25
REFERAT KELAINAN REFRAKSI MATA Nama : Bunga kartika yunus Nim : 2007730134 Pembimbing: dr. Hj. Riana Azmi, Sp.M KEPANITERAAN KLINIK STASE MATA RSUD SEKARWANGI SUKABUMI

REFERAT Mata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

stase mata

Citation preview

REFERAT

KELAINAN REFRAKSI MATA

Nama : Bunga kartika yunus

Nim

: 2007730134

Pembimbing:

dr. Hj. Riana Azmi, Sp.M KEPANITERAAN KLINIK

STASE MATA RSUD SEKARWANGI SUKABUMI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kelainan refraksi adalah kelainan pembiasan sinar oleh media penglihatan yang terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, atau panjang bola mata, sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di daerah makula lutea tanpa bantuan akomodasi.

Miopia

Miopia atau rabun jauh merupakan suatu keadaan dimana mata mampu melihat obyek yang dekat, tetapi kabur bila melihat objek-objek yang jauh letaknya. Kata miopia berasal dari bahasa Yunani yang berarti memincangkan mata, karena penderita kelainan ini selalu memincangkan mata dalam usahanya untuk melihat lebih jelas objek-objek yang jauh letaknya. Itulah karakteristik utama dari penderita miopia. Miopia paling banyak dijumpai pada anak-anak, biasanya ditemukan pada waktu pemeriksaan skrining di sekolah. Pada umumnya miopia merupakan kelainan yang diturunkan oleh orang tuanya sehingga banyak dijumpai pada usia dini sekolah.

Ciri khas dari perkembangan miopia adalah derajat kelainan yang meningkat terus sampai usia remaja kemudian menurun pada usia dewasa muda. Walaupun agak jarang, miopia dapat pula disebabkan oleh perubahan kelengkungan kornea atau oleh kelainan bentuk lensa mata. Karena itu untuk memperoleh gambaran penyebab yang lebih jelas pada seseorang, riwayat adanya miopia di dalam keluarga perlu di kemukakan.

Lazimnya miopia terjadi karena memanjangnya sumbu bolamata. Mata yang penampang seharusnya bulat, akibat proses pemanjangan ini kemudian berbentuk bulat telur. Selanjutnya, pemanjangan sumbu ini menyebabkan media refraktif sulit memfokuskan berkas cahaya terfokus di depan retina. Berkas cahaya terfokus didepan retina. Sejalan dengan memanjangnya sumbu bolamata, derajat miopia pun akan bertambah.

Pada usia anak-anak sampai remaja, proses pemanjangan bolamata dapat merupakan bagian dari pertumbuhan tubuh. Pertambahan derajat miopia membutuhkan kacamata yang kiat berat derajat kekuatannya, karena itu pada masa usia dini dianjurkan agar pemeriksaan diulang setiap 6 bulan pada golongan usia antara 20-40 tahun, progresivitas miopia akan melambat. Meskipun demikian pertambahannya tetap ada, terutama pada mereka yang baru mulai menderita miopia diatas usia 20 tahun.

Miopia dapat dibedakan berdasarkan tingginya dioptri, yaitu:

10 dioptri ( miopia sangat tinggi

Hypermetropi

hipermetropi / Rabun dekat adalah keadaan di mana berkas cahaya yang masuk ke mata difokuskan di belakang retina. Penyebab timbulnya hipermetropi ini diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:

1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek.

Hipermetropia jenis ini disebut juga Hipermetropi Axial. Hipermetropi Axial ini dapat disebabkan oleh Mikropthalmia, Retinitis Sentralis, ataupun Ablasio Retina (lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik fokus cahaya tidak tepat dibiaskan).

2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah

Hipermetopia jenis ini disebut juga Hipermetropi Refraksi. Dimana dapat terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa, dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia refraksi ini adalah perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksinya menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor( mis. Pada penderita Diabetes Mellitus, hipermetropia dapat terjadi bila kadar gula darah di bawah normal, yang juga dapat mempengaruhi komposisi aueus dan vitreus humor tersebut)

3. Kelengkungan Kornea dan Lensa tidak Adekuat

Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi kurvatura. Dimana kelengkungan dari kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.

4. Perubahan posisi lensa.

Dalam hal ini didapati pergeseran posisi lensa menjadi lebih posterior.

Gejala klinis pada hypermetropia adalah sakit kepala frontal, memburuk pada waktu mulai timbul gejala hipermetropi dan makin memburuk sepanjang penggunaan mata dekat. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia) ketika pasien harus focus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama, misalnya menonton pertandingan bola. Akomodasi akan lebih cepat lelah ketika terpaku pada suatu level tertentu dari ketegangan.

Presbiopia

Presbiopia, yang biasa juga disebut penglihatan tua (presby = old = tua; opia = vision = penglihatan) merupakan keadaan normal sehubungan dengan usia, di mana kemampuan akomodasi seseorang telah mengalami penurunan sehingga sampai pada tahap di mana penglihatan pada jarak dekat menjadi kurang jelas dan terjadi pada orang yang telah lanjut usia (diatas 40 tahun). Pasien dalam kasus ini berusia 50 tahun, dimana secara teori sudah mengalami penurunan kemampuan penglihatan yang terjadi secara fisiologis dan sering disebut pula presbiopia.Presbiopia adalah merupakan bagian dari proses penuaan yang secara alamiah dialami oleh semua orang. Penderita akan menemukan perubahan kemampuan penglihatan dekatnya pertamakali pada pertengahan usia empat puluhan. Pada usia ini, keadaan lensa kristalin berada dalam kondisi dimana elastisitasnya telah banyak berkurang sehingga menjadi lebih kaku dan menimbulkan hambatan terhadap proses akomodasi, karena proses ini utamanya adalah dengan mengubah bentuk lensa kristalin menjadi lebih cembung. Organ utama penggerak proses akomodasi adalah muskulus siliaris, yaitu suatu jaringan otot yang tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang merupakan kapsul di mana lensa kristalin barada di dalamnya. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Jika elastisitas lensa kristalin berkurang dan menjadi kaku (sclerosis), maka muskulus siliaris menjadi terhambat atau bahkan tertahan dalam mengubah kecembungan lensa kristalin.

Penanganan presbiopia adalah dengan membantu akomodasinya menggunakan lensa cembung (plus). Jika penderita presbiopia juga ngin memakai kacamata untuk penglihatan jauhnya, atau mempunyai status refraksi ametropia, maka ukuran dioptri lensa cembung itu diaplikasikan ke dalam apa yang disebut sebagai addisi. Addisi adalah perbedaan dioptri antara koreksi jauh dengan koreksi dekat. Berikut ini merupakan addisi rata rata yang ditemukan pada berbagai tingkatan usia :

40 tahun - +1,00 D.

45 tahun - +1,50 D.

50 tahun - +2,00 D.

55 tahun - +2,50 D.

60 tahun - +3,00 D.

Dalam menentukan nilai addisi, penting untuk memperhatikan kebutuhan jarak kerja penderita pada waktu membaca atau melakukan pekerjaan sehari hari yang banyak membutuhkan penglihatan dekat. Karena jarak baca dekat pada umumnya adalah 33 cm, maka lensa S +3,00 D adalah lensa plus terkuat sebagai addisi yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini, mata tidak melakukan akomodasi bila melihat obyek yang berjarak 33 cm, karena obyek tersebut berada pada titik focus lensa S +3,00 D tersebut. Jika penderita merupakan seseorang yang dalam pekerjaannya lebih dominan menggunakan penglihatan dekat, lensa jenis fokus tunggal (monofocal) merupakan koreksi terbaik untuk digunakan sebagai kacamata baca.

Lensa bifocal atau multifocal dapat dipilih jika penderita presbiopia menginginkan penglihatan jauh dan dekatnya dapat terkoreksi. Selain dengan lensa kacamata, presbiopia juga dapat dikoreksi dengan lensa kontak multifocal, yang tersedia dalam bentuk lensa kontak keras maupun lensa kontak lunak. Hanya saja, tidak setiap orang dapat menggunakan lensa kontak ini, karena membutuhkan perlakuan dan perawatan secara khusus. Metode lain dalam mengkoreksi presbiopia adalah dengan tehnik monovision ( penglihatan tunggal ), di mana salah satu mata dikondisikan hanya bisa untuk melihat jauh saja, dan mata yang satunya lagi dikondisikan hanya bisa untuk melihat dekat. Alat koreksi yang dipakai bisa berupa lensa kacamata atau lensa kontak. Ada beberapa orang yang dapat menggunakan metode ini, sementara sebagian besar yang lain dapat pusing pusing atau kehilangan kedalaman persepsi atas obyek yang dilihat.

Astigmatisma

Astigmatisma adalah sebuah gejala penyimpangan dalam pembentukkan bayangan pada lensa, hal ini disebabkan oleh cacat lensa yang tidak dapat memberikan gambaran/ bayangan garis vertikal dengan horizotal secara bersamaan.cacat mata ini dering di sebut juga mata silinder.

Penyebabnya umumnya adalah bawaan. Beberapa penyakit mata dan pasca bedah kornea, juga dapat menjadi penyebabnya. Astigmat bawaan tidak bisa sembuh total, tetapi dapat dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak atau dengan bedah lasik, dan yang disebakan oleh penyakit misalnya timbilen (hordeulum), selaput konjuctiva (pterigium) akan hilang apabila penyakitnya sembuh atau di operasi, sedang astigmat pasca bedah kornea dapat dikurangi dengan melepas jahitan atau dengan kacamata.Oleh karena astigmat dapat menimbulkan pusing, kelelahan mata bahkan kabur maka sebaiknya jika ada keluhan tersebut segera di konsultasikan ke dokter spesialis mata.Astigmatisma disebabkan karena kornea mata tidak berbentuk sferik (irisan bola), melainkan lebih melengkung pada satu bidang dari pada bidang lainnya. Akibatnya benda yang berupa titik difokuskan sebagai garis. Mata astigmatisma juga memfokuskan sinar-sinar pada bidang vertikal lebih pendek dari sinar-sinar pada bidang horisontal.Astigmat derajat kecil masih bisa di toleransi oleh mata apabila mata dalam keadaan sehat. Oleh karena itu perlu menjaga kesehatan mata dengan cara jika melihat dekat jangan terlalu lama, maksimal 2 jam dan diistirahatkan kurang lebih 15 menit. Salah satu cara mengatasi astigmatisma yang effisien ialah dengan menggunakan kacamata berbentuk silindris.

Anisometria

Anisometropia adalah suatu keadaan dimana mata mempunyai kelainan refraksi yang tidak sama pada mata kanan dan mata mata kiri. Dapat saja satu mata myopia sedang mata yang lainnya hypermetropia. Perbedaan kelainan ini paling sedikit 1.0 Dioptri. Jika terdapat anisometropia 2.5 - 3.0 Dioptri maka akan dirasakan terjadi perbedaan besar bayangan 5%, yang mengakibatkan akan terganggunya fusi. Pada keadaan ini dapat terjadi supresi penglihatan pada satu mata. Fusi merupakan proses mental yang menggabungkankan bayangan yang dibuat oleh 2 mata untuk membentuk lapangan dimensi penglihatan binokuler. Pada kelainan refraksi atau satu mata lemah maka penglihatan binokuler menjadi lemah. Akibat dari keadaan ini otak akan mencari yang mudah sehingga memakai kacamata yang tidak memberikan kesukaran untuk melihat. Sebab anisometropia adalah kelainan konginetal atau akibat trauma bedah yang menimbulkan jaringan parut sehingga timbul astigmatisme. Anisometropia akan mengakibatkan perbedaan tajam penglihatan aniseikonia dan aniseiforia.

Anisometropia pada hypermetropia lebih buruk dibanding pada myopia. Pada anak ia kan melihat terutama dengan mata yang jelas dan membiarkan penglihatan yang kabur atau lemah tidak melihat biasanya yang lebih hypermetropia sehingga mata tersebut menjadi ambliopia.

Pada anisometropia :

Kurang dari 1.5 D masih terdapat fusi dan penglihatan stereoskopik.

Antara 1.5 - 3.0 D, jika terjadi kelelahan maka mata yang tidak dominan akan mengalami supresi.

Dengan anisometropia sumbu, dapat dikoreksi dengan kacamata. Apalagi dengan mengingat hukum Knapp.

Keluhan pada anisometropia

pasien dengan anisometropia akan memberikan keluhan :

sakit kepala

astenopia ( keadaan lelah, panas pada mata, berair, mata sakit, rasa tertekan)

silau atau fotofobia

sukar membaca

gelisah

vertigo

pusing

lesu

gangguan melihat ruang (dimensi)

Pengobatan terutama ditujukan pada pencegahan timbulnya ambliopia, aniseikonia dengan memakai lensa kontak dan jika terjadi phoria dipakailah lensa prisma. Pengobatan anisometropia pada anak-anak dilakukan dengan pemberian lensa koreksi pada kacamata ukuran penuh, kemudian dilakukan latihan ortopik dan jika perlu dilakukan bebat mata.

Pemeriksaan Refraksi Subjektif dan Objektif

1. Pemeriksaan VisusPemeriksaan tajam penglihatan dilakukan dengan memakai Snellen Chart atau dengan chart jenis lainnya. Jarak antara kartu Snellen dengan mata 6 meter.Tajam penglihatan diperiksa satu per satu, dengan mata kanan terlebih dahulu kemudian mata kiri. Tajam penglihatan adalah jarak kemampuan melihat seseorang, yang dinilai sebelum dan sesudah koreksi dengan cara menilai kemampuan melihat optotyp atau menghitung jari atau gerakan tangan. Tajam penglihatan dinyatakan dengan rasio pembilang dan penyebut, dimana pembilang merupakan jarak mata dengan kartu Snellen dan penyebut merupakan jarak dimana satu huruf tertentu dapat dilihat mata normal.Sebagai contoh, visus 6/6 berarti pada jarak 6 meter dapat melihat huruf yang seharusnya dapat dilihat pada jarak 6 meter.Dan visus 6/10 berarti pada jarak 6 meter hanya dapat melihat huruf yang seharusnya dapat dilihat pada jarak 10 meter. Visus 1/60 hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter, visus 1/300 hanya dapat melihat gerakan tangan pemeriksa pada jarak 1 meter, dan visus 1/ hanya dapat membedakan gelap dan terang saja.Cara pengukuran tajam penglihatan:

Pemeriksaan dilakukan dengan monokuler (satu mata) dimulai dengan mata kanan.

Penderita/pasien diperintahkan untuk melihat obyek pada kartu Snellen dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil sesuai batas kemampuannya dengan jarak antara pasien dan kartu Snellen 5-6 meter tergantung pada kartu Snellen yang dipakai.

Bila pasien tidak dapat melihat huruf yang terbesar (dengan visus 6/60) maka dilakukan dengan carafinger counting yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1 meter sampai 6 meter dengan visus 1/60 sampai 6/60.

Bila tidak dapat melihat jari dari jarak 1 meter maka dilakukan dengan cara hand movement dengan visus 1/300. Pasien harus dapat menentukan arah gerakan tangan pemeriksa.

Bila dengan hand movement tidak dapat juga, dilakukan dengan cara penyinaran dengan pen light pada mata pasien, dikenal dengan istilah Light Perception.

Light Perception dinyatakan dengan visus 1/ proyeksi baik, bila pasien masih dapat menentukan datangnya arah sinar dari berbagai arah (6 arah)

Bila pasien tidak dapat menentukan arah datangnya sinar maka visusnya 1/ proyeksi buruk.

Pasien dinyatakan buta total (visus 0) kalau pasien tidak dapat menentukan ada atau tidak ada sinar (No Light Perception)

Visus pasien adalah baris terkecil yang dapat dilihat dengan benar semuanya tetapi baris dibawahnya tidak bisa terbaca. Contoh: visus 6/18.

Apabila pasien bisa melihat huruf pada baris tersebut tetapi ada yang salah, dinyatakan dengan f, contoh dapat membaca baris 6/18 tetapi terdapat satu kesalahan, maka visus 6/18 f1.

Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai dari jumlah huruf yang ada di baris tersebut.

Kalau jumlah kesalahan atau kebih maka visusnya menjadi visus di baris di atasnya.

Gambar : Berbagai macam chart untuk pemeriksaan visus

2. Pemeriksaan RefraksiPenyebab penglihatan yang buram yang dikeluhkan oleh pasien dapat berupa kelainan refraksi atau bukan, misalnya terdapat gangguan pada nervus optikus. Tes Pin Hole dilakukan untuk membedakan apakah gangguan disebabkan oleh refraksi atau bukan.Cara pemeriksaannya adalah sebagai berikut :

1. Pasien diminta duduk dengan jarak yang ditentukan (umumnya 6 meter

atau 20 kaki) dari kartu pemeriksaan.2. Tutup mata yang akan diperiksa dengan okluder Pin Hole, bila

berkacamata, pasang koreksi kacamatanya.3. Langkah selanjutnya sama dengan pemeriksaan tajam penglihatan.

4. Catat sebagai tajam penglihatan pin hole.

Teknik pemeriksaan refraksi terdiri dari teknik pemeriksaan secara subjektif dan objektif.

a. Pemeriksaan Refraksi Subjektif

Teknik pemeriksaan refraksi subjektif tergantung kepada respon pasien dalam menentukan koreksi refraksi.

1) Pemeriksaan trial and errorCara melakukan pemeriksaan trial and error pada pasien adalah sebagai berikut : Pasien tetap duduk pada jarak 5 atau 6 meter dari Snellen chart. Pada mata dipasang trial frame. Satu mata ditutup dengan okluder. Dimulai pada mata sebelah kanan terlebih dahulu

Dipasang trial lens, tergantung dari jarak berapa pasien mulai tidak bisa membaca Snellen chart (+/- 2, +/- 1, +/- 0.5, +/- 0.25) dan dari kejernihan pasien melihat tulisan Snellen chart (lensa +/-) Pasien membaca mulai dari huruf terbesar sampai terkecil, ubah lensa sampai huruf pada jarak 5/5 dapat dibaca dengan jelas, jika lensa negatif (-) pilih lensa yang negatif terkecil yang dapat melihat huruf pada jarak 5/5, dan jika lensa positif, maka di pilih positif yang terbesar yang bisa melihat huruf pada jarak 5/5. Lakukan hal yang sama pada mata kiri Interpretasikan

2) Pemeriksaan dengan Jackson Cross Cylinder dan Astigmat Dial.

Penentuan koreksi astigmatisma lebih kompleks berbagai jenis teknik pemeriksaan refraksi subjektif dapat dilakukan. Jackson cross cylinder adalah alat yang paling sering digunakan dalam menentukan koreksi astigmatisma. Alat pegangan ini terdiri dari 2 lensa silindris dengan kekuatan 1 minus dan 1 plus.

Gambar : Jackson Cross Cylinder.Astigmat dial adalah tes menggunakan chart dengan garis garis yang tersusun secara radial yang digunakan untuk menentukan aksis dari astigmatisma.Berikut merupakan langkah langkah yang dilakukan dalam pemeriksaan dengan menggunakan astigmat dial :

Ketajaman visus dipertahankan dengan menggunakan sferis. Lakukan fogging atau pengaburan pada mata kurang lebih 20/50 dengan menambahkan sferis positif. Minta pasien untuk memperhatikan garis pada astigmat dial yang paling tajam dan hitam. Tambahkan silinder minus dengang axis tegak lurus kea rah garis yang paling hitam dan tajam tersebut hingga garis terlihat sama. Kurangi sferis positif atau tambahkan minus hingga ketajaman visual yang terbaik diperoleh pasien dengan menggunakan chart.

b. Pemeriksaan Refraksi Objektif

Dilakukan dengan retinoskopi. Seberkas cahaya yang dikenal sebagai intercept, diproyeksikan ke mata pasien untuk menghasilkan pantulan berbentuk sama, yang disebut refleks retinoskopik di pupil. Kesejajaran antara intercept dan refleks retinoskopik menandakan hanya ada kelainan sferis, atau terdapat kelainan silindris tambahan dengan intercept yang bersesuaian dengan salah satu meridian utama.1) Retinoskopi Retinoskopi adalah teknik untuk menentukan obyektif kesalahan bias mata (rabun dekat, rabun jauh, Silindris) dan kebutuhan untuk kacamata.Tes cepat, mudah, akurat dan membutuhkan kerjasama minimal dari pasien.

Ketika cahaya tersebut akan dipindahkan secara vertikal dan horizontal di mata, pemeriksa mengamati gerakan refleks merah dari retina.Pemeriksa kemudian meletakkan lensa di depan mata sampai gerakan dinetralkan.Kekuatan lensa yang diperlukan untuk menetralkan gerakan adalah kesalahan bias mata dan menunjukkan kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoptimalkan penglihatan dengan kacamata dan / atau lensa kontak (practical opth)

Gambar : Retinoskopi menghasilkan pantulan cahaya pada saat pemeriksaan

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada anak-anak, orang yang tidak dapat membaca, karena tidak dibutuhkan kerjasama dengan penderita. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, dilakukan di dalam kamar gelap. Jarak pemeriksa dengan penderita 1 meter. Sumber cahaya terletak di atas penderita agk kebelakang supaya muka penderita dalam keadaan gelap. Cahayanya ditujukan pada pemeriksa yang memegang cermin, oleh cermin ini cahaya dipantulkan kearah pupil penderita sehingga pemeriksa melalui lubang yang terdapat di tengah-tengah cermin dapat melihat reflek fundus di pupil penderita. Kemudian cermin digerak-gerakkan, perhatikan gerakan dari reflek fundus pada mata penderita.

Arah gerak cermin sama dengan arah gerak reflek fundus didapatkan pada hipermetrop, emetrop, myopia kurang dari 1 D. Gerak reflek fundus yang berlawanan dengan arah gerak cermin didapatkan pada myopia lebihdari 1 D.

Selain geraknya juga perhatikan terangnya, bentuknya, dan kecepatan gerak dari reflek fundus. Reflek yang terang, pinggirnya yang tegas dan gerak cepat menunjukkan kelainan reflek yang ringan. Bila refleknya suram, pinggirnya tidak tegas dan geraknya lamban, didapatkan pada kelainan refraksi yang tinggi. Bila pinggirnya tegak, tanda ada astigmatisme. Sedangkan pada hipermetrop, miop, atau emetrop mempunyai pinggir yang melengkung (crescentie).

Kemudian di depan mata penderita diletakkan lensa koreksinya, yang dapat menimbulkan gerakan yang sebaliknya, pada jarak 1 meter. Untuk jarak tak terhingga, perlu ditambahkan lagi -1 D untuk semua hasil pemeriksaan akhir .Jadi untuk myopia menjadi bertambah kuat 1 D sedangkan pada hipermetrop berkurang 1 D.

Contoh :

a. Kalau dengan cermin dari retinoskop didapatkan reflex yang bergerak berlawanan dengan arah gerak cermin, jadi myopia lebihdari 1 D, dengan -1D, masih berlawanan geraknya, juga dengan -2 D, tetapi dengan -2,5 D timbul gerak yang berlawanan, dengan gerak yang pertama, maka koreksinya adalah (-2,5) + (-1) = -3,5 D.

b. Dengan cermin retinoskop didapatkan reflek yang bergerak sama dengan arah gerak cermin. Mata penderita mungkin hipermetrop, emetrop atau miop kurangdari 1 D.

Bila diletakkan lensa +0,5 D menyebabkan gerak yang berlawanan, menunjukkan penderita miop -0,5 D, karena (+0,5 D) (-1 D) = -0,5 D.

Bila pemberian +0,5 D arah gerak tidak berubah, tetapi pada pemberian +1 D, menyebabakan pupil seluruhnya terang atau seluruhnya gelap, ini menunjukkan mata penderita emetrop.

Jika pemberian +1 D tidak menimbulkan perubahan gerak, menunjukkan matapenderita hipermetrop, maka lensa itu kekuatannya diperbesar sampai menimbulkan kebalikan gerak, umpamanya pada pemberian +4 D, maka derajat hipermetropnya adalah (+4) + (-1) = +3 D.

Pada contoh di atas, hasil yang sama didapatkan bila cermin digerakkan horizontal ataupun vertikal. Pada astigmatisme, koreksi pada meridian vertikal tidak sama dengan koreksi pada meridian horizontal.

Contoh :

Dengan retinoskop didapatkan reflek yang bergerak kearah yang sama dengan retinoskop, di kedua meridian, tetapi pada meridian yang satu, bayangannya lebih terang dan geraknya lebih cepat. Ini menunjukkan adanya astigmatisme. Kemudian ternyata pada meridian vertical memerlukan koreksi +1 D untuk timbul gerakan yang berlawanan, sedang pada meridian yang horizontal diperlukan +2 D untuk gerakan ini. Pada kedua hasil ditambahkan -1 D, maka pada meridian vertikal didapatkan (+1 D) (-1 D) = 0, sedang pada meridian horizontal (+2 D) (-1 D) = +1 D. Jadi didapatkan astigmatisma hipermetropikus simpleks yang memerlukan lensa koreksi silindris +1 D dengan aksisnya vertikal.

Bila untuk timbul arah yang berlawanan, meridian horizontal memerlukan lensa koreksi -2 D, dan meridian vertical -4 D, maka setelah ditambahkan -1 D, untuk meridian horizontal didapatkan -3 D sedang pada meridian vertikal didapatkan -5 D, kelainan refraksinya adalah astigmatisma miopikus kompositus, dengan koreksi S-3D = C-2D aksis horizontal.

Contoh untuk astigmatisma mikstus :

Disini didapatkan reflek yang bergerak berlawanan pada satu meridian, sedang pada meridian yang lainnya pergerakannya sama arahnya dengan arah gerak cermin retinoskop. Bila pada meridian vertikal gerakannya sama arahnya dengan cermin dan memerlukan lensa koreksi +2 D untuk timbulkan gerak yang berlawanan, sedang gerak reflek pada meridian horizontal berlawanan dengan gerak cermin dan memerlukan lensa koreksi -2 D untuk timbulkan gerak yang kebalikannya, maka setelah ditambahkan -1 D didapatkan untuk meridian vertikal +1 D dan untuk horizontal -3 D. Jadi lensa koreksinya adalah S+1 = C-4 D (aksis vertikal).2) Refraktor

Refraktor, atau photoroptor, alternatif dari kacamata uji coba, terdapat lensa-lensa spheris, dan silindris yang dapat langsung di ganti dengan cepat.

Gambar : Refraktor3) Distometer

Alat ini digunakan untuk mengukur jarak vertex, jarak antara garis mata tertutup dan permukaan belakang lensa refraksi.

Gambar : Pemeriksaan dengan Distometer4) Autorefraktometer

Refraktor otomatis yang dapat dengan cepat menentukan refraksi objektif, tetapi alat ini kurang bermanfaat pada anak atau orang dewasa dengan penyakit segmen anterior yang cukup berat (vaughan).

Gambar : Pemeriksaan dengan menggunakan autorefraktometerDaftar Pustaka

1. Riordan-Eva P, White OW. Optik & Refraksi. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi Umum. 14th ed. Alih Bahasa: Pendit BU. Jakarta: Widya Medika, 2000.

2. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. In: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.

3. Wijana N. Refraksi. In: Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: 1983

Gambar diunduh dari:

1. Bintang, Andhika. Kelainan Refraksi. Diunduh dari http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page Tanggal 10 Januari 2011

2. Detik health. Astigmatisme. Diunduh dari http://www.detikhealth.com/read/2009/06/30/085346/1156165/770/astigmatisma Tanggal 10 Januari 2011

3. Korean Medical Library Engine. Anisometry. Diunduh dari http://www.radianthk.com/images/anisometropia_en.jpg Tanggal 10 JAnuari 2011