24
REFERAT ERITROBLASTOSIS FETALIS Pembimbing : dr. Meiharty, SpA Disusun Oleh : Azmi Ikhsan Azhary 030.09.043 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 5 JANUARI – 14 MARET 2015 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2015

Referat eritroblastosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

eritroblastosis metalis

Citation preview

REFERAT

ERITROBLASTOSIS FETALIS

Pembimbing :

dr. Meiharty, SpADisusun Oleh :

Azmi Ikhsan Azhary030.09.043

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 5 JANUARI 14 MARET 2015

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Jika seorang ibu dengan rhesus negatif mengandung janin dengan rhesus positif, maka janin ini akan berisiko menderita eritroblastosis fetalis atau hemolytic disease of the newborn. Penyakit ini disebabkan oleh sistem imun ibu yang menyerang eritrosit janin. Respon imun dari ibu dimulai dari pengenalan antigen pada permukaan eritrosit.

Antigen sistem rhesus yaitu C, D, dan E diekspresikan pada eritrosit secara co-dominan. Antigen sistem rhesus yang paling penting adalah antigen D (orang-orang yang mengekspresikan antigen D pada permukaan eritrositnya disebut sebagai orang-orang dengan rhesus positif, sedangkan orang-orang yang tidak mengekspresikan antigen D disebut sebagai orang-orang dengan rhesus negatif).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem rhesus. Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya.

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.

Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. 1,2INSIDEN DAN KLASIFIKASISecara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompabilitas yaitu: inkompabilitas Rhesus dan inkompabilitas ABO. Keduanya mempunyai gejala yang sama, tetapi penyakit Rh lebih berat karena antibodi anti Rh yang melewati plasenta lebih menetap bila dibandingkan dengan antibodi anti-A atau anti-B. Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam dan jarang pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif.

1. Inkompatibilitas Rhesus (Rh)Inkompatibiltas Rh dapat disebabkan oleh isoimmunisasi maternal ke antigen Rh oleh transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal dari paparan ke antigen Rh janin pada kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang. Pada inkompatibilitas Rh, anak pertama lahir sehat karena ibu belum banyak memiliki benda-banda penangkis terhadap antigen Rh, asalkan sebelumnya ibu tidak menderita abortus atau mendapat transfusi darah dari Rh positif. Pasangan suami istri hanya mempunyai 1 atau 2 anak, sedang anak-anak berikutnya semua meninggal. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan terutama trimester ketiga. Kemungkinan terjadinya imunisasi Rh diperkirakan1-2% dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah. Untuk inkompabilitas Rh, predominan seks adalah perempuan.Mayoritas inkompatibilitas Rh terjadi pada janin dengan Rh-positif dari ibu yang mempunyai Rh- negatif. Faktor Rh adalah protein, suatu antigen dalam sel darah merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel darah yang tidak mempunyai antigen. Jika seseorang dengan Rh-positif, berarti dia mempunyai faktor Rh di dalam darahnya. Jika seseorang dengan Rh-negatif, berarti dia tidak mempunyai faktor Rh di dalam darahnya. Sekitar 85% orang-orang mempunyai Rh-positif dan sekitar 15% dengan Rh-negatif. Faktor Rh bermasalah ketika darah dengan Rh-negatif mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem immun dari orang dengan Rh-negatif mengidentifikasi darah Rh-positif sebagai penyerang yang berbahaya, suatu antigen, dan dapat memproduksi antibodi untuk melawan darah tersebut. Antibodi adalah substansi protein yang dihasilkan oleh tubuh dalam merespon suatu antigen. Antibodi ini yang mennyebabkan masalah kehamilan.

Gambar 1. Alur terjadinya Eritroblastosis fetalis

2. Inkompabilitas ABODua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar. Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.

Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm. Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.

GENETIK Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yang dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D). 1

Gambar 2. Keadaan janin dan plasenta pada Eritroblastosis fetalis berat.

PATOFISIOLOGI

Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.

Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung. 2

Gambar 3. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.

GEJALA KLINIS

Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:

A. Hidrops fetalis

Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. Gambar 4. Bayi hidrops fetalis

Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan:

1.gagal jantung akibat anemia.

2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat 3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat kerusakan parenkim hati oleh proses hematopoesis ekstrameduler.

4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh disfungsi hepar

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

B. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.

Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan. 1

DIAGNOSIS 3,4Pemeriksaan antibodi yang dilakukan disebut Coombs test, dibagi menjadi indirect Coombs test dan direct Coombs test.1. Indirect Coombs test

Indirect Coombs test merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi anti-RBC dalam serum. Pemeriksaan ini menunjukkan reaksi terhadap antigan rhesus D, skrining sebelum transfusi darah, dan skrining prenatal untuk fetomaternal blood incompatibility.

Prosedur pelaksanaan:

Mencampurkan eritrosit berisi antigen yang diketahui jenisnya kepada serum pasien lalu menunggu antibodi dari serum pasien untuk bereaksi dengan antigen

Kemudian menambahkan serum globulin antihuman kedalam campuran tersebut dan mengobservasi apakah ada aglutinasi, yang mengindikasikan adanya antibodi.

Interpretasi hasil:

Hasil negatif, menunjukkan tidak terjadi aglutinasi. Ini mengindikasikan hasilnya normal.

Hasil positif, menunjukkan terjadi aglutinasi. Indikasi hasil tersebut adalah inkompatibel-ABO pada transplantasi sum-sum tulang, erythroblastosis fetalis, anemia hemolitik, reaksi transfusi hemolitik, rhesus maternal-fetus yang inkompatibel, dan reaksi transfusi prior. Obat-obatan tertentu seperti levodopa, asam mefenamat, methyldopa, dan methyldopate hydrochloride dapat menginduksi hasil positif pada tes ini.

2. Direct Coombs test

Direct Coombs test merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah. Direct Coombs test dilakukan pada sampel darah merah dari tubuh. Reaksi antigen-antibodi pada pemeriksaan ini dapat menunjukkan tipe dari anemia hemolitik.

Prosedur pelaksanaan:

Dilakukan penambahan serum Coombs antihuman globulin kepada sel darah merah pasien yang telah dicuci, kemudian diobservasi adanya aglutinasi, yang menunjukkan adanya antibodi IgG dan komponen komplemen.

Interpretasi hasil:

Hasil negatif, menunjukkan tidak terjadi aglutinasi. Ini mengindikasikan hasilnya normal.

Hasil positif, berarti terjadi aglutinasi yang mengindikasikan reaksi transfusi, anemia hemolitik karena autoimun, terapi cephalotin, hemolytic disease of newborn, dan induksi dari obat-obatan seperti penisilin, insulin dan -methyldopa.Interpretasi hasil Coombs test dapat dibagi menjadi tiga kelas, yaitu ringan, sedang, dan berat:

Ringan: 1:4 kebawah

Sedang: antara 1:8 hingga 1:16

Berat: lebih dari 1:32

Titer meningkat menunjukan adanya anemia hemolitik, eritoblastosis fetalis, dan ketidak cocokan darah.Pemeriksaan menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi, yang disebut ultrasound, perlu dilakukan untuk mendeteksi pembesaran organ atau penumpukan cairan interstitial pada janin. Sudah dijelaskan bahwa manifestasi klinis daripada hemolytic disease of the newborn atau eritroblastosis fetalis merupakan hepatosplenomegaly dan hydrops fetalis. Pemeriksaan ultrasound digunakan untuk memantau keadaan janin yang mempunyai risiko menderita eritroblastosis fetalis.Amniocentesis dilakukan untuk mengetahui kadar bilirubin di dalam cairan amnion. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menusukan jarum ke dalam dinding abdomen dan uterus untuk mendapatkan sample cairan amnion. Kadar bilirubin yang tinggi pada cairan amnion dapat menandakan derajat hemolisis yang terjadi pada janin.Pemeriksaan darah janin perlu didahulukan untuk mengetahui rhesus janin karena terdapat kemungkinan bahwa janin memiliki rhesus negatif seperti ibunya sehingga tidak berisiko menderita eritroblastosis fetalis. Selain itu pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar bilirubin dan hemoglobin (agar dapat mengetahui apakah terdapat anemia). Sample darah janin dapat digunakan juga untuk pemeriksaan direct Coombs test yang dapat mendiagnosis eritroblastosis pada janin. Sample darah diperoleh dari umbilical cord/ tali pusat.

Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 5

PENATALAKSANAAN 2,6Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.

A. Transfusi tukar :

Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :

1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah

2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)

3. mengurangi kadar serum bilirubin

4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu

Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :

a.berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari kelebihan kalium

b.pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-) c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells

d.bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.

e.pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells

f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi 90 menit

g.lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.

h.sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C

i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan. Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. GOLONGAN DARAH IBU

OABAB

GOLONGAN

DARAH

BAYIOOOO-

AOAOA

BOOBB

AB-ABAB

Gambar 5. Transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. B. Fototerapi

Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.

Gambar 7. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas.

PROGNOSIS 2,7Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.

Mortalitas

Angka mortalitas dapat diturunkan jika :

1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini

2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG

3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.

PENCEGAHAN 8Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin.

Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya. Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus. Drug Name Human anti-D immune globulin (RhoGAM) -- Suppresses immune response of nonsensitized Rh O (D) negative mothers exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus as a result of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma, amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion accident. Should be administered if the patient is Rh-negative, unless the father also is Rh-negative.

Adult Dose 13 wk gestation: 300 mcg IM

Pediatric Dose Administer as in adults

Contraindications Documented hypersensitivity; patients who have received Rho(D)-positive blood within the last 3 mo

Interactions None reported

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA deficiency; when administered close to delivery, may interfere with Rh typing of the newborn

Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan ternyata sangat protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi.

Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G maka preparat tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah melahirkan.

Kegagalan pemberian anti D terjadi bila :

1. tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan bayi Rh positif

2.tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah pemeriksaan amniocentesis

3.pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal macrotransfusion jarang terjadi)

4. sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin.

DAFTAR PUSTAKA1. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Obstetri Williams. Edisi 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.

2. Behrman, Kliegman et al. Nelson text book of pediatrics. Hemolytic Disease of Newborn. Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders;. 2004:768-72.3. WebMD. Antibody Tests (Coombs Test). Available at: http://www.webmd.com/a-to-z-guides/antibody-tests. Accessed 2 Februari 2015.

4. Fischbach FT, Dunning III MC. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th ed. China: Lippincott Williams and Wilkins; 2009. P.659-60.5. Lucile Packard Childrens Hospital. Hemolytic Disease of the Newborn. Available at: http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/hrnewborn/hdn.html. Accessed 2 Februari 2015.

6. Esensi Pediatri Nelson. Gangguan Hematologik. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010:242-3. WebMD. Antibody Tests (Coombs Test). Available at: http://www.webmd.com/a-to-z-guides/antibody-tests. Accessed 2 Februari 2015.7. Snelling CE, Donohue WL, McKee M. Canad M.a.j: Management of Erythroblastosis Fetalis. 66:356. 1952.8. Allen FH, Vaughan VC. Pediatrics: Prognosis in Relation To History, Maternal Titer, and Length of Fetal Gestation. 6:445. 1950.

17

_1158852800.bin