49
ENDOMETRIOSIS I. DEFINISI Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Endometriosis merupakan penyakit hormonal- dependent, biasanya terjadi pada wanita usia reproduktif. Jaringan endometrium yang ditemukan di dalam miometrium dikenali sebagai adenomiosis. 1, 21, 2 II. EPIDEMIOLOGI Metode primer untuk menegakkan diagnosis endometriosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan biopsi. Dengan menggunakan standar diagnosis ini, insiden endometriosis dilaporkan sekitar 1,6 kasus per 1.000 perempuan yang berusia antara 15-49 tahun. Pada kasus asimtomatik, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22%. Pada kelompok perempuan infertil, prevalensi endometriosis berkisar antara 20-50% dan pada kelompok yang berkeluhan nyeri pelvis berkisar antara 40-50%. 3 Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan antara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, lebih sering didapatkan pada 1

Referat Endometriosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

obgyn

Citation preview

ENDOMETRIOSIS

I. DEFINISI Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Endometriosis merupakan penyakit hormonal-dependent, biasanya terjadi pada wanita usia reproduktif. Jaringan endometrium yang ditemukan di dalam miometrium dikenali sebagai adenomiosis. 1, 21, 2

II. EPIDEMIOLOGIMetode primer untuk menegakkan diagnosis endometriosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan biopsi. Dengan menggunakan standar diagnosis ini, insiden endometriosis dilaporkan sekitar 1,6 kasus per 1.000 perempuan yang berusia antara 15-49 tahun. Pada kasus asimtomatik, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22%. Pada kelompok perempuan infertil, prevalensi endometriosis berkisar antara 20-50% dan pada kelompok yang berkeluhan nyeri pelvis berkisar antara 40-50%.3Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan antara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari golongan sosio ekonomi yang tinggi. Yang menarik perhatian ialah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis. 1Lesi-lesi tersebut biasanya ditemukan di atas permukaan peritoneum organ reproduksi dan struktur di sekitar pelvis, namun ia dapat terjadi di seluruh organ tubuh. Menurut urutan yang tersering endometrium ditemukan ditempat sebagai berikut:1, 3, 41. Ovarium2. Peritoneum dan Ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang uterus, tuba Falopii, plika vesikouterina, ligamentum rotundum dan sigmoid3. Septum rektovaginal4. Kanalis inguinalis5. Apendiks6. Umbilicus7. Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum8. Parut laparotomi9. Kelenjar limfe; dan10. Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura dan pericardium.

Gambar 1. Lokasi tersering pada endometriosis di daerah abdomen dan pelvik. Dikutip dari kepustakaan 2.

III. ANATOMI A. UterusUterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokad atau pir yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus 7 - 7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm, dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian bawah). Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri). Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka ke luar melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Serviks uteri terbagi atas dua bagian yaitu pars supravaginal serviks uteri dan pars vaginal serviks uteri yang dinamakan porsio. Antara serviks uteri dan korpus disebut isthmus uteri.1, 5Bagian atas uterus disebut fundus uteri, dimana tuba Fallopi kanan dan kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang merupakan otot polos berlapis tiga, sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, dan antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi. Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan stroma dengan banyak pembuluh pembuluh darah yang berkelok-kelok. Pertumbuhan dan fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium. Di luar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum viscerale). Uterus mendapat darah dari arteri uterina, cabang dari dari arteri iliaka interna, dan dari arteri ovarika.1, 5 Uterus berada dalam rongga pelvis dan terfiksasi dengan baik oleh jaringan ikat dan ligamen yang menyokongnya. Ligamentum yang menyokong uterus adalah seperti ligamentum Cardinal (Mackenrodt) kanan dan kiri, yang terpenting yang mencegah uterus tidak turun; ligamentum sakrouterina kanan dan kiri, yang menahan uterus supaya tidak banyak bergerak; ligamentum rotundum kanan dan kiri, yang menahan uterus dalam keadaan antefleksi; ligamentum latum kanan dan kiri, yang meliputi tuba; dan ligamentum infundibulopelvikum kanan dan kiri yang menahan tuba Falopi.1

B. TubaTuba Fallopi ialah saluran telur yang berasal dari duktus Mlleri. Rata-rata panjang tuba berkisar 11 - 14 cm. Bagian yang berada di dinding uterus dinamakan pars intertisialis, lateral dari itu (3 - 6 cm) terdapat pars isthmika yang masih sempit (diameter 2 - 3 mm), dan lebih ke arah lateral lagi yaitu pars ampullaris yang lebih lebar (diameter 4 - 10 mm) dan mempunyai ujung terbuka menyerupai anemon yang disebut infundibulum. Bagian luar tuba diliputi oleh peritoneum viserale, yang merupakan bagian dari ligamentum latum. Otot di dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam) otot longitudinal dan otot sirkuler. Lebih ke dalam lagi terdapat mukosa yang terdiri dari epitel kubik sampai silindris, yang berlipat-lipat ke arah longitudinal dan terutama dapat ditemukan di bagian ampulla.1

Gambar 2. Uterus, tuba fallopi dan ovarium. Dikutip dari kepustakaan 8.

Gambar 3. Tuba fallopi. Dikutip dari kepustakaan 8.

C. OvariumTerdapat dua ovarium di tubuh wanita, masing-masing di kiri dan kanan uterus, dilapisi mesovarium dan tergantung di bagian belakang ligamentum latum. Bentuknya sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm. Sebagian besar ovarium berada intraperitoneal dan tidak dilapisi oleh peritoneum. Pinggir atasnya atau hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat ditemukannya pembuluh-pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk ovarium. 1, 5Struktur ovarium terdiri atas korteks dan medulla. Korteks , bagian luar yang diliputi oleh epitelium germinativum berbentuk kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma serta folikel-folikel primordial. Medulla, bagian di sebelah dalam korteks tempat terdapatnya stroma dengan pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan sedikit otot polos. Pada wanita diperkirakan sekitar 100 ribu folikel primer. Pada masa reproduktif, tiap bulan satu folikel atau terkadang dua folikel akan berkembang menjadi folikel de Graaf. Folikel yang matang ini terisi dengan likuor follikuli yang mengandung estrogen, dan siap untuk berovulasi.1, 5

Gambar 4. Ovarium. Dikutip dari kepustakaan 8.

IV. FISIOLOGIEndometrium adalah lapisan epitel yang melapisi rongga rahim. Kelenjar dan stroma yang terdapat pada permukaan endometrium mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari. Ada dua lapisan; yaitu lapisan fungsional letaknya superfisial yang akan mengelupas setiap bulan dan lapisan basal tempat lapisan fungsional berasal yang tidak ikut mengelupas.5Siklus haid terjadi sebagai akibat pertumbuhan dan pengelupasan lapisan endometrium uterus. Perubahan endometrium dikontrol oleh siklus ovarium. Rata-rata siklus 28 hari dan terdiri atas: (1) fase folikular, (2) ovulasi, dan (3) pasca ovulasi atau fase luteal. Jika siklusnya memanjang, fase folikularnya memanjang, sedangkan fase lutealnya tetap 14 hari. Siklus haid normal karena (1) adanya hypothalamus-pituitary-ovarian endocrine axis, (2) adanya respons folikel dalam ovarium, dan (3) fungsi uterus.5

Gambar 5. Siklus haid. Dikutip dari kepustakaan 2.

A. Siklus Ovarium 1. Fase Folikulara. Hari ke-1 8:Pada awal siklus, kadar FSH dan LH relative tinggi dan memacu perkembangan 10 - 20 folikel dengan satu folikel domain. Folikel domain tersebut tampak pada fase mid-follicular, sisa folikel mengalami atresia. Relatif tingginya kadar FSH dan LH merupakan trigger turunnya estrogen dan progesteron pada akhir siklus. Selama dan segera setelah haid kadar estrogen relative rendah tapi mulai meningkat karena terjadi perkembangan folikel.5b. Hari ke-9 14:Pada saat ukuran folikel meningkat lokalisasi akumulasi cairan tampak sekitar sel granulose dan menjadi konfluen, memberikan peningkatan pengisian cairan di ruang sentral yang disebut antrum yang merupakan transformasi folikel primer menjadi sebuah folikel de graff dimana oosit menempati posisi eksentrik, dikelilingi oleh 2 sampai 3 lapis sel granulose yang disebut cumulus ooforus. Perubahan hormon yang terjadi, hubungannya dengan pematangan folikel adalah ada kenaikan yang progresif dalam produksi estrogen (terutama estradiol) oleh sel granulosa dari folikel yang berkembang. Mencapai puncak 18 jam sebelum ovulasi. Karena kadar estrogen meningkat, pelepasan kedua gonadotropin ditekan (umpan balik negatif) yang berguna untuk mencegah hiperstimulasi dari ovarium dan pematangan banyak folikel. Sel granulosa juga menghasilkan inhibin dan mempunyai implikasi sebagai faktor dalam mencegah jumlah folikel yang matang.52. Ovulasia. Hari ke-14:Ovulasi adalah pembesaran folikel secara cepat yang diikuti dengan protrusi dari permukaan korteks ovarium dan pecahnya folikel dengan ekstrusinya oosit yang ditempeli oleh cumulus ooforus. Pada beberapa perempuan saat ovulasi dapat dirasakan adanya nyeri di fosa iliaka. Perubahan hormon yang terjadi, estrogen meningkatkan sekresi LH (melalui hipotalamus) mengakibatkan meningkatnya produksi androgen dan estrogen (umpan balik positif). Segera sebelum ovulasi terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan peningkatan produksi progesteron. Ovulasi terjadi dalam 8 jam dari mid-cycle surge LH.53. Fase Luteala. Hari ke-15 28:Sisa folikel tertahan dalam ovarium dipenitrasi oleh kapilar dan fibroblast dari sel teka. Sel granulose mengalami luteinisasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum merupakan sumber utama hormone steroid seks, estrogen dan progesteron disekresi oleh ovarium pada fase pasca-ovulasi. Korpus luteum meningkatkan produksi progesteron dan estradiol. Kedua hormon tersebut diproduksi dari organ yang sama. Selama fase luteal kadar gonadotropin mencapai kadar yang tetap rendah sampai terjadi regresi korpus luteum yang terjadi pada hari ke-26 28. Jika terjadi konsepsi dan implantasi, korpus luteum tidak mengalami regresi karena dipertahankan oleh gonadotropin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika konsepsi dan implantasi tidak terjadi korpus luteum akan mengalami regresi dan terjadilah haid.5

B. Siklus Uterus1. Fase Proliferasi Selama fase folikular di ovarium, endometrium di bawah pengaruh estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat. Saat ini disebut fase proliferasi, kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar dengan sedikit sekresi.52. Fase SekretorisSetelah ovulasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi endometrium. Tampak sekretori dari vakuol dalam epitel kelenjar di bawah nukleus, sekresi maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi berkelok-kelok.53. Fase MenstruasiNormal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini terjadi regresi korpus luteum yang ada hubungannya dengan menurunnya produksi estrogen dan progesteron ovarium. Penurunan ini diikuti oleh kontraksi spasmodik yang intens dari bagian arteri spiralis kemudian endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi pengelupasan lapisan superfisial endometrium dan terjadilah perdarahan. Vasospasme terjadi karena adanya produksi lokal prostaglandin. Prostaglandin juga meningkatkan kontraksi uterus bersamaan dengan aliran darah haid yang tidak membeku karena adanya aktivitas fibrinolitik lokal dalam pembuluh darah endometrium yang mencapai puncaknya saat haid.5

V. ETIOLOGI DAN PATOGENESISWalaupun penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui, terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan.3A. Teori Menstruasi RetrogradTeori yang paling awal dan paling banyak diterima secara meluas berhubungan dengan menstruasi retrograd melalui tuba fallopi dengan penyebaran jaringan endometrial di dalam kavum peritoneal. Teori menstruasi retrograd atau juga dikenal sebagai teori transplantasi yang pertama kali dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.7, 8, 91, 3, 6-8B. Teori Penyebaran Limfatik atau HematogenBukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran limfatik atau vaskular dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori ini. Daerah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang banyak. Dengan demikian, pada kasus-kasus dimana tidak ada ditemukan implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini tetap menarik, namun sedikit studi yang melakukan eksperimen untuk mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini.3, 6, 8C. Teori Metaplasia SelomikTeori ini menyatakan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan yang bisa mengalami perubahan metaplasia sehingga secara histology jaringan tersebut sulit dibedakan dengan endometrium yang normal.7, 8, 93, 6-8Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita premenarke dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini.3Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori dari Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak penantangnya. Di samping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.1D. Teori induksiTeori induksi menjelaskan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis dapat menginduksi diferensiasi sel-sel dalam jaringan endometrium. Substansia-substansia ini dapat bersifat eksogen atau dapat dikeluarkan langsung dari endometrium. Suatu studi in vitro yang dilakukan oleh Matsuura, 1999 menemukan bahwa epitel permukaan ovarium berpotensial mengalami transformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respon dari rangsangan estrogen.3, 7, 8Teori Baru:1. Hormonal DependenceSalah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan endometriosis adalah faktor hormon estrogen. Walaupun sebagian besar estrogen diproduksi oleh ovarium namun beberapa jaringan perifer juga diketahui membentuk estrogen melalui aromatisasi androgen ovarium dan adrenal. Implantasi endometriosis menghasilkan aromatase dan 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 yang merupakan suatu enzim yang berperan dalam konversi androstenedion menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Implant tersebut bersifat defisit 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2 yang merupakan estrogen inaktif. Kombinasi enzim-enzim ini menyebabkan implant berada pada lingkungan estrogenik (fenomena intrakrin).3Sebaliknya, endometrium normal tidak menghasilkan aromatase dan memiliki kadar 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2 yang lebih tinggi sebagai respon terhadap progesteron. Progesteron bekerja secara antagonis dengan melemahkan efek estrogen di endometrium normal selama fase luteal pada siklus menstruasi. Endometriosis adalah keadaan dimana terjadi manifestasi resistensi relatif terhadap progesteron sehingga stimulasi estrogen pada jaringannya tidak dihambat.3Prostaglandin E2 (PGE2) adalah penginduksi aktivitas aromatase paling poten di sel stroma endometrium. Estradiol diproduksi sebagai respon peningkatan aktivitas aromatase melalui stimulasi jalur siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endometrium uterus. Keadaan ini memicu umpan balik positif terhadap efek estrogen di endometrium.32. Peranan sistem imunEndometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Peningkatan petanda inflamasi pada serum dan cairan peritoneum telah diamati pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis merupakan salah satu gejala endometriosis yang dapat diredakan melalui pemberian obat anti-inflamasi sehingga hal ini mendukung adanya kontribusi inflamasi kronik terhadap patogenesis endometriosis.3Walaupun sebagian besar perempuan pernah mengalami menstruasi retrograde namun hanya pada beberapa perempuan yang berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstruasi dan endometrium yang mengalami refluks ke dalam cavum peritoneum umumnya akan dibersihkan oleh sel-sel imunitas seperti makrofag, natural killer (NK) cells, dan limfosit. Adanya disfungsi sistem imun dapat memicu terjadinya endometriosis. Kegagalan imunitas humoral, seluler, growth factor, dan cytokin signaling dapat ditemukan pada jaringan endometriosis. Fasciani dkk menunjukkan secara in vitro bahwa sel endometrium yang mengalami eksplantasi akan berproliferasi dan menginvasi secara 3 dimensi matriks fibrin sehingga mencetus formasi kelenjar, stroma, dan vaskuler baru sebagai permulaan endometriosis.3Makrofag yang berperan sebagai sel fagosit akan meningkat jumlahnya pada cavum peritoneum penderita endometriosis. Walaupun secara teori makrofag berperan untuk menghambat proliferasi jaringan endometium namun pada keadaan ini, makrofag sebaliknya memberi efek stimulasi pada jaringan endometrium. Hal ini dihubungkan dengan gangguan fungsi makrofag (bukan penurunan jumlah).3Natural killer (NK) cells adalah sel imun yang memiliki sifat sitotoksik terhadap benda asing. Pada penderita endometriosis, jumlah natural killer (NK) cells di cairan peritoneum tidak berubah namun aktivitasnya yang terhambat. Imunitas selular juga mempengaruhi perkembangan endometriosis. Normalnya, jumlah kadar limfosit pada cairan peritoneum sama dengan kadar pada pembuluh darah perifer namun pada penderita endometriosis terjadi peningkatan kadar limfosit pada ciran peritoneum disertai gangguan fungsi limfosit.3Imunitas humoral juga dapat berperan pada perkembangan endometriosis. Antibodi endometriosis IgG meningkat pada penderita endometriosis. Suatu penelitian mengidentifikasi autoantibodi IgA dan IgG pada endometrium, jaringan ovarium, serviks, dan sekresi vagina penderita endometriosis. Hal ini dapat mengarahkan endometriosis sebagai bagian dari penyakit imunitas.3Sitokin merupakan faktor imun yang larut dan dirangsang oleh sel imun lainnya secara parakrin dan autokrin. Jumlah sitokin, khususnya interleukin, berperan pada patogenesis endometriosis. Meningkatnya kadar interleukin-1 (IL-1) didapatkan pada cairan endometrium yang menderita endometriosis. Selain itu, kadar IL-6 di stroma endometrium juga meningkat pada penderita endometriosis. Kadar IL-6 serum lebih besar dari 2 pg/mL dan kadar tumor necrotic factor- (TNF-) cairan peritoneum lebih besar dari 15 pg/mL dapat ditemukan pada penderita endometriosis. Demikian pula kadar IL-8 pada cairan peritoneum meningkat dan menstimulasi proloferasi sel stroma endometrium.3Sitokin non-interleukin dan faktor pertumbuhan dihubungkan pula dengan patogenesis endometriosis. Contohnya, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan regulated on activation, normal T-cell expressed and secreted (RANTES) adalah kemotraktan monosit. Kadar sitokin-sitokin ini meningkat pada cairan peritoneum penderita endometriosis dan berkorelasi positif dengan tingkat keparahan penyakit. Selain itu, vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah faktor angiogenik yang diregulasi oleh estradiol di sel stroma endometrium dan makrofag cairan peritoneum. Kadar faktor ini meningkat pada cairan peritoneum penderita endometriosis. Meskipun peran nyata sitokin-sitokin ini belum jelas, namun aktivitasnya mendukung peran sistem imun pada patogenesis endometriosis.3

VI. FAKTOR RISIKODari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan beberapa pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada endometriosis:A. Genetik Beberapa bukti yang berkaitan dalam terjadinya endometriosis. Meskipun pola warisan genetik mendel yang telah diidentifikasi tidak jelas, kejadian meningkat pada anak kandung. Sebagai contoh dalam studi genetik wanita dengan endometriosis, Simpson dan rekan-rekannya (1980) mencatat bahwa 5,9% dari saudara kandung perempuan dan 8,1% dari ibu yang telah menderita endometriosis dibandingkan dengan 1% dari saudara perempuan tingkat pertama suami. Penelitian lebih lanjut telah mengungkapkan bahwa wanita dengan endometriosis dan anak kandung yang menderita endometriosis lebih cenderung memiliki endometriosis berat (61%) daripada wanita tanpa anak kandung yang menderita endometriosis (24%). Selain itu, Stefansson dan rekan-rekannya (2002), dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi besar di Islandia, menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi ini, rasio risiko adalah 5,2 untuk saudara kandung dan 1,56 untuk sepupu. Studi juga menunjukkan indeks untuk endometriosis pada pasangan kembar monozigot, memberi kesan sebuah dasar genetik.3B. Kelainan AnatomiObstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi perkembangan endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah diidentifikasi pada wanita dengan selaput dara imperforata dan septum vagina transversal. Karena asosiasi ini, laparoskopi diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada saat operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.3C. Polusi LingkunganAda banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan mungkin memainkan peran dalam perkembangan endometriosis. Polusi yang paling sering adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD) dan senyawa dioxin lain. Pada saat berikatan, TCDD mengaktifkan reseptor aril hidrokarbon. Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi dasar, dan mirip dengan kelompok reseptor hormon steroid protein, mengarahkan ke berbagai transkripsi gen. Akibatnya, TCDD dan senyawa dioxin lain bisa merangsang endometriosis melalui peningkatan jumlah interleukin, aktivasi enzim sitokrom P-450 seperti aromatase, dan perubahan dalam remodeling jaringan. Selain itu, TCDD dalam hubungannya dengan kehadiran estrogen untuk merangsang pembentukan endometriosis, dan dengan adanya TCDD untuk memblokir progesteron yang menginduksi regresi endometriosis.3Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah pengolahan produk industri. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi atau kontak yang tidak disengaja adalah bentuk paparan yang paling sering terjadi. Meskipun endometriosis dan TCDD pada awalnya dikaitkan dengan binatang primata, studi pada manusia juga mencatat prevalensi endometriosis lebih tinggi pada wanita dengan konsentrasi dioxin dalam ASI (air susu ibu) yang tinggi. Selain itu, studi selanjutnya telah menunjukkan jumlah dioxin serum lebih tinggi pada wanita infertil dengan endometriosis dibandingkan dengan infertil kontrol.3

VII. DIAGNOSISDiagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika kavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.1A. AnamnesisWanita dengan endometriosis bisa tanpa gejala, namun ada juga wanita dengan endometriosis yang memberikan gejala-gejala yang sering dan tipikal seperti nyeri pelvik kronik dan infertilitas. Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini ialah seperti 1) nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid (dismenore); 2) dispareunia; 3) nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid; 4) polimenorea dan hipermenorea; 5) infertilitas.8, 91, 3, 7-91. NyeriEndometriosis adalah penyebab tersering terjadinya nyeri pelvis, di mana nyeri tersebut bervariasi dan bisa bersiklus maupun kronik pada setiap wanita dengan endometriosis. Penyebab dasar nyeri ini masih belum jelas, tapi adanya pelepasan sitokin dan prostaglandin proinflamasi dari implant endometriosis ke dalam cairan peritoneum mungkin bisa menjadi sumber nyeri tersebut (Giudice, 2004). Ada juga bukti yang menyatakan bahwa nyeri pada endometriosis berhubungan dengan kedalaman invasi dan letak nyeri bisa menunjukkan lokasi lesi (Chapron, 2003; Koninckx, 1991). Data terbaru menyatakan bahwa nyeri pada endometriosis mungkin berasal dari implant endometriotik yang melakukan invasi neuronal dan mengganggu sensitisasi sentral (Berkley, 2005).3

a) DismenoreDismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid yang semakin lama semakin menghebat. Endometriosis-associated dysmenorrhea biasanya diawali dengan haid 24-48 jam dan kurang berespon dengan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan obat kontrasepsi oral kombinasi.1, 3b) DispareuniaEndometriosis-associated dyspareunia seringkali dihubungkan dengan septum rektovagina atau penyakit ligament uterosakral, dan jarang dihubungkan dengan keterlibatan dari ovari (Murphy, 2002; Vercellini, 1996). Endometriosis-associated dyspareunia dicurigai jika nyeri muncul setelah bertahun-tahun pasien tidak pernah merasakan nyeri saat berhubungan.1, 3c) DisuriaKeluhan nyeri saat berkemih dan frekuensi serta urgensi berkemih bisa ditemukan pada wanita dengan endometriosis. Endometriosis dicurigai jika keluhan-keluhan ini muncul bersama dengan kultur urin yang negatif (Vercellini, 1996).1, 3d) Nyeri defekasiNyeri saat defekasi sangat jarang dikeluhkan namun biasanya menunjukkan adanya keterlibatan rektosigmoid dengan implan endometriosis (Azzena, 1998). Gejala-gejala bisa kronik atau bersiklik, dan bisa dikaitkan dengan konstipasi, diare, atau hematokezia siklik. (Remorgida, 2007).1, 3e) Nyeri pelvik nonsiklikNyeri pelvik kronik merupakan gejala yang paling sering didapatkan pada wanita dengan endometriosis. Sebanyak 40 - 60 % wanita dengan nyeri pelvik kronik ditemukan menderita endometriosis pada saat laparoskopi (Eskenazi, 1997).3

2. InfertilitasInsidens endometriosis pada wanita yang subfertil adalah 20 30% (Waller, 1993). Menurut beberapa penelitian oleh DHooghe pada tahun 2003 dan Strathy pada tahun 1982, wanita yang infertil cenderung untuk menghidap endometriosis. Matorras, 2001 menyatakan bahwa ada peningkatan prevalensi derajat keparahan endometriosis pada wanita yang infertil. Ini bisa diakibatkan dari perlengketan oleh endometriosis dan gangguan pada transportasi oosit oleh tuba Fallopi.3, 7, 93. Obstruksi ususPada endometriosis bisa ditemukan adanya keterlibatan usus halus, cecum, appendiks atau kolon rektosigmoid dan menyebabkan munculnya keluhan-keluhan obstruksi pada usus pada sesetengah kasus.3

B. Pemeriksaan FisisEndometriosis merupakan penyakit yang sering bermanifestasi di daerah pelvis. Biasanya tidak ditemukan kelainan saat inspeksi visual. Tapi pada beberapa kasus bisa ditemukan lesi endometriosis di dalam jaringan sikatriks akibat episiotomi maupun operasi, lebih sering ditemukan pada insisi Pfannenstiel. Endometriosis jarang muncul spontan di daerah perineum atau perianal.3Pada pemeriksaan bimanual, dapat ditemukan nyeri tekan pada nodul di forniks posterior vagina dan ligament uterosakral serta nyeri saat gerakan uterus. Posisi uterus mungkin menetap dan retroversi karena adhesi pada kavum Douglasi. Pemeriksaan spekulum juga dapat dilakukan untuk menilai ada tidaknya lesi kebiruan atau kemerahan pada serviks atau forniks posterior. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberikan kepastian mengenai diagnosis.1, 3Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi.1

Gambar 6. Endometriosis pada luka insisi di midline vertikal bagian bawah. Dikutip dari kepustakaan 2.

C. Pemeriksaan tambahan dan penunjang1. Pemeriksaan LaboratoriumPada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvik. Pemeriksaan darah rutin, urin rutin, kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau penyakit menular seksual penyakit infeksi panggul.3Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberikan tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.1Selain itu, serum antigen kanker CA-125 sering meningkat pada wanita dengan endometriosis. Namun, marker ini juga meningkat pada penyakit pelvik lain dan mempunyai spesifitas yang kecil dalam diagnosis endometriosis.3, 72. Pemeriksaan RadiologiPembuatan foto Roentgen dengan memasukkan barium dalam kolon dapat memberikan gambaran dengan filling defect pada rektosigmoid dengan batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk membedakan endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis. Untuk menentukan berat ringan endometriosis digunakan klasifikasi dari American Fertility Society.1, 5Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan dalam membantu mendiagnosis endometriosis. Walaupun USG transvaginal digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis dan akurat dalam mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis superfisial dan adhesi endometriotik yang didapatkan tidak adekuat. Teknik radiologi lainnya seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis utama, karena selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang diberikan masih dapat kurang jelas.33. Pemeriksaan LaparoskopiDiagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Gambaran dari endometriosis pada pemeriksaan laparoskopi ini sangat variable dan bisa ditemukan berwarna merah, putih dan hitam. Lesi berwarna gelap karena adanya pigmentasi oleh penumpukan hemosiderin dari debris menstruasi yang terperangkap. Lesi merah dan putih sering dihubungkan dengan temuan histologik pada endometriosis. Lesi endometriosis juga dapat berbeda secara morfologi dan bisa ditemukan secara superfisial maupun menginvasi jauh ke peritoneum dan organ pelvis. (2) Gambaran klasik endometriosis yaitu kista berwarna blue-black powder-burn. Selain itu, dapat juga ditemukan lesi non-klasik yaitu gambaran lesi berwarna merah, putih, tidak berpigmen dan vesikuler. Lesi merah merupakan tipe endometriosis yang aktif.10

Gambar 7. Terdapat lesi endometriosis berwarna merah dan putih yang ditemukan pada saat laparoskopi di daerah peritoneum pelvik. Dikutip dari kepustakaan 2.

Gambar 8. Lesi tipikal berwarna hitam dengan hipervaskularisasi dan vesikel polipoid jingga. Dikutip dari kepustakaan 9.

Gambar 9. Lesi polipoid berwarna merah dengan hipervaskularisasi. Dikutip dari kepustakaan 9.

4. Pemeriksaan HistopatologikGambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi yang sering ialah pada ovarium, dan biasanya didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau endometrioma).1Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum Douglasi.1Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan ciri-ciri khas endometriosis, yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi jaringan normal di sekelilingnya (jaringan endometriosis).1, 3

Gambar 10. Endometriosis kolonik. Tampak kelenjar dan stroma endometrium pada submukosa kolon. Dikutip dari kepustakaan 2.

D. KlasifikasiCara yang paling utama untuk mendiagnosis endometriosis adalah dengan visualisasi lesi endometriosis dengan laparoskopi, dengan atau tanpa pemeriksaan histologi. Sistem klasifikasi yang paling luas digunakan adalah klasifikasi dari American Fertility Society. Sistem ini berdasarkan gambaran klinis, ukuran dan kedalaman implantasi pada ovari dan peritoneum; kewujudan, penjalaran dan tipe adhesi adneksa; derajat obliterasi cul-de-sac. Parameter seperti derajat nyeri dan infertilitas tidak dimasukkan. Tambahan pula identifikasi visual endometriosis ini tidak akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem klasifikasi ini hanya untuk penggunaan praktis harian. 3, 10

Gambar 11. Klasifikasi Endometriosis oleh The American Fertility Society. Dikutip dari kepustakaan 10

Sedangkan klasifikasi Endometriosis menurut Acosta 1973:1. Ringan:a. Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior cavum Douglasi / permukaan ovarium / peritoneum pelvis.2. Sedang:a. Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi atau endometrioma kecil.b. Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami endometriosis.c. Endometriosis pada anterior atau posterior cavum Douglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan tanpa implantasi di kolon sigmoid.3. Berat:a. Endometriosis pada satu atau dua ovarium ukuran lebih dari 2 x 2 cm2.b. Perlekatan satu atau dua ovarium/tuba fallopi/cavum Douglasi karena endometriosis.c. Implantasi/perlekatan usus dan/atau traktus urinarius yang nyata.

VIII. DIAGNOSIS BANDING Adenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterinum. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista ovarium, sedang endometriosis dari rektosigmoid perlu dibedakan dari karsinoma.1

IX. PENANGANANPenanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan saja, terapi hormonal, pembedahan dan radiasi.1A. PencegahanMeigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, oleh karena hal itu dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.1B. Observasi dan pemberian analgetikaPengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala.3Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita-wanita dengan gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan itu bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang sendiri. Sikap yang sama dapat diambil pada wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa pemberian analgetika untuk mengurangi rasa nyeri.1Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita endometriosis adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). NSAID menghambat siklooksigenase isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan dalam kelompok ini, COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2 isoenzim. Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan endometriosis. Obat anti-inflamasi nonsteroid menjadi lini pertama terapi pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul sebelum konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada wanita dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan dengan endometriosis diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan yaitu ibuprofen dan asam mefenamat.3

C. Pengobatan hormonalSebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Hal ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Data klinik tersebut adalah:1a) Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche,b) Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya menyebabkan kesembuhan,c) Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah menopause, kecuali jika ada pemberian estrogen eksogen.Prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru karena transport retrograd jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan perdarahan jaringan endometrium yang menimbulkan rasa nyeri karena rangsangan peritoneum.1Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesterone sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.11. AndrogenPreparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5 mg sampai 10 mg per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang. Selain itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5 mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.1

2. Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan nyeri dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini menekan produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi hormon pengatur dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-periode menstruasi berhenti, seperti menopause. Agonis GnRH mensuplai stimulasi secara konstan pada reseptor LHRH. Ini menghambat aksis pituitari-ovarium dan menyebabkan sekresi FSH dan LH berkurang sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut berkurang. Ini menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan hipoestrogenik. Dosis yang dianjurkan adalah leuprolin asetat 3,75 mg/bulan secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini dilimitasi selama 6 bulan untuk menghindari efek samping yang dapat terjadi karena keadaan hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes, depresi, pengurangan densitas tulang, perubahan mood dan perubahan profil lipoprotein.83. Pil Kontrasepsi KombinasiPil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat digunakan untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara menghambat aksis hipotalamik-ovarii. Ia menghambat hormon luteinizing (LH) dan hormon stimulasi folikel (FSH), menghalang ovulasi dan menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi.3Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg norgestrel per hari. Bila terjadi breakthrough, dosis ditingkatkan menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Pemberian tersebut terus menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan ada yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai 2-3 tahun.14. ProgestogenProgestogen atau progestin adalah nama umum semua senyawa progesterone sintetik. Progestin mempunyai efek antiendometriotik yang menyebabkan desidualisasi dan atrofi pada jaringan endometrium. Progestin juga menghambat ovulasi dengan menghambat luteinizing hormon (LH) dan mungkin dapat menyebabkan amenore. Dosis yang diberikan adalah medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari atau noerestisteron asetat 30 mg per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan medroksiprogesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan. Penghentian terapi parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara ini tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak. Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan adalah 6-9 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah breakthrough bleeding, perubahan mood, perdarahan ireguler, amenore, muntah, pertambahan berat badan dan retensi cairan. Terapi ini sesuai untuk penderita endometriosis yang tidak segera ingin hamil.1, 3, 85. DanazolDanazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah. Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk endometriosis yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg perhari. Lama pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping berupa akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema. Kehamilan dan menyusui merupakan kontrindikasi absolut dari pemakaian danazol.1, 8

D. Pengobatan dengan pembedahanHarus selalu diingat bahwa adanya jaringan ovarium yang berfungsi merupakan syarat mutlak untuk tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu pada waktu melakukan pembedahan, harus dapat menentukan apakah fungsi ovarium harus dipertahankan dan bila fungsi ovarium dapat dihentikan. Sudah jelas bahwa fungsi ovarium harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, pada endometriosis yang tidak memberikan gejala, dan pada endometriosis pada wanita muda dan yang masih ingin punya anak. Sebaliknya fungsi ovarium dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan yang luas dalam pelvis, khususnya pada wanita yang berusia lebih lanjut.1Sebaiknya dalam melakukan pengobatan endometriosis kita bersikap konservatif berdasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut: 1) endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun; 2) endometriosis bukanlah penyakit ganas dan jarang sekali menjadi ganas; dan 3) endometriosis menjadi regresi pada waktu menopause. Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan pelekatan sedapat-dapatnya dilepaskan.1 Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yakni: laparotomi atau laparoskopi operatif. Laparoskopi operatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan laparotomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit lebih pendek. Kedua, kembalinya aktifitas kerja lebih cepat. Ketiga, ongkos perawatan lebih murah. Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit yang luas disertai dengan banyak keluhan. Operasi yang paling radikal ialah histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral, dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat dipertimbangkan, untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium yang sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala-gejala premenopause dan juga mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis.1, 11E. Pengobatan dengan radiasiPengobatan ini yang bertujuan menghentikan fungsi ovarium tidak dilakukan lagi, kecuali jika ada kontraindikasi terhadap pembedahan.1

X. PROGNOSIS Konseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan perhatian pada beberapa aspek penyakit tersebut. Yang paling penting adalah penilaian awal derajat penyakit secara operatif. Gejala dan keinginan pasien untuk mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis terapi yang sesuai. Perhatian jangka panjang harus dilakukan karena semua terapi memberikan perbaikan namun tidak menyembuhkan, walaupun setelah terapi definitif, endometriosis masih dapat muncul kembali. Namun resikonya cukup rendah (kira-kira 30%).10Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko secara signifikan. Selain itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar kekambuhan bervariasi namun umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan lebih 35% dalam 5 tahun. Kadar rekurensi setelah terapi medis juga bervariasi dan dilaporkan hampir sama dengan terapi pembedahan. Walaupun banyak penderita mengetahui endometriosis mempunyai sifat progresif yang lama, namun terapi konservatif dapat mencegah histerektomi pada kebanyakan kasus. Penyebab endometriosis pada setiap individu tidak dapat langsung diprediksi dan modalitas terapi akan datang harus lebih baik dari terapi yang ada saat ini.10

DAFTAR PUSTAKA

1.Wiknjosastro H. Endometriosis. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Ilmu Kandungan. 2 ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 314-327.2.Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS. Endometriosis: Diagnosis and Management. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada 2012;32:4-27.3.Schorge, Scaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunningham. Endometriosis. In: Williams Gynecology. London: The McGraw-Hill Companies; 2008.4.Fischer CJR. Diagnosis & Management of Endometriosis: Pathophysiology to Practice. APGO Educational Series on Womens Health Issues 2012:6-25.5.Sofoewan MS. Endometrium dan Desidua. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Ilmu Kebidanan. 3 ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 130-138.6.Lobo RA. Endometriosis. In: Katz VL, Lentz GM, Lobo RA, Gershenson DM, editors. Comprehensive Gynecology. 5 ed. Philadelphia: Mosby; 2007.7.D'Hooghe TM, Hill JA. Endometriosis. In: Berek JS, editor. Berek & Novak's Gynecology. 14 ed. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 1138-1174.8.Yates M, Vlahos N. Endometriosis. In: Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 3 ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 403-411.9.Kennedy S, Koninckx P. Endometriosis. In: Edmons DK, editor. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7 ed. London: Blackwell Publishing; 2007. p. 430-439.10.Aghajanian P. Endometriosis. In: DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2006.11.Schenken RS. Endometriosis. In: Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard IE, editors. Danforth's Obstetrics and Gynecology. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 717-724p.1

5