49
REFERAT TERAPI OSTEOPOROSIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Syaraf RSUD Panembahan Senopati Bantul Disusun oleh: Ika Mira Puspita Sari 20090310058 Diajukan kepada: dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S 1

Referat Terapi Osteoporosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

syaraf

Citation preview

REFERAT TERAPI OSTEOPOROSIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat MengikutiUjian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu SyarafRSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:Ika Mira Puspita Sari 20090310058Diajukan kepada:dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU SYARAFPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FKIK UMYRSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL2014

HALAMAN PENGESAHAN

REFERATTERAPI OSTEOPOROSIS

Disusun Oleh:Ika Mira Puspita Sari20090310058

Telah dipresentasikan pada tanggal 12 September 2014dan telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing

dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S

BAB IPENDAHULUAN

Osteoporosis adalah penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnnya masa tulang, sehingga tulang mudah patah dan tidak tahan terhadap tahanan. Sebenarnya pada manusia, baik laki-laki maupun wanita sudah merupakan kodrat kalau masa tulang suatu saat akan menyusut. Hanya saja pada wanita proses penyusutannya lebih besar, karena tulang wanita sangat dipengaruhi oleh hormon Estrogen. Pada wanita penyusutan masa tulang terjadi sekitar 3 % setahun pada periode pramenopause dan akan berlanjut terus hingga 5 - 10 tahun pascamenopause. Sepanjang hidup seorang wanita, total masa tulang yang menyusut sekitar 40 -50 %.Menopause pasti akan dialami oleh kaum wanita. Menopause ditandai dengan tidak berfungsinya ke dua ovarium, sehingga terjadi penurunan produksi hormon estrogen (E).Akibat kekurangan hormon estrogen, timbullah berbagai masalah kesehatan.Salah satu masalah kesehatan jangka panjang yang disebabkan karena kekurangan hormon Estrogen adalah terjadinya kekroposan tulang, atau yang lebih dikenal dengan Osteoporosis.Osteoporosis pada wanita pasca menopause umumnya disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen.Osteoporosis ditandai dengan hilangnya masa tulang sehingga tulang mudah patah.Karena penyebabnya hormon estrogen, maka pengobatan dan pencegahannya adalah dengan pemberian hormon estrogen.Telah terbukti bahwa pemberian estrogen dapat mencegah patah tulang hingga 60%.Pada wanita pasca menopause terapi sulih hormon (HRT) merupakan pengobatan dan pencegahan yang utama. Estrogen memicu pengeluaran kalsitonin, membantu resorbsi kasium, memicu sintesis vitamin D3, menghilangkan keluhan klimakterik, dapat diberikan jangka panjang dan memicu sintesis benang-benang kolagen yang membuat tulang menjadi elastis. Osteoporosis adalah silent disease, sehingga perlu deteksi dini agar dapat mencegah patah tulang kemudian hari.

BAB IIOSTEOPOROSIS

A. DEFINISIOsteoporosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kepadatan tulang, penurunan kekuatan tulang, dan mengakibatkan tulang rapuh. Arti osteoporosis secara harfiah adalah terjadinya keropos tulang membentuk porus-porus seperti spons. Gangguan ini melemahkan tulang dan mengakibatkan sering terjadinya patah tulang.WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan T-scores. T-scores merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral tulang pada populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-score lebih besar dari -1, osteopenia memiliki nilai T-score -1 sampai -2,5, sedangkan osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari -2,5 (Dipiro et al, 2005).Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil yang biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat berupa retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang belakang. Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan daerah umum terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur osteoporosis dapat terjadi pada semua tulang rangka.

B. EPIDEMIOLOGIOsteoporosis sebenarnya merupakan kondisi yang dapat dicegah, namun dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan umum yang mengganggu. Penurunan massa, kualitas, dan kekuatan tulang berkontribusi meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur. Patah tulang (fraktur) yang berkaitan dengan osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri, kifosis, keterbatasan fisik, bahkan kematian.Prevalensi tepatnya tidak diketahui, namun hampir separuh dari penduduk amerika usia 50 tahun ke atas ,atau 44 juta orang, memiliki massa tulang yang rendah. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga lebih dari 60 juta orang selama 15 tahun ke depan. Kejadiannya sangat bervariasi dalam subpopulasi dan tergantung dari banyak faktor risiko, daerah rangka yang diukur, dan teknologi radiologi yang digunakan. Pada akhir tahun 1990an, berdasarkan pengukuran densitas mineral tulang (BMD) periferal, 40% wanita postmenopause mengalami osteopenia dan 7% mengalami osteoporosis.Saat klasifikasi BMD WHO diaplikasikan pada data dari National Health and Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III, dari tahun 1988-1994), prevalensi osteopenia dan osteoporosis pada penduduk Amerika adalah sebagai berikut :- Wanita non hispanic kulit putih : 52% dan 20%- Wanita non hispanik kulit hitam : 35% dan 5%- Wanita Amerika-meksiko : 49% dan 10%- Pria dari segala ras : 47% dan 6%, menggunakan rerata BMD pria usia muda- Pria dari segala ras : 33% dan 4%, menggunakan rerata BMD wanita usia mudaKejadian osteoporosis meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi osteoporosis bahkan lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Ratusan dan ribuan fraktur terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Risiko seumur hidup wanita kulit putih mengalami fraktur adalah 50%. Risiko fraktur meningkat seiring meningkatnya usia dan rendahnya massa densitas tulang.

C. ETIOLOGI DAN PATOGENESISPenyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan umum dijumpai adalah :1. Osteoporosis postmenopauseDalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF yang berfungsi dalam penyerapan tulang.Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang mengalami penyerapan oleh osteoklas.Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru dan memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang melebihi pembentukannya (Dipiro et al, 2005).2. Osteoporosis terkait usiaHampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan pembentukan tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan tulang jauh lebih cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular. Progresifitas resorpsi tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan resorpsi tulang lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita akan mengalami percepatan menjelang menopause.Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus, meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan. 3. Osteoporosis sekunderMerupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang.Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis.D. GEJALA DAN TANDA1. Gejala : Nyeri Imobilitas Depresi, ketakutan, dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik2. Tanda Pemendekan tinggi badan (> 1,5 inchi), kifosis, atau lordosis Fraktur tulang punggung, panggul, pergelangan tangan Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi

E. DIAGNOSISUntuk mendiagnosa osteoporosis pada pasien diperlukan :1. Riwayat penyakit dan pengobatan pasien2. Identifikasi faktor risiko3. Pemeriksaan fisik lengkap4. Tes laboratorium untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis sekunder. Parameter laboratorium yang umum digunakan adalah kadar 25 (OH) vitamin D serum, sebagai indikator status vitamin D total tubuh. Kadar 25 (OH) vitamin D serum dalam berbagai kondisi :Normal : 30 ng/mLInsufisiensi : 11 29 ng/mLDefisiensi vit D : < atau sama dengan 10 ng/mL5. Pengukuran massa tulangTerdapat berbagai metode pengukuran massa tulang, namun yang menjadi standar diagnosis osteoporosis saat ini adalah pengukuran densitas mineral tulang sentral (tulang punggung dan panggul) dengan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA). Tulang punggung dan pinggul dikelilingi berbagai jaringan halus, termasuk lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ perut. DXA memungkinkan untuk melakukan pengukuran massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam.Densitas mineral tulang dari pengukuran tersebut dapat dinyatakan dengan T-score. Nilai T-score dalam berbagai kondisi : Tulang normal : -1 (10% di bawah SD rata-rata atau lebih tinggi) Osteopenia: -1 sampai -2,5 (10-25% di bawah SD rata-rata) Osteoporosis: < atau samadengan 2,5 (25% di bawah SD rata-rata)F. PROGNOSISPrognosisnya baik dalam pencegahan osteoporosis setelah menopause jika terapi farmakologi dengan estrogen atau raloxifen dimulai sedini mungkin dan bila terapi dipertahankan dengan baik dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun). Penggunaan bifosfonat dapat memperbaiki keadaan osteoporosis pada penderita, serta mampu mengurangi risiko terjadinya patah tulang.Patah pada tulang pinggul dapat mengakibatkan menurunnya mobilitas pada pasien. Pada penelitian Hannan et al (2001) dilaporkan bahwa nilai mortalitas pada subjek penelitian (571 orang dengan usia 50 tahun atau lebih) dalam 6 bulan setelah mengalami patah pada tulang pinggul adalah sekitar 13.5% dan sejumlah penderita membutuhkan bantuan secara sepenuhnya dalam mobilitas mereka setelah mengalami patah tulang pinggul.Patah tulang belakang memiliki pengaruh lebih rendah terhadap mortalitas, serta dapat mengakibatkan nyeri kronis yang berat dan sulit untuk dikontrol. Meskipun jarang terjadi, patah tulang belakang yang parah dapat mengakibatkan bungkuk (kyphosis) yang kemudian dapat menekan organ dalam tubuh dan mengganggu sistem pernafasan dari penderita.

BAB III TERAPI OSTEOPOROSIS

Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30 tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan post-menopause.Pencegahan terjadinya osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan keadaan osteopenia (keadaan dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai normal), karena individu yang telah mengalami osteopenia dapat memiliki kemungkinan berlanjut menjadi osteoporosis bila tak ditangani sedini mungkin. Sedangkan untuk penderita osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran terapinya adalah meningkatkan kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya keropos tulang lebih lanjut dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau menghindari kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah tulang, contohnya olahraga berat.Bagi individu yang mengalami patah tulang berkaitan dengan osteoporosis, sasaran terapi adalah untuk mengontrol rasa nyeri, memaksimalkan proses rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas hidup dan kemandirian pasien, serta mencegah terjadinya patah tulang kembali atau bahkan kematian (Wells, 2006).

1. Terapi Non Farmakologia. NutrisiPasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari.b. OlahragaOlahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan (Anonim, 2011).

2. Terapi Farmakologi

Algoritma Pencegahan Osteoporosis

Semua orang sepanjang hidup seharusnya mendapat: Nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin, protein, karbohidrat). Suplemen Ca dan vitamin D bila perlu untuk meningkatkan asupan yang memadai Aktivitas fisik yang optimal (berat badan, penguatan otot, ketangkasan, keseimbangan) Gaya hidup yang sehat (tidak merokok, tidak minum alcohol, dan kafein). Pencegahan terhadap kecelakaan atau traumaAlgoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu:1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD : Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lamaTerapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)Populasi yang perlu pengukuran BMD : Untuk wanita dengan usia 65 tahun Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko osteoporotis Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggiDari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, CalcitoninJika T-score