Upload
hikariii
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kecemasan merupakan pengalaman emosional yang berlangsung singkat
dan merupakan respon yang wajar pada saat individu menghadapi suatu tekanan
atau peristiwa yang mengancam hidupnya. Istilah kecemasan dalam psikiatri
muncul untuk merujuk suatu respon mental dan fisik terhadap situasi yang
mengancam dan menakutkan. Kecemasan secara mendasar lebih merupakan
respon fisiologis sehingga seorang yang cemas tidak harus abnormal dalam
perilakunya (Semiun, 2006).
Respon kecemasan yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan
kecemasan. Dari aspek klinis kecemasan dapat dijumpai pada orang yang
menderita stres, sakit fisik (berat, lama dan kronik), orang dengan gangguan
psikiatrik berat (skizofrenia, gangguan bipolar dan depresi), dan pada penyakit
yang berdiri sendiri yang dinamakan gangguan kecemasan (Wiramihardja, 2005).
Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan
tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus (berlebihan), tidak
menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala,
berkeringat, palpitasi, gelisah dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu yang
ditemui selama kecemasan berlangsung cenderung bervariasi pada setiap orang
(tidak sama). Gangguan kecemasan merupakan salah satu penyakit tersering
dalam ilmu kejiwaan (Nasional Institute of Mental Health, 2009).
Terdapat beberapa jenis gangguan kecemasan, diantaranya adalah
gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, fobia
sosial atau gangguan kecemasan sosial, fobia spesifik dan gangguan kecemasan
menyeluruh. Dari beberapa jenis gangguan kecemasan tersebut, yang mempunyai
prevalensi terbanyak adalah Diffuse Anxiety Disorder (gangguan kecemasan
menyeluruh) (Nasional Institute of Mental Health, 2009).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) –
IV yang termasuk Diffuse Anxiety Disorder (DAD) atau gangguan kecemasan
menyeluruh adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan yang berlebihan dan
1
menetap sekurang-kurangnya selama enam bulan dan mengenai sejumlah kejadian
atau aktivitas disertai berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi-fungsi lainnya (Hazlett, 2008).
Gangguan cemas merupakan kelompok gangguan psikiatri yang paling
sering ditemukan. National Comorbiloty Study (NCS) melaporkan bahwa satu
diantara empat orang memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan cemas
dan terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7%. Perempuan (prevalensi
seumur hidup 30,5%) lebih cenderung mengalami gangguan cemas daripada laki-
laki (prevalensi seumur hidup 19,2%). Prevalensi gangguan ansietas menurun
dengan meningkatnya status sosio-ekonomi. (Hoge, 2004).
Tingkat DAD dilaporkan dalam studi prevalensi di negara-negara lain
telah bervariasi tetapi umumnya sama dengan yang dilaporkan dalam NCS. Di
Belanda, tingkat lalu-bulan 0,8% dan tingkat seumur hidup sebesar 2,3%
dilaporkan untuk DAD seperti yang didefinisikan oleh kriteria DSM-III-R
(Wittchen, 1994). Di Australia, 2,8% dari subyek wawancara di masyarakat
umum memenuhi kriteria DSM-IV untuk Diffuse Anxiety Disorder dalam 30 hari
sebelumnya (Hunt, 2002).
Kebanyakan dari penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita
DAD. Dampak DAD sendiri cukup besar dalam kehidupan sehari-hari dan sangat
mengganggu aktivitas bagi penderitanya. DAD secara tidak langsung juga
memiliki dampak yang besar secara ekonomi dan mempengaruhi pengeluaran.
Pembuatan referat mengenai “Diffuse Anxiety Disorder” ini diharapkan dapat
memberikan gambaran, wawasan, dan pengetahuan bagi para pembaca.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cemas (anxiety) merupakan pengalaman yang bersifat subjektif, tidak
menyenangkan, tidak menentu, menakutkan, dan mengkhawatirkan akan
adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali disertai
oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktivitas
otonomik. Ansietas adalah perasaan yang difus, yang sangat tidak
menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan
terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang
khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. Perasaan ini
dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat
berlebihan,s akit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan
ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah (Hoge, 2004).
Ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi menghadapi kecemasan
akibat peristiwa di masa lalu dapat menyebabkan kecemasan yang menetap
dan menyeluruh. Hal inilah yang dinamakan dengan Diffuse Anxiety Disorder
(DAD) (Maramis, 2005).
B. Epidemiologi
Gangguan cemas merupakan kelompok gangguan psikiatri yang paling
sering ditemukan. National Comorbiloty Study (NCS) melaporkan bahwa satu
diantara empat orang memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan
cemas dan terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7%. Perempuan
(prevalensi seumur hidup 30,5%) lebih cenderung mengalami gangguan
cemas daripada laki-laki (prevalensi seumur hidup 19,2%). Prevalensi
gangguan ansietas menurun dengan meningkatnya status sosio-ekonomi.
(Hoge, 2004).
Prevalensi DAD pada populasi umum adalah 1,2% -6,4%, meskipun
kriteria diagnostik yang berubah selama bertahun-tahun mempersulit
3
interpretasi angka-angka ini. Pada 1980-an, Epidemiology Catchment Area
(ECA), dengan menggunakan kriteria DSM-III dalam kuesioner tersebut,
melaporkan temuan rinci seperti tingkat prevalensi berdasarkan gender.
Namun, pengukuran ECA terhadap DAD telah dikritik berupa agak tidak bisa
diandalkan karena hanya tiga dari lima situs yang membahas gangguan, dan
alat penilaian yang mereka gunakan untuk DAD bervariasi. Dalam studi
ECA, prevalensi saat ini rata-rata adalah 1,3% di seluruh situs, dan prevalensi
seumur hidup adalah 5,8% (Maier, 2000).
Validitas tingkat prevalensi ECA didukung oleh temuan yang serupa
dengan NCS yaitu 1,6% untuk saat ini dan tingkat seumur hidup sebesar 5,1%
(Maier, 2000), yang menggunakan kriteria DSM-III-R untuk DAD. Di NCS,
diagnosis Diffuse Anxiety Disorder diizinkan dengan suasana bersamaan atau
gangguan psikotik, hal ini merupakan faktor penting mengingat
ketidakpastian sebelumnya tentang apakah tingginya tingkat komorbiditas
psikiatri menunjukkan bahwa DAD bukanlah gangguan yang terpisah. Ketika
kasus DAD yang terjadi selama suasana hati atau episode psikotik
dikeluarkan, prevalensi seumur hidup menurun hanya 0,03%, menunjukkan
bahwa komorbiditas dengan gangguan lain tidak memperhitungkan kehadiran
DAD. Selain itu, hanya 8% dari individu dengan DAD melaporkan bahwa
DAD mereka terjadi secara eksklusif selama suasana hati atau gangguan
psikotik. Diantara individu dengan DAD, 9,6% melaporkan bahwa itu hanya
gangguan kejiwaan seumur hidup mereka, dan 12,2% melaporkan bahwa
timbulnya DAD mendahului dari setiap gangguan lain, ini proporsi yang
relatif tinggi baik menunjukkan DAD yang memang ada sebagai terpisah
maupun didiagnosis gangguan. Menurut NCS, prediktor DAD diantaranya
yaitu usia 24 tahun atau lebih, yang dipisahkan, janda, atau bercerai, menjadi
pengangguran, dan menjadi ibu rumah tangga (Hunt, 2002).
Tingkat DAD dilaporkan dalam studi prevalensi di negara-negara lain
telah bervariasi tetapi umumnya sama dengan yang dilaporkan dalam NCS.
Di Belanda, DAD berdasarkan kriteria DSM-III-R, memiliki prevalensi
tingkat lalu-bulan sebesar 0,8% dan tingkat seumur hidup sebesar 2,3%
4
(Wittchen, 1994). Di Australia, 2,8% dari subyek wawancara di masyarakat
umum memenuhi kriteria DSM-IV untuk DAD dalam 30 hari sebelumnya
(Hunt, 2002).
Seperti dengan gangguan kejiwaan lainnya, DAD ditemukan pada tingkat
lebih tinggi dalam pengaturan medis. Ini jelas ditunjukkan di 14 negara
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam studi perawatan primer. Hal ini
berarti ditemukan prevalensi 1 bulan sebesar 7,9% untuk DAD berdasarkan
kriteria International Classification of Disease 10 (ICD-10) (Maier, 2000).
C. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya DAD diantaranya :
1. Jenis kelamin
DAD terjadi lebih umum di kalangan perempuan, dengan
prevalensi seumur hidup hampir 7% sedangkan untuk laki-laki sebesar 4%.
Tingkat DAD terutama meningkat di kalangan perempuan 44 tahun dan
lebih tua (Krasucki, 1998). Studi pada 14 negara WHO menemukan
prevalensi saat ini rata-rata 9,2% pada wanita dan 5,7% untuk pria,
meskipun tingkat spesifik gender bervariasi secara substansial di antara
lokasi penelitian. Di Brasil, misalnya, prevalensi DAD adalah 26% untuk
perempuan dan 14% laki-laki, sedangkan di China 2,1% untuk perempuan
dan 1,7% untuk laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan/ atau
faktor genetik dapat berkontribusi untuk diagnostik prevalensi (Krasucki,
1998).
2. Usia
`Tingkat prevalensi DAD tampaknya agak berbeda berdasarkan usia.
Diagnosis DAD baru-baru ini telah diperluas untuk mencakup anak-anak.
Berdasarkan kriteria DSM-III-R, anak-anak yang memiliki kekhawatiran
yang berlebihan, kekhawatiran tentang kompetensi, keluhan somatik,
kesadaran diri, kebutuhan yang berlebihan untuk jaminan, dan ketegangan
5
yang berlangsung selama minimal 6 bulan diberi diagnosis gangguan
terlalu cemas. Dalam DSM-IV, diagnosis ini dikombinasikan dengan
DAD. Studi gangguan terlalu cemas pada anak-anak telah menemukan
tingkat prevalensi berkisar antara 2,9% sampai 4,6% pada anak usia 11
tahun dan di bawah, dan 3,6% menjadi 7,3% di kalangan remaja
(Krasucki, 1998). Di Jerman, Wittchen et al, dengan menggunakan kriteria
diagnostik untuk DAD dengan remaja dan dewasa muda berusia 14 sampai
24 tahun, menemukan tingkat yang lebih rendah. Mereka melaporkan
prevalensi seumur hidup sebesar 0,8% dan prevalensi 1 tahun sebesar
0,5% (Krasucki, 1998). Terdapat hipotesis berupa DAD memiliki onset
lambat gangguan kecemasan lain, kemungkinan karena akumulasi stres
kronis dari waktu ke waktu. DAD juga mungkin memiliki onset pada akhir
dewasa. Studi berbasis komunitas menemukan tingkat prevalensi DAD
sekitar 4% pada individu berusia 65 ke atas (Krasucki, 1998).
D. Klasifikasi
Menurut Binder dan Kielholz dan Galderen kecemasan itu dapat dibagi
menurut sumber sebabnya sebagai berikut (Kaplan, 2010) :
1. Kecemasan Hati Nurani (concience-induced anxiety)
Disini kecemasan timbul karena individu mempunyai kesadaran akan
moralitas. Kecemasan disinipun melindungi individu terhadap perbuatan-
perbuatan yang bersifat amoral.
2. Kecemasan neurotik
Disini kecemasan berasal dari dalam tubuh, dan tidak berhasil
dihilangkan oleh individu, sehingga kecemasan bersembunyi dalam
gangguan lain seperti pada fobia, reaksi obsesif kompulsif, reaksi konversi
dan pada gangguan psikofisiologik. Dalam psikiatri terdapat free-floating
anxiety dan bound anxiety. Free-floating anxiety merupakan kecemasan
yang tidak terdapat pada salah satu gagasan melainkan mengembara
kiankemari. Sedangkan dalam bound anxiety kecemasan terikat pada
gagasan seperti pada fobia dan obsesi. Free floating anxiety merupakan
inti dan gejala penting menentukan pada kecemasan neurotik.
3. Kecemasan psikotik
6
Kecemasan disini bukanlah merupakan gejala inti atau yang
menentukan. Melainkan sebagai gejala biasa, yang kadang-kadang
merupakan penjelmaan dari segala depresi dan ganagitasi. Kecemasan
dapat juga dirasakan begitu hebat sehingga penderita tidak dapat berbuat
apa-apa selain diam saja. Biasanya kecemasan ini disertai dengan waham-
waham, halusinasi dan perbuatan-perbuatan yang destruktif.
4. Kecemasan sosial
Kecemasan sosial ini akan dirasakan individu, kalau ia takut atau
pendapat umum atau pendapat lingkungannya mengenai perbuatannya
dikenal :
a. Kecemasan memperlihatkan diri di depan umum.
b. Cemas kalau-kalau kehilangan kontrol atas dirinya.
c. Cemas kalau-kalau memperlihatkan ketidakmampuannya.
E. Etiologi
F. Faktor Biologis
Faktor biologis yang berperan pada gangguan ini adalah
neurotransmitter. Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan pada
gangguan ini yaitu, norepinefrin, serotonin, dan gamma amino butiric acid
atau GABA. Namun neurotransmitter yang memegang peranan utama
pada gangguan cemas adalah serotonin, sedangkan norepinefrin terutama
berperan pada gangguan panik (Kaplan, 2010).
Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas didasarkan
percobaan pada hewan primata yang menunjukkan respon kecemasan pada
perangsangan locus sereleus yang ditunjukan pada pemberian obat-obatan
yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat menimbulkan tanda-tanda
kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan
menyebabkan depresi (Kaplan, 2010).
Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan ini berbeda
dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang timbulnya
kecemasan, sedangkan Gamma Amino Butiric Acidatau GABA bersifat
7
menghambat terjadinya kecemasan ini. Pengaruh dari neutronstransmitter
ini pada gangguan kecemasan didapatkan dari peranan benzodiazepin pada
gangguan tersebut. Benzodiazepin dan GABA membentuk GABA
Benzodiazepin complex´ yang akan menurunkan anxietas atau kecemasan
(Kaplan, 2010).
Satu penelitian tomografi emisi positron (PET; positron emission
tomography) melaporkan suatu penurunan kecepatan metabolik di ganglia
basalis dan substansia alba pada pasien Diffuse Anxiety Disorder atau
gangguan cemas menyeluruh dibandingkan kontrol normal. Satu penelitian
menemukan bahwa hubungan genetika mungkin terjadi antara gangguan
cemas menyeluruh dan gangguan depresif berat pada wanita. Penelitian
lain menemukan adanya komponen yang terpisah tetapi sulit untuk
ditentukan pada Diffuse Anxiety Disorder. Kira-kira 25 persen sanak
saudara derajat pertama dari pasien dengan Diffuse Anxiety Disorder
umum juga terkena gangguan. Sanak saudara laki-laki lebih sering
menderita suatu gangguan penggunaan alkohol. Beberapa laporan
penelitian pada anak kembar menyatakan suatu angka kesesuaian 50
persen pada kembar monozigotik dan 15 persen pada kembar
dizigotik(Kaplan, 2010).
G. Faktor Psikososial
Dua bidang pikiran utama tentang faktor psikososial yang
menyebabkan perkembangan Diffuse Anxiety Disorder adalah bidang
kognitif perilaku dan bidang psikoanalitik. Bidang kognitif perilaku
menghipotesiskan bahwa pasien dengan Diffuse Anxiety Disorder
berespon secara tidak tepat dan tidak akurat terhadap bahaya yang
dihadapi, ketidakteraturan tersebut disebabkan oleh perhatian selektif
terhadap perincian negatif didalam lingkungan oleh distorsi pemrosesan
informasi, dan oleh pandangan yang terlalu negatif tentang kemampuan
seseorang untuk mengatasinya. Bidang psikoanalitik menghipotesiskan
bahwa kecemasan adalah suatu gejala konflik bawah sadar yang tidak
terpecahkan. Suatu hierarki kecemasan adalah berhubungan dengan
berbagai tingkat perkembangan. Pada tingkat yang paling primitif,
8
kecemasan mungkin berhubungan dengan ketakutan akan penghancuran
atau fusi dengan orang lain. Pada tingkat perkembangan yang lebih matur,
kecemasan adalah berhubungan dengan perpisahan dari objek yang
dicintai. Kecemasan kastrasi adalah berhubungan dengan fase oedipal dari
perkembangan dan dianggap merupakan satu tingkat tertinggi dari
kecemasan (Kaplan, 2010).
9
H. Patogenesis
Sistem limbik
Traktus
dorsalis
enterosepsi
enterosepsi
(Maramis, 2005)
Penderita Diffuse Anxiety Disorder menunjukkan kecemasan sebagai
gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu
sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada
keadaan situasi khusus tertentu (Maramis, 2005).
Peristiwa yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kecemasan yang
kemudian akan memobilisasi daya pertahanan individu. Seseorang secara
sadar maupun tidak sadar akan bereaksi ketika menghadapi kecemasan
(Maramis, 2005).
10
Pengaruh genetik
Pengalaman masa lalu
Stimulus dari luar
Alam sadar
Penilaian ancaman
Alam tidak sadar
Perubahan fisiologis perifer
Susunan saraf pusat
(korteks)
Emosi/afek
Laporan verbal
Dorongan dari dalam
Perantara Otonomik
I. Etiologi
J. Penegakan Diagnosis
Kriteria diagnostik gangguan kecemasan menyeluruh (Diffuse Anxiety
Disorder) menurut DSM IV-TR (DSM-IV, 2007):
1. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harap-harap cemas) pada
berbagai kejadian atau kegiatan (seperti disekolah, tempat kerja) yang
berlangsung lebih dari 6 bulan.
2. Yang bersangkutan menyadari tidak dapat kekhawatiran diatas.
3. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala
berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama enam bulan terakhir).
Catatan : hanya 1 saja untuk diagnosa pada anak-anak.
a. Kegelisahan
b. Merasa mudah lelah
c. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
d. Iritabilitas
e. Ketegangan otot
f. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, tidak
memuaskan)
4. Inti kecemasan dan kekhawatiran berlebihan ini mengambang, tidak jelas
seperti gambaran gangguan axis I. Contohnya kecemasan dan
kekhawatiran bukan tentang akan mengalami serangan panik (gangguan
panik), akan dipermalukan dimuka umum (phobia sosial), tercemar
(OCD), jauh dari rumah atau saudara dekat (gangguan cemas
perpisahan), menjadi gemuk (anorexia nervosa), mengalami berbagai
gangguan somatis (gangguan somatisasi), memiiliki suatu penyakit serius
(hipokondriasis) dan tidak terjadi hanya selama gangguan cemas pasca
trauma.
11
5. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
6. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat
(medikasi, penyalahgunaan obat, atau terapi lainnya) atau kondisi medis
umum (misal hipertiroid) dan tidak terjadi hanya selama gangguan mood,
psikotik atu suatu gangguan perkembangan pervasif.
Penegakan diagnosis gangguan kecemasan menyeluruh (Diffuse Anxiety
Disorder) berdasarkan PPDGJ-III sebagai berikut (Maslim, 2003):
1. Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk, sulit konsentrasi, dan sebagainya);
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai); dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, seska napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering dan sebagainya).
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang
menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan
Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria
lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-),
gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).
K. Terapi Lama
1. Hipnoterapi
12
Hipnosis adalah perubahan status kesadaran, di mana seseorang
menjadi sangat santai tapi sadar akan semua yang dikatakan dan yang
terjadi di sekitarnya (Gerard, 2011). Hipnosis juga didefinisikan sebagai
keadaan memusatkan perhatian dengan kemampuan penerimaan yang
tinggi untuk menerima sugesti. Dalam keadaan ini, kritik dari seseorang
atau alam skeptis dilewati, yang memungkinkan mereka untuk menerima
saran. Sebuah prosedur hipnosis terdiri dari induksi, yang membuat pasien
ke dalam keadaan trans, dan kemudian pengiriman dari sugesti yang dapat
diterima, yang disampaikan kepada pasien untuk membantu mencapai
tujuan dari sesi terapi tersebut (Saadat, 2006).
Pada tahun 1990, hipnoterapi digunakan untuk membantu
meringankan gejala pasien dengan kecemasan. Hipnoterapi juga terbukti
bermanfaat pada fobia, gangguan stress pasca trauma (post traumatic
stress disorders) (Smith, 2008). Pada sebuah studi, hipnoterapi tidak hanya
meringankan kecemasan, tetapi juga dapat menurunkan tekanan darah
(Davidson, 1978). Selain itu, hipnoterapi juga dapat meningkatkan kondisi
fisik (O’Neill, 1999).
2. Eliminasi kafein
Bagi sebagian orang, kecemasan dapat dikurangi dengan
menghilangkan konsumsi kafein (Brucea, 1989). Akan tetapi kecemasan
dapat timbul sementara pada pengurangan kafein yang mendadak (Prasad,
2005; Nehlig, 2004; Juliano, 2004).
3. Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
Pendekatan ACT baik untuk mengatasi masalah ini karena
mengajarkan klien bagaimana menerima dan hidup dengan gejala yang
tidak menyenangkan dari kecemasan (misalnya, kekhawatiran, sensasi
tubuh, mengganggu pikiran, dll) daripada mencoba untuk menghilangkan
atau menekan mereka (Hayes et al., 1999). Dengan demikian, ACT
menumbuhkan kemauan untuk memahami semua pengalaman manusia,
meningkatkan fleksibilitas psikologis dan mengurangi upaya, yang
dimaksudkan untuk menghindari fenomena psikologis dan emosional
(Sharp, 2012).
13
4. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
CBT umumnya digunakan untuk mengobati pasien dengan Diffuse
Anxiety Disorder. Perawatan tersebut meliputi relaksasi, restrukturisasi
kognitif dari disfungsional keyakinan, dan eksposur kognitif akan
kekhawatiran (Mitte, 2005).
5. Benzodiazepin
Dari penelitian yang telah ada, memiliki manfaat besar dalam
memperbaiki dampak jangka pendek dari Diffuse Anxiety Disorder
(Barlow, 1988; Brown et al., 1992). Benzodiazepin bekerja dengan
meningkatkan efek dari GABA reseptor, yang sifatnya ingibitorik, dengan
meningkatkan masukan ion Cl kedalam sel sehingga terjasi hiperpolarisasi,
menurunkan kemampuan untuk menghasilkan potensial aksi.
Benzodiazepine dimetabolisme melalui oksidasi hepatic dan
glucoronidase. Benzodiazepine memiliki keunggulan dalam mekanisme
kerja yang cepat, namun memiliki beberapa efek samping antara lain
sedasi, hambatan motorik, gangguan memori, dan gangguan kognisi.
Golongan benzodiazepine yang paling sering digunakan adalah
clonazepam, diazepam, lorazepam, dan aprazolam (Hoge, 2004).
L. Terapi Baru
Sejumlah agen baru memberi janji pilihan pengobatan farmakoterapi
untuk Diffuse Anxiety Disorder. Pregabalin adalah analog GABA lipofilik,
mekanisme non-GABA-ergik yang saat ini sedang dikembangkan sebagai
agen antikonvulsan, analgesik untuk nyeri neuropatik, dan anxiolytic. Pada
jangka pendek studi double-blind pasien dengan Diffuse Anxiety Disorder
yang telah diobati dengan pregabalin, lorazepam, atau plasebo mendukung
keamanan dan kemanjuran pregabalin dibandingkan dengan plasebo, dengan
manfaat tercatat sebagai awal minggu pertama. Pregabalin tampaknya
memiliki khasiat sebanding dengan benzodiazepin tetapi tanpa
ketergantungan fisiologis. Efek samping yang paling umum dilaporkan
dengan pregabalin adalah mengantuk dan pusing (Hoge, 2004).
14
Tiagabine, selektif inhibitor reuptake GABA yang tersedia sebagai
antikonvulsan saat ini,dan juga mungkin memiliki efek anxiolytic. Dalam
sebuah penelitian, tiagabin dengan 40 pasien yang mengalami Diffuse Anxiety
Disorder menunjukkan penurunan kecemasan, gejala depresi komorbiditas,
dan kesulitan tidur. Efek samping yang paling umum dari tiagabine adalah
sedasi, pusing, koordinasi yang buruk, mual, dan tremor. Hydroxyzine,
antihistamin, juga telah terbukti efektif dan ditoleransi dengan baik dalam
pengobatan Diffuse Anxiety Disorder. Sebuah uji coba 12-minggu terbaru
yang dilakukan di Perancis dengan 334 pasien dengan dibandingkan
hydroxyzine Diffuse Anxiety Disorder, bromazepam benzodiazepine, dan
plasebo. Hydroxyzine dan bromazepam sama-sama unggul dengan plasebo,
meskipun bromazepam dikaitkan dengan lebih mengantuk (Hoge, 2004).
Selain farmakoterapi yang diresepkan, tampaknya ada perkembangan
signifikan dalam populasi AS dalam pendekatan pengobatan alternatif atau
pelengkap untuk pengobatan kecemasan dan depresi. Misalnya, dalam sebuah
survei terbaru, 57% dari 2.055 responden yang melaporkan serangan
kecemasan telah mencoba terapi komplementer dan alternatif . Beberapa dari
agen-agen alternatif telah menjalani penilaian awal untuk digunakan dalam
mengobati Diffuse Anxiety Disorder. Dalam sebuah penelitian di Brazil kecil,
misalnya, ekstrak valerian, diazepam, dan plasebo semua menghasilkan
pengurangan signifikan dalam total skor kecemasan, meskipun hanya
kelompok yang mengkonsumsi diazepam dan ekstrak valerian mengalami
penurunan yang signifikan dalam gejala psikis bagian. Sebuah studi double-
blind, terkontrol plasebo homeopati dengan 44 pasien dengan Diffuse Anxiety
Disorder tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara homeopati dan
kelompok plasebo setelah 5 minggu dan 10 minggu pengobatan (Hoge,
2004).
Singkatnya, beberapa pilihan pengobatan farmakologis untuk Diffuse
Anxiety Disorder tersedia. SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitors) dan
venlafaxine adalah yang paling baik dipelajari, dengan uji coba terkontrol
plasebo besar mendukung keamanan dan kemanjuran mereka dalam
15
pengobatan Diffuse Anxiety Disorder. Benzodiazepin dan buspirone mungkin
sangat berguna untuk pembesaran farmakoterapi lain, baik untuk
mempercepat timbulnya efek menguntungkan atau untuk meningkatkan
respon. Keputusan tentang farmakoterapi untuk pasien individu harus
mencakup pertimbangan komorbiditas psikiatri dan medis gangguan,
pengalaman pengobatan sebelumnya, riwayat keluarga respon, dan
karakteristik gejala individu dan situasi kehidupan (Hoge, 2004).
M. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi oleh karena terlambat atau
ketidakadekuat penanganan dapat mengakibatkan peningkatan resiko bunuh
diri pada pasien ansietas (Barlow, 2002). Bunuh diri ini dapat disertai atau
tidak disertai gangguan mood sekunder (depresi). Stres akut juga dapat
memproduksi perilaku bunuh diri pada ansietas (Sareen, et al., 2005).
Ansietas kronik dapat pula menimbulkan komplikasi berupa
memperburuknya hipertensi, hipoglikemia, jantung koroner, kelelahan yang
meningkat, peningkatan disabilitas, dan sebagainya (Gellis dan McCracken,
2006).
N. Prognosis
Prognosis gangguan ansietas sulit untuk diperkirakan. Menurut
definisinya, gangguan ansietas adalah suatu keadaan kronis yang mungkin
seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik,
juga dapat mengalami gangguan depresi mayor (Kaplan, et al., 2010). Faktor
yang mempengaruhi prognosis pada gangguan ansietas berupa usia, problem
fisik, situasi dalam kehidupan berserta fungsi sosial, serta komorbiditas
(Gellis dan McCracken, 2006).
16
Komorbiditas pada gangguan ansietas sangat berpengaruh pada
morbiditas dan mortalitas. Semakin tinggi komorbiditas maka prognosis
semakin buruk (Lochner, et al., 2003). Komorbiditas yang tinggi pada
gangguan ansietas dapat disebabkan karena penyakit medis (diabetes,
demensia, kanker), gejala somatis, dan depresi (Blazer, 2003; Beck dan
Averill, 2004). Komorbiditas oleh karena depresi berhubungan dengan respon
penanganan yang buruk serta tindakan putus obat (Lenze, et al., 2003).
Selain faktor tersebut, kepribadian premorbid juga mempengaruhi
prognosis. Apabila penderita sebelumnya menunjukkan kepribadian yang
baik dalam interaksinya di kehidupan sosial, maka prognosisnya lebih baik
daripada penderita yang sulit berinteraksi dan menghindarkan diri dalam
pergaulan. Onset yang terlalu dini dan pasien yang terlambat terdiagnosis
dapat memperburuk prognosis (Sadock, 2008). Indikator lain yang dapat
memperburuk prognosis dapat berupa tingkat gejala yang parah serta durasi
yang lama, komorbiditas tinggi, terdapat riwayat keluarga yang sama, serta
karakter penderita yang temperamental. Semakin cepat terapi dan faktor
predisposisi yang relatif ringan dan dukungan kondusif dari lingkungan
sekitar memberikan prognosis yang baik (Rynn, et al., 2012).
17
BAB III
KESIMPULAN
1. Diffuse anxiety disorder adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan
yang berlebih-lebihan, dan menetap sekurang-kurangnya selama enam
bulan mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas disertai berbagai gejala
somatik yang menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial,
pekerjaan, dan fungsi-fungsi lainnya.
2. Etiologi Diffuse Anxiety Disorder yaitu faktor biologis dan faktor
psikososial.
3. Penegakan diagnosis Diffuse Anxiety Disorder berpedoman pada DSM IV-
TR dan PPDGJ-III.
4. Terapi baru untuk Diffuse Anxiety Disorder adalah farmakoterapi dengan
menggunakan pregabalin dan tiagabine, disertai dengan pendekatan
pengobatan alternatif.
5. Prognosis dari gangguan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berupa usia,
problem fisik, situasi dalam kehidupan berserta fungsi sosial, serta
komorbiditas.
18
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, David H. 2002. Anxiety and It’s Disorders : the Nature and Treatment of
Anxiety and Panic. New York : The Guilford Press.
Barlow, D. H. (1988). Anxiety and its disorders: The nature and treatment of
anxiety and panic. New York: Guilford Press.
Brown, T. A, Barlow, D. H. (1992). Comorbidity among anxiety disorders:
Implications for treatment and DSM-IV. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 60, 835–844.
Brucea, M. S., Lader, M. (February 1989). "Caffeine abstention in the
management of anxiety disorders". Psychological Medicine 19 (1): 211–
214.
Beck, J. G., P. M. Averill. 2004. Generalized Anxiety Disorder : Advances in
Research and Practice. New York : The Guilford Press.
Blazer, D. G. 2003. The American Psychiatric Publishing Textbook of Clinical
Psychiatry. Washington : American Psychiatric Publishing.
Davidson, G. P., Farnbach, R. W.; Richardson, B. A. (July 1978). "Self-hypnosis
training in anxiety reduction". Australian family physician 7: 905–10.
DSM IV : American Psychiatric Association. 2007. Diagnostic and Statistical
Manual for Mental Disorder. Washington DC: American Psychiatric
Association.
Gellis, Zvi D., Stanley G. McCracken. 2006. Mental Health and Older Adults :
Anxiety Disorders in Older Adults. Council on Social Network Education.
Hal : 1-18.
Gerard, Stan. 2011. Hypnotherapy in Anxiety, Depression and Happiness: an
audit. Downloaded from http://www.hypnotherapyarticles.com/ on May 1st
2013.
Hazlett, Holly and Stevens. 2008. Psychological Approaches to Generalized
Anxiety Disorder. A clinician’s Guide to Assessment and Treatment.
Department of Psychology University of Nevada: USA.
19
Hayes S.C., Strosahl K.D., & Wilson K.G. 1999. Acceptance and Commitment
Therapy: An experiential approach to behavior change. New York: The
Guilford Press.
Hoge, Elisabeth A, Julie E.opppenheir, Naomi M Simon. 2004. General Axietty
Disorder. FOCUS the jurnal of lifelong learning in psychiatry.vol ll;No.
3:352-5.
Hunt C, Issakidis C, Andrews G. 2002. DSM-IV generalized anxiety disorder in
the Australian National Survey of Mental Health and Well-Being. Psychol
Med ; 32:649—659.
Juliano LM, Griffiths RR. 2004. "A critical review of caffeine withdrawal:
empirical validation of symptoms and signs, incidence, severity, and
associated features". Psychopharmacology (Berl.) 176 (1): 1–
29. doi:10.1007/s00213-004-2000-x. PMID 15448977.
Kaplan, H. I., B. J. Sadock, J. A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Kaplan, Sadock B.J., 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis / Benjamin J.Sadock,
editor edisi Bahasa Indonesia Husny Muttaqin, Retna.N.E.Sihombing, ed.2.
Jakarta: EGC.
Krasucki C, Howard R, Mann A. 1998. The relationship between anxiety
disorders and age. Int J Geriatr Psychiatry; 13:79—99.
Lenze, E., B. Mulsant, M. Dew, K. Shear, et al. 2003. Good treatment outcomes
in late-life depression with comorbid anxiety. Journal of Affective
Disorders. Vol. 77 (3) : 247-54.
Lochner, C., Mogotsi M., du Toit P.L., Kaminer D., et al. 2003. Quality of life in
anxiety disorders: a comparison of obsessive-compulsive disorder, social
anxiety disorder, and panic disorder. Psychopathology. Vol. 36 (5) : 255-62.
Maier W, Gansicke M, Freyberger HJ, Linz M, Heun R, Lecrubier Y. 2000.
Generalized anxiety disorder (ICD-10) in primary care from a cross-cultural
perspective: a valid diagnostic entity? Acta Psychiatr Scand; 101:29—36.
20
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III.
Jakarta : PT. Nuh Jaya.
Mitte, Kristin. 2005. Meta-Analysis of Cognitive–Behavioral Treatments for
Generalized Anxiety Disorder: A Comparison With Pharmacotherapy.
Psychological Bulletin, Vol. 131, No. 5, 785–795.
National Institute of Mental Health. 2009. Anxiety Disorder. U.S Departement of
Health and Human Services.NIH Publication No. 09 3879. Available at:
http://education.ucsb.edu/hosford/documents/AnxietyBrouchure.pdf.
Nehlig, Astrid. 2004. Coffee, Tea, Chocolate, and the Brain. CRC Press.
p. 136. ISBN 0-415-30691-4. Retrieved October 7, 2012.
O'Neill, L.; Barnier, A.; McConkey, K. 1999. "Treating Anxiety with self-
hypnosis and relaxation". Contemporary Hypnosis 16 (2). p. 68.
Prasad, Chandan. 2005. Nutritional Neuroscience. CRC Press. p. 351. ISBN 0-
415-31599-9. Retrieved October 7, 2012.
Rynn, Moira A., Hilary Vidair, Jennifer Blackford. 2012. Child and Adolescent
Psychiatric Clinic of North America : Anxiety Disorders. Philadelphia :
Saunders Elsevier.
Saadat, Haleh, Jacqueline Drummond-Lewis, Inna Maranets, Deborah Kaplan,
Anusha Saadat, Shu-Ming Wang, and Zeev N. Kain. 2006. Hypnosis
Reduces Preoperative Anxiety in Adult Patients. Anesth Analg
2006;102:1394–6.
Sareen, J., Cox B.J., Afifi T.O., de Graff R., et al. 2005. Anxiety disorders and
risk for suicidal ideation and suicide attempts: a population-based
longitudinal study of adults. Archives of General Psychiatry. Vol. 62 (11) :
1249-57.
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.
21
Sharp, Katie. 2012. A Review of Acceptance and Commitment Therapy with
Anxiety Disorders. International Journal of Psychology & Psychological
Therapy, 12, 3, 359-372.
Smith, W. H. 2008. Hypnosis in the Treatment of Anxiety. Bulletin of the
Menninger Clinic 54: 209–16.
Sadock, Benjamin James. Virginia Alcott Sadock. 2008. Kaplan’s & Sadock’s
Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT.
RefikaAditama.
Wittchen H.U., Zhao S, Kessler R.C., Eaton W,W. 1994. DSM-III-R generalized
anxiety disorder in the National Comorbidity Survey. Arch Gen Psychiatry;
51:355—364.
Web : http://focus.psychiatryonline.org/article.aspx?articleID=49764
22