Upload
yusufaibnusina
View
232
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pemeriksaan Radiologi Kelainan Testis
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Deformitas fisik pada saluran reproduksi pria adalah adanya struktur yang
abnormal yang dapat merusak dan menghalangi testis, epididymis, duktus seminalis
atau prostat dan dapat menyebabkan penurunan kesuburan yang sangat signifikan
(Singh et al, 2012). Kelainan ataupun lesi pada testis terdiri dari berbagai macam
penyakit. Hal tersebut mencakup infeksi, kegawatan, malignansi ataupun kelainan
kongenital. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab timbulnya lesia adalah seperti
trauma testis yang menimbulkan torsio, hematoma, kelainan kongenital seperti
hidrokel dan varikokel, infeksi seperti epididymitis dan orchitis serta keganasan
seperti trauma testis (Huang et al, 2015).
Telah diperkirakan bahwa sekitar 7% dari laki-laki, pada usia reproduksi
mengalami subfertilitas ataupun infertilitas, mengacu pada testis, sebelum testis dan
organ setelah testis. Kelainan genetic berperan sebesar 15% dari kasus infertilitas
pada pria. Bahkan 50% pria tidak terdiagnosis meskipun alat-alat diagnosis sudah
berkembang semakin canggih (Lotti, 2014)
Torsio testis adalah keadaan emergensi yang dapat mengancam infertilitas dan
trauma psikologis pada pria. Untuk mencegah nekrosis iskemik, penanganan harus
dilakukan sesegera mungkin . Jika testis dapat dditangani dalam waktu 6 jam pasca
trauma, lebih dari 90% pasien dapat terbebas dari komplikasi torsio, sedangkan
apabila ditangani lebih dari 6 jam pasca trauma, hanya < 10% yang dapat terbebas
dari komplikasi torsio tersebut (Lee et al, 2015).
Selain torsio testis, varikokel juga menjadi penyebab utama terjadinya infertilitas
pada pria. Varikokel sendiri dapat tertangani denganbaik. Penanganan yang baik
harus didukung dengan deteksi yang baik terhadap varikokel, karena operasi
varikokel dapat membantu perbaikan kualitas semen dari penderita. Penanganan
varikokel pada dewasa ini pun berkembang karena hal itu ditunjang oleh teknik
pembedahan dan pencitraan yang mulai mengalami kemajuan yang pesat (Seo, 2014).
Penyakit lain seperti spermatokel dan hidrokel pun juga memiliki komplikasi yang
nyata pada penderita. Bahkan setelah dioperasi pun masih tetap memiliki komplikasi
pasca operasi yang juga mengarah kepada infertilitas. Oleh sebab itu, deteksi dini
dengan teknik pencitraan yang baik dapat membantu mendiagnosis kasus tersebut
dengan cepat (Kliesch, 2014).
Kelainan pada testis yang lain adalah kanker testis. Kanker testis sangat jarang
terjadi dan insidennya hanya sekitar 1% malignansi pada pria. Tetapi untuk diketahui,
kanker testis merupakan kanker yang paling sering terjadi pada dewasa muda di
wilayah Eropa. Insidensi dari kanker testis secara umum mengalami peningkatan,
meskipun mortalitasnya menurun di kawasan Eropa. Sangat penting untuk
mengetahui variasi pada populasi, baik yang berhubungan dengan genetic ataupun
faktor lingkungan (Shanmugalingan et al , 2013).
Kanker testis terjadi diantaranya rentang usia paling banyak 15-40 tahun. Tren
peningkatan kanker testis secara global berhubungan dengan sistem pelayanan
kesehatan yang kurang baik karena proses diagnosis dan penanganan yang terlambat.
Dijelaskan pula bahwa presentase penyembuhan yang tinggi dari kanker testis dicapai
dengan penanganan yang tepat, mengurangi paparan bahan toksik dan efed dari
terlambatnya penanganan. Insidensi tertinggi dari kanker testis terdapat di New
Zealand (7,8), Australia (6,3), Sweden (5,6), USA (5,2), Polandia (4,9), Spanyol
(3,8), China (1,3), India (0,5) per 100.000 laki laki (Shanmugalingan, 2015).
Selain penyakit keganasan, penyakit seperti kriptorkismus juga kerapkali dijumpai
dan sering menyerang bayi. Prevalensi pada bayi premature adalah 9-30%, bayi
cukup bulan sekitar 3-6%, 1-2% pada bayi berusia satu tahun dan 1 % pada usia
pubertas. Pada sebagian besar kasus, sekitar 20-30% tidak terpalpasi dan 0,5%
berusia > 40 tahun (Romero et al, 2014).
Ultrasonografi merupakan teknik pencitraan yang sensitive dan akurat untuk
mengevaluasi kelainan pada testis dan diterima secara luas sebagai teknik pencitraan
lini pertama untuk penyakit testis yang sering terjadi serta yang jarang terjadi.
Ultrasonografi efektif dan merupakan satu-satunya pemeriksaan yang dilakukan
untuk persiapan pasien mengikuti operasi (Huang et al, 2015). Ketersediaan alat
ultrasonografi yang lebih baik dan teknik pencitraan lainnya, memungkinkan kita
untuk menentukan diagnosis dengan cepat dan mencegah untuk pembedahan dan
pengobatan antibiotic yang tidak perlu (Khan, 2009). Ultrasonografi dengan skala
abu-abu dan Doppler dapat memberikan informasi yang baik untuk menentukan
diagnosis terhadap kelainan pada traktus genitalis pada pria. Bahkan ultrasonografi
Doppler sendiri selain dapat menentukan kelainan, juga dapat mendeteksi adanya
malignansi serta infeksi pada organ genital pria (Lotti, 2014).
Pentingnya peran dari teknik pencitraan ultrasonografi tersebut menjadi alas an
penulis untuk mengangkat tema kelainan pada testis dan kemampuan USG, terutama
USG Doppler dalam mendeteksi kelainan tersebut dapat menurunkan angka
mortalitas ataupun komplikasi yang dapat ditimbulkan. Deteksi dini berpengaruh
besar terhadap keberlangsungan reproduksi dan kesehatan mental pria yang
mengalami penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Saluran Reproduksi
a. Anatomi Testis
Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada dua
yang masing-masing terletak di dalam skrotum kanan dan kiri. Bentuknya ovoid
dan pada orang dewasa ukurannnya adalah 4x3x2,5 cm, dengan volume 15-25
ml. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat
pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas
lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada di
sekitar testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati rongga abdomen
untuk mempertahankan temperature testis agar tetap stabil (Purnomo, 2011).
Gambar 2.1 Anatomi testis
Gambar 2.2 Penurunan testis
Testis berada di dalam skrotum bersama epididymis yaitu kantung ekstraskrotum
tepat di bawah penis. Testis kiri terletak lebih rendah daripada yang kanan.
Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididymis disebut tunika
vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intraabdomen yang
bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama perkembangan genitalia interna
pria, setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (processus
vaginalis) akan menutup.
Lapisan pembungkus testis :
a. Cutis
b. Tunica dartos
c. Fascia spermatica eksterna (Aponeurosis MOAE)
d. Musculus cremasterica
e. Fascia cremasterica (Aponeurosis MOAI)
f. Fascia spermatica interna (Aponeurosis MTA)
g. Tunica Vaginalis propia (Lamina Parietalis dan Lamina Visceralis)
h. Tunica albuginea
Gambar 2.3 Lapisan testis
Secara histopatologis, testis terdiri atas kurang lebih 250 lobuli dan tiap
lobules terdiri atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferous terdapat sel
spermatogonia dan sel sertoli, sedangkan di antara tubuli seminiferi terdapat sel
leydig. Sel spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel
spermatozoa. Sel sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma,
sedangkan sel leydig atau disebut sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormone testosterone (Purnomo, 2011).
Sel spermatozoa yang diproduksi di tubulus seminiferous testis disimpan dan
mengalami pematangan/maturasi di epididymis. Setelah dewasa, sel spermatozoa
bersama-sama dengan getah dari epididymis dan vas deferens disalurkan menuju
ampula vas deferens. Sel itu bercampur dengan cairan dari epididymis, vas
deferens, vesikula seminalis, serta cairan prostat membentuk cairan semen atau
mani (Purnomo, 2011).
Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari pleksus nervacus testicularis. Pleksus
ini dibentuk oleh nervus thoracalis VI-XII. Testis mendapatkan darah dari
beberapa cabang arteri, yaitu (1) arteri spermatika interna yang merupakan
cabang dari aorta, (2) arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan
(3) arteri kremasterika yang merupakan cabang dari arteri epigastrika. Pembuluh
vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus pampiniformis.
Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai
varikokel (Purnomo, 2011).
b. Anatomi Epididimis
Epididimis adalah organ yang berbentuk seperti sosis terdiri atas kaput,
korpus, dan kauda epididymis. Korpus epididymis dihubungkan dengan testis
melalui duktuli eferentes. Vaskularisasi epididymis berasal dari arteri testikularis
dan arteri deferensialis. Di sebelah kaudal, epididymis berhubungan dengan vasa
deferens (Purnomo, 2011).
Sel spermatozoa setelah diproduksi di dalam testis, dialirkan ke epididymis.
Disini spermatozoa mengallami maturasi sehingga menjadi motil (dapat
bergerak) dan disimpan di dalam kauda epididymis sebelum dialirkan ke vas
deferens (Purnomo, 2011).
Gambar 2.4 Anatomi testis, epididymis, ductus eferentes
1.2 Teknik Pemeriksaan USG Pada Testis
Teknik Pencitraan USG Testis :
a. Pasien diletakkan dalam posisi supinasi dan letakkan handuk yang terlipat diantara
kaki pasien untuk mengangkat skrotum
b. Penis diletakkan di atas regio suprapubik pasien dan tahan dengan handuk kedua
c. Pembacaan awal menggunakan frekuensi tinggi (5-12 MHz) dengan arah linier.
d. Kasus yang menandakan adanya pembengkakan skrotum, transducer array kurva
linier dengan frekuensi tinggi meningkatkan lapang pandang, sehingga dapat
melihat temuan di luar testis. Gambaran serial transversal dan sagittal dari tiap
testis dan epididimis diperoleh dengan menambahkan minimal satu gambar yang
menunjukkan kedua testis untuk perbandingan secara langsung terhadap
ekogenisitas dari testis, tekstur dan ketebalan testis.
e. Pasien dengan lesi skrotum yang terpalpasi, gambar tambahan dibutuhkan untuk
menyelaraskan dengan temuan fisik. Pasien yang merasakan nyeri pada bagian
skrotumnya, dapat menunjukkan lokasi atau tempat yang sakit sehingga dapat
ditemukan pada temuan usg
f. USG Doppler untuk menentukan aliran darah di epididimis dan testis
g. Penggunaan USG Doppler dengan sensitivitas tertinggi dapat menunjukkan
dengan cepat lokalisasi pembuluh darah dan visualisasi aliran darah yang berbeda
dari kedua testis
1.3 Gambaran Testis Normal
Gambar ….Ekogenisitas testis yang homogeny dan tekstur ekoik
Gambar ….Perbandingan testis normal
(Watanabe, 2007)Gambar ….Gambaran USG Doppler Transversal yang menunjukkan ekogenisitas dan aliran yang simetris
(Watanabe, 2007)Gambar ….USG Doppler Transversal menggambarkan ekogenisitas seragam dan aliran menuju testis
F. Torsio Testis
Pada kondisi ini, funikulus spermatikus terpluntir sehingga terjadi rotasi testis
yang menghasilkan iskemik pada testis. Dapat terjadi pada segala usia tetapi
kebanyakan terjadi pada tahun pertama usia beranjak dewasa, ketika testis secara
cepat melebar.
Pada masa janin dan neonates, lapisan yang menempel pada muskulus dartos
masih belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididymis dan
tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir pada
sumbu funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio
testis ekstravaginal. Terjadinya torsio testis pada remaja dikaitkan dengan kelainan
(Watanabe, 2007)Gambar ….Testis dan epididimis normal. USG Doppler longitudinal menunjukkan gambaran aliran yang normal dan difus testis dan epididimis
system penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian
dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada keadaan ini tunika
mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididymis ke
dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididymis dengan
mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus
spermatikus. Keadaan ini dikenal sebagai anomaly bell clapper yang menyebabkan
testis mudah mengalami torsio intravaginal (Sjamsuhidajat, 2010).
Gejala dari torsio testis yang pertama adalah hampir selalu nyeri. Gejala ini
bisa timbul mendadak atau berangsur-angsur, tetapi biasanya meningkat menurut
derajat kelainan. Riwayat trauma didapatkan dari 20% pasien, dan lebih dari
sepertiga pasien mengalami episode nyeri testis yang berulang sempurna. Derajat
nyeri testis umunya bervariasi dan tidak berhubungan dengan luasnya serta
lamanya kejadian. Pembengkakan dan eritema berangsur-angsur muncul, dan
dapat pula disertai nausea, vomiting, kadang disertai demam ringan, serta terjadi
pembengkakan testis. Nyeri juga terkadang dirasakan di inguinal dan abdominal.
Jika testis yang mengalami torsio adalah maldesensus testis, maka gejala yang
timbul menyerupai hernia inguinalis strangulasi (Sjamsuhidajat, 2010).
Pada fase akut, gambaran ultrasonografi mungkin normal atau menunjukkan
adanya testis yang membengkak dengan gambaran patchy atau hipoekoik difus.
Epididimis mungkin bisa juga membengkak dan mengalami anekoik. Bisa juga
disertai gambaran hidrokel reaktif dan kulit skrotum menebal serta terjadi edema.
Ultrasonorafi Doppler membuktikan bahwa alat ini dapat menegakkan diagnosis
torsio testis 85% dengan gambaran penurunan vaskularisasi di sekitar testis (tidak
ada atau buruknya aliran warna, menurunkan kekecepatan puncak sistolik)
dibandingkan dengan testis yang tidak terkena. Adanya false-positive (sebagai
contoh yaitu iskemik yang berhubungan dengan orchido-epididimitis yang parah)
dan false-negative (mengacu pada sulitnya menentukan aliran warna yang adekuat,
sifat intermitten dari torsio, dll) dan masih terdapat kontroversi terhadap prosedur
pemeriksaan penanganan pasien dengan kasus ini. Apakah harus melakukan USG
terlebih dahulu yang dapat menunda pembedahan ataukah melakukan pembedahan
terlebih dahulu tanpa melkukan USG. Karena penundaan pembedahan untuk
melakukan USG juga berpengaruh terhadap prognosis dari torsio testis (Sutton,
2003).
Apendiks testis dapat berkembang menjadi torsio testis. Hal ini berkaitan
dengan nyeri akut skrotum dan pembengkakan dan nyeri local. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan adanya massa jaringan lunak pada bagian atas dari
epididymis yang heterogen dengan hipoekoik dan berhubungan pula dengan
hidrokel. Mungkin slough off dan terkalsifikasi sehingga terjadi peningkatan
bayangan ekoik antara lapisan dari tunika vaginalis (Sutton, 2003).
(Sutton, 2003)Gambar ….Gambaran ultrasonografi. Adanya gambaran hipoekoik di dalam substance testis. Adjacent epididymis mengalami pembengkakan
(Sutton, 2003)Gambar ….Ultrasonografi menunjukkan gambaran ekoik dari skrotum dengan bayangan akustik distal dan hidrokel kecil
(Watanabe, 2007)
Gambar ….Torsio Testis. USG Doppler longitudinal menunjukkan tidak adanya aliran pada testis dan pelebaran dari epididimis dan funikulus spermatikus, yang juga menunjukkan tidak adanya vaskularisasi
(Watanabe, 2007)
Gambar ….Torsio Testis. USG Doppler longitudinal testis sinistra tanpa ditemukan adanya aliran
G. Tumor Testis
Tumor testis merupakan keganasan terbanyak pada pria yang berusia diantara 15-
35 tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada pria. Akhir-akhir ini terdapat
perbaikan usia harapan hidup pasien yang mendapatkan terapi dibandingkan dengan
30 tahun lalu, karena sarana diagnosis lebih baik, diketemukan penanda tumor,
diketemukan regimen kemoterapi dan radiasi, serta teknik pembedahan yang lebih
baik. Angka mortalitas menurun dari 50% menjadi 5% (Purnomo, 2011).
Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri.
Namun 30% mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10%
mengeluh nyeri akut pada skrotum. Tidak jarang pasien mengeluh karena merasa ada
massa di perut sebelah atas (10%) karena pembesaran kelenjar pada aorta, benjolan
pada kelenjar leher, dan 5% pasien mengeluh adanya ginekomastia. Ginekomastia
adalah manifestasi dari beredarnya kadar B-HCG di dalam sirkulasi sistemik yang
banyak terdapat koriokarsinoma (Purnomo, 2011).
Pada pemeriksaan fisik testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada
palpasi, dan tidak menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya infiltrasi
(Watanabe, 2007)
Gambar ….Torsio testis. USG Doppler transversal kedua gambar menunjukkan pembesaran, sedikit penurunan ekogenisitas dan tidak adanya aliran di sebelah kiri
tumor pada funikulus atau epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya massa di
abdomen, benjolan kelenjar supraklavikuler, ataupun ginekomastia (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan USG dapat membedakan dengan jelas lesi intra atau ekstratestikuler
dan massa padat atau kistik. Namun USG tidak dapat memperlihatkan tunika
albuginea, sehinga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan tumor testis
(Purnomo, 2011).
- Seminoma
Seminoma merupakan kanker testis yang sering terjadi pada populasi orang tua,
yaitu berjumlah 35-50% dengan rata-rata usia yang terkena adalah 40.5 tahun. Secara
histologi, seminoma terbentuk atas susunan sel dengan gambaran tidak ditemukannya
sitoplasma dan adanya infiltrate limfonodus. Pada gambaran USG, seminoma muncul
dengan gambaran massa homogeny bentuk bulat dengan pantulan cahaya yang
rendah tanpa kalsifikasi di dalam massa tumor. Pada gambaran CDUS, ditemukan
adanya vaskularisasi di dalam lesi. Gambaran CEUS menunjukkan adanya
peningkatan cepat pada benjolan (lebih besar dari parenkim testis normal
disekitarnya) dan hilangnya bentukan vaskuler linier (Huang, 2012).
Gambar….
(a) Menunjukkan adanya lesi fokal yan kecil (panah) berukuran 6mm, dengan
pantulan aliran yang seragam. (b) USG doppler menggambarkan vaskularisasi
internal di dalam benjolan kecil (panah). (c) Lesi muncul dengan jelas pada
elastografi jaringan (digambarkan dengan area biru). (d) Ultrasonografi dengan
kontras menunjukkan adanya peningkatan hilangnya gambaran normal pola vaskuler.
- Non-karsinoma testis
Didapatkan data bahwa 90% non karsinoma sel terdiri dari sel tumor yang jinak.
Tumor ini biasanya ukurannya kecil dan kebanyakan diketahui secara tidak sengaja.
Tumor ini sering terdapat pada pasien berusia 20-50 tahun. Gambaran USG
menunjukkan lesi yang muncul homogeny bentuk bulat dengan lesi hipoekoik.
Gambar….
Tumor Sel Leydig. (a) Gambaran USG menunjukkan lesi hipoekoik (tanda panah).
(b) USG Doppler menunjukkan peningkatan vaskularisasi di dalam lesi (panah). (c)
Elastografi jaringan menunjukkan lesi kecil yang jelas (daerah campuran warna
biru/muda, panah). (d) Dengan USG kontras lesi menunjuukkan adanya peningkatan
awal, sebuah karakteristik yang dapat membedakannya dari tumor lain.
H. Trauma Testis
Trauma testis sering disebabkan oleh trauma tumpul, penetrasi, ataupun degloving.
Lebih dari setengah kasus dari trauma testis disebabkan oleh trauma tumpul. Trauma
tumpul yang sering terjadi pada atlet, pada tabrakan sepeda motor dan penganiayaan
terjadi sekitar 9-17%. Mekanisme lain seperti penetrasi, trauma termal. Degloving,
sangat jarang terjadi. Trauma penetrasi biasanya disebabkan oleh tembakan dari
senjata api, penusukan, gigitan hewan. Trauma yang menyebabkan degloving
seringkalai kulit skrotum hilang sehingga diperlukan tindakan skin graft (Nicola et al,
2014).
- Ruptur testis
Tunica albuginea yang normal muncul dengan gambaran hiperekoik pada garis yang
membatasi testis. Adanya diskontinuitas pada tunica albuginea mengindikasikan
adanya rupture testis yang menyebabkan ektrusi dari parenkim testis, yang
digambarkan dengan kontur abnormal di dalam skrotum. Gambara disrupsi tunica
albuginea saja memiliki sensitivitas dan spesifitas 50% dan 75% untuk cedera pada
testis. Karena adanya rupture pada tunica albuginea, menyebabkan cedera pada
parenkim testis, yang muncul dengan gambaran heterogen di dalam testis. Pada
disrupsi tunica vasculosa, yang berada di bawah tunica albugineadan menyusun
kaosula arteri di dalam testis, merupakan tanda tak langsung adanya rupture tunica
albuginea. Adanya gambaran heterogen di dalam testis, abnormalitas kontur testis
akibat disrupsi tunica albuginea, dan region avascular yang mengindikasikan adanya
sensitivitas dan spesifisitas tinggi dari rupture testis (Nicola et al, 2014).
Lebih dari 80% rupture dapat ditangani dan diselamatkan jika ditangani dalam 72 jam
pasca kejadian trauma. Biasanya rupture testis bersifat unilateral. Namun pada kasus
yang jarang terjadi, sekitar 1.5% bersifat bilateral. Pada kasus yang sangat jarang
terjadi, rupture testis dapat disertai dengan rupture epididimis sehingga sulit untuk
dibedakan menggunakan USG (Nicola et al, 2014).
Gambar …….
Gambar yang menunjukkan adanya rupture skrotum. (A). USG longitudinal dari testis
kanan menunjukkan adanya kerusakan tunika albuginea (panah lurus) yang
menyebabkan konturnya tidak normal (bintang) dan adanya hematoma fokal (panah
dengan kurva). (B) USG Doppler menunjukkan penurunan vaskularisasi di dalam
bagian testis yang rupture (mata panah) dan tidak adanya vaskularisasi di dalam
hematoma fokal (panah) (Nicole et al, 2014).
- Hematoma
Hematoma intratestikular merupakan kasus yang paling sering ditemukan pada
trauma tumpul testis. Gambaran USG menunjukkan adanya hematoma tergantung
dari waktu dari terjadinya trauma hingga pelaksanaan USG. Hematoma akut dan
hiperakut terkadang sulit untuk ditemukan karena biasanya muncul dengan gambaran
isoekoik jika dibandingkan dengan jaringan di sekitar testis atau mungkin muncul
dengan gambaran heterogen yang luas. Untuk alasan inilah, hematoma akut
dievaluasi untuk kedua kalinya 12-24 jam setelah pemeriksaan USG yang pertama
untuk melihat perubahan pada ekogenisitasnya.
Gambar….
(A). USG longitudinal testis menunjukkan adanya daerah hipoekoik pada
intratestikular (panah) yang mengindikasikan adanya hematoma intratestikular. (B)
USG Doppler menunjukkan tidak adanya vaskularisasi di dalam hematoma (panah)
- Hematokel/hematocele/Hematoma skrotum
Ekstratestikular hematokel atau adanya penumpukan darah di tunica vaginalis,
merupakan temuan tersering dari skrotum setelah terkena trauma benda tumpul.
Jaringan lunak ekstratestikuler antara lain dinding skrotum, tunica albuginea dan
epididimis juga termasuk. Tampilan USG pada hematokel atau hematoma lesinya
bervariasi tergantung usia (Nicola et al, 2014).
Hematocele akut gambarannya ekoik, sedangkan hematocele kronik lebih anekoik,
septa dan lokulasi dapat berkembang. Kemudian dapat menjadi terkalsifikasi dan
menyerupai massa terkalsifikasi di testis (Nicola et al, 2014)..
Pada fase akut, hematocele yang besar dapat menyebabkan kompresi disekitar
pembuluh darah
dan
mengurangi aliran darah, menyerupai torsio partial/komplit.
Gambar…
USG transversal menunjukkan testis kiri yang mengalami hematoma dan hematocele
(bintang)
Gambar….
USG menunjukkan adanya penebalan dinding skrotum yang heterogen (panah) akibat
sekunder terhadap perdarahan dan hematokel kecil (mata panah)
I. Epididimitis
Epididimitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada epididimis yang dapat
terjadi secara akut atau kronis. Dengan pengobatan yang tepat penyakit ini dapat
sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik dapat menular ke testis
sehingga menimbulkan ortkitis, abses testis, nyeri kronis pada skrotum
berkepanjangan, dan infertilitas (Purnomo, 2011).
Pasien seringkali mengeluh nyeri mendadak pada daerah skrotum, diikuti dengan
bengkak pada kauda hingga kaput epididimis. Tidak jarang disertai demam, malaise,
dan nyeri dirasakan hinga ke pinggang (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan menunjukkan pembengkakan pada hemiskrotum dan kadangkala
pada palpasi sulit untuk memisahkan antara epididimis dengan testis. Mungkin
disertai dengan hidrokel sekunder akibat reaksi inflamasi pada epididimis. Reaksi
inflamasi dapat menjalar ke funikulus spermatijus di daerah inguinal. Gejala klinis
epididymitis akut sulit dibedakan dengan torsio testis yang sering terjadi pada usia
10-20 tahun. Pada epididymitis akut jika dilakukan elevasi (pengangkatan) testis,
nyeri akan berkurang; hal ini berbeda dengan torsio testis (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan urinalisis dan darah lengkap dapat membuktikan adanbya proses
inflamasi. Pemeriksaan dengan USG Doppler dan stetoskop Doppler dapat
mendeteksi peningkatan aliran darah di daerah epididimis (Purnomo, 2011).
Gambar ….
Ultrasonografi dari epididymitis aktif yang menunjukkan massa heterogen dengan
area hipo dan hiperekoik berdekatan dengan bagian bawah dari testis.
(Lung et al, 2012)
Gambar…
Adanya gambaran epididymitis parah (tanda panah panjang) ditandai dengan
penebalan epididimis dan dinding skrotum. Bulatan sentral abnormal terlihat.
Didapatkan pula batas yang kurang jelas/abnormal (panah kecil-kecil).
J. Orchitis
Inflamasi dari testis itu sendiri mungkin dapat terlihat pada infeksi virus sistemik
(seperti
mumps) atau
berhubungan dengan epididymitis bacterial. Lebih dari 25% laki-laki post-pubertas
dengan mumps menderita mumps dengan derajat tertentu, biasanya dalam 7-10 hari
setelah mengalami parotitis. Diperkirakan sekitar dua pertiga kasus yang terjadi
bersifat unilateral. Virus lain ‘yang bisa menyebabkan hal itu antara lain echo virus,
arbovirus, dan choriomeningitis virus. Pada fase akut, ultrasonografi akan
menunjukkan pembengkakan testis dengan gambaran patchy atau hipoekoik difus.
Resolusi pada kasus ini, testis nantinya akan kembali normal. Namun pada keadaan
orchitis yang sangat parah akan terjadi atrofi dengan pengurangan ukuran dan
hipoekoik, biasanya muncul setelah 6 bulan pasca serangan akut (Sutton, 2003).
Gambar..
Gambaran ultrasonografi orchitis parah. Bagian terbesar testis menunjukkan
gambaran hipoekoik difus. Area heterogen pada bagian bawah menunjukkan abses
yang mulai berkembang.
Ultrasonografi Doppler menunjukkan adanya iskemik dan infark dengan gambaran
vaskularisasi yang menurun. Pada beberapa orchitis parah, area heterogen akan
berkembang dan berpotensi membentuk abses intratesticular(Nicola et al, 2014)..
Gambar….
(a) USG longitudinal menunjukkan gambaran heterogen berbentuk patchy yang
terlihat di dalam testis (panah panjang) dan pelebaran dari epididimis (panah pendek).
(b) Ada tanda peningkatan vaskularisasi di dalam testis pada gambaran USG Doppler
(Huang et al, 2012).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sangat penting bagi para dokter untuk terbiasa dengan temuan ultrasonografi
yang spesifik agar dapat menentukan diagnosis dengan tepat sehingga pasien dapat
ditangani dengan baik. Ultrasonografi merupakan modalitas pilihan karena akses,
mobilitasnya serta tidak bersifat invasive dan persiapan pasien juga tidak terlalu
diperlukan. Penggunaan USG Doppler dan penggunaan kontras pada USG juga dapat
memastikan dengan baik diagnosis dari kelainan testis sehingga nantinya dapat
memutuskan apakah kasus tersebut membutuhkan pembedahan atau hanya cukup
terapi konservatif saja.
DAFTAR PUSTAKA
Huang, D., Sidhu, P. 2012. Focal Testicular Lesions: colour Doppler Ultrasound,
Contrast Enhanced Ultrasound and Tissue Elastography as Adjuvants to the
Diagnosis. Department of Radiology, Kings’s College London, King’s
College Hospital, London. The British Journal of Radiology, Special Issue
2012
Khan, S., Rahman, J., Chughtai, B., et al., 2009. Anatomical Approach to Scrotal
Emergencies : A New Paradigm for the Diagnosis and Treatment of the Acute
Scrotum. The Internet Journal of Urology. Volume 6 Number 2
Kliesch. 2014. Hydrocele, Spermatocele, and Vasectomy: Managements of
Complication. Department of Andrology, Centre of Reproductive Medicine
and Andrology, University Clinics of Muenster, Albert Schweitzer Campus,
Deutschland.
Lee, S. et al. 2014. A Nationwide Epidemiological Study of Testicular Torsion in
Korea. Department of Urology Kyung Hee University Seoul. J Korean Med
Sd 2014; 29: 1684-1687
Lotti, F, Maggi,M. 2013. Ultrasound of The Male Genitalia Tract in Relation to Male
Reproductive Health. Sexual Medicine and Andrology Unit of Department of
Experimental and Clinical Biomedical Sciences, University of Florence Italy.
Lung et al. 2012. Contrast Enhanced Ultrasound in the Evaluation of Focal Testicular
Complications Secondary to Epididymitis. Department of Radiology King’s
College London.
Netter, Frank. 2013. Atlas Anatomi Manusia. Elseveirs Saunders.
Nicole et al. 2014. Imaging of Traumatic Injuries to the Scrotum and Penis. Dep. Of
Radiology, University of Rochester. Washington DC.
Paulse, F., Waschke, J. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 1-3 edisi 23,
Anatomi Umum dan Sistem Muskuloskeletal. EGC. Jakarta
Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Laboratorium Ilmu Bedah, Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang
Ragheb et al. 2002. Ultrasonography of the Scrotum, Technique, Anatomy and
Pathologic Entities. Louisiana State University Medical Center. American
Institute of Ultrasound in medicine. J Ultrasound Med 21:171-185,2002
Romero, Frederico., Romero, A., Almeida, et al. 2014. Prevalence and risk factors for
scrotal lesions/anomalies in a cohort of Brazilian men ≥ 40 years of age.
Institutio Curibia de Saude (ICS. Parana. Brazil. DOI: 10.1590/1516-
3180.2014.1322495
Seo J, et al. 2014. Effect of Varicocelectomy on Male Infertility. Depertment of
Urology, Kwandong University College of Medicine, Seoul. Korean J
Urology 2014;55;703-709.
Shanmugalingam, T. et al. 2013. Global Incidence and Outcome of Testicular Cancer.
Department of Oncology King’s College London. Clinical Epidemiology
2013:5 417-427
Singh, R., Hamada, A., Bukavina L., et al. 2012. Physical Deformities Relevant to
Male Infertility. Nat.Rev. Uro. 9, 156-174(2012)
Sjamsuhidajat, R., Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 2010.799
Sutton, David. 2003. Textbook of Radiology Imaging Seventh Edition. St. Mary’s
Hospitals and Medical School. Elseveirs. London
Watanabe Y, Nagayama M, Okumura A, Amoh Y, Suga T, Terai A. MR imaging of
testicular torsion: features of testicular hemorrhagic necrosis and clinical
outcomes. J Magn Reson Imaging. 2007 Jul. 26(1):100-8