Upload
yusfaindah
View
221
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. (infeksi dan
inflamasi). Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
sepsis, sepsis berat, sepsis dengan hipotensi, dan syok septik.
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.
Sepsis, syok sepsis, dan kegagalan multipel organ (MOF) mengenai hampir 750. 0000
penduduk di Amerika Serikat dan menyebabkan kematian sebanyak 215.000 orang. Angka
kematian oleh karena sepsis berkisar 9,3 % dari seluruh penyebab kematian di Amerika
Serikat, setara dengan angka kematian yang disebabkab oleh infark miokardial dan jauh
lebih tinggi dari kematian oleh karena AIDS dan kanker payudara.
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi
makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga
terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang
menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ
multipel.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dapat memahami Sepsis dan Syok Sepsis
mulai dari definisi, penyebab hingga penatalaksanaannya.
1
1.2. Batasan Masalah
Dalam referat ini membahas tentang Sepsis dan Syok Sepsis mencakup definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosis.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tentang Sepsis dan Syok Sepsis
sekaligus sebagai syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit
Dalam RS Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung
1.4. Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
beberapa literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi
aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil,
sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit
yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ
multipel.
Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yangpaling sering
digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah sindrom respons inflamasi
sistemik / Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau yang sering disebut
sindrom sepsis ditandai dengan 2 dari gejala berikut :3
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti adanya sumber
infeksi yang jelas.Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis berat yaitu sepsis yang disertai
dengan kegagalan organ multipel /Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure
(MODS/MOF). Sepsis berat dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90
mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan hyperthermia/hypothermia (>38°C;
<35,6°C), Tachypneu (respiratory rate >20/menit), Tachycardia (pulse >100/menit), >10%
cell immature, Suspected infection. Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin
(PcT); Creactive Protein (CrP).
3
2.2 Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2 gejala sebagai
berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Takipnea (respiratori >20/menit)
c. Tachycardia (nadi >100/menit)
d. Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik: Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan
disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).
4
Diagram hubungan SIRS, Sepsis dengan Infeksi5
Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat
2.3 Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini
meningkat menjadi sekitar 300.000-500.000 kasus pertahun. Syok akibat sepsis terjadi
karena adanya respon sistemik pada infeksi yang seirus. Walaupun insiden syok septik ini
tak diketahui pasti namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini
disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes
5
melitus, sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan
imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal.
Di AS syok sepsik adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU.
Sebuah studi oleh selama 16 melaporkan angka kejadian 2 kasus per 100 penerimaan
rumah sakit di AS, dengan distribusi 55% terjadi di ICU,12% di bagian gawat darurat dan
33% pada non-ICU.3.Data yang lebih baru menunjukkan bahwa insiden tahunan sepsis
terjadi sekitar 50-95 per 100.000 kasus. Selain itu, insiden sepsis tersebut telahtumbuh
sebesar 9% setiap tahunnya4.Bakteri Gram-negatif biasanya menjadisalah satu etiologi
tebanyak dengan proporsi 35 hingga 40% pada kasus sepsis akan tetapi telah menurun
menjadi 25-30% pada 2000.6Bakteri Gram-positif menyebabkan 30-50% kasus, dan infeksi
polimikrobial menyumbang sekitar 25% 6.
Sekitar 50% dari pasien sepsis berkembang menjadi syok septik, dengan angka
kematian 45%.7Tempat yang paling sering mengalami infeksi adalah paru-paru, abdomen,
dan saluran kemih.Komplikasi dari syok septik meliputiAcute Respiratory Distress
Syndrome / ARDS (18%), Disseminated Intravascular Coagulation / DIC (38%) dan gagal
ginjal(50%).8 Pria maupun orang dewasa yang lebih tua menjadi faktor
predisposisiberkembangnya syok septik bila dibandingkan dengan perempuan
2.4 Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain
karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik
dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta
meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.
Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang tersering diikuti infeksi
abdomen dan jaringan lunak. Setiap sistem organ memiliki patogen yang berbeda, seperti
di antaranya :10
6
Infeksi traktur repiratorius bawah yang menyebabkan syok septik pada sekitar 25%
pasien, patogen yang umum
o Streptococcus pneumoniaeo Klebsiella pneumoniaeo Staphylococcus aureuso Escherichia colio Legionella specieso Haemophilus specieso Anaerobeso Gram-negative bacteriao Fungi
Infeksi traktus urinarius yang menyebabkan syok septik pada sekitar 25% pasien, patogen yang umum : o E colio Proteus specieso Klebsiella specieso Pseudomonas specieso Enterobacter specieso Serratia species
Infeksi jaringan lunak yang menyebabkan syok septik pada sekitar 15% pasien, patogen yang umu :
o S aureuso Staphylococcus epidermidiso Streptococcio Clostridiao Gram-negative bacteriao Anaerobes
Infeksi traktus gastro-intestinal yang menyebabkan syok septik pada 15% pasien, patogen yang umum :
o E colio Streptococcus faecaliso Bacteroides fragiliso Acinetobacter specieso Pseudomonas specieso Enterobacter specieso Salmonella species
Infeksi saluran reproduktif laki-laki dan perempuan yang menyebabkan syok septik pada sekitar 10% pasien, patogen yang umum :
o Neisseria gonorrhoeaeo Gram-negative bacteriao Streptococci
7
o AnaerobesBenda asing yang mengakibatkan infeksi berkontribusi 5% pada syok septik. S
aureus, S epidermidis, adan fungi/yeasts (eg, Candida species) merupakan patogen yang umum.
Infeksi lain-lain menyebabkan 5% syok septik. Neiserriameningitidis merupakan enyebab tersering pada golongan ini.
2.5 Patofisologi
Skema Infeksi - Sepsis
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam
plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh
hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam
sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein,
kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK),
protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA
8
sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif
menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen
dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas
II dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan
mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang
berlebih (Calandra, 2003).
a. Peran Sitokin pada Sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator
inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik,
aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi
kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid,
oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator
antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut,
inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting
adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai
antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas
endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga
meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-
CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2,
pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator
primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2),
tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti
bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin
di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan,
2004).
9
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin, 2003).
b. Peran Komplemen pada Sepsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi
respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi
dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif,
selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a
(anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi
berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen,
ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor
jaringan (Widodo, 2004).
c. Peran NO pada Sepsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular.
Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan
hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi
karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan
menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan
dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor (Widodo, 2004).
d. Peran Netrofil pada Sepsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan
pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi
umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun.
(Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis. Walaupun netrofil
penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan
protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ.
(Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi
netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk
meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif
(Hotckin, 2003).
10
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler
karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke
interstisial yang terlihat sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi
jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin
kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses
MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel),
gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral
dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei
Chen, 2006).
Skema Syok Septik akibat Infeksi Kuman Gram Negatif
11
Skema Gangguan Hemodinamik pada Pasien Sepsis
2.6 Gejala Klinik
a. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
b. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan
ekstremitas hangat.
c. Disertai tanda-tanda sepsis.
d. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan
status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
12
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat
dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan
darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume
intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat,
tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar. (anonim, 2008)
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan).
Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga
apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat
kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik
(sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan
volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada
sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya
aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik
(vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi
oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga
kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2
(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic
dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia,
mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan
(produksi energi dalam keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).
13
Korelasi Gejala Klinis Syok dengan Mekanisme dalam Tubuh
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi, dekompensasi
(sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).2
Fase I : kompensasiPada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya resistensi sistemik
dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non vital ke organ vital seperti
jantung, paru dan otak. Tekanan darah diastolik tetap normal sedangkan tekanan darah sistolik
meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin dan
renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air
dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
14
Fase II : Dekompensasi.Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung yang
adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang buruk tidak
lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara anaerobic yang
tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya
yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam
karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energi
dependent pompa Na/K ditingkat selular, akibatnya integritas membran sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya
aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat memperburuk
keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi
perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin,
sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat
membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan syok
yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali kejantung
(venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah mulai
turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling bertambah lama),
oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan syaraf
pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : IrreversibleKegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ lainnya. Cadangan fosfat
15
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru hanya
2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan terjadi walaupun system
sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi
tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan
sistem organ lain.
2.7 Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan
perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada
wanita – wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis,
abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan
awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan
temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi
penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan
hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri,
atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis
mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan
hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.
2.8 Penatalaksanaan
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman
dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab
(berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam
memberikan terapi antimikroba empirik.1,5,6
16
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor
dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
a. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi,
terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine
>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg,
maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).6
b. Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk
mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam.
Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu
dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu
MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg
BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di
tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol
(noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti
prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin
atau epinefrin)
c. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya
tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan
17
implan prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti
resusitasi yang adekuat.6
d. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis
berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang
diduga sumber sepsis.6 Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram
negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti
karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses
inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan
gagal multi organ.1
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)
e. Terapi suportif
1) Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
2) Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
18
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
3) Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60
mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin
0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).1
4) Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat
<9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1
5) Disfungsi renal akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien
hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat,
vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3
μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada
sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti
gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1
6) Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.1
7) Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin
untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada
kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
19
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
8) Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk
di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa
heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat
diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal
merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan
dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF
antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik
dengan antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai
profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun
terapeutic window-nya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal
antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya
dicurigai bakteri Gram negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna
dan saluran kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer,
2001).
9) Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan
septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan
tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.6
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis
dapat menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5
mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan
angka mortalitas (Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil
yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak
20
memperbaiki angka mortalitas (Sprung,1984; Bone, 1987; Hinshaw 1987;
Cohen, 1991).
f. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC,
TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin,
antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA);
imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik
(kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C
memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis.
Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human
activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.
2.9 Komplikasi
Multiple Organ Failure
DIC
Respirotary Distr.Syndrome
Acute Renal Failure
Hepatobilier disfunction
FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan
Hipoksemia
Kreatinin > 2,0 ug/dl
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan
Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
21
Central Nervous System Disf..
Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
harga
normal
GCS < 15
2.10 Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang
rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk
sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari
diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated
menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik
cenderung ireversibel dan fatal.
22
BAB III
KESIMPULAN
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat
dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok
(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Keadaan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan klinik yang membutuhkan reaksi
cepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Terapi yang diberikan berupa resusitasi, eliminasi
sumber infeksi, terapi antimikroba, dan terapi suportif.
23
REFERENSI
1. Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
2. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
3. British Journal of Anesthesia.Anesthesic Management in Patients With Severe Sepsis.
[online]. Cited May 2013. Available from : http://bja.oxfordjournals.org/content/105/6/
734/T1. expansion.html
4. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan
Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18
5. Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell – BMJ books.
6. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, Graman PS, Hibberd PL, Kahn KL, et al.
Epidemiology of sepsis syndrome in 8 academic medical centers. JAMA. Jul 16
1997;278(3):234-40.
7. Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parrillo JE, Sharma S, et al. Duration of
hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is the critical determinant
of survival in human septic shock. Crit Care Med. Jun 2006;34(6):1589-96.
8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa SP, Dhainaut JF, Lopez-Rodriguez A, et al.
Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J
Med. Mar 8 2001;344(10):699-709.
9. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, et al. The American-
European Consensus Conference on ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes,
and clinical trial coordination. Am J Respir Crit Care Med. Mar 1994;149(3 Pt 1):818-
24.
10. Michael R. Pinsky. Septic Shock. [online] cited May 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168402
11. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future
treatment. BMJ 2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com
12. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan
Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18.
24
13. Hotckins RS, Karl I. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med
2003;348 (2): 138-150. Available at: http://www.nejm.com
14. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et.al. Surviving
sepsis campaign guidelines for mangement of severe sespis and septic shock. Crit Care
Med 2004;32(3):858-72.
15. Wheeler AP, Bernard G. Treating patient with severe sepsis.[online]. Cited May 2013.
Available at: http://www.nejm.com
25