Upload
reza
View
44
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
te
Citation preview
BAB I
`PENDAHULUAN
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun
bilateral. Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah pembedahan
eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang. Tonsilektomi merupakan
prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan
operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator
dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi
sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan
dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang menyatakan
bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-
anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan
orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi
klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang,
namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan
penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara
dan enuresis.
Tonsilektomi dilaporkan pertama kali dilakukan oleh Celsus pada tahun 30 Setelah
Masehi. Paul de Aegina kemudian mempublikasikan teknik tonsilektomi lebih detail tahun
625 Setelah Masehi. Sedangkan Wilhelm Meyer dari Denmark tahun 1867 melakukan
adenoidektomi pertama kali pada pasien dengan gejala penurunan pendengaran dan sumbatan
hidung. Samuel J. Crowe dari Johns Hopkins tahun 1900 pertama kali memakai mouth gag
dalam operasi tonsilektomi, yang sekarang dikenal Crowe-Davis gag.
Pada pertengahan abad yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya
kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas.
Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal yang ternyata
menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan
untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari sehingga dianjurkan terapi
1
dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak berdasarkan peraturan yang kaku. American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi
mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli.
Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari
jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi akibat komplikasi
bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya sendiri adalah pengambilan
keputusan dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.
Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar tonsilektomi,
yaitu penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak maupun dewasa dan terdapatnya
pertanyaan di masyarakat bagaimana sistem imunitas anak setelah dilakukannya tonsilektomi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian
terpentingnya adalah tonsil palatina atau sering disebut dengan amandel dan tonsil faringeal
(adenoid). Tonsil yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral laring dan kelenjar-
kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. Massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-3 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong di
atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.4
Gambar 1. Cincin Waldeyer4
Gambar 1. Cincin Waldeyer
Batas-batas tonsil palatina adalah:
a. Lateral– m. konstriktor faring superior
b. Anterior – m. palatoglosus
3
c. Posterior – m. palatofaringeus
d. Superior – palatum mole
e. Inferior – tonsillingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).
Gambar 2. Anatomi Tonsil
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu bata anterior adalah
otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole
dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai
palatum mole, tuba eustachius dan dasartengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding
lateral esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah
bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. 4
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.4
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut
ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi
yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :
4
a. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. Palatina
asenden.
b. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
c. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
d. A. Faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh
A.tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. Palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksusdari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal.
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (N. Trigeminus) melalui
ganglion sfeno palatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.1
2.2 Imunologi
2.2.1 Kripta dan Epitel Tonsil
Susunan kripta tubuler pada bagian dalam menjadi salah satu karakteristik tonsila
palatina. Tonsila palatina memiliki 10-30 kripta dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing
kripta tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis. Bersama dengan variasi bentuk
dan ukuran folikel limfoid menyebabkan keragaman dalam bentuk tonsil. Kripta berisi
degenerasi sel dan debris selular. Epitel kripta adalah suatu modifikasi epitel squamosa
berstratifikasi yang menutupi bagian luar tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah
limfosit intraepitel) dari epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripta memainkan peran
penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila palatina. Pada kripta antigen lumen diambil
oleh sel khusus dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel intestinal
payer’s patches atau yang dikenal sel M.5
Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor antigen ke dalam vesikel di
basolateral membran dan eksositosis ke rongga intra dan subepitel dimana akan terjadi kontak
dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari sedikit sel epitel kripta dan memiliki
5
mikrovilli khusus pada bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan
sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi mukosa atau imunisasi. Sel M
memiliki relevansi klinis karena beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk
untuk menginvasi host.5
Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel tanpa mempunyai pola
distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan dendritic cells juga berkontribusi terhadap
populasi sel non epitel. Sel plasma dominan terdapat pada sekitar kapiler intraepitel. Banyak
sel immunokompeten dalam epitel kripta menunjukkan bahwa menjadi satu
mikrokompartemen limfoid tersendiri dalam tonsila palatina.
Gambar 3. Diagram skematis tonsil palatine dan komposisi sel2
2.2.2 Folikel Limfoid
Folikel limfoid primer tampak pada tonsil dari minggu ke 16 kehamilan, dan sentrum
germinativum dibentuk segera setelah lahir. Folikel limfoid pada tonsila palatina berbentuk
bulat atau elips, terletak dibawah epitel dan pada sisi dimana terdapat intensitas maturasi dan
diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T.
Folikel limfoid sekunder berisi sentrum germinativum terdiri dari zona gelap, dengan
sejumlah besar dari proliferasi B blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apek)
terisi sebagian besar oleh sentrosit dan sebuah mantle zone berisi naïve B cells. Penggunaan
antibodi monoklonal, lima kelas sel B (Bm 1= naïve B cells sampai Bm 5= memory B cells)
telah diidentifikasi pada tonsil manusia.
6
Gambar 4. Foto mikrografi tonsila palatina menunjukkan distribusi kelas-kelas
sel T (CD 3+), sel B ( CD 20+), sel T helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD 8+).
Catatan: CD 4 Dan CD 8 tidak hanya terdapat pada sel T helper dan sel T
sitotoksik, tapi juga beberapa sel non limfoid.5
Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic cells (FDC) dan sebuah kelas
khusus sel dendritic sentrum germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum
germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar komplek imun pada membran plasma
jangka lama dan dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells (APC) yang
memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan diferensiasi sel B di sentrum
germinativum. Selanjutnya FDC berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel
B di folikel limfoid. Secara ultrastruktur yang teridentifikasi 7 populasi FDC berbeda namun
belum jelas apakah mereka memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian besar
terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak terletak pada light zone.5
2.2.3 Daerah Extrafolikuler
Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip helper, CD 4), interdigitating
dendritic cells (IDC), makrofag dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules
(HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari darah kedalam tonsil. Dalam
zona ekstrafolikuler, terdapat sel penghasil sitokin spesifik (IL-1α dan TNFα dari makrofag
sebaik IDC, IL-2 dan IFN-γ dari sel T) dan produksi antibodi.5
Lokasi tonsil sangat memungkinkan terjadinya paparan benda asing atau pathogen,
yang selanjutnya ditranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan
pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang
7
banyak sekali pada semua kompartemen tonsil. Selain itu juga terjadi pada sejumlah IDC dan
FDC yang merupakan age-dependent tonsilar involution.5
Gambaran struktur imunologis tonsil menunjukkan seluruh elemen yang dibutuhkan
untuk sistem imunologi mukosa. Bakteri, virus, atau antigen makanan akan diabsorpsi secara
selektif oleh makrofag, sel HLA (+) dan sel M dari tipe tonsil. Selanjutnya, antigen
ditransport dan dipresentasikan ke sel T pada area ekstra folikuler dan ke sel B pada sentrum
germinativum oleh FDCs.5
Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC akan
mengakibatkan terjadinya peristiwa biokimiawi dalam sel T yang merupakan sebagian signal
untuk mengaktifkan sel T, yaitu peningkatan kadar ion Ca ++ dalam sitoplasma dan
mengaktifkan enzim kinase protein C. Dua faktor tersebut belum cukup untuk mengaktifkan
sel T karena ada faktor ketiga yaitu IL-1 yang disekresi oleh APC.
Sel T yang telah aktif ditandai dengan sekresi IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2, sehingga
akan meningkatkan jumlah klon sel T sendiri, meningkatkan perbanyakan limfosit lain yang
telah diaktifkan oleh antigen yang sama atau mirip, namun tidak dapat menghasilkan IL-2
(sel CD8+), meningkatkan jumlah sel limfosit yang telah dirangsang sebelumnya tetapi
memiliki reseptor IL-2 (sel memori yang tidak spesifik terhadap antigen yang
merangsangnya), dan meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan limfosit T tetapi memiliki
reseptor IL-2 (limfosit B dan natural killer cell – NK). Hubungan antara ekspresi resptor IL-2
dengan kadar ion Ca++ intraseluler dibuktikan oleh Komada dkk (1987) yang mendapatkan
ekspresi maksimum reseptor IL-2 sesuai dengan kadar maksimum ion Ca++ intrasel.7
8
Gambar 5. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T6
Aktifasi limfosit B oleh antigen menjadi sel yang mampu menghasilkan antibodi
memerlukan bantuan sel Th. Terhadap sel B selain IL-2 yang bertindak sebagai aktifator dan
promotor pembelahan, sitokin lain yang berpengaruh adalah IL-4 sebagai aktifator limfosit B
istirahat, IL-5 sebagai faktor pertumbuhan limfosit B aktif dan IL-6 sebagai faktor
diferensiasi akhir yang mampu menjadikan sel B melepaskan immunoglobulin.
Gambar 6 . Peran sitokin pada aktivasi sel B6
Plasma sel didistribusikan pada zona ekstrafolikuler dan epitel kripta yang selanjutnya
imunoglobulin disekresikan kedalam kripta. Maka dari itu, tonsil berperan penting dalam
memelihara flora normal dalam kripta orang sehat. Selain itu tonsil juga akan mensekresikan
IgA ke dalam lumen kripta dan juga bertindak sebagai sumber sel B IgA dengan rantai J
positif dimer untuk area lain pada sistim respirasi atas seperti kelenjar parotis, lakrimalis,
mukosa hidung dan mukosa telinga tengah.6
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon
imun tahap I, respon imun tahap II dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi
ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripta yang merupakan kompartemen
tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen
melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel yang spesifik bersama
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik.
9
Bagaimanapun interaksi sel M dengan sel yang berbeda dalam sistem imun di
mikrokompartemen selama inisiasi respon imun selular atau humoral sangat tidak dimengerti.
Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas
limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin berbeda.
Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara
dominan stimulasi antigen lokal oleh limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid.
Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-2, IL-4, IL-6, TNF-α, TNF-β /
LT-α, INF γ dan TGF-β.
Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa mature memory
cells B dengan potensial APC yang memungkinkan terjadinya kontak antara antigen
presenting B cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig
dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55%
Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA.
IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina.Produksi J-
chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui
komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel
(29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio
ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripta.
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte
dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, IDC
dan makrofag memproses antigen dan menampakkan antigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel
TFH kemudian menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari dark
zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi
melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%,
sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak
antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan
respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan
beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil
melaui HEV dan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu
masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin
dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripta akan menarik sel B untuk berperan didalam
kripta.5
10
2.3 Tonsilektomi
2.3.1 Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1
2.3.2 Epidemiologi
Tonsilektomi dilaporkan pertama kali dilakukan oleh Celsus pada tahun 30 AD.
Paul de Aegina kemudian mempublikasikan teknik tonsilektomi lebih detail tahun 625 AD.
Sedangkan Wilhelm Meyer dari Denmark tahun 1867 melakukan adenoidektomi pertama kali
pada pasien dengan gejala penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Samuel J. Crowe
dari Johns Hopkins tahun 1900 pertama kali memakai mouth gag dalam operasi tonsilektomi,
yang sekarang dikenal Crowe-Davis gag.8
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000
anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari
jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya
(13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan
pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per
100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200
operasi).1
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5
tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi
tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan
puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152
kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah
operasi tonsiloadenoidektomi.1
11
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah
operasi tonsiloadenoidektomi.1
Tonsilektomi merupakan tindakan operasi tersering pada bidang THT. Indikasi bagi
tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau
lebih episode sakit tenggorok dikarenakan tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode dalam dua
tahun dan 3 episode dalam 3 tahun. Indikasi lain yang dijadikan landasan untuk melakukan
tonsilektomi adalah riwayat peritonsilar abses, karier Streptococcus Beta Hemolyticus Group
A dan gangguan fungsi normal.
Pada tonsilitis kronik telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan
fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil
sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden
sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. 7
Tonsilektomi dapat dikerjakan dengan indikasi yang tepat sehingga didapatkan
keuntungan nyata, mengingat peranan tonsil sebagai bagian system pertahanan tubuh.
Berdasar penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tonsilektomi pada tonsilitis
rekuren atau kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorok, meningkatkan
QOL, menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban secara ekonomi
pada penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan pada tonsilitis kronik yang
telah mengganggu fungsi normal seperti obstructive sleeps disorders dan gangguan fungsi
digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa, demam rematik tonsilektomi
dikerjakan untuk menghilangkan fokal infeksi.7
2.3.3 Indikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal
oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara
Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan
berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi
perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang umumnya berkisar pada jumlah
penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau relatif serta terakhir
frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.1
12
Gambar 7. Tonsilektomi
Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil
berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3
kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan
jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik
akan menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi
ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan
jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan
tonsil sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri, tonsilitis kronik
sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan radang
kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. 1
Pada tonsilitis kronik, kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga
menyebabkan tonsil berubah sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil
sebagai fokal infeksi bagi timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam
rematik atau glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat
di jumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta hemo-litikus tipe A. Kuman ini
menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0
(ASTO). Bila kadarnya dalam darah cukup tinggi (lebih dari 400 u/ml), dapat menunjukkan
adanya infeksi fokal di tonsil. 1
13
Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas, mulai dari
mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya aliran udara
melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep apnea adalah apnea
yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur. Di samping ukuran tonsil, luas orofaring
terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam menimbulkan sumbatan
jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran tonsil sedang.
Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah tonsilektomi. 1
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan
atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. 1
Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila dicurigai adanya keganasan
seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi.1
Tabel 1. Indikasi Tonsilektomi
NO. SUMBER INDIKASI
1. American Academy of
Otolaryngology-Head and
Neck Surgery (AAO-
HNS)14
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase
14
resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu
keganasan.
2. Scottish Intercollegiate
Guidelines Network55
Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti
ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus
memenuhi semua kriteria di bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai mengganggu
pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal
3. Evidence Based Medicine
Guidelines56
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan
hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler,
septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40
tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep
apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi.
Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri
tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang dengan pengobatan
biasa.
4. INSALUD (National
Institute of Health)
Spanyol3
Indikasi absolut
Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada
rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat
dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau
lebih episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2
tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun
15
sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian
Infeksi saluran nafas atas atau bawah
Penyakit sistemik
5. National Health & Medical
Research Council, 1991
(Australia)3
Faringitis rekuren
Faringitis kronik
Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma
6. Henry Ford Medical
Group, 1995 (USA)3
Berdasarkan hasil literatur review:
Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience
7. Infectious Disease Society
of America3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis streptokokus rekuren
8. American Academy of
Pediatrics3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren
2.3.4 Sistem Imun Pasca Tonsilektomi
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Liaw pada tahun 1997, mendapatkan bahwa
terjadi peningkatan angka penderita penyakit hodkins setelah dilakukannya tonsilektomi. Hal
ini disebabkan terjadinya gangguan fungsi imunitas pada daerah faring, selain itu disebabkan
karena paparan yang berulang oleh Epstein Barr Virus. Penelitian yang dilakukan oleh Kaiser
pada tahun 1927 dan cunningham tahun 1931 dikutip oleh Arnold JW, menyimpulkan bahwa
tindakan adenotonsilektomi dapat menurunkan insiden terjadinya penyakit demam rematik,
chorea, dan penyakit jantung.9
Penelitian yang dilakukan oleh Ogra pada tahun 1971 dikutip oleh Wood,
menyimpulkan bahwa terjadi penurunan antibodi IgA yang signifikan pada pasien pasca
16
tonsilektomi dan didapatkan peningkatan kejadian poliomeilitis setelah dilakukan imunisasi.
Hal tersebut juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ballester, dkk pada tahun
2006 yang menyimpulkan bahwa terdapat penurunan jumlah level serum IgA pada pasien
yang menjalani tonsilektomi. Namun penurunan IgA yang lebih signifikan terjadi bila
dilakukan tindakan tonsilektomi dan apendektomi sekaligus. Donovan melalui penelitiannya
pada tahun 1973 mendapatkan peningkatan terjadinya resiko infeksi oleh kuman
Haemophilus influenzae akibat penurunan serum IgA setelah operasi tonsilektomi.
IgA merupakan antibodi yang dihasilkan oleh jaringan mukosa limfoid.Transpor
aktifnya melalui epitel. IgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara
menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus
menembus mukosa. Terjadinya penurunan level serum IgA yang dikenal dengan istilah
defisiensi serum IgA akan menyebabkan berkurangnya pertahanan pada mukosa. Produksi
IgA bukan hanya dihasilkan oleh tonsil.Salah satu organ yang menghasilkan jumlah IgA yang
cukup besar adalah usus halus dibagian lamina propria.
Penelitian yang dilakukan oleh Xie pada tahun 2002, membandingkan manfaat
dilakukannya tonsilektomi pada pasien dengan penyakit IgA nefropati. Ternyata efek jangka
panjang tindakan tonsilektomi sangat bermanfaat dalam mengurangi serum level IgA
sehingga mengurangi deposit pada ginjal yang akhirnya mencegah terjadinya
glomerulonefritis.
Penelitian yang dilakukan oleh Faramarzi, dkk pada tahun 2006 menyimpulkan
terjadinya penurunan jumlah limfosit T, namun akan kembali normal sekitar 8 minggu paska
tonsilektomi. Tidak terdapat perubahan yang bermakna pada level serum IgG, IgM dan
jumlah limfosit B sebelum dan sesudah tonsilektomi. Terjadi peningkatan level serum IgA
ketika 2 minggu setelah dilakukannya tonsilektomi, namun pengukuran IgA yang dilakukan 8
minggu setelah tindakan tonsilektomi didapatkan penurunan level serum.10
Tabel 2. Level serum IgM, IgG, IgA sebelum (Tes pertama) dan sesudah (Tes kedua dan ketiga)
menjalani tonsilektomi
AntibodiTes pertama
(mg/ml)
Tes kedua
(mg/ml)
Tes ketiga
(mg/ml)
Normal
(mg/ml)
IgM 2.65±1.4 2.73±1.4 2.93±1.4 1.5
IgG 8.28±1.6 8.04±1.7 8.14±2.6 13.5
IgA 2.92±1.5 3.61±1.6 2.69±1.6 3.5
17
Penelitian yang dilakukan Cantani pada tahun 1986, dikutip oleh Faramarzi, juga
menyimpulkan hal yang sama. Penurunan serum IgA dapat terjadi setelah dilakukannya
tonsilektomi. Namun pada minggu kedua akan terjadi peningkatan yang signifikan pada
pengukuran serum tersebut dan 8 minggu setelah dilakukan tonsilektomi level serum IgA
akan mengalami penurunan kembali, sama seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Faramarzi, dkk.10
Menurut Kaygusuz pada tahun 2003, terjadi penurunan yang tidak signifikan pada
level serum CD3+, CD8+, dan CD19+. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada level
serum CD4+ dan penurunan signifikan level serum CD25+ setelah tindakan tonsilektomi.
Terdapat penurunan pada level serum IgA, IgG, IgM serta komplemen C3 dan C4 dan
bahkan pengukuran yang dilakukan 1 bulan setelah tonsilektomi terjadi penurunan yang
cukup signifikan pada level serum tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh saintz, dkk pada tahun 1992 dikutip oleh Kaygusuz
menyimpulkan bahwa penurunan yang signifikan pada level serum IgA, IgG, dan IgM
bahkan terjadi hingga 2 bulan setelah dilakukannya tonsilektomi. Penelitian yang sama
dilakukan oleh Jurkiewicz pada tahun 2002 juga menemukan penurunan pada imunoglobulin
tersebut. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada level serum komplemen C3 dan
C4 sebelum dan sesudah tonsilektomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan
tonsilektomi menyebabkan terjadinya defisit imunitas humoral, dalam hal ini produksi
imunoglobulin.
Pengukuran level serum imunoglobulin sebelum dilakukan tonsilektomi didapatkan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol. Peningkatan kadar imunoglobulin
ini disebabkan oleh stimulasi antigen yang konstan pada proses infeksi di tonsil. Selanjutnya
setelah dilakukannya tindakan tonsilektomi terjadi penurunan pada level serum
imunoglobulin. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya proses perbaikan pada jaringan
tonsil yang terinfeksi dan juga akibat hilangnya antigen yang melakukan stimulasi tersebut.
Pengamatan yang dilakukan oleh Baradaranfar melalui penelitiannya di Turki pada
tahun 2007, dimana level serum limfosit T dan B, IgG dan IgM menurun setelah operasi
tonsilektomi namun peningkatan yang signifikan akan terjadi 6 bulan paska tonsilektomi.11
Tabel 2. Perbandingan parameter imunitas seluler dan humoral sebelum dan 6 bulan
sesudah tonsilektomi
Parameter Sebelum operasi Sesudah operasi P value
CD3 60.1±10.3 55.36±9 0.04
18
CD4 36.73±7.43 34.39±6.25 0.13
CD8 24.63±4.41 22.47±3.85 0.03
CD4/CD8 1.51±0.29 1.56±0.33 0.45
CD20 19.19±5.09 16.04±5.40 0.03
IgG (mg/ml) 943.33±77.38 1110±172.90 0.00
IgM (mg/ml) 87.00±17.59 82.16±20.11 0.17
Penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Kaygusuz pada tahun 2009.
Membandingkan level serum IgG, IgA, IgM, C3 dan C4 pada pasien 1 bulan dan 54 bulan
setelah adenotonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sehingga penelitian ini
menyimpulkan bahwa dilakukannya tindakan adenotonsilektomi tidak akan menyebabkan
penurunan imunitas seluler dan humoral.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhardjo pada tahun 2007, memberikan hasil bahwa
tindakan adenotonsilektomi yang dilakukan pada penderita adenotonsilits kronis dengan
keluhan kelainan Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), akan berdampak pada
perbaikan sistem imunitas seluler dan humoral. Perbaikan kondisi hipoksia akan
meningkatkan aktifitas interferon γ (IFN γ), mendorong peningkatan aktifitas makrofag dan
monosit sehingga memulihkan aktifitas respon imunitas alami. Perubahan perfusi yang
mendadak dari kondisi hipoksia (efek withdrawl) menyebabkan Th2 mensekresi IL-10 dan
IL-4. Peningkatan sekresi IL-4 dapat memodulasi sekresi IgG, sedangkan sekresi IL-10 dapat
digunakan untuk regulasi aktivitas Th1 dan monosit.6
Perbaikan sistem imunitas seluler dan humoral bukan hanya terjadi pada pasien dengan
OSAS, hal ini terlihat melalui penelitian yang dilakukan oleh Baradaranfar. Pengukuran yang
dilakukan terhadap level serum limfosit T dan B, IgG dan IgM pasien adenotonsilitis kronis
sebelum tonsilektomi cukup rendah, dan pada 6 bulan berikutnya terjadi peningkatan atau
perbaikan pada sistem imunitas seluler dan humoral penderita tonsilitis kronis.11
2.3.5 Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang
“manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah infeksi pernapasan bagian atas yang berulang,
infeksi sistemik atau kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya, pembesaran tonsil
tanpa gejala-gejala obstruksi, rhinits alergika, asma, ketidakmampuan yang umum atau
19
kegagalan untuk tumbuh, tonus otot yang lemah, sinusitis, risiko anestesi yang besar atau atau
penyakit yang berat, anemia, gangguan perdarahan, infeksi akut yang berat, radang akut
tonsil, albuminuria, hipertensi dan poliomyelitis epidemic.1,4
20
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun
bilateral. Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah dikatakan
banyak sekali kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan tonsilektomi dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada
tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orang tua
tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Sering
kali pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengangkatan tonsil. Kebanyakan
anak-anak mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan
pertumbuhan usia. Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan
bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Sehingga American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi
mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Berdasarkan indikasi
dan kontraindikasi serta mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi, diharapkan
dokter spesialis THT yang melakukan tonsilektomi dapat lebih selektif dalam memilih
pasien.
Tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorokan, meningkatkan quality of
life (QOL), menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban secara
ekonomi pada penderita tonsilitis. Efek jangka panjang tindakan tonsilektomi sangat
bermanfaat dalam mengurangi serum level IgA, juga berdampak pada perbaikan sistem
imunitas seluler dan humoral.
Dengan demikian, harus dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai tonsilektomi.
Bagaimana pendapat di bagian THT dan bagian anak mengenai indikasi dan efek pasca
tonsilektomi.
21
DAFTAR PUSTAKA
22