Upload
veranica-antonia
View
28
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
CTEV
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai
‘club-foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang
sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam
terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran
klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri
tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV
“idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk
yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang
kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.
Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates
pada 400 SM. Hipokrates menyarankan perawatan dengan cara memanipulasi
kaki dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan
modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan
immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips
adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan mekanisme
mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan
metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian,
masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.
Menurut data yang didapat dari US kelainan ini diderita 1-2 bayi per 1000
kelahiran hidup, di Indonesia belum ada pencatatan tentang penyakit ini. Penyakit
ini terkadang tidak disadari oleh orang tua yang baru melahirkan bayi dan
akhirnya seringkali terapi dilakukan terlambat atau bahkan sampai terbengkalai.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi2,4,9
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau sering disebut Clubfoot
adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang
calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan
tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai
tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.
2.2. Epidemiologi1,2,4,6
Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin.
Insiden CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup.
Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral
didapatkan pada 30-50% kasus.
CTEV dapat bersifat unilateral dan bilateral dengan presentasi unilateral
sebanyak 29% pada kaki kanan, 22% pada kaki kiri dan bilateral sebanyak 49%.
CTEV dapat bersifat idiopatik atau syndrome yang disertai dengan gejala
neurologis lain seperti spina bifida, dll. Pada bayi kembar monozygot, jika salah
satu bayi menderita idiopatik CTEV, maka bayi yang lain hanya 32%
kemungkinan menderita kelainan yang sama.
2.3. Klasifikasi12
Beberapa jenis klasifikasi yang dapat ditemukan antara lain :
1. Typical Clubfoot
Ini merupakan jenis Clubfoot yang klasik hanya menderita kaki pengkor saja
yang sering ditemukan. Umumnya dapat dikoreksi dengan lima casting dan
manajemen dari Ponseti mengatakan hasil jangka panjangnya baik dan
sempurna. Yang dimasukkan jenis clubfoot ini diantaranya:
2
a. Positional Clubfoot Sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga
akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai dengan
satu atau dua kali pengegipan.
b. Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih.
c. Recurrent typical clubfoot dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya
ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps
lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan
pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling
sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan berjalannya waktu
menjadi fixed.
d. Alternatively treated typical clubfoot termasuk kaki pengkor yang
ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti.
2. Atypical Clubfoot
Clubfoot jenis ini biasanya diartikan sebagai penyakit lain. Dengan
ponsenti manajemen maslah yang timbul biasanya sulit dikoreksi. Yang
dimasukkan dalam kategori ini antara lain:
a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot dapat kurus atau gemuk. Kasus
dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut umumnya
kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang dalam pada telapak kaki
dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat pemendekan metatarsal
pertama dengan hiperekstensi sendi metatarsophalangeal.
b. Deformitas ini terjadi pada bayi yang menderita kaki pengkor saja tanpa
disertai kelainan yang lain.
c. Syndromic clubfoot. Selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan
kongenital lain. Jadi kaki pengkor merupakan bagian dari suatu sindroma.
Metode Ponseti tetap merupakan standar penanganan, tetapi mungkin
lebih sulit dengan hasil kurang dapat diramalkan. Hasil akhir penanganan
lebih ditentukan oleh kondisi yang mendasarinya daripada kaki pengkor
nya sendiri.
d. Tetralogic clubfoot, seperti pada congenital tarsal synchondrosis.
3
e. Neurogenic clubfoot, berhubungan dengan kelainan neurologi seperti
meningomyelocele.
f. Acquired clubfoot, seperti pada Streeter dysplasia.
2.4. Etiologi1,2,4,6
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan
tetapi banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :
a. Faktor mekanik intra uteri
Adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan
bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi eksterna
uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakan bahwa adanya
oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena
keterbatasan gerak fetus.
b. Defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan
adanya kelainan histologis dan eektromiografik.
c. Defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan CTEV
dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari talus
selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan plantar.
Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut dikarenakan defek dari
plasma sel primer.
d. Perkembangan fetus yang terhambat
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-
kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis.
Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muskulus yang tidak berfungsi
(muscle wasting) pada bagian ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan
dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa
perkembangan.
e. Herediter
4
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik
mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella,
penggunaan Talidomide).
f. Hipotesis vaskular
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-
kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis.
Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muscle wasting pada bagian
ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi
arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.
2.5. Patofisiologi12
Jaringan Lunak
1. Otot gastrocnemius mengecil
2. Tendon Achiles memendek dengan arah mediokaudal dan menyebabkan
varus; begitu pula tendon halucis longus dan digitorum komunis
3. Tendon tibialis anterior dan posterior memendek, sehingga kaki bagian depan
(forefoot) menjadi aduksi
4. Ligament antara talus, kalkaneus, naviculare menebal dan memendek. Fasia
plantaris menebal dan memendek, yang dengan kuat menahan kaki pada
posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi adduksi
dan inversi
Tulang
Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang tarsal, yang
hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan, berada dalam posisi fleksi,
adduksi, dan inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi plantar fleksi hebat,
collumnya melengkung ke medial dan plantar, dan kaputnya berbentuk baji.
Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus medialis, dan
berartikulasi dengan permukaan medial caput talus. Calcaneus adduksi dan inversi
dibawah talus. Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi
tulang tarsal. Forefoot yang pronasi, menyebabkan arcus plantaris menjadi lebih
5
konkaf (cavus). Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin kemedial
makin bertambah fleksi.
Gambar 1 CTEV secara anatomis
Secara histologi dibawah mikroskop, berkas serabut kolagen menunjukkan
gambaran bergelombang yang dikenal sebagai crimp (kerutan). Kerutan ini
menyebabkan ligament mudah diregangkan. Peregangan ligament pada bayi, yang
dilakukan dengan gentle, tidak membahayakan. Kerutan akan muncul lagi
beberapa hari berikutnya, yang memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut.
Inilah sebabnya mengapa koreksi deformitas secara manual mudah dilakukan.
Gambar 2 foto mikrografi ligament tibionaviculare
2.6. Gambaran Klinik1,3,4
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.
Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya
kelainan lain. Periksa kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat
terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi
adanya rotasi internal dan varus.
6
Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan
arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada
dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi
kontraktur pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus
tidak hanya berada dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami
rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi
kembali dan pada perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung atau
dagu).
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan
mudah teraba pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular
dan badan talus. Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada umumnya
menempel pada navikular. Jarak yang normal terdapat antara navikular dan
maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal.
2.7. Gambaran Radiologis6,8,13,14
2.7.1 Radiographi
Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang
talus dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti
yang sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi
terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi
lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º.
Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi
dan plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus
dan kalkaneus.
Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP
digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta
melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai
7
normalnya adalah antara 25-40°. Bila ditemukan adanya sudut kurang dari 20°
maka dikatakan abnormal.
Tiga komponen utama dari kelainan bentuk yang akan jelas tampak pada
radiographi:
A. Fleksi plantar anterior kalkaneus sedemikian rupa sehingga sudut antara
sumbu panjang tibia dan sumbu panjang kalkaneus (tibiocalcaneal sudut)
lebih besar dari 90 °
Gambar 3 fleksi plantar anterior
B. Talus diasumsikan tetap fix terhadap tibia. Kalkaneus dianggap yang berputar
menjadi varus posisi (ke arah garis tengah). Pada tampilan lateral, sudut
antara sumbu panjang sumbu panjang kalkaneus (talocalcaneal sudut) adalah
kurang dari 25°, dan 2 tulang hampir sejajar dalam kondisi normal (Gambar
4-5).
Gambar 4 Clubfoot 25o Gambar 5 Clubfoot
C. Talocalcaneal sudut kurang dari 15°, dan 2 tulang tampak tumpang tindih
lebih dari biasanya. Sumbu longitudinal melalui tengah landaian (midtalar
8
line) melalui lateral ke dasar metatarsal pertama, karena adalah medial kaki
depan menyimpang (Gambar 6-7).
Gambar 6 Talocalcaneal 15o Gambar 7 Talocalcaneal 15o
D. Kaki depan supinasi Varus dan meningkatkan konvergensi dari basis
metatarsal, dibandingkan dengan sedikit normal konvergensi (Gambar 8).
Pada pandangan lateral, tampak gambaran seperti tangga dari tulang
metatarsal pada forefoot varus (Gambar 9).
Gambar 8 Kaki depan supinasi Varus Gambar 9 tampak gambaran seperti tangga dari
tulang metatarsal
9
2.8. Scoring CTEV15
Gambar 10 Klasifikasi CTEV
Gambar 11 Perhitungan klasifikasi CTEV
10
Grade 1 ® Benign (score < 5)
Grade 2 ® Moderat (score 5-10)
Grade 3 ® Considerable reducibility (score 10-15)
Grade 4 ® Resistant and partially reducible (score 15-20)
2.9. Terapi2,3,4,5,9
2.9.1. Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada
dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.
Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :
CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan
gips.
CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata
laksanaan dengan pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun
sepertinya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan
intervensi operatif.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr. Shafiq
Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The Pirani
Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat mengidentifikasi
tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu kasus CTEV selama
koreksi dilakukan.
Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot.
Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC),
kekosongan tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang
terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi
menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan
di sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral
talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).
11
Cara untuk menghitung Pirani Score adalah sebagai berikut :
A. Curvature of the Lateral Border of the foot (CLB)
Batasan lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak
melengkung menandakan terdapatnya kontraktur medial.
Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris di bagian
lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki nampak lurus, mulai dari tumit sampai
ke kepala metatarsal kelima. Apabila didapatkan batas lateral kaki lurus, maka
skor yang diberikan adalah 0.
12
Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus
tersebut. Batas lateral yanng nampak melengkung ringan diberi nilai 0,5
(lengkungan terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal).
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1
(kelengkungan tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid).
B. Medial crease of the foot (MC)
Pada keadaan normal, kulit pada daerah telapak kaki akan memperlihatkan
garis-garis halus. Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya
kontraktur di daerah medial. Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat
memeriksa.
13
Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki. Normalnya akan terlihat
adanya garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang tidak merubah kontur dari
lengkung medial tersebut. Pada keadaan seperti ini, maka nilai dari MC adalah 0.
Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya satu atau dua lipatan
kulit yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur
lengkung medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.
14
Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur
batas medial kaki, maka nilai MC adalah sebesar 1.
C. Posterior crease of the ankle (PC)
Pada keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan memperlihatkan
lipatan kulit multipel halus. Apabila terdapat adanya lipatan kulit yang lebih
dalam, maka hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan kontraktur posterior
yang lebih berat. Tarik kaki dengan lembut saat memeriksa.
Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-
garis halus yang tidak merubah kontur dari tumit. Lipatan-lipatan ini
menyebabkan kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki
dalam posisi dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk PC adalah 0.
15
Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu atau dua lipatan
kulit yang dalam. Apabila lipatan ini tidaak terlalu mempengaruhi kontur dari
tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 0,5.
Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah
tumit dan hal tersebut merubah kontur tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 1.
D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)
Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala
Talus di bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular
akan turun menutupi kepala talus, kemudian hal tersebut akan membuat menjadi
lebih sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama sekali. Tanda
“turunnya navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur
di daerah medial.
16
2.9.2. Penatalaksanaan Non-operatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint
dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. Adduksi dari forefoot
2. Supinasi forefoot
3. Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi
dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot.
Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada
posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan cara
menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau
dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi
dilakukan koreksi selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama
beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak
adanya kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas
yang menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau kembalinya deformitas
segera setelah koreksi dihentikan.
17
Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis
deformitas CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten.
Hal ini dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan
dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.
Metode Ponseti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa.
Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang
dilakukan oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai
berikut :
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi
subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus
CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan kebawah
talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari persendian subtalus.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di
maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu
jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, sementara kita
melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adanya cavus, maka langkah pertama dalam koreksi kaki
adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut, untuk
mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat
diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan
tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang
kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus. Seperti tertulis
pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan
18
tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama, maka kaki akan
berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast
untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang
dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk melekatkan
kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang
bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat
melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh
sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi
lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi
dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti
memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji yang berosilasi
(berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian disatukan
kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi forefoot,
selanjutnya hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta
megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon
Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir
dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan
kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang
digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat
dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi
yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat
dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°.
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutukan
dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal ini dilakukan
dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan kombinasi antara
19
lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal menggunakan lidokain.
Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver
(ujung bulat). Luka post operasi kemudian ditutup dengan jahitan tunggal
menggunakan benang yang dapat diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir
dilakukan dengan kaki yang berada pada posisi dorsofleksi maksimum,
kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu
yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffected foot set
at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2.5
tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.
2.9.3. Terapi Operatif2,8
A. Insisi
Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain:
a. Cincinnati: jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial
(persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral
(bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang
pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
b. Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial: insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial
kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa
jalan, antara lain:
20
Tiga insisi terpisah, insisi posterior arah vertikal, medial, dan
lateral
Dua insisi terpisah, Curvilinear medial dan posterolateral
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif
di semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain:
a. Plantar: Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
b. Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
c. Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular
d. Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, persendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan
yang adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah
sebagai berikut:
a. Tendon Achilles
b. Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.
c. Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.
d. Ligamen tibiofibular inferior
e. Ligamen fibulocalcaneal
f. Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.
g. Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik
Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20°
dari proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya.
Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi
tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok
kulit.
21
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari
pasien:
a. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak.
b. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan
pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari
persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang
kalkaneus untuk mengoreksi varus).
c. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis.).
Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit
paska operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka
agar dapat terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya
penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit
untuk menutupi defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar
dan harus diperiksa secara reguler.
2.10. Diagnosa Banding2,3,4,8
1. Postural clubfoot disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis
abnormalitas kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh
pemeriksa. Postural clubfoot memberi respon baik dengan pemasangan
gips serial dan jarang relaps.
2. Metatarsus adductus (varus) adalah suatu deformitas dari tulang
metatarsal saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada
pad aposisi addkutus. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi
dan pemasangan gips serial.
3. Spina Bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang
belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh pada masa
perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan
gangguan fusi tuba neural.
22
4. Arthrogryposis, juga dikenal sebagai Arthrogryposis Multiplex
Congenita, adalah kelainan bawaan yang ditandai dengan beberapa sendi
kontraktur dan dapat meliputi kelemahan otot dan fibrosis non-progresif,
namanya berasal dari bahasa Yunani, secara harfiah berarti 'atau doyan
sendi melengkung.
2.11. Komplikasi2,7,8
1. Infeksi (jarang).
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak: adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.
3. Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.
Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :
1. Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus.
2. Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral.
3. Adanya perpanjangan tendon.
2.12. Prognosis2,5,6
1. Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi
tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar
89% dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon
Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%.
Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%, baik
dari segi penampilan maupun fungsi kaki.
2. Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor
utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan
pergerakan kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran
kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari pasien dengan kasus
CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya adalah
prosedur pembentukan ulang tulang).
23
3. Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara
10-50%.
4. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3
bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).
5. Bila berdasarkan usia, maka prognosis metode Ponsetti terhadap keberhasilan
terapi adalah sebagai berikut:
Umur (minggu) Persentasi
keberhasilan
0-6 94%
7-12 66%
13-24 24%
25-36 1%
>36 0,24%
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder
of the foot but not the hand. www.anatomisociety.com (13 Januari 2016).
2. Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com (13 Januari 2016).
3. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus.
www.podiatry.com (13 Januari 2016).
4. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review.
www.mjm.com (13 Januari 2016).
5. Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of
Deformity in the Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com (13 Januari
2016).
6. Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus
(clubfoot). www.statehealth.com (13 Januari 2016).
7. Anonym. 2005. Clubfoot Deformity. www.dubaibone.com (13 Januari 2016).
8. Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec 2007,
Vol. 5, No. 2. Turco’s Postero – Medial Release for Congenital Talipes
Equinovarus. www.gjm.com (13 Januari 2016).
9. Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy
and Early Chlidhood. www.jbjs.com (13 Januari 2016).
10. Kler, J. et al. 2005 Treatment Methods of Congenital Talipes Equinovarus-
three case reports. www.jpn-online.com (13 Januari 2016).
11. Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic Assesment of Congenital Talipes
Equinovarus: Strapping versus Forced Dorsoflexion. www.jos.com (13
Januari 2016).
12. Staheli, Lynn. 2009. Clubfoot : Ponseti Management Third Edition.
www.global-help.org (13 Januari 2016).
13. Shelter, B. 1998. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System: Deformities of the foot, 473-476.
14. Solomon, Louis. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures :
Talipes Equinovarus (idiophatic clubfoot), 488-490
25
15. Wainwright, A., Auld, T., Benson, M., Theologis, T. 2002. The Classification
of Conginetal Talipes Equinovarus
www.thejournalofboneandjoinsurgery .org.
26