62
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru merupakan penyakit pernapasan yang bisa menganggu setiap orang. Tidak terkecuali anak-anak juga bisa terserang penyakit paru. Ada banyak jenis penyakit paru yang bisa menyerang anak-anak, diantaranya yaitu infeksi saluran pernapasan akut, bronkitis akut, asma, pneumonia, atelektasis, emfisema, pneumotoraks, emfiema torasis, dan lain-lain. penyakit paru pada anak merupakan salah satu penyakit yang cukup meresahkan orang tua. Terkadang kesibukan orang tua menyebabkan keterlambatan penanganan kesehatan anak sehingga banyak penderita penyakit paru berusia anak- anak berjatuhan bahkan meninggal dunia. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1

referat shinta ispa 1 pediatri.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Refferat Anak

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru merupakan penyakit pernapasan yang bisa menganggu

setiap orang. Tidak terkecuali anak-anak juga bisa terserang penyakit paru. Ada

banyak jenis penyakit paru yang bisa menyerang anak-anak, diantaranya yaitu

infeksi saluran pernapasan akut, bronkitis akut, asma, pneumonia, atelektasis,

emfisema, pneumotoraks, emfiema torasis, dan lain-lain. penyakit paru pada anak

merupakan salah satu penyakit yang cukup meresahkan orang tua. Terkadang

kesibukan orang tua menyebabkan keterlambatan penanganan kesehatan anak

sehingga banyak penderita penyakit paru berusia anak-anak berjatuhan bahkan

meninggal dunia.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan

angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

pertahun pada golongan usia balita, ISPA juga merupakan salah satu penyebab

utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan

berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan

rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Penyebab ISPA paling berat

disebabkan infeksi Streptococus pneumonia atau Haemophillus influenzae.

Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian

besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan

1

2

salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun

(Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati

urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu

ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei

mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan

ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan

persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).

Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun

2002, Prevalensi keluhan ISPA balita di Indonesia sebesar 18,7%, di perkotaan

(21,6%) lebih tinggi dibanding di pedesaan (16,6%). Faktor risiko keluhan ISPA

adalah sebagai berikut : gangguan asap dari pabrik sebesar 1.55 kali, lokasi rumah

di daerah rawan banjir sebesar 1.16 kali, dan status ekonomi miskin sebesar 0,89

kali.

Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit

dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam

penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun

petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan.

Mengingat bahwa ISPA merupakan salah satu penyakit yang dapat

menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi, sehingga perlu diketahui oleh

mahasiswa kedokteran, maka kami akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi

untuk mengeksplorasi populasi dengan resiko gangguan paru, khususnya ISPA

pada anak di lingkungan sekitar

2

3

1.2 Tujuan Tugas Pengenalan Profesi

1. Untuk mengetahui faktor resiko ISPA pada anak.

2. Untuk mengetahui gejala awal yang terlihat pada anak.

3. Untuk mengetahui penanganan dan pengobatan yang dilakukan

oleh orangtua si anak penderita.

1.3 Manfaat Tugas Pengenalan Profesi

1. Menambah ilmu tentang jenis-jenis penyakit paru pada anak,

khususnya ISPA

2. Menambah pengalaman dalam Eksplorasi atau Observasi Populasi

Dengan Resiko Gangguan Paru (terutama pada anak), khususnya

ISPA

3

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pernafasan

2.1.1. Anatomi Paru

Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.

pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.

Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu

jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri

menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea

akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal

bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah embrio

berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan

jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli

bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan

dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai

pertumbuhan somatic berhenti.

2.1.2. Pengertian Pernafasan

Pernafasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang

mengandung oksigen (O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang

banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari

tubuh. Sisa respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru-

paru. Udara masuk dan menetap dalam sistem pernafasan dan masuk dalam

4

5

pernafasan otot sehingga trakea dapat melakukan penyaringan, penghangatan dan

melembabkan udara yang masuk, juga melindungi organ lembut. Penghisapan ini

disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.

2.1.3. Saluran Pernafasan

Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

1. Zona Konduksi

Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara

pernapasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu

udara pernapasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga

berperan pada proses pembentukan suara. Zona konduksi terdiri dari

hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkioli terminalis.

a. Hidung

Rambut, zat mucus serta silia yang bergerak kearah faring berperan

sebagai system pembersih pada hidung. Fungsi pembersih udara ini

juga ditunjang oleh konka nasalis yang menimbulkan turbulensi aliran

udara sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel dari udara yang

seterusnya akan diikat oleh zat mucus. System turbulensi udara ini

dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari

4 mikron.

5

6

b. Faring

Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan

bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring,

serta laringofaring.

c. Trakea

Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-

muko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing

yang terikat zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau

dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang

terkandung dalam asap rokok.

d. Bronki atau bronkioli

Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan

tetapi mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada

bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah

menjadi lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur

tulang rawan menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya

dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini menyebabkan

bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan

oleh beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus

sehingga berfungsi sebagai pembersih udara. Bahan-bahan debris di

alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada alveoli,

kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.

6

7

2. Zona Respiratorik

Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang

berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli.

Selain struktur diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu

pada pintu masuk yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang

masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam

melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak.

Sistem Saluran Pernapasan

7

8

2.1.4. Fungsi Pernafasan

Adapun fungsi pernafasan yaitu :

1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh

tubuh (sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran

2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari

pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang

(karena tidak berguna lagi oleh tubuh)

3. Melembabkan udara.

Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara

berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan

dan di dalamnya aliran udara timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada

difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang

sama juga berlaku untuk gas dan uap yang dihirup. Paru-paru merupakan jalur

masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja.

Proses dari sistem pernapasan atau sistem respirasi berlangsung

beberapa tahap, yaitu :

1. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru

2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan

luar

3. Transportasi gas melalui darah

4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut

pernapasan dalam

8

9

5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang

disebut juga pernapasan seluler.

2.1.5. Mekanika Pernafasan

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu:

1. Menarik napas (inspirasi)

2. Menghembus napas (ekspirasi)

Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekskresi secara

bergantian, teratur, berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan

gerak reflek yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Reflek bernapas ini

diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung

(medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan,

memperlambat atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa reflex napas

juga di bawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka

terhadap kelebihan kadar karbon dioksida dalam darah dan kekurangan

oksigen dalam darah.

Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi

akan meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding

dada (tekanan intraktorakal). Inspirasi terjadi bila mulkulus diafragma

telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar.

Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat dapat

rangsangan kemudian mengkerut datar. Dengan demikian jarak antara

stenum (tulang dada) dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada

9

10

membesar maka pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru

maka tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.

Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan konstraksi otot

untuk menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi apabila pada suatu saat

otot-otot akan kendur lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus

interkoatalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil

kembali, maka udara didorong keluar. Terjadilah proses respirasi.

2.2 Penyakit Paru Pada Anak (ISPA)

2.2.1. Definisi

Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran

pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah

masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang

biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ

mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,

rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung

sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari.

10

11

Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran

pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah

organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti

sinus, ruang telinga tengah, dan pleura (Habeahan, 2009).

Menurut Depkes RI (1996) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu

infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing

unsur adalah sebagai berikut:

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan

pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran

pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk

jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan

ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan

(respiratory tract).

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini.

Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007).

11

12

2.2.2. Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi

dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari

1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap anak balita diperkirakan mengalami 3-6

episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA

mencakup 20-30% (Suhandayani, 2007). Untuk meningkatkan upaya perbaikan

kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program

prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat guna mencapai tujuan

Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan

Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes

RI, 2002).

Kota medan merupakan kota terbesar ketiga yang saat ini berkembang

menjadi kota Metropolitan, data profil kesehatan kota Medan berdasarkan

kunjungan di Puskesmas tahun 2003 sebesar 765.763 orang, sedangkan sampai

Juni 2004 sebesar 473.539 orang, dimana penyakit ISPA masih berada pada

urutan pertama yaitu sebanyak 225.494 pasien (47,62%). Angka tertinggi terdapat

di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu sebanyak 1.293 kasus (3,3%). Di

Kabupaten Deli Serdang pada 2004, diketahui angka morbiditas kasus ISPA

sebanyak 12.871 kasus (31,7%) dengan rincian 6.638 terjadi pada kelompok umur

bayi (51,5%) dan 6.233 kasus pada usia 1-4 tahun (48,5%) (Agustama, 2005).

12

13

2.2.3. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.

Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus,

Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya

antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,

Micoplasma, Herpesvirus.

Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.

Penyebab lainnya, yaitu :

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa

secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,

faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal

sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus

13

14

yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus

Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio

(2003), mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah

bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap

tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan

UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus

kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%

dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang

merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian

pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten

terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti

spektrum dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di

BP4 Medan didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan

positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan

yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai

sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).

Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri

Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter

aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur

sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus

aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%,

dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.

14

15

b. Manusia

1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia

dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak

di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran

nafasnya masih sempit. Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji

Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia

yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada

kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22 demikian juga

penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa

proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan

- <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar

17,9%.23

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa

penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki

dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6

tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap

15

16

ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),

didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar

58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.

3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan

penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan

tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya

didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya

tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat

berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk

(1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional didapatkan

bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko

pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus

gizi baik/normal.

Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai

cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA

dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa anak balita yang

menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak

baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA

(p = 0.038). Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk

16

17

keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur

berat badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD

2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD

3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD

4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26

4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat

lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR

mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat

≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia

adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),

didapatkan bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan

berat badan lahir <2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia

dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR 2,2 (CI 95%; 1,481-4,751),

artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,2 kali lebih

besar pada anak balita yang BBLR.

17

18

5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang

bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan

virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan

menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan

(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit)

yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula,

dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya

mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia

lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu

formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa

mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikas postnatal.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),

didapatkan bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif

menderita pneumonia sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita

pneumonia 38,8%. Hasil uji statistic diperoleh bahwa anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak balita yang

tidak mendapat ASI eksklusif.

6. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap

penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi

18

19

tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa

pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan

kesehatan anak.

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit

seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati),

tetanus, pertusis.

Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat

penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan

yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT

3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis

B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x

adalah 4 minggu.30

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),

didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian

pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji statistik

diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status

imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di

Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian

penyakit ISPA (p>0,05).

19

20

c. Lingkungan

1. Kelembaban Ruangan

Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang

kesehatan perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk

rumah sehat adalah 40- 70%, optimum 60%.

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan

(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban

ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan

hasil uji regresi, diperoleh bahwa factor kelembaban ruangan mempunyai

exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi

syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar

28 kali.

2. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu

optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah

180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.

Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko

terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

3. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini

berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut

tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di

20

21

dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi

penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah akan

baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi

minimal 10% dari luas lantai.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa

prevalens rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang

tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang

memenuhi syarat kesehatan sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh

bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan

kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

4. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan

nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena

menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di

lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru

sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa

adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan

kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

5. Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat

menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74%

wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun

21

22

2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan

penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA

pada bayi yang dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak

adalah minyak tanah sebesar 76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian penyakit ISPA

(p < 0,05).

6. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok

pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya

merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic

Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara

keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia

adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif

pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan

67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif

pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada

perempuan 1,2%.

Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada

kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14

tahun sebesar 70,5%.

22

23

Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda

disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua

ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik

diperoleh nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang

terpapar asap rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.

7. Status Ekonomi dan Pendidikan

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda

dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit,

persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal yang penting dalam

menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu

sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa

bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan

bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke

dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan

bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi

berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status

ekonominya rendah.

Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa

anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan

rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat

23

24

ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih

banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit

dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena

ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit yang diderita

oleh balitanya.

2.2.4. Patogenesis

Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar

dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem

pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap

infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga

unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:

1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.

2. Makrofag alveoli.

3. Antibodi.

Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi

pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu.

Selain itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak sila

adalah:

1) Asap rokok dan gas SO₂ yang merupakan polutan utama dalam

pencemaran udara.

2) Sindrom immotil.

3) Pengobatan dengan O₂ konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).

24

25

Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat

lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag

membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini

(Baum,1980).

Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin

A (IgA). Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi

pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa

dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang

mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas

dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980)

gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung pada:

1) Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat

virulensi jasad renik yang masuk.

2) Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa,

gerak mukosilia, makrofag alveoli dan IgA.

3) Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi

akan memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan

dengan orang dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat

tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang

belum memperoleh kekebalan alamiah.

25

26

2.2.5. Klasifikasi

a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti

menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk

yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi,

demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),

pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada

berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan

abdomen tegang.

2) Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali

per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai

dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding

dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.

2) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding

dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

3) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa

penarikan dinding dada.

4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas)

tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

5) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit

walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang

26

27

adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding

dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.

c. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek,

otitismedia, faringitis.

2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai

dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

a. Pneumonia

Definisi : Penyakit peradangan parenkim paru yang meliputi

alveolus dan jaringan interstitial.

Patofisiologi : Pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi

mikroorganisme melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing,

transplasental atau selama persalinan pada neonatus.

Etiologi :

Anak usia <3bln : Streptokokus grup B, Streptokokus Aureus,

C. Trakomatis, bakteri gram negatif.

Anak usia 3bln-5th : S. Pneumonia, H. Influenzae

Anak usia > 5th : M. Pneumonia, C. Pneumonia, S.pneumonia,

H.influenzae.

27

28

Gejala : Batuk, sesak nafas yang timbul mendadak, demam, nyeri dada

(pleuritik), espektorasi purulen.

Pemeriksaan fisik : demam (>39°c), dispneu, takipneu, nafas cuping

hidung, sianosis.

Pemeriksaan paru : retraksi dinding dada, perkusi sonor sampai redup.

Pemeriksaan penunjang :

Darah tepi : lekositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.

Analisa gas darah : hipoksemia, Asidosis respiratorik.

Foto thorax : infiltrat alveolar, konsolidasi (pneumonia lobaris),

penebalan pleura (pleuritis)

Penatalaksanaan :

Kriteria MRS :

a. Ada kesukaran nafas

b. Sianosis

c. Usia <6bln

d. Ada penyulit ( muntah-muntah, dehidrasi, empiema)

e. Diduga infeksi Staphylococcus

f. Imunokompromis

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak respon dengan pemberian antibiotik oral.

Oksigenasi

Pemberian cairan dan kalori yang cukup sesuai berat badan,

peningkatan suhu dan status dehidrasi.

28

29

Sesak tidak terlalu hebat, diet enteral bertahap melalui selang

nasogastrik

Sekresi lendir berlebihan inhalasi dengan salin normal

Asidosis, koreksi Na-bicarbonat 1 meg/kgBB atau berdasarkan

hasil AGD dengan rumus BB (kg) x 0,3 x base excess

Medikamentosa :

Berdasarkan kelompok usia :

< 3 bln : penisilin + Aminoglikosid

> 3 bln : Ampisilin + kloramfenikol

Dosis :

Ampisilin 100mg/kgBB/hari

Kloramfenikol : 100mg/kgBB/hari

Gentamisin 5mg/kgBB/hari

Sefalosporin ( Empiema) IV 48-72 jam setelah panas turun lalu

dilanjutkan per oral 7-10hari

Berdasarkan kuman penyebab :

Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral

Haemophylus influenzae/Streptococcus pneumonia : 10-14 hari

Diagnosis banding :

Bronkiolitis

Payah jantung

Aspirasi benda asing

Abses paru

29

30

Diagnosis banding pada bayi :

Meningitis

Ileus

b. Bronkiolitis

Definisi : infeksi akut pada bronkiolus ditandai dengan obstruksi

inflamasi pada saluran nafas. Sering pada anak < 2 th.

Etiologi : Respiratory syncytial virus, virus parainfluenzae, adenovirus,

mikoplasma, virus influenzae.

Patogenesis : invasi virus pada bronkiolus edema, akumulasi mukus

& debris seluler obstruksi saluran nafas kecil.

Anamnesis : pada anak usia < 2 th dengan sesak nafas, mengi ygang

timbul mengikuti ISPA

Pemeriksaan fisik : demam ringan, takipneu, sianosis, nafas cuping

hidung.

Pemeriksaan paru : suara vesikuler menurun, ekspirium di perpanjang,

wheezing.

Pemeriksaan penunjang

Analisa gas darah : pCO2 tinggi

Foto thorax AP-lateral : normal atau emfisematosa (hiperinflasi

paru), Atelektasis sekunder (obstruksi/inflamasi)

Diagnosis banding : Asma bronkiale, Aspirasi benda asing,

bronkopneumonia, Gagal jantung, Miokarditis.

30

31

Penatalaksanaan :

Oksigenasi dengan konsentrasi 35-40%

Posisi nyaman : supine dengan kepala tegak

Cairan yang cukup

Kortikosteroid : Dexamethsone 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5

mg/kgBB/hari di bagi 3-4 dosis.

Antibiotik diberikan jika curiga infeksi sekunder (Pneumonia).

Mukosilier klirens β-agonis (salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis,

sehari 4-6x diencerkan dengan saline normal) atau teofilin

inhalasi/per oral.

c. Bronkitis

Definisi : Proses keradangan pada bronkus

Etiologi :

Infeksi : virus (Parainfluenza), bakteri (streptococcus), dan

fungi (monilia)

Alergi : Asma

Kimiawi : Aspirasi susu, aspirasi isi lambung, Asap rokok,

uap/gas yang merangsang.

Gejala klinis :

Didahului ISPaA (virus)

Batuk pilek 3-4 hari

31

32

Sifat batuk : kering yang disertai nyeri/panas subternal, riak

jernih purulen setelah 10 hari menjadi encer lalu hilang, dapat

disertai muntah-muntah.

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit.

Panas sub febris

Sesak tidak ada, rhonki basah kasar / rhonki kering ada.

Dapat di temukan nasofaringitis dan conjungtivitis

Pemeriksaan penunjang :

Foto thorax : peningkatan corak bronkovaskuler / bisa juga

normal.

Laboratorium : Leukosit meningkat / normal

Penatalaksanaan :

kontrol batuk agar sekret encer dengan perbanyak minum,

pemberian uap/mukolitik bila perlu diikuiti dengan fisioterafi

dada.

Antibiotik diberikan jika ada kecurigaan infeksi sekunder

(Ampicilline, Cloxacilline, Chloramphenichole, Erythomycine)

Pemberian antitusif dan antihistamin harus diawasi, karena

dapat mengakibatkan sekret menjadi kental sehingga dapat

menimbulkan atelektasis/pneumonia.

32

33

2.2.6. Gejala klinis

Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang

beragam, antara lain:

1) Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge)

nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis

ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior

palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa

kedinginan (chilliness), demam jarang terjadi.

2) Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.

Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang

dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala

koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di

seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness).

3) Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.

Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia

dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang

konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai

dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi epidemi.

4) Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam,

menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia

yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal.

Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemi yang hebat dan

ditumpangi oleh infeksi bakterial.

33

34

5) Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit

beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering

menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi

ulkus.

6) Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (cruop), yaitu suatu

kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea,

dan stridor inspirasi yang disertai sianosis (Djojodibroto, 2009).

2.2.7. Faktor resiko

Berdasarkan hasil penelitian, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak

berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan

penghuni rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah

terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah

tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir

halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,

membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama

Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi

saluran pernafasan dan iritasimata.

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan

ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa

upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di

antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap

34

35

dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang

tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA

sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak

padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

2004).

Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih

buruknya manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya

deteksi dini kasus ISPA terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh

petugas kesehatan, serta pengetahuan yang kurang dari masyarakat akan gejala

dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus ISPA yang datang ke

sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, 2004).

2.2.8. Penatalaksanaan

Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksan ISPA ada tiga:

1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigen dan sebagainya.

2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol per oral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan

di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat

35

36

batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti

kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat

penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila

pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat)

disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai

radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari.

8.1. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya

yang menderita ISPA:

1. Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap

6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai

dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan

kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak

perlu air es).

2. Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional

yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½

sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

36

37

3. Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-

ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.

Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4. Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

5. Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal

dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan

hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan

menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan

tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak

berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk

maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan

37

38

antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali

kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.

8.2 Pencegahan dan Pemberantasan

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

1. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

2. Immunisasi.

3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

38

39

BAB III

KESIMPULAN

ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala

batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung

sampai dengan 14 hari. Menurut derajat keparahannya ISPA dapat di bagi menjadi

3 golongan yaitu ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat. Faktor resiko yang

mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA secara umum ada 3 faktor

yaitu keadaan sosial ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan

gizi dan cara pemberian makan, kebiasaan merokok dan pencemaran udara. Selain

ketiga faktor tersebut sanitasi rumah juga sangat mempengaruhi dalam kejadian

ISPA pada balita. Sanitasi rumah meliputi ventilasi, penerangan, kepadatan

hunian dan suhu ruangan.

Karena ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita, maka

diharapkan penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu pemberian

penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan

dilaksanakan secara berkesinambungan.

39

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Acute upper respiratory tract infections (URTIs). Dalam: Chapman S,

Stephen G, Stradling J, West S. Oxford Handbook of Respiratory

Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press.: 2005.hlm:448-51

2. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan

Penyakit InfeksiSaluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta.2003

3. Kajian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Universitas

sumatera Utara. Available from :

http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review.[Accessed

22 April 2010]

4. Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed.

Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC

5. Ranuh, IG. G, Pendekatan Risiko Tinggi Dalam Pengelolaan Pelayanan

Kesehatan Anak. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. FK-

UNAIR Santosa, G.

6. Depkes RI. 2005.Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Depkes RI. Jakarta.

7. Rasmaliah. 2005. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan

Penanggulangannya. www.fkusu.org/fkm infeksi saluran nafas. Diakses

tanggal 23 november 2008

40