28
REFERAT < Analgetik Opioid Pembimbing: Dr. Willy, Sp. An Disusun oleh: Natalia Hadinata 11.2013.261 Nurshawina Kamaludin 11.2014.180 SMF Ilmu Anastesi RSUD Tarakan Jakarta

Referat Opioid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi

Citation preview

Page 1: Referat Opioid

REFERAT<

Analgetik Opioid

Pembimbing:

Dr. Willy, Sp. An

Disusun oleh:

Natalia Hadinata 11.2013.261

Nurshawina Kamaludin 11.2014.180

SMF Ilmu Anastesi

RSUD Tarakan Jakarta

Fakultas Kedokteran UKRIDA

Page 2: Referat Opioid

Definisi NyeriMenurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif

dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan

aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi

dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri

merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya

kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang

nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa

adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan

jaringan yang nyata (pain without nociception).

Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :

1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.

2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.

3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.

4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut timbulnya nyeri, dapat dibagi menjadi

Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan

memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri

ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih

pada area yang rusak.  Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat

agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.

Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih

dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena

pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa

berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif

pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi

(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).  Nyeri

ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang  diarahkan pada

Page 3: Referat Opioid

penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan

psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi

dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik

akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan

dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri

karena kanker.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Nyeri akut Nyeri kronik

- Lamanya dalam hitungan menit

- Sensasi tajam menusuk

- Dibawa oleh serat A-delta

- Ditandai peningkatan BP, nadi,

dan respirasi

- Kausanya spesifik, dapat

diidentifikasi secara biologis

- Respon pasien : Fokus pada nyeri,

menangis dan mengerang, cemas

- Tingkah laku menggosok bagian

yang nyeri

- Respon terhadap analgesik :

meredakan nyeri secara efektif

- Lamannya sampai hitungan bulan

- Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat C

- Fungsi fisiologi bersifat normal

- Kausanya mungkin jelas mungkin

tidak

- Tidak ada keluhan nyeri, depresi

dan kelelahan

- Tidak ada aktifitas fisik sebagai

respon terhadap nyeri

- Respon terhadap analgesik : sering

kurang meredakan nyeri

Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas

sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya

hilang jika penderita tidur.

3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita

tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

Page 4: Referat Opioid

Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang

berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut

juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian

tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,

karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah

ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)

terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena

Page 5: Referat Opioid

struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ

viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini

biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi.

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan

oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan

penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai

protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan,

propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara

umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri)

ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang

lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor

nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak,

bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P

dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia

(substansi nyeri).

2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.

Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron

pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi

sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari

thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri

melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai

persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat

mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan

faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

Page 6: Referat Opioid

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses

transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan

yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Jalur Nyeri di SSP

1. Jalur Asenden (transduksi dan transmisi)

Serat saraf C dan A-δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke dalam

medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan

kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini

menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula

spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini

(lapisan 2 dan 3), yang disebut substansia gelatinosa, yang sangat penting dalam

transmisi dan modulasi nyeri.

Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang menyalurkan

informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan kemudian

menyatu di traktus spinothalamikus antero-lateralis, yang naik ke thalamus dan struktur

otak lainnya. Dengan demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontra

lateral terhadap sisi tubuh tempat impuls itu berasal.

Jalur Ascendens Impuls Nyeri

2. Jalur Desenden (modulasi dan persepsi)

Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau mempengaruhi

persepsi nyeri, hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional

Page 7: Referat Opioid

persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respon rasional

terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu mempersepsikan

nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf pusat (SSP) memiliki

beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan rangsangan nosiseptif.

Jalur-jalur desenden serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke bawah ke

medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri yang datang

melalui suatu mekanisme umpan balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan lapisan

lain kornu dorsalis. Salah jalur desenden yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting

dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik adalah jalur yang mencakup tiga komponen

berikut :

1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea

periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuaduktus

Sylvius.

2. Neuron-neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus rafe magnus

(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan nukleus

retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.

3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis medula spinalis ke

suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.

Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin mempengaruhi masukan

sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini dikenal sebagai neurotransmiter atau

neuromodulator. Neurotransmiter adalah neurokimia yang menghambat atau merangsang

aktifitas di membran pascasinaps. Zat P (suatu neuropeptida) adalah neurotransmiter

spesifik-nyeri yang terdapat di kornu dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain

yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin

dan serotonin.

Analgetik

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa

sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya

rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang

memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya

mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik

dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).

Page 8: Referat Opioid

Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien

dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau opium yang

diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia.

Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa

penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada

tahun 4000 SM.

Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat

menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang

diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.

Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk

menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk

menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan kodein

diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah

dan Asia.

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,

petidin dan fentanil. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat

seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang

lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.

Page 9: Referat Opioid

Definisi Opioid

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan

reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam

anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.

Klasifikasi Opioid

Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2)

senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin).

Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan

bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan

dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.

Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),

semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil,

alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

Klasifikasi Opioid :

a). Natural opiates alkaloid

- Morfin

- Kodein

- Theibaine

- Papaverine

- Noscapine

b). Semisintetik opioid

- Hidromorphone

- Hidrocodone

- Oxycodone

- Oxymorphone

- Desomorphone

- Diacetylmorphine (heroin)

- Nocimorphine

- Dexrtomethorphan

c). Sintetik opioid

- Fentanyl

Page 10: Referat Opioid

- Petidhine

- Methadone

- Tramadol

- Meperidine

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat

digolongkan menjadi

Agonis opioid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

terutama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum,

petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,

alfaprodin.

Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan

pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.

Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis

pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain,

contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi

lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus

striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan

dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,

beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat

diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:

Reseptor µ (mu) :

o µ -1, analgesia supraspinal, sedasi.

Page 11: Referat Opioid

o µ -2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.

Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.

Reseptor k (kappa) :

o k-1, analgesia spinal.

o k-2 tak diketahui.

o k-3 analgesia supraspinal.

Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi

dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu

efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas,

afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain :

A. Efek sentral :

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek

analgesi).

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.

c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).

d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).

e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan

sebaliknya (efek disforia).

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat

pusat emetik (efek antiemetik).

h. Menyebabkan miosis (efek miotik).

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang

berkepanjangan.

B.Efek perifer :

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

Page 12: Referat Opioid

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu.

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan

memicu bronkospasmus pada pasien asma.

Obat golongan opioid

Golongan Agonis Kuat :

Morfin

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah

dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum.

Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja

analgesinya cukup panjang (long acting).

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif, yakni tidak

begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan

dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin

dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan

ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat

mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh

korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang

rangsang nyeri meningkat.

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot

polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.

Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.

Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,

konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.

Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik

Page 13: Referat Opioid

setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah

pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan

mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas

ditemukan dalam tinja dan keringat.

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau

menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih

hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri

yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4)

Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis

dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri

pasca bedah.

Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi

pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi

kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan

diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi

nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan

dapat diulang sesuai yamg diperlukan.

Petidin

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan

morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia

petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.

Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu).

Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,

depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya

lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada

penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap

nyeri neuropatik.

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :

Page 14: Referat Opioid

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat

dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat

konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari

10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan

takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada

hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi

kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma

biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi.

Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2

jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin

dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia

meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian

mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.

Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-

demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan

tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi

dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan

klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat

preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin

kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.

Dosis dan sediaan

Page 15: Referat Opioid

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50

mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong

dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,

berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,

palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

Fentanil

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil

merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih

mudah menembus sawar jaringan.

Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,

fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama

aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan

dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf

tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang

tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.

Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.

Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama

dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.

Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa

metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia

pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk

induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi

dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

Efek samping

Page 16: Referat Opioid

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah

dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin

plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.

Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh

esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak

seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.

Golongan Agonis-Antagonis

Kodein

Kodein mempunyai analgesic yang kurang poten disbanding morphin, tetapi

mempunyai kemanjuran peroral yang lebih tinggi. Obat ini mempunyai potensi

penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin. Kodein sering digunakan dalam

kombinasi aspirin atau asetaminofen.

Propoksifen

Efek analgesic : untuk menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.

Efek samping : Pada dosis toksik, akan menimbulkan depresi pernafasan, konvulsi,

halusinasi, dan bingung. Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi.

Golongan campuran Agonis-Antagonis

1.Alkaloid semisintetik

Nalbufin

Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon dan

nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah

sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak

menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh

karena itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan

gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung.

2. Opioid sintetik :

a. Derivat benzomorfan :

Pentazosin

Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor k dan

d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral

Page 17: Referat Opioid

maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi menjadi

glukoronid inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian empedu.

Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi

nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti

dengan diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh

kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi

pernafasan yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki

efek miosis pada pupil mata.

b. Derivat morfinian :

Butorfanol

Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek agonisnya

20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan

dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor

u dan afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti

menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi

pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi

metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil

pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek

pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga

akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien.

Menghambat sistem serotonin

Tramadol

Mekanisme kerja: tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor µ

serta mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. Melalui reseptor µ tramadol

meningkatkan efek inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan

serotonin. Efek tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat

sebagai rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi

menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake

serotonin.

Page 18: Referat Opioid

Metabolisme: tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi O-

dismetiltramadol dan di sekresikan oleh ginjal dalam bentuk metabolic aktif sehingga pada

seseorang yang mengalami gangguan hati dan ginjal harus dikurangi dosisnya.

Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan nyeri sedang hingga

berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil postoperative.

Salah satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan muntah.

Daftar Pustaka

1. Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi dan Terapi

Intensif FK-UI. Jakarta. 1989.

2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II.

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni. 2001.

3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian

Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995.

4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi, Penerbit

Salemba Medika.

5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah Kedokteran

Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994.

6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997.

7. Brunton L, Parker K, Blumenthal D. Opioid analgesics in Goodman and Gilman’s

Manual of farmacology and Therapeutics..New York:Lange Medical Books/Mc Graw

Hill. 2008.

8. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed.

Philadelphia; Lippincott William and Wilkins. 2006.

Page 19: Referat Opioid

9. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10th ed. New York: Lange Medical Books/

Mc-Graw-Hill;2007.