Referat Inkontinensia Urin Ryan g4a013011 Nugroho g4a013012

Embed Size (px)

Citation preview

REFERATINKONTINENSIA URIN

Pembimbing:dr. Tri Budiyanto Sp.U

Oleh:Ryan Aprilian PutriG4A013011Nugroho Rizki PG4A013012

SMF ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO

2014

LEMBAR PENGESAHAN

REFERATINKONTINENSIA URIN

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :Ryan Aprilian PutriG4A013011Nugroho Rizki PG4A013012

Telah disetujui dan dipresentasikanPada tanggal Juni 2014

Mengetahui,Pembimbing

dr. Tri Budiyanto Sp.U

KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat yangberjudul INKONTINENSIA URIN ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. Penulis berharap tugas ini dapat memberikan manfaat dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan serta dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Penulis mengucapkan terima kasih kepada:1. dr. Tri Budiyanto Sp. U, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan tugas ini. 2. Teman-teman FK UNSOED dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Purwokerto, Juni 2014

PenulisBAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPengertian Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan higienis bagi penderitanya Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan penambahan usia merupakan faktor predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (Setiati, 2009).Kemungkinan usia lanjut bertambah berat Inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Pada usia lanjut, masalah Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi Inkontinensia urin dalam komunitas orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30 %. Inkontinensia urin ini dapat terjadi pada usia lanjut wanita maupun pria. Namun, prevalensi Inkontinensia urin lebih tinggi terjadi pada wanita dan meningkat dengan bertambahnya usia, BMI, riwayat histerektomi, monopause, status depresi dan paritas (Diethelm, 2005 ).Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien ataupun keluarganya, hal ini mungkin dikarenakan adanya anggapan bahwa masalah tersebut merupakan hal yang memalukan atau tabu untuk diceritakan. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga terkadang tidak memahami penatalaksanaan pasien dengan Inkontinensia urin dengan baik. Padahal sesungguhnya Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan pada usia lanjut yang dapat diselesaikan ( Setiati dan Pramantara, 2007 ).

B. TujuanTujuan pembuatan referat ini adalah untuk memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan anatomi fisiologi saluran kemih, etiolgi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi inkontinensia urin.

BAB IIISI

A. Anatimi dan Fisiologi Traktur UrinariusTractus Urinarius adalah suatu saluran system tubuh untuk memproduksi urin yang merupakan suatu cara untuk membuang sisa sisa hasil metabolism yang sudah tidak dapat dipakai lagi oleh tubuh.Komponen dari Tractus Urinarius adalah :a. 2 buah/sepasang Ginjalb. 2 buah/sepasang Ureterc. Vesica Urinariad. Orificium Urethra Externum

a. Ginjal/RenGinjal adalah organ berbentuk seperti kacang, berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12.5 cm dan tebalnya sekitar 2,5 cm. Terdapat 2 buah ginjal dalam satu tubuh manusia Ginjal terletak di area yang cukup tinggi, yaitu pada dinding abdomen posterior yang berdekatan dengan 2 pasang iga terakhir. Organ ini terletak secara retroperitoneal dan di antara otot otot punggung dan dan peritoneum rongga abdomen atas. Setiap ginjal mempunyai kelenjar adrenal pada bagian atasnya.Ginjal kiri letaknya lebih tinggi daripada ginjal kanan dikarenakan adanya Hepar pada sisi kanan tubuh. Ginjal tersusun atas banyak nefron, yang berfungsi untuk filtrasi dan pembentukan urin. Satu unit nefron terdiri dari(Sherwood,2001) : Glomerulus : Merupakan suatu gulungan kapiler. Dikelilingi oleh sel sel epitel lapis ganda atau biasa disebut Kapsul Bowman. Bertindak seperti saringan, menyaring darah yang datang dari Arteriol Aferen. Membentuk urin primer yang berupa cairan pekat, kental, dan masih seperti darah, tapi protein dan glukosa, sudah tidak ditemukan Tubulus Kontortus Proksimal : Suatu saluran mikro yang amat berliku dan panjang. Mempunyai mikrovilus untuk memperluas area permukaan lumen. Ansa Henle : Suatu saluran mikro yang melengkung dan berliku, terdiri dari bagian yang tipis dan yang tebal. Pada bagian yang tipis, didominasi oleh reabsorpsi air. Sedangkan pada bagian yang tebal, didominasi oleh reabsorpsi elektrolit, seperti NaCl Tubulus Kontortus Distal : Suatu saluram mikro yang juga panjang dan berliku. Disini, sedikit dilakukan reabsorpsi air. Ductus Coligentus : Suatu saluran lurus dimana berkumpulnya hasil urin setelah melewati Tubulus Kontortus Distal. Bermuara ke Calix Minor Renalis. Yang selanjutnya akan dibawa ke Calix Mayor Renalis, lalu ke Pelvis Renalis

Anatomy of the Urinary tract

Structure of the NephronGinjal mendapat suplai darah dari pembuluh darah sebagai berikut : Arteri Renalis Arteri Arkuata Arteri Interlobaris Arteriol Aferen Arteriol Eferen

b. UreterUreter adalah saluran perpanjangan tubular berpasangan dan berotot dari pelvis ginjal yang merentang hingga Vesica Urinaria. Ureter memiliki panjang antara 25 sampai 30 cm. Saluran ini menyempit di 3 tempat (Sherwood,2001) : Proksimal ureter, pada Pelvis Renalis Saat melewati pinggiran pelvis/panggul Distal ureter, pada saat memasuki Vesica UrinariaBatu ginjal dapat menyangkut pada 3 tempat tersebut sehingga menyebabkan nyeri yang biasa disebut Colic Ginjal Ureter mempunyai beberapa lapisan. Fibrosa : Lapisan terluar Muskularis Longitudinal (arah dalam), Otot Polos Sirkular (arah luar) : Lapisan tengah Epitellium Mukosa : Lapisan terdalamLapisan muscular memiliki aktivitas Peristaltik Intrinsik, mengalirkan urin menuju Vesica Urinaria untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh

c. Vesica UrinariaVesica Urinaria adalah suatu organ yang berfungsi untuk menampung urin. Pada laki laki, organ ini terletak tepat dibelakang Symphisis Pubis dan didepan Rektum. Pada perempuan, organ ini terletak agak dibawah uterus, di depan vagina. Saat kosong, berukuran kecil seperti buah kenari, dan terletak di pelvis. Sedangkan saat penuh berisi urine, tingginya dapat mencapai umbilicus dan berbentuk seperti buah pir. Dinding Vesica Urinaria memiliki beberapa lapisan (Sloanne, 2004) : Serosa : Lapisan terluar, merupakan perpanjangan dari lapisan peritoneal rongga abdominopelvis. Hanya di bagian atas pelvis Otot Detrusor : Lapisan tengah. Terdiri dari otot otot polos yang saling membentuk sudut. Berperan penting dalam proses urinasi Submukosa : Lapisan jaringan ikat, menghubungkan antara lapisan otot Detrusor dengan lapisan mukosa Mukosa : Terdiri dari epitel epitel transisional. Membentuk lipatan saat dalam keadaan relaks, dan akan memipih saat keadaan terisi penuh.d. UrethraUrethra adalah saluran akhir dari Tractus Urinarius, yang mengalirkan urine ke luar tubuh. Pada laki laki, urethra memiliki panjang hingga 20 cm, dan selain berfungsi untuk mengeluarkan urine, juga berfungsi untuk membawa keluar semen, namun TIDAK pada saat yang bersamaan. Urethra pada laki laki dibagi menjadi 3 bagian (Sloanne, 2004): Urethra pars Prostatika : Dikelilingi oleh kelenjar prostat, dan merupakan muara dari 2 buah duktus ejakulatorius. Juga merupakan muara dari beberapa duktus dari kelenjar prostat Urethra pars Membranosa : Bagian terpendek. Berdinding tipis dan dikelilingi oleh otot rangka sfingter urethra eksterna Urethra pars Cavernosa : Bagian terpanjang. Menerima duktus dari kelenjar bulbourethralis dan bermuara pada ujung penis. Sebelum mulut penis, bagian ini membentuk suatu dilatasi kecil, yang disebut Fossa Navicularis. Bagian ini dikelilingi oleh Korpus Spongiosum yang merupakan suatu kerangka ruang vena yang besar

Urethra pada perempuan memiliki panjang yang jauh lebih pendek. Ujung mulut urethra pada perempuan terletak dalam vestibulum, antara Clitoris dan Vagina.Perbedaan panjang dan letak anatomis dari urethra ini, mengakibatkan perbedaan resiko akan terjadinya infeksi saluran kemih Pada perempuan, lebih mudah terjadi infeksi karena pendeknya panjang urethra, dan dekatnya dengan Vagina, yang memiliki banyak mikroorganisme sebagai flora normal, namun bersifat infeksius jika berpindah tempat

Gambar 1.1 Traktus urinarius pada Perempuan

Gambar 1.2 Traktus Urinarius pada laki laki.

B. Definisi Inkontinensia UrinInkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak disadari, tidak dapat dikontrol, tidak lancar dan berdampak sosial dan higienis bagi penderita dapat dibuktikan secara objektif.Inkontinensia urin dapat terjadi pada derajat ringan berupa keluarnya urin hanya beberapa tetes sampai dengan keadaan berat dan sangan mengganggu penderita (Menefee, 2002).

C. Etiologi dan Faktor ResikoPenyebab pokok inkontinesia urin adalaha gangguan urologis ,neurologis, fungsional/psikologis, dan iatrogenic/lingkungan. Inkontinensia dibagi menjadi proses akut dan persiten.Proses akut dari inkontinensia urin dapat dibagi menjadi (Vasavada, 2014):D:DeliriumI: InfeksiA: Atrophic Vaginitis atau UrethritisP : Pharmaceutical (hipnotik sedatif, loop diuretik, anti-kolinergik)P : Psychologic disorders (Depresi)E : Kelainan EndokrinR : restricted mobilityS : StoolimpactionSementara itu terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urin persisten, di sini hanya dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu : A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence) B. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence) C. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)D. Fistule Urine

D. EpidemiologiPrevalensi inkontinensia urin menurut The Asia Pacific continense Board (APCB) sebanyak 20,9 %- 35 % dimana perempuan lebih tinggi angka prevalensinya sebesar 15,1 % dari pada laki laki sebesar 5,8 %. Dari presentase prevalensi wanita asia di dapatkan 24,9 % adalah stress inkontinensia, 10,5 % Urge inkontinensia dan 5 % adalah campuran. Angka prevalensi inkontinensia urin di Indonesia sampai saat ini belum ada angka yang pasti, dari penelitian terdahulu menyebutkan bahwa angka kejadian berkisar antara 20-30% (Suparman et al, 2007)

E. PatofisiologiPada usia lanjut inkontinensia urin berkaitan dengan fungsi fisiologis, psikologis dan lingkungan. Proses miksi sendiri diatur di sakrum.jalur aferen membawa informasi mengenai volume vesika urinaria di medula spinalis. Pengisian vesika urinaria dilakukan dengan cara merelaksasi vesika urinaria melalui penghambatan saraf simpatis serta somatik yang mempersarafi otot dasar panggul. Pada orang orang dengan usia lanjut terjadi degenerasi neurogenik yang menyebabkan berkurangnya fungsi dari penghambat kontraksi dari vesica urinaria sehingga akhirnya urin keluar secara involunter atau tanpa disadari(Guyton, 2010).

DegenerasiGangguan sarafOtot detrusor lemahUrin di kandung kemih Kapasitas urin di kandung kemih berlebih

Tidak puas setelah BAKUrin yg keluar sedikitPancaran lemah

F. Klasifikasi danGejala Klinis Klasifikasi dibawah ini telah disetujui oleh ICS ( International Continence Society: 1. Stress urinary incontinence Strees inkotinensia terjadi karena mekanisme spingter uretral yang tidakadekuat untuk menahan urine pada saat keluar dari kandung kemih. Pasien biasanyamenggambarkan pengeluaran urin sedikit-sedikit secara tidak sengaja pada saatmelakukan aktivitas yang meningkatkan tekanan intraabdominal, seperti batuk,tertawa, bersin atau mengangkat beban. Seringkali stress inkontinensia urin terjadipadawanitadewasa(denganriwayathamildanmelahirkanpervaginam),inkontinensia stress biasanya disebabkan oleh kelemahan dasar panggul danlemahnya sphincter vesikouretral. Pada keadaan normal tekanan penutupan uretramerespon terhadap pengisisan kandung kemih, perubahan posisi, stress seperti batukdan bersin. Spingter memiliki mekanisme sendiri untuk meningkatkan resistensiuretra dengan demikian menghalangi perembesan urin (Santoso, 2008).Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:a) Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat dibuktikan melaluipemeriksaan.b) Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan manuver stress danada sedikit penurunan uretra pada leher vesica urinaria.c) Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretrapada leher vesica urinaria2 cm atau lebih.d) Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria tampakkontraksi

2. Inkontinensia dorongan (urge syndrome/incontinence). Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Setiati, 2009). 3. Inkontinensia StressMenurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa. Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Robinson, 2007).

4. MixedurinaryincontinenceMerupakan gabungan gejala inkontinensiaurgensi dan inkontinensia stress. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsidetrusor (motorik atau sensorik)dan berhubungan dengan aktivitas spingter uretra.Yang berarti terjadi pengeluaran urin yang tidak disengaja yang berkaitan denganurgensi dan juga dengan batuk dan bersin (Setiati, 2009)

5. Inkoninensia OverflowInkontinesia urin tipe overflow disebabkan oleh meningkatnya tegangan kandun gkemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pad alaki-laki atau lemahnya otot destrusor aibat diabetes melitus, trauma meula spinalis dan obat-obatan. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, dan overflow.6. Inkontinensia Fungsional Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin (OCollachan 2006). Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (O, Collaghan 2006).G. DiagnosisLangkah pertama proses diagnosis adalah identifikasi inkontinensia urin melalui observasi langsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pedenkatan yang komprehensif beberaa aspek seperti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis,, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus (Setiati, 2009): 1. AnamnesisPada inkontinensia, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke WC. Passien juga mengatakan kadang saat tertawa dengan bersemangat, tanpa ssadar terkencing-kencing. Sedangkan penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.

2. Pemeriksaan FisikTujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.a) Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.b) Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.c) Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.d) Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.e) Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.

3. Tes diganostikMenurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.Urinalisis dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :a) Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.b) Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawahc) Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.d) Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

4. Pemeriksaan penunjuangUji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih (Iman, 2008).

H. PenatalaksanaanPada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis (Setiati, 2009).Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan (Robinson, 2007)).Sejauh ini, penatalaksanaan inkontinensia urine terdiri atas tiga kategori utama,yaitu terapi nonfarmakologis (intervensi perilaku), farmakologis,dan pembedahan. Di bawahini akan diuraikan penatalaksanaan inkontinensia urin.1. Terapi non farmakologiTerapi yang sebaiknya pertama kali dilakukan untuk mengatasi inkontinensiaurin adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapifarmakologis.

a) Behavioral Oriented / Pengaturan DietIntervensi ini digunakan untuk mengatasi gejala ringan dariinkontinensia stress. Mengurangi pemasukan cairan (tidak lebih dari 8 gelasdalam 24 jam), dan menghindari makanan/minuman yang mempengaruhipola berkemih (seperti cafein, dan alkohol). Kafein dan alkohol bersifatmengiritasi kandung kemih. Selain dapat mengiritasi otot kandung kemihkafein juga bersifat diuretik dan akan meningkatkan frekuensi berkemih.Selain itu alkohol akan menghambat hormon antidiuretik sehingga produksiurin meningkat.Makanan dan minuman dapat menyebabkaninkontinensia seperti kafein (ditemukan dalam kopi,teh, soda,soft drink dan coklat), dan alkohol. Dengan membatasi makanan dan minuman tersebutdapat mengurangi inkontinensia. Hal yang sama yang menyatakan bahwa penelitian membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangikonsumsi kafein.Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin dan overactive bladder menunjukkan ada hubungan antara gejalainkontinensia urin dengan konsumsi kafein sehingga pasien dengan inkontinensia urin dan overactive bladder direkomendasikan untuk mengurangi konsumsi kafein tidak lebih dari 200 mg/dl atau tidak lebih 2gelas perhari. Howard, et al. (2008) juga menyatakan bahwa pasein dengan urgency, frekuensi urin dan urge incontinence mengalami perbaikan setelahmenerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein.Kafein dan alcohol yang terdapat dalam makanan dan minuman dapat menyebabkandiuresis atau iritasi kandung kemih yang berkontribusi terhadap overactive bladder dan gejala inkontinensia urin. Alkohol dapat menghambat sekresihormon oleh kelenjar pituitary sehingga pengeluaran urin menjadiberlebihan dan frekuensi berkemih dapat meningkat. Alkohol dapat mengganggu sistem saraf pada kandung kemih dan menurunkan sensitivitaskandung kemih dan kadang kadang menyebabkan kandung kemih terlalu aktif yang dapat menyebabkan urge incontinence.b) Bladder TrainingBladder training adalah salah satu upaya untuk menanganiinkontinensia urin dengan cara mengembalikan fungsi kandung kemih yangmengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal ( AustralianGovernment, Departement of Health And Ageing, 2003). Bladder training umumnya digunakan untuk mengatasi stress incontinence, urge incontinence dan mixed incontinence. Bladder training dilakukan dengan cara sebagaiberikut : Saat ada rangsangan ingin berkemih cobalah untuk mulai menahan urin selama 5 menit, bila mampu menahan selama 5 menit tingkatkan samapi 10 menit dan seterusnya sehingga jarak berkemih 2-3 jam. Lakukan bladder training 3-12 minggu (Robinson, 2007)c) Kegels ExcerciseKegel adalah nama dari latihan untuk menguatkan otot dasar panggul.Latihan Kegel merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnyai nkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus ototdapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang sebagai suatumotoryang bekerja denganjalan mengubah energi imia menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi danpergerakan untuk menggerakkan serat otot yang terletak pada interaksi aktin dan miosin. Proses interaksi tersebut diaktifkan oleh ion kalsium danadenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi adenodifosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi otot detrusor (Victor, 2007). Cara latihan Kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot puboccygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian kontraksi dilepaskan.Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini semakin kuat, latihan ini diulang 10 kalisetelah itumencoba berkemihdan menghentikanurin.(Victor, 2007)2. Terapi farmakologiTherapi farmakologis digunakan jika behavioral oriented atau terapi lain tidak memperbaiki kondisi inkontinensia urin. Terapi farmakologis umumnya memakai obat-obatan dengan efektivitas dan efek samping yang berbeda. Obat-obatan yang sering digunakan untuk mengatasi inkontinensia urin antara lain (Setiati, 2009) :a) Anti muscarinic yang berfungsi untuk mencegah kontraksi dan pengosongan kandung kemih sebelum mencapai volume yang dapat merangsang mikturisi.b) Alpha-adrenergicagonist seperti phenyl propanolamine dan pseudo ephedrine yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot spingter. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.c) Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine, tricyclic antidepressant.d) Terapi estrogen dapat digunakan untuk mengatasi inkontinensia pada wanita menopause. Estrogen berfungsi untuk meningkatkan tonus, danaliran darah ke otot spingter uretra3. Terapi pembedahanTerapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Tindakan pembedahan dilakukan bila penyebab inkontinensia sudah teridentifikasi dengan tepat. Tujuan pembedahan adalah untuk menaikkan danmenyokong leher kandung kemih agar dapat kembali ke posisi normalnya yaitu diatas otot dasar pelvis (Iman, 2008). Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan diahului dengan evaluasi uridinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal (OCollaghan 2007). Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transesksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik,injeksi penol periureter dan sistolisis telah banyak dugynakan. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi destrusor. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe stres adalah injecctable intraurethral bulking agents, suspensi leher kandun gkemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty, dan stimulasi elektrik (Victor, 2007).Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, katerisisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilaukan untuk penderita inkontinesia urin akut. Data-data yang ada menunjukkn pemakaian kateter. Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu: kateter eksternal (kateter kondom), katerisasi intermitten, dan katerisisai kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada inkontinensia inractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependen. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah risiko infeksi dan iritasi kulit (Setiati, 2009). Katerisisai intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia tipe overflow akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detrussor hiperactivity with impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2-4 kali perhari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan apda pasien dengan inkontinesia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini, oleh karenanya harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan katerisasi harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan katerisisai menetap harus dilakukan secara selektif oleh karena risiko bakteria kronik, batu kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia overflow ppresisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan katerisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat (Setiati, 2009).

I. PrognosisInkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognesia cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan atau retensi urin) (Victor, 2007).

BAB IIIKESIMPULAN

1. Tractus Urinarius adalah suatu saluran system tubuh untuk memproduksi urin2. Komponen dari Tractus Urinarius adalah : 2 buah/sepasang Ginjal, 2 buah/sepasang Ureter, Vesica Urinaria, Orificium Urethra Externum3. Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak disadari, tidak dapat dikontrol, tidak lancar dan berdampak sosial4. Penyebab pokok inkontinesia urin adalaha gangguan urologis ,neurologis, fungsional/psikologis, dan iatrogenic/lingkungan5. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnositik, dan pemeriksaan penunjang.6. Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif.

DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Diethelm Wallwiener and Tilman T. Zittel,editor. 2005. Urinary andFecal Incontinence. Epidemiology of Urinary Incontinence. In: Horst-Dieter Becker AS, New York:Springer Berlin Heidelberg; 2005. p. 1-10

Hall, E John. 2010. Guyton and Hall Textbook Medical Physiology.Urinary Tract.Elsevier Health Sciences:2010.

Iman, B susanto. 2008.Inkontinensia Urin pada Perempuan. Dalam : Maj Kedokt indon.Volume 58 No 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; H. 258-644.

Iman, B susanto.2004.Definisi Klasifikasi dan Panduan Tatalaksanaa Inkontinensia Urine. Dalam : 3rd International Consultation on Incontinence Monaco. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .

Menefee SA, Wall LL. Incontinence, Prolapse and Disorder of The pelvic Floor. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA.Novaks Gynecology. 12 ed. California; Lippincott Willians & Wilkins, 2002 : 654-84Ocallaghan CA.2006 The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: Erlangga.

Robinson K., Cardozo L. 2007., Urinary Incontinence. In: Dewhursts Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7 th edition. London: Queen Charlotte and ChelseHospital.

Setiati Siti, Dewa I Putu P. 2009. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif.Sudoyo Aru W,dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.Jakarta: Pusat Penerbitan IlmuPenyakit Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia.

Sherwood, Lauree. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sloanne, Ethel.2004.Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula.EGC.Jakarta

Suparman et al.2007. Indonesian Digital Journal. Inkontinensia Urin Pada Wanita Menopause. Diunggah dari http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/IJOG/article/download/969/963 pada tanggal 24 Juni 2014

Vasavada, et al.2014.Medscape Reference.Urinary Incontinence. Diunggah dari http://emedicine.medscape.com/article/452289-overview#aw2aab6b2b5 pada tanggal 24 Juni 2014

Victor W. Nitti MJGB, MD, editor :Saunders 2007. Urinary Incontinence: Epidemiology, Pathophysiology, Evaluation, and Management Overview. In: Campbell-Walsh Urology. 9th, An Imprintof Elsevier; 2007.7.