Referat Difficult Airway

Embed Size (px)

DESCRIPTION

this is difficult. xD

Citation preview

Fakultas Kedokteran UWKS

RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

BAB I

PENDAHULUAN

Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. 1 Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus. 1,2 Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik (seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi. 1,2BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi Jalan Napas

Kata jalan napas (atau airway, dalam bahasa Inggris), mengarah kepada saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, faring, laring, trakhea dan brokus. Jalan napas pada manusia merupakan suatu saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan oroesofageal dan nasotraheal bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan secara anatomis dan fungsional untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar tidak terjadi aspirasi makanan yang melewati faring.1 Secara anatomis, pertumbuhan dan perkembangan saluran pernapasan atas sangat kompleks selama masa neonatal dan anak-nak, dan berjalan sesuai dengan ukuran dan bentuk, dan hal ini disesuaikan lagi dengan ukuran tulang servikal. Hal ini serupa dengan sistem lainnya dalam tubuh, pertumbuhan dan perkembangan saluran napas atas dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan hormonal.1

Perbedaan anatomis antara anak dan orang dewasa: 1,2,3 Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil

Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak; plika vokalis pada orang dewasa

Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa

Epiglottis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku

Pada anak, plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline

Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus dengan laring

Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan manipulatif

Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga pasang ditambah tiga lainnya),yang secara bersama-sama tulang rawan ini membentuk rumah bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai poterior (kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid). Kartilago thyroid yang berbentuk seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita suara. Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang bertugas menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan dengan otot-otot pada kartilago laring. Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua cabang saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus rekuren. Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring (kecuali kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan kerusakan pita suara. Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan napas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi menurun.3

Membran krikothiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid. Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah. Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan 1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adams apple). Dua pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis (yaitu 0,9cm di atas ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior. 3

Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk cincin, dan kartilago ini menggantung dari bagian bawah membran krikotiroid. Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior. Trakhea dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal. Trakhea memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago yang berbentuk C dan di daerah posterior terdapat membran yang berbatasan dengan esofagus. 3

Cincin trakhea yang pertama , sejajar dengan tulang servikal keenam (C6). Tulang-tulang rawan trakhea saling dihubungkan dengan jaringan fiborelastik, yang memudah peregangan dari trakhea baik panjang dan diameternya pada saat proses inhalasi/ekspirasi dan pada saat fleksi/ekstensi leher. Trakhea berakhir di karina, yaitu pada vertebra thorakalis kelima (Th5), dan bercabang menjadi dua cabang bronki. Bronkus kanan memiliki diameter yang lebih besar bila dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan trakhea. Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke bronkus kanan. Cincin tulang rawan akan melindungi bronki sampai tujuh percabangan terakhir.1,32.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.4

Suatu keadaan yang patologis dapat ditemukan pada saat dimulai dilakukannya tindakan anestesi, misalnya pada saat induksi atau ketika laringoskop dipasang, misalnya pada pasien dengan kesulitan dilakukan mask ventilation, laringoskopi maupun LMA dikarenakan adanya suatu massa di leher yang baru ditemukan pada saat itu. 4

Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini : (1) timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal perut penuh, open globe), (2) anatomi saluran napas yang abnormal, (3) keadaan gawat darurat, (4) trauma langsung pada laryng dan atau trakhea. Pemeriksaan fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut, kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis di faring.5 Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu berhati-hati. Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk; sendi yang tidak proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit. Dalam usaha-usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan meningkatnya jarak alveolar-mental.3,4 Studi radiografik pertama, menunjukkan kedalaman di daerah posterior mandibula (suatu jarak antara alveolar yang bertulang yang terletak di belakang gigi molar ketiga dan batas bawah mandibula) adalah faktor penting yang menentukan sulit tidaknya laringoskopi. Lalu, terdapat jarak thiro-mental, suatu jarak yang berawal dari ujung mentum sampai dengan tonjolan thiroid, yang dikatakan sebagai suatu pengukuran yang sangat penting dan perlu dievaluasi. Bila hasil pengukuran kurang dari 6 cm, maka kesulitan dalam tindakan laringoskopi sudah pasti timbul. Konsep ini diperluas oleh Savva, seorang yang mengukur jarak sternomental dengan kepala dalam keadaan ekstensi maksimal. Pada perhitungan ini ditambahkan keadaan sendi atlanto-oksipital ke dalam penilaian. Bila hasil pengukuran kurang dari 12 cm akan memberikan hasil yang positif.4,5 Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat. Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng, tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum, uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati berdasarkan pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring.2,3 Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel 23.3). Dalam kelas IV ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak. Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk. Penilaian yang praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini, sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien. Dalam percobaan dari 675 pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan memberikan hasil 139 positif salah.4

Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisonal dari jalan napas, termasuk klasifikasi Mallampati/Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan peralatan ventilator supraglotis (contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).4,5Tabel 1. Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.4KlasifikasiKlinis

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IVTampak uvula, pilar fausial dan palatum mole Pilar fausial dan palatum mole terlihatPalatum durum dan palatum mole masih terlihatPalatum durum sulit terlihat

Tabel 2. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.4

Keadaan PatologisKeadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas

Kongenital

Sindroma Pierre Robin

Sindroma Treacher Collins (dysostosis mandibulofacial)

Sindroma Goldenhars (okulo-aurikula-vertebral)

Sindroma Down

Sindrom Klippel-Feil

Sindrom Alpert

Sindrom Beckwith (infantile gigantisme)

Cherubism

Cretinismus

Sindrom Cri du Chat

Sindrom Meckel

Von Recklinghausen disease

Sindrom Hurler

Sindrom Hunter

Sindrom Pompe

DIDAPAT

Infeksi

Supraglotis

Croup

Abses (intraoral, retrofaringeal)

Papilomatosis

Ludwigs Angina

Arthritis

Rheumatoid arthritis

Spondilitis ankilosis

Tumor Jinak

Kistik higroma,lipoma, adenoma, goiter

Tumor Ganas

Karsinoma lidah, laryng, thiroid

Trauma

Trauma kepala, wajah, tulang servikal

Lain-lain

Obesitas

Akromegali

CombustioMicrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate

Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula, mikrostomia, atresia choane

Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula; oksipitalisasi tulang atlas

Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik; makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal

Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher

Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan di tracheobronchial

Makroglossia

Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga mulut

Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea

Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia; laryngomalacia, stridor

Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis

Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat muncul di laryng dan

Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial; ISPA berulang

Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia

Deposit otot, makroglossia

Edema laryng

Edema laryng

Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.

Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid, deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher

Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.

Stenosis atau distorsi jalan napas

Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh jaringan fibrosis akibat radiasi

Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan, fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng, dislokasi vertebra servikal

Leher pendek dan tebal, lidah yang besar

Makroglossia, prognatismus

Edema saluran napas

2.3 Pengelolaan Jalan Nafas (Airway Management)Bertujuan untuk membebaskan jalan napas untuk menjamin pertukaran udara secara normal. Pemeriksaan airway dilakukan bersama-sama dengan breathing menggunakan teknik L (look), L (listen) dan F (feel) yang dilakukan dalam satu gerakan dalam tempo waktu yang singkat (lihat materi pengkajian ABC).

Gambar 1. Pemeriksaan airwayTindakan berupa:a. Tanpa Alat1) Membuka jalan nafas dengan metode :- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 2. Teknik Jaw ThrustPada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.2) Membersihkan jalan nafas

- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 3. Finger SweepDilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) dan hembusan napas hilang.

- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 4. Abdominal Thrust

- Chest Thrust (Pijatan Dada)

Gambar 5. Chest Thrust pada bayi

- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)

Gambar 6. Back Blow pada bayi

b. Dengan Alat1) Pemasangan Pipa (Tube)Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring). Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan nafas dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama pada pasien-pasien tidak sadar.

Gambar 7. Pemasangan Tube

Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik, dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (ETT/endotracheal tube). Pemasangan pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.

Gambar 8. Pemasangan ETT1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila dimungkinkan pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai )

2. Petugas mencuci tangan3. Petugas memakai masker dan sarung tangan4. Melakukan suction5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan (Ventilator)

buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang

buka mulut pasien

masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-ujung blade sudah sampai di pangkal lidah- geser lidah pelan-pelan ke arah kiri

angkat tangkai laryngoskop ke depan sehingga menyangkut ke seluruh lidah ke depan sehingga rona glotis terlihat

ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah di tentukan sebelumnya

masukkan dari sudut mulut kanan arahkan ujung ETT menyusur ke rima glotis masuk ke cela pita suara

dorong pelan sehingga seluruh balon ETT di bawah pita suara

cabut stylet

tiup balon ETT sesuai volumenya

cek adakah suara keluar dari pipa ETT dengan Menghentak dada pasien dengan ambu bag

cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang masuk leawt ETT apakah sama antara paru kanan dan kiri

fiksasi ETT dengan Plester

hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen

6. Pernafasan yang adekuat dapat di monitor melalui cek BGA (Blood Gas Analysis) 1jam setelah intubasi selesai7. Mencuci tangan sesudah melakukan intubasi8. catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator

2) Penghisapan Benda Cair (Suctioning)Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).

Gambar 9. Teknik SuctionMembersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction) dan alat penjepit (forceps).

3) Membuka Jalan Nafas Dengan Krikotirotomi

Gambar 10. Teknik Krikoirotomi

Bila pemasangan pipa endotrakhea tidak mungkin dilakukan, maka dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan trampil, dapat dilakukan krikotirotomi dengan pisau .

Kesulitan Ventilasi dengan Sungkup

- sungkup yang rusak

- kebocoran gas yang berlebihan

- resistensi berlebihan masuk atau keluarnya gas Kesulitan laringoskopi ( kesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop sederhana. Kesulitan Intubasi Trakea ( memerlukan intubasi trakea berulang kali, dengan ada atau tidak adanya patologi trakea. Gagal Intubasi ( penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi.Italian Difficult Airway Study Group (SIAARTI) :

( kesulitan ventilasi (baik menggunakan sungkup atau alat extraglottic) dan atau kesulitan intubasi dengan peralatan standar (laringoskop dan ETT sederhana). Tiga komponen yang berkaitan: Kesulitan Ventilasi dengan Sungkup ( Tidal Volume tidak dapat terpenuhi tanpa alat atau bantuan eksternal jalan nafas, prosedur standar, atau intubasi.

Kesulitan laringoskopi ( Tidak terlihat pita suara, walaupun dengan manipulasi laring yang baik. Kesulitan Intubasi ( walaupun dengan posisi kepala yang benar, manipulasi laring berdampak ke :

a) kesulitan laringoskopi b) keperluan untuk mengulang percobaan

c) kebutuhan alat atau d) with-drawal dan perencanaan ulang prosedur non standar 2.4 Algoritma Jalan Nafas SulitPada tahun 1993, ASAs Task Force pada jalan nafas sulit pertama kali menerbitkan algoritma yang menjadi pokok manajemen jalan nafas untuk klinisi. Algoritma ini diterbitkan lagi pada tahun 2003. Perubahan paling dramatis pada ASA Difficult Airway Algorithm (ASA-DAA) yaitu penempatan LMA dari jalur emergensi menjadi rutin. ASA mengartikan difficult airway sebagai situasi dimana anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi masker atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan intubasi yaitu 0,05 hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/ ketidakmampuan melakukan ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%.

Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme, gambaran yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan manajemen pada kesulitan jalan nafas: Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.

Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun terdapat beberapa pertentangan sepert metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.

Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada satu dari dua poin dasar : A-awake intubation, atau B- usaha intubasi setelah induksi anestesi umum. Ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien). Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan Algoritma Jalan Nafas Sulit

Terbagi atas dua teknik yaitu awake intubasi dan intubasi dalam keadaan teranastesi.

Awake IntubasiIntubasi awake memberikan banyak keuntungan atas keadaan anestesi, termasuk menjaga ventilasi spontan pada keadaan dimana jalan nafas tidak dapat diamankan secara cepat, meningkatkan ukuran dan patensi faring, penempatan relative kedepan pangkal lidah, penempatan posterior laring, dan patensi ruang retropalatum. Efek sdatif dan anestetik umum pada patensi jalan nafas mungkin sekunder terhadap efek langsung pada motorneuron dan system activating reticular. Pada pasien tidur apnu dapat cenderung jadi obstruksi dengan sedasi minimal. Sebagi tambahan, keadaan sadar mempertahankan tonus spinkter esophagus bawah dan atas, sehingga mengurangi resiko reflux. Pada kejadian reflux, pasien dapat menutup glottis dan/atau mendorong benda asing yang diaspirasi dengan batuk menunjukkan bahwa refleks ini tidak ditumpulkan oleh anestetik local. Pasien yang beresiko terhadap sequele neurologist (mis, pasien dengan kelainan tulang servikal yang tidak stabil) mungkin memerlukan monitoring sensoris-motor setelah intubasi takea. Pada situasi emergensi, perlu perhatian (mis, rangsangan kardiovaskuler pada iskemia kardiak atau resiko iskemia, bronkospasme, penigkatan tekanan intra okuler, peningkatan tekanan intracranial) tapi tidak kontraindikasi absolute untuk awake intubasi. Kontraindikasi terhadap elektif awake intubasi termasuk penolakan pasien atau tidak kooperatif (mis, anak kecil, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi terhadap anestetik local.Non invasive

Anestetik local merupakan dasar dari tehnik pengendalian jalan nafas awake. Jalan nafas, dari pangkal lidah hingga bronkus, terdiri dari jaringan yang sangat sensitive. Anestesia topical dan tehnik blok saraf telah dikembangkan untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas juga untuk menimbulkan analgesia. Seperti diketahui dengan baik oleh praktisi anestetik, anestetik local adalah obat yang efektif dan berbahaya. Klinisi harus memiliki pemahaman yang benar mengenai mekanisme aksi, metabolisme, toksisitas, dan dosisi oabat kumulatif yang dapat diterima yang dipilih untuk jalan nafas. Karena banyak dari obat ini akan berada di saluran trakea-bronkial dan akan menuju alveolus, akan terdapat absorsi intravaskuler yang signifikan dan cepat.Tehnik noninvasive menggunakan kapas lidi yang dibasahi anestetik local, yang diposisikan ke aspek paling inferior lipatan dan didiamkan selama 5-10 menit. Bila tehnik noninvasive terbukti tidak adekuat, anestetik local dapat disuntikkan.Jika teknik noninvasive terjadi kegagalan maka kita bisa menggunakan teknik invasive (trakeostomi, krikotirotomi), menggunakan laryngeal mask airway (LMA), atau tidak jadi menggunakan teknik awake intubasi.

Intubasi dalam keadaan teranastesi

Intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain.Jika intubasi gagal, maka panggil bantuan, bangunkan pasien, dan ventilasi.

Pasang face mask ventilation, jika adekuat bisa saja intubasi berhasil dilakukan atau gagal. Jika tetap gagal maka panggil bantuan, lakukan metode invasive dan bangunkan pasien.

Jika face mask tidak adekuat dan intubasi gagal, maka pasang LMA, jika LMA berhasil kembali ke pemasangan intubasi, jika tetap gagal maka panggil bantuan, lakukan metode invasive dan bangunkan pasien.kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Gambar 2-27 menguraikan algoritme pendekatan jalan nafas (AAA). Pilihan cabang seperti pernyataan yang sebelumnya ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian AAA dapat ditemukan ditempat lain dan disimpulkan di sini:

1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus dipertimbangkan

2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-DAA.

3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang lain) akan sulit, suatu titik tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi) (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih

4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik waktu tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih

5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini. Faktor ini telah didiskusikan secara terperinci di tempat lain. Untuk mengilustrasikan penerapan klinis AAA, jalur algoritme ini akan diikuti skenaro klinis pada akhir bab ini.

Pengecualian terhadap AAA yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi)

Persiapan pasien untuk intubasi awake didiskusikan nanti. Pada kebanyakan keadaan, intubasi awake berhasil jika pendekatan dengan perhatian dan kesabaran. Jika intubasi awake gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan. Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.

Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal resiko dan benefit (table 22-15). ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi mask yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi mask sebaiknya dilaukan. Jika facemask adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral blind atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal, algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat untuk situasi klinis).

Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.

Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003) berdasar pada lebbih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam menghadapi situasiCNI/CNV telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu ruma sakit diselamatkan dengan LMA.

2.5 Manajemen Jalan Nafas Awake 2,3Manajemen jalan nafas awake masih suatu arus utama dari ASA-DAA. Intubasi awake memberikan banyak keuntungan atas keadaan anestesi, termasuk menjaga ventilasi spontan pada keadaan dimana jalan nafas tidak dapat diamankan secara cepat, meningkatkan ukuran dan patensi faring, penempatan relative kedepan pangkal lidah, penempatan posterior laring, dan patensi ruang retropalatum. Efek sdatif dan anestetik umum pada patensi jalan nafas mungkin sekunder terhadap efek langsung pada motorneuron dan system activating reticular. Pada pasien tidur apnu dapat cenderung jadi obstruksi dengan sedasi minimal. Sebagi tambahan, keadaan sadar mempertahankan tonus spinkter esophagus bawah dan atas, sehingga mengurangi resiko reflux. Pada kejadian reflux, pasien dapat menutup glottis dan/atau mendorong benda asing yang diaspirasi dengan batuk menunjukkan bahwa refleks ini tidak ditumpulkan oleh anestetik local. Pasien yang beresiko terhadap sequele neurologist (mis, pasien dengan kelainan tulang servikal yang tidak stabil) mungkin memerlukan monitoring sensoris-motor setelah intubasi takea. Pada situasi emergensi, perlu perhatian (mis, rangsangan kardiovaskuler pada iskemia kardiak atau resiko iskemia, bronkospasme, penigkatan tekanan intra okuler, peningkatan tekanan intracranial) tapi tidak kontraindikasi absolute untuk awake intubasi. Kontraindikasi terhadap elektif awake intubasi termasuk penolakan pasien atau tidak kooperatif (mis, anak kecil, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi terhadap anestetik local.

Sekali klinisi telah memutuskan untuk melakukan manajemen jalan nafas awake, pasien harus dipersiapkan baik fisik dan psikologis. Kebanyakan pasien dewasa akan menghargai penjelasan akan kebutuhan akan pemeriksaan jalan nafas awake dan akan lebih kooperatif saat menyadari kepentingannya, dan rasionalisasi untuk prosedur yang tidak nyaman. Sekali jalan nafas sudah dipersiapkan, pasien akan menyadari bahwa mereka selanjutnya tidak mengalami ketidak nyamanan selama intubasi.

Bagian dari penjelasan yang sesuai, pengobatan dapat juga digunakan untuk menghilangkan kecemasan. Jika sedative digunakan, klinisi harus meyadari bahwa mengakibatkan obstruksi atau apne pada pasien sulit jalan nafas dapat membahayakan dan pasien yang terlalu tersedasi menjadi tidak dapat melindungi jalan nafas terhadap regurgitasi isi lambung, atau kerjasama dengan prosedur. Dosis kecil benzodiazepine (diazepam, midazolam, lorazepam) umumnya digunakan untuk meredakan kecemasan tanpa mengakibatkan depresi nafas yang signifikan. Obat-obat ini dapat diberikan iv atau oral (jika tersedia) dan dapat diriverse dengan spesifik antagonis. (mis, flumazenil). Opioid agonis reseptor (mis, fentanil, alfentanil, remifentanil) dapat juga digunakan dengan dosis kecil, titrasi untuk efek sedasi dan antitusif walaupun perhatian harus diberikan. Antagonis spesifik (mis, naloxon) harus selalu tersedia secara cepat. Ketamin dan droperidol dan obat baru, dexmetomodine, juga sudah dikenal dikalangan klinisi.

Pemberian antisialagogus penting untuk keberhasilan teknik intubasi awake. Seperti akan dibicarakan dibawah, pembersihan sekresi jalan nafas penting untuk penggunaan instrument optic indirek (mis, bronkoskop fiberoptik, laryngoskop fiberoptik rigid) karena sedikit cairan dapat menghalangi lensa objektif. Obat yang umum digunakan atropine (0,5 1 mg im atau iv ) atau glicopyrolat (0,2 0,4 mg im atau iv) memiliki efek lain yang bermakna: dengan mengurangi produksi saliva, obat ini meningkatkan efektifitas anestesi local dengan menyingkirkan barier terhadap kontak mukosa dan mengurangi pengenceran obat. Vasokonstriksi jalan nasal dibutuhkan jika terdapat instrumentasi bagian dari jalan nafas ini. Jika pasien beresiko terhadap regurgitasi lambung dan aspirasi, tindakan pencegahan harus dilakukan. Juga bijaksana untuk memberikan oksigen suplemen kepada pasien dengan kanul nasal (dapat ditempatkan pada hidung atau mulut).

Anestetik local merupakan dasar dari tehnik pengendalian jalan nafas awake. Jalan nafas, dari pangkal lidah hingga bronkus, terdiri dari jaringan yang sangat sensitive. Anestesia topical dan tehnik blok saraf telah dikembangkan untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas juga untuk menimbulkan analgesia. Seperti diketahui dengan baik oleh praktisi anestetik, anestetik local adalah obat yang efektif dan berbahaya. Klinisi harus memiliki pemahaman yang benar mengenai mekanisme aksi, metabolisme, toksisitas, dan dosisi oabat kumulatif yang dapat diterima yang dipilih untuk jalan nafas. Karena banyak dari obat ini akan berada di saluran trakea-bronkial dan akan menuju alveolus, akan terdapat absorsi intravaskuler yang signifikan dan cepat. Walau tersedia banyak sekali anestetik local, hanya yang paling umum digunakan yang akan dibicarakan di sini.

Diantara otolaringologist, kokain merupakan obat topical yang popular. Tidak hanya anestetik local yang sangat efektif, tapi juga satu-satunya anestetik local yang vasokonstriktor poten. Biasanya tersedia dalam larutan 4%. Dosis total yang diaplikasikan ke mukosa sebaiknya tidak melebihi 200 mg pada dewasa. Kokain sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang diketahui hipersensitif kokain, hipertensi, penyakit jantung iskemi, preeklamsia, atau yang mengkonsumsi MAOI. Karena kokain dimetabolisme oleh pseudokolinesterase, dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang defisiensi enzyme ini.

Lidokain, suatu anestetik local amida, tersedia dalam sediaan dan dosis yang sangat bervariasi (tbel 22-16). Diberikan secara topical, onset puncaknya dalam 15 menit. Level toksik plasma mungkin tercapai tapi tidak umum dilaporkan pada manajemen jalan nafas.

Tetrakain suatu anestetik local amida dengan masa kerja yang lebih panjang dari kokain atau lidokain. Tersedia larutan 0,5%, 1%, dan 2%. Absorpsi obat ini dari traktus respiratorius dan gastrointestinal, dan toksisitas setelah pemberian nebulisasi telah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg, walau dosis aman yang dapat diterima pada orang dewasa 100 mg.

TABEL 22-16

SEDIAAN LIDOKAIN

SEDIAAN DOSIS

Larutan injeksi/topical 1%, 2%, 4%

Larutan kental 1%, 2%

Obat oles 1%, 5%

Aerosol 10%

Obat-obatan untuk intubasi1) Sedasia). Pentothal 25mg / cc dosis 4-5 mg/kgbbb). Dormicum 1 mg / cc dosis 0,6 mg/kgbbc). Diprivan 10 mg/cc 1-2 mg/kgbb2). Muscle relaksana). Succynilcholin 20 mg / cc dosis 1-2 mg/kgbbb). Pavulon 0,15 mg/kgbb

c). Tracrium 0,5-0,6 mg/kgbbd). Norcuron 0,1 mg/kgbb3). Obat-obatan emergency (troley emergency)a). Sulfas Atropineb). EpedrineBenzokain popular diantara beberapa klinisi karena onsetnya yang sangat cepat (< 1 menit) dan durasi yang singkat (~10 menit). Tersedia dalam larutan 10%, 15%, dan 20%. Telah dikombinasikan dengan tetrakain (Hurriaine, Beutlich Pharmaceuticals) untuk memperpanjang masa kerja. Pemberian O,5 detik aerosol Hurricaine memberikan 30 mg benzokain, dosis toksis 100 mg. Sediaan umum lain yaitu Cetakain spray, yang mengkombinasikan benzokain dengan tetrakain, butyl aminobenzoat, benzalkonium klorida, dan cetyldimetyletyl ammonium bromida. Benzokain dapat mengakibatkan methemoglobinuria, yang diterapi dengan metylen blue.

Terdapat tiga daerah anatomis yang klinisi arahkan terapi anestetik local: rongga hidung/nasofaring, faring/pangkal lidah, dan hipofaring/laring/trakea. Rongga hidung dipersarafi oleh nervus palatinum mayor dan minor (mempersarafi konka nasalis dan hamper seluruh septum nasal) dan nervus etmoidalis anterior (mempersarafi nares dan 1/3 anterior septum nasal). Dua saraf palantinus keluar dari ganglion spenopalantinus, menuju konka posterior hingga medial. Dua tehnik untuk blok saraf telah diterangkan sebelumnya. Ganglion dapat dicapai melalui pendekatan noninvasive nasal: kapas lidi dibasahi dengan anastetik local melewati hingga mencapai dinding atas konka medialis dan dinding posterior nasofaring. Didiamkan selama 5-10 menit. Pada pendekatan oral, sebuah jarum ditusuk ke dalam foramen palantins mayor, yang dapat dipalpasi pada aspek lateral posterior, 1 cm medial terhadap molar dua dan tiga. Larutan anestetik (1-2 ml) disuntikkan dengan menggunakan jarum spinal ke arah superior/posterior pada kedalaman 2-3 cm. Hati-hati agar tidak menyuntik arteri spenopalatinus. Saraf etmoidalis anterior dapat diblok dengan kapas lidi yang dibasahi anestetik local yang ditempel pada permukaan dorsal hidung hingga lempeng kribiformis anterior. Anestetik local ditempel hingga 5-10 menit.

Orofaring dipersarafi oleh cabang nervus vagus, facialis dan glossofaringeal. Nervus glossofaringeal ( NGF) berjalan anterior sepanjang permukaan lateral faring, tiga cabangnya menyuplai persarafan sensoris sepertiga posterior lidah, valekula, permukaan anterior epiglottis (cabang lidah), dinding faring (cabang faring), dan tonsil (cabang tonsilar). Variasi luas tehnik dapat digunakan untuk mnganastesi bagian jalan nafas ini. Tehnik paling sederhana melibatkan larutan anestetik local aerosol, atau kunyah dan telan volunteer. Selama klinisi telah mengemabangkan rencana untuk menganastesi seluruh struktur yang berhubungan, telah mencukupkan waktu agar obat anestetik local bekerja, dan tetap terus menerus menginagat akan dosis total dari oabat anestetik lokal yang diberikan, kebanyakan pasien akan akan teranastesi secara adekuat dengan cara ini.

Beberapa pasien mungkin membutuhkan blok NGF, khususnya bila tehnik topical tidak secara adekuat memblok refleks muntah. Cabang saraf ini paling mudah dicapai karena melintasi liapatan palatogossal. Lipatan ini kelihatan sebagai cekungan jaringan lunak, yang meluas dari aspek posterior palatum moll eke pangkal lidah, secara bilateral.

Tehnik noninvasive menggunakan kapas lidi yang dibasahi anestetik local, yang diposisikan ke aspek paling inferior lipatan dan didiamkan selama 5-10 menit. Bila tehnik noninvasive terbukti tidak adekuat, anestetik local dapat disuntikkan. Berdiri pada sisi kontralateral terhadap saraf yang akan diblok, operator memindahkan lidah yang melebar ke sisi kontralateral dan jarum spinal 25-G ditusuk ke membrane dekat dasar mulut. Uji aspirasi dilakukan. Jika udara diaspirasi,jarum telah melewati membrane. Jika darah diaspirasi, jarum lebih diarahkan ke medial. Cabang lingual paling mudah diblok dengan cara ini, tapi jalur retrograde penyuntikan juag telah ditunjukkan. Walau memberikan blok yang baik, tehnik dilaporkan menyakitkan dan menyebabkan gangguan dan hematoma yang menetap. Pendekatan posterior ke NGF telah diterangkan pada literature otolaringologik (untuk tonsilektomi). Mungkin sulit untuk melihat tempat tusukan jarum, dibelakang arkus palatofaringeal dimana saraf dekat ke arteri karotis. Karena resiko tusukan arteri dan perdarahan, tehnik akan diterangkan di sini, namun pembaca diarahkan ke bacaan yang lebih berwenang.

Cabang internal nervus laryngeal superior (NLS), yang merupakan cabang nervus vagus, memberikan persarafan pangkal lidah, epiglottis, lipatan ariepiglottis, dan aritenoid. Cabangnya berasal dari NLS lateral menuju kornu os hyoid. Kemudian menembus membrane thyrohyoid dan berjalan dibawah mukosa pada ceruk pyriformis. Bagian terakhir dari NLS, cabang eksternal, mempersarafi motorik ke otot crycotyroid. Beberapa blok dari nervus ini telah dijelaskan. Pada banyak kasus pemberian topical abat anestetik pada rongga mulut akan memberikan analgesia yang cukup. Blok eksternal dilakukan dengan pasien supine dengan kepala ekstensi dan klinisi berdiri ipsilateral terhadap nervus yang akan diblok. Di bawah angulus mandibula klinisi mengidentifikasi kornu superior os hyoid. Menggunakan satu tangan, dilakukan tekanan yang di arahkan medial kontralateral kornu hyoid, menggeser kornu hyoid ipsilateral ke arah klinisi. Perhatian harus diberikan untuk menentukan lokasi arteri karotis dan menggesernya jika diperlukan. Jarum dapat ditusukkan secara langsung di atas kornu hyoid dan berjalan keluar kartilago pada arah anterior-kaudal hingga melewati membrane di kedalaman 1-2 cm. Sebelum penyuntikan anestetik local, uji aspirasi harus dilakukan untuk meyakinkan suntikan tidak memasuki faring atau suatu struktur vascular. Anestetik local dengan epinefrin (1,5-2 ml) disuntikkan pada ruang antara membrane tyrohyoid dan mukosa faringeal. NLS dapat juga diblok dengan tehnik internal blok noninvasive. Pasien diminta untuk membuka mulut lebar-lebar, dan lidah dipegang menggunakan spatel lidah. Forsep sudut kanan (mis, Jacson-Krause forceps) dengan kaps lidi yang dibasahi anestetik local di olesi pada lidah bagian lateral dan kedalam sinus pyriformis secara bilateral. Kapas oles ditahan selama 5 menit.2,3

Persarafan sensoris pita suara dan trakea diberikan oleh nervus laryngeal recurrent. Penyuntikan anestetik local transtrakeal dapat dengan mudah dilakukan untuk menghasilkan analgesia yang adekuat, dan tehnik ini akan dijelaskan di bawah secara rinci. (lihat Seksi Intubasi Retrograd, Kasus 2). Disuntikkan lidokain 2% atau 4%, 4 ml.

Tehnik yang efektif dan noninvasif analgesia topical trakea dan pita suara menggu akan saluran kerja fiberoptik bronkoskop. Kerugian tehnik ini yaitu larutan yang meninggalkan saluran kerja dapat menghalangi lensa objektif. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kateter epidural, dimasukkan melalui saluran kerja, seperti dijelaskan oleh Ovassapian. Tidak hanya mencegah menghalangi pandangan, tetapi juga tujuan khusus aliran anestetik.

KESIMPULANBagian dari monitoring, manajemen rutin jalan nafas pasien merupakan tugas anesthesiologist paling umum-bahkan selama pemberian anesthesia regional, jalan nafas harus dimonitor dan dibantu. Sayangnya, tugas rutin sering jadi tugas yang diterlantarkan dalam hal perhatian yang merupakan hal yang diusahakan setiap saat. Tetapi konsekuensi kehilangan jalan nafas yaitu bencana dimana klinisi tidak akan pernah mengusahakan pendekatan yang buruk.

Walaupun ASA Task Force pada jalan nafas sulit telah memberkan komunitas kedokteran alat yang sangat bernilai dalam pendekatan terhadap pasien dengan jalan nafas sulit, algoritma Task Force harus dilihat hanya sebagai titik awal. Penilaian, pengalaman, situasi klinis, dan sumber yang ada seluruhnya mempengaruhi ketepatan jalur yang dipilih, atau keluar dari algoritma. Klinisi tidak butuh jadi ahli untuk seluruh peralatan dan tehnik yang tersedia sekaran ini. Namun rangkaian luas pendekatan harus dikuasai, sehingga kegagalan dari satu tehnik tidak menjadikan penghalang kebehasilan.

Hampir sama, komunitas pembuat alat-alat kedokteran, dan klinisi yang pandangan ke depan yang menyediakannya dengan konsep produk manajemen jalan nafas, telah menyalurkan alat-alat yang bermacam-macam. Banyak konsep, dan masing-masing memiliki pendukung dan penela. Tidak aa stupun alat yang superior diatas yang lainnya bila dipertimbangkan tersendiri. Sehingga klinisi dan sunbernya (peralatan dan personel) dan penilaian yang menentukan efektivitas dari masing-masing tehnik. Pada manajemen jalan nafas sulit, fleksibilitas dan tidak kekakuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA1. Guyton, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, 2007.

2. Abhique, `Manajemen Airway, Breathing, dan Circulation, available at: http://abhique.blogspot.com/2009/10/konsep-keperawatan-gawat-darurat.html, 2009

3. Nugraha, A., Manajemen Jalan Nafas Anatomi, http://komitekeperawatan rsdsoreang.blogspot.com/2010/09/manajemen-jalan-nafas-anatomi.html, 2010.

4. Sylvia, Price, Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2005.5. Nelson, Buku Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta, 2007.Referat : Anastesi Pada Difficult Airway1