33
MAKALAH INSOMNIA Disusun Oleh : Nama : Meiliska Aulyanissa NPM : 10310230 Pembimbing dr. Paskawani Siregar, Sp.KJ RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

Referat Insomnia Meiliska

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SMF jiwa RSJ Prov Sumatera Utara

Citation preview

MAKALAH

INSOMNIA

Disusun Oleh :

Nama : Meiliska Aulyanissa

NPM : 10310230

Pembimbing

dr. Paskawani Siregar, Sp.KJ

RUMAH SAKIT JIWA

PROVINSI SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kehendakNya penulis

dapat menyelesaikan makalah dengan judul Insomnia.

Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas Kepaniteraan klinik stase Jiwa.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun

makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi isi,

susunan, bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang

bersifat membangun sangat penulis harapkan

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada

dr. Paskawani Siregar, Sp.KJ. selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Stase Jiwa di RS.

Umum Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, yang telah memberikan masukan yang berguna

dalam proses penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada

rekan-rekan yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan yang

berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan

masalah kesehatan pada umumnya, dan khusus nya tentang masalah insomnia

Medan, Oktober 2014

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur

atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut biasanya

diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga

orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam

setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak

95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu

selama hidup mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk

mengalami insomnia.

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam

beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan

penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti

pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang

atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering

berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya

berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian

atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap

insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai

kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari

untuk insomnia.3

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh

mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan

konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis

hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia

seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti

berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi

seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan

pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain

itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.

Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah

gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi

sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol,

ketergantungan obat, dan bunuh diri.

Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis

atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan

penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu

kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah

morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.3,4

1.2 Tujuan dan Manfaat

1) Tujuan

Untuk mengetahui lebih dalam tentang insomnia.

2) Manfaat

Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk membantu memahami pola gangguan

tidur insomnia dan sebagai proses belajar bagi penulis.

BAB II

ISI

2.1. Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya

waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai

irama sirkadian1,4.

Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat.

Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia

retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada

substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep

center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi

terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal

center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti

oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara

bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat

stadium, antara lain:

Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini

dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan

tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang

disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG

menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering

dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal

sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan

gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu

gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir

sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta.

Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow

Wave Sleep (SWS)

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi

dalam stadium seperti dalm tidur NREM. 1,4

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan

tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan

terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di

hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan

neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur

badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur.

NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya

terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan

temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC

merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin

adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin

dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan

temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9

malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.5

Perubahan tidur akibat proses menua

Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring

lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur

nyenyaknya.

Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur

yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat

polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid

eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat

perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara

nyata menurun.

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu

menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang

normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus

24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun

di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur

tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung

pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari,

pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada

kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.5

Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua.

Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur

yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan

menurunnya tidur tahap 3 dan 4.5

2.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan

untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung

setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam

fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia

sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3

malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of

Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,

disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala

kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur

walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi

merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,

kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya

tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.3 Klasifikasi Insomnia

1. Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau

susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita

insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur

seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

2. Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi

medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat

menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu

masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat

menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1

dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga

dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu

penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun

penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang

menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International

code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV

dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik

- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu

buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah

insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah

menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan

kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita

minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia

diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene

g. Behavioral insomnia of childhood

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,

unspecified (nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic) 10

2.4. Etiologi Insomnia

• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat

pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang

penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau

kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.

• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam

otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa

antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan

kortikosteroid.

• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein

adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan

insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur,

tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah

malam.

• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan

sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar

dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia

akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease

(GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau

pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,

sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur

siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.

• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak

bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang

dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang

biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV

atau membaca.3,10

2.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko

insomnia meningkat jika terjadi pada:

Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama

siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering

berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.

Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat

sejalan dengan usia.

Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,

gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.

Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti

kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.

Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering

meningkatkan resiko insomnia.1,4

2.6 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Sering terbangun pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

Ketegangan dan sakit kepala

Gejala gastrointestinal 1,3,7

2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

Pola tidur penderita.

Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

Tingkatan stres psikis.

Riwayat medis.

Aktivitas fisik

Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan

pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan

pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat

waktu tidur Anda selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu

permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan

darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain

yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan

dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan,

nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh.6

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ7

• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas

tidur yang buruk

b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap

akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan

penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan

pekerjaan

• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis

insomnia diabaikan.

• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya

gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak

memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini,

dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.8 Penatalaksanaan

1. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan

mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya

direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

- Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan

pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini

dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

- Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang

positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.

- Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur

yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.3,6

- Kontrol stimulus

Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk

beraktivitas.

Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:8

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton

televisi, makan atau bekerja.

2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di

tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke

ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton

televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam

20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang

membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.

3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur

pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol

waktu).

4. Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan

atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada

malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari

kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari

sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,6

2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu

benzodiazepine dan non-benzodiazepine.

a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu

golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke

proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu

golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah

menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu

golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan

sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah

timbulnya rebound dan toleransi obat)

- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-

lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali

seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2

minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat

menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”

(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat

ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia

(waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound lebih

berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan

- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over”

pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi

“disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek

supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”

- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme

atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan

interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS

Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

- Kontraindikasi :

o Sleep apneu syndrome

o Congestive Heart Failure

o Chronic Respiratory Disease

- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan

“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester

pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi

(penekanan fungsi SSP)1,3,9

2.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia

dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi

Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi

kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan

darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain spt

depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam

mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan

fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat

mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.

Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan

berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan

kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola

tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan

stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara

individual.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non

farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang

biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan

benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine

(Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis

dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di

rumah seperti mengatur jadwal tidur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I

Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep

Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual .

Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep

Medicine; 2005:1-32.

3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.

(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 8 Juli

2011)

4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

5. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/

DSECTION=alternative-medicine Diakses tanggal 8 Juli 2011)

7. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari

PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

8. Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New York:

McGraw-Hill.

9. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

10. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford

University Press