Upload
cii-paw-ankinkenk-ranny
View
79
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
refarat chfff
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat
timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat
berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama
jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian pada pasien.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal
jantung kronis dekompensasi, gagal jantung merupakan tahap akhir dari
seluruh penyakit jantung dan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas
pasien jantung, diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di
rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam
setahun diperkirakan 2,3 - 3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal
jantung akan meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan
hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan
perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan refarat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca
mengenai gagal jantung kongestif dan sebagai salah satu syarat dalam menjalani
kepaniteraan klinik di bagian Kardiologi RSUP Dr. Pirngadi, Medan.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF)/gagal jantung adalah suatu keadaan
patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidak
mampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi
jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
2.2. Epidemiologi
Gagal jantung adalah merupakan suatu sindrom, bukan diagnosa
penyakit. Sindrom gagal jantung kongestif (Chronic Heart Failure/ CHF) juga
mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang
buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur/age-dependent.
Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun,
tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Dengan semakin meningkatnya
angka harapan hidup, akan didapati prevalensi dari CHF yang meningkat
juga. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya lansia yang mempunyai
hipertensi akan mungkin akan berakhir dengan CHF. Selain itu semakin
membaiknya angka keselamatan (survival) post-infark pada usia pertengahan,
menyebabkan meningkatnya jumlah lansia dengan resiko mengalami CHF.
2.3. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta
dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertansi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat
menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia seperti : bradikardi, takikardi, dan kontraksi prematur yang
sering dapat menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh
kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa
ruang, seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan
kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke
ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi
infark miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya
dari aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis
endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi
luas karena hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering
membahayakan kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas
tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama setelah infark. (2)
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung kongestif :
a. Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis
koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpuikan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel
jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitaas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal ( peningkatan afterload ) meningkatkan
beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi serabut
otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit
jantung yang sebenarnya secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
f. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (mis: demam,tirotoksikosis), hipoksia dan anemia peperlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elekttronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA).
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas
II
Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat,
tetapi aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Kelas
III
Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik.
Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Kelas
IV
Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya
kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan
aktivitas fisik, keluhan akan semakin meningkat.
Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of
Cardiology dan American Heart Association.
Tabel 2. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada
dijumpai abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada
tanda atau gejala.
Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang
berhubungan erat dengan perkembangan gagal jantung,
tetapi tanpa gejala atau tanda.
Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan
struktural jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya
gejala gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi
yang maksimal.
Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal
jantung akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal,
atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan memerlukan pengobatan
segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan
jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
2.5. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :
(1) gangguan kontraktilitas ventrikel,
(2) meningkatnya afterload, atau
(3) gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel
(karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi
sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan oleh abnormalitas
relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan
gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya
volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada
gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu
memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal jantung
diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif
terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja
terhadap mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga
terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu
ventrikel.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang
terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana
akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Jantung mengkompensasi dengan cara meningkatkan kekuatan
kontraksi, meningkatkan ukuran, memompa lebih kuat, dan menstimulasi
ginjal untuk mengambil natrium dan air. Penggunaan sistem secara
berlebihan untuk mengkompensasi tersebut menyebabkan kerusakkan pada
ventrikel dan terjadi remodeling.
Pada pasien CHF terjadi peningkatan level norefinefrine, angiotengsin
II, aldosteron, endotelin, dan vasopressin. Kesemuanya ini adalah faktor
neurohormonal yang meningkatkan stres hemodinamik pada ventrikel yang
menyebabkan retensi natrium dan vasokonstriksi periferal. Simptom yang
ketiga terjadi kelelahan, nafas pendek, dan retensi air. Nafas pendek
(dyspnea) menjadi lebih parah dan terjadi saat istirahat (orthopnea) atau pada
malam hari (proxymal nocturnal dyspnea). Retensi air terjadi pada paru-paru
(kongesti) atau odema periferal.
Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal
jantung untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk
memompakan darah ke organ – organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1)
mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal, dan (3) remodeling dan
hipertrofi ventrikular.
1. MekanismeFrank-Starling
meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume
ventricular end-diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik,
berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal
pada filamen aktin dan miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan
pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank-
Starling mencocokan output dari dua ventrikel.
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu
mendukung cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada
penderita gagal jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya
peningkatan volume ventricular end-diastolic dan mekanisme Frank-
Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami
pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang
berlebihan
Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah
ketegangan dari dinding ventrikular. Pengisian ventrikel yang berlebihan
menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan
ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding
pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang
menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi
jantung.
2. Neurohormonal
a. Sistem saraf adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, kemudian
mengaktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan
menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi
arteri dan vena sistemik.
b. Sistem renin angiotensin aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem
renin- angiotensin aldosteron berkurangnya natrium terfiltrasi yang
mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus
juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari
angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan
melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1,
aktivasi reseptor angiotensin I akan mengakibatkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin,
sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.
Gambar 1. Mekanisme Kompensasi Neurohormonal pada Gagal Jantung
Gambar 2. Sistem renin-angiostensin-aldosteron
c. Stres oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar
reactive oxygen species (ROS).Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh
rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal
(angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun
sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini
memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis
collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara
menurunkan bioavailabilitas NO.
3. Remodelling dan hipertrofi ventrikular
Model neurohormonal yang telah dijelaskan diatas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri
yang progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya
kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling
mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume
miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometridan
arsitektur ruangan ventrikel kiri.
Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang
mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung.
Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya
pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan
sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan
pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi
konsentrik.
Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume
ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang
kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik. Homeostasis kalsium merupakan
hal yang penting dalam perkembangan gagal jantung. Hal ini
diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung.
2.6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria
minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau
sindroma nefrotik.
Kriteria mayor
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada CHF ringan,
namun biasanya berkurang pada CHF berat, karena adanya disfungsi LV
berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan
adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda
nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik.
Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer
dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik
berlebih. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya
sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase
apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu
depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia,
diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi
oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti
sementara.
b. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai
tekanan atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika
pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 300. Tekanan vena
jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada
CHF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu
istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan
peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).
Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
c. Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika
kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi
dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular
line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
d. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel
kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas
hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada
pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan
takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara
jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik namun biasa ditemukan
pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan
tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari
transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien
dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan
paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac
asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru
sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu diketahui bahwa
rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis, bahkan
dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini
disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar.
Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan
mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena
pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering
terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada efusi pleura
seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena
adalah rongga pleura kanan.
f. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF. Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites
sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada
vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi
hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait
dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang
diterapi dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen
pada CHF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada
pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring,
edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum.
Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada
kulit.
h. Cardiac Cachexia
Pada kasus CHF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan
berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari
cachexia pada CHF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor
dan termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan
muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut;
peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan
gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika
ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh
mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti :
hati, ginjal dan lain-lain. Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan
anemia, karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal
jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk
disfungsi jantung lainnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi/Rontgen.
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan
bayangan hilus paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang, lapangan paru bercak-bercak karena edema paru,
pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio (CTR) meningkat, distensi
vena paru.
b. Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung
( iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda
faktor pencetus akut ( infark miocard, emboli paru ).
c. Ekhokardiografi.
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta
anatomis yang menjadi penyebab gagal jantung
2.7. Penatalaksanaan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk
mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga
penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara gabungan dari beban awal, kontraktilitas, dan beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure menurut Mansjoer (2001)
adalah :
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung.
Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis,
miksedema, dan aritmia.
Digitalisasi
Dosis digitalis :
Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4-6
dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4
hari.
Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari.
Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut
yang berat :
Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
3. Menurunkan beban jantung.
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan
vasodilator.
a. Diet rendah garam
Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan
diuretic, digoksin dan penghambat angiotensin converting enzyme
(ACE), diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek.
Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan:
o Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80
mg)
o Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan
sinus
o Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau
setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara
bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isorbid
dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang
terganggu atau adanya iskemia yang menetap, dosis dimulai 3
X 10-15 mg. Semua obat harus dititrasi secara bertahap.
b. Diuretik
Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20
mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai
garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain
yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon,
triamteren, amilorid, dan asam etakrinat. Dampak diuretik yang
mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau
kelangsungan, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena
mengurangi gejala dan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
Penggunaan penghambat ACE bersama diuretik hemat kalium
harus berhati-hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
c. Vasodilator
Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 μg/kg BB/menit
iv.
Nitroprusid 0,5-1 μg/kgBB/menit iv
Prazosin per oral 2-5 mg
Penghambat ACE: captopril 2 X 6,25 mg
Isosorbid dinitrat (ISDN) 10 – 40 mg peroral atau 5 – 15 mg
sublingual setiap 4 – 6 jam
2.8. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas
setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai
30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih
buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan
katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal
jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia
ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal
jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal
jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan
terapi paliatif yang sangat cermat.
Tabel 3. New York Heart Association Classification
CLAS
S
SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular
dysfunction
5 %
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical
exertion
10 %
III Dyspneoea or fatigue on normal daily
activities
10 % - 20 %
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.
BAB III
KESIMPULAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat
menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit
jantung. Sangat penting untuk mengetahui gagal jantung secara klinis.
Penatalaksanaan meliputi penanganan gagal jantung kronik dan gagal jantung
akut, dengan penanganan non medikamentosa, dengan obat – obatan serta dengan
menggunakan terapi invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isselbacher, Braunwald, dkk. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 3. Jakarta: EGC
2. H. Gray,Huon, Keith, dkk. 2003. Lecture Notes Kardiologi Edisi keempat.
Jakarta: Erlangga
3. Rilantono, lily, Faisal, dkk. 2002. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia