Upload
tanaya
View
534
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
ALUR DIAGNOSIS ANEMIA
OLEH
NI PUTU SASMITA LESTARI
(08.06.0010)
PEMBIMBING : DR H.KARSITO,SP.PD
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
RSUD R.SOEDJONO SELONG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti
yang kira-kira berdiameter 8µm, tebal bagian tepi 2 µm dan ketebalannya berkurang di
bagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Karena lunak dan lentur maka selama
melewati mikrosirkulasi sel – sel ini mengalami perubahan konfigurasi. Stroma bagian luar
membran sel mengandung antigen golongan darah A dan B serta faktor Rh yang menentukan
golongan darah seseorang.Komponen utama SDM adalah hemoglobin protein (Hb), yang
mengangkut sebagian besar oksigen dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida dan
mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraselular. Molekul-molekul Hb
terdiri atas 2 pasang rantia polipeptida (globin) dan 4 kelompok heme, masing-masing
mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sesuai.
Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah SDM kira-kira 5 juta per milimeter
kubik,masing-masing SDM memilki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap
dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah sehari-hari. Produksi
SDM dirangsang oleh hormon glikoprotein,eritropoietin, yang diketahui terutama bersal dari
ginjal, dengan 10% berasal dari hepatosit hati. Produksi eritropoietin dirangsang oleh
hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan – perubahan tekanan 02 atmosfer,
penurunan kandungan 02 darah arteri, dan penurunan konsentrasi hemoglobin. Eritropoietin
merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan maturasi sel-sel darah merah.
Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan penggunaannya yang
sesuai, seperti vitamin B12, asam folat,protein, zat besi dan tembaga.Dalam keadaan adanya
penyakit ginjal atau tidak adanya ginjal, anemia menjadi sangat berat karena hati tidak dapat
memasok cukup eritropoetin. (Guyton, 2001)
Seiring dengan SDM yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya
pecah. Hemoglobin terutama difagosit di dalam limpa,hati, dan sumsum tulang serta
direduksi menjadi globin dan heme. Globin masuk kembali ke dalam kumpulan asam amino.
Besi dibebaskan dari heme, dan bagian yang lebih besar diangkut oleh protein plasma
transferin ke sumsum tulang untuk produksi SDM. Sisa besi disimpan di hati dan jaringan
tubuh lain dalam bentuk feritin dan hemosiderin untuk digunakan di kemudian hari. Sisa
bagian heme direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan bliverdin. CO diangkut dalam
bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi menjadi bilirubin
bebas yang kemudian perlahan – lahan dilepas ke dalam plasma, tempat bilirubin bergabung
dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel-sel hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli
empedu (Ganong, 1999) Perubahan massa SDM menimbulkan dua keadaan yang berbeda.
Jika jumlah SDM kurang, maka timbul anemia. Sebaliknya, keadaan yang jumlah SDMnya
terlalu banyak disebut polisitemia.
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang
mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik.
Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia terutama anemia ringan seringkali
tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 DEFINISI
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell
count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter
tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan
kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau
hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan
fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium. (Sylvia A.Price, 2005).
II.2 KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar
hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara
fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan
12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda
yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk
perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia
untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik
atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.
Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India
dipakai angka 10-11 g/dl.
II.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih rinci tetntang etiologi
anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :
Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
II.4 PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme
kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7
gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.
II.5 PEMERIKSAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA
Pemeriksaan Laboratorium
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test): 2)
Pemeriksaan darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang
dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi
pada sumsum tulang ( Perl’s stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan
tes Schiling.
Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –
lain.
Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid.
II.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, (disease entire),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia,
tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan.
Pendekatan Diagnosis Anemia
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain adalah
pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.
Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional, dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah
diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif.
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek
morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan
mejadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia
makrositer.Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan
karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan
angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh
penigkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia dan
kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik
(prndekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi yaitu
pola etiologi anemia di suatu daerah.
Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi
besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalasemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa
pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia
defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan
thalassemia. Pada perempuan hamil, anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat
perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada
anak-anak tampaknya thalassemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia
akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali mungkin juga Indonesia, anemia aplastik
merupakan salah satu anemia yang serinf dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu
daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita
pertama-tama.Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.
Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah 1) kecepatan timbulnya penyakit
(awitan anemia), 2) Berat ringannya derajat anemia, 3) Gejala yang menonjol.
Pendekatan Berdasarkan awitan Penyakit
Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan
oleh :1) Perdarahan akut, 2) Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi
penurunan Hb >1 g/dl per minggu. Anemia Hemolitik intravaskular juga sering terjadi
dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia
akibat defisiensi G6PD 3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4) krisis Aplastik pada
anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan – pelan biasanya disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia
defisiensi folat dan vitamin B12, anemia akibat penyakit kronik, anemia hemolitik kronik
yang bersifat kongenital.
Pendekatan berdasarkan Beratnya Anemia
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya
disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, aneia
hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada thalasemia major, anemia pasca
perdarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat
berat ialah anemia akibat penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia
thrait.Jika pada keriga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat,maka harus dipikirkan
diagnosa lain. Atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.
Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.Gejala anemia
dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala
penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik.
Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat
penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih
menonjol.
Pendekatan Diagnosis Berdasarkan Tuntunan Hasil laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik
merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di
bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Algoritme pendekatan diagnosis anemia
Anemia hipokromik mikrositer
Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV,MCH,MCHC)
ANEMIA
Anemia normokromik
normositer
Anemia makrositer
Algoritme Pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
Besi serum
menurun normal
TIBC
FERITIN
TIBC
FERITIN
Feritin normal
Besi sumsum tulang negatif
Ring sideroblast dalam sumsum tulang
Elektroforesis
HbBesi sumsum tulang positif
Hb A2
HbF
Anemia akibat penyakit kronik
Thalasemia beta Anemia sideroblastik
Anemia defisiensi besi
Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer
Algoritme Diagnosis Anemia normokromik normositer
ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER
Retikulosit
Riwayat Perdarahan
Akut
Tanda hemolisis positif
Normal/menurunMeningkat
Sumsum Tulang
Hipoplastik displastik Normalinfiltrasi
AIHA
Tes coomb
positifnegatif
Enzimopati,
Membranopati
Hemaglobinopati
Riwayat keluarga positif
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia pasca perdarahan akut
A.mikroangiopati obat/parasit
Anemia pada leukimia akut/mieloma
Tumor ganas hematologi (leukimia,mieloma)
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Limfoma kanker
Faal hati
Faal ginjal
Faal tiroid
Penyakit kronik
Anemia pada GGK Penyakit Hati Kronik Hipotiroid peny.kronik
Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia normokromik normositer
Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer
ANEMIA MAKROSITER
Meningkat
Sumsum tulang
Megaloblastik
Retikulosit
Normal/Menurun
Non Megaloblastik
Riwayat Perdarahan akut
B12 serum rendah
Faal Tiroid
Asam folat rendah
Anemia Defisiensi Besi/asam folat dalam terapi
Sindrom mielodisplastik
Anemia pada penyakit hati
Anemia pada Hipotiroidisme
Anemia Pasca Perdarahan akut
Displastik
Faal hati
Anemia Defisiensi besi
Anemia Defisiensi asam folat
Gambaran eritrosit pada anemia makrositer
II.7 PENDEKATAN TERAPI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan
yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat
simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan
whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena
itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.
Adapun Anemia yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu seperti
ANEMIA DEFISIENSI BESI
1.Definisi
Anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi (Fe).
2.Etiologi
Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :
a. Berkurangnya asupan Fe
Diet tidak ade kuat
Gangguan absorpsi: aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac
b. Kehilangan Fe
Perdarahan traktus gastrointestinal
Perdarahan traktus urogenitalis
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Tlengiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
c. Meningkatnya Kebutuhan Fe
Anak-anak
Kehamilan
Laktasi
d. Patofisiologi
Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.
Terdapat 3 stadium defisiensi Fe yaitu:
1) Defisiensi Fe pre laten/deplesi Fe
Berkurangnya cadangan Fe tanpa dsertai berkurangnya kadar Fe serum
2) Defisiensi Fe laten
Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah kadar
normal.
3) Anemia defisiensi Fe
Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal.
e. Riwayat Penyakit
Keluhan anemi, lemah badan, mata berkunag-kunang, timbul secara perlahan-lahan
dan menahun, berdebar, dyspnoe d’effort, keluhan gagal jantung.
f. Tanda dan Gejala Klinis
1) Anemia
2) Gangguan fungsi/struktur jaringan epitel : kulit kering,rambut kering tipis,
mudah dicabut, papil atrofi, glositis, stomatitis angular, fisura, disfagia
(sideropenik disfagia, kuku tipis, kusam,koilonycia/spoon nail, Web, striktur
pada mukosa antara hipofaring dan esofagus, atropi lambung, aklorhidria
3) Gangguan neuromuskuler : gangguan fungsi otot, gangguan tingkah laku,
gangguan mempertahankan suhu tubuh di udara dingin, neuralgia, gangguan
vasomotor, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, pseudotumor
serebri.
4) Gangguan imunitas seluluer dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi
g. Laboratorium
1. Apus Darah Tepi :
Eritrosit : hipokrom mikrosier
Lekosit : jumlah biasanya normal, kadang-kadang granulositopenia ringan, pada
perdarahan banyak dapat ditemukan neutrofilik lekositosis, kadang-kadang
terdapat mielosit.
Trombosit : jumlah biasanya meningkat sapai 2 kali normal dan menurun setelah
pengobatan. Pada defisiensi Fe yang berat dan lama yang disertai defisiensi Folat
atau sekuestrasi di limpa dapat ditemukan trombositopenia ringan.
2. Apus sumsum tulang :
Hiperplasia eritropoesis dengan kelompok – kelompok normoblast basofil, Bentuk
pro-normoblast, normoblast kecil-kecil, dengan sitoplasma ireguler, sideroblast
negatif.
3. Nilai absolut menurun
4. Retikulosit menurun
5. Fe serum rendah
6. TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat
7. Feritin menurun
8. Feses :telur cacing Ankilostoma duadenale/ Necator americanus.
9. Pemeriksaan lain: endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi
h. Diagnosis
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan
2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah,TIBC tinggi, nilai
absolut menurun, saturasi transferin menurun
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
i. Terapi
1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi
Fe,terapi Fe.
2. Terapi Fe
Oral
Dosis : 200mg Fe/hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan lambung
kosong
Efek samping : iritasi gastro intestinal: heart burn, nausea, diare.
Bermacam-macam Preparat Fe
Preparat Dosis (mg) Kandungan Fe
(mg)
Dosis/hari
Fe sulfat 300 60 3 tab
Fe glukonat 300 73 5 tab
Fe fumarat 200 67 3 tab
300 100 2 tab
Kompleks Fe
polisakarida
150 150 2 tab
Parenteral
Indikasi:
o Tidak dapat mentoleransi Fe oral
o Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi
dengan Fe oral.
o Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan
pemberian oral (colitis ulserativa)
o Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal
o Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa
Preparat : kompleks Fe dekstran, mengandung 50 mg Fe/cc
j. Prognosis
Baik apabila sumber perdarahan dapat diatasi dan terapi Fe adekuat.
ANEMIA APLASTIK
a. Definisi
Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia sumsum
tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik.
b. Etiologi
1. Didapat
Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen,arsen, sulfur, nitrogen mustard,antimetabolit, antimitotik :kolsisin,
daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,kuinakrin,
metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon,senyawa emas.
Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV,Dengue
Infeksi mikobakterium
Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
c. Patofisiologi
Kegagalan Produksi eritrosit, lekosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada
anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh:
1. Defek kualitatif populasi stem cell
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)
3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factor atau supresi imun
d. Riwayat penyakit
o Riwayat terpapar zat kimia, obat-obatan,radiasi, virus
o Gejala anemi : pusing,lemah badan, berkunang-kunang, berdebar,pucat, ssak nafas
/gagal jantung
o Gejala infeksi: demam,batuk, dan lain-lain, terjadi di semua organ
e. Tanda dan gejala klinik
o Anemi
o Tanda-tanda infeksi: demam dan sebagainya
o Perdarahan : ptekie, purpura, perdarhan gusi dan sebagainya
o Tidak ada pembesaran organ/infiltrasi
f. Diagnosis
o Pansitopenia Perifer
o Anemia normokrom normositer
o Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak
o Ham’s test perlu dilakukan karena PNH dapat memperlihatkan pansitopenia perfer
dengan sumsum tulang yang hipoplastik
Kriteria anemia aplastik berat (International Aplastic Anemia Study Group)
Darah tepi :
Netrofil < 500 mm3
Trombosit < 20.000/ mm3
Retikulosit < 1% (setelah koreksi)
Sumsum tulang :
Hiposelularitas berat (selularitas <25%)
Hiposelularitas sedang (selularitas <50%) dengan sel hematopoietik < 30 %
Anemia Aplastik Berat : 2 atau 3 kriteria darah tepi dan 1 kriteria sumsum tulang.
g. Diagnosis banding
Pansitopenia dengan sebab lain :
Penyakit yang menginfiltrasi sumsum tulang : leukimia, mieloma multipel,
metastase karsinoma, limfoma, mielofibrosis.
Penyakit yang mengenai limpa : splenomegali kongestif, limfoma, penyakit
infiltratif, infeksi : tuberkulosis,sifilis, kala azar.
Defisiensi B12 dan asam folat
SLE
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
h. Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab
2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik, sikat gigi
lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat anovulation.
3. Transfusi
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
6. Imunosupresif
7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang
i. Prognosis
Tergantung tingkat hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek. Pada umumnya
penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat komplkasi transfusi.
Anemia aplastik konstitusional biasanya fatal. Anemi Aplastik karena virus hepatitis
mempunyai mortalitas >60% dalam 2 bulan setelah diagnosis. Anemi aplastik karena obat
/toksin mempunyai prognosis lebih baik.
Perjalan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,25% selama
4-12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun dan 10-20% penderita mengalami perbaikan
spontan (parsial/komplit).
Dengan transplantasi sumsum tulang, kelangsungan hidup 6 tahun mencapai 72%,
sedangkan dengan terapi imunosupresif mencapai 45%.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
a. Definisi
Anemia yang disebabkan abnormalitas hematopoiesis dengan karakterisitik dismaturasi
nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
b. Etiologi
1. Defisiensi asam folat
Asupan kurang:
Gangguan Nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
Malabsorbsi : alkoholisme, celiac,dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, rseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat
antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
Peningkatan Kebutuhan :kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia
pernisiosa, anemia sideroblastik, leukimia, anemia hemolitik,, mielofibrosis)
Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,
pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.
Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,
hepatoma.
2. Defisiensi vitamin b12 :
Asupan kurang : vegetarian
Malabsorbsi :
o Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi total (parsial, gastritis
atropikan, tropical sprue, blind loop syndrome (operasi striktur,
divertikel, reseksi ileum), penyakit Crohn’s, parasit (Diphyllobothrium
latum), limfoma usus halus, skleroderma, obat-obat (asam
paraaminosalisilat, kolsisin, neomisin, etanol, KCl)
o Anak-anak: anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik
lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, gangguan reseptor
kobalamin di ileum.
Gangguan metabolisme seluluer : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida yang
berlangsung lama.
c. Patofisiologi
Absorbsi B12 (kobalamin) di ileum memerlukan faktor intrinsik yaitu glikoprotein
yang disekresi lambung, faktor intrinsik akan mengikat 2 molekul kobalamin. Pada orang
dewasa, intrinsik faktor dapat berkurang karena adanya atropi lambung (gastritis
atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang
mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi
metlonin intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel,
Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekursor timidilat yang selanjutnya
mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut Methylfolate trap hypothesis harena
defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5 metil tetrahidrofolat.
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan proprionat
menjadi suksinil co A yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf
pusat. Proses demielinisasi ini menyebabkan kelainan medula spinalis dan gangguan
neurologis.
Sebelum diabsorbsi, asam folat (pteroyglutamic acid) harus diubah menjadi bentuk
monoglutamat. Bentuk folat tereduksi yaitu tetrahidrofolat (FH4) merupakan koenzim
aktif. Defisiensi folat menyebabkan penurunan FH4 intrasel yang akan menggangu sintesis
timidilat dan selanjutnya mengganggu sintesis DNA.
d. Riwayat Penyakit
Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,
diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan secara perlahan-
lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan,
Pada defisiensi B12 diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset
gejala,biasanya didapatkan triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan
berjalan.
e. Tanda dan gejala klinik
Umumnya terjadi pada usia pertengahan dan usia tua.
o Pada defisiensi B12, terdapat 3 manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis,
dan neuropati.
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateral medulla spinalis, korteks serebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut suacute combined degeneration / combined system disease.
Manifestasi Gangguan Neurologis pada Defisiensi Besi :
Kalsifikasi Gejala Pemeriksaan Fisik Lesi
Ringan Parestesi Normal/gangguan
rasa raba dan suhu
Saraf perifer,
kolumna dorsalis
Sedang Kelemahan
unsteady gait,
clums iness
Gangguan rasa
vibrasi dan posisi
Kolumna dorsalis
Berat Kelemahan berat
spastisitas
Hiperrefleksia
klonus, refleks
Babinski
Kolumna dorsalis
dan lateralis
Pada defisiensi B12 dapat diremukan (gangguan mental, depresi, gangguan
memori, gangguan kesadaran, delusi,halusinasi, paranoid,skizopren,. Gejala
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostastik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.
o Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis
f. Laboratorium
Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi
dengan granula kasar (Glant Stab-cell)
Trombositopenia ringan (rata-rata 100-150x103/mm3)
Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik
Pada defisiensi B12 :
Serum kobalamin rendah (<100 pg/mL)
Schiling test : radiobeled B12 absorption test akan menunjukkan absorbsi
kobalamin yang rendah yang menjadi normal dengan pemberian faktor
intrinsik lambung.
Cairan Lambung : sekresi berkurang, rata-rata 15ml/jam (kira-kira 10%
normal), aklorhidira,pH >6
Masa hidup eritrosit berkurang,rata-rata 20-75 harri
LDH meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit akibat eritropoesis
yang tidak efektif di sumsum tulang.
MCV: pada anemia ringan berkisar antara 100-110 fl, pada anemia berat
berkisar antara 110-130 fl.
Pada defisiensi asam folat :
Penurunan kadar folat serum (3-5 ng/mL)
Biopsi jejunum
g. Diagnosis
Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati
Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan leukosit
agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Glant stab-cell, retikulosit
menurun
Sumsum tulang, hiperseluluer dengan sel-sel eritroblast yang besar (megaloblast),
Giant stab-cell.
Pada anemia pernisiosa : Schilling test (+)
h. Diagnosis Banding
Leukemia akut
Anemia hemolitik (pada krisis hemolitik)
Anemia aplastik
Eritremik mielosis/eritroleukemia
Penyakit hati yang berat
Hipotiroidisme
Nefritis kronis
i. Terapi
1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia, suspensi bila trombositopenia mengancam jiwa
2. Defisiensi B12 :
a. Sianokobalamin :
Dosis : 100 µg IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dan ada respon
retikulosit dalam 1 minggu, dosis diturunkan 100 µg Imselang sehari sebanyak 7
dosis, kemudian tiap 3-4 hari selama 2-3 minggu (dosis total 1,8-2 mg B 12 dalam 5-
6 minggu). Pada saat ini kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah
kelainan hematologis normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin
100 µg IM/bulan seumur hidup.
b. Hidroksobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari setelah ineksi,
hidroksobalamin diretensi 3 kali lebih banyak daripada sianokobalamin.
Preparat : 100µg/mL, 1000 µg/mL
Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu
Atau
1000 µg setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan
Respon terapi terhadap vitamin B12 dan folat :
Gejala klinis membaik sebelum didapatkan perubahan hematologis. Respon awal
adalah peningkatan retikulosit pada hari ke 2-3 dan maksimum pada hari ke 5-8,
dapat ditemukan normoblast pada apus darah tepi. Peningkatan hematokrit terjadi
setelah 5-7 hari terapi. Pada anemia tanpa komplikasi, hematokrit terjadi normal
dalam 4-8 minggu. Hipersegmenrasi lekosit berkurang secara bertahap secara
bertahap dan menghilang dalam 14 hari. Trombosit normal dalam waktu 1 minggu.
Pada sumsum tulang, eritropoiesis membaik dalam 24 jam terapi. Setelah 6-10jam
terapi megaloblast berkurang dan dalam 24-48 jam maturasi eritrosit menjadi
normoblastik.
3. Defisiensi asam folat :
Untuk mengisi cadangan folat dalam tubuh, diperlukan dosis 1 mg/hari selama 2-3
minggu, kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari. Apabila diperlukan
pemakaian difenilhidantoin dalam waktu lama,diperlukan asam folat 0,5-2 mg/hari.
4. Terapi Penyakit Dasar
5. Menghentikan obat-obatan penyebab anemia megaloblastik
j. Prognosis
Baik,kecuali bila tidak ada komplikasi kardiovaskuler atau infeksi yang berat.
Sebelum adanya terapi efektif, anemia pernisiosa biasanya fatal dengan mortalitas 53%
dalam bulan pertama. Pada beberapa kasus, penyakit dapat mengalami remisi dan relaps
dengan jangka waktu dan berat penyakit bervariasi selama 1-3 tahun. Setelah terapi relaps
terjadi bervariasi antara 21-213 bulan. Remisi didapatkan pada 86% penderita, beberapa
penderita bertahan hidup selama 14-20 tahun.
ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIS
a. Definisi
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,
peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak
disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.
b. Etiologi
Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti
infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3
abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses
terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan
termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut
oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor
Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1
menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalamsirkulasi
terhambat, produksi protein fase akut (PFA),lekositosis dan demam. Hal itu dikaitkan
dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan
eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang,sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan
makrofag menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF-α juga berasal dari
makrofag berefek sama yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin.
IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan
ke dalam darah.
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF-α dan
IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti
C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula
perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan
di sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan
penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan
prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi
meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan transferin, albumin
dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses
inflamasi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan
parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia
penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin
yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang
sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena
kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.
d. Gambaran klinik
Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-
2 bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat
ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang
dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada
pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat
dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi,angina pektoris dan gangguan
serebral.
e. Laboratorium
Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, transferin, saturasi
transferin dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau
meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normla. Berbeda
dengan defisiensi besi yang kadar total protein pengikat besi meningkat, sedangkan feritin
menurun, dan kadar reseptor transferin menigkat.
f. Diagnosis
1. Tanda dan gejala klinis yang dapat dijumpai seperti kelelahan,lemah ,berdebar-debar
dan lain-lain
2. Pemeriksaan laboratorium :
Derajat anemia,biasanya ringan sampai sedang
Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau
mikrositik ringan.
Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl)
Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)
TIBC menurun (<250 mug/dL)
Jenuh transferin (saturasi transferin) menurun (<20 %)
Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan
membaik.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu anemia akibat penyakit kronis, antara lain :
1. Rekombinan eritropoetin (EPO), dapat diberikan pada pasien-pasien anemia penyakit
kronis yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Aquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) dan Inflamatory Bowel Disease.Dosisnya dapat dimulai 50-100
unit/ Kg,3xseminggu, pemberiannya secara intra vena (IV),atau subcutan (SC).
2. Transfusi darah berupa Packed Red Cell (PRC), dapat diberikan bila anemianya telah
memberikan keluhan atau gejala.Tetapi ini jarang diberikan karena anemianya jarang
sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang.Diberikan pada pasien
anemia penyakit kronik dengan penyakit dasar artritis temporal, reumatik dan
polimialgia.Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala-
gejala polimialgia akan segera ilang dengan cepat.
4. Kobalt klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronis.cara kerjanya
yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi karena efek toksiknya obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis).
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain adalah
pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.
Pemeriksaan untuk diagnosis anemia meliputi pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
penyaring, pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang dan pemeriksaan
khusus.
Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan : Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg, Anemia
normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg, Anemia makrositer bila
MVC > 95 fl.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf diakses pada tanggal 13
desember 2012
Mansjoer Arif dkk.,2001, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculaplus.
Panjaitan,Suryadi,2003, Beberapa Aspek Penyakit Kronis pada usia lanjut.Medan : Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Price Sylvia A,dkk, 2005,Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC
Sudoyo Aru W.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi . Jakarta: FK
UI
Sumantri,Rahmat,dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi
Medik. Bandung : FK Unpad