27
REFERAT TRAUMA MAXILLOFACIAL OLEH : Zefania Yonisa P. NIM. G99141008 PEMBIMBING : dr. Dewi Haryati K., Sp.BP 1

Referat Plastik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

COMBUSIO

Citation preview

Page 1: Referat Plastik

REFERAT

TRAUMA MAXILLOFACIAL

OLEH :

Zefania Yonisa P.

NIM. G99141008

PEMBIMBING :

dr. Dewi Haryati K., Sp.BP

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FK UNS/ RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2014

1

Page 2: Referat Plastik

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

..........................................................................................................................

1

DAFTAR ISI.....................................................................................................

..........................................................................................................................

2

BAB I – PENDAHULUAN

Pendahuluan......................................................................................................

3

BAB II – TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi......................................................................................................

4

B. Etiologi......................................................................................................

5

C. Klasifikasi..................................................................................................

5

D. Diagnosis...................................................................................................

9

E. Penatalaksanaan.........................................................................................

14

F. Prognosis...................................................................................................

16

G. Pencegahan................................................................................................

16

BAB III – PENUTUP

Penutup ..........................................................................................................

17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

18

2

Page 3: Referat Plastik

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma maxillofacial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai

jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maxillofacial bervariasi,

mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan

trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,

hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu,

diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang

tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum

dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-

30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

maxillofacial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien

dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah

sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan

3

Page 4: Referat Plastik

perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Cedera maxillofacial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi

cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah

mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma

maxillofacial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta

menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan

lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun,

trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi

mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien

dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan

dari darah, patahan gigi.

4

Page 5: Referat Plastik

BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

A. DEFINISI

Trauma maxillofacial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan

jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maxillofacial dapat mencakup

jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak

wajah adalah  jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang

kepala.1

Trauma Jaringan lunak

1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen

4. Cedera kelopak mata

5. Cedera telinga

6. Cedera hidung

Trauma Jaringan keras

1. Fraktura sepertiga atas muka

2. Fraktura sepertiga tengah muka

a) Fraktura hidung (os nasale)

b) Fraktura maksila (os maxilla)

c) Fraktur zygomatikum (os zygomaticum dan arcus  zygomaticus)

d) Fraktur orbital (os orbita)

3. Fraktura sepertiga bawah muka

a) Fraktura mandibula (os mandibula)

b) Gigi (dens)

c) Tulang alveolus (os alveolaris) 2

 

B. ETIOLOGI

5

Page 6: Referat Plastik

Penyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu

lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maxillofacial yang

dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum

dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan

batas usia 21-30 tahun.1

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena

harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai

ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian

oleh trauma maxillofacial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas.1

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi dari fraktur maxillofacial itu sendiri terdiri atas beberapa

fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus

zigomatikus, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur

le fort I, II, dan III.3

1. Fraktur Zygoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang

maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang –

tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami

fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur

kompleks zigomatik”.4

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma

beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura

zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan

atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan

tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat

mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang

zigomatik.4

6

Page 7: Referat Plastik

Gambar 1. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 2. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur

”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur

yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi

orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang

atas.4

Arcus zygomaticus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari

fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan

pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film

submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik pada

kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.

Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa

penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-

kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan

7

Page 8: Referat Plastik

hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur

komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.4

2. Fraktur Nasal

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur ,

tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan

melibatkan proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial

orbital.7

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung.

Kadang – kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari

alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid

mungkin juga terkena fraktur.

3. Fraktur Maxilla

Klasifikasi fraktur maxillofacial yang keempat adalah fraktur

maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ;

fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian

sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar

9,2% dan 29,85%.

a) Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau

bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le

Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas

melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus

maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.

Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara

terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah

tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur

transmaksilari.13

b) Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis

mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan

8

Page 9: Referat Plastik

dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-

sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura

yang sering terkena.13

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,

bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.

Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,

seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

c) Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.

Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya

yakni basis kranii.

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang

mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma

yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk

mengakibatkan trauma intrakranial.

Gambar 3. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

4. Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari

trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur

mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan

sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat

yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibula

merupakan kejadian yang sering terlihat

9

Page 10: Referat Plastik

Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera

terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien

dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu

mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga

dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci

penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien

mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa

bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian

anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula,

atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

Gambar 4. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus

mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan

mobilitas sewaktu dipalpasi.

D. DIAGNOSIS

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maxillofacial

dapat dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral

dan intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang

dapat membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maxillofacial.

Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra

oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :

Mandibular floating

Maxillar floating

10

Page 11: Referat Plastik

Zygomaticum floating

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana

salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat

dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan

atau fraktur pada tulang tersebut.

a) Fraktur Zygoma

Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya

kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis,

pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris

pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan

secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada

pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan

palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus

bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan

oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara

palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga

zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus

dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT

scan.

b) Fraktur Nasal

Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya jejas, deformitas

pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak

normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada

daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang

bergerak dan remuk.

Pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan

palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang

berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan

secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya

11

Page 12: Referat Plastik

pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen

dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT dan pemeriksaan foto

rontgen dengan proyeksi dari atas hidung.

c) Fraktur Maxilla

Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le

Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le

Fort tersebut berbeda.

Le Fort I

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada

bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat

bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan

secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur

Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah

anterolateral

Le Fort II

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama

tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi

terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati

rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya

gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan

fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya

12

Page 13: Referat Plastik

lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan

pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto

wajah polos dan CT scan.

Le Fort III

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra

oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan

visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada

daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk

melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan

pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya

dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah

anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

d) Fraktur Mandibulla

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.

Secara visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian

yang mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan

secara palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi

terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan

hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang

mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa

tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula

dilakukan pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal,

panoramik tomografi ( panorex ) dan helical CT.

13

Page 14: Referat Plastik

Gambar 5. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks

zigomatik

Gambar 6. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le

Fort II (kiri)

Gambar 7. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III

(panah).

14

Page 15: Referat Plastik

E. PENATALAKSANAAN

Pasien dengan trauma maxillofacial harus dikelola dengan segera,

dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga

diperlukan  juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung

prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris

ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki

efek yang merugikan lainya dari trauma maxillofacial. Tindakan pertama

yang dilakukan ialah tindakan bantuan hidup dasar berupa airway, brething,

circulation.. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang

harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien

mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan

rasa nyeri.

Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan yakni

reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah

analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut

yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak.

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.

Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik.

Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :

1. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

2. Mengidentifikasi fasia temporalis,

3. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari

aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam

untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus

dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang

lebih normal.

Bila hanya arkus zygoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen

harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak

perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas

lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

15

Page 16: Referat Plastik

Gambar 8. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus

zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia

superfisial dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur

dengan elevator

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari

pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,

maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau

secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I.

Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan

dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan

molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat

dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan

langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis

dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.

Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup /

konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur

dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan

fiksasi maksilomandibular.

Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan

dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan

kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu

dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.

16

Page 17: Referat Plastik

F. PROGNOSIS

Apabila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma

maxillofacial, prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung

pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya,

dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan beberapa

prosedur  pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan.

Trauma maxillofacial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada

angota tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak

yang luas atau avulsi dan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk

diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari

trauma yang luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan

napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian

yang tinggi.

G. PENCEGAHAN

Kendati teknologi bedah memberi hasil yang baik, pencegahan trauma

merupakan langkah yang bijak. Pengendara motor yang berisiko tinggi

terjadi trauma hendaknya lebih memperhatikan keselamatan, terutama

dibagian kepala. Dari suatu penelitian, disimpulkan bahwa ternyata tidak ada

perbedaan berarti  pada frekuensi kejadian trauma maksilofacial sebelum dan

sesudah era wajib helm. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih

sangat sedikit pengendara sepeda motor yang mengenakan helm dengan

benar.

17

Page 18: Referat Plastik

BAB III

PENUTUP

Trauma maxillofacial adalah suatu ruda paksa yang mengenai

wajah dan  jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maxillofacial

dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Kecelakaan lalu

lintas adalah penyebab utama trauma maxillofacial yang dapat

membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum

dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria

dengan batas usia 21-30 tahun.

Klasifikasi dari fraktur maxillofacial itu sendiri terdiri atas

beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks

zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur mandibula dan fraktur maksila

yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III. Pemeriksaan klinis dari

masing-masing fraktur maxillofacial dapat dilakukan dalam dua

pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam

menegakkan diagnosa dari fraktur maxillofacial.Yang harus di

perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya

floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti Mandibular floating,

Maxillar floating, Zygomaticum floating.

Pasien dengan trauma maxillofacial harus dikelola dengan segera,

dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama

juga diperlukan  juga tindakan resusitasi yang cepat. Tindakan pertama

yang dilakukan ialah tindakan bantuan hidup dasar berupa airway,

brething, circulation. Apabila pengobatan diperoleh dengan tepat dan

cepat setelah trauma maxillofacial, prognosis bisa menjadi baik.

Penyembuhan juga tergantung pada trauma yang timbul.

18

Page 19: Referat Plastik

DAFTAR PUSTAKA

1. Syaiful Saanin. Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas Sumatra Barat. 2010.

2. Nealon TF, Nealon WH. Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah . Alih

Bahasa.Irene Winata.Brahm U Pendt. 4th ed.EGC: 114 -24.Jakarta. 1996

3. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management

at pakistan institute of medical science.Department of Plastic Surgery

Islamabad: 1-5.

4. Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed.

Penerjemah A. Sanik Wahab, Soedjono Aswin. Yogyakarta : Gadjah

Mada University Press, 1992:20-3:125-74:22.

5. Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of

trauma. London : W.B. Sounders Company.

6. King Maurice, Bedah Primer Trauma, EGC, Jakarta, 2002.

7. R.Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah,EGC, Jakarta, 1997

8. Eliastam M., Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun Kedaruratan Medis.

Alih Bahasa: Humardja Santasa. 5th ed. Jakarta: EGC.

9. N Aston. Kapita Selekta Traumatologik Dan Ortopedik. Alih Bahasa

Petrus Adrianto 3th. ed.Jakarta: EGC. 1994.

19