24
BAB I PENDAHULUAN Penggunaan anestesi umum pada setiap tindakan operasi dapat menyebabkan munculnya permasalahan pada pasien antara lain mual, muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, nyeri kepala, pusing, nyeri punggung, g lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara. Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadianny lebih kurang !3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi p pasien ra"at inap dan sampai #0% pada pasien ra"at inap yang timbul dalam jam pertama. Mual dan muntah termasuk masalah yang sering muncul pad pasien pasca operasi. Perasaan mual muntah yang dirasakan dalam 2$ jam set prosedur anestesi dan pembedahan disebut dengan Post Operative Nau Vomitting P&'(). P&'( dapat menyebabkan morbiditas yang signi*ikan, termasuk dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, jahitan menjadi tegang dan terbuka, hiperten dan perdarahan, ruptur eso*ageal, dan keadaan yang membahayakan ji"a pada jalan na*as, "alaupun komplikasi yang lebih berat lebih jarang. Mual dan m melibatkan *ungsi *isiologis yang kompleks dari sara* pusat dan p pusat lateral retikular menerima berbagai macam jaras termasuk jaras +agal mukosa, saluran gastrointestinal dan saluran syara*, stimulasi salah satu ini akan memicu terjadinya re*leks muntah. Mual dan muntah merupakan kondi tidak nyaman yang diikuti dengan gejala pucat, berkeringat, teraba panas a dingin, takikardi, penurunan denyut jantung, sakit perut, dan mulut terasa nyaman. Mual merupakan sensasi tidak menyenangkan yang menga"ali terjadinya muntah, tetapi tidak semua muntah dia"ali dengan mual sedangkan muntah merupakan kondisi pengeluaran isi lambung ke dalam mulut. Mual dan muntah yang terjadi jika tidak ditangani akan memperlama keluarnya pasien ruang pemulihan lebih lama 20 menit, memperpanjang masa ra"at pasien, meningkatkan biaya pera"atan dan menambah stressor bagi pasien. elain itu pada sur+ey yang dilakukan preoperati*, pasien menempatkan emesis pada pos 1

Referat Anastesi

  • Upload
    elok88

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Penggunaan anestesi umum pada setiap tindakan operasi dapat menyebabkan munculnya permasalahan pada pasien antara lain mual, muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, nyeri kepala, pusing, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara. Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama. Mual dan muntah termasuk masalah yang sering muncul pada pasien pasca operasi. Perasaan mual muntah yang dirasakan dalam 24 jam setelah prosedur anestesi dan pembedahan disebut dengan Post Operative Nausea and Vomitting (PONV). PONV dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan, termasuk dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, jahitan menjadi tegang dan terbuka, hipertensi vena dan perdarahan, ruptur esofageal, dan keadaan yang membahayakan jiwa pada jalan nafas, walaupun komplikasi yang lebih berat lebih jarang. Mual dan muntah melibatkan fungsi fisiologis yang kompleks dari saraf pusat dan perifer. Pada pusat lateral retikular menerima berbagai macam jaras termasuk jaras vagal mukosa, saluran gastrointestinal dan saluran syaraf, stimulasi salah satu dari jaras ini akan memicu terjadinya refleks muntah. Mual dan muntah merupakan kondisi tidak nyaman yang diikuti dengan gejala pucat, berkeringat, teraba panas atau dingin, takikardi, penurunan denyut jantung, sakit perut, dan mulut terasa tidak nyaman. Mual merupakan sensasi tidak menyenangkan yang mengawali terjadinya muntah, tetapi tidak semua muntah diawali dengan mual sedangkan muntah merupakan kondisi pengeluaran isi lambung ke dalam mulut. Mual dan muntah yang terjadi jika tidak ditangani akan memperlama keluarnya pasien dari ruang pemulihan lebih lama 20 menit, memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan biaya perawatan dan menambah stressor bagi pasien. Selain itu pada survey yang dilakukan preoperatif, pasien menempatkan emesis pada posisi keempat dari 10 efek negatif pasca operasi yang tidak menyenangkan. Sedangkan nyeri berada pada posisi ketiga. Karena pasien merasakan bahwa PONV merupakan perasaan yangs sangat tidak menyenangkan, maka penanganan terhadap PONV perlu dipertimbangkan dan dilakukan, sama seperti penanganan terhadap nyeri oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan mual muntah pasca operasi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Resiko dan PencetusPONV merupakan masalah yang sering terjadi pada unit perawatan post-anestesia (PACU) dan penting untuk diketahui karena efek negatifnya. Faktor yang terlibat pada PONV termasuk nyeri dan penggunaan opiat yang digunakan untuk menangani nyeri, obat atau teknik anestesi, perubahan posisi dan pergerakan, ambulasi khusus, lokasi operasi dan faktor pasien termasuk riwayat motion sickness atau PONV, obesitas dan wanita, dan juga siklus menstruasi. Interaksi ini dan faktor yang kompleks akan dinilai selama fase dan pengalaman operasi.1,3,4 Berdasarkan berbagai impuls afferen yang dapat menstumuli pusat muntah, terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya PONV, antara lain : faktor pasien, faktor pembedahan, dan faktor anestesi2.1.1 Faktor PasienFaktor resiko mual muntah untuk pasien dewasa: (Apfel Score)8 Jenis kelamin perempuan Usia muda Adanya riwayat mual muntah paska operasi Riwayat tidak merokok Usia < 50 tahun

Gambar 2.1 Apfel ScoreJika tidak terdapat faktor resiko, terdapat satu, dua, tiga atau empat dari faktor resiko tersebut diatas, insiden PONV adalah 10%, 21%, 39%, 61% dan 79%. 1,2,6Faktor Resiko mual muntah paska operasi pada anak-anak: (Erberhart Score)8 Lama operasi 30 menit Usia 3 tahun Operasi strabismus Riwayat mual muntah pasca operasi di keluarga

Gambar 2.2 Erberhart Score2.1.2 Faktor PembedahanTipe operasi yang merupakan resiko tinggi terjadinya mual muntah, diantaranya: laparoskopi, operasi ginekologi, kolesistektomi. Selain itu resiko terjadinya PONV juga meningkat pada pasien pediatri yang menjalani operasi strabismus, adenotonsilektomi dan orchiopexy. Resiko terjadinya PONV meningkat dengan peningkatan durasi operasi karena operasi yang lama akan meningkatkan waktu paparan dengan obat anestesi yang bersifat emetogenik. 1,4,6 Pembedahan MataTerdapat angka kejadian PONV yang tinggi (lebih dari 80%) baik itu pada orang dewasa maupun anak-anak setelah menjalani operasi mata, tetapi tidak semua tipe pembedahan mata terpengaruh. Operasi strabismus dihubungkan dengan peningkatan insiden PONV dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan tipe pembedahan mata yang lain, tetapi jarang terjadi pada 2 jam pertama setelah operasi. Dua tipe emesis yang terjadi digambarkan sebagai bentuk dini dimana muncul di ruang operasi pada saat akhir prosedur atau di PACU, dan emesis yang tertunda (delayed emesis), yang muncul kemudian yaitu 48 jam setelah pembedahan. Pada satu studi menunjukkan bahwa 41% anak-anak muntah saat masih di rumah sakit sedangkan 50-56% muntah terjadi saat di rumah, utamanya pada hari pertama. Pembedahan THTKejadian PONV setelah tonsilectomy dan adenoidectomy pada anak-anak tinggi, lebih dari 76%. Tingginya kejadian PONV ini diperkirakan karena darah mengiritasi kemoreseptor gastrointestinal dan nervus trigeminal aferen dapat distimulasi selama pembedahan dan pemberian opioid pascaoperasi. Pembedahan telinga tengah dihubungkan dengan tingginya kejadian PONV, hal ini kemungkinan berhubungan dengan terlibatnya jalur stimulasi vestibular aferen dalam motion sickness.4 Pembedahan AbdomenProsedur intra-abdomen dihubungkan dengan kejadian PONV yang lebih sering jika dibandingkan dengan prosedur yang dilakukan di luar kavum abdomen. Stimulasi mekanik dari usus dapat menyebabkan rangsangan vagal dan aferen splanchnic yang mengirim sinyal ke SSP. Stimulasi mekanik akan meningkatkan pelepasan 5-HT dan mensensitisasi jalur muntah terhadap stimulus yang lain.4 Pembedahan GynecologySeperti yang telah dikemukakan, wanita lebih sensitif terhadap rangsangan muntah dibandingkan dengan laki-laki pada periode perioperatif. Pada pembedahan gynecology didapatkan kejadian PONV yang tinggi. Selain itu, stimulasi uterus, ligamen, vaginal dan cervix telah menunjukkan hantaran afferen ke medulla spinalis melalui nervus hypogastric dan pelvic. Muntah akan lebih sering terjadi pada operasi yang dilakukan pemasangan tampon vagina dan dilatasi cervix. Insiden PONV tinggi setelah laparoskopi diagnostik dan terapeutik, pembedahan gynecology mayor dan hysterectomy, dilatasi dan kuretage.42.1.3 Faktor Anestesi Faktor anestesi yang mempengaruhi terjadinya PONV diantaranya adalah premedikasi, teknik anestesi, pilihan obat anestesi (nitrous okside, volatile anesthesia, obat induksi intravena, opioid, dan obat reversal pelumpuh otot), keadekuatan pemberian cairan intravena dan penanganan nyeri pasca operasi. Hipotensi yang terjadi selama induksi dan pembedahan berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PONV.1,2,4,5,6 Obat anestesi inhalasiAnesthesia umum dengan penggunaan gas anestesi inhalasi sangat berhubungan dengan kejadian muntah pascaoperasi. PONV yang berhubungan dengan penggunaan gas anestesi inhalasi terjadi dalam beberapa jam pertama setelah berakhirnya operasi,meskipun hal ini tergantung pada durasi pemakaian gas anestesi inhalasi.1 Agen volatile dapat bekerja melalui perubahan tekanan telinga tengah, tetapi sepertinya volatile menyebabkan muntah melalui kerjanya di usus. Ventilasi dengan masker akan menekan gas ke perut, menyebabkan distensi dan muntah melalui aktivasi vagal abdominal dan afferent splanchnic. Insiden PONV yang tinggi ditemukan terjadi pada penggunaan gas N2O. N2O secara langsung menstimuli pusat muntah dan berinteraksi dengan reseptor opioid. N2O juga mengakibatkan distensi ruang udara di telinga tengah dan gastrointestinal, sehingga akan mempengaruhi system vestibular dan meningkatkan imput visceral ke pusat muntah. Peningkatan aktivitasi simpatetik yang dihubungkan dengan penggunaan nitrous oxide adalah kontributor yang paling memungkinkan terjadinya emesis paskaoperasi. Agen volatile anestesi menekan lambung dan motilitas usus kecil. Mekanisme yang diketahui secara umum terlibat adalah peripheral, pelepasan asetilkolin dari pleksus myenterikus atau peningkatan pada discharge simpatis yang bekerja langsung atau tidak langsung.1,2,4 Obat anestesi intravenaTidak ada bukti yang menyebutkan bahwa total anestesi intravena (TIVA) dengan propofol lebih menurunkan insiden PONV dibandingkan dengan anestesi inhalasi. Mekanismenya belum jelas, diperkirakan karena propofol bekerja dengan menurunkan level 5-HT di area postrema. Propofol yang diberikan hanya untuk induksi saja tidak memiliki efek yang relevan terhadap insiden PONV. Efek antiemetik propofol bersifat dose-dependent, dan kontrol terhadap PONV akan lebih baik jika pasien menerima infus propofol intravena kontinyu. Efek antiemetik propofol lebih lemah jika diberikan sebagai obat induksi saja, kemungkinan disebabkan karena konsentrasi plasma propofol pada periode pemulihan awal berada dibawah konsentrasi efektif untuk mencegah PONV.1 Nondepolarizing muscle relaxanPelumpuh otot non depolarisasi biasanya digunakan pada anestesi umum. Penggunaan cholinesterase inhibitor digunakan untuk menghilangkan efek sisa pelumpuh otot, dan secara teori dapat meningkatkan PONV. Dalam hal memperhatikan keselamatan pasien, obat reversal pelumpuh otot harus digunakan dalam dosis tepat jika benar-benar diperlukan.1 Anestesi RegionalTeknik anestesi regional memiliki keuntungan dibandingkan dengan anestesi umum dalam hal penggunaan nitrous oxide, gas anestesi volatile. Meskipun penggunaan opiod dihindari, tapi PONV masih dapat terjadi jika opioid diberikan intravena ataupun ke ruang epidural maupun ruang intratekal. Penggunaan opioid yang lipofilik seperti fentanyl atau sufentanyl membatasi penyebaran opioid kearah cephalad dan dapat menurunkan resiko terjadinya emesis akibat pemakaian opioid. Hipotensi yang terjadi sekunder akibat blok simpatis yang terjadi juga berperan dalam terjadinya PONV. Hal ini diperkirakan karena hipotensi menyebabkan iskemia batang otak yang kemudian mengaktifkan pusat muntah di medula. 12.1.4Faktor Pasca OperasiNyeri pasca operasi, terutama nyeri visceral atau nyeri pelvis sering dikatakan sebagai penyebab PONV. Nyeri dapat memperpanjang waktu pengosongan lambung dan dapat berperan dalam menyebabkan emesis setelah operasi. Pendekatan multimodal dalam menangani nyeri dapat menurunkan nyeri pasca operasi dengan menggunakan kombinasi opioid sistemik, obat antiinflamasi non steroid, blok neuroaksial, blok saraf regional, dan melalui infiltrasi lokal di sekitar luka operasi. Pendekatan dengan menggunakan opioid dengan dosis terkecil untuk mendapatkan analgesia yang adekuat penting dilakukan untuk membatasi terjadinya nausea dan vomiting yang diakibatkan oleh penggunaan opioid. Gerakan yang tiba-tiba, perubahan posisi pasien selama perpindahan pasien dan pergerakan juga dapat mencetuskan nausea dan vomiting, terutama pasien yang mendapatkan opioid. Organ vestibular dapat disensitisasi oleh pergerakan akibat difusi opioid dan nitrous oxide yang digunakan ke dalam telinga tengah. 1,2 Semua pasien pre operative harus discreening terhadap resiko terjadinya mual muntah paska operasi untuk menentukan agen anestesi yang dapat diberikan sehingga mengurangi atau dapat mencegah terjadinya mual muntah paska operasi. METODE UNTUK MENURUNKAN RESIKO PONV 1

1. Gunakan teknik regional jika memungkinkan2. Jika akan dilakukan anestesi umum, gunakan propofol untuk induksi dan pemeliharaan anestesi3. Hindari penggunaan obat anestesi inhalasi4. Hindari penggunaan nitrous oxide5. Pemberian hidrasi yang adekuat6. Gunakan multimodal terapi untuk analgesia untuk meminimalkan penggunaan opioid intra dan pasca operasi, misalnya local anestesi untuk infiltrasi luka, nerve blok, neuroaxial blok, penggunaan NSAID dan ketamin.Gambar 2.3 Metode untuk menurunkan resiko PONV2.2 Mekanisme Mual dan MuntahSinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nucleus yang tersebar di batang otak yang semuanya disebut "pusat muntah". Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.9Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul perilaku muntah, efek pertama adalah bernapas dalam, naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus bagian atas supaya terbuka, penutupan glotis untuk mencegah aliran muntah memasuki paru, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior. Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat ke bawah bersama dengan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan ini memeras perut di antara diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Akhirnya, sfingter esophagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap, membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus.9,10Jadi, aksi muntah berasal dari suatu kerja dari otot-otot abdomen bersama dengan kontraksi dari dinding lambung dan pembukaan sfingter esophagus sehingga isi lambung dapat dikeluarkan.2 Selain dari muntah yang disebabkan oleh rangsangan iritasi traktus gastrointestinal, muntah juga dapat disebabkan oleh impuls saraf yang timbul pada daerah otak. Terutama berlaku pada daerah kecil yang terletak bilateral pada dasar ventrikel keempat disebut zona pencetus kemoreseptor untuk muntah. Perangsangan elektrik pada daerah ini dapat menyebabkan muntah, namun yang lebih penting terutama pada penggunanaan obat-obat tertentu, termasuk apomorfin, morfin, dan beberapa derivate digitalis, dapat secara langsung merangsang zona pencetus kemoreseptor dan mencetuskan muntah. Destruksi daerah tersebut menghambat muntah, tetapi tidak menghambat muntah yang ditimbulkan oleh rangsangan iritasi.9,10 Telah diketahui dengan baik bahwa perubahan arah atau irama gerakan tubuh yang cepat dapat menyebabkan muntah. Mekanisme hal ini yaitu karena gerakan merangsang reseptor di dalam labirin vestibular pada telinga dalam, dan dari sini impuls ditransmisikan terutama lewat jalur nuclei vestibular batang otak ke dalam serebelum, kemudian ke zona pencetus kemoreseptor, dan akhirnya ke pusat muntah untuk menyebabkan muntah. Terdapat 3 stadium pada proses mual dan muntah :1. Mual : perasaan yang sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium. Terjadi peningkatan salvias menurunnya tonus lambung, dan peristaltik. 2. Recthing : suatu usaha involunter untuk muntah, terdiri atas gerakan pernapasan spasmodik melawan glotis dan pergerakan inspirasi dinding dada dan diafragma. 3. Muntah : suatu refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung atau usus atau keduanya ke mulut. Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf - saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari : Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah) Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal) Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik) Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)8Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus. a) Mekanoreseptorberlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi. b) Kemoreseptorberlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia. Pada area CTZ kaya akan reseptor dopamine dan 5-hydroxytryptamine, khususnya D2 dan 5HT3. CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak, oleh karena itu bisa terpapar oleh stimulus - stimulus (mis: obat - obatan dan toksin). Bisa juga dipengaruhi oleh agen anestesi, opioid dan faktor humoral (cth 5HT) yang terlepas pada saat operasi. Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba - tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor.9,10

cemasNyeriBau, lihat, rasaPusat kortikal VOMITING CENTERcerebelumCTZNucleus tractus solitariusSistem vestibular Stimulasi Sympatis dan parasympatisAnesthesia umumOpioidKelainan metabolikInput Glossopharyngeal and trigeminal Jantung Traktus BiliarisTraktus gastrointestinalTraktus GenitourinariusfaringGambar 2.4 Neurofisiologi nausea dan vomiting2.3 Penatalaksanaan Mual Muntah Post Operative (PONV)Terapi terhadap PONV bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan, yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi2. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan :1. Antiemetik konvensional :a. Dopamin (D2) reseptor antagonis : Phenothiazine ( misalnya promethazine, prochlorperzine), buthyrophenone (droperidol,haloperidol), benzamide ( metocloperamide)b. Antihistamine ( dimenhydrinate, cyclizine)c. Anticholinergic ( scopolamine)d. Serotonin reseptor antagonis (ondansetron, dolasetron, granisetron)e. Neurokinin-1 reseptor antagonis ( aprepitant)2. Antiemetik non konvensional : steroid, propofol3. Terapi lain yang menguntungkan : benzodiazepine, ephedrine, pemberian cairan intravenaTerapi nonfarmakologi dapat dilakukan dengan akupuntur, acupressure, elektroakupuntur, transcutaneus acupoint electrical stimulation, laser dan hypnosis. Beberapa reseptor telah diindetifikasi pada beberapa area otak yang terlibat dengan reflek emetik, termasuk asetilkolin (muscarinik), dopamine (D2), histamine (H1) dan serotonin (5-HT-3). Aksi pada reseptor-reseptor ini merupakan mekanisme efek dari berbagai macam obat antiemetik. Aksi obat antiemetik tidaklah sederhana, obat-obat antiemetik biasanya memiliki efek pada lebih dari satu reseptor dan memiliki efek perifer dan juga sentral yang mempengaruhi efektifitas antiemetiknya.1,2Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi PONV, beberapa obat mungkin lebih efektif untuk pasien tertentu jika dibandingkan dengan pasien yang lain, tetapi sulit untuk menyimpulkan etiologi primer yang terlibat pada pasien tertentu. Mengetahui jalur dan tipe reseptor yang terlibat pada proses mual dan muntah dapat mengarahkan kita untuk memilih agen antiemetik yang tepat. Pengetahuan yang rendah tentang berbagai reflek emetik yang terlibat pada terjadinya PONV menyebabkan pemilihan obat yang rasional semakin sulit. Telah disarankan bahwa kombinasi beberapa obat untuk memblokade beberapa tipe reseptor akan lebih efektif jika dibandingkan dengan menggunakan obat tunggal yang dosisnya dinaikkan.Obat-obat antiemetik tradisional yang digunakan untuk mencegah PONV diantaranya antikolinergik (Atropin, scopolamine), antihistamin (Meclizine, dimenhydrinete), butyrophenon (droperidol, haloperidol), phenothiazine (promethazine, prochlorperazine) dan benzamide (metocloperamide). Beberapa obat ini, meskipun efektif tapi berhubungan dengan terjadinya efek samping seperti kelemahan, mulut kering, sedasi, hipotensi, distonia dan gejala ekstrapiramidal bahkan terjadinya pemanjangan QT interval.1 KelompokReseptorObatEfek samping

AnticolinergicMuscarinic,Histaminergic (H1)AtropineScopolamineMulut kering, sedasi, halusinasi, gangguan penglihatan

AntihistamineHistaminergic (H1)MeclizineDimenhydrinateSedasi

ButyrophenonD2DroperidolHaloperidolSedari, agitasi, efek ekstrapiramidal, pemanjangan QT

PhenothiazineD2PromethazineProchlorperazinePerphenazineSedasi, agitasi, efek ekstrapiramidal

BenzamideD2, 5HT3MetoclopramideDistonia,efek ekstrapiramidal

5-HT3OndansetronDolasetronGranisetronNyeri kepala, dizziness, pemanjangan QT

KortikosteroidDexamethasoneMetilprednisolonMeningkatkan kadar glukosa darah pada pasien DM

Tabel 2.1 Obat yang biasa digunakan untuk terapi PONV Scopolamine Scopolamine adalah obat antikolinergik yang secara luas digunakan. Scopolamine trasdermal dikatakan efektif dalam mengontrol PONV setelah operasi laparoskopi ataupun setelah pemberian morfin. Penelitian terbaru mengatakan bahwa scopolamine trasdermal memiliki efektifitas yang sama dengan ondansetron 4 mg dan droperidol 1,25 mg.2 Antihistamin Obat antihistamin yang digunakan diantaranya ethanolamines (dimenhydrinate, diphenhydramine) dan piperazine (cyclizine, hydroxyzine, meclizine). Kerugian yang utama adalah sedasi, mulut kering, gangguan penglihatan, retensi urin dan hambatan untuk keluar dari ruang pulih. Obat antihistamine yang lain yaitu meclizine juga dikatakan memiliki onset lebih lama dari ondansetron. Metocloperamide Metocloperamide telah banyak digunakan dalam praktek klinis selama beberapa dekade. Obat ini menghambat reseptor dopamine D2 secara sentral (vomiting center, CTZ) dan perifer (traktur gastrointestinal). Meskipun metocloperamide memiliki efek prokinetik, efek antiemetiknya tidak terlalu bermakna, dimana kurang lebih 50% penelitian menunjukkan bahwa metocloperamide tidak lebih efektif dari placebo jika menggunakan dosis 10 mg.2 Sekarang metocloperamide mulai ditinggalkan karena efek antiemetiknya yang lemah. Penelusuran sistematik terhadap 66 penelitian menunjukkan bahwa metocloperamide tidak efektif untuk mencegah PONV pada pasien dewasa dan anak-anak dengan pemberian dosis yang biasa diberikan 10-20 mg (dewasa) dan 0,25 mg/kg (anak-anak). Dua penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian metocloperamide dosis besar (25-50 mg) mungkin akan lebih bermakna.2 Metocloperamide lebih efektif jika diberikan segera setelah operasi selesai.1,2 PrometazinePrometazine adalah antiemetik yang efektif dan memiliki durasi kerja yang panjang. Pemberian dengan dosis 12,5-25 mg pada akhir pembedahan efektif untuk penanganan PONV. Pemakaiannya terbatas karene efek sedasi dan keterlambatan untuk keluar dari ruang pulih. Penggunaan prometazine dosis rendah (6,25 mg) menunjukkan efektifitas yang sama dan kurang menimbulkan sedasi. DroperidolDroperidol bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine D2 sentral, dan memiliki efektifitas yang sama dengan ondansetron jika diberikan sebagai profilaksis PONV. Droperidol dilaporkan lebih efektif jika diberikan pada akhir pembedahan dibandingkan jika diberikan pada saat induksi. Pada dosis intravena 1,25 mg, insiden efek samping system saraf pusat sebanding dengan ondansetron. Dosis 0,625 mg efektif bila dibandingkan dengan placebo, mskipun dosis 1,25 mg dikatakan dapat menambah efikasi obat.1,2Pada tahun 2001, Food and Drug Administration (FDA) Amerika serikat mengeluarkan peringatan tentang penggunaan droperidol berdasarkan penemuan insiden pemanjangan interval QT dan torsades pointes pada penggunaan droperidol. Hal ini menimbulkan larangan penggunaan droperidol di beberapa negara. Namun, dosis yang digunakan untuk mencegah dan mengobati PONV lebih kecil daripada dosis yang menimbulkan aritmia jantung. Dosis minimum yang disarankan oleh FDA adalah 2,5 mg, sedangkan dosis yang rutin digunakan sebagai antiemetik adalah 0,625-1,25 mg, lebih kecil dari dosis yang dianjurkan oleh FDA. HaloperidolHaloperidol saat ini sudah mulai dibahas dan digunakan dalam penanganan PONV. Selain efeknya sebagai obat antipsikotik yang sudah diketahui, Haloperidol juga dikatakan efektif sebagai antiemetik pada nausea dan vomiting yang terjadi pada penggunaan opioid. Hal ini akibat kerja haloperidol secara sentral pada reseptor dopamin (D2). Haloperidol saat ini digunakan sebagai obat antiemetik pertama pada perawatan pasien paliatif. Pada pasca operasi setelah anestesi umum, haloperidol dikatakan efektif dan dapat ditoleransi dengan baik jika diberikan sebagai profilaksis maupun sebagai terapi. Pada penelitian terbaru dikatakan penggunaan haloperidol yang efektif untuk PONV yang terjadi setelah anestesi spinal, termasuk pada penggunaan opioid intratekal. Haloperidol efektif menurunkan insiden PONV tergantung pada dosis yang diberikan, namun dikatakan dengan dosis 2 mg sudah dapat menurunkan insiden PONV7. Bahkan pada satu penelitian dikatakan bahwa Haloperidol 1 mg memiliki efektifitas dan keamanan yang sama dengan ondansetron 4 mg untuk profilaksis PONV8 Dexamethasone Dexamethasone merupakan salah satu obat yang juga menunjukkan efektifitas untuk menurunkan kejadian PONV. Mekanisme kerjanya berhubungan dengan hambatan pada sintesa prostaglandin dan rangsangan pada pelepasan endorphin yang menghasilkan peningkatan mood dan perasaan sehat. Pemberian dexamethasone profilaksis secara intravena untuk pencegah PONV paling baik jika diberikan pada saat induksi dibandingkan jika diberikan pada akhir pembedahan karena dexamethasone memiliki onset yang lambat sekitar 2 jam. Waktu paruh yang panjang antara 36-72 jam akan memperpanjang efek antiemetiknya sampai lebih dari 24 jam pasca operasi. Pada dewasa, dosis 8-10 mg ( 1 atau 1,5 mg/kg IV pada anak-anak) dikatakan efektif untuk mencegah emesis.1,2,9 Hydroxytryptamine type 3 receptor antagonist (5-HT3 reseptor antagonis) OndansetronMenurut beberapa studi klinis ondansteron memiliki efek anti muntah yang lebih tinggi daripada efek anti mual. Ondansteron adalah gold standard dibandingkan obat antiemetik lainnya. Pemberian ondansetron 8 mg oral setara dengan 4 mg dosis intravena. Ondansetron merupakan derivate carbazolone yang merupakan obat selective memblock serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT3) receptor. 5- hydroxytryptamine(5-HT) terdapat dalam jumlah besar di trombosit dan saluran gastrointestinal (enterchromaffin sel dan plexus myenteric). 5-HT3 adalah reseptor yang memediasi terjadinya mual muntah yang terdapat saluran pencernaan dan area postrema di otak. Ondansetron selektif memblock reseptor serotonin 5-HT3. Reseptor 5-HT3 berlokasi perifer( abdominal vagal afferent) dan sentral (chemoreseptot trigger zone di area postrema dan tractus nucleus solitaries) yang berperan penting dalam terjadinya mual muntah. Serotonin dilepaskan dari sel enterocromaffin di usus kecil yang menstimulasi vagal afferent melalui 5-HT3 dan menstimulasi terjadinya muntah. Obat ini tidak mengganggu motilitas gastrointestinal dan sphingter oesophagus. 6. Profilaksis ini harus kita berikan terutama kepada pasien dengan resiko tinggi terjadinya PONV untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan akibat mual muntah tersebut. 5-HT3 reseptor antagonis mempunyai efek samping yang lebih minimal dibandingkan obat lain. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala. Kontraindikasi Ondansetron adalah selain pada pasien yang hipersensitivitas terhadap obat ini, juga pada ibu hamil ataupun yang sedang menyusui karena mungkin disekresi dalam asi. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi, tetapi pada pasien yang mempunyai kelainan ginjal agaknya dapat digunakan dengan aman. Dosis yang dianjurkan untuk mencegah PONV adalah 4 mg pada akhir pembedahan, dapat diulang setiap 4-8jam. waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak dibawah 15 tahun antara 2-3 jam, oleh karena itu ondansetron baik diberikan pada akhir pembedahan. Ondansetron di metabolisme di hati melalui proses hydroxylasi dan konjugasi oleh enzyme cythocrome P-450. 4 DolasetronMenurut studi RCT pemberian profilaksis dolasteron 12,5 mg efektif untuk mencegah PONV sama efektifnya dengan ondansetron 4mg. Pada bulan Desember 2010, FDA menyatakan bahwa dolasetron tidak boleh lagi diberikan sebagai profilaksis PONV karena dapat menyebabkan perpanjangan interval QT dan mengakibatkan terjadinya torsade de pointes. GranisetronGranisetron 3 mg dosis IV sama efektifnya dengan deksametason 8 mg dan kombinasinya lebih baik daripada obat lainnya. Sementara dibandingkan dengan palonosetron 0,075 mg, granisetron 2.5 mg sama efektifnya dalam 3 jam dan 3-24 jam, namun kurang efektif dalam 24-48 jam. TropisteronTropisetron 2 mg IV efektif untuk mencegah PONV sama halnya dengan ondansetron, granisetron dan droperidol. Kombinasi tropisteron dan deksametasone lebih efektif daripada pemberian obat tunggal. Di amerika serikat tropisetron tidak dianjurkan. RamosetronRamosetron 0,3 mg IV adalah dosis yang paling efektif untuk mencegah PONV. Ramostetron tidak boleh diberikan di Amerika Serikat. PalonosetronPalonosetron adalah generasi kedua reseptor antagonis 5HT3 dengan waktu paruh 40 jam. Palonosetron 0,075 mg lebih efektif daripada ondansetron 4 mg dan granisteron 1mg untuk mencegah PONV.Waktu pemberian : ondansetron, granisetron, dan tropisetron efektif diberikan untuk mencegah PONV saat akhir operasi. Palonosetron dapat diberikan saat awal operasi. Efek samping : Antagonis reseptor 5-HT3 memiliki efek samping yang menguntungkan, dan sementara umumnya dianggap aman, kecuali palonosetron dapat mempengaruhi interval QTc. Obat-obat lainnya Ephedrine, merupakan obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung dan memiliki efek antiemetik yang mirip dengan droperidol atau propofol jika dignakan untuk pencegahan PONV. Efeknya dalam menangani mual berhubungan dengan kemampuannya dalam menangani hipotensi, terutama setalah anestesi spinal atau epidural. Clonidine, merupakan agonis 2-adrenergik. Kemampuannya sebagai analgetika yang dapat menurunkan kebutuhan opioid dan aliran simpatis merupakan dasar efek anti emetik yang dimilikinya. Namun hanya sedikit penelitian yang menjelaskan peranan clonidine dalam PONV, dan sampai saat ini masih diperdebatkan. Adjuvant terapiAda berbagai pendekatan yang sederhana dan nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk mencegah PONV. Pada pasien yang akan dilakukan anestesi umum, pemberian cairan yang adekuat perioperatif akan dapat menurunkan PONV. Pemberian oksigen tambahan juga dilaporkan dapat menurunkan kejadian PONV. Setelah reseksi kolon, pemberian oksigen 80 % (tanpa N2O) yang diberikan intraoperatif dikatakan dapat menurunkan PONV secara signifikan. Konsentrasi oksigen yang tinggi akan kurang menyebabkan distensi usus yang akhirnya akan menurunkan pelepasan 5-HT. Oleh karena penyebab PONV adalah multifaktorial, dan ada beberapa reseptor yang terlibat dalam patogenesis PONV, semakin banyak perhatian terhadap efikasi kombinasi antiemetik yang bekerja pada titik reseptor yang berbeda. Beberapa penelitian telah membandingkan kombinasi dengan obat tunggal dalam profilaksis PONV. Kombinasi salah satu antagonis reseptor 5-HT3 dengan droperidol, dexamethason atau metocloperamide paling sering digunakan dalam penelitian. Sebagian besar penelitian menunjukkan perbaikan profilaksis antiemetik dengan kombinasi obat dibandingkan dengan monoterapi. Karena efikasi antiemetik tergantung pada resiko dasar pasien, maka pasien dengan resiko sedang-tinggi paling diuntungkan dengan pemberian kombinasi antiemetik. Habib dkk menemukan bahwa penggunaan tripel antiemetik dengan ondansetron dan droperidol pada pemakaian propofol berhubungan dengan insiden PONV yang lebih rendah dan kenyamanan pasien yang lebih baik dibandingkan dengan antiemetik yang sama jika dikombinasikan dengan isoflurane. Pada penelitian yang lebih besar, Apfel dkk mengevaluasi penggunaan tiga antiemetik (ondansetron 4 mg, droperidol 1,25 mg dan dexamethason 4 mg) dan kombinasi tiga teknik anestesi (TIVA propofol, mengurangi pemakaian nitrous oxide dan mengganti remifentanyl dengan fentanyl) untuk profolaksis PONV. Hasil menunjukkan bahwa antiemetik dengan mekanisme kerja yang berbeda memiliki efek aditif daripada sinergis.

Gambar 2.5 Obat dan tempat kerja2.4 Profilaksis PONVPendapat tentang pencegahan atau pengobatan PONV masih merupakan kontroversial. Obat antiemetik yang benar-benar efektif harus dapat meningkatkan kenyamanan pasien, yang akhirnya akan mempersingkat waktu tinggal pasien di ruang pulih ataupun di rumah sakit. Dengan mempertimbangkan biaya untuk profolaksis PONV dan efek samping antiemetik yang digunakan, pemberian terapi setelah PONV timbul memiliki efikasi dan kemudahan biaya yang sama jika antiemetik diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan resiko ringan. Pada pasien dengan resiko sedang-tinggi, faktor resiko dasar harus diminimalkan dan obat antiemetik yang paling murah dan aman harus diberikan pertama kali. Salah satu pendekatan yang rasional adalah penggunaan dexamethason dan TIVA propofol sebagai pilihan pertama dan kedua dalam profilaksis PONV. Kombinasi terapi yang menggunakan obat antagonis serotonin yang mahal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan resiko tinggi. Teknik regional anestesi harus dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi. Pendekatan multimodal untuk profilaksis PONV meliputi langkah-langkah :1. Identifikasi pasien yang beresiko untuk mengalami PONV2. Pertahankan faktor resiko tetap rendah3. Gunakan kombinasi antiemetik berdasarkan pada faktor resiko pasien.

Faktor resiko pasien:wanitamotion sicknesstidak merokokopioid poasca operasiobesitasfaktor resiko pembedahan :- jenis operasi- anestesi volatile- anestesi umum- Lama operasiJika mungkin, turunkan faktor resikoResiko rendah ( 1 faktor resiko)Resiko sedang/tinggi (>2 faktor resiko) atau riwayat PONVTidak perlu profilaksisMonoterapi (dexamethason,droperidol, prochlorperazine atau 5-HT3RA)dua terapi (5-HT3RA+droperidol atau 5-HT3RA + dexamethason)triple terapi( 5-HT3RA+droperidol+dexamethason) untuk pasien resiko tinggiRescue antiemetik:obat yang belum pernah diberikanRescue antiemetik: 5-HT3RA dosis rendahIdentifikasi resiko PONVGambar 2.6 Faktor resiko dan strategi dalam penanganan PONV

BAB IIIKESIMPULAN

Perasaan mual muntah yang dirasakan dalam 24 jam setelah prosedur anestesi dan pembedahan disebut dengan Post Operative Nausea and Vomitting (PONV). Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama. PONV dapat meningkatkan stres pasien, memperlambat pemulihan dan meningkatkan biaya dan bahkan mungkin dapat meningkatkan kecemasan jika operasi dan anestesi lebih lanjut akan dilakukan pada pasien dengan riwayat PONV sebelumnya. Berdasarkan berbagai impuls afferen yang dapat menstumuli pusat muntah, terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya PONV, antara lain : faktor pasien, faktor pembedahan, dan faktor anestesiPencegahan pada pasien dengan pembedahan resiko tinggi akan memperoleh keuntungan jika diberikan profilaksis ataupun pemilihan teknik anestesi. Ada beberapa golongan obat yang biasa digunakan untuk menangani mual dan muntah pasca operasi, seperti dopamine antagonis (metoclopramide 0.15 mg/kg), histamin antagonis, antikolinergik, serotonin antagonis (ondansetron, granisetron, dolasetron), dexametason, neurokinin antagonis. Namun ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron, granisetron, dolasetron, palonosetron, dan ramosetronjuga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Pemberian dexametason juga berperan efektif dalam meningkatkan penurunan terjadinya PONV dengan dosis 4 - 10 mg

DAFTAR PUSTAKA

1. Ho, Kok-Yuen., Gan,tong Joo. (2008), Post operative nausea and vomiting, in: Lobato, Emilio B, editor. Complications in anesthesiogy, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp 571-578.2. Ashraf S.Habib., Gan,Tong J., What is the best strategy to prevent postoperative nausea and vomiting?, in : Fleisher, Lee A. Evidance-Based practice of anesthesiology, 2nd ed, Saunders Elsevier, Philadelphia, pp269-273.3. Morgan, E.D.,(2006), Clinical Anesthesiology, 4th ed, McGraw-Hill,New York, pp. 1005-1008.4. Collins,V.J.,(1996), Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia, Williams & Wilkins, Pennsylvania.5. Cole,D.J., Schlunt,M.,(2004), Adult Perioperative anesthesia, Elsevier Mosby, Philadelphia, pp. 165-166.6. Barash,P.P., Cullen, B.F.,Stoelting,R.K.,(2001), Clinical Anesthesia, 4th ed, Lippincott Williams & Wilkins.7. Gan, Tong J. (2006), Risk Factors for postoperative Nausea and Vomiting,Anesthesia Analgesia, vol 102, pp. 1884-1898.8. Gan, Tong.J et all, Department of Anesthesiology Duke University Medical Center, Society for Ambulatory Anasthesiology, january 2014 vol.118, no.19. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Yanuar L, Hartanto H, Novriati A, Wulandari N, editor. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. P865-6.10. Price SA, Wilson LM. Gangguan Sistem Gastrointestinal. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. P421-2.25