaha Industri Penunjang dan Industri Pendukung
Pasal 24
(1) Industri penunjang dan industri pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 15 dalam melakukan perluasan usaha industri harus memiliki izin perluasan.
(2) Industri penunjang dan industri pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 15 dalam melakukan pemindahan lokasi usaha industri harus dengan persetujuan
tertulis dari menteri yang membidangi urusan perindustrian. (3) Pelanggaran atas perluasan dan pemindahan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi
berupa pencabutan izin usaha industri.
Paragraf 3 Perluasan Usaha Industri Swasta Nasional
Pasal 25
(1) Perluasan usaha industri swasta nasional terdiri dari: a. perluasan usaha industri swasta nasional utama; b. perluasan usaha industri swasta nasional penunjang; dan
c. perluasan usaha industri swasta nasional pendukung. (2) Perluasan usaha industri swasta nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memiliki izin perluasan dari Menteri yang membidangi urusan perindustrian.
(3) Pelanggaran atas perluasan usaha industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha industri.
Paragraf 4 Pemindahan Lokasi Usaha Industri Swasta Nasional
Pasal 26 (1) Pemindahan lokasi usaha industri swasta nasional terdiri dari:
a. pemindahan lokasi usaha industri swasta nasional utama;
b. pemindahan lokasi usaha industri swasta nasional penunjang; dan c. pemindahan lokasi usaha industri swasta nasional pendukung.
(2) Pemindahan lokasi usaha Industri swasta nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dengan persetujuan tertulis dari
menteri yang membidangi urusan perindustrian. (3) Pelanggaran atas pemindahan lokasi usaha industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa
pencabutan izin usaha industri.
Bagian Kelima
8
Peralihan Kepemilikan Saham
Pasal 27 (1) Kepemilikan industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat dialihkan kepemilikan sahamnya kepada publik dengan ketentuan modal paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) tetap dimiliki oleh negara.
(2) Peralihan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. mandiri; b. sebagian besar bahan baku dapat dipenuhi dari dalam negeri;
dan c. harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Bagian Keenam Pengguna Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan
Pasal 28
Pengguna terdiri dari:
a. Tentara Nasional Indonesia; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian;
d. lembaga negara nonstruktural; e. Badan Usaha Milik Negara; dan
f. pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENYERTAAN MODAL NEGARA UNTUK PENDIRIAN
INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Bagian Kesatu Penyertaan Modal Negara
Pasal 29 Negara Republik Indonesia melakukan penyertaan modal untuk
pendirian Perusahaan Perseroan yang bergerak di bidang Industri Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 30
Maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 adalah untuk: a. meningkatkan nilai perusahaan; b. melakukan kegiatan usaha penyediaan Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan mencakup industri untuk mendukung kebutuhan tempur dan industri untuk mendukung kebutuhan gerak; dan
c. menyelenggarakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
9
Bagian Ketiga Modal Perusahaan Perseroan
Pasal 31
(1) Penyertaan modal Negara Republik Indonesia pada perusahaan perseroan pada saat pendiriannya adalah kekayaan negara yang berasal dari pengalihan seluruh saham milik Negara Republik
Indonesia pada industri utama. (2) Besarnya penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan neraca pembukaan perusahaan perseroan ditetapkan
oleh menteri yang membidangi urusan keuangan.
Pasal 32
(1) Dengan pengalihan saham milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), maka kedudukan negara sebagai pemegang
saham pada industri utama beralih kepada perusahaan perseroan. (2) Ketentuan mengenai permodalan perusahaan perseroan dan modal
dasar perusahaan perseroan diatur dalam anggaran dasar perusahaan perseroan.
BAB V KKIP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
Presiden membentuk KKIP untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 34
KKIP berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagian Ketiga Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Pasal 35 KKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, menyelenggarakan fungsi merumuskan dan mengevaluasi kebijakan mengenai Pengembangan dan
Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan di bidang: a. perencanaan;
b. penelitian, pengembangan, dan perekayasaan; c. peningkatan kompetensi sumber daya manusia; d. pendanaan dan strategi pengelolaan;
e. strategi kerjasama; f. strategi pemasaran; dan
g. pembinaan dan pemberdayaan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 36
10
Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, KKIP mempunyai tugas:
a. merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang Industri Pertahanan dan Keamanan;
b. mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan dan Keamanan;
c. mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan
dan mengembangkan Industri Pertahanan dan Keamanan; d. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
Industri Pertahanan dan Keamanan;
e. menyusun dan membentuk rencana induk Industri Pertahanan dan Keamanan yang berjangka panjang;
f. menetapkan standar untuk bahan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan; dan
g. menyusun dan menetapkan pedoman umum perencanaan produksi.
Pasal 37
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, KKIP berwenang menentukan: a. produk Industri Pertahanan dan Keamanan yang sesuai dengan
perencanaan produksi; b. industri pelaksana; c. mekanisme pendanaan;
d. mekanisme pengendalian dan pengawasan; e. penggunaan produk Industri Pertahanan dan Keamanan oleh anggota
KKIP; dan f. mengoordinasikan kerjasama antara Industri Pertahanan dan
Keamanan dengan industri swasta nasional.
Bagian Keempat
Organisasi
Pasal 38
(1) Ketua KKIP adalah menteri yang membidangi urusan Pertahanan. (2) Keanggotaan utama KKIP terdiri dari:
a. menteri yang membidangi urusan Badan Usaha Milik Negara;
b. menteri yang membidangi urusan perindustrian; c. menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi;
d. menteri yang membidangi urusan pendidikan; e. menteri yang membidangi urusan komunikasi dan informatika; f. menteri yang membidangi urusan keuangan;
g. menteri yang membidangi urusan perencanaan pembangunan nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
h. Panglima Tentara Nasional Indonesia; dan
i. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Keanggotaan pendukung KKIP berasal dari unsur perguruan tinggi.
Pasal 39
Ketentuan mengenai susunan dan tata kerja organisasi KKIP diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
BAB VI
PENGELOLAAN
Bagian Kesatu
11
Umum
Pasal 40 Pengelolaan Industri Pertahanan dan Keamanan meliputi:
a. standardisasi kebutuhan pengguna; b. penelitian dan pengembangan; c. sumber daya manusia;
d. bahan produksi; e. produksi; f. peningkatan kapasitas produksi;
g. pengadaan; dan h. kerjasama luar negeri.
Bagian Kedua
Standardisasi Kebutuhan Pengguna
Pasal 41
(1) Pengguna membuat standardisasi kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan kepada industri utama yang diputuskan oleh KKIP.
(2) Standardisasi kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rancangan rencana induk pengadaan.
(3) Rancangan rencana induk pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan menjadi rencana induk pengadaan oleh KKIP.
Bagian Ketiga
Penelitian, Pengembangan, dan Perekayasaan
Pasal 42
(1) Peningkatan kemampuan teknologi Industri Pertahanan dan
Keamanan dilakukan melalui penelitian, pengembangan, dan perekayasaan dalam suatu sistem nasional.
(2) Pelaksana penelitian, pengembangan, dan perekayasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur: a. lembaga penelitian dan pengembangan;
b. perguruan tinggi; c. institusi penelitian dan pengembangan, baik lembaga pemerintah
maupun swasta nasional di bidang pertahanan dan keamanan; d. Pengguna; dan e. industri utama.
(3) Penelitian, pengembangan, dan perekayasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh KKIP dalam meluncurkan kegiatan penelitian dan pengembangan Industri
Pertahanan dan Keamanan yang bersinergi dengan kegiatan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan serta pengadaan
peralatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 43
Penelitian, pengembangan, dan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) harus menumbuhkembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna mendukung Industri Pertahanan dan Keamanan menuju kemandirian dan mampu merespon perkembangan teknologi pertahanan dan keamanan.
Pasal 44
12
Penelitian, pengembangan, dan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), yang terkait dengan formulasi rancang bangun
teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan keamanan nasional oleh industri utama
bersifat rahasia.
Pasal 45
Dalam rangka penelitian, pengembangan, dan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pemerintah dapat: a. membangun fasilitas khusus pendukung Industri Pertahanan dan
Keamanan; dan/atau b. menyediakan fasilitas program pendidikan dan pelatihan khusus
peningkatan mutu sumber daya manusia Industri Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Keempat Sumber Daya Manusia
Pasal 46
Sumber daya manusia merupakan tenaga potensial yang dapat
diandalkan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 47 (1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
diperlukan untuk menguasai teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan terdiri dari unsur: a. keahlian;
b. kepakaran; c. kompetensi dan pengorganisasian; dan d. kekayaan intelektual dan informasi.
(2) Setiap unsur sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditingkatkan daya guna dan nilai gunanya secara terus
menerus sesuai dengan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian serta kode etik profesi.
Pasal 48 (1) Penyiapan sumber daya manusia diperlukan untuk menguasai
teknologi pertahanan dan keamanan yang sarat dengan teknologi tinggi dan ilmu terapan Industri Pertahanan dan Keamanan.
(2) Penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi rekrutmen, pendidikan, pelatihan, magang, dan imbalan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekrutmen, pendidikan, pelatihan,
magang, dan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49 Penguasaan teknologi tinggi dan ilmu terapan Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) yang telah
dikuasai dari proses Industri Pertahanan dan Keamanan dikembangkan pada perguruan tinggi nasional.
Pasal 50
Dalam meningkatkan sumber daya manusia yang diperlukan untuk
menguasai ilmu terapan Industri Pertahanan dan Keamanan, serta teknologi pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam
13
Pasal 48 ayat (1), Pemerintah wajib mendorong kerjasama antar semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
pengembangan jaringan informasi, ilmu pengetahuan pertahanan dan keamanan, serta teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kelima
Bahan Produksi
Pasal 51
(1) Bahan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan terdiri dari:
a. bahan mentah Industri Pertahanan dan Keamanan; dan b. bahan baku Industri Pertahanan dan Keamanan.
(2)Selain bahan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahan lainnya berupa barang yang meliputi: a. barang setengah jadi Industri Pertahanan dan Keamanan; dan
b. barang jadi Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 52 Bahan mentah Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a merupakan semua bahan
yang didapat dari sumber daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih lanjut dalam Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 53
Bahan baku Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b merupakan bahan mentah yang diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam Industri
Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 54
Barang setengah jadi Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a merupakan bahan mentah
Industri Pertahanan dan Keamanan atau bahan baku Industri Pertahanan dan Keamanan yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses produksi yang dapat diproses lebih lanjut menjadi barang
jadi.
Pasal 55 Barang jadi Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b merupakan barang hasil Industri
Pertahanan dan Keamanan yang sudah siap dipakai untuk konsumsi akhir dan/atau siap dipakai sebagai alat produksi Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 56
(1) Bahan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yang digunakan dalam Industri Pertahanan dan Keamanan harus sesuai dengan standardisasi bahan produksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi bahan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KKIP.
Pasal 57
Standardisasi bahan produksi industri pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) bertujuan untuk
14
menjamin mutu produk Industri Pertahanan dan Keamanan untuk mencapai daya guna produksi.
Bagian Keenam
Produksi
Paragraf 1
Perencanaan Produksi
Pasal 58
(1) Perencanaan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan wajib disesuaikan dengan pedoman umum perencanaan produksi yang ditetapkan oleh KKIP.
(2) Pedoman umum perencanaan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan panduan dalam proses menjalankan
perencanaan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman umum perencanaan
produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan KKIP.
Paragraf 2
Kegiatan Produksi
Pasal 59 (1) Kegiatan produksi merupakan pembuatan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan yang siap pakai dan diproduksi oleh
Industri Pertahanan dan Keamanan sesuai dengan Perencanaan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1).
(2) Kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengembangkan dua fungsi produksi Industri Pertahanan dan Keamanan.
(3) Ketentuan mengenai kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Hasil Produksi
Pasal 60
(1) Dalam meningkatkan kualitas produk Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan, industri utama harus menghasilkan produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang optimal dan berorientasi pada produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang baru
dan peningkatan kualitas produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang telah ada.
(2) Dalam peningkatan kualitas produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KKIP mengeluarkan bukti tanda lulus yang menyatakan bahwa Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang diproduksi telah memenuhi standardisasi kebutuhan Pengguna.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bukti tanda lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KKIP.
Pasal 61
15
Industri utama dapat mengekspor produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Bagian Ketujuh Peningkatan Kapasitas Produksi
Pasal 62 Pemenuhan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksi Industri Pertahanan
dan Keamanan dalam negeri.
Pasal 63
(1) Pemerintah memberikan perlindungan dalam peningkatan kapasitas
produksi Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri. (2) Dalam rangka memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, bea, jaminan, dan pendanaan Industri Pertahanan dan Keamanan atas pertimbangan KKIP.
(3) Selain perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah harus memberikan afirmasi 0% (nol perseratus) untuk Pajak Pertambahan Nilai kepada Industri Pertahanan dan
Keamanan dalam negeri. (4) Dalam menyiapkan regulasi di bidang fiskal, bea, dan jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KKIP berkonsultasi dengan menteri yang membidangi urusan perdagangan dan menteri yang membidangi urusan keuangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemberian insentif fiskal, bea, jaminan, dan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 64 Pemberian perlindungan dari pemerintah terhadap Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1),
diberikan pada kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, praproduksi, dan produksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedelapan
Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan
Pasal 65
(1) Pengguna wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan dalam negeri. (2) Dalam hal Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri, Pengguna dapat menggunakan produk luar negeri melalui proses pengadaan.
(3) Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut: a. Alat Peralatan Pertahanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam
negeri;
b. mengikutsertakan Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri dalam bentuk produksi bersama;
16
c. kewajiban alih teknologi; d. jaminan tidak adanya embargo; dan
e. adanya pemakaian kandungan lokal minimum 25% (dua puluh lima perseratus).
(4) Kebijakan pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KKIP.
(5) Sebelum dilaksanakannya pengadaan, Pengguna maupun Industri
Pertahanan dan Keamanan harus sudah membicarakan spesifikasi teknis atau kebutuhan operasional terlebih dahulu.
Pasal 66 (1) Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk
Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri dilakukan dengan kontrak jangka panjang.
(2) Kontrak jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diselesaikan pelaksanaannya dengan tuntas hingga akhir masa kontrak dan seluruh prosesnya wajib dievaluasi secara berkala oleh
Pengguna dan dilaporkan kepada KKIP setiap akhir tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengadaan
Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 67
(1) Dalam hal kebutuhan mendesak, pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk Industri Pertahanan dan
Keamanan dalam negeri dapat dilakukan dengan pembelian langsung dan/atau kontrak jangka pendek.
(2) Pembelian langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan dapat dilakukan diluar Industri Pertahanan dan Keamanan, namun rancang bangun tetap dilaksanakan oleh Industri Pertahanan dan Keamanan sebagai
sistem integrator nasional. (3) Kebutuhan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan mendesak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Kerjasama Luar Negeri
Pasal 68
(1) Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan dapat dilaksanakan melalui kerjasama luar negeri.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara bilateral, regional, maupun multilateral. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
dasar saling menguntungkan dengan mengutamakan kepentingan
nasional. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diarahkan bagi
percepatan peningkatan penguasaan teknologi pertahanan dan keamanan serta guna menekan beban biaya pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan.
17
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi bidang pendidikan, pelatihan, alih teknologi, penelitian, pengembangan,
perekayasaan, produksi, dan pemasaran.
Pasal 69 (1) Industri Pertahanan dan Keamanan dapat melakukan kerjasama
dengan Industri Pertahanan dan Keamanan luar negeri dalam
penyediaan kebutuhan jangka panjang dengan persetujuan KKIP. (2) Kedutaan Besar Republik Indonesia berperan aktif dalam
mendukung dan memfasilitasi kerjasama luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). (3) Kerjasama luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk perjanjian kerjasama luar negeri oleh Kementerian Pertahanan.
(4) Perjanjian kerjasama luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan setelah berkonsultasi dengan Kementerian Luar Negeri.
Pasal 70
(1) Kerjasama alih teknologi dalam pengadaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan dari luar negeri dilakukan dengan partisipasi Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi Industri Pertahanan
dan Keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PEMASARAN
Pasal 71
(1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilaksanakan bersama-sama oleh Industri Pertahanan dan Keamanan, serta
Pemerintah. (2) Dalam hal, Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan
berupa senjata yang mematikan harus dilaksanakan bersama-sama
oleh Industri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 72
(1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan di dalam
negeri dan ke luar negeri dilaksanakan secara periodik, berjangka panjang, dan berkesinambungan.
(2) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyediakan fasilitas pemeliharaan dan perawatan serta penjualan kredit ekspor bagi
penjualan produk dalam negeri ke luar negeri. (3) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
koordinasi dengan Pemerintah melalui instansi atau kementerian terkait.
Pasal 73
(1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilakukan
dengan izin Menteri Pertahanan atas pertimbangan KKIP.
18
(2) Dalam pertimbangan kepentingan strategis nasional, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat melarang atau
memberikan pengecualian pemasaran produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Dalam kegiatan pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Industri Pertahanan dan Keamanan wajib:
a. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
b. memberi kesempatan kepada Pengguna untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; dan
c. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 75 Industri Pertahanan dan Keamanan yang menjual produk dan/atau jasa
wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 76 (1) Industri Pertahanan dan Keamanan yang memproduksi barang yang
pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu paling singkat 1
(satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan
yang diperjanjikan. (2) Industri Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila: a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas perbaikan; dan/atau b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.
BAB VIII
PEMBIAYAAN, PERTANGGUNGJAWABAN, DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembiayaan
Paragraf 1 Sumber Pembiayaan
Pasal 77
(1) Menteri yang membidangi urusan keuangan menetapkan kerangka
pendanaan jangka panjang melalui Anggaran Pendapatan dan
19
Belanja Negara atas permintaan KKIP untuk pengadaan dan produksi Industri Pertahanan dan Keamanan.
(2) Kerangka pendanaan jangka panjang melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi
sesuai dengan kemampuan keuangan negara. (3) Tata cara pendanaan jangka panjang melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
(1) Pemerintah dapat menyediakan fasilitas pinjaman dalam negeri khusus atas jaminan Pemerintah untuk penjualan produk Industri
Pertahanan dan Keamanan. (2) Tata cara pemberian pinjaman dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Anggaran Tahun Jamak
Pasal 79
(1) Penelitian, pengembangan, perekayasaan, pendanaan, pengadaan,
produksi, peningkatan kapasitas produksi, dan pemasaran dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan
Keamanan dilaksanakan berdasarkan sistem anggaran tahun jamak. (2) sistem anggaran tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan kontrak induk dan kontrak anak dalam rangka
mewujudkan industri pertahanan dan keamanan yang kokoh serta mampu memenuhi pasar dalam negeri.
Paragraf 3 Penjaminan Pemerintah
Pasal 80
(1) Pemerintah memberikan jaminan kepada perbankan dan lembaga
keuangan bukan bank yang mendukung pembiayaan Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
(2) Pemerintah mengambil alih resiko terhadap biaya kemahalan atas produk yang dihasilkan Industri Pertahanan dan Keamanan dalam rangka terwujudnya kemandirian Industri Pertahanan dengan nilai
maksimum 30% (tiga puluh perseratus). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjaminan oleh pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
Bagian Kedua Pertanggungjawaban
Pasal 81 Laporan dan pertanggungjawaban kegiatan Pengembangan dan
Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan disampaikan secara tertulis oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia setiap akhir tahun anggaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
20
Bagian Ketiga Pengawasan
Pasal 82
(1) Pengawasan terhadap Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan dilakukan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang membidangi masalah
pertahanan. (2) Pengawasan terhadap Pengembangan dan Pemanfaatan Industri
Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal: a. kebijakan, kegiatan, dan penggunaan anggaran; dan
b. pemantauan dalam menunjang kualitas produksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
BAB IX
LARANGAN
Pasal 83
Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan
keamanan nasional oleh industri utama.
Pasal 84 Setiap Orang dilarang memproduksi tanpa izin Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat kebutuhan tempur dan
kebutuhan gerak.
Pasal 85
Setiap Orang dilarang menjual tanpa izin Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat kebutuhan tempur dan kebutuhan gerak.
Pasal 86
Setiap orang dilarang melakukan Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan produk Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri tanpa kontrak jangka panjang, kecuali dalam kebutuhan mendesak.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 87
(1) Setiap Orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi formulasi rancang bangun teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam keadaan perang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (satu pertiga).
21
Pasal 88 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengakibatkan bocornya
informasi formulasi rancang bangun teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (satu pertiga).
Pasal 89
(1) Setiap Orang yang memproduksi tanpa izin Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan yang bersifat kebutuhan tempur dan kebutuhan gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) dan
paling banyak Rp750.000.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam keadaan perang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (satu pertiga).
Pasal 90 (1) Setiap orang yang menjual tanpa izin Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan yang bersifat kebutuhan tempur dan kebutuhan gerak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).
Pasal 91
Setiap orang yang melakukan Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan produk Industri Pertahanan dan Keamanan dalam negeri tanpa kontrak jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah)
Pasal 92 Setiap pengguna yang tidak menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
22
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah).
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 93 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Pengembangan dan
Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 94
(1) KKIP harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) KKIP yang sudah ada tetap dapat menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang ini.
Pasal 95 Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5),
Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 48 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), Pasal 70 ayat (2), Pasal 73 ayat (3), Pasal 77 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (2) harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang ini.
Pasal 96
Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 80 ayat (3) harus ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 97
Peraturan KKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), Pasal 58 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) harus ditetapkan paling lambat 18
(delapan belas) bulan sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 98
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal............ PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
23
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal .............
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN
I. UMUM
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, senantiasa diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, pertahanan dan keamanan negara membutuhkan ketersediaan peralatan utama yang didukung oleh
kemampuan industri dalam negeri, pemilikan teknologi canggih dan teknologi tepat guna, penguasaan sumber daya ekonomi, dan
percepatan pencapaian tujuan nasional. Namun selama ini ketersediaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan belum didukung oleh kemampuan Industri Pertahanan dan Keamanan
secara optimal dan mandiri yang menyebabkan masih adanya ketergantungan terhadap produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari luar negeri.
24
Memiliki pertahanan dan keamanan yang tangguh merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar bagi suatu bangsa dan negara.
Kemampuan pertahanan dan keamanan tidak saja penting dalam menjaga keselamatan bangsa dan negara, namun juga merupakan
simbol kekuatan serta sarana untuk menggapai cita-cita, tujuan maupun kepentingan nasional, baik dalam aspek ekonomi (economic well-being) bahkan mewujudkan tatanan dunia yang menguntungkan
(favourable world order). Visi yang perlu diterapkan bagi kemajuan dan kemandirian
Industri Pertahanan dan Keamanan di Indonesia adalah visi yang memuat semangat untuk mewujudkan ketersediaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan secara mandiri yang didukung oleh kemampuan Industri Pertahanan dan Keamanan yang harus didukung oleh pengelolaan manajemen yang visioner serta
mengandalkan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dan kapabilitas tinggi sehingga mampu mendukung tercapainya kemajuan teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sesuai
dengan perkembangan zaman. Selain itu perlu diperhatikan bahwa untuk mewujudkan
kemampuan Industri Pertahanan dan Keamanan, diperlukan penyelenggaraan dan pengelolaan secara terpadu melalui pemberdayaan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki industri strategis pertahanan dan keamanan yang dapat menjawab tuntutan dan tantangan tersebut. Namun demikian, patut
diakui bahwa kemampuan industri strategis pertahanan dan keamanan nasional yang selanjutnya disebut Industri Pertahanan
dan Keamanan, masih terbatas sehingga diperlukan upaya untuk melakukan Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Kemandirian pertahanan dan keamanan memerlukan tekad dan keterpaduan upaya dari semua pihak, serta didukung oleh
kebijakan Pemerintah dalam pemberdayaan segenap potensi sumber daya nasional, termasuk perangkat regulasi. Salah satu perwujudan kemandirian pertahanan dan keamanan adalah kemandirian di
bidang pemenuhan kebutuhan Industri Pertahanan dan Keamanan. Membangun kemandirian ini tidak terlepas dari peran Industri
Pertahanan dan Keamanan sebagai pelaku dalam pemanfaatan,
penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan yang terpilih.
Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan memerlukan sinergitas dan integritas segenap pemangku kepentingan (stake holders) Industri Pertahanan dan Keamanan,
yakni Pengguna, Industri Pertahanan dan Keamanan serta Pemerintah. Upaya mewujudkan Pengembangan dan Pemanfaatan
Industri Pertahanan dan Keamanan ini, memerlukan suatu penataan dan pengaturan yang dapat lebih menjembatani keserasian dalam memprioritaskan kepentingan pertahanan dan keamanan dengan
kepentingan nasional lainnya. Dengan menggunakan perangkat pengaturan yang tegas dan
jelas, serta wujud pembangunan sistem industri yang sistematis dan teroganisir maka dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemberdayaan segenap kemampuan industri nasional dalam
mendukung pemenuhan kebutuhan Industri Pertahanan dan Keamanan.
25
Oleh karena itu, diperlukan adanya Undang-Undang tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan
dalam upaya memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan di bidang industri strategis pertahanan dan keamanan nasional yang
sepenuhnya dapat mendorong dan memajukan pertumbuhan industri yang mampu mencapai kemandirian pemenuhan kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan
Undang-Undang ini mengatur tentang tujuan, fungsi, dan ruang lingkup Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan. Selain itu diatur pula hal-hal terkait kelembagaan,
Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan Keamanan, pengelolaan Industri Pertahanan dan Keamanan, pemasaran produk yang
dihasilkan Industri seluruh proses produksi yang dilakukan Industri Pertahanan dan Keamanan.
Pengaturan hal-hal tersebut merupakan suatu upaya untuk
mengembangkan dan memanfaatkan Industri Pertahanan dan Keamanan menuju kemandirian Industri Pertahanan dan Keamanan
untuk memenuhi kebutuhan dan jasa pemeliharaan alat peralatan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga
negara nonstruktural dan Badan Usaha Milik Negara. Di samping itu Undang-Undang ini juga memberikan
pengaturan kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
produksi Industri Pertahanan dan Keamanan agar bekerja secara sinergis sehingga pada akhirnya Industri Pertahanan dan Keamanan
dapat benar-benar dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas prioritas” adalah
Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan, dilaksanakan secara bertahap dan
disesuaikan dengan prioritas pembangunan dan kemampuan pertahanan dan keamanan negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas keterpaduan” adalah Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan merupakan kegiatan yang melibatkan
berbagai pihak yang terkait, pelaksanaannya harus terpadu dan terkoordinasi.
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas berkesinambungan” adalah Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan
dan Keamanan merupakan kegiatan berlanjut dan berkesinambungan yang harus dilaksanakan secara dini
agar dapat menghasilkan barang dan jasa yang dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Huruf d
26
Yang dimaksud dengan “asas efektif dan efisiensi berkeadilan” adalah Pengembangan dan Pemanfaatan
Industri Pertahanan dan Keamanan perlu dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip manajemen
modern, demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan,
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional agar mencapai hasil guna dan daya guna yang optimal.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas akuntabel” adalah Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan
dan Keamanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas visioner” adalah
Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan dan Keamanan harus memberikan solusi yang bersifat strategis jangka panjang dan menyeluruh.
Huruf g Yang dimaksud dengan “asas prima” adalah Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan
dan Keamanan memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan secara keseluruhan mulai tahap
awal sampai dengan tahap akhir dapat memberikan hasil yang optimal.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas profesionalisme” adalah suatu kondisi bahwa Industri Pertahanan dan Keamanan dan seluruh lembaga terkait Industri Pertahanan dan
Keamanan serta sumber daya manusia yang ada di dalamnya dapat menjalankan fungsinya masing-masing
sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya yang mengacu pada ketentuan di dalam Undang-Undang ini.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kualitas” adalah suatu kondisi bahwa Industri Pertahanan dan Keamanan
beserta produk-produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang dihasilkan memenuhi kriteria atau standar yang telah disepakati, yang sesuai dengan
perkembangan kemajuan teknologi. Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas kerahasiaan” adalah bahwa
formulasi rancang bangun produk Industri Pertahanan dan Keamanan pada proses atau kegiatan penelitian dan
pengembangan teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tidak boleh diketahui oleh pihak-pihak di luar Industri Pertahanan dan Keamanan serta di luar instansi
terkait Industri Pertahanan dan Keamanan. Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas tepat waktu” adalah bahwa penyampaian atau distribusi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang diproduksi oleh Industri Pertahanan
dan Keamanan kepada pengguna harus dilakukan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati.
27
Huruf l Yang dimaksud dengan “asas tepat sasaran” adalah
bahwa penyampaian atau distribusi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang diproduksi oleh Industri
Pertahanan dan Keamanan harus diterima dan digunakan oleh pengguna yang memesan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
Huruf m Yang dimaksud dengan “asas tepat guna” adalah bahwa Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang
diproduksi oleh Industri Pertahanan dan Keamanan serta yang diterima oleh Pengguna harus digunakan sesuai
dengan peruntukannya. Huruf n
Yang dimaksud dengan “asas pemberdayaan sumber daya
manusia nasional” adalah anggaran pertahanan dan keamanan yang ada harus dipergunakan secara efektif
untuk membayar jam kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja nasional dalam proses produksi Industri Pertahanan dan Keamanan.
Huruf o Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kondisi Industri Pertahanan dan Keamanan yang mampu
memenuhi kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan berdasarkan sebagian besar dan/atau
sepenuhnya pada sumber daya yang ada di dalam negeri. Pasal 3
Huruf a Yang dimaksud dengan “inovatif” adalah rancang bangun
dan hasil produksi menghasilkan rancang bangun yang
merupakan temuan baru. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
28
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “kebutuhan tempur” adalah kebutuhan untuk memproduksi sarana pertahanan dan
keamanan yang digunakan untuk memperbesar daya tempur antara lain senjata, roket, bom, torpedo, peluru kendali, bahan peledak dan amunisi.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan gerak” adalah kebutuhan untuk memproduksi sarana pertahanan dan keamanan yang
digunakan untuk memperbesar mobilitas gerakan di darat, laut dan udara, termasuk didalamnya produksi komponen suku
cadang.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Yang dimaksud dengan “industri untuk menunjang kemampuan logistik” adalah industri nasional yang dapat memproduksi kebutuhan bekal untuk kepentingan
sarana pertahanan dan keamanan, antara lain perlengkapan perorangan dan satuan lapangan, bekal makanan, obat-obatan, bahan bakar dan pelumas serta
jasa lainnya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara.
Huruf h Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “perlengkapan perorangan lapangan”
antara lain adalah verples, rantang, sangkur, sepatu, helm, velbet lapangan,pakaian dinas dan bahan pangan prajurit.
29
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “industri swasta nasional” adalah
industri bukan milik pemerintah yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki pihak dalam negeri
dan/atau yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “industri swasta nasional utama” adalah industri swasta nasional yang difokuskan pada
pemenuhan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang mencakup industri untuk mendukung kebutuhan tempur dan industri untuk mendukung
kebutuhan gerak. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat memenuhi kebutuhan Pengguna” adalah ketidakmampuan dalam memenuhi seluruh dan/atau sebagian pesanan atau
kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ditetapkan oleh KKIP” adalah
setelah industri swasta nasional melalui proses tender sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “industri swasta nasional penunjang” adalah industri swasta nasional yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan yang mencakup industri untuk mendukung kemampuan komando, kendali,
komunikasi, komputer, intelijen, pengamatan, pengintaian dan pengenalan, serta industri untuk mendukung kebutuhan bekal.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak dapat memenuhi kebutuhan
pengguna” adalah ketidakmampuan dalam memenuhi seluruh dan/atau sebagian pesanan/kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
Ayat (3) Cukup jelas.
30
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ditetapkan oleh KKIP” adalah
setelah industri swasta nasional melalui proses tender sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “industri swasta nasional
pendukung” adalah industri swasta nasional yang dibutuhkan untuk mendukung industri pendukung
termasuk Usaha Kecil Menengah di bidang pertahanan dan keamanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat memenuhi kebutuhan Pengguna” adalah ketidakmampuan dalam
memenuhi seluruh dan/atau sebagian pesanan atau kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Peralihan kepemilikan saham dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Huruf a
Yang dimaksud dengan “mandiri” adalah keadaan
perusahaan yang dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
31
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Yang dimaksud dengan “formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat
strategis bagi pertahanan dan keamanan dan keamanan nasional” adalah formulasi rancang bangun yang merupakan inovasi asli dari sumber daya manusia pada lembaga
penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, institusi penelitian dan pengembangan baik institusi pemerintah
maupun swasta di bidang pertahanan dan keamanan, Pengguna, dan/atau industri utama.
Pasal 45 Cukup jelas.
32
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Yang dimaksud dengan “semua bahan yang didapat dari sumber daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia” antara lain bijih besi, karet alam, karet sintetis,
bijih plastik, propelan.
Pasal 53 Yang dimaksud dengan “bahan mentah yang diolah” antara lain roda kendaraan tempur, kemudi kendaraan tempur, laras
senapan, baja, besi, plastik, mesiu, lempeng baja.
Pasal 54
Yang dimaksud dengan “bahan mentah Industri Pertahanan dan Keamanan atau bahan baku Industri Pertahanan dan
Keamanan yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses produksi” antara lain rangka kendaraan tempur, rangka kapal laut, rangka pesawat tempur, rangka helikopter.
Pasal 55
Yang dimaksud dengan “barang hasil industri pertahanan dan keamanan yang sudah siap dipakai” antara lain tank, panser, pesawat tempur, helikopter, kapal perang, pesawat
angkut militer, bom, peluru.
Pasal 56
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “standardisasi bahan produksi”
adalah penyeragaman dan penerapan terhadap bahan produksi industri yang dapat berupa ukuran, bentuk, komposisi dan mutu serta di segi lain dapat
menyangkut cara mengolah dan cara menguji kualitas dengan pedoman (standar) yg ditetapkan dan dibakukan
sebagai dasar mutu bahan produksi. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
33
Cukup jelas.
Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dua fungsi produksi Industri
Pertahanan dan Keamanan” adalah kemampuan Industri Pertahanan dan Keamanan untuk menghasilkan produk
Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan, dan/atau produk lainnya untuk kepentingan sipil.
Yang dimaksud dengan “kegiatan produksi” diantaranya mengenai pengaturan pendanaan dua fungsi produksi
Industri Pertahanan dan Keamanan. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kontrak jangka panjang” adalah pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang dilakukan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun atau lebih. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebutuhan mendesak” adalah suatu kondisi pada saat Negara Kesatuan Republik
Indonesia mendapatkan ancaman baik dari dalam maupun luar negeri sehingga perlu segera dibutuhkan
34
pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang memadai agar dapat mengatasi ancaman
tersebut dengan efektif.
Yang dimaksud dengan “pembelian langsung” adalah pembelian Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang sudah tersedia.
Yang dimaksud dengan “kontrak jangka pendek” adalah kontrak pengadaan Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan yang dilakukan dalam jangka waktu di bawah 5 (lima) tahun.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “partisipasi industri” (offset) adalah pengaturan antara Pemerintah dan pemasok senjata dari luar negeri untuk mengembalikan
sebagian keuntungan dari kontrak kepada negara pembeli, dalam hal ini Negara Republik Indonesia sebagai salah satu persyaratan jual beli.
Partisipasi industri dapat diwujudkan dengan beberapa bentuk seperti produksi bersama
(coproduction), saham patungan (joint venture), beli kembali (buy-back), alih pengetahuan (knowledge transfer), dan pelatihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepentingan strategis
nasional” adalah kepentingan yang berkaitan dengan
pertahanan dan keamanan nasional dalam keadaan
perang.
35
Yang dimaksud dengan “alat peralatan pertahanan
dan keamanan tertentu” adalah alat peralatan
pertahanan dan keamanan yang memiliki fungsi
tempur.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas. Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.