Upload
tembem-anggraeni-rahmatika
View
158
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
herpes zoster
Citation preview
TUGAS REFERAT BLOK DMS
HERPES ZOSTER
Pembimbing:
dr. Kamal Agung Wijayana, Sp. B
Oleh
Kelompok 1 :
Raditya Bagas Wicaksono G1A011006Zamzami Ahmad Baidowi G1A011028Mulia Sari G1A011112Aisyah Aulia Wahida G1A011046Mariska Widya Wirawan G1A011093Nur Qisthiyah G1A011027Prasthiti Dewi Hasdini G1A011067Fachrurozi Irsyad G1A011042Mona Septina Rahayu G1A011030Irma Nuraeni Hidayat G1A011005Faqih Alam Ruqmana G1A011123
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALJURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS REFERAT BLOK DMS
HERPES ZOSTER
Oleh
Kelompok 1 :
Raditya Bagas Wicaksono G1A011006Zamzami Ahmad Baidowi G1A011028Mulia Sari G1A011112Aisyah Aulia Wahida G1A011046Mariska Widya Wirawan G1A011093Nur Qisthiyah G1A011027Prasthiti Dewi Hasdini G1A011067Fachrurozi Irsyad G1A011042Mona Septina Rahayu G1A011030Irma Nuraeni Hidayat G1A011005Faqih Alam Ruqmana G1A011123
Disusun untuk memenuhi tugas blok Dermatomuskuloskeletal pada Jurusan
Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
Diterima dan disahkan,
Purwokerto, November 2012
Dosen Pembimbing,
dr. Kamal Agung Wijayana, Sp. B
2
BAB I
PENDAHULUAN
ais yaah hehehehe ^_^
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Etiologi
D. Faktor Predisposisi
Beberapa pasien dengan faktor risiko tinggi untuk menderita herpes zoster
dengan komplikasi berat adalah (Whitley, 2005) :
1. host yang mengalami imunokompromisasi
2. pasien dengan limfoma Hodgkin maupun non Hodgkin
3. pasien dengan diseminasi kutaneus
4. pasien yang menerima transplantasi sum-sum tulang.
E. Patofisiologi
Transmisi virus Varicella-Zoster virus (VZV) paling mudah melalui tractus
respiratorius, dimana replikasi virus terjadi umumnya pada nasopharynx. Hal ini
akan memicu proses migrasi sistem retikuloendotelial menuju tempat tersebut
hingga akhirnya terjadi suatu keadaan yang disebut viremia (Whitley, 2005). Pada
mulanya, viremia ini akan bermanifestasi sebagai chicken pox (cacar air), dimana
terdapat lesi kulit yang difus dan dapat diverifikasi dengan kultur darah maupun
polymerase chain reaction (PCR). Vesikel yang timbul pada pasien terkait dengan
lapisan dermis pasien dengan adanya perubahan degeneratif yang dicirikan den-
gan adanya vesikel, munculnya multinucleated giant cell, dan inklusi eosinofilik
intranuklear. Infeksi VZV juga dapat melibatkan pembuluh darah yang mem-
4
berikan vaskularisasi pada kulit lokal, yang berakibat pada munculnya nekrosis
dan hemoragik epidermis (Whitley, 2005).
Gambar 1. Perjalanan virus VZV sejak muncul varicella hingga muncul herpes
zoster (akibat reaktivasi virus VZV). Sumber : Arvin, 2005.
Seiring dengan perjalanan penyakit, cairan vesikular menjadi keruh karena
adanya rekrutmen leukosit polimorfonuklear (PMN) dan adanya fibrin serta sel-
sel yang telah berdegenerasi. Akhirnya vesikel ini akan pecah dan menyebarkan
cairan berisi virus yang dapat direabsorpsi secara gradual maupun ditularkan.
Pada cacar air, beberapa virus VZV akan menginfeksi ganglion akar dorsalis dan
mempertahankan keadaan laten hingga akhirnya mengalami reaktivasi. Namun
mekanisme reaktivasi ini masih belum diketahui (Whitley, 2005).
Virus VZV dapat membuat sebuah program genetis yang mengontrol
interaksi virus dan host sehingga keberlangsungan hidupnya di manusia terjamin.
Lesi vesikuler mengandung VZV dengan konsentrasi tinggi yang bersifat
infeksius dan dibutuhkan untuk melakukan transmisi. Saat reaktivasi VZV
dibutuhkan pergerakan virion dari akson menuju kulit dimana virus akan
menginvasi respon imun innate maupun adaptif, namun akhirnya tetap terjadi
persebaran virus antar sel dan membentuk lesi yang mempenetrasi epidermis.
Reaktivasi VZV ini merusak neuron dan sel satelit, salah satu neuroglia di
jaringan saraf (Arvin, 2005).
Sebenarnya, saat pasien pertama terinfeksi VZV dan muncul varicella,
telah terbentuk sel T spesifik VZV dan disimpan sebagai memori. Pada orang
5
yang rentan, sel tersebut hilang dan terdegradasi, atau justru fungsi dari sel T
tersebut yang berkurang, dimana pada akhirnya akan menyebabkan kurangnya
respon imun dari pasien (Arvin, 2005).
Melalui pemeriksaan histopatologis pada pasien dengan herpes zoster dapat
ditemukan hemoragi, edema, dan infiltrasi limfosit. Virus VZV tidak hanya berep-
likasi di kulit namun juga di organ lainnya, seperti paru-paru dan otak. Hal ini
akan mengakibatkan pneumonitis interstisial, pembentukan multinucleated giant
cell, inklusi intranuklear, dan hemoragik pulmoner (Whitley, 2005).
Pasien dengan infeksi SSP dapat memiliki pleositisis liquor cerebrospinal
(LCS) dan peningkatan protein LCS. Meningoencephalitis akhirnya dapat muncul
dengan gejala nyeri kepala, demam, Pasien dengan infeksi SSP dapat memiliki
pleositisis liquor cerebrospinal (LCS) dan peningkatan protein LCS.
Meningoencephalitis akhirnya dapat muncul dengan gejala nyeri kepala, demam
fotofobia, meningitis, dan vomitus. Manifestasi SSP lain yang cukup jarang
adalah angiitis granulomatosa dengan hemiplegia kontralateral serta myelitis
transversal (dengan atau tanpa paralisis) (Whitley, 2005).
Sesuai dengan tempat infeksi virus VZV, akan muncul erupsi vaskular
unilateral dengan dermatom yang berkaitan, disertai rasa nyeri yang berat. Nyeri
ini dapat mendahului munculnya lesi, yaitu sekitar 48 hingga 72 jam.
Makulopapular eritema akan muncul dan akhirnya secara cepat berkembang
menjadi lesi vesikuler. Lesi ini hanya akan muncul 3-5 hari, dengan total durasi
penyakit berkisar 7-10 hari. Namun, butuh sekitar 2-4 minggu untuk
mengembalikan kulit ke keadaan normal (Whitley, 2005). Dermatom T3 hingga
L3 merupakan dermatom yang sering terlibat. Apabila infeksi melibatkan nervus
trigeminal cabang ophtalmicus, akan muncul zoster ophtalmicus. Apabila pasien
zoster ophtalmicus tidak mendapatkan terapi antiviral yang adekuat dapat
berujung pada kebutaan. Jika infeksi melibatkan cabang trigeminal yang lain, lesi
dapat muncul pada mulut, lidah, dan lain-lain (Whitley, 2005).
Pada pasien herpes zoster dapat pula muncul sindroma Ramsay Hunt, yaitu
nyeri dan vesikel yang didapatkan pada canalis auditiva externus, disertai
6
kehilangan kemampuan mengecap pada dua pertiga lidah. Hal ini terkait dengan
infeksi nervus facialis. Neuralgia postherpetic, hypoesthesia, maupun
hyperesthesia juga bisa ditemukan pada pasien (Whitley, 2005).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Gold Standard (Kriteria) Diagnosis
Diagnosis herpes zoster memiliki kriteria gold standard yaitu yang
sudah disebutkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, antara lain (Gross et al., 2003) :
a. penampakan klinis
b. PCR
c. identifikasi VZV dalam kultur sel
d. deteksi IgM serta IgA
G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
2. Nonmedikamentosa
H. Penatalaksanaan Terkini
7
I. Prognosis
J. Komplikasi
8
BAB III
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Arvin, A. 2005. Aging, immunity, and the varicella-zoster virus. N Engl J Med,
352:2266-2267.
Gross, G.; H. Schofer; S. Wassilew; K. Friese; A. Timm; R. Guthoff; H. W. Pau; J. P.
Malin; P. Wutzler; and H. W. Doerr. 2003. Herpes zoster guideline of the
German Dermatology Society. Journal of Clinical Virology, 26(3):277-289.
Whitley, R. J. 2005. Varicella-Zoster Virus Infections. In D. Kasper et al., eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill Company.
10