32
EUTHANASIA I. Pendahuluan Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.Sedangkan menurut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat di artikan dalam tiga hal, yaitu : a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan. b. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. 1,2 Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hipocrates (400-300 SM). Masalah ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh 1

Refarat Euthanasia

  • Upload
    najwa

  • View
    61

  • Download
    8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

euthanasia

Citation preview

Page 1: Refarat Euthanasia

EUTHANASIA

I. Pendahuluan

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa

penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat

diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.Sedangkan menurut Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat di

artikan dalam tiga hal, yaitu :

a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan.

b. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi

obat penenang.

c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri dan keluarganya. 1,2

Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hipocrates (400-300 SM). Masalah

ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan

dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya

kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan euthanasia

pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di lain pihak tindakan

ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai

masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada

sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara

pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian, tidak jarang

pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang

hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sabar, keluarga orang

sakit juga tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan

minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan

obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas

kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).

Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin

banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah

ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi

canggih dalam mengatasi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup.

1

Page 2: Refarat Euthanasia

Banyak kasus-kasusj di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan

di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus yang

tidak dapat dibantu lagi. Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul

persoalan dasar kembali, yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang

memperpanjang kehidupan. Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang

telah mati otak atau mati batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat keluar dari

keadaan ini, sebab kerusakan jaringan otak sudah irreversible. Atau pada kasus kanker

stadium terminal dengan penderitaan sakit yang hebat, sementara obat untuk itu belum

ada. Begitu juga pada pasien gagal ginjal kronis yang memerlukan pencucian darah,

sementara dana untuk tindakan ini ditanggung passien/keluarga dan lain-lain. Sesuai

dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri (self

determination) dibanyak negara mulai timbul gerakan dan penghargaan atas seseorang

untuk mengakhiri hidup. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap

negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun

ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, euthanasia dianggap

legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.1,3,4

Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya

kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khusunya di bidang teknologi pada

umumnya. Dengan perkembangan suatu diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna

dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan

peralatan, rasa sakit seorang pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidungan

harapan agar dokter diberikan kesempatan untunk mengobati pasien sebagai upaya bagi

si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkna kesulitan

bagi seorang dokter itu sendiri seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk

menolong pasien, dimana jantung pasien berdenyut namaun otaknya tidak berfungsi

dengan baik. pan seseorang dapat diperpanjang dalam jangka waktu tertentu

menguunakan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan baik. 5,6

2

Page 3: Refarat Euthanasia

Selain kasus di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati

pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau hidup

sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit yang terus

menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau

euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh

pulang kembali bersama keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah

menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata

untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan

yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran.2,5,6

BAB II

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan

seseorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter

dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika

sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan. Berdasarkan pada cara terjadinya,

ilmu pengetahuan membedakan kematian dalam tiga jenis :5

a. Orthonasia, yaiutu kematian yang terjadi karena prosese alamiah

b. Dysthanasia, yaitu kemtian yang terjadi secara tidak wajar

c. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter.

Pengertian euthanasia adalah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan

sengaja tanpa mengurangi rasa sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini

dilakukan oleh kalangan medis. 5

Konsep euthansia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian

yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh

penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam kamus kedokteran Dorland

euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau

tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan

seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sangat

menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. 5

3

Page 4: Refarat Euthanasia

Dewasa ini orang menilai euthansia terarah pada campur tangan ilmu

kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang

berada di sakaratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan”

ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti

yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh

karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap

anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan

itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu

diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. 3

Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi: assisted suicide

atau “bunuh diri yang dibantu dokter”. Maksudnya adalah dokter membantu

pasien terminal untuk membunuh dirinya jika ia memilih mengakhiri

penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan menulis resep untuk obat

yang mematikan dalam dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah

bahwa pasien terminal membunuh dirinya sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh

dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis, bunuh diri dengan bantuan

seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani profesi medis daripada

euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak perbedaan.5

II. Jenis-jenis Euthanasia

1. Berdasarkan cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan dalam :1,3,7

a. Euthanasia Aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui

intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri manusia.

Euthanasia aktif dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan tidak langsung.

Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah

yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup

pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. Euthanasia aktif

tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan

medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko

tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

4

Page 5: Refarat Euthanasia

b. Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil

tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan

lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat

memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau

tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi

tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai

dan sedang berlangsung.

c. auto-euthanasia, artinya pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk

menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan

memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia

membuat sebuah codicil (pertanyaan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada

dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

2. Berdasarkan permintaan, euthanasia dibedakan atas :1,3,7

a. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela

Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien

sendiri dan dilakukan secara sadar.

b. Euthanasia involuntir

Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan tanpa permintaan atau

persetujuan dari pasien, melainkan dilakukan atas permintaan keluarga pasien.

3. Dari segi otonom penderita jenis euthanasia dapat dilihat dalam tiga

jenis:1,3,7

a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan

tidak dapatmenyatakan kehendak (incompetent).

b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili

oleh orang lain (transmitted judgement).

c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain

(substituted judgement).

4. Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua :1,3,7

5

Page 6: Refarat Euthanasia

a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta

agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena

sebab lain.

b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang

pasiendihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya

keluarganyadengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga,

prakarsa itudatang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

III. Obat-obat Yang Biasa Digunakan Untuk Euthanasia 8

Obat euthanasia menyebabkan kematian dengan tiga mekanisme dasar:

a. Hipoksia langsung atau tidak langsung.

b. Depresi langsung pada saraf-saraf yang penting untuk fungsi kehidupan.

c. Mengganggu aktivitas otak dan merusak saraf-saraf yang penting untuk

kehidupan.

Obat-obat yang menginduksi kematian dengan hipoksia secara langsung ataupun

tidak langsung, dapat bekerja pada berbagai tempat dan menyebabkan hilangnya

kesadaran. Untuk kematian tanpa rasa sakit, hilangnya kesadaran harus mendahului

hilangnya aktivitas motorik (pergerakan otot). Namun, hilangnya aktivitas motorik tidak

dapat disamakan dengan hilangnya kesadaran dan tidak ada penderitaan. Obat yang

menginduksi paralisis otot tanpa hilangnya kesadaran tidak diterima sebagai satu-

satunya obat euthanasia, misalnya relaksan otot depolarisasi dan nondepolarisasi,

striknin, nikotin, dan garam magnesium.

Obat-obat anestesi yang menekan sel saraf otak, menyebabkan hilangnya

kesadaran kemudian dapat berlanjut ke kematian. Beberapa obat-obat ini melepaskan

inhibisi ke aktivitas motorik selama stadium awal anestesi, menyebabkan yang disebut

fase delirium atau eksitasi, dimana mungkin terdapat vokalisasi dan beberapa kontraksi

otot. Kematian mengikuti hilangnya kesadaran diakibatkan oleh henti jantung dan/atau

hipoksemia akibat depresi pusat pernapasan.

Kerusakan fisik pada aktivitas otak disebabkan oleh gegar otak sedangkan

kerusakan langsung pada otak atau depolarisasi elektrik pada saraf menyebabkan

hilangnya kesadaran dengan cepat. Kematian terjadi karena kerusakan pusat otak bagian

6

Page 7: Refarat Euthanasia

tengah yang mengontrol aktivitas jantung dan pernapasan. Aktivitas otot yang

berlebihan dapat mengikuti hilangnya kesadaran namun tidak terasa menyakitkan.

1. Obat Inhalasi

Obat yang diinhalasi harus mencapai konsentrasi tertentu pada alveolus untuk

menimbulkan efek, sehingga euthanasia dengan obat inhalasi membutuhkan beberapa

waktu. Euthanasia dengan inhalasi membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk

mempercepat hilangnya kesadaran. Kecocokan beberapa obat bergantung pada ada

tidaknya kesulitan saat awal inhalasi dengan saat hilangnya kesadaran. Beberapa obat

dapat menyebabkan konvulsi, tetapi umumnya diikuti oleh hilangnya kesadaran. Obat

yang lebih menyebabkan konvulsi tidak dipergunakan untuk euthanasia. Yang patut

diperhatikan adalah peningkatan konsentrasi obat alveolar melambat pada pernapasan

yang menurun, sehingga diperlukan metode euthanasia yang lain (misalnya dengan

injeksi).

Obat-obat inhalasi yang digunakan untuk anastesi (misalnya eter, halotan,

metoksifluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan enfluran) telah banyak digunakan

untuk euthanasia. Halotan menginduksi anestesi dengan cepat dan merupakan anestesi

inhalasi paling efektif untuk euthanasia. Enfluran lebih kurang larut dalam darah

dibandingkan halotan, tetapi karena tekanan uap dan potensinya yang lebih rendah, laju

induksi dapat sama dengan halotan. Dalam kondisi anestesi yang dalam, enfluran dapat

menyebabkan kejang. Isofluran lebih kurang larut dibanding halotan dan dapat

menginduksi anestesi lebih cepat. Namun, memiliki aroma yang tajam dan

menyebabkan napas agak tertahan, sehingga memperlambat onset hilangnya kesadaran.

Isofluran juga mungkin membutuhkan obat yang lebih untuk membunuh seseorang,

dibandingkan dengan halotan. Halotan lebih disukai untuk euthanasia dibandingkan

dengan isofluran. Sevofluran kurang larut dibandingkan dengan halotan dan tidak

memiliki bau yang tidak menyenangkan. Potensinya lebih kurang dibandingkan

isofluran dan halotan dan memiliki tekanan uap yang lebih rendah. Konsentrasi anestesi

dapat dicapai dan dipertahankan dengan cepat. Desfluran saat ini merupakan anestesi

inhalasi dengan kelarutan paling rendah tetapi uapnya berbau sangat tajam yang dapat

memperlambat induksi. Obat ini sangat bersifat volatil sehingga dapat menggantikan

oksigen dan menginduksi hipoksemia selama induksi jika oksigen tambahan tidak

7

Page 8: Refarat Euthanasia

tersedia. Metoksifluran bersifat sangat larut dan memperlambat induksi anestesi dengan

penggunaannya yang dapat disertai dengan agitasi. Eter memiliki kelarutan yang tinggi

dalam darah dan menginduksi anestesi dengan lambat. Eter mengiritasi mata dan

hidung, menyebabkan risiko yang tinggi sehubungan dengan sifatnya yang mudah

terbakar dan meledak.

Anestesi inhalasi dapat diberikan dengan kasa yang dibasahkan denga jumlah

anestesi yang sesuai, atau dapat dengan menggunakan vaporizer. Penggunaan vaporizer

dihubungkan dengan waktu induksi yang lebih lambat, dimana uapnya di inhalasi

hingga pernapasan berhenti dan kematian tiba. Karena hampir semua anestesi inhalasi

yang berada pada fase cair menyebabkan iritasi, maka penggunaan vaporizer lebih

disukai. Oksigen yang cukup harus tersedia selama periode induksi untuk mencegah

hipoksemia. Nitrous oksida (N2O) dapat digunakan dengan obat inhalasi lain untuk

mempercepat onset anestesi. Jika hanya menggunakan N2O, bahkan pada konsentrasi

100%, tidak dapat menginduksi anestesi, dan dapat menyebabkan henti jantung dan

henti napas, sehingga menyebabkan penderitaan sebelum hilangnya kesadaran.

Contoh lain dapat digunakan untuk euthanasia adalah penggunaan zat karbon

dioksiada secara inhalasi. Udara dalam ruangan mengandung 0.04% karbon dioksida

(CO2). Inhalasi CO2 pada konsentrasi 7.5% meningkatkan ambang batas rangsang nyeri,

dan pada konsentrasi yang lebih tinggi, CO2 memiliki efek anestesi yang cepat. Leake

and Waters melaporkan bahwa pada konsentrasi 30% hingga 40% CO2 dalam O2,

anestesi terinduksi dalam 1 hingga 2 menit, biasanya tanpa kesusahan, dan muntah.

Tanda anestesi CO2 yang efektif dihubungkan dengan anestesi yang dalam pada

pembedahan. Waktu untuk hilangnya kesadaran semakin cepat pada konsentrasi CO2

yang lebih tinggi. Waktu untuk hilangnya kesadaran akan lebih lama jika konsentrasi

gas dinaikkan secara perlahan dibandingkan langsung memberikan konsentrasi penuh.

Beberapa ilmuan telah melaporkan bahwa inhalasi CO2 berkonsentrasi tinggi dapat

menyebabkan rasa sakit, karena gas terbagi pada mukosa hidung. Produk yang

dihasilkan, asam karbonat, dapat merangsang nosireseptor pada mukosa nasal.

2. Obat Non inhalasi

8

Page 9: Refarat Euthanasia

Penggunaan obat injeksi untuk euthanasia merupakan metode yang paling cepat

dan dapat diandalkan untuk euthanasia. Metode ini dapat dilakukan tanpa menimbulkan

rasa takut atau rasa tertekan.

a. Asam Barbiturat

Barbiturat menekan sistem saraf pusat dengan pola yang menurun, mulai

dari korteks serebral, dengan hilangnya kesadaran berlanjut ke anestesi. Dengan

dosis yang berlebih, anestesi yang dalam berlanjut ke apneu menunjukkan

penekanan pusat pernapasan, yang diikuti oleh henti jantung. Semua turunan asam

barbiturat yang digunakan unuk anestesi diberikan secara intravena. Onset kerja

yang cepat dan hilangnya kesadaran yang diinduksi oleh barbiturat menghasilan

nyeri minimal atau transies yang dihubungkan dengan venipuncture. Barbiturat yang

dibutuhkan adalah mereka yang poten, dgn waktu kerja yang lama, stabil dalam

larutan, dan murah. Natrium pentobarbital sangat sesuai dengan kriteria ini dan

paling banyak digunakan secara luas, meskipun yang lainnya seperti sekobarbital

juga dapat digunakan. Keuntungan barbiturat yang terutama adalah onset kerja yang

cepat, menginduksi euthanasia dengan lembut, dan tidak mahal dibandingkan obat

euthanasia yang lain.

b. Kombinasi Pentobarbital

Beberapa produk euthanasia diformulasi untuk mencakup turunan asam

barbiturat (biasanya natrium pentobarbital), dengan penambahan agen anestesi lokal.

Kombinasi ini tercantum oleh DEA sebagai obat golongan III, membuat mereka

lebih mudah untuk didapatkan, dibeli, dan digunakan dibanding obat golongan II

misalnya natrium pentobarbital. Sifat farmakologi dan penggunaan produk

kombinasi yang direkomendasikan, yang mengkombinasikan natrium pentobarbital

dengan lidokain atau fenitoin dapat digantikan dengan turunan asam barbiturat

murni.

c. Kloral hidrat

Kloral hidrat menekan serebrum dengan lambat. Kematian disebabkan oleh

hipoksemia yang disebabkan dari penekanan progresif pada pusat pernapasan dan

dapat didahului oleh megap-megap, spasme otot, dan vokalisassi

9

Page 10: Refarat Euthanasia

IV. PANDANGAN MENGENAI EUTHANASIA

1. Beberapa aspek euthanasia 5,9,13

Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku

utama euthansia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan

berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum,

dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat

latar belakang yang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan

tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi

penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum

diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi

seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan

menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat

oleh pasal-pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP pidana. Beberapa

pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359.

hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal

1313, 1314,1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di

Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan

terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

Aspek hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya.

Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati justru

dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum

euthansai, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya

dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung

seharusnya tersersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri

dari segala ketidanyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Aspek ilmu pengetahuan

pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya

tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.

Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan

10

Page 11: Refarat Euthanasia

kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh

mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang

dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan sebagai suatu kebohongan,

karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan

terseret dalam pengurasan dana.

Aspek agama

kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di

dunia ini yang memiliki hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya

sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun

alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak

Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun

dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat, dapat

dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan

hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak

ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan

pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur,

sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.

Mengapa orang harus ke dokter dan dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau

memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau memang belum waktunya, tidak akan

mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnyamaka dapat pula diartikan

sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis

pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini

manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu

melihat pada hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung

pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan

hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai cara untuk menopangnya.

11

Page 12: Refarat Euthanasia

Cara-cara Euthanasia Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara,

yakni:

a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang

dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. 

b. Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk

hidupkecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang

dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.

c. Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan

pasien,misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.

d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif

yangdianggap paling mendekati moral.

IV. Euthanasia Menurut Hukum Berbagai Negara

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda dan Belgia serta

ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika dan Swiss dan ada yang menyatakan

sebagai kejahatan seperti Indonesia.

a. Indonesia

Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu

bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu

sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344

KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang

jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa

pembunuhan atas permintaan korban sekalipun, tetap diancam pidana bagi pelakunya.

Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap

sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di

Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas

permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak

pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar

larangan tersebut. Di dalam himpunan peraturan tentang Majelis Kehormatan Disiplin

12

Page 13: Refarat Euthanasia

Kedokteran Indonesia (Konsil Kedokteran Indonesia) Bab III tentang bentuk

pelanggaran disiplin kedokteran, nomor 12 yang dibuat berdasarkan fatwa IDI nomor

231/PB/4/7/1990 dan World Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid,

1987) yang menyatakan bahwa :

“Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan

sendiri dan atau keluarganya”

Bertolak dari peraturan konsil kedokteran Indonesia tersebut, setiap dokter tidak

dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia,

karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan

atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana. Pada

kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien

merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka

dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan

pengobatan, akan tetapi dengan tetap memberikan perawatan yang layak (ordinary

care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan

sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.

Permasalahan euthanasia di Indonesia mencuat setelah Hasan Kesuma

menyampaikan permohonannya di hadapan pimpinan sementara DPRD Bogor untuk

diizinkan melakukan euthanasia atas istrinya Agian Isna Nauli, Istri Hasan, telah 56 hari

tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi Caesar yang dipimpin oleh

dokter Gunawan Muhammad,SpOg di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor. Setelah operasi

Caesar Ny. Agian dirawat di Rumah Bersalin Yuliana dan memeriksakan

perkembangannya kepada dokter Gunawan. Pada 21 Juli sekitar pukul 08.00 Ny. Agian

mendadak gelisah dan tekanan darahnya naik, lalu dibawa ke RSI Ny. Agian langsung

ditangani dokter Gunawan, tetapi Ny. Again mendadak tak sadarkan diri. Karena

keterbatasan peralatan, Ny. Agian dirujuk ke RS PMI Bogor. Sekitar pukul 18.30 Ny.

Agian dirawat di RS PMI. Setelah lebih dua minggu dirawat di RS PMI, Ny. Agian

yang tak sadarkan diri itu atas anjuran dokter spesialis syaraf di RS PMI, dokter

Yoeswar, lalu dilakukan CT Scan di RS Pusat Pertamina Jakarta untuk mendapatkan

hasil akhir kondisi kerusakan syaraf otak yang lebih akurat. Sehari kemudian diperoleh

hasil CT Scan yang menyatakan ada kerusakan permanen di pusat syaraf otak yang

mengakibatkan Ny. Agian tidak dapat kembali normal seperti semula karena organ-

13

Page 14: Refarat Euthanasia

organ tubuhnya sudah mengalami putus hubungan (disconnecting) syaraf otak. Sejak

saat itu Ny. Agian terbaring tidak sadarkan diri di RS PMI kemudian LBH Kesehatan

turun tangan karena adanya dugaan malapraktik. Selanjutnya pada 27 Agustus, oleh

Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, Ny. Agian dipindahkan ke RSCM Jakarta.

Secara Universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration of

Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-dunia di Genewa bulan

September 1948 didalam deklarasi antara dinyatakan sebagai berikut :

Khusus untuk Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam

kode etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1968.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : pernyataan berlakunya

kode etik kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode etik kedokteran

Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 agustus

1969 No. 55/WSKN/1969. Dalam bab II pasal 9 dari kode etik kedokteran Indonesia

tersebut, dinyatakan bahwa :

“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani”.

Atau dalam kode etik kedokteran Indonesia,tertanggal 19 April 2002, pasal 7d

yang berbunyi :

“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk

insani.”

Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hiudpnya dan ini juga

termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut kode etik kedokteran, dokter

tidak diperbolehkan :

1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman

tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Dengan demikian berarti dinegara manapun didunia ini seorang dokter

mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap insan mulai saat terjadinya

pembuahan”, sesuai yang diatur didalam lafal sumpah dokter. Dalam hal ini berarti pula

bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus

melindungi dan mempertahankan pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan

lagi atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan bulan lamanya. Oleh sebab itu, para

14

Page 15: Refarat Euthanasia

dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Kedokteran Indonesia, menganut

paham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak

dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia tidak menganut

prinsip euthanasia, sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan

yang Maha Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para

dokter.2,5,6,9,10

b. Belanda

Pada April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan

eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002,

yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik

eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi

hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab

Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih

dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery

Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report

Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap

dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di

pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur

tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang

spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir

tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor

semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan

menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20

tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang

melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.4,11,12

c. Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia

dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini

tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut

"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru

ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat

Australia, sehingga harus ditarik kembali.13,14

15

Page 16: Refarat Euthanasia

d. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.

Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap

tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini,

namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga

timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".Belgia kini

menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian

Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan

salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang

pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang

memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat

akhir hidupnya.11

e. Amerika Serikat

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini

satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan

pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya

adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan

dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas

(Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh

diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana

pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika

mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus

diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu

15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu

saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien

dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum

juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya

tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi

kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.1,7

f. Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya

16

Page 17: Refarat Euthanasia

(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah

proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar

dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat

(disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi

euthanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara

saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek

kedokteran. Namun hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan

melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical

Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.17

g. Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia

demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah

mengatur mengenai eutanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di

Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia

pasif". Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada

tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ". Keputusan hakim dalam

kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan

pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal.

Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah

tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap

bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan

pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut

belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun

demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan

eutanasia.15

h. India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai

larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal

300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun

1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya

dinyatakan bersalah atas kelalaian mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan

17

Page 18: Refarat Euthanasia

yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah

diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang

menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia

tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan

orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman

berdasarkan pasal 92 IPC.1

i. Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di

Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal

dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa

mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita

sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan

berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter

tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan

relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif. Pada akhirnya

pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan

medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia pasif, dapat diperkenankan

apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.16

KESIMPULAN

hal yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien

maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi

18

Page 19: Refarat Euthanasia

penderita sakit terminal, bukan lagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis

dan emosional , sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si

pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian siap menerima

kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa.

Bagfaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang

seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.

Jelas bahwa hukum (pidana) memberikan ruang bagi positif di Indonesia belum

memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk

disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya tindakan medis euthanasia

hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat mengalami pergeseran nilai kultural.

Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentangpendapat ini dengan menggunakan

argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum.

(euthanasia perspektif medis dan hukum pidana indonesia)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bansal,R.K.et all. Death Wish. In: Medicolegal Notes. JK Science. 2005. p.169-171.

2. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran

Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia.

Jakarta. 2002.

3. Darji,JA,Dr.et all. Euthanasia : Most controversial and debatable topic. NJIRM.

2011.p.94-97.

4. Naudts,K. dkk. Euthanasia : The Role Of The Psychiatris. In: The British Journal of

Psychiatris. Royal Colage of Psychiatris. 2006. p.405-409.

19

Page 20: Refarat Euthanasia

5. Rohim,Abdal. Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana

Indonesia.

6. Almatsier,Merdias.dkk. Himpunan Peraturan Tentang Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran

Indonesia. Jakarta. 2006.

7. Sanbar,S,S,MD,Ph.D,JD,FCLM. Clasification of euthanasia. p.1-2.

8. Modes of action euthanatizing agenst. In: AVMA Guiddelines on Euthanasia.

AVMA. 2007. p.5-11.

9. Euthanasia Ditinjau Dari UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan

Ditinjau Dari Segi Medis. Universitas Sumatra Utara.

10. Lafal Sumpah Dokter. Peraturan Pemerintah 26/1960. Jakarta. 1960.

11. Cohen,R,A. Belgian euthanasia law: a critical analysis. Medical Ethics. 2009.

p.436-439.

12. Jochemsen,H. Euthanasia in Hollad: an ethical critique of the new law. Medical

Ethics. 1994. p.212-217.

13. Dickens,Elizabeth.et all. Psychologikal perspectives on euthanasia and the

terminally ill. The Australian Psychologikal Society. 2008. p.2,12-13.

14. Voluntary Euthanasia and New Zealand. Parlementary Library. 2003.p.15.

15. Hayashi,M. Kitamura,T. Euthanasia Trials in Japan: Implication For Legal and

Medical Practice. In: International Journal of Law and Psyciatri. Pergamon.

2002.p.557-569.

16. Shin,Dong Cun. Perspectives on death: Korea’s first court decision supporting death

with dignity,its meaning ang future prospect. In: International Journal

Commmunity. JMAJ. 2009.p.132-133.

17. Smith, Alexander McCall. Euthanasia: the law in the United Kingdom. British

Medical Bulletin. 1996.p.334-339.

20