Upload
trias-adnyana
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
DISKOID LUPUS ERITEMATOSUS
Pembimbing :
dr. Frida Adelina Ginting, Sp.KK
Oleh:
I Nyoman Trias S. (08310148)
Santo Fitriantoro (09310285)
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSU. KABAN JAHE 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
segala limpahan berkah dan pertolongan-Nya, sehingga Penulis bisa merampungkan
referat ini tepat pada waktunya.
Referat Dermato – Venereologi yang berjudul “Lupus Eritematous Diskoid”
ini Penulis susun dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Kabanjahe.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis, khususnya
kepada dr.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan, sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran untuk
menyempurnakan tulisan ini.
Semoga referat ini dapat memberikan manfaat serta tambahan pengetahuan
mengenai lupus eritematous discoid untuk aplikasi klinis sehari-hari bagi para
pembaca, dan terutama sekali bagi Penulis sendiri. Terima kasih.
Kabanjahe, Maret 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 2
2.1 Definisi............................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 3
2.3 Etiologi............................................................................................ 3
2.4 Patogenesis ..................................................................................... 3
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................... 6
2.6 Diagnosis ........................................................................................ 7
2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 8
2.8 Diagnosis Banding ......................................................................... 9
2.9 Penatalaksanaan ............................................................................. 11
2.10 Komplikasi.................................................................................... 18
2.11 Prognosis....................................................................................... 18
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATARBELAKANG
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-
sistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal tampak sebagai makula atau papul
berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang
permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya berubah
menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid) berbatas tegas yang ditutupi sisik
yang meluas hingga ke bukaan dari folikel rambut yang telah melebar. Jika sisik
tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti karpet yang ditusuk dengan
beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku karpet.1,2
Lupus eritematous diskoid bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus
Kutaneus lainnya serta Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya
lebih berat hingga dapat mengancam jiwa adalah bagian dari lupus eritematosus (LE)
yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan klinis dan pola autoimunitas sel B
poliklonal yang khas.1
Prognosis penderita LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED
yang akan berkembang menjadi LES. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Lupus Eritematosus Diskoid adalah penyakit kulit yang menyebabkan
skuama dan lesi kemerahan pada kulit yang diperparah oleh paparan sinar matahari.
Bercak merah biasanya berbentuk koin pada kulit. Tempat yang paling utama untuk
lesi LED biasanya terjadi pada muka, leher, dahi, telinga, dada, bahu dan punggung
atas. Lesi bagian tengah biasanya berwarna cerah dibandingkan dengan bagian
pinggir lesi yang berwarna lebih gelap dari kulit normal. 2,8,9
Lupus Eritematosus Diskoid berhubungan erat dengan kondisi lain yang
disebut Lupus Eritematosus Sistemik [LES]. LES merupakan penyakit autoimun,
yang berarti system pertahanan [imun] alami tubuh menjadikan sel dan jaringan
tubuh sebagai target dan menghancurkannya. Lupus Eritematous mengacu pada
kelainan yang berdampak luas. Pada LES kelainan dapat menyerang organ internal,
sedangkan pada LED hanya menyerang kulit, tapi ada sebagian kecil LED yang
menyerang organ dalam, yang membuat penderita menjadi sakit. 8,9
Lupus Eritematosus Diskoid selalu dibatasi pada kulit, tapi LES juga
mempengaruhi sendi, ginjal, jantung, liver, dan darah selain pada kulit. Sekitar 10%
masyarakat yang terkena lupus eritematosus discoid dapat menuju ke LES. Mustahil
untuk memperkirakan siapa saja yang dapan menderita LES, dan mustahil
untuk mencegah dari timbulnya LES. Beberapa ahli percaya bahwa orang yang dari
LED ke LES mungkin merupakan penderita LES dengan lesi discoid sebagai keluhan
utamanya. Ketika orang didiagnosis dengan LES, sangat penting untuk melakukan
2
follow up yang teratur dengan dokter sehingga dokter dapan memonitor kondisi dan
mengenal gejala kemajuan LED ke LES.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus
kutaneus. LED dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45
tahun, dengan rata-rata umur 38 tahun. LED tidak biasa ditemukan pada anak,
sehingga tidak ada data khusus mengenai prevalensi kejadian LED. Namun, jika
dianamnesis dengan baik, LED pada anak merupakan manifestasi klinis dari penyakit
sistemik. Perbandingan LE kutaneus pada anak perempuan dan laki-laki adalah 3:1.
Pada masa pra-pubertas, dilaporkan bahwa perbandingan penderita LE kutaneus
adalah antara 1:1 dan 3:1, sedangkan rasio untuk setelah pubertas (dewasa) adalah
sekitar 8:1 dan 10:1. LED juga berkisar antara 15-30% dari populasi kasus LES. 5 %
dari kasus LED dapat mengarah ke LES. 1,3
2.3 ETIOLOGI
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti. Adapun faktor resiko
dari kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan sinar
matahari dan obat-obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas. Lupus
mengakibatkan perubahan pada regulasi sistem kekebalan sehingga tubuh menjadi
sensitif terhadap jaringan selnya sendiri.4
2.4 PATOGENESIS
Penyebab dan mekanisme patogenesis yang mengakibatkan LE masih belum
diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari patogenesis
3
LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan
empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan
klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang
menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi autoimunitas,
perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:1
Gambar 1: Patomekanisme Lupus Eritematosus1
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE
dengan MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap
berperan dalam patogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan
tumor necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang
melibatkan proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan dalam pembersihan
kompleks imun. 1
Tahap kedua dari patogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan
proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah
kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi
autoreaktifitas tersebut antatara lain: 1,3
4
Pewarisan Gen/ Mutasi Somatik
HLA dan Lainnya
Sinar UV dan LainnyaPembentukan Autoantibodi
Hilangnya toleransi terhadap komponen tubuh
Perluasan Proses AutoimunEkspansi Sel TPembentukan kompleks imun
Jejas immunologis
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel
stem, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun
akan menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan
sel-sel muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen
dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen
yang bereaki silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan
limfosit autoreaktif untuk menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi
klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh
antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat
menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme
LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas
sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan
sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme
tertentu.Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar
akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat memicu lesi LED
dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma
keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X hingga bahan kimia.5
Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan respon
autoimun yang dipicu antigen secara progresif.Pada tahap ini, autoantibody
dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda.Walaupun sangat banyak, autoantibody
LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target
5
utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm dan
anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).1
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara
klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis.tahapan ini
sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang
terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara
langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul
target. 1
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung, pipi),
telinga atau leher.Lesi terdiri atas bercak-bercak (makula merah atau bercak
meninggi), berbatas jelas dengan sumbatan keratin pada folikel-folikel rambut
(follicular plug). Bila lesi-lesi di atas hidung dan pipi berkonfluensi, dapat berbentuk
seperti kupu-kupu (butterfly erythema).2
Penyakit ini dapat meninggalkan sikastrik atrofik, kadang-kadang hipertrofik,
bahkan distorsi telinga dan hidung. Hidung dapat berbentuk seperti paru kakatua.
Bagian badan yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar matahari lebih cepat
beresidif daripada bagian-bagian yang lain. Lesi-lesi dapat terjadi di mukosa yaitu
mukosa oral dan vulva atau di konjungtiva. Klinis nampak deskuamasi, kadang-
kadang ulserasi dan sikatrisasi.2
Varian klinis Lupus Eritematosus Diskoid adalah :2
1. Lupus Eritematosus Tumidus
Bercak eritematosa coklat yang meninggi terlihat di muka, lutut, dan tumit.
Gambaran klinis dapat menyerupai erisipelas atau selulitis.
6
2. Lupus Eritematosus Profunda
Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan
atas. Kulit di atas nodus eritematosus, atrofik atau berulserasi.
3. Lupus Hipotrofikus
Penyakit ini sering tampak pada bagian bibir bawah dari mulut, terdiri atas
plak yang berindurasi dengan sentrum yang atrofik.
4. Lupus Pemio (chilblain lupus, Hutchinson)
Penyakit yang terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di
daerah-daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.2
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosisnya harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis dan tinea
fasialis. Lesi dikepala yang berbentuk alopesia sikatrisial harus dibedakan dengan
liken planopilaris, dan tinea kapitis.2
Eritema dan telengiektasis
Sisik [scale]
Follicular plugging
Perubahan pigmen [lebih jelas pada kulit berwarna] termasuk hipopigmentasi
sentral lesi dan hiperpigmentasi area perifer lesi
Skar dan alopesia, jika lesi berada pada daerah kulit kepala
Bila lesi-lesi diatas hidung dari pipi berkonfluensi, dapat berbentuk seperti
kupu-kupu [butterfly erythema]
Diagnosis dari Lupus eritematosus diskoid biasanya membutuhkan biopsi
kulit. Biopsi digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Contoh lesi diambil dengan
sediaan khusus selanjutnya diamati dibawah mikroskop.Tes darah tidak dapat
7
menjelaskan tipe antibodi yang ada pada LED dan penampakan sisiknya biasanya
tidak memberikan penjelasan apapun mengenai lesi kulit yang lain. Biasanya lesi
yang mempunyai karakteristik dapat diidentifikasi untuk lesi dari LED. Jika terdapat
antibodi dalam darah atau gejala adanya tanda fisik yang lain, kemungkinan
diagnosis mengarah ke LED. Direct Immunoflorescencemenunjukkan deposit IgG,
IgM, IgA, dan C3 pada membran basalis. Tes skrining darah untuk diagnosis SLE
juga disarankan.
2.7 PEMERIKSAAAN PENUNJANG
Kelainan laboratorik dan imunologik jarang terdapat, misalnya leucopenia,
laju endap darah meninggi, serum globulin naik, reaksi Wassermann positif, atau
percobaan coombs positif. Pada kurang lebih sepertiga penderita terdapat ANA
(antibody antinuclear), yakni yang mempunyai pola homogeny dan berbintik-bintik.2
1. Tes serologi
- Beberapa pasien dengan LED [sekitar 20%] bermanifestasi pada antinuclear
antibody yang positif ketika dites.
- Anti-Ro [SS-A] autoantibody terdapat pada 1-3% pasien
- Antinative DNA atau antibody anti-Sm biasanya menggambarkan LES
dan terjadi pada beberpa pasien
2. Temuan Laboratoium lainnya
- Sitopenia dapat terjadi
- Laju endap darah ada pada beberapa pasien
- Reumatoid factor dapa positif
- Urinalisis tapat menggambarkan adanya proteinuria pada keluaran ginjal
8
Tes Lainnya
1. Immunopatologi
- Deposit immunologi dan komplemen dermal-epidermal merupakan
tampilan karakteristik. Jaringan yang diuji diambil dari lesi atau pada
kulit normal.biopsi jaringan normal dapat diambil dari permukaan yang
terekspos atau yang tidak terekspos. Tes untuk kulit non lesi non ekspos
merupakan Lupus Band Test [LBT]
- Penggunaan dan interpretasi dari tes ini berdasarkan dari biopsy. Sekitar
90% pasien dengan manifestasi LED mengarah pada tes
immunoflourence [DIF] pada kulit berlesi. Daerah membrane dari lesi
kulit tidak spesifik untuk lupus dan dapat berupa penyakit kulit lainnya.
Lesi yang lama atau yang sangat baru dapat diinterpretasikan negative
pada gambaran mikroskopi immunoflourence.
Jika biopsi kulit telah mengarah pada Lupus Eritematous Diskoid maka
sebaiknya dilakukan tes yang lainnya berupa tes darah.
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding dari LED antara lain: [4,8, 17]
1. Dermatomiositis.
Merupakan penyakit autoimun yang menyerang otot dan kulit. Vaslkulitis dan
kalsinosis merupakan gejala yang timbul lambat pada anak-anak, pada orang
dewasa ada hubungannya dan keganasan sistemik. adanya keunguan pada kulit
disertai edema periorbital, dorsum manus, dan eritema linier pada dorsum falang.
2. Eritema Multiforme
9
Lesi yang klasik adalah lesi yang berbentuk seperti iris atau sasaran
tembak. Eritema yang bulat atau oval dengan pusat warna keunguan.
Distribusinya khas pada permukaan ekstensor lengan dan tungkai, tetapi secara
diagnostik yang penting adalah terdapat pada telapak tangan dan kaki.
3. Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya dan
bentuk yang paling sering adalah papula yang gatal. Predileksinya di
pergelangan tangan, kaki dan punggung. Permukaannya rata dan tampak seperti
anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis sebagai Wickham’s striae,
mengkilat dan poligonal,
4. Psoriasis
Berupa makula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai
numular, penyakit kronis ini residif dengan skuama. Lesi tersebut berwarna
putih mengkilat. Adanya skuama yang bila digores menunjukkan tanda tetesan
lilin, goresan diteruskan, timbul auspitz dengan bintik darah dan fenomena
koebner.
5. Lupus Eritematosus Sistemik [LES]
Pada LES lesi pada mukosa lebih sering, gejala konstusional seperti lelah,
demam, penurunan berat badan lebih sering ditemukan. Kelainan laboratorium
dan imunologi juga sering ditemukan. LES ini menyerang organ sistemik,
misalnya terdapat pada :
- Ginjal yaitu sekitar 68 % proteinuria, hematuria dan sindrom nefrotik.
- Kardiovaskuler berupa perikarditis dan efusi perikard.
- Paru-paru terjadiefusi pleura dan pneumonitis.
- Saluran cerna, nyeri abdomen dan mungkindisertaimual, muntah,
diare.
10
2.9 PENATALAKSANAAN
Bagan 1. Alur tatalaksana lupus eritematous diskoid6
2.9.1 Pencegahan
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah
perkembangan lesi lebih lanjut.1
11
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan
sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus
mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya.Pengobatan dimulai
dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun
cara yang digunakan untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup,
topi yang lebar. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat
obatan fotosensitif seperti hiroklorotiazid, tetrasiklin, griseofulvin, dan piroksikam.
Pasien juga disarankan untuk melakukan follow-up setelah perawatan untuk
memastikan ada atau tidak komplikasi.1
2.9.2 Pengobatan Topikal
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-
kedap air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parasol dan
mikronized titanium dioxyda.1
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat
ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal
superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason
diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2
kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat
meminimalkan komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih
efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis.1
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti
suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini
12
diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon
pada penggunaan kortikosteroid lokal, namun perlu berhati-hati
menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan jumlah lesi cukup banyak.1
2.9.3 Pengobatan Sistemik
1. Anti Malaria
Terapi dengan anti malaria adalah terapi yang baik digunakan secara
tunggal atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan
termasuk klorokuin, hidroklorokuin, dan kuinikrin. Sebaiknya hidroklorokuin
dimulai dengan dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek
samping gastrointestinal atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi
tidak diberikan lebih dari 6,5mg/kg/hari. Penting ditekankan kepada pasien
bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan klinis.Pada
beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin mungkin
lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi
hidroksiklorokuin atau klorokuin sehingga dianjurkan penampahan kuinikrin ke
dalam regimen pengobatan.1
Penggunaan tunggal atau kombinasi dari antimalaria sangat efektif pada
75% pasien dengan lupus eritematous diskoid yang tidak memberikan respon
yang baik dengan terapi topikal. Resiko toksisitas retina, harus diberitahukan
kepada pasien dan pemeriksaan oftalmologi sebelum dimulainya terapi harus
dilakukan. Namun, kejadian retinopati akibat antimalaria sangatlah jarang jika
penggunaan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu tidak lebih dari (untuk
hidrokloroquin 6.5 mg/kgbb dan kloroquin 4 mg/kgbb). Pasien harus dievaluasi
oleh dokter ahli mata setiap 6-12 bulan selama pengobatan.1
13
Antimalaria memiliki beberapa mekanisme aksi dalam kaitannya dengan
pengobatan lupus eritematous. Pertama, menaikkan pH intraseluler vacuolar. PH
asam diperlukan untuk pengolahan antigen dan presentasi oleh sel
dendritik .Oleh karena itu dengan perubahan pH, penghambatan pengolahan
antigen dan presentasi menyebabkan penurunan potensi respon imun terhadap
autoantigens. Selain itu, antimalaria menghambat pelepasan oleh monosit sitokin
pro-inflamasi seperti IL - 1 , IL - 6 dan TNF – alpha serta Mengurangi formasi
dari peptida – Major Histocompatibility Complex (MHC) kompleks protein
sehingga menurunkan stimulasi dari autoreaktif CD4+ sel T dan menurunkan
pelepasan sitokin. Penghambatan granulasi granulosit dan aktivitas
Phospholipase A2 juga telah dilaporkan.Oleh karena itu, antimalaria dapat
bertindak dalam berbagai mekanisme dan namun belum jelas yang mana
mekanisme yang paling penting. Efek yang diinginkan lainnya dari
hydroxychloroquine mencakup kemampuan untuk menghambat agregasi platelet
dan adhesi, yang akan mengurangi ukuran trombus tanpa memperpanjang waktu
perdarahan . Michelle Petrie telah menemukan bahwa hydroxychloroquine
menurunkan kadar kolesterol, dimana hal ini berguna pada pasien SLE yang
mengkonsumsi steroid, dimana steroid dapat meningkatkan level kolesterol
serum. Di Inggris, hydroxychloroquine digunakan dari profilaksis trombosis.
Efek antitrombotik ini mungkin sangat bermanfaat pada pasien LE dengan
antibodi antifosfolipid dan masalah trombosis.7
Hidroklorokuin sulfat 400 mg/hari, harus diberikan pada 6-8 minggu
awal pengobatan untuk mencapai target kadar obat dalam serum. Jika respon
klinis adekuat telah tercapai, dosis harian diturunkan menjadi 200mg/hari untuk
sekurang-kurangnya 1 tahun untuk meminimalisasi rekurensi.Jika tidak ada
14
respon dalam 8-12 minggu, kuinakrin hidroklorida, 100 mg/hari, dapat
ditambahkan tanpa meningkatkan resiko retinopati.Jika dalam waktu 4-6
minggu, respon klinis adekuat belum tercapai, harus dipertimbangkan mengganti
hidroklorokuin dengan klorokuin difosfat (aralen), 250mg/hari. Di Eropa,
klorokuin secara umum di anggap memiliki efikasi yang lebih dibanding
hidroklorokuin dalam pengobatan lupus, namun hidroklorokuin dilaporkan
memiliki respon perbaikan klinis yang lebih cepat. Hidroklorokuin dan
klorokuin tidak boleh digunakan bersamaan sebagai terapi kombinasi karena
akan meningkatkan resiko toksis pada retina. Di Indonesia, karena preparat
hidroklorokuin hingga sekarang belum tersedia, maka sebagai penggantinya
diberikan klorokuin. Dosis inisialnya ialah 1-2 tablet (@100 mg) sehari selama
3-6 minggu, kemudian 0,5-1 tablet selama waktu yang sama.obat hanya dapat
diberi maksimal selama 3 bulan agar tidak timbul kerusakan mata.1,7
Banyak efek samping selain retinotoksis yang dikaitkan dengan
penggunaan anti malaria. Kuinakrin dihubungkan dengan peningkatan insidensi
beberapa efek samping seperti sefalgia, intoleransi gastrointestinal, toksisitas
hematologik, pruritus, erupsi obat dan gangguan pigmentasi pada kulit dan
mukosa.Kuinakrin dapat mengakibatkan pigmentasi kekuningan pada kulit dan
sklera, dapat dapat pulih dengan spontan setelah pengobatan
dihentikan.Kuinakrin dapat mengakibatkan hemolisis yang signifikan pada
pasien dengan G6PD. Beberapa preparat antimalaria dapat mengakibatkan
supresi produksi sumsum tulang, termasuk anemia aplastik, walaupun hal ini
sangat jarang jika diberikan dengan dosis yang tepat.Sebelum memulai terapi
dengan hidroklorokuin dan klorokuin, harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hari dan ginjal.Pemeriksaan ini harus diulan dalam
15
4-6 minggu setelah terapi inisiasi, dan selanjutnya setiap 4-6 bulan.Jika
tampakan toksisitas hematologik akibat kuinakrin muncul, maka
direkomendasikan untuk lebih sering dilakukan.1
2. Metotreksat
Pada 1995, bottomley dan goodfield menemukan bahwa metotreksat
dapat membantu pada pasien LED yang resisten terhadap pengobatan
konvensional. Metotreksat adalah antagonis asam folat, yang memiliki efek
anti inflamasi dengan penghambatan terhadap proliferasi limfosit,
menghambat sekresi monosit dan makrofag dan berbagai sitokin sperti TNF-
alfa, interferon gamma dan IL-6. Methotrexate diklasifikasikan sebagai agen
sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem
kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu
sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu
(tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk
mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi,
leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-
kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan
dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi. 8
3. Thalidomide
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter
terhadap pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara
85-100%, dengan banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna.
Adapun efek sampingnya ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak
digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati sensorik dapat terjadi pada
sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.8,9
16
4. MMF
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin
proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid,
MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan
lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia
(kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi
daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga
hanya boleh digunakan pada wanita usia subur disertai penggunaan
kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangny waktu paruh,
pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi
yang direncanakan. 10
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,
mycochrysine] dan klofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap
kasus. 7
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti
azatioprin [imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-
sparing pada kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45
mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang serupa dengan azatioprin. 11
2.9.4 Terapi bedah dan kosmetik
Lupus eritematous diskoid dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi
kulit, dan perubahan pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan
dermabrasi beresiko karena LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari skar
17
atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan bermanfaat.
Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya sebaiknya dihindari.12
2.10 KOMPLIKASI
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar
dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter
serologis.Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau
atrofi.Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru
dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.1
2.11 PROGNOSIS
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama
pada musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%.Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.1
18
BAB III
KESIMPULAN
Lupus eritematosus diskoid [LED] adalah suatu penyakit kulit menahun
[ Chronic Cutaneus Lupus] yang ditandai dengan peradangan dan pembentukan
jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kadang pada bagian
tubuh lainnya. Lupus eritematosus diskoid dapat ditemukan pada semua umur baik
pria maupun wanita, namun insiden ini meningkat dan mencapai puncaknya pada
usia 40 tahunan. Jika dirata-ratakan pada usia 38 tahun.
Etiologi dan patogenesis pastinya belum diketahui secara jelas, para ahli
menduga bahwa LED merupakan suatu kombinasi antara faktor keturunan [genetik],
lingkungan, dan kemungkinan faktor hormonal mempengaruhi perkembangan
penyakit ini.
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Adanya plak berbatas tegas pada
daerah lesi antara lain Eritema dan telengiektasis, Sisik [scale], Follicular plugging,
Perubahan pigmen[lebih jelas pada kulit berwarna] termasuk hipopigmentasi sentral
lesi dan hiperpigmentasi area perifer lesi, Skar dan alopesia, jika lesi berada pada
daerah kulit kepala.
Terapinya berupa hindari faktor pencetus, pengobatan topikal dan sistemik
dapat dilakukan dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Terapi bedah kosmetik
sebaiknya dihindari.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner MI, Sontheimer RD. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen
AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, et al, editors.Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2008:
p.1515-1530
2. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. Dalam : Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2010 : hlm.264-272
3. Goodfield MJ ,Jones SK, Veale DJ. The connective tissue disease. In: Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology,
7th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing Company; 2004: p. 1646-793
4. Lee LA, Werth VP. Lupus erythematosus. In: Bolognia JL, Joseph LJ, Rapini
RP. Bolognia, editors. Dermatology, 2nded. New York: Mosby Elsevier; 2008:
p.105-113
5. Thomas B. Cutaneous lupus erythematosus. In: Wolff K, Johnson RA,
editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.6th ed.
New York: Mc Graw-Hill; 2007: p.376-387
6. Kuhn A, Ruland V, cutaneous lupus erythematous: Update of therapeutic
options. Germany. Department of dermatology, university of munster. 2010.
7. Werth V. Current treatment of cutaneous lupus erythematosus. Dermatol
online jour. 2001:7(1):2
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus
Eritematosus Sistemik. 2011 Jakarta.hlm 10-20
9. Panjwani S. Early diagnosis and treatment for discoid lupus erythematous. J
Am Board Fam Med 2009;22:206–213.
10. Jesop S, Whitlaw DA. Drugs for discoid lupus erythematous. Cape town.
John Wiley and sons ltd. 2011. p.2-16
11. Usmani N, Goodfield M. Efalizumab in The Treatment of Discoid Lupus
Erythematosus. Arch Dermatol.2007;143:873–7.
12. Koch M, Horwath-Winter J, Aberer E, Salmhofer W, Klein.A Cryotherapy in
discoid lupus erythematosus (DLE). Ophthalmologe 2008;105:381–3.
20