Upload
wagigtn
View
672
Download
31
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ATRESIA ANI
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang terbanyak pada
daerah anorektal. Insidensinya adalah 1 dari 4000 hingga 5000 kelahiran
hidup. Isidensi pada laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada
perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler.
Sampai sekarang atresia ani masih dalam perdebatan, baik mengenai
klasifikasi maupun penatalaksanaannya. Beberapa ahli mencoba
mengklasifikasikan atresia ani serta memperkenalkan teknik operasi terbaik.
Klasifikasi Wingspread pada pasien atresia ani, yaitu atresia ani letak tinggi,
intermediet, dan rendah saat ini banyak ditinggalkan karena tidak mempunyai
aspek terapetik dan prognostik.
Klasifikasi Pena yang membagi atresia ani letak tinggi dan rendah
lebih banyak dipakai karena mempunyai aspek terapi. Penatalaksanaan atresia
ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan
kolostomi sebagai tindakan bedah awal untuk diversi dan dekompresi, pada
tahap berikutnya dilakukan anoplasti. Prosedur abdominoperineal
pullthrough yang beberapa waktu lalu dikembangkan dengan tujuan untuk
memudahkan identifikasi dan melindungi otot levator, saat ini banyak
ditinggalkan karena menimbulkan inkontinensia feses dan prolap mukosa
usus.
1
Pena dan de Vries pada tahun 1982 memperkenalkan metode dengan
pendekatan posterosagittal anorectoplasty yaitu dengan cara membelah
muscle complex dan parasagittal fibre untuk memudahkan mobilisasi
kantong rektum dan pemotongan fistula. Sejak saat itu posterosagittal
anorectoplasty menjadi metode operasi pilihan para dokter bedah di seluruh
dunia, karena hasil operasi yang baik dan hampir semua bentuk kelainan
anorektal dapat dikerjakan dengan metode operasi pilihan ini.
B. Perumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang akan dirumuskan adalah:
1. Berapa jumlah pasien atresia ani dan bagaimana distribusinya berdasarkan
usia dan jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
periode Januari 2008 - Desember 2012?
2. Bagaimana penatalaksanaan pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Desember 2012?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jumlah pasien atresia ani dan distribusinya berdasarkan usia
dan jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
periode Januari 2008 – Desember 2012.
2. Mengetahui penatalaksanaan pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Desember 2012.
2
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi data ilmiah terkait dengan
jumlah pasien atresia ani dan distribusinya menurut umur dan jenis kelamin
serta penatalaksanaan pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto periode Januari 2008 – Desember 2012.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus
tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan
atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
B. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang
ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir
usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi
endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah
pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka
(Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu
septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini
tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan,
yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis
anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai
membran kloaka, dan di daeraah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran
4
kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan
membran urogenitalis di depan (Sadler T.W, 1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol
mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu
ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia
luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh
pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi,
sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm
dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis.
Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng
(Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut
dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian
bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta
pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum,
appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari
endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk
mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan
perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali
letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra
levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada
anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal.
5
Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau
rudimenter (Faradilla, 2009).
C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum
sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya
hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's
syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-
macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata
lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
D. Patofisilogi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
6
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila
kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektouretralis) (Faradilla, 2009).
E. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia
ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki
– laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia
rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm
dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit.
Gambar 2.1 Gambaran Atresia Ani pada lali-laki (Levitt M, 2007)
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan
yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,
fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II
7
pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis
anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Levitt
M, 2007).
Gambar 2.2 Gambaran Atresia Ani pada perempuan (Levitt M, 2007)
F. Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu
24-48 jam. Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat
dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah
dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga
feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana
ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi
dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University of
Michigan, 2009).
8
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% -
60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang
lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan
tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
9
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri
sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,
Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) ( Oldham K, 2005).
G. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan :
1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan
cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan
definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut
letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-
10
laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP
tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan
kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram:
apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,
apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka
kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka
kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen
setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara
Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan
kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar
udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan
gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada
pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal
dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007).
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan
fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan
selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa
11
keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini
dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur
otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.
Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus
otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-
24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan
apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy
(Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle"
(skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus
(tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan
prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
yang dikutip oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan
pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah
12
muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan
mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas
otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
13
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak
lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,
muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama
penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai
makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam
keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat
dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak
ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila
tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera
dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang
buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi.
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi
sangat sempit.
14
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan
terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari
kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi
tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke
vesika urinaria.
Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena
fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada
perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm
dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat
anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak
bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama
dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan
udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan
pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).
15
I. Komplikasi post operasi PSARP
Kematian pascaoperasi PSARP pada atresia ani jarang, biasanya
disebabkan oleh kelainan kongenital mayor yang menyertai. Komplikasi
mayor membutuhkan reoprasi dan kasus yang paling sering adalah repair
kloaka. Komplikasi minor yang sering terjadi adalah infeksi perineal,
dehisensi luka operasi, trauma uretra atau vagina, dan trauma pada saraf
daerah pelvis. Komplikasi lanjut yang sering terjadi adalah stenosis ani,
prolaps mukosa rektum, dan fistula yang rekuren.
J. Penatalaksanaan post operasi PSARP
Pemberian antibiotik intravena selama 3 hari, salep antibiotik
diberikan selama 8 – 10 hari. 10 hari post operasi dilakukan anal
dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan
anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran
ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14
mudah masuk. Dilatasi anus bisa dilakukan oleh orang tua di rumah,
mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk
selama 2–3 bulan berikutnya. Penutupan kolostomi dapat dilakukan 2–3
bulan setelah pembedahan definitif (Saxena, 2004).
Umur Ukuran Frekuensi Dilatasi1-4 bulan 12 Tiap 1 hari 1 x dalam 1 bulan4-12 bulan 13 Tiap 3 hari 1 x dalam 1 bulan
8 – 12 bulan 14 Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan1-3 tahun 15 Tiap 1 minggu 1 x dalam 1 bulan3-12 tahun 16 Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
16
Untuk menilai fungsi anus , digunakan sistem skroring Klotz yaitu :
Variabel Kondisi Skor1. Defekasi 1-2 x sehari 1
2 hari sekali 13-5 x sehari 23 hari sekali 2
> 4 hari sekali 32. Kembung Tidak pernah 1
Kadang – kadang 2Terus menerus 3
3. Konsistensi Normal 1Lembek 2Encer 3
4. Perasaan ingin BAB Terasa 1Tidak terasa 3
5. Soiling Tidak pernah 1Terjadi bersama flatus 2
Terus menerus 36. Kemampuan menahan feses
yang akan keluar>1 menit 1
<1 menit 2Tidak bisa menahan 3
7. Komplikasi Tidak ada 1Komplikasi minor 2Komplikasi mayor 3
Nilai skoring 7 – 21
7 = Sangat baik
8-10 = Baik
11-13 = Cukup
>14 = Kurang
K. Pencegahan komplikasi post operasi PSARP
Tindakan pencegahan timbulnya komplikasi paska tidakan defenitif
PSARP adalah perawatan luka secara baik dan benar sehingga mengurangi
resiko infeksi, melalukan dilatasi rutin pada anus dengan cara colok dubur,
konsumsi makanan bergizi dan menghindari makanan yang mudah
menyebabkan konstipasi.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental
menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan cross
sectionaluntuk mengetahui distribusi frekuensi dan penatalaksanaan atresia
ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Subjek penelitian
adalah pasien dengan diagnosis atresia ani yang masuk ke RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto, periode Januari 2008 sampai Desember 2012.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi yang menjadi target penelitian adalah semua pasien dengan
atresia ani
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalalah pasien dengan atresia
ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto.
2. Sampel
Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yaitu pasien
dengan atresia ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
18
a. Kriteria inklusi dan eksklusi
1) Kriteria inklusi meliputi:
Pasien atresia ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto
2) Kriteria eksklusi
Pasien yang menolak dilakukan tindakan operasi dan data rekam
mediknya tidak ditemukan
b. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, yaitu
pengambilan seluruh sampel pada populasi terjangkau (Budiarto,
2003).
c. Besar sampel
Berdasarkan informasi dari rekam medik, diperoleh data bahwa
populasi terjangkau sebesar 91 pasien
C. Pengumpulan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan
cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien atresia ani yang masuk
ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode Januari
2008 sampai Desember 2012. Data rekam medik pasien diambil dari bagian
Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pengambilan
data dilakukan pada bulan Mei 2013. Rekam medis dikumpulkan, dianalisis,
dan dilakukan tabulasi sehingga dapat diketahui distribusi frekuensi umur,
jenis kelamin, dan penatalaksanaan.
19
D. Tata Urutan Kerja
1. Pengambilan data sekunder pasien dengan diagnosis trauma thoraks di
rekam medik pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Tahap pengolahan dan analisis data.
3. Tahap penyusunan laporan.
E. Analisis Data
Data yang telah terkumpul dari bagian rekam medik akan diolah dan
dianalisis secara deskriptif. Analisis data yang digunakan adalah metode
analisis univariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan
masing-masing variabel berupa distribusi frekuensi dan persentase pada
setiap variabel seperti umur, jenis kelamin, dan penatalaksanaan. Analisa data
secara deskriptif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2013 di bagian Rekam
Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Jumlah Tolal Kasus Atresia Ani
Sampel penelitian ini berasal dari pasien atresia ani di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Penelitian dilakukan selama
9 hari. Penelitian dimulai pada tanggal 2 Mei 2013 sampai dengan 10
Januari 2013. Jumlah yang diambil dari pasien atresia ani di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto adalah 91 sampel. Jumlah
pasien yang dieksklusi sebanyak 17 sampel, 7 sampel karena data
rekam mediknya tidak ditemukan, 6 sampel karena bukan merupakan
pasien atresia ani dan 4 lainnya karena menolak operasi sehingga
diperoleh 74 sampel penelitian.
Dari data rekam medis didapatkan jumlah total kasus atresia ani
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008
sampai Desember 2012 seperti pada tabel 4.1 berikut
Tabel 4.1 Jumlah total Kasus Pasien Atresia Ani di RSMS Purwokerto Periode
Januari 2008 – Desember 2012
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
Jumlah Kasus 17 16 16 16 9 74
Dari tabel di atas di ketahui bahwa jumlah total pasien atresia
ani sebanyak 74 pasein dan yang terkecil adalah pada tahun 2012.
21
2. Karakteristik sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin / Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 Total
Laki laki10 10 12 9 6 47
58,8% 62,5% 75% 56,3% 66,7% 63,5%
Perempuan7 6 4 7 3 27
41,2% 37,5% 25% 43,7% 33,3% 36,5%
Jumlah17 16 16 16 9 74
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel diatas diketahui bahwa proporsi pasien atresia ani
berdasarkan jenis kelamin lebih di dominasi oleh laki-laki sebayak 47
pasien (64%).
3. Karakteristik sampel berdasarkan Usia
Tabel 4.3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Usia
Usia/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
< 1 Tahun15 16 15 15 6 67
88,2% 100% 93,8% 93,8% 66,7% 90, 6%
1-5 Tahun2 0 1 1 1 5
11,8% 0% 6,2% 6,2% 11,1% 6,7%
6-12 Tahun0 0 0 0 2 2
0% 0% 0% 0% 22,2% 2,7%
Jumlah17 16 16 16 9 74
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel di atas diketahui bahwa proporsi pasien atresia ani
berdasarkan usia dengan jumlah tertinggi di dominasi oleh usia <1
tahun sebanyak 67 pasien (90,6%). Sedangkan untuk jumlah terendah
terdapat pada usia 6-12 tahun sebanyak 2 pasien (2,7%).
22
4. Jenis Atresia Ani
Tabel 4.4 Jenis Atresia Ani
Jenis/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 TotalAtresia Ani Letak Rendah1. Tanpa fistel 3 1 2 0 3 9
17, 7% 6,2% 12,5% 0% 33,3% 12,3%2. Dengan fistel
a. Retrovagina1 0 1 1 0 3
5,8% 0% 6,2% 6,2% 0% 4,1%
b. Retroperineal0 1 0 0 0 1
0% 6,2% 0% 0% 0% 1,3%Atresia Ani Letak Tinggi1. Tanpa fistel 11 13 10 14 4 52
64,7% 81,2% 62,5% 87,5% 44,4% 70,3%2. Dengan fistel
a. Retrovagina0 1 1 0 1 3
0% 6,2% 6,2% 0% 11,1 4,1%
b. Retrovestibular2 0 2 1 1 6
11,7% 0% 12,5% 6,2% 11,1 8,1%
Jumlah17 16 16 16 9 74
100% 100% 100% 100% 100% 100 %
Dari tabel di atas didapatkan data bahwa pada tahun 2008,
jumlah pasien terbanyak didominasi oleh pasien dengan atresia ani letak
tinggi tanpa fistel, yaitu sebanyak 11 pasien (64,7% dari jumlah total
pasien atresia ani tahun 2008), pada tahun 2009 sebanyak 13 pasien
(81,2% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2009), pada tahun
2010 sebanyak 10 pasien (62,5% dari jumlah total pasien atresia ani
tahun 2010), pada tahun 2011 sebanyak 14 pasien (87,5% dari jumlah
total pasien atresia ani tahun 2011) dan pada tahun 2012 sebanyak 4
pasien (44,4% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2012).
23
Secara umum, dari seluruh pasien atresia ani tahun 2008-2012,
kasus terbanyak merupakan kasus atresia ani tanpa disertai fistel, yaitu
sebanyak 52 pasien (70,3%).
5. Penatalaksanaan Atresia Ani
Tabel 4.5 Penatalaksanaan Atresia Ani
Jenis/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
1. Anoplasti3 1 2 0 2 8
17,7% 6,2% 12,5% 0% 22,2% 10,8%
2. Colostomi8 7 5 10 3 33
47% 43,7% 31,2% 56,2% 33,3% 44,5%
3. Sigmoidestomi2 2 0 3 0 7
11,7% 12,5% 0% 17,7% 0% 9,4%
4. PSARP0 2 1 0 2 5
0% 12,5% 6,2% 0% 22,2% 6,7%
5. Colostomi, PSARP 2 2 8 3 1 16
11,7% 12,5% 50% 17,7% 11,1% 22,6%6. Sigmoidestomi,
PSARP2 2 0 0 0 4
11,7% 12,5% 0% 0% 0% 5,4%
7. PSARP, Businasi0 0 0 0 1 1
0% 0% 0% 0% 11,1% 1,3%
Jumlah17 16 16 16 9 74
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar pasien atresia
ani ditangani pembedahan secara colostomy yaitu sebesar 33 pasien
(44,5%) dan pembedahan lengkap (colostomy, PSARP dan tutup
colostomy) yaitu sebanyak 16 pasien (22,6%).
6. Kondisi pasien saat keluar RSMS
Tabel 4.6 kondisi pasien saat keluar RSMS
2008 2009 2010 2011 2012 Total
Hidup17 15 15 11 9 67
100% 93,7% 93,7% 68,7% 100% 90,6%
Meninggal 0 1 1 5 0 7
24
0% 6,3% 6,3% 31,3% 100% 9,4%
Jumlah17 16 16 16 9 74
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel diatas diketahui bahwa hamper seluruh pasien pulang
dalam keadaan hidup yaitu sebanyak 67 pasien (90,6%), hanya 7 pasien
(9,3%) yang pulang dalam keadaan meninggal dan yang terbanyak pada
tahun 2011 yaitu 5 pasien (31,3%).
B. Pembahasan
Jumlah kasus pasien yang mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2008 sampai dengan Desember
2012 yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 74 pasien. Jumlah kasus
di tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan
tahun 2008 sampai dan dengan 2011. Jumlah kasus paling sedikit adalah
pada tahun 2012 sebanyak 9 pasien, sedangkan jumlah terbanyak pada tahun
2008 sebanyak 17 pasien. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak
terkena atresia ani terbukti dengan jumlah penderitanya sebanyak 47 pasien
(63,5%). Sedangkan untuk usia, kisaran usia <1 tahun paling banyak
dilakukan tindakan pembedahan terbukti dengan jumlah pasien sebanyak 67
pasien (90,6%).
Jumlah kasus atresia ani berdasarkan jenisnya maka pasien yang
mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
dari Januari 2008 sampai dan dengan Desember 2012 lebih di dominasi oleh
pasien atresia ani letak tinggi tanpa disertai fistel yaitu sebanyak 52 pasien
25
(70,3%). Jumlah kasus terbanyak 2011 yaitu sebanyak 14 pasein (87,5%)
sedangakan jumlah kasus paling sedikit tahun 2012 yaitu sebanyak 4 pasein
(44,4%).
Secara umum, jumlah sampel yang mendapat penatalaksanaan
pembedahan anoplasti sebanyak 8 pasien (10,8%), colostomi sebanyak 33
pasien (44,5%), sigmoidestomi sebanyak 7 pasien (9,4%), PSARP sebanyak
5 pasein (6,7%), colostomy, PSARP sebanyak 16 pasien (22,6%),
sigmoidestomi, PSARP sebanyak 4 pasien (5,4%,), PSARP, businasi
sebanyak 1 pasien (1,3%).
Dari 74 sampel yang diambil dari tahun 2008- 2012, kondisi pasien
yang keluar RSMS dengan kondisi meninggal sebanyak 7 pasien (9,3%)
dibandingkan dengan yang keluar RSMS dengan konsidi hidup sebanyak 67
pasien (90,6%).
26
BAB V
KESIMPULAN
1. Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus
tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum
dan atresia rectum
2. Atresia ani dapat disebabkan karena, putusnya saluran pencernaan
di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur, gangguan organogenesis dalam kandungan, berkaitan dengan
sindrom down.
3. Atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis
kelamin yaitu golongan I dan golongan II.
4. Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani adalah perut
kembung, muntah, tidak bisa buang air besar.
5. Diagnosis atresia ani dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang teliti.
6. Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya.
7. Jumlah kasus pasien yang mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2008 sampai dengan
Desember 2012 yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 74
pasien.
8. Jumlah kasus atesia ani berdasarkan jenis kelamin, lebih didominasi
oleh laki-laki yaitu sebanyak 47 pasien (63,5%).
27
9. Jumlah kasus atresia ani berdasarkan uasia lebih di dominasi oleh
usia kisaran < 1 tahun yaitu sebanyak 67 pasien (90,6%).
10. Jumlah kasus berdasarkan jenis atresia ani lebih didominasi oleh
letak tinggi tanpa disertai fistel, yaitu sebanyak 52 pasien (70,3%).
11. Jumlah kasus berdasarkan jenis pembedahan lebih didominasi oleh
pasien atresia ani dengan pembedahan secara colostomy yaitu
sebesar 33 pasien (44,5%) dan pembedahan lengkap (colostomy,
PSARP dan tutup colostomy) yaitu sebanyak 16 pasien (22,6%).
12. Kondisi pasien setelah keluar RSMS dengan kondisi meninggal
lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien yang pulang dalam
kondisi hidup yaitu sebanyak 7 pasien (9,3%).
28
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Anorectal Malformation A parent’s Guide. Departement of Paediatric Surgery Starship Hospital Auckland, 2006. http://www.starship.org.nz/General%20Surgery%20PDFs/anorect.pdf [diakses 18 Mei 2013]
Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net. [diakses tanggal 18 Mei 2013].
Budiarto, E. 2003.Metodologi Penelitian Kedokteran. EGC, Jakarta. 1-230 hal.
Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-579.
Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau. Available from: (http://www.Files-of-DrsMed.tk. [diakses 19 mei 2013]
FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006. [diakses18 Mei 2013].
Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar ilmu bedah. editor, Peter J,.-Ed.2.-Jakarta : EGC.
Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition. Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2) 2006; 151-154 http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 18 Mei 2013]
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 18 Mei 2013]
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. 79
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434
29
Saxena A.K, Morcate J. Schleef J, Reich A, Willital G.H. Rectal atresia, choanal atresia and congenital heart disease: A rare association. Pediatric Surgical University Clinic, M¨unster, Germany, 2004
University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University of Michigan.http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalformation [diakses 18 Mei 2013]
30