43
BAB 1 PENDAHULUAN Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan akut yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis dan merupakan satu-satunya penyebab pertusis epidemik adalah bakteri gram negatif Bordetella pertussis. 1 Dahulu pertusis adalah penyebab utama kematian pada bayi sebelum adanya vaksinasi untuk pertusis. Meskipun pertusis relatif terkendali dengan baik saat ini dengan program vaksinasi yang luas, terbukti bahwa peredaran Bordetella pertussis di seluruh dunia terus berlanjut. 9 Saat ini, masih terdapat 60 juta kasus pertusis tiap tahunnya di seluruh dunia, dengan sekitar 300.000 angka kematian. Memang, sebagian besar angka kematian berasal dari anak-anak pada negara-negara berkembang yang tidak divaksinasi. Namun, insidensi dan 1

referat pertusis andy.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: referat pertusis andy.docx

BAB 1

PENDAHULUAN

Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu

penyakit menular saluran pernapasan akut yang sudah diketahui adanya sejak

tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis dan merupakan satu-satunya

penyebab pertusis epidemik adalah bakteri gram negatif Bordetella pertussis.1

Dahulu pertusis adalah penyebab utama kematian pada bayi sebelum

adanya vaksinasi untuk pertusis. Meskipun pertusis relatif terkendali dengan baik

saat ini dengan program vaksinasi yang luas, terbukti bahwa peredaran Bordetella

pertussis di seluruh dunia terus berlanjut.9 Saat ini, masih terdapat 60 juta kasus

pertusis tiap tahunnya di seluruh dunia, dengan sekitar 300.000 angka kematian.

Memang, sebagian besar angka kematian berasal dari anak-anak pada negara-

negara berkembang yang tidak divaksinasi. Namun, insidensi dan mortalitas juga

masih dilaporkan di negara-negara maju meskipun negara-negara ini memiliki

cakupan vaksinasi yang tinggi sejak tahun 1990-an.5 Peningkatan insidensi kasus

pertusis terutama terjadi pada remaja dan orang dewasa, sehingga menjadi

sumber penular terhadap bayi kecil.8

BAB 2

1

Page 2: referat pertusis andy.docx

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis merupakan suatu infeksi akut saluran respiratorik yang sangat

menular, disebabkan oleh Bordetella pertussis. Bordetella pertussis adalah bakteri

batang yang bersifat gram negatif. Organisme ini ditularkan dari orang ke orang

melalui udara.1,9,5,4

Pertusis juga disebut sebagai tussis quinta, whooping cough, violent

cough, batuk rejan, batuk 100 hari, ditandai oleh batuk spasmodik yang panjang,

berakhir dengan batuk disertai suara keras (‘whoop’) dan muntah.3

2.2 Epidemiologi

Pertusis sangat menular, dengan angka serangan setinggi 100% pada

individu yang rentan terpajan melalui droplet-droplet di udara dalam jangkauan

jarak yang dekat.1,5 Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan

lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948,

pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di

bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.1 Insiden pertusis di Amerika dilaporkan

meningkat 2 dekade terakhir terutama pada remaja dan orang dewasa.4 Beberapa

penelitian menyebutkan hal ini disebabkan karena efek vaksin berkurang setelah

10-15 tahun sehingga remaja dan orang dewasa akan rentan terhadap pertusis dan

menjadi reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan bagi bayi.3,4

Kecenderungan ini terjadi mungkin juga karena adanya peningkatan dalam

teknik diagnosis dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini.4

2

Page 3: referat pertusis andy.docx

(Sandora, 2008)

Gambar 2.1Insiden Pertusis di Amerika Berdasarkan Umur

Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari World Health Organization

(WHO) pada tahun 2008 diperkirakan terdapat sekitar 227.345 kasus pertusis,

dengan prevalensi 62.186 kasus terjadi pada anak di bawah usia 14 tahun,

145.439 kasus pada rentang usia 14-59 tahun, dan 19.720 kasus pada usia di atas

60 tahun. Didapatkan angka kematian sekitar 0,3 % hanya dari populasi dibawah

usia 14 tahun.11

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.1

Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.4,6,9

Dilaporkan sebagian besar kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.

Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-

5 tahun.1

Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya host dan

penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet pasien. Antibodi

dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi

3

Page 4: referat pertusis andy.docx

baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan

dari ibu dengan gejala pertussis ringan.3

2.3 Etiologi

Kuman penyebab pertusis pertama kali diisolasi pada tahun 1900 oleh

Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat

dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu

Bordetella pertusis, Bordetella parapertusis, Bordetella bronchiseptica, dan

Bordetella avium. Bordetella pertusis dan Bordetella parapertusis merupakan

patogen pada manusia. Bordetella bronchiseptica merupakan patogen pada kucing

dan hewan pengerat, sedangkan Bordetella avium merupakan patogen pada

burung. Batuk yang lama juga dapat disebabkan oleh mycoplasma, virus

parainfluenza atau influenza, enterovirus, virus sinsitial respiratorik atau

adenovirus.3

(Todar, 2014)Gambar 2.2

Bordetella pertussis dengan pewarnaan Gram

Bordetella pertussis berukuran 0,5 – 1 um, diameter 0,2 – 0,3 um,

cocobacillus, gram negatif, aerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.

Spesimen bisa didapatkan melalui hapusan nasofaring pasien pertusis, selanjutnya

4

Page 5: referat pertusis andy.docx

ditanam pada agar media Bordet-Gengou. Bordetella pertussis menghasilkan

beberapa antigen, antara lain: Lymphocyte Promoting factors (Pertussis Toxin),

Filamentous hemagluntinine (FHA), Pertactine 69-kDa OMP, Aglutinogen

fimbriae, Adenylate cyclase, Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide), Tracheal

cytotoxin, Tracheal colonization factor, Dermonecrotic toxin / heat labil toxin,

serum resistance factor dan type III secretion.3

2.4 Patogenesis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.1,7

(Tozzi et al, 2005)Gambar 2.3

Perlekatan Bordetella pertussis di Silia Sel Epitel Saluran Napas

5

Page 6: referat pertusis andy.docx

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor

(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan

Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis

kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran

napas.3

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena

pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub

unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan

subunit A yang akan mengaktifkan enzim pada membrane sel.3

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur

sintesis protein dalam membran sitoplasma, mengakibatkan terjadinya perubahan

fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, menghambat reseptor beta

adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah.3

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus

aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru.3

Serangan batuk yang beruntun dan hebat akan menyebabkan gangguan

pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi sehingga menimbulkan hipoksemia dan

sianosis. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat

6

Page 7: referat pertusis andy.docx

yang terjadi pada pertusis, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah

sekunder sebagai akibat hipoksia. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya

menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.3

2.5 Manifestasi klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi mukosa nasofaring, trakea,

bronkus, dan bronkiolus sehingga pembentukan lendir semakin banyak.3

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan.1,3

1. Fase Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,

ciri-cirinya menyerupai flu ringan :

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari, makin lama

makin berat, kemudian terjadi sepanjang hari)

Demam

Bersin-bersin

Nafsu makan berkurang

Pada stadium ini, pasien sangat menular dan kuman penyebab pertusis

paling mudah untuk diisolasi3

2. Fase Spasmodik / Paroksismal

Lamanya 1-4 minggu, batuk makin bertambah berat dan terjadi

paroksismal berupa batuk beruntun, lebih dari 10 kali sehari. Penderita

berkeringat, tampak pelebaran pembuluh darah di bagian leher dan

7

Page 8: referat pertusis andy.docx

wajah. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah

dengan muka merah dan sianotik. Terjadi serangan batuk panjang, tanpa

inspirasi diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang

dan berbunyi melengking).3

Sering disertai muntah bercampur lendir yang kental. Pada bayi, lendir

yang sangat kental menyebabkan obstruksi jalan nafas, bayi terlihat sesak

napas, sering apnea, tampak sakit berat dan iritabel. Pada batuk yang

berat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis akibat adanya

tekanan pada waktu batuk. Serangan apnea sangat mungkin terjadi pada

bayi berusia dibawah 6 bulan akibat ketidaksesuaian antara ventilasi dan

perfusi oksigen. “Whoop” bisa tidak terdengar pada kasus pertusis

atipikal, pada bayi muda, anak yang telah diimunisasi dan pada pertusis

yang disertai pneumonia.3

3. Fase Konvalesen

Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu ke 4-6

serangan batuk berkurang, juga muntah berkurang, nafsu makan mulai

membaik. Rhonki difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai

menghilang. Lama pertusis tanpa komplikasi bervariasi dari 6 minggu

hingga 20 minggu. Pertusis dapat mengakibatkan perdarahan

subkonjungtiva dan epistaksis. Komplikasi yang lebih berat dapat berupa

apnea pada neonatus, pneumonia, atelektasis, emfisema, bronkiektasis,

pneumothoraks, hipertensi pulmonal, hernia dan prolaps rekti.

Komplikasi pada sistem saraf pusat dapat berupa kejang, penurunan

kesadaran, edema serebri, perdarahan otak. Batuk hebat berkepanjangan

8

Page 9: referat pertusis andy.docx

dapat berpengaruh pada asupan nutrisi sehingga pasien mengalami

malnutrisi. Komplikasi dan kematian pada pertusis umumnya terjadi

pada bayi berumur dibawah 6 bulan3

(Hong, 2010)Gambar 2.2

Manifestasi dan Komplikasi Pertusis

2.6 Diagnosis

Diagnosis pertusis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,

dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya

riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal

dan bunyi whoop yang jelas. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat

pasien diperiksa.3

9

Page 10: referat pertusis andy.docx

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/μL

dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring pada media khusus Bordet-

Gengou dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium

kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun

sampai 20% untuk waktu berikutnya.3 Radiografi dada normal pada kebanyakan

kasus, namun sebagian besar bayi yang dirawat inap mungkin ditemukan infiltrat

perihilus, edema, dan atelektasis. 1,3

WHO menetapkan definisi pertusis secara klinis untuk pasien di negara

dengan tingkat cakupan imunisasi pertusis yang rendah, meliputi batuk sedikitnya

21 hari dan hasil laboratorium yang menunjang pertusis, atau kontak dengan kasus

yang terbukti pertusis. Definisi ini tidak termasuk temuan laboratorium pertusis

pada kasus dengan periode batuk yang lebih singkat. Centers for Disease Control

(CDC) menetapkan definisi pertusis untuk negara-negara dengan program

imunisasi rutin, terdiri dari 2 pendekatan yang berbeda :3

a. Diagnosis klinis yang positif, yang didefinisikan sebagai batuk yang

berlangsung lebih dari 14 hari, dengan episode batuk paroksismal,

inspirasi “whoop” atau muntah pada akhir batuk tanpa alasan jelas

lainnya.

b. Diagnosis laboratorium positif, yang didefinisikan sebagai hasil

positif dari kultur Bordetella pertussis atau tes PCR yang diperoleh

melalui spesimen nasofaring.

Sesuai dengan definisi ini, kasus “proven” pertusis adalah kasus dengan

diagnosis laboratorium positif ATAU kasus yang sesuai dengan diagnosis klinis

10

Page 11: referat pertusis andy.docx

dan tes laboratorium positif ATAU memiliki kontak epidemiologi dengan kasus

terbukti pertusis yang telah dikonfirmasi oleh hasil laboratorium. Kasus

“probable” pertusis bila sesuai dengan definisi klinis tetapi tes laboratorium tidak

mendukung dan juga tidak ditemukan kontak dengan pasien pertusis. Karena

diagnosis pertusis klasik berdasarkan kriteria klinis, meningkatnya manifestasi

pertusis atipikal pada kalangan anak-anak, remaja dan dewasa merupakan

tantangan terhadap pengembangan cara diagnosis pertusis.3

Pemeriksaan laboratorium yang dipakai sebagai uji diagnostik pertusis

adalah kultur, PCR dan tes serologi.3

1. Kultur

Diagnosis pasti pertusis adalah hasil positif kultur hapusan nasofaring.

Bakteri penyebab pertusis ini bisa diperoleh dari pasien hanya selama 3-4

minggu pertama sakit. Sensitivitas kultur ini sangat dipengaruhi oleh sifat

kuman Bordetella pertussis. Hasil kultur dapat negatif pada pasien yang

telah sakit dalam waktu lama, telah mendapat antibiotik sebelumnya dan

pada anak-anak yang telah mendapat vaksinasi

2. PCR

Tes PCR lebih sensitif dibanding kultur untuk mendeteksi B.

pertussis, terutama setelah 3-4 minggu dan sesudah penggunaan

antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai

sensitivitas yang tinggi. Tes PCR bisa digunakan untuk mengidentifikasi

beberapa strain Bordetella. Meskipun hasil positif palsu dari PCR

menimbulkan masalah tersendiri, CDC masih merekomendasikan PCR

sebagai tes yang penting untuk diagnosis pertusis

11

Page 12: referat pertusis andy.docx

3. Serologi

Tes serologi ialah pengukuran antibodi serum terhadap antigen

tertentu dari kuman pertusis. Tes serologi dengan metode Elisa

dinyatakan positif apabila terdapat peningkatan titer antibodi antara fase

akut yang diperoleh dalam minggu pertama timbulnya gejala dan fase

konvalesen yang diperoleh 4-6 minggu kemudian. Titer antibodi serum

tunggal yang tinggi yang diperoleh minimal 3 minggu setelah mulai sakit

juga dapat mengkonfirmasi diagnosis. Keuntungan tes serologi adalah

lebih mudah dilakukan dan karena itu paling umum digunakan untuk

membantu diagnosis pertusis. Kelemahan tes serologi adalah kurang

sensitif pada bayi kecil dan kurang spesifik (positif palsu pasca

vaksinasi). Sensitivitas dan spesifisitas tes serologi lebih rendah

dibandingkan PCR dan kultur.

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana pertusis meliputi terapi suportif, eradikasi bakteri dan

berbagai upaya pencegahan. Terapi suportif terdiri dari pemberian cairan dan

nutrisi yang adekuat, oksigenasi, pereda batuk apabila batuk sangat mengganggu,

dan penghisapan lendir. Sedangkan eradikasi bakteri dengan pemberian

antibiotika. Antibiotika akan menurunkan transmisi penyakit sehingga

mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Antibiotika yang

direkomendasikan ialah eritromisin, azitromisin, klaritromisin dan trimethoprim

sulfamethoxsazole.3

12

Page 13: referat pertusis andy.docx

Tabel 2.1 Dosis antibiotik yang direkomendasikan untuk pengobatan pertusis

Sumber : Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

Antibiotika profilaksis direkomendasikan pada individu yang kontak aktif

dengan penderita pertusis 3 minggu sejak onset penyakit. Pedoman pemberian

antibiotika profilaksis bervariasi pada berbagai negara, diutamakan pada individu

yang mempunyai resiko tinggi seperti bayi yang belum mendapatkan imunisasi

dasar 3 kali, pada wanita hamil bulan terakhir, pada anak berusia dibawah 7 tahun

dengan vaksinasi terakhir telah melampaui 3 tahun.3

2.8 Pencegahan

Upaya pencegahan pertusis dilakukan dengan cara isolasi, imunisasi aktif

dan imunisasi pasif. Isolasi diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai

pasien setidaknya mendapatkan antibiotika sekurang-kurangnya hari, atau 3

minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan

13

Page 14: referat pertusis andy.docx

antibiotika. Pencegahan juga dapat dilakukan melalui pemberian imunisasi aktif

dan pasif. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka

kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Imunisasi pasif

dengan cara memberikan kuman hyperimmune globulin, namun hingga saat ini

ada belum ada kesepakatan mengenai pemberian imunoglobulin pada pertusis.3

Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan infeksi. Vaksin terdiri

dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai antigen.

Semua anak berusia kurang dari 7 tahun harus mendapatkan imunisasi pertusis.

Imunisasi tidak dapat mencegah pertusis secara keseluruhan., namun terbukti

dapat memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis. Global Inisiative

Pertussis pada tahun 2001 merekomendasikan strategi imunisasi terhadap pertusis,

yaitu :3

a. Imunisasi universal pada kelompok dewasa

b. Imunisasi selektif pada ibu baru, keluarga dan orang yang kontak erat

dengan bayi baru lahir

c. Imunisasi selektif pada petugas kesehatan dan perawatan anak

d. Imunisasi universal pada remaja

e. Strategi untuk memperkuat dan / atau meningkatkan imunisasi pada bayi

dan balita

Proteksi dengan imunisasi aktif sangat penting pada bayi karena bayi

sangat rentan terhadap komplikasi berat pertusis dan juga karena tingginya angka

kematian pada usia bayi. Vaksin yang digunakan biasanya merupakan kombinasi

toksoid difteri, tetanus dan vaksin pertusis. Dikenal dua jenis vaksin pertusis,

yaitu vaksin whole cell (wP) yang telah digunakan selama lebih dari 60 tahun.

14

Page 15: referat pertusis andy.docx

Dan vaksin acelullar (aP) yang dikembangkan sekitar tahun 1980. Vaksin whole

cell dikemas bersama vaksin difteri dan tetanus, memberikan efikasi 70-90%

setelah pemberian 3 dosis dasar dan 2 kali boster. Vaksin DTwP terkait dengan

beberapa efek samping lokal (eritema, bengkak, nyeri di tempat suntikan), demam

dan gangguan sistemik lain (gelisah, anoreksia). Walaupun sangat jarang pernah

dilaporkan kejang dan ensefalopati akut sebagai efek samping imunisasi. Vaksin

pertusis acelullar jarang menimbulkan efek samping lokal maupun sistemik,

memberikan efikasi antara 59-89%. Vaksin acelullar mengandung endotoksin

substansial kurang dibandingkan dengan vaksin whole cell. Perlindungan vaksin

whole cell pertusis 6-8 tahun setelah vaksinasi terakhir sedangkan vaksin acelullar

efikasi menurun 4-6 tahun setelah imunisasi terakhir. Berdasarkan hal tersebut

perlu dilaksanakan pemberian imunisasi ulangan pada anak diatas usia 7 tahun,

remaja, ibu hamil, ibu pasca melahirkan, dewasa dan orang tua sehingga secara

tidak langsung akan memberikan proteksi pertusis pada bayi baru lahir.

Cocooning strategy dilaksanakan dengan cara memberikan imunisasi pertusis

kepada anggota keluarga (orang tua, saudara, kakek nenek, anggota keluarga

serumah, pengasuh) dan semua staf / petugas medis yang menangani bayi baru

lahir.3

Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan imunisasi pertusis

sebagai berikut :3

1. Anak berusia dibawah 7 tahun : mendapatkan imunisasi DTP saat

berusia 2, 4, 6 bulan, ulangan pada usia 12-18 bulan dan 4-6 tahun.

2. Anak / individu berusia diatas 7 tahun : mendapatkan imunisasi

ulangan (DT atau Td atau Tdap)

15

Page 16: referat pertusis andy.docx

3. Wanita hamil : diberikan Tdap pada kehamilan akhir trimester 2 atau

pada trimester 3 (kehamilan > 20 minggu). Bila selama hamil belum

mendapatkan imunisasi, maka setelah persalinan ibu dianjurkan

menerima imunisasi Tdap untuk menghindarkan bayinya dari pertusis.

Dari data penelitian diketahui bahwa 76-83% bayi baru lahir

mendapatkan transmisi pertusis dari anggota keluarga atau individu

sekitarnya.

2.9 Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.1

2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada anak-anak dengan

pertusis, sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia,

S.auris, S.piogenes).1,3

3. Gejala emfisema dan atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena

ada sumbatan lendir yang kental.3

4. Sering terjadi otitis media.1

5. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, epistaksis, perdarahan pada

sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks, emfisema, hernia

umbikalis, hernia inguinalis, dan prolaps rekti.1

6. Apnea atau bradikardi atau keduanya dapat terjadi karena

laringospasme atau rangsangan vagus tepat sebelum batuk, dari

obstruksi saat batuk, atau dari hipoksemia setelah batuk.1

7. Dapat pula terjadi konvulsi, akibat hipoksemia.1

16

Page 17: referat pertusis andy.docx

BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. D

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 3 bulan

Anak ke : 1

Alamat : Ngadisimo

Agama : Islam

Suku : Jawa

MRS : 8 – 11 – 2014

Nama Ayah : Tn. W

Usia : 23 th

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Nama Ibu : Ny. S

Usia : 21 th

Pekerjaan : IRT

3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan Utama

Batuk

17

Page 18: referat pertusis andy.docx

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Batuk (+) sejak ± 2 bulan yang lalu, batuk terutama pada malam hari. Tiga

hari ini batuk lebih ngikil dan grok-grok. Batuk diakhiri dengan seperti mau

muntah. Demam (-), pilek (-), kejang (-), BAK/BAB biasa. Minum ASI (+)

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Saat umur 1 bulan pasien mulai batuk, dibawa ke PKM. Batuk sempat

berhenti seminggu, namun setelah itu kambuh lagi dan sampai sekarang tidak

berhenti.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah punya asma, namun sudah lama tidak kambuh, terakhir kambuh

umur 6 tahun. Di rumah & tetangga tidak ada yang batuk

3.2.5 Riwayat Ekonomi dan Sosial

Orang tua px mengaku rumahnya lembab, cahaya yang masuk kurang, dan

berdebu.

3.2.6 Riwayat Persalinan

Lahir spontan normal, aterm, BBL 2500 g, lahir di bidan.

3.2.7 Riwayat Imunisasi:

BCG +

DPT I/II/III -/-/-

Polio I/II/III +/-/-

Campak -

Hepatitis I/II/III +/-/-

18

Page 19: referat pertusis andy.docx

3.2.8 Riwayat Tumbuh kembang

Z score :

BB/U : 5,3 kg/ 3 bulan = -2 SD s/d 0 SD = Normal

BB/PB : 5,3/ 60 cm = -2 SD s/d +2 SD = Normal

PB/U : 60 cm/ 3 bulan = -2 SD SD = Normal

LK/U : 38,5/ 3 bulan = -2 SD s/d 0 SD = Normal

Motorik Kasar:

Mengangkat kepala

Tengkurap

Duduk dengan bantuan

Motorik Halus : Memegang benda

Verbal : Mengoceh spontan

Sosial : Tertawa saat diajak bermain

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sesak

Kesadaran : Composmentis

Vital Sign : Nadi : 140 x/menit

Suhu : 36,8 C⁰

RR : 65 x/menit

TB: 60 cm, BB: 5,3 Kg

19

Page 20: referat pertusis andy.docx

Kepala/Leher : a/i/c/d: -/-/-/+, perdarahan subkonjungtiva(-) napas cuping

hidung (-), pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (+)

Pulmo Inspeksi: Bentuk dada normal, simetris, retraksi intercostal

(+)

Palpasi : ekspansi paru N/N, fremitus N/N

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, Crackles +/+

Jantung Pembesaran : normal

Auskultasi : S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen Inspeksi : chest indrawing (+), flat

Palpasi : Soepel, turgor normal,

Hepar : Tidak teraba,

Lien : Tidak teraba

Perkusi : Timpani

Bising usus : BU normal

Ekstremitas Akral hangat, kering, merah.

edem (-), CRT < 2 detik

Genitalia Tidak tampak kelainan

3.4 Laboratorium

a. Darah Lengkap

Parameter Nilai Nilai Rujukan

WBC (leukosit) 22,3 X 10³/ ul 4,8 – 10,8

RBC (eritrosit) 4,00 x 106 /ul 4,2 – 6,1

HB (Hemoglobin) 10,4 gr/dl 12 – 18

20

Page 21: referat pertusis andy.docx

HCT (Hematokrit) 31,4% 37 – 52

PLT (Platelet) 639 x 10³ / ul 150 – 450

MCV 78,5 fL 79,0 – 99,0

MCH 26 pg 27,0 – 31,0

MCHC 33,1 gr/dl 33,0 – 37,0

RDW 13,9 fl 11,5 – 14,5

PDW 9,2 fL 9,0 – 17,0

MPV 9,2 fL 9,0 – 13,0

LYM% 64,5 25 – 40

NEUT% 25 50 – 70

MONO% 8,7 25 – 30

LYM# 14,38 0,8 – 4

NEUT# 5,57 2 – 7,7

MONO# 1,95 2 – 7,7

b. Urin Lengkap

Parameter Nilai Parameter Nilai

WBC 0 cell/ul PH 6,0

KET 0 mmol/ul VC 0 mmol/L

NIT - LEUCO 0 – 1

BIL 0 umol/L ERY -

PRO 0 gr/L CYL -

GLU 0 mmol/ L EPTH 0 – 1

SG 1,010 KRIST Amorph (+)

21

Page 22: referat pertusis andy.docx

c. Feses Lengkap

Warna

Konsistensi

Blood

Slym

Erytrosit

Lekosit

Amoeba

Kista

Worm

coklat

lembek

(-)

(-)

(-)

3-4

(-)

(-)

(-)

3.5 Radiologi

Hasil Pemeriksaan Radiologi:

Cor : tidak membesar

Pulmo :

- Tampak patchy infiltrat di supra parahiler & paracardial dextra-

sinistra.

- Penebalan hilus dextra

Sinus costophrenicus dextra sinistra tajam

Kesan: Bronkopneumonia

Penebalan hilus dextra DD vesikuler, retensi sekret, lymphadenopathy

22

Page 23: referat pertusis andy.docx

3.6 Problem List

1. Dyspnea (takipnea, retraksi (+))

2. Batuk paroksismal

3. Whoop

4. Riwayat imunisasi DPT (-)

5. Riwayat keluarga asma

6. Wheezing

7. Leukositosis dengan limfositosis absolut

3.7 Initial Diagnosis

Pertusis

Asma bronkiale

3.8 Differential Diagnosis

Bronkopneumonia

Bronkiolitis

Croup

3.9 Planning

3.9.1 Diagnosis

– Kultur

– PCR

3.9.2 Terapi

– Infus N4 500 cc / 24 jam

– O2 kanul 2-3 lpm

23

Page 24: referat pertusis andy.docx

– Eritromisin syrup 4 x ¼ cth (212 - 265 mg/hari dibagi dalam 4 dosis)

selama 14 hari

– Nebulisasi Salbutamol 2,5 mg/kali tiap 4 jam

3.9.3 Monitoring

– Monitoring keluhan pasien (batuk, sesak)

– Vital Sign (TD, N, RR, suhu)

3.9.4 Edukasi

– Menjelaskan penyakit yang diderita pasien

– Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan

– Menjelaskan penatalaksaan yang akan dilakukan, cara penggunaan obat,

tujuan dan manfaat, serta efek samping obat

3.10 Follow up

8/11/14 9/11/14 10/11/14 11/11/14 12/11/14

Suhu 36,8 36,7 36 36,5 36,5

Nadi (x/mnt) 140 120 110 106 100

RR (x/mnt) 65 50 43 30 30

Retraksi suprasternal

+ + + - -

Retraksi

intercostae +|+ +|+ +|+ - | - - | -

Crakles - -+ ++ +

- -+ ++ +

- -+ ++ +

- -+ ++ +

- -+ ++ +

Wheezing -/- +/+ +/- +/- -/-

Sesak +++ +++ ++ - -

Batuk ++ ++ ++ ++ ++

24

Page 25: referat pertusis andy.docx

Pilek - - - - -

Terapi Infus N4 14 tpm

Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl

Inj meixam 3 x 7 mg

Inj Amoxilin 3 x 150 mg

Nebuli zer : pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari

Infus N4 14 tpm

Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl

Inj meixam 3 x 7 mg

Inj Amoxilin 3 x 150mg

Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari

Infus N4 14 tpm

Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl

Inj meixam 3 x 75 mg

Inj Amoxilin 3 x 150mg

Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari

Infus N4 14 tpm

Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl

Inj meixam 3 x 75 mg

Inj Amoxilin 3 x 150mg

Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari

Infus N4 14 tpm

Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl

Inj meixam 3 x 75 mg

Inj Amoxilin 3 x 150mg

Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari

25

Page 26: referat pertusis andy.docx

BAB 4

PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang bayi laki-laki berusia 3 bulan datang ke IGD

RSUD Gambiran Kediri. Berdasarkan aloanamnesis dengan orang tua pasien

didapatkan keluhan batuk sudah ± 2 bulan, namun 3 hari ini batuk terlihat lebih

parah, sekalinya batuk terus-menerus sampai sesak dan diakhiri dengan seperti

mau muntah, baru setelah itu batuk berhenti. Selain itu dari aloanamnesis

diketahui bahwa anak belum mendapatkan imunisasi DPT. Setelah dilakukan

pemeriksaan fisik, didapatkan dyspnea yang ditandai dengan meningkatnya

frekuensi napas serta terlihat adanya retraksi suprasternal dan retraksi intercostae,

Didapatkan juga crakcles saat auskultasi. Batuknya terlihat paroksismal saat

ekspirasi dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan berbunyi

melengking) walaupun tidak sampai muntah. Pada pemeriksaan penunjang yaitu

pemeriksaan darah lengkap, didapatkan leukositosis dengan limfositosis absolut.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang didapatkan pada

pasien ini, diagnosis mengarah kepada pertusis. Hal ini sesuai dengan teori yang

menyebutkan bahwa pertusis adalah suatu infeksi akut saluran respiratorik yang

ditandai oleh batuk spasmodik yang panjang dan berakhir dengan batuk disertai

suara keras (‘whoop’) dan muntah. Selain itu juga didapatkan leukositosis dan

limfositosis absolut pada pemeriksaan darah lengkap. Namun saat follow-up

didapatkan adanya wheezing saat auskultasi. Bila disesuaikan dengan riwayat

keluarga dengan asma, besar kemungkinan pasien juga menderita asma bronkiale.

26

Page 27: referat pertusis andy.docx

Penanganan pada kasus ini adalah perlu dilakukan MRS sehingga dapat

dilakukan pemberian O2 kanul 2-3 lpm pada distres pernapasan akut. Secara

medikamentosa diberikan terapi antibiotik untuk eradikasi bakteri penyebab

pertusis. Antibiotik yang dianjurkan salah satunya adalah eritromisin yang untuk

bayi berumur 1-5 bulan dapat diberikan 40–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4

dosis selama 14 hari. Diberikan juga bronkodilator kerja cepat dengan nebulisasi

salbutamol 2,5 mg/kali tiap 4 jam untuk mengatasi asma pada pasien.

27

Page 28: referat pertusis andy.docx

BAB 5

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus pertusis yang diderita oleh seorang bayi laki-laki

berumur 3 bulan dengan berat badan 5,3 kg dan panjang badan 60 cm yang datang

ke IGD RSUD Gambiran Kediri dengan keluhan utama batuk. Diagnosis pertusis

ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pasien 3 hari ini

batuknya terlihat lebih parah, belum mendapat imunisasi DPT, didapatkan

dyspnea yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi napas serta terlihat adanya

retraksi suprasternal dan retraksi intercostae, Didapatkan juga crakcles saat

auskultasi. Batuknya terlihat paroksismal saat ekspirasi dan diakhiri dengan

whoop (tarikan nafas panjang dan berbunyi melengking) walaupun tidak sampai

muntah. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis dan

limfositosis absolut. Saat follow-up, didapatkan adanya wheezing pada auskultasi.

28

Page 29: referat pertusis andy.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin, 2000, Pertusis, Dalam: Wahab A, et al, Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 2 ed 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal 960-65

2. Cherry JD, 2005, The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2014 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

3. Iskandar D., Setyaningrum R. A., Ugrasena, et al, 2013, Cough and Respiratory Problem in Children, IDAI Cabang Jawa Timur Perwakilan Jatim IV, Kediri : hal 73-84

4. Sandora. T.J, 2008, Pertussis Vaccination for Health Care Workers, Clinical Microbiology Review, USA, p. 426–434

5. Hong. J.Y, 2010, Update on pertussis and pertussis immunization, Department of Pediatrics, School of Medicine, Jeju National, University hospital, Korea.

6. Black S, 1997, Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 30 Desember 2014 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

7. Todar, Kenneth, 2014, Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

8. Deasyanti. R., 2011, seroproteksi Antibodi Anti Pertusis Pada Anak Usia 6-7 tahun dengan Riwayat Vaksinasi DTP dasar Lengkap dan Ulangan di sekolah Dasar di Jakarta, Jurnal Sari Pediatri, Vol. 13, No. 1., Jakarta.

9. Mattoo .S, Cherry .J.D, 2005, Molecular pathogenesis, epidemiology, and clinical manifestations of respiratory infections due to Bordetella pertussis and other Bordetella subspecies. Clin Microbiol Rev., USA, p 326–382.

10. Tejpratap Tiwari, 2005, Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis, CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

11. World Health Organization (WHO), 2011, Global Burden Disease Death Estimates 2008, WHO Press, Switzerland.

12. Tozzi, A.E., Celentano L.P., et al, 2005, Diagnosis and management of pertussis, JAMC, Italy.

29