27
KERATOMIKOSIS I. PENDAHULUAN Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat. Seorang ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih dan memiliki daya bias sebesar 43D. 1 Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen (virus, amuba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan peradangan pada kornea (keratitis). (1) Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas. Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi. Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala,

refarat keratomikosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

keratomikosis

Citation preview

Page 1: refarat keratomikosis

KERATOMIKOSIS

I. PENDAHULUAN

Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat. Seorang

ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih dan memiliki daya

bias sebesar 43D. 1

Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen

(virus, amuba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek

epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan

peradangan pada kornea (keratitis).(1)

Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata

sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.

Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa

bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat

akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas.

Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara

oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal

keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan

masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban

tinggi. Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala,

karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia

serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis.(1)

Page 2: refarat keratomikosis

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA

1. Anatomi

Gambar 1 : Anatomi kornea (1)

Permukaan kornea dibentuk oleh epitel skuamosanon keratin yang dapat

meregenerasi dengan cepat bila terjadi kerusakan.Dalam hitungan jam,kerusakan

epitel ditutup dengan migrasi sel dan pembelahan sel yang cepat. Namun, ini terjadi

bila stem sel limbus di limbus korneatidak rusak. Regenerasi kornea tidak

akanberlangsung jika sel-sel ini rusak. Sebuah epitel utuh berfungsi untuk melindungi

bagian dalamnya terhadap infeksi, kerusakan pada epitelakan memudahkan patogen

untukmasuk ke mata.(1)

Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri atas: (1)

1. Epitel

Tebalnya 50µm, terdiri atas lima atau enam lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng. Lapisan

tersebut dibagi menjadi lapisan sel basal: sel kuboid dimana pembelahan sel terjadi.

Wing sel: lapisan kedua adalah berbentuk sayap agar sesuai dengan permukaan

anterior sel basal yang bulat. Sel superfisial: tiga lapisan sel berikutnya

menjadisemakin menyatu karena aktivitas mitosis dalam lapisan sel basal.Sel-sel

paling superfisial melepaskan diri dari permukaan sebagai proses normal.

2. Membrana Bowman

Page 3: refarat keratomikosis

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

Stroma adalah jaringan yang sangat braditrofik. Sebagai jaringan avascular. Namun,

avascular yang membuatnya menjadi situs istimewa untuk dilakukan pencangkokan.

Kornea transplantasi dapat dilakukan tanpa mengambil jaringan sebelumnya.

Peningkatan risiko penolakan hanya perlu dikhawatirkan jika kornea resipien memiliki

vaskularisasi yang mungkin terjadi setelah cedera kimia atau peradangan. Pada beberapa

kasus pencangkokan memerlukan terapi imunosupresifdengan cyclosporin.(1)

4. Membrana Descemet adalah membrane pada posterior kornea yang berdekatan dengan

bilik mata depan. Membran descement merupakan membran yang relatif kuat yang akan

mempengaruhi bentuk ruang anterior bahkan bila stroma kornea telah benar-benar rusak.

Karena merupakan membran basal, jaringan yang hilang akan diregenerasi oleh sel

endotel fungsional.(1)

5. Endotel

Endotelium kornea bertanggung jawab atas transparansi kornea. Endotelium

kornea tidak mengalami regenerasi, kerusakan endothelium akan ditutup oleh

pembesaran sel dan migrasi sel.(1)

2. Fisiologi Kornea

Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah “jendela” yang dilalui

cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang

avaskuler, memiliki struktur yang bersifat deturgescence. Deturgescence, atau keadaan

dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa aktif bikarbonat dari endothelium

dan fungsi penghalang dari epitel dan endotel. Endotelium lebih penting daripada epitel

dalam mekanisme dehidrasi dan kimia atau kerusakan fisik pada endotelium ini jauh lebih

serius daripada kerusakan epitel. Penghancuran sel-sel endotel menyebabkan edema kornea

dan hilangnya transparansi. Di sisi lain, kerusakan epitel hanya bersifat sementara, edema

lokal dari stroma kornea yang membersihkan ketika sel-sel epitel beregenerasi. Penguapan air

dari film air mata precorneal menghasilkan hipertonisitas film, bahwa proses dan penguapan

langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk

mempertahankan keadaan dehidrasi (3)

Page 4: refarat keratomikosis

Penetrasi kornea utuh oleh obat adalah bifasik.zat yang larut dalam lemak dapat melewati

epitel utuh danzat larut dalam air dapat melewati stroma utuh. Untuk melewati kornea, obat

harus memiliki kemampuan larut dalam lemak dan larut dalam air.(4)

Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan yang

braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat.

Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, difusi dari kapiler –

kapiler disekitarnya, difusi dari humor aquous, dan difusi dari film air mata.(1)

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan

membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan

melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga

melindungi mata dari infeksi.(1)

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil

yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.Setiap kerusakan pada kornea

(erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf

sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan

bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme),

refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya

cedera kornea. (1)

III. ETIOLOGI

Keratitis jamur kurang umum daripada keratitis bakteri, tapi relatif lebih

sering pada daerah tropis dan pada pasien dengan gangguan kornea kronis dan

imunosupresi. 4

Faktor predisposisi terjadinya keratitis adalah trauma, keratopati ulserasi,

penyakit mata herpetic, defisiensi film air mata yang parah, dan pemakaian lensa

kontak. Patogen umum adalah bakteri (Staphylococcus aureus, Staphylococcus

epidermis, Streptococcus Pneumoniae, Streptococcus Pyogenes, Viridans

streptococci, Pseudomonas Aeruginosa, Haemophilus Influenza, Proteus Mirabilis,

Serratia Marescens), jamur (Fusarium solani, spesies Aspergillus, spesies

Acremonium, spesies Alternaria, spesies Penicilium, Candida albicans), dan

protozoa(Acanthamoeba). 5

Organisme yang paling umum berbeda dalam wilayah geografis yang berbeda

dari Amerika Serikat: Candida albicans di utara dan timur laut dan Fusarium di

Page 5: refarat keratomikosis

selatan. Aspergillus adalah lazim di kedua daerah. Tidak seperti keratitis bakteri,

jamur keratitis cenderung menjadi proses yang lebih lamban. Juga tidak seperti

keratitis bakteri, kerokan kornea dangkal mungkin positif pada sampai dengan 85%

dari kasus. Organisme jamur cenderung untuk menembus jauh ke dalam substansi

jaringan daripada menyebar sepanjang permukaan atau di sepanjang pesawat antara

lamellae kornea. Organisme jamur mudah dapat menembus membran suatu descemet

utuh ke dalam ruang anterior, menyebabkan hypopyon awal dalam perjalanan

penyakit, bahkan sebelum jaringan episcleral menjadi klinis meradang. Secara

karakteristik, steroid topikal digunakan sebelum organisme menjadi didirikan di

jaringan kornea.(6)

IV. PATOFISIOLOGI

Keratomikosis dapat terjadi setelah trauma ocular karena paparan bahan

tanaman ke dalam mata.,biasanya Aspergillus fusarium dan spesies Cephalosporium.

Pada pasien lemah atau pasien imunosupresi, infeksi jamur cenderung lebih

disebabkan oleh Candida dan ragi lainnya.(7)

Untuk terjadinya infeksi, organism harus menembus epitel, stroma, melakukan

replikasi, dan menghasilkan racun yang merusak struktur kornea dan memulai respon

dari host. Respon host dapat berupa respon spesifik dan non-spesifik. Respon yang

paling jelas adalah pengangkutan leukosit ke dalam daerah yang terinfeksi.

Akumulasi ini dapat dilihatdalam bentuk klinis dan dapat ditemukan pus atau

pembentukan abses. Organisme dan respon host berkontribusi terhadap kerusakan

kornea, termasuk ulserasi5

V. GEJALA KLINIS

Gejala klinis pada pasien dengan ulkus kornea sangat bervariasi, tergantung

dari penyebab dari ulkus itu sendiri. Gejala dari ulkus kornea yaitu nyeri yang ekstrim

oleh karena paparan terhadap nervus, oleh karena kornea memiliki banyak serabut

nyeri, kebanyakan lesi kornea menimbulkan rasa sakit dan fotopobia. Rasa sakit ini

Page 6: refarat keratomikosis

diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan

menetap sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan

membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan

terutama jika letaknya di pusat. Fotopobia pada penyakit kornea adalah akibat

kontraksi iris beradang yang sakit. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena

refleks yang disebabkan iritasi pada ujung saraf kornea. Fotopobia yang berat pada

kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi

pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun

berairmata dan fotopobia umunnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada

tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.

Tanda penting ulkus kornea yaitu penipisan kornea dengan defek pada epitel

yang nampak pada pewarnaan fluoresen. Biasanya juga terdapat tanda-tanda uveitis

anterior seperti miosis, aqueusflare (protein pada humor aqueus) dan kemerahan pada

mata. Refleks axon berperan terhadap pembentukan uveitis, stimulasi reseptor nyeri

pada kornea menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin,

histamine dan asetilkolin. Pemeriksaan terhadap bola mata biasanya eritema, dan

tanda-tanda inflamasi pada kelopak mata dan konjungtiva, injeksi siliaris biasanya

juga ada. Eksudat purulen dapat terlihat pada sakus konjungtiva dan pada permukaan

ulkus, dan infiltrasi stroma dapat menunjukkan opasitas kornea berwarna krem. Ulkus

biasanya berbentuk bulat atau oval, dengan batas yang tegas. Pemeriksaan dengan slit

lamp dapat ditemukan tanda-tanda iritis dan hipopion.

Gejala ulkus kornea jamur pada fase awal biasanya lebih ringan dibandingkan

dengan ulkus kornea bakteri dan bisa memberikan tanda injeksio konjungtiva yang

minimal atau tidak ada sama sekali. Lesi superfisial kelihatan berwarna putih keabu-

abuan, menonjol pada permukaan kornea, mempunyai tekstur yang kering, kasar atau

tidak rata yang bisa dilihat pada saat kerokan diagnostik. Bisa juga ditemukan infiltrat

multifokal atau satelit, namun jarang dilaporkan. Sebagai tambahan, bisa terjadi

infiltrat stroma dalam epitelium yang intak. Plak endotel/dengan hipopion juga bisa

didapatkan jika infiltrat jamur cukup besar atau dalam.

Keratitis fungal memperlihatkan tidak ada kecenderungan untuk umur, jenis

kelamin atau ras. Kadang pasien memiliki riwayat trauma kornea, biasanya dari

bahan organik. Termasuk dalam resiko tinggi adalah trauma (benda asing, lensa

Page 7: refarat keratomikosis

kontak), penggunaan imunosupresan sistemik atau pada mata, juga pada penyakit atau

terapi dengan immunosupresan (transplantasi organ) atau penggunaan terapi topikal

steroid, dan penggunaan antibiotik dalam jangka lama. Infeksi jamur juga sangat

sering ditemukan pada

daerah pertanian dan lingkungan tropis.

Pasien dengan keratitis fungal cenderung memiliki tanda dan gejala inflamasi

sepanjang permulaan periode dibanding dengan keratitis bakterial dan bisa terdapat

sedikit atau tidak injeksio konjungtiva sepanjang awal presentasi. Keratitis fungal

filemantous sering bermanifestasi sebagai warna putih keabu-abuan, penampakan

infiltrat kering sebagai bulu yang ireguler atau tepi filamentous. Lesi-lesi superfisial

tampak putih keabu-abuan diatas permukaan kornea, kering, kasar, dan tekstur yang

berpasir dapat dideteksi dengan mengosok kornea. Kadang-kadang, multifokal atau

infiltrat satelit dapat ditemukan, walaupun jarang dilaporkan.

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,

dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang dikeluhkan oleh

pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan kabur, silau jika melihat

cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat

trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit

vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

2. Pemeriksaan fisis

a. Visus

Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh

karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang

masuk ke dalam media refrakta.

b. Slit lamp

Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan

pada kornea. Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva

ataupun perikornea. Tanda yang umum pada pemeriksaan slitlamp yang tidak

spesifik, termasuk didalamnya:

Page 8: refarat keratomikosis

Injeksio konjungtiva Kerusakan epitel kornea

Supurasi

Infiltrasi stroma

Reaksi pada bilik depan

Hipopion

3. Pemeriksaan penunjang

a. Tes fluoresein.

Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan kornea.Untuk

melihat adanya daerah yang defek pada kornea. (warna hijau menunjukkan

daerah yang defek pada kornea, sedangkan warna biru menunjukkan daerah

yang intak).

b. Pewarnaan gram,KOH dan kultur.

Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur. Kadangkala

dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif pada beberapa kasus.

Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum

menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan

pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari

dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH,

Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-

masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan

biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau

Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini

dikembangkan Nomarski differential interference contrastmicroscope untuk

melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang

dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar

Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

c. Gambaran Histopatologi.

Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan kornea ditemukan

adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur berjalan parallel pada permukaan

kornea. Adanya komponen jamur yang mencapai stroma menunjukkan tingkat

virulensi kuman sangat tinggi dan biasanya berhubungan dengan infeksi yang

progresif.

Page 9: refarat keratomikosis

VII. PENATALAKSANAAN

Secara konservatif, rawat inap dianjurkan saat terapi dimulai kerana

keratomikosis memerlukan terapi yang lama dan teliti. Sebelum pemberian sebarang

terapi antimikotik, hendaklah dilakukan kerokan kornea terlebih dahulu

menggunakan silet surgical untuk mengurangi koloni jamur di kornea dan untuk

membantu penetrasi agen anti jamur.

Yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis

yang dihadapi; bisa dibagi:(14,15)

a. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.

b. Jamur berfilamen.

c. Ragi(yeast).

d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Untuk golongan I: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih),

Imidazole (obat terpilih).

Untuk golongan II: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih),

Imidazole (obat terpilih).

Untuk golongan III: Amphotericin B, Natamycin, Imidazole.

Untuk golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis antibitotik.

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.

Diberikan juga obat siklopegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk

mengurangi uveitis anterior.

Agen anti jamur dibagi kepada beberapa kelompok: (14,15)

1. Polyene termasuk Natamycin, Nystatin dan Amphotericin B.

Berdaya anti fungi dengan mengikat pada dinding sel fungi dan mengganggu

permeabilitas membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler.

Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen

pada membran dibanding perubahan reversibel oleh molekul besar seperti

Nystatin. Amphotericin B tidak larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen,

cahaya, air, dan panas. Golongan ini mempunyai daya antifungi spectrum luas

tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Golongan ini efektif

terhadap infeksi jamur tipe filamentosa dan yis.(3,4

Page 10: refarat keratomikosis

a. Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk keratomikosis akibat yis dan

Candida. Dapat juga bermanfaat pada infeksi akibat filamentosa. Dosis

pemberian setiap 30 menit untuk 24 jam pertama, 1 jam untuk 24 jam kedua,

dan di tappering off sesuai dengan respon klinis tubuh pasien terhadap obat.

Tersedia secara komersial dan bila diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari

preparat perenteral dengan mengencerkannya dengan akuades. Obat ini juga

dianjurkan untuk keratitis filamentosa kausa jamur tipe Aspergillus sp.

b. Natamycin (paramycin) bersifat spektrum-luas terhadap organisme

filamentosa seperti polyene lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap

Fusarium sp. Pengobatan topical hendaklah diberikan selama 6 minggu.(14,15)

2. Azole (imidazole dan triazole) termasuk ketaconazole, miconazole, fluconazole,

itraconazole, econazole, dan klotrimazole.2 Golongan Imidazol, dan ketokonazole

dilaporkan efektif terhadap Aspergillus, Fusarium, dan Candida.1,3 Tersedia

secara komersial dalam bentuk tablet.1 Ketoconazole oral (200-600 mg/hari)

dapat dipertimbangkan sebagai terapi adjuntiva pada keratomikosis filamentosa

berat, dan fluconazole oral (200-400 mg/hari) untuk keratitis yeast berat.

Itraconazole oral (200 mg/hari) mempunyai kesan spektrum-luas terhadap semua

Aspergillus sp dan Candida tetapi kerja yang bervariasi terhadap Fusarium.

Voriconazole oral dan topical dilaporkan bermanfaat untuk keratomikosis yang

tidak berespon terhadap pengobatan yang telah disebutkan sebelumnya.

a. Azole menghambat sintesa ergosterol pada konsentrasi rendah dan pada

konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding sel.

b. Fluconazole dan ketoconazole oral di absorbsi secara sistemik dan terdapat

dalam kadar yang bagus di bilik mata depan dan kornea, maka pemberiannya

harus dipertimbangkan sebagai penanganan keratomikosis yang lebih lanjut.

Karena kedua obat tersebut dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam jaringan

okuler, ia merupakan pilihan pengobatan bagi keratitis kausa filamentosa dan

yis. Pemberian obat tersebut juga melihat kepada kedalaman penetrasi jamur

ke dalam stroma. Dosis dewasa 200-400 mg/d, dengan dosis maksimum 800

mg/d. Antimikotik sistemik diberikan pada kasus keratitis berat atau

endoftalmitis. Apabila terjadi perburukan atau semakin bertambahnya infeksi

pada kornea walaupun terlah mendapatkan pengobatan anti fungi yang

Page 11: refarat keratomikosis

maksimum maka perlu di lakukan operasi. Operasi dilakukan tergantung dari

keadaan saat itu, luas lesi dan tingkat kerusakan dari kornea. Ada beberapa

jenis operasi, yang antara lain ; (4,16)

Corneal Scrapping.

Dilakukan pada ulkus superficial, dimana pada ulkus tersebut dapat

ditangani dengan menggunakan metode ini, dimana penyembuhannya

cepat dan tidak menimbulkan scar.

Keratectomy.

Teknik ini dilakukan apabila ulkusnya lebih dalam atau deep injury

dimana kerusakan kornea menimbulkan terbentuknya jaringan ikat

sehingga menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana akan menghalangi

cahaya yang menuju ke retina. Operasi dilakukan dengan cara membelah

kornea untuk menggapai area yang mengalami scar kemudian

membersihkan daerah yang opak dan daerah yang mengalami infeksi

dengan menggunakan mikroskop.

Cornea transpalant (penetrating keratoplasty).

Apabila infeksi menyebabkan kornea tidak dapat diperbaiki lagi, dimana

telah terjadi kekeruhan maka tindakan keratoplasty dapat dilakukan,

dimana operasi dilakukan dengan mengangkat bagian sentral dari kornea

yang keruh kemudian menggantinya dengan donated clear cornea. Sebuah

penelitian di China menunjukkan dari 108 kasus dengan severe

keratomycosis,sekitar 86 pasien (79,6%) yang mendapatkan kornea graft

memiliki kornea yang jernih setelah dilakukan follow up dalam 6 – 24

bulan, tidak terdapat rekurensi dari fungal keratitis dan visus pasien

didapatkan antara 40/200 – 20/20 dan dari penelitian tersebut muncul

beberapa komplikasi yang antara lain :

Rekurensi fungal keratitis 8 mata (7,4 %)

Cornea graft rejection pada 32 mata (29, 6%)

Glaukoma sekunder pada 2 mata (1,9%)

Katarak pada 5 mata (4,6%)

Dari penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa keratoplasty

merupakan terapi efektif untuk fungal keratitis yang tidak berespon pada

Page 12: refarat keratomikosis

pengobatan anti jamur dan sebaiknya operasi ini dilakukan di awal

sebelum penyakit menjadi lebih buruk.

Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menghalangi hidupnya bakteri

dengan antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid.

Sampai saat ini pengobatan dengan steroid masih kontroversi. Secara umum

ulkus kornea diobati sebagai berikut:

a. Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai

inkubator

b. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari

c. Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder

d. Debridemen sangat membantu penyembuhan

e. Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat.

Terapi keratitits fungal sangat sulit. Kebanyakan obat antifungi hanya bersifat

fungistatik dan memerlukan sistem imun yang utuh (yang tidak nampak) dan

memperpanjang perjalanan terapi. Tanpa bantuan imunitas yang utuh untuk menekan

organisme, pengobatan fungistatik menjadi kurang efektif. Kelas obat yang

digunakan untuk pengobatan keratitis jamur termasuk antibiotik polyene (nistatin,

amphoterecin B, natamycin); analog pyrimidine (flucytosine); imidazole

(clortrimazole, miconozole, econazole, ketoconazole); triazoles (fluconazole,

itraconazole); dan sulfadiazine. Natamycin hanya dapat diberikan secara topical; obat

lain dapat diberikan dari bermacam jalur yang ada. Steroid kontraindikasi karena akan

terjadi eksaserbasi penyakit.

Natamycin 3% direkomendasikan untuk terapi pada kebanyakan kasus

keratitis fungal filamentaous, terutama yang disebabkan oleh fusarium spp, agen

penyebab yang paling umum pada keratitis fungi eksogen yang terdapat di area

lembab di Amerika Selatan. Mikonazole topikal 1% (10 mg/ml) merupakan obat

terpilih memberantas Paecilomyces lilacinum. Kebanyakan klinisi dan bukti

penelitian menyarankan amphotericin B (0,15%-0,3%) sangat berkhasiat pada

pengobatan keratitis yang disebabkan oleh fungal tipe yeast. Ketokonazole oral (200-

600 mg/hari) bisa digunakan untuk tambahan terapi pada beberapa keratitis fungal

tipe filamentous, dan fluconazole (200-400mg/ hari) untuk beberapa keratitis fungal

tipe yeast.

Page 13: refarat keratomikosis

Atropin 1% atau scopolamine 0,25% dapat digunakan untuk mencegah

perlengketan antara iris dan lensa atau kornea. Pemberian kortikosteroid masih

kontroversi karena merupakan kontra indikasi pada infeksi virus, tapi ini dapat

mencegah terjadinya perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid harus dikurangi

secara bertahap untuk mencegah rebound inflamasi. Obat analgetik diberikan untuk

mengurangi rasa nyeri.(4,6)

Terapi konservatif berupa hospitalisasi direkomendasikan sebagai terapi awal

ketika memulai terapi sebagai terapi jangka panjang tak teratur. Terapi sistemik hanya

diindikasikan pada kasus yang melibatkan intraokular. Pada kasus lain akan berespon

baik dengan terapi topikal antifungi seperti natamycin, nystatin, dan amphotericin B.

Terapi pembedahan. Keratoplasti diindikasikan ketika kerusakannya gagal berespon

atau pada terapi konservatif respon sangat lambat dan pada terapi keadaan menjadi

lebih buruk.

Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa yaitu:

1. Debridement.

2. Flap konjungtiva, partial atau total.

3. Keratoplasti tembus.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria

penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari

lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya

infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik

biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit

menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang

terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan

kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

Page 14: refarat keratomikosis

VIII. DIAGNOSA BANDING

1. Keratitis bacterial

Gambar 4 : keratitis bacterial(3)

Bakteri, merupakan penyebab paling banyak ulkus kornea. Organisme

yang biasanya terlibat yaitu Pseuomonas aeroginosa,Staphylococcus aureus, S.

epidermidis. Streptococcuspneumoniae, Haemophilus influenza dan Moraxella

catarrhalis.Neiseria species, Corynebacterium dhiptheriae, K. aegyptus dan

Listeria merupakan agen berbahaya oleh arena dapat berpenetrasi ke dalam epitel

kornea yang intak. Karakteritik klinik ulkus kornea oleh karena bakteri sulit untuk

menentukan jenis bakteri sebagai penyebabnya, walaupun demikian secret yang

berwarna kehijauan dan bersifat mukopurulen khas untuk infeksi oleh karena P.

aerogenosa. Kebanyakan ulkus kornea terletak di sentral, namun beberapa terjadi

di perifer.

Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea

terutama jenis P.aeroginosa. Batas yang maju menunjukkan ulserasi aktif dan

infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. Biasanya kokus gram

positif, Staphylococcus aureus, S. Epidermidis, Streptococcus pneumonia akan

memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong,

berwarna putih abu – abu pada anak tukak yang supuratif, daerah kornea yang

tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang.

Page 15: refarat keratomikosis

Bila tukak disebabkan oleh P. Aeroginosa makan tukak akan terlihat melebar

secara cepat, bahan purulent berwarna kuning hijau terlihat melekat pada

permukaan tukak.

Infeksi bakteri umumnya kondisi yang mengancam penglihatan. Secara

klinis onset nyerinya sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva, fotofobia

dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial, inflamasi

endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada. Penyebab infeksi

tumbuh lambat, organisme seperti mycobakteria atau bakteri anaerob infiltratnya

tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak

lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi

terjadinya infeksi bacterial.

2. Keratitis viral

Gambar 5 : Keratitis herves simplex(7)

Oleh virus, ulkus lebih sering disebabkan oleh virus Herpes simpleks,

Herpes Zoster, Adenovitus. Herpes virus menyebabkanulkus dendritik yang

bersifat rekuren pada tiap individu, akibatreaktivasi virus laten di gangglion

Gasserian, serta unilateral.Pada virus Herpes simpleks, biasanya gejala dini

dimulai deganinjeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel

dipermukaan epitel kornea, kemudian keadaan ini disusul denganbentuk dendritik

serta terjadi penurunan sensitivitas darikornea. Biasanya juga disertai dengan

pembesaran kelejarpreaurikuler.(5,9)

Page 16: refarat keratomikosis

Pada keratitis yang disebabkan oleh virusmemberikan gambaran seperti

infiltrat halus berbintik-bintikpada daerah depan kornea, biasanya bilateral dan

berjalan kronistanpa terlihat gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut.

IX. KOMPLIKASI

Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea

walaupun jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan

normal sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya ulkus

kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan kehilangan penglihatan

parsial maupun kompleks. Terjadinya neovaskularisasi dan astigmatisme ireguler,

penipisan kornea, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma, dan katarak juga bisa

terjadi.(4,5)

Keratitis fungal dapat berperan utama untuk infeksi berat yang melibatkan

setiap struktur intraokular dan dapat membuat hilangnya penglihatan atau kehilangan

mata. Perforasi kornea jarang terjadi, dan endophthalmitis sekunder telah dilaporkan.

X. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang

terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu

penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium.Pasien

dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis

yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera

atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari ketiga infeksi jamur

gagal terapi pengobatan atau perforasi kornea.(4)

Page 17: refarat keratomikosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Lang GK. Cornea.Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart ;

thieme ; 2007. p. 117-136

2. Ilyas S, Yulianti SR. Anatomi dan fisiologi mata Ilmu Penyakit Mata. 4 ed. Jakarta:

FKUI; 2012. p. 5-6,150,165

3. Susetio B. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata. Cermin Dunia Kedokteran.

1993:40-1.

4. Singh D. Fungal keratitis. Medscape Reference; 2013 [updated October 27, 2011; cited

2013 15 June].

5. Biswell R. Kornea. : Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. Oftalmologi Umum. 17 ed.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2012. p. 152-49.

6. Wilson SA, Last A. Management of corneal abrasions. The American Academy of

Family Physicians. 2004:123-8.

7. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005. p.61-

78.

8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General

Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41.

9. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Ilmu Penyakit

Mata. 4 ed. Jakarta: FKUI; 2012. p. 149-82.

10. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams & Wilkins

Publishers. 2007.

11. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology. Thieme.

2006. p. 97-99

12. Externa Disease and Cornea. New York: American Academy of Ophthalmology; 2011.

13. . Garg P, Rao GN. Corneal ulcer: diagnosis and management. The Journal of

Community Eye Health. 1999;12:21-3.

14. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamental and Principles of Ophtalmology Section

2. Singapore: Amnerican Academy Of Ophtalmology; 2011.

15. Mann LCS, Singh J, Kalra D, Parihar J, Gupta N, Kumar P. Medical and Surgical

Management of Keratomycosis. MJAFI. 2008;64:40-2.

16. Kalavathy CM, Palmar P, Kaliamurthy J, Philip VR, Ramalingam MDK, Jesudasan

CAN, et al. Comparison of itraconazole 1 % with topical natamicin 5 % the treatment of

filamentous fungal keratitis. Lippincott Williams and Wilkins. 2005;24:449-52.

Page 18: refarat keratomikosis