33
BAB I PENDAHULUAN Pterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk membran segitiga dengan puncak di daerah kornea dan basisnya terletak pada celah kelopak (fissura palpebra) bagian nasal ataupun temporal dari konjungtiva. Secara umum pterigium lebih sering terdapat pada bagian nasal daripada temporal. 1, 2 Keadaan pada pterigium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. 1,2 1

refarat pterigium

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refarat pterigium

Citation preview

Page 1: refarat pterigium

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap.

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk membran segitiga dengan puncak di

daerah kornea dan basisnya terletak pada celah kelopak (fissura palpebra) bagian

nasal ataupun temporal dari konjungtiva. Secara umum pterigium lebih sering

terdapat pada bagian nasal daripada temporal.1, 2

Keadaan pada pterigium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat

sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena

sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan

yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik

pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan

elastik.1,2

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan

merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak. Penyakit ini

lebih sering ditemukan di daerah ekuator/katulistiwa dan sekitarnya.3 Berdasarkan

survei dari Departemen Kesehatan RI tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa

kasus pterigium menduduki urutan kedua terbesar dari penyakit mata yang

menyebabkan morbiditas.4

1

Page 2: refarat pterigium

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun

(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi

benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Konjungtiva

Secara anatomis konjungtiva merupakan membran mukosa yang

transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata

(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat

erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke

posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera

menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum

orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini

memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva

sekretorik. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin

bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga

bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar

digerakkan dari tarsus.

2

Page 3: refarat pterigium

- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera

dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan

jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

3

Page 4: refarat pterigium

Gambar 1-3. Anatomi Konjungtiva

2.2 Pterigium

2.2.1 Definisi Pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degenaratif dan invasif. Pertumbuhan pterigium biasanya

terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak

dibagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila

terjadi iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.1

Gambar 4. Pterigium

2.2.2 Epidemiologi

Penyakit ini lebih sering ditemukan di daerah ekuator/katulistiwa dan

sekitarnya. Berdasarkan survei dari Departemen Kesehatan RI menunjukkan

4

Page 5: refarat pterigium

bahwa kasus pterigium menduduki urutan kedua terbesar dari penyakit mata

yang menyebabkan morbiditas.4,6

 Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung

pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya

berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-

15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara

peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih

tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka

kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang

bawah.1,5

Insidens pterigium paling tinggi pada pasien berusia 20-40 tahun.

Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3

kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren

sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4

kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok,

pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.3,6

2.2.3. Etiologi

1.   Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa

insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat

equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di

lapangan. 

5

Page 6: refarat pterigium

2.   Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium

adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,

polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen

pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-

beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi,

migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis

yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya

jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi

membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 3,6

2.2.4. Faktor Risiko

1. Usia

Pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui

pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.

Penelitian lain berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua

dan tiga. 

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang

sering dengan sinar UV. 

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah

distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi

6

Page 7: refarat pterigium

banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan

bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang

lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5

tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300

memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan

daerah yang lebih selatan. 

4. Herediter

Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara

autosomal dominan. 

5. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-

partikel tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor

risiko terjadinya pterigium.7

2.2.5. Klasifikasi Pterigium 3,5,8

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi

berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya

pembuluh darah episklera , yaitu:

a. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada

limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi

meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau

deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan

7

Page 8: refarat pterigium

kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis,

meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien

yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan

lebih cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau

ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik.

Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler

yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4

mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.

- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan

zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang

paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan

tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4

mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas

khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan

dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

forniks dan biasanya menyebabkan gangguan

pergerakan bola mata serta kebutaan.

b. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium

yaitu:

- Stadium I :  jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

8

Page 9: refarat pterigium

- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.

- Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi

tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar

3-4 mm).

- Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati

pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 5. Pterigium stadium 1 Gambar 6. Pterigium stadium

2

Gambar 7. Pterigium stadium 3 Gambar 8. Pterigium stadium

4

9

Page 10: refarat pterigium

c. Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :

1. Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)

2. Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat.

2.2.6. Patofisiologi 3,5

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak

dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan

dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini

biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran

pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum

lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang

lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di

samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar

ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu

pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium

dibandingkan dengan bagian temporal.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen

dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini

juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan

10

Page 11: refarat pterigium

elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan

oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi

subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H

& E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti

cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan

Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya

normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik

dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gambar 9. Histopatologi Pterigium

2.2.7. Gejala Klinis 3

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan

sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang

sering dialami pasien antara lain:

a) Mata sering berair dan tampak merah

11

Page 12: refarat pterigium

b) Merasa seperti ada benda asing

c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan

pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun

astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan

d) Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil

dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya

menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan

stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki

kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan

elastik dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada

orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama

pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang

berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena

timbul astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu

perjalanannya.

2.2.8. Penegakan Diagnosa

a. Anamnesa

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata

merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu

juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak

bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang

tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma.9

12

Page 13: refarat pterigium

b. Pemeriksaan Oftalmologis

Pada pterigium pemeriksaan di adanya massa jaringan kekuningan

akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus, berkembang

menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput

lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan

peradangan.

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah

ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan

berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium,

dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut  Youngson ) :

1) Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

2) Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi

tidak lebih dari 2 mm melewati kornea

3) Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal

(diameter pupil sekitar 3-4 mm)

4) Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan.7,10

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium

adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa

astigmtisme  ireguler yang disebabkan oleh pterygium.1

13

Page 14: refarat pterigium

2.2.9. Diagnosa 3,6

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada

salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau

bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala

dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan

terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda

asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari

biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan

terhadap sinar matahari atau partikel debu.

Test uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi

terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk

memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di

bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada

pseudopterigium.

2.2.10. Diagnosa Banding

a. Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang

berwarna kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua

sisi kornea yang kebih banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan

degenaris hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pinguekula sangat

sering pada orang dewasa. 3

14

Page 15: refarat pterigium

Gambar 9. Pinguekula

b. Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan

kornea yang cacat. Terdapat Suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena

ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di

antara konjungtiva dan kornea.1,3

Gambar 10. Pseudopterigium

2.2.11. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang

masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu

tetes mata dekongestan. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati.

15

Page 16: refarat pterigium

Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat

diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari

selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid

tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau

mengalami kelainan pada kornea.

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau

dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmaisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media

penglihatan. 3,7

b. Tindakan operatif

Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang

dilakukan dengan indikasi:

1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.

2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis

vascular.

3. Mata terasa mengganjal.

4. Visus menurun, terus berair.

5. Mata merah sekali.

6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.

7. Alasan kosmetik.

8. Mengganggu pergerakan bola mata.

16

Page 17: refarat pterigium

9. Mendahului operasi intra okuler

Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti

pengggunaan sinar radiasi β atau terapi lainnya untuk mencegah

kekambuhan seperti mitomycin.

c. Jenis Operasi pada Pterigium antara lain :

- Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva

dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya

tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

- Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang

terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva

relative kecil.

- Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

- Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka

bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang

kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

- Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil

dari konjungtiva bulbi bagian superior.

17

Page 18: refarat pterigium

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa

dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi local,

bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi,

mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai

obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau antinflamasi.

2.2.12. Komplikasi3

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan

- Iritasi

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Dry Eye sindrom

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Infeksi

18

Gambar 11. Jenis-jenis operasi pterigium4

a. Bare sclera

b. Simple closure

c. Sliding flap

d. Rotational flap

Page 19: refarat pterigium

- Ulkus kornea

- Graft konjungtiva yang terbuka

- Diplopia

- Adanya jaringan parut di kornea

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah

kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi,

sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion

pada saat eksisi.

2.2.13. Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti

nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet

dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.3

2.1.14. Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya

prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan

sitotastik tetes mata atau beta radiasi.

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik.

Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa

hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48

jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan

pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan

grafting

19

Page 20: refarat pterigium

dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion 

pada pasien tertentu.3

BAB III

KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan

merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini

dikarenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga

banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab

dari pterigium.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun

(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi

benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara

konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada

pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu

20

Page 21: refarat pterigium

bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga

kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat

tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat

dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar

matahari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Pterigium. Dalam: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai

Penerbit FKUI, Jakarta, 2013 : 116-17.

2. Wijaya N. Kelainan Konjungtiva. Dalam: Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata.

Cetakan keenam. Jakarta. 1989

3. Laszuarni, Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Medan. Universitas

Sumatera Utara. 2010

4. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam

Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The Indonesian

Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.

5. Pterigium. Available from :

http://www.mata-fkui-rscm.org/?page=content.view&alias=edukasi_pasien

6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

7. Ilyas, Sidarta, dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa

Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto. 2002. Hal. 107-109.

21

Page 22: refarat pterigium

8. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher

edisi 17 Jakarta : EGC. 2009. Hal 119

9. Prosedur Standar Diagnostik dan Pengobatan/ Tindakan di Bagian I.P Mata

FKUI/RSCM

10. Wiajaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal. 1993

22