51
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) melalui World Alliance for Patient Safety menyatakan bahwa ILO (Infeksi Luka Operasi) terjadi pada 2% hingga 5% pada pasien yang melakukan pembedahan setiap tahun, dan merupakan 25% dari jumlah infeksi yang terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan. Sebuah penelitian di Australia mendapatkan bahwa angka kejadian ILO pasca bedah sesar di Royal Darwin Hospital adalah 6,9%.2 Infeksi pada luka operasi berpotensi menimbulkan luka terbuka (wound dehiscence). Risiko terjadinya sepsis dan kematian pada luka operasi terbuka adalah 10 – 35%. Pada suatu penelitian di RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan bahwa angka kejadian luka terbuka pada pasien pasca bedah sesar adalah 1,36%. (Yadi, 2011) Angka seksio sesarea yang mendekati 25%, telah stabil dan mulai menunjukkkan penurunan. Target nasional Amerika Serikat pada tahun 2000, angka ini menjadi 15%, dengan angka yang dianjurkan 12% untuk seksio primer dan 3% untuk seksio ulangan. (Paul, 1995; Cunningham 2001) Indikasi-indikasi utama seksio sesarea meliputi : bekas seksio sesarea (8%), dystocia (7%), 1

referat obsgyn

Embed Size (px)

DESCRIPTION

0ll9

Citation preview

Page 1: referat obsgyn

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) melalui World Alliance for Patient

Safety menyatakan bahwa ILO (Infeksi Luka Operasi) terjadi pada 2% hingga

5% pada pasien yang melakukan pembedahan setiap tahun, dan merupakan

25% dari jumlah infeksi yang terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Sebuah penelitian di Australia mendapatkan bahwa angka kejadian ILO pasca

bedah sesar di Royal Darwin Hospital adalah 6,9%.2 Infeksi pada luka

operasi berpotensi menimbulkan luka terbuka (wound dehiscence). Risiko

terjadinya sepsis dan kematian pada luka operasi terbuka adalah 10 – 35%.

Pada suatu penelitian di RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan bahwa angka

kejadian luka terbuka pada pasien pasca bedah sesar adalah 1,36%. (Yadi,

2011)

Angka seksio sesarea yang mendekati 25%, telah stabil dan mulai

menunjukkkan penurunan. Target nasional Amerika Serikat pada tahun 2000,

angka ini menjadi 15%, dengan angka yang dianjurkan 12% untuk seksio

primer dan 3% untuk seksio ulangan. (Paul, 1995; Cunningham 2001)

Indikasi-indikasi utama seksio sesarea meliputi : bekas seksio sesarea

(8%), dystocia (7%), letak sungsang (4%), fetal distress (2%-3%) dan lain-

lain. Area-area utama penurunan harus terjadi pada katagori bekas seksio

sesarea dan dystocia.(Paul, 1995; Cunningham 2001)

Kontributor terbesar pada tingginya angka seksio sesarea terletak pada

kategori seksio ulangan. Lebih sepertiga dari semua persalinan dengan seksio

sesarea terjadi dari hasil persalinan seksio sebelumnya. Wanita-wanita ini

sering ditatalaksana sesuai diktum “once a cesarean, always a cesarean”.

(Paul, 1995; Cunningham 2001)

Topik-topik bekas seksio sesarea, trial of labor dan persalinan

pervaginam pada bekas seksio sesarea telah menjadi fokus pembahasan para

praktisi, dalam usaha untuk mencoba menurunkan angka seksio sesarea.

(Paul, 1995; Cunningham 2001)

1

Page 2: referat obsgyn

Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti

anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,

prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi

emergency. Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang

tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus

obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al,

2008).

Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi

penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif

dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan

penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat

tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami bermaksud untuk

menyusun referat dengan judul ‘Penanganan Wound Dehiscence’.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RS. Moh. Ridwan

Meuraksa dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai

penanganan wound dehiscence.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman

mengenai penanganan wound dehiscence sehingga dapat diterapkan dalam

menangani kasus-kasus wound dehiscence di klinik ataupun rumah sakit

sesuai kompetensi dokter umum.

2

Page 3: referat obsgyn

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit

1. Anatomi Kulit

Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh

bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.

Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar

2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit

bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis

kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan

kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak

tangan, telapak kaki, punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)

a. Lapisan Kulit

Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang

paling luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan

jaringan penyambung di bawah kulit (Branon, 2007).

3

Page 4: referat obsgyn

1) Epidermis

Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.

Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel

melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda

pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan

kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan

kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu (Branon,

2007; Amirlak, 2008).

Fungsi Epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,

sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,

pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).

Epidermis terdiri atas lima lapisan : (1). Stratum Korneum, Terdiri

dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum

Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal

telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. (3).

Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng

yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik

kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung

protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. (4). Stratum

Spinosum, terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan

tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan

penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap

efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan

dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak

tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai

lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. (5). Stratum Basale

(Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan

bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara

konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke

permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan

satu lapis sel yang mengandung melanosit (Branon, 2007; Amirlak,

2008).

4

Page 5: referat obsgyn

Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

2) Dermis

Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering

dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang

menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan

subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada

telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1).

Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan

retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).

Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat

elastic yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk

semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat

kolagen ini disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam

membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan

kelenturan kulit. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa

kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin

jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit

manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada

usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan

serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan

kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput (Branon,

2007; Amirlak, 2008).

5

Page 6: referat obsgyn

Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis

juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,

kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung

banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).

Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)

dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan

kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi

dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan

telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar

keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa

pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,

latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar

keringat yaitu Ekrin dan Apokrin (Branon, 2007).

Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan

dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang

bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut

mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan

rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada

telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua

bagian tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu

batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang

bermuara pada saluran folikel rambut (Amirlak, 2008).

6

Page 7: referat obsgyn

Gambar 3. Lapisan Dermis

Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang,

mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan

respon inflamasi (Amirlak, 2007).

3) Hypodermis tau Subkutis

Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau

hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat

jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan

jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut

daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi

menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi. Fungsi

Subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur

dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan

mechanical shock absorber (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

b. Vaskularisasi Kulit

Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak

antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan

jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi

papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu

cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat

nutrient dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit

diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus profunda

(Branon, 2007; Amirlak, 2008).

2. Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh

diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi

lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),

sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).

a. Pelindung atau proteksi

7

Page 8: referat obsgyn

Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan

tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-

pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).

Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang

menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh,

menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke

dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar

ultraviolet dari matahari.

b. Penerima rangsang

Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang

berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,

dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung

saraf sensasi.

c. Pengatur panas atau thermoregulasi

Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh

kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf

otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC.

Ketika terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit

mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-

masing.

d. Pengeluaran (ekskresi)

Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar

keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan

membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang

dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi

juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan

keringat yang tidak disadari.

e. Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.

f. Penyerapan terbatas

Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut

dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat

pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi

8

Page 9: referat obsgyn

lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007;

Amirlak, 2008).

Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke

dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh

darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh

lainnya.

g. Penunjang penampilan

Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang

tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan.

Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi

seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot

penegak rambut (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

B. Luka dan Penyembuhan Luka

1. Luka

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat

proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai

organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga,

2009).

Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum

dipakai adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Luka Akut

Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat

penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak

terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak

dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.

Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush

injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang

dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting

(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

9

Page 10: referat obsgyn

2) Luka Kronik

Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering

timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses

penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor

dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh

pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi

dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada

ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain

sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

b. Berdasarkan kedalaman luka

1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu

luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit

pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan

luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti

abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara

keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan

yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan

yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,

dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara

klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak

jaringan sekitarnya.

4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan

otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan

yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).

c. Berdasarkan tingkat kontaminasi

1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang

mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem

10

Page 11: referat obsgyn

pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,

2007).

Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika

diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya

infeksi luka sekitar 1% – 5%.

2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu

luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital

atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu

terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.

3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka

terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan

kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari

saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi

nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.

4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu

terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).

d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya

1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument

yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.

2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu

tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,

perdarahan dan bengkak.

3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan

dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda,

seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang

kecil.

5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam

seperti oleh kaca atau oleh kawat.

6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus

organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya

kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

11

Page 12: referat obsgyn

7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas

seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).

2. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena

berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.

Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan

kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang

saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis

melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel

parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu

inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling

(Tawi, 2008; Yadi, 2005).

a. Inflamasi

Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini

dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari.

Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan

karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan

pembengkakan (tumor) serta function laesa

Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami

vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang

bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan

melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth

Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth

Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang

berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel

endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan

akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan

mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1

(TGF b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan

mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz,

2007; Baxter, 2003).

12

Page 13: referat obsgyn

Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat

penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan

memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada

pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

Gambar 4. Fase Inflamasi (Ismail,

2008)

b. Proliferasi

Fase proliferasi penyembuhan

luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah terjadinya luka, ditandai dengan

munculnya fibroblast. Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini

adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan

proliferasi sel. Tahap proliferasi ini disebut juga fase fibroplasias karena

yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat

besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan

menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses

rekonstruksi jaringan (Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).

Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan

sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta

mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam

hyaluronic, fibronectin dan profeoglycans yang berperan dalam

rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).

Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama

dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan

13

Page 14: referat obsgyn

regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih

spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et

al, 2007).

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam

jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan

proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.

Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:

proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,

2008).

Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan

granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang

mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang

dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.

Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan

tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan

yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama

periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).

Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru

didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses

penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,

radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama

mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler

yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk

memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada

daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada

fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan

dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag

(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas

mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam

stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka

14

Page 15: referat obsgyn

dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan

sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan

disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan

granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup

luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang

mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi

kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan

dengan defek luka minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama

untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika

berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat

menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan

trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar

leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan

jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum

memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk

menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al,

2007).

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen

telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai

growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi

(Ismail, 2008)

c. Remodelling

15

Page 16: referat obsgyn

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi

dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini

dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang

lebih 12 bulan. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya

jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu

(Sjamsudidajat, 2005).

Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai

meninggalkan jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan

berangsur-angsur menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang

sehingga permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari

kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah

kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi

(Braz et al, 2007).

Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada

minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak

fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling.

Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh

enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk

pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,

yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi,

2008).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan

keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.

Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau

hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan

kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan

sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit

mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal

(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

16

Page 17: referat obsgyn

Gambar 6. Fase Remodelling

(Ismail, 2008)

Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah

diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut

penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama

dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka

lebar. Dalam penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka,

17

Page 18: referat obsgyn

yaitu penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga,

2009).

a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat

secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan

dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk

mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi

pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi

tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.

b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana

terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling

merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu

lebih lama.

c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam

baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali

nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal

ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,

2009).

18

Page 19: referat obsgyn

Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka

terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal

yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :

a. Lingkungan

Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa

mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat

khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau

pembedahan.

b. Tradisi

Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca

bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh

kalangan masyarakat modern.

c. Pengetahuan

Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau

perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila

pengetahua tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan

lukapun akan berlangsung lama.

d. Sosial ekonomi

Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka

adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-

hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi

penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam

merawat diri.

e. Penanganan petugas

Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus

dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini

merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama

penyembuhan luka.

f. Gizi

19

Page 20: referat obsgyn

Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi

akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,

2009).

Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses

penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor

lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).

1. Faktor Lokal

a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak

adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,

peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula

karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,

penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi

luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya

kontraksi luka.

b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya

diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu

longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .

c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan

cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga

terjadi infeksi.

d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat

menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan

iskemia lokal atau total.

e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,

iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat

menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.

f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban

buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan

mikroangiopati (Baxter, 2003; Yadi, 2005).

2. Faktor sistemik

Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,

hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan

20

Page 21: referat obsgyn

penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis

kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan

pada penyembuhan luka

3. Faktor teknik

Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic

profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.

Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh

terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).

Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.

Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit

yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak

adekuat, antara lain:

1. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama

pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah

pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,

nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan

peningkatan jumlah sel darah putih (Ismail, 2008).

2. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,

adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi

dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda

hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika

perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,

pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Ismail,

2008).

3. Dehiscence dan Eviscerasi

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling

serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.

Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isi di bawah jahitan luka melalui

daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor

meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang

21

Page 22: referat obsgyn

berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya

dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi

sebelum kolagen meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).

C. Wound Dehiscence

1. Definisi

Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses

penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya

kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat

kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,

2009)

2. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi

menjadi dua:

a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi

yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding

perut yang tidak baik.

b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari

sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan

dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (\

Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik

Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya

penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang

bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda

dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi

yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa

nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula

terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat

R,2005).

22

Page 23: referat obsgyn

Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara

klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita

datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan

jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar

luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,

pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,

2009).

4. Etiologi

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme

kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:

a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan

semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.

Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus

obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.

b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,

gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat

mempengaruhi proses penyembuhan luka.

c. Faktor infeksi

Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka

operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara

klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala

suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.

Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,

luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,

terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai

dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu

48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi

jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh

streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut

seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,

dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al,

2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

23

Page 24: referat obsgyn

5. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor

preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik

penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik

penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).

Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih

rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,

obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi

dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta

pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis

et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).

Faktor risiko operasi antara lain :

a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka

daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik,

sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan

arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.

b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis

juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi

memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan

jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya

(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman

daripada tekhnik penjaitan kontinyu.

d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi

suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh

tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,

2009; Makela J, 2005).

24

Page 25: referat obsgyn

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan

terjadinya dehisensi luka antara lain:

a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan

retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-

otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding

abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan

jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya

benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga

abdomen.

b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal

Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan

terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya

dehisensi luka operasi.

c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak

adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan

hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang

merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan

mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan

proses awal penyembuhan luka.

e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi

dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena

terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,

2009; Makela J, 2005).

D. Dehisensi pada Sectio Caesaria

Insisi uterus pada segmen bawah rahim yang disebut “Low

Transverse Cesarean Section”. Insisi ini dijahit yang akan sembuh dalam

2-6 hari. Insisi uterus juga dapat dibuat dengan potongan vertikal yang

dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus.

Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula

dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya.

25

Page 26: referat obsgyn

Faktor risiko terjadinya dehisensi pada irisan segmen bawah

rahim setelah operasi seksio sesarea diantaranya multiparitas, infeksi dan

irisan pada segment bawah rahim yang terlalu rendah. Terjadinya

gangguan aliran darah yang terjadi pada jaringan segmen bawah lahir

terutama pada daerah bloody angle sehingga menyebabkan terjadinya

nekrosis. Dehisensi terjadi karena adanya jaringan nekrosis pada irisan

segmen bawah rahim, yang dipacu karena adanya endomyometritis dan

chorioamnionitis sebelumnya. Risiko dehisensi juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor lain seperti diabetes mellitus, malnutrisi, immunosupresi

dan obesitas.(Pelage, 1999)

Perdarahan pascasalin lambat yang disebabkan karena dehisensi

luka pada SBR pasca operasi seksio sesarea merupakan kejadian

yang jarang sekali terjadi. Perdarahan pascasalin lambat pada umumnya

disebabkan karena faktor infeksi sehingga terjadi subinvolusi,

mengakibatkan kontraksi otot rahi tidak cukup adekuat untuk menjepit

pembuluh darah yang berjalan di dalam miometrium. Penyebab lain

adalah retensi siasa plasenta, karena pada tempat tersebut kontraksi

miometrium terganggu. Pada kelahiran secara seksio sesarea

kemungkinan terjadi retensi sisa plasenta adalah jarang, karena plasenta

dikeluarkan dan diobservasi secara langsung.

Perdarahan banyak yang terjadi pasca operasi seksio

sesarea terutama sebagai akibat dehisensi sebagian atau keseluruhan

irisan pada segmen bawah rahim. Bisa juga terjadi akibat tidak

terjahitnya pembuluh darah besar terutama di sekitar bloody angle

sehingga perdarahan tidak teratasi dan menyebabkan dehisensi. Dehisensi

ditandai dengan rasa nyeri pada daerah bekas operasi dan perdarahan

berulang yang keluar dari jalan lahir. Kejadian perdarahan post partum

lambat setelah seksio pada beberapankasus sering terjadi setelah 7 – 21

hari pasca operasi seksio sesarea. (Murat, 2005)

26

Page 27: referat obsgyn

Pemeriksaan penunjang dengan m e nggunakan ultrasonografi

dapat digunakan untuk mengetahui terdapatnya perdarahan intra-abdomen,

sisa produk konsepsi, terjadinya diskontinuitas pada segmen bawah rahim

dan untuk mungukur dan mengetahui ketebalan uterus.(Nanda,

1997)

Pemeriksaan angiografi juga sangat penting digunakan untuk

mengetahui sumber perdarahan tetapi tidak bisa mengetahui terjadinya

dehisensi pada segmen bawah rahim, tetapi pemeriksaan klinik sangat

penting dalam menegakkan diagnosis.

Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan

Ultrasonografi (USG) trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat

diketahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan SBR > 4,5 mm pada

usia kehamilan 37 minggu adalah pertanda parut yang sembuh sempurna.

Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR 3,5 mm.

Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai

alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.

E. Penanganan Wound Dehiscence

Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi

penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan

operatif tergantung atas keadaan umum penderita.

1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif

Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat

tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan

penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa

steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal

dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka

(Ismail, 2008).

Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat

untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula

antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka

(Singh, 2008; Ismail, 2008).

27

Page 28: referat obsgyn

2. Penanganan Operatif

Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita

dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka

yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi

yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota

bag repair (Sukumar, 2004).

Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering

dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan

keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena

kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).

Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan

debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.

Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang

baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan

ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,

2009; Sjamsudidajat, 2005).

Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi

luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu

mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi

dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di

tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan

lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan

sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan

omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan

secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi

satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan

berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan

penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis

akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka

operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Ismail,

2008; Spiloitis, 2009).

28

Page 29: referat obsgyn

Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang

monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik

terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan

3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan

karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna

mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat

luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Ismail, 2008).

Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup

dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa

dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan

sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang

berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat

diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi

yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh

repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation

(Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan

sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu

ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di

bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag.

Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.

Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang

merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang

digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini

dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar,

2004).

Tehnik lain yang dapat digunakan yaitu dynamic parietal closure

teknik dimana putaran jahitan silikon digunakan untuk memperkuat

penutupan aponeurotic yang konvensional. Prosedur ini sederhana, cepat,

murah, dan kompatibel dengan stomas pencernaan dan drainase kompleks

peritoneal. Ia memiliki keuntungan tetapi tidak kekurangan dari

penggunaan retensi jahitan atau bedah plastik dinding perut.

29

Page 30: referat obsgyn

Gambar 9. Teknik Dynamic Parietal Closure

A, Elastic silicone loop screwed on the noncutting end of a needle (the

locking system is yellow). B, The needle was passed transfascially

across the wound 4 cm from the edge. The bowel was protected by a

malleable blade. C, Description of the operative technique in 5 steps:

(1) the needle was inserted 4 cm back from the wound edge on the

right; (2) the needle was inserted on the wound edge on the left; (3)

the needle was inserted again on the wound edge on the left (2 cm

apart); (4) the needle was inserted at the initial wound edge, and a U-

shaped suture was obtained; and (5) the system was maintained with

the locking system, and compresses protected the skin. D, Once the

system was in order, tension was adjusted to close the abdominal wall

Manajemen konservatif dan manajemen aktif digunakan pada

kasus dehisensi pasca operasi seksio sesarea. Manajemen konservatif

dapat dilakukan dengan cara pemberian antibiotika dosis tinggi,

pemberian protein dan pemberian transfusi darah. Menejemen aktif yaitu

secara operasi, dapat dilakukan dengan cara histerorafi yaitu dengan cara

membersihkan jaringan yang nekrosis kemudian dilakukan

penjahitan kembali atau dengan mengangkat rahim bila fertilitas

30

Page 31: referat obsgyn

tidak diperlukan lagi atau tepi luka yang jelek dan nekrotis sehingga

konservasi rahim justru merupakan sumber infeksi. (Nanda, 1997)

III. KESIMPULAN

Diagnosis dehisensi SBR pada sectio caesaria tidak bisa langsung ditegakkan. Adanya perdarahan pasca salin lambat setelah operasi seksio sesarea perlu dipikirkan kemungkinan adanya dehisensi luka SBR. Manajemen dehisensi pada luka operasi tergantung dari umur, parietas dan kondisi luka SBR. Histerorafi merupakan terapi yang dianjurkan tetapi bila terdapat kesulitan dalam penangananya, histerktomi menjadi pilihan.

Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita

31

Page 32: referat obsgyn

DAFTAR PUSTAKA

A Murat, A Olus and Y Murat, 2005. Fertility after B-Lynch suture

and hypogastric artery ligation. Fertility and Sterility :84 (2): 509.e5-9.

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal

Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King

Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today

Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather . 2007. Skin Anatomy. Diakses Agustus 2015 dari: http://

dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures.

The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Agustus 2015 dari :

http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ : Cesarean Section and Postpartum

Hysterectomy. In Williams Obstetrics, 21 st Ed. The Mc Graw-Hill Companies,

New York 2001 : 537-563.

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.

Diakses Agustus 2015 dari :

32

Page 33: referat obsgyn

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_

operasi.pdf

http://archsurg.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=1032128

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound

dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-

390

Muhammad Yadi. Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar Pada Rumah Sakit Dr.

Kariadi Semarang. Jurnal Health and Sport 2011; 3(1): 199-206

Nanda S, Singhal S, Sharma D, Sood M, Singhal SK, 1997. Nonunion of uterine

incision: a rare cause of secondary postpartum haemorrhage: a report of 2 cases.

Paul RH, Miller DA : Cesarean Birth : How To Reduce The Rate. In American

Journal of Obstetrics and Gynecology, June 1995, Volume 172, Number 6 : 1-14

Pelage J, Soyer P, Repiquet D. 1999.Secondary postpartum

hemorrhage treatment with selective arterial embolization. Radiology,

:212:385-9.

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired

bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max

Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah

Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a

problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency

Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of

Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

33

Page 34: referat obsgyn

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Agustus 2015 dari :

http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal

wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130-

137

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK

UNDIP : Semarang

34