Upload
al-adip-indra-mustafa
View
30
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan hormat,
Referat pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 19 Oktober – 26
Desember 2015 dengan judul “Kejang Demam” yang disusun oleh :
Nama : Al Adip Indra Mutafa
NIM : 030.09.007
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
Dr. Thomas Harry Adoe, Sp A(K)
Menyetujui,
Dr. Thomas Harry Adoe, Sp A(K)
1
KEJANG DEMAM
I. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (1). Kejang demam ini
terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun(2). Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam(4). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam(3). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(1). Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (4). Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahuluidemam,
kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam(4). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf
seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai
sistem susunan saraf pusat(3).
II. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan
dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki(2).
III. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih(2).
IV. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam(3). Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik (1,3). Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak
2
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi(1,3).
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya
demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks(1).
V. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler(6). Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air (6).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat
pada permukaan sel(6).
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan(6).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur
3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
3
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang (6).
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang(6).
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan
mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia(1).
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yangmengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron
otak(6). Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi(6).
VI. Klasifikasi
Umumnya KD (Kejang Demam) dibagi menjadi 2 golongan.
Kriteria untuk penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar dan terdapat
beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya
demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak dan lainnya.
1. Klasifikasi kejang demam menurut Livingstone (1)
4
A. Kejang Demam Sederhana:
1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia saat kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam 1 tahun
5. Pemeriksaan EEG normal
B. Epilepsi yang Dicetuskan oleh Demam:
1. Kejang berlangsung lama atau bersifat fokal
2. Usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam yang pertama
3. Frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam 1 tahun
4. Pemeriksaan EEG yang dibuat setelah anak tidak demam lagi hasilnya abnormal
2. Sedangkan menurut Fukuyama kejang demam dibagi menjadi (1):
A. Kejang Demam Sederhana:
1. Riwayat penyakit keluarga penderita tidak ada yang mengidap epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan-6 tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas
perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
B. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam yang tidak memenuhi kriteria di atas digolongkan sebagai kejang
demam kompleks
VII. Manifestasi Klinik
5
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf(6).
Seperti yang sudah di bahas dalam klasifikasi, Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan
membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston(6):
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi
Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam(6).
VIII. Pemeriksaan Penunjang
6
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7
%.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal
dianjurkan pada :
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak
perlu dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT – scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
7
IX. Diagnosis Banding
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak) (6).
Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi
seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik
maka perlu pertimbangan pungsi lumbal (3).
X. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Saat Kejang (4)
Penanganan Kejang pada Neonatus
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan napas. Selanjutnya
dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang dengan cara:
Penanganan kejang pada anak
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan napas.
Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang dengan cara:
8
b. Pemberian Obat Pada Saat Demam (4)
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari
dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
9
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal
dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejangdemam.
3. Pemberian Obat Rumat (4)
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salahsatu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi
umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka pendek. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
10
menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2
– 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis.
XI. Edukasi Pada Orang Tua (4)
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangidengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang (4)
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
Vaksinasi (4)
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalamikejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pascavaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelahvaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral ataurektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.
Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian
11
XII. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembanganmental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitianlain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil
kasus, dan kelainanini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
baik umum atau fokal(4). Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih
dari 10 menit, diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila
tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi Resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar
b. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (4).
c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam (4)
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. (4)
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
b. Kejang demam kompleks.
12
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6
%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % -
49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
KesehatanAnak FKUI Jakarta. 1985
3. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27.1982
5. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2006.
6. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006
14