51
REFERAT DEPARTEMEN SARAF AFASIA Penulis : Patricia Gabrielle T J 07120080063 Penguji : dr. Hj. Sasmoyohati, Sp.S Pendamping Penguji : dr. Dwi S DEPARTEMEN SARAF RSPAD GATOT SOEBROTO

REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

REFERAT DEPARTEMEN SARAF

AFASIA

Penulis : Patricia Gabrielle T J

07120080063

Penguji : dr. Hj. Sasmoyohati, Sp.S

Pendamping Penguji : dr. Dwi S

DEPARTEMEN SARAF

RSPAD GATOT SOEBROTO

JAKARTA

Page 2: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Kata Pengantar

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

bimbingan-Nya sajalah karya tulis dengan judul “ Afasia” ini dapat disusun dan diselesaikan

tepat pada waktunya.

Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. Sasmoyohati,Sp.S dan Dr. Dwi S., selaku penguji

yang telah memberikan kesempatan dan pengarahan dalam pembuatan makalah ini.

Tujuan utama dari makalah ini tak lain ialah untuk melengkapi ujian ahkir. Di samping itu

penulis berharap tulisan ini dapat menambah wawasan bagi setiap pembaca terutama

masyarakat umum dimana penyakit afasia ini sering dijumpai namun kurang diperhatikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kesalahan, baik kecil maupun

hal yang membingungkan, baik di dalam penyusunan kalimat maupun di dalam teorinya,

mengingat keterbatasan dari sumber referensi yang diperoleh penulis serta keterbatasan

penulis. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari segenap pembaca.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Mei 2012

Penulis

ii

Page 3: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Daftar Isi

Kata Pengantar...........................................................................................................................ii

Daftar Isi...................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Latar belakang.............................................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................2

2.1 Pengertian....................................................................................................................2

2.2 Fisiologi berbicara.......................................................................................................2

2.3 Sejarah.........................................................................................................................5

2.4 Etiopatofisiologi..........................................................................................................8

2.5 Epidemiologi...............................................................................................................9

2.6 Klasifikasi..................................................................................................................10

2.7 Gejala Afasia.............................................................................................................14

2.8 Diagnosis...................................................................................................................17

2.9 Penatalaksanaan.........................................................................................................23

2.10 Prognosis................................................................................................................25

BAB III.....................................................................................................................................26

iii

Page 4: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

PENUTUP................................................................................................................................26

3.1 Kesimpulan................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................27

iv

Page 5: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang disebabkan oleh

gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter,

tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan pengleihatan, atau kelemahan

motorik.

Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun tidak menutup

kemungkinan, afasia juga terjadi pada mereka yang mengalami cedera otak, tumor, dan

terutama pasien neurodegeneratif. Afasia seringkali masih disalahdiagnosiskan atau dianggap

remeh, karena afasia seringkali hanya merupakan penyakit penyerta dari sebuah penyakit

yang lebih nyata. Padahal, diagnosis afasia merupakan hal yang penting karena

membutuhkan terapi yang khusus.

Afasia dapat memperburuk kualitas hidup pasien karena pada afasia pasien menjadi kesulitan

untuk memahami lingkungan sekitarnya dan pasien tidak dapat mengekspresikan dirinya,

membuat pasien seolah terisolasi dari lingkungannya. Pasien dengan ketidakmampuan untuk

mengerti lingkungan dan mengekspresikan diri juga memberikan sebuah waspada kepada

dokter yang menangani karena setiap penyakit yang terdapat pada pasien menjadi tiak dapat

terdiagnosis dengan baik dan dokter tidak dapat mengedukasi pasien dalam proses terapi.

Untuk itu, pemahaman akan afasia adalah poin yang penting bagi setiap tenaga medis.

Melalui tulisan ini diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap afasia dapat meningkat dan

penderita afasia dapat diterapi spesifik sedini mungkin.

1

Page 6: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang disebabkan oleh

gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang

herediter, tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan pengleihatan, atau

kelemahan motorik. Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau

disfasia, gangguan motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria,

dan bukan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada

pasien skizofrenia.

2.2 Fisiologi berbicara

Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam pembagian area

sensorik-motorik primer dan sekunder pada umumnya. Area tersebut dinamakan area

asosiasi karena menerima dan menganalisis sinyal-sinyal secara bersamaan dari berbagai

regio baik dari korteks motorik maupun korteks sensorik dan juga dari struktur

subkortikal. Area asosiasi yang paling penting diantaranya area asosiasi parieto-oksipito-

temporal, area asosiasi prefrontal, dan area asosiasi limbik.

Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal parietal dan

oksipital yang besar yang dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian anterior, korteks

pengelihatan bagian posterior, dan korteks pendengaran bagian lateral. Area ini memberi

tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal dari seluruh area sensorik

sekitarnya. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini memiliki sub area fungsionalnya

sendiri. 2

Page 7: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak di belakang

korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis. Regio

ini merupakan regio yang paling penting di seluruh otak untuk fungsi intelektual yang

lebih tinggi karena hampir semuanya didasarkan pada bahasa.

Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio anterolateral

pada lobus oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi

pengelihatan dari kata-kata yang dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman

bahasa. Girus yang disebut girus angularis diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang

diterima secara visual. Bila area ini tidak ada, seseorang masih dapat memiliki

pemahaman bahasa yang sangat baik dengan cara mendengar tetapi tidak dengan cara

membaca.

Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis posterior

terdapat area untuk memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama dipelajari

melalui input pendengaran sedangkan sifat fisik suatu objek dipelajari terutama melalui

input visual. Selanjutnya nama-nama penting untuk pemahaman bahasa visual dan

pendengaran dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak tepat di superior

regio penamaan auditoris dan di anterior dari area pemrosesan kata visual.

Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik untuk

merencanakan pola-pola yang kompleks dan berurutan dari gerakan motorik. Untuk

membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas subkortikal masif dari

serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi parieto-oksipito-temporal

dengan area asosiasi prefrontal. Melalui berkas ini, korteks prefrontal menerima banyak

informasi sensorik yang belum dianalisis, khususnya informasi mengenai keserasian

3

Page 8: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

tubuh secara spasial yang diperlukan untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif.

Kebanyakan output dari area prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang

berjalan melalui bagian kaudatus dari lintasan umpan balik ganglia basalis-talamus guna

melakukan perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen rangsangan

gerakan yang berurutan dan bersifat paralel.

Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf

untuk pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di korteks prefrontal bagian posterior

lateral dan sebagian lagi terletak di area premotorik. Di area ini rancanfan dan pola

motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan

dilaksanakan. Area ini bekerja sama dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal.

Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu sama lain di

bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari berbagai area

interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi kiri pada

hampir semua orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi

pemahaman otak yang lebih tinggi (fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri.

Fungsi ini disebut intelegensia. Oleh karena itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai

nama yang menyatakan bahwa area tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun

area ini lebih dikenal dengan nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.

Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang

menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi apabila elektroda

perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang

berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area

Wernicke dapat memanggil kembali pola ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari

4

Page 9: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

satu modalitas sensorik, walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah

mana saja. Hal ini dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam

menginterpretasikan arti yang rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik.

Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak

tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah posterior bergabung dengan area visual

lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus

temporalis tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya

namun rangkaian pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke

benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata

dan bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti dari

kata-kata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word blindness)

2.3 Sejarah

Proses identifikasi area otak yang terlibat dalam kemampuan berbahasa dimulai pada

tahun 1861 ketika seorang ahli bedah saraf dari Prancis, Paul Broca, meneliti otak dari

seorang pasien yang telah meninggal dengan kelainan yang tidak umum pada saat itu.

Sekalipun pasien dapat mendengar dan memahami kata-kata dan tidak ada kelemahan

pada otot menggerak mulut dan bibirnya yang mungkin mengganggu kemampuan

5

Page 10: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

berbicaranya, pasien tidak mampu mengucapkan 1 kalimat utuh. Satu-satunya frase yang

dapat ia ucapkan ialah “Tan” yang merupakan bagian dari namanya sendiri.

Ketika Broca mengotopsi otak Tan, ia mendapati adanya lesi pada korteks frontalis

bagian inferior kiri. Selanjutnya Broca mempelajari 8 pasien lain dengan defisit

kemampuan berbicara yang serupa dimana ditemukan pula pada otak pasien-pasien

tersebut sebuah lesi pada lobus frontalis kiri. Hal ini menuntun Broca untuk membuat satu

pernyataan yang terkenal yakni “ kita berbicara menggunakan hemisfer kiri” dan untuk

mengidentifikasi, untuk yang pertama kalinya, keberadaan pusat bahasa pada bagian

posterior lobus frontalis kiri. Hal ini merupakan area pertama pada otak yang berhasil

diidentifikasi kaitannya dengan kemampuan berbahasa.

10 tahun kemudian, Carl Wernicke, seorang ahli saraf Jerman, menemukan bagian lain

dari otak yang terlibat dalam pemahaman bahasa di bagian posterior lobus temporalis kiri.

Pasien dengan lesi di bagian ini dapat berbicara namun pembicaraan tersebut tidak

koheren dan tidak memiliki makna.

6

Paul Broca Otak Tn. Tan yang telah diotopsi

Page 11: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Observasi Wernicke dikonfirmasi oleh berbagai pihak sejak saat ini. Saat ini para ahli

saraf menyetujui bahwa di sulkus lateralis yang biasa dikenal dengan fisura sylvii pada

bagian otak hemisfer kiri didapati adanya sebuah sirkuit neuronal yang terlibat baik dalam

pemahaman maupun proses produksi kata-kata. Pada ujung frontal dari sirkuit ini terdapat

area Broca yang berkaitan dengan produksi kata-kata untuk diucapkan atau pusat output

dari bahasa. Pada ujung yang lain yakni di superior posterior lobus temporalis terdapat

area Wernicke yang berkaitan dengan pemahaman kata-kata yang telah didengar atau

merupakan pusat input bahasa. Broca area dan Wernicke area dihubungkan oleh sebuah

kumpulan besar serabut saraf yang disebut fasikulus arkuata.

Sirkuit bahasa ditemukan pada hemisfer kiri pada 90% pasien yang tidak kidal dan 70%

pada pasien yang kidal. Bahasa merupakan salah satu fungsi yang dilakukan secara

7

Page 12: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

asimetris pada otak. Sirkuit ini juga ditemukan di lokasi yang sama pada pasien buta yang

menggunakan bahasa sandi. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sirkuit ini

tidak spesifik dengan bahasa yang terucap maupun terlihat namun secara luas berkaitan

dengan modalitas berbahasa setiap individu.

2.4 Etiopatofisiologi

Proses berbicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental : pembentukan buah

pikiran untuk diekspresikan berikut memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian

mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri.

Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area

asosiasi sensorik otak. Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa

mengalami kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi

intelektual yang berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan

membaca, kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan kemampuan

untuk berpikir melalui problem yang logis. Bila area Wernicke mengalami kerusakan

yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar dengan sempurna dan bahkan masih

dapat mengenali kata-kata namun tetap tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu

pikiran yang logis. Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis

namun tidak mampu mengenali gagasan yang disampaikan. Oleh karena itu pasien yang

mengalami afasia Wernicke atau afasia global tidak mampu memformulasikan buah

pikirannya untuk dikomuikasikan. Atau bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih

mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai

secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya.

8

Page 13: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Kadang pasien mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak dapat

mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini

disebut afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca di regio

fasial prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu, pola keterampilan

motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot

lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.

Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang melibatkan

hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan diakibatkan oleh

stroke, kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau penyakit degeneratif.

Neuroanatomi dari komprehensi dan produksi bahasa merupakan proses yang kompleks

meliputi input auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporalis superior, analisis di

lobus parietalis, dan ekspresi di lobus frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris

menuju kapsula interna dan batang otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan

serebelum.

Sindroma afasia didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan, merepetisi, dan

komprehensi bahasa. Gejala ini secara otomatis dikaitkan dengan gangguan pada

hemisfer serebri kiri. Pasien dapat merasa kesulitan dalam mengeluarkan kata-kata, dalam

mengerti kata-kata, dalam merepetisi, dan dalam membaca maupun mendengar kata-kata

dalam berbagai modalitas.

2.5 Epidemiologi

Di Indonesia, data epidemiologi penduduk yang menderita afasia tidak diketahui. Data

insidensi di Amerika Serikat pun terbatas. Namun berdasarkan data tersebut, stroke

merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari 20% pasien stroke terdapat

9

Page 14: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

pula afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar 170.000 kasus afasia baru yang berkaitan

dengan stroke. Jumlah pasien dengan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma

otak, tumor otak, maupun lesi lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab

tersering kedua dari afasia ialah penyakit degeneratif seperti alzeimer atau demensia

dengan prevalensi alzeimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000 kasus.

2.6 Klasifikasi

Ada dua klasifikasi pada afasia. Pertama afasia diklasifikasikan berdasarkan manifestasi

klinik, dan yang kedua berdasarkan distribusi anatomi dari lesi.

Berdasarkan manifestasi klinis nya, afasia dibedakan menjadi :

Afasia wernicke

Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1

kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat

parafasik dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga

terkadang disebut neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya

mengandung banyak kata sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja.

Pembicaraan banyak, namun tanpa arti.

Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti

bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak

marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat mengerti maksud dari

pembicaraannya. Pada pasien dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi

motorik dan perilaku paranoid. Pasien dengan afasia wernicke tidak dapat

mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang sesuai dan tidak dapat

memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini terletak di area wernicke. Etiologi 10

Page 15: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri media. Etiologi lain

bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan tumor. Adanya

hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan pendataran sudut nasolabial kanan

dapat mempertegas adanya lesi di area wernicke.

Afasia broca

Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh jeda yang

dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien juga menderita

disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang pasien hanya mau

menjawab dengan kata “ya” atau “tidak. Penamaan benda dan kemampuan merepetisi

terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa masih intak kecuali untuk kalimat yang

sulit yang diucapkan dengan suara yng pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan

membaca juga dipertahankan namun seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan

atau tatabahasa yang rumit. Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien

dapat bernyanyi dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia

broca. Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah

bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab paling

sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri media.

Afasia global

Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan, repetisi,

membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya disfungsi dari

broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia wernicke

yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang klasik.

Afasia Konduktif

11

Page 16: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik, namun

repetisi sangat terganggu. Penamaan dan pemulisan juga sangat terganggu. Jika pasien

diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan mengalami kesulitan, namun

pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.

Afasia transkortikal motorik

Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai afasia broca

namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari penggunaan tata

bahasa. Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi pada afasia transkortikal

motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara arteri serebri anterior dan media.

Afasia transkortikal sensori

Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai afasia wernicke

namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada afasia ini lesi memutuskan

area bahasa dari area asosiasi temporoparietal selain area khusus bahasa.

Afasia terisolasi

Sindrom yang langka ini melibatkan dua transkortikal afasia. Pemahaman pasien

sangat terganggu dan tidak ada arti dalam setiap kata yang diucapkan oleh pasien.

Pasien dapat menjadi ekolalia, mengindikasikan adanya mekanisme repetisi yang

masih intak. Lesi biasanya mengenai area sekitar frontal, parietal, dan temporal

namun tidak mengenai area broca maupun wernicke.

Afasia anomik

Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi, pemahaman,

dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama dari benda-

12

Page 17: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa pasien

parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa terganggu ketika

pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia anomik banyak ditemui

pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik, dan penyakit alzheimer.

Sindrom Gerstmann's

Sindrom gerstmann meliputi kombinasi dari akalkulia, disgrafia, anomia jari, dan

ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan. Untuk itu, pada pembuatan diagnosis

sindrom gertmann, penting untuk melihat apakah pasien dapat membedakan posisi

kiri dan kanan. Sindrom gertmann biasanya diakibatkan kerusakan pada lobus

parietalis inferior hemisfer serebri sinistra.

Pada klasifikasi afasia berdasarkan distribusi anatomi dari lesi, afasia dibedakan atas :

Sindrom afasia perisylvii : Meliputi Afasia broca, afasia wernicke, dan afasia

konduksi

Sindrom afasia daerah perbatasan : Meliputi afasia transkortikal motorik, afasia

transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran

Sindrom afasia subkortikal : Meliputi afasia talamik dan afasia striatal

Sindrom afasia non-lokalisata : Meliputi afasia gnomik dan afasia global.

Satu lagi klasifikasi afasia yang jarang digunakan, yakni yang merujuk pada linguistik. Afasia

pada klasifikasi ini dibedakan atas:

Afasia sintaktik

Afasia semantik

13

Page 18: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Afasia pragmatik

Afasia jargon

Afasia global

2.7 Gejala Afasia

Gejala afasia

Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala yang

berkaitan

Lokasi lesi

Broca Tidak lancar,

butuh banyak

usaha dalam

berbicara,

kurangnya

suku kata,

kurangnya

output namun

dapat

mencetuskan

ide

Tetap baik Terganggu Kelemahan pada

tangan dan

wajah bagian

kanan

Frontal

suprasylvian

Wernicke Lancar, fasih

berbicara,

Sangat

terganggu

Tidak

dapat

Hemi- atau

quadrantanopia,

Temporal,

infrasylvian

14

Page 19: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala yang

berkaitan

Lokasi lesi

artikulasi baik,

tapi tanpa arti

dilakukan tidak ada paresis termasuk girus

angular dan

supramarginal

Konduksi Lancar Baik Tidak

dapat

dilakukan

Biasanya tidak

dapat dilakukan

Supramarginal

gyrus atau

insula

Global Sedikit, tidak

lancar

Sangat

terganggu

Tidak

dapat

dilakukan

Hemiplegia Sebagian besar

perisylvian atau

lesi terpisah

pada frontal

dan temporal

Transkortikal

motorik

Tidak lancar Baik Sangat

baik

Bervariasi Anterior atau

superior area

Broca

Transkortikal

sensori

Lancar Tidak dapat

dilakukan

seperti halnya

pada Wernicke

Sangat

baik

Bervariasi Area di sekitar

Wernicke

Tuli kata Sedikit Terganggu Terganggu Quadrantanopia Bilateral (atau

15

Page 20: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala yang

berkaitan

Lokasi lesi

murni parafasik atau

normal

atau tidak ada

sama sekali

bagian kiri

saja) bagian

tengah

superior

temporal gyrus

Buta kata

murni

(aleksia tanpa

agrafia)

Normal tapi

tidak dapat

bersuara keras

Normal Normal Hemianopia

kanan; tidak

dapat membaca

tulisan tangan

sendiri

Girus kalkarina

dan girus

angularis

Mutisme kata

(afemia)

Tak bersuara

tapi mampu

menulis

Normal Tidak ada Tidak ada Sebagian dari

area Broca

Anomic

afasia

Kesulitan

mencari kata-

kata

Normal Normal Bervariasi Lobus

temporalis

bagian dalam

Afasia

Karakteristik respon dari pasien dengan afasia pada lokasi lesi yang spesifik

16

Page 21: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

(Pasien diminta menyebutkan kata “chair”)

Tipe afasia dan lokasi lesi Gejala pada pasien

Afasia motorik (Area Broca) "Tssair"

Afasia sensori (area Wernicke) "Stool" atau "choss" (neologisme)

Afasia sensori (area 40, 41, and 42; Afasia

konduktif)

"Flair . . . err, swair . . . tair."

Anomik (Girus angularis) "Saya tahu apa itu . . . saya punya banyak di

rumah."

2.8 Diagnosis

Anamnesis

Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera kepala. Pasien

dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita afasia secara

perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang berasal dari area

korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai.

Tanda-tanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun

sensori, atau defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia.

Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau episode afasia sebelumnya.

Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia dapat diakibatkan oleh ensefalitis

herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini meliputi riwayat demam, kejang, nyeri kepala,

dan perubahan perilaku.

17

Page 22: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk penting untuk

mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun malformasi arteri vena. Pada

pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan pada memori atau riwayat

gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa

hanya merupakan satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti

demensia. Perlu ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi,

perdarahan otak sebelumnya, penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid

angiopati.

Pemeriksaan berbicara spontan

Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan bagaimana pasien

berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk menceritakan hal-hal

yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia sampai dirawat di rumah

sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun, diprosodik (irama,

ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah

menggunakan kata, dan perseverasi.

Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia. Parafasia

semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang lainnya.

Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain yang biasanya

berbunyi cukup mirip.

Pemeriksaan kelancaran berbicara

Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa terbata-bata.

Kelancaran berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.

Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang

18

Page 23: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini. Defek yang ringan dapat

dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang

dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Sebagai contoh pasien diminta

untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan atau menyebutkan kata-

kata yang dimulai dengan huruf tertentu selama jangka waktu satu menit. Tidak lupa

pula kesalahan yang timbul dicatat untuk melihat adanya parafasia atau tidak.

Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam

pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu menyebutkan kira-kira

20 nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun pada orang berusia sekitar 70

tahun (±17 nama) dan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 85

tahun, skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.

Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan dengan huruf

tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat pendidikan. Kemampuan

yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap huruf merupakan petunjuk

adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun perlu diperhatikan pada pasien

dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari sekolah menengah pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan klinis pada

pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien dapat

memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk mengevaluasi

pemahaman secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan, pertanyaan tertutup (ya

atau tidak), dan menunjuk.

19

Page 24: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

o Konversasi : Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai

kemampuannya dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh

pemeriksa

o Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)

sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien

dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh bertepuk tangan,

kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda dan

meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan bahwa

perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan kelemahan motorik

dan apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk menunjuk ke beberapa benda,

mula-mula satu benda dan ditingkatkan menjadi sebuah perintah berantai

untuk menunjuk ke beberapa benda secara berurutan. Pasien dengan afasia

mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1-2 objek saja.

o Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup

dengan bentuk jawaban “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah

adalah 50%, jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan

misalnya “Apakah anda bernama Budi?”, “Apakah AC di ruangan ini mati?”,

“Apakah ini Rumah Sakit?”, “Apakah di luar sedang hujan?”, “Apakah saat

ini malam hari?”.

o Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah

dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :

“tunjukkan lampu” kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping televisi”.

Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien.

20

Page 25: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik

sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar mengenai

gangguan serta beratnya.

Pemeriksaan repetisi

Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula kata

yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu

kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan

parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya

dapat mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia

mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga yang menunjukkan

kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik daripada berbicara

spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka kelainan patologis sangat

mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya daerah ekstrasylvian yang terlibat

dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler

(watershed area)

Pemeriksaan menamai dan menemukan kata

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini

sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes

yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini.

Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama

(menamai) atau disebut anomia.

Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari

objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik, atau

21

Page 26: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan benda-benda yang sering

digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak

penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau

digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun dengan melukiskan

kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya. Bila pasien tidak

mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau

dengan menggunakan kalimat penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien kepada

kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada

pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak

dapat menamainya.

Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama

beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan

memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji,

lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi,

lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut.

Warna misalnya merah, biru, hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya

jarum jam, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.

Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau

lamban, atau tertegun, atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan

apakah ada perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan

gambar objek.

Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah pasien

dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada

22

Page 27: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum menentukan

bahwa tidak didapatkan gangguan.

Pemeriksaan sistem bahasa

Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan

bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun menamai. Selain

itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak lupa evaluasi

dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan

tangan.

Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat

dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan

sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis dapat dipersingkat.

Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus

dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat terjadi secara

terpisah.

Pemeriksaan penggunaan tangan

Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat. Sebelum

menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau menggunakan

tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis dengan tangan

kanan, oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup untuk mennetukan

apakah ia seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga diminta memperagakan

gerakan tangan yang digunakan untuk memegang pisau, melempar bola, dan

sebagainya.

23

Page 28: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari sindrom afasia itu

sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rTPA pada pasien stroke

iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan endarterectomy karotid, atau kontrol

dari tekanan darah dapat meringankan defisit yang dialami. Pembedahan pada subdural

hematoma atau tumor serebri juga memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada

afasia yang disebabkan oleh infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi

antivirus.

Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan teknik

pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang

dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi

berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang

dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu

ke individu.

Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :

Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan

dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat

sangat berguna bagi pasien.

Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi,

masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain,

terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien

Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan dopaminerjik,

cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil yang jelas. Namun 24

Page 29: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping dari terapi berbicara telah

menunjukkan hasil yang baik.

Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba

pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

2.10 Prognosis

Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebabnya. Pada afasia yang

disebabkan oleh stroke, penanganan utama stroke dan kesembuhannya sangat berpengaruh

terhadap kesembuhan dari afasia itu sendiri. Menginat penyembuhan dari stroke memakan

waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas defisit neurologis, kesembuhan afasia dari

pasien stroke sangat tidak menentu.

Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks misalnya, kesembuhan

dapat segera terjadi dengan memberikan terapi antiviral yang sesuai.

25

Page 30: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Afasia merupakan penyakit penyerta dari berbagai penyakit neurologis lain seperti stroke,

cedera kepala, tumor otak, dan penyakit neurodegeneratif. Dengan gejala kurangnya

pemahaman bahasa dan ketidakmampuan dalam mengungkapkan kata-kata, afasia sangat

berpengaruh bagi kualitas hidup pasien. Afasia dapat mempersulit baik diagnosis maupun

terapi dari berbagai penyakit lain karena minimnya komunikasi yang dapat dilakukan bagi

pasien.

Diagnosis dini dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik bagi pasien

maupun pendamping pasien agar defisit yang dialami tidak makin berat. Untuk itu, seorang

dokter harus dapat mendiagnosa afasia dengan tepat, baik dari segi pembuatan diagnosis

afasia maupun dari segi mengklasifikasikan afasia tersebut karena setiap jenis afasia dapat

membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat

melakukan pemeriksaan diagnosis afasia dengan tepat, yakni meliputi anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk melihat penyebab dan lokasi lesi afasia.

Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Terapi ini biasa dilakukan oleh tenaga

rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli syaraf. Tingkat kebrhasilan dari terapi ini sangat

bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Oleh karena itu, afasia tidak boleh

dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal melainkan biasanya digunakan terapi kombinasi.

26

Page 31: REFERAT DEPARTEMEN SARAF

DAFTAR PUSTAKA

Barrett, Kim E, Susan M Barman, Scott Boitano, dan Heddwen Brooks. Ganong's Review of

Medical Physiology. United States of America: McGraw Hill, 2010.

Guyton, Arthur C, dan John E Hall. Textbook of Medical Physiology. Singapore: Elsevier,

2008.

Howard, Kirshner. Medscape Reference. 26 Januari 2012.

http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#showall (diakses Mei 28, 2012).

Longo, Dan L, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, dan Stephen L Hauser. Harrison's

Principles of Internal Medicine. United States of America: McGraw Hill, 2012.

Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI, 2010.

Research, Canadian Institute of Health. Canadian Institute of Health Research - Institute of

Neuroscience, Mental Health, adn Addiction. Juni 2010.

http://thebrain.mcgill.ca/flash/d/d_10/d_10_cr/d_10_cr_lan/d_10_cr_lan.html (diakses Mei

28, 2012).

Ropper, Allan H, dan Martin A Samuels. Adams and Victor's Principles of Neurology. United

States of America : McGraw Hill, 2009.

Simon, Roger P, A David Greenberg, dan J Michael Aminoff. Lange : Clinical Neurology 7e.

United States of America: McGraw Hill, 2009.

27