28
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) adalah pendekatan sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat dan juga inisiasi CPR atau RJP yaitu resusitasi jantung paru. RJP yang efektif adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. BLS boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. Keadaan di mana terdapat kegagalan pernafasan yang boleh menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA) adalah seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, sudden infant death syndrome dan banyak lagi. Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali. Pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami penurunan pernafasan

REFERAT ANASTESI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Anestesi

Citation preview

Page 1: REFERAT ANASTESI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) adalah pendekatan

sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat

dan juga inisiasi CPR atau RJP yaitu resusitasi jantung paru. RJP yang efektif

adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi.

BLS boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih

dalam bidang kesehatan. RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat,

para medis dan juga orang awam. Keadaan di mana terdapat kegagalan

pernafasan yang boleh menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA)

adalah seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, sudden infant death

syndrome dan banyak lagi.

Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai

hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang

diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup

kembali. Pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau

mengalami penurunan pernafasan selalu diasumsi mempunyai gangguan SCA

terlebih dahulu.

RJP yang digunakan dirujuk kepada pedoman dari American Heart

Association yaitu 2015 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Ini

merupakan adaptasi daripada buku ABC of resuscitation yang ditulis oleh

Peter Safar pertama kali pada tahun 1957. Terdapat beberapa pembaharuan

pada pedoman pada tahun 2015 dan yang dahulu yaitu pada tahun 2010.

Update terbaru dari AHA mengenai guideline / algoritma CPR, lebih

memberikan penekanan pada detail kecepatan dan kedalaman kompresi dada

selama CPR. Sedikit berbeda dengan guideline 2010 yang hanya menekankan

untuk melakukan kompresi dada paling sedikit 100x/menit dan paling sedikit

Page 2: REFERAT ANASTESI

kedalaman 2 inchi, guideline yang baru saja dirilis ini memberikan batasan

yang lebih detail yaitu kecepatan kompresi dada antara 100 hingga 120 kali

permenit dan kedalaman kompresi dada antara 2 hingga 2,4 inchi.

Page 3: REFERAT ANASTESI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan

hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi

koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada

pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi

kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)

atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA).

Gambar 1 menunjukkan “chain of survival” pada kondisi HCA maupun OHCA

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA

Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart

Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara

global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi

jantung-paru pada pasien dewasa.

Page 4: REFERAT ANASTESI

Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan:

1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat

Page 5: REFERAT ANASTESI

Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka

petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa

respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari

melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah

korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus

memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi.

Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut

nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu

dilakukannya RJP..

2. Resusitasi Jantung Paru dini

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria

penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:

Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit

dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali /

menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya

interval kompresi dada.

Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan

kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi

maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman

kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari

diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk

anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas

(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.

Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah

sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri

disamping korban jika korban berada di tempat tidur.

Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama

melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:

Page 6: REFERAT ANASTESI

Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi

pada Pasien Dewasa

Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama

melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolehkan rekoil

dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan

hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah

setiap kompresi.

Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya

meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk

mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.

Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka

bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban

dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw

thrust.

Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.

Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan

kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk

adekuat.

Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,

Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan

1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien

dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada

berkelanjutan

Page 7: REFERAT ANASTESI

Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap

2 menit.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan

bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12

nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus

perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.

RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien

bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan

sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat

defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

3. Alat defibrilasi otomatis

AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum

tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock

diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan

program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi

shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP

selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi

shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus

langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang,

atau korban mulai bergerak.

4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi

Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti

pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan.

Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum pada tabel 2.

Page 8: REFERAT ANASTESI

Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi

Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang

penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu

Page 9: REFERAT ANASTESI

orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu

30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi

menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan

pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau

sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.

Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu

orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.

Page 10: REFERAT ANASTESI

Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan

Satu Orang Penolong

Page 11: REFERAT ANASTESI

Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan

Dua Orang Penolong

Page 12: REFERAT ANASTESI

A. PROSEDUR CPR (RJPO)

Pada dasarnya resusitasi jantung mempunyai dua perkara yang harus

diterapkan. Pertamanya adalah kompresi dada dan yang kedua adalah bantuan

pernafasan dengan menggunakan nafas buatan. Sebelum menolong korban,

hendaklah dinilai keadaan lingkungan terlebih dahulu.

1. Circulation dan Chest compression

Page 13: REFERAT ANASTESI

Kompresi dada dilakukan sebanyak 30 kali. Posisi kompresi dada,

dimulai dari lokasi prosessus xyphoideus dan tarik garis ke lokasi 2 jari

diatas prosessus xyphoideus dan melakukan kompresi dada di tempat

tersebut. Untuk kompresi dada yang yang efektif, teknik push hard, push

fast harus diterapkan. Kompresi sebanyak 100 kali hingga 120 kali per

menit dengan kedalaman kompresi minimal 5cm dan tidak lebih dari 6

cm. Selain itu, waktu untuk paru-paru rekoil setelah kompresi juga harus

ada. Perbandingan kompresi-ventilasi adalah 30:2

2. Airway

Menurut Pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC, rekomendasi

terbaik adalah memulai kompresi sebelum ventilasi. 30 kompresi dan

kemudian 2 ventilasi membawa hasil yang lebih baik karena akan

memperbaiki juga sirkulasi darah. Keterlambatan memberi kompresi

dada harus dihindari. Kompresi dada boleh bersamaan dengan perbaikan

jalan nafas karena reposisi mouth-to-mouth atau penyediaan bag-mask

apparatus mengambil waktu. Posisikan kepala dalam keadaan terlentang

pada alas keras. Periksa jalan nafas korban dengan membuka mulut,

masukkan 2 jari dan lihat jika ada benda asing atau darah. Pada korban

tidak sadar, tonus otot menghilang sehingga lidah menyumbat laring.

Page 14: REFERAT ANASTESI

Lidah yang jatuh dapat menyebabkan jalan nafas tertututp. Triple

manuver dilakukan yaitu dengan head tilt, dan jaw trust untuk membuka

jalan napas

B. RESCUER SPECIFIC CPR STRATEGIES

1. Untrained lay rescuer

Untuk orang awam yang tidak terlatih, hands only CPR adalah sangat

digalakkan dimana hanya kompresi dada yang dilakukan.

2. Trained lay recuer

Harus memberikan kompresi dada untuk korban SCA dan penolong boleh

memberi ventilasi, maka perbandingan 30:2.

3. Healthcare Provider

Resusitasi yang diberikan selalu tergantung kasus yang dihadapai.

Contohnya, jika terlihat korban jatuh secara tiba-tiba, asumsi yang

pertama karena SCA. Jika ada korban yang lemas atau korban yang

Page 15: REFERAT ANASTESI

mempunyai obstruksi jalan pernapasan dan mengalami kurang kesadaran,

CPR diberikan. CPR dimulai dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan

diteruskan dengan ventilasi. Jika menemukan korban yang tidak responsif

atau tidak bernafas, maka diasumsikan sebagai SCA.

C. BANTUAN HIDUP LANJUT

1. Drugs

Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk

memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta

terapi gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar

memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai

bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan

sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan CBA RJP dan

belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan

langkah DEF.

Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu penting dan berguna.

Obat-obatan yang termasuk penting adalah adrenalin, natrium bikarbonat,

sulfat atropin, dan lidokain. Sedangkan obat-obatan yang berguna adalah

isoproterenol, propanolol, kortikosteroid.

a. Natrium bikarbonat

Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis

awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah

selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu

sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan

karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan

hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi

lagi pemberian dengan dosis yang sama.

b. Adrenalin

Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada

anak- anak. Cara pemberian melalui iv, intratrakeal lewat pipa trakeal

(1 ml adrenalin diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl,

Page 16: REFERAT ANASTESI

berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin). Jika keduanya

tidak mungkin, maka dilakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang

sudah terlatih).

Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut

spontan atau mati jantung. Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa

dan beta dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian

O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.

c. Lidokain

Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia

dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel

selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan

bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau

periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan

iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah

defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel

prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-

100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila

perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya

tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %

larutan (1 mg/ml).

d. Sulfat Artopin

Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan

mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling

berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi

sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis

yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam

interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total

tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3

yang membutuhkan dosis lebih besar.

Page 17: REFERAT ANASTESI

e. Isoproterenol

Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat

karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah

2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml

dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai

kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat

yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.

f. Propranolol

Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti

berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau

fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi

dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang

sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.

g. Kortikosteroid

Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl

prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat)

untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti

jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100

mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan

menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post

aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

2. EKG

Elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan

monitoring.

Page 18: REFERAT ANASTESI

Ventricel Fibrilation Treatment

Page 19: REFERAT ANASTESI

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda

dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

Page 20: REFERAT ANASTESI
Page 21: REFERAT ANASTESI

BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang

mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung. Kompresi dilakukan

terlebih dahulu dalam kasus yang terdapat henti pernafasan atau henti jantung

karena setiap detik yang tidak dilakukan kompresi merugikan sirkulasi darah dan

mengurangkan survival rate korban. Sistem RJP yang dilakukan sekarang adalah

adaptasi dan pembahauan dari pedoman yang telah diperkenalkan oleh Peter Safar

dan kemudiannya diadaptasi oleh American Heart Association.

Menurut Pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC, rekomendasi terbaik

adalah memulai kompresi sebelum ventilasi. 30 kompresi dan kemudian 2

ventilasi. Kompresi dada dilakukan dengan kecepatan 100 sampai 120/menit

dengan kedalaman 2 inci (5 cm) dan tidak lebih besar dari 2,4 inci (6cm).

Page 22: REFERAT ANASTESI

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk

CPR dan ECC. American Heart Association; 2015.

2. American Heart Association 2015. Part 4. Systems of Care & CQI

3. American Heart Association 2015. Part 5. Adult Basic Life Support in

Circulation Journal

4. American Heart Association 2015. Part 11. PBLS & CPR Quality