33
BAB I `PENDAHULUAN Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun bilateral. Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit. Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis. 1

REFERAT TONSILEKTOMI

  • Upload
    reza

  • View
    44

  • Download
    16

Embed Size (px)

DESCRIPTION

te

Citation preview

Page 1: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB I

`PENDAHULUAN

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun

bilateral. Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah pembedahan

eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang. Tonsilektomi merupakan

prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan

operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator

dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi

digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi

sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah

operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan

dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang menyatakan

bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-

anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan

orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi

klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang,

namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan

penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara

dan enuresis.

Tonsilektomi dilaporkan pertama kali dilakukan oleh Celsus pada tahun 30 Setelah

Masehi. Paul de Aegina kemudian mempublikasikan teknik tonsilektomi lebih detail tahun

625 Setelah Masehi. Sedangkan Wilhelm Meyer dari Denmark tahun 1867 melakukan

adenoidektomi pertama kali pada pasien dengan gejala penurunan pendengaran dan sumbatan

hidung. Samuel J. Crowe dari Johns Hopkins tahun 1900 pertama kali memakai mouth gag

dalam operasi tonsilektomi, yang sekarang dikenal Crowe-Davis gag.

Pada pertengahan abad yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya

kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas.

Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal yang ternyata

menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan

untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari sehingga dianjurkan terapi

1

Page 2: REFERAT TONSILEKTOMI

dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak berdasarkan peraturan yang kaku. American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi

mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli.

Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari

jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi akibat komplikasi

bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya sendiri adalah pengambilan

keputusan dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.

Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar tonsilektomi,

yaitu penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak maupun dewasa dan terdapatnya

pertanyaan di masyarakat bagaimana sistem imunitas anak setelah dilakukannya tonsilektomi.

2

Page 3: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian

terpentingnya adalah tonsil palatina atau sering disebut dengan amandel dan tonsil faringeal

(adenoid). Tonsil yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral laring dan kelenjar-

kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding

posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. Massa jaringan limfoid yang terletak di

dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan

panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-3 kriptus yang meluas ke dalam

jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong di

atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.4

Gambar 1. Cincin Waldeyer4

Gambar 1. Cincin Waldeyer

Batas-batas tonsil palatina adalah:

a. Lateral– m. konstriktor faring superior 

b. Anterior – m. palatoglosus

3

Page 4: REFERAT TONSILEKTOMI

c. Posterior – m. palatofaringeus

d. Superior – palatum mole

e. Inferior – tonsillingual

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel

germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).

Gambar 2. Anatomi Tonsil

Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu bata anterior adalah

otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.

Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole

dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai

palatum mole, tuba eustachius dan dasartengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding

lateral esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak

terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah

bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. 4

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat, yang

disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para

klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.4

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika

triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut

ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi

yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :

4

Page 5: REFERAT TONSILEKTOMI

a. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. Palatina

asenden.

b. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.

c. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.

d. A. Faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan

bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh

A.tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. Palatina

desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksusdari

faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus

faringeal.

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal

profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus,

selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak

ada.

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (N. Trigeminus) melalui

ganglion sfeno palatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.1

 

2.2 Imunologi

2.2.1 Kripta dan Epitel Tonsil

Susunan kripta tubuler pada bagian dalam menjadi salah satu karakteristik tonsila

palatina. Tonsila palatina memiliki 10-30 kripta dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing

kripta tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis. Bersama dengan variasi bentuk

dan ukuran folikel limfoid menyebabkan keragaman dalam bentuk tonsil. Kripta berisi

degenerasi sel dan debris selular. Epitel kripta adalah suatu modifikasi epitel squamosa

berstratifikasi yang menutupi bagian luar tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah

limfosit intraepitel) dari epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripta memainkan peran

penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila palatina. Pada kripta antigen lumen diambil

oleh sel khusus dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel intestinal

payer’s patches atau yang dikenal sel M.5

Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor antigen ke dalam vesikel di

basolateral membran dan eksositosis ke rongga intra dan subepitel dimana akan terjadi kontak

dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari sedikit sel epitel kripta dan memiliki

5

Page 6: REFERAT TONSILEKTOMI

mikrovilli khusus pada bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan

sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi mukosa atau imunisasi. Sel M

memiliki relevansi klinis karena beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk

untuk menginvasi host.5

Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel tanpa mempunyai pola

distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan dendritic cells juga berkontribusi terhadap

populasi sel non epitel. Sel plasma dominan terdapat pada sekitar kapiler intraepitel. Banyak

sel immunokompeten dalam epitel kripta menunjukkan bahwa menjadi satu

mikrokompartemen limfoid tersendiri dalam tonsila palatina.

Gambar 3. Diagram skematis tonsil palatine dan komposisi sel2

2.2.2 Folikel Limfoid

Folikel limfoid primer tampak pada tonsil dari minggu ke 16 kehamilan, dan sentrum

germinativum dibentuk segera setelah lahir. Folikel limfoid pada tonsila palatina berbentuk

bulat atau elips, terletak dibawah epitel dan pada sisi dimana terdapat intensitas maturasi dan

diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T.

Folikel limfoid sekunder berisi sentrum germinativum terdiri dari zona gelap, dengan

sejumlah besar dari proliferasi B blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apek)

terisi sebagian besar oleh sentrosit dan sebuah mantle zone berisi naïve B cells. Penggunaan

antibodi monoklonal, lima kelas sel B (Bm 1= naïve B cells sampai Bm 5= memory B cells)

telah diidentifikasi pada tonsil manusia.

6

Page 7: REFERAT TONSILEKTOMI

Gambar 4. Foto mikrografi tonsila palatina menunjukkan distribusi kelas-kelas

sel T (CD 3+), sel B ( CD 20+), sel T helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD 8+).

Catatan: CD 4 Dan CD 8 tidak hanya terdapat pada sel T helper dan sel T

sitotoksik, tapi juga beberapa sel non limfoid.5

Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic cells (FDC) dan sebuah kelas

khusus sel dendritic sentrum germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum

germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar komplek imun pada membran plasma

jangka lama dan dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells (APC) yang

memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan diferensiasi sel B di sentrum

germinativum. Selanjutnya FDC berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel

B di folikel limfoid. Secara ultrastruktur yang teridentifikasi 7 populasi FDC berbeda namun

belum jelas apakah mereka memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian besar

terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak terletak pada light zone.5

2.2.3 Daerah Extrafolikuler

Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip helper, CD 4), interdigitating

dendritic cells (IDC), makrofag dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules

(HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari darah kedalam tonsil. Dalam

zona ekstrafolikuler, terdapat sel penghasil sitokin spesifik (IL-1α dan TNFα dari makrofag

sebaik IDC, IL-2 dan IFN-γ dari sel T) dan produksi antibodi.5

Lokasi tonsil sangat memungkinkan terjadinya paparan benda asing atau pathogen,

yang selanjutnya ditranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan

pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang

7

Page 8: REFERAT TONSILEKTOMI

banyak sekali pada semua kompartemen tonsil. Selain itu juga terjadi pada sejumlah IDC dan

FDC yang merupakan age-dependent tonsilar involution.5

Gambaran struktur imunologis tonsil menunjukkan seluruh elemen yang dibutuhkan

untuk sistem imunologi mukosa. Bakteri, virus, atau antigen makanan akan diabsorpsi secara

selektif oleh makrofag, sel HLA (+) dan sel M dari tipe tonsil. Selanjutnya, antigen

ditransport dan dipresentasikan ke sel T pada area ekstra folikuler dan ke sel B pada sentrum

germinativum oleh FDCs.5

Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC akan

mengakibatkan terjadinya peristiwa biokimiawi dalam sel T yang merupakan sebagian signal

untuk mengaktifkan sel T, yaitu peningkatan kadar ion Ca ++ dalam sitoplasma dan

mengaktifkan enzim kinase protein C. Dua faktor tersebut belum cukup untuk mengaktifkan

sel T karena ada faktor ketiga yaitu IL-1 yang disekresi oleh APC.

Sel T yang telah aktif ditandai dengan sekresi IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2, sehingga

akan meningkatkan jumlah klon sel T sendiri, meningkatkan perbanyakan limfosit lain yang

telah diaktifkan oleh antigen yang sama atau mirip, namun tidak dapat menghasilkan IL-2

(sel CD8+), meningkatkan jumlah sel limfosit yang telah dirangsang sebelumnya tetapi

memiliki reseptor IL-2 (sel memori yang tidak spesifik terhadap antigen yang

merangsangnya), dan meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan limfosit T tetapi memiliki

reseptor IL-2 (limfosit B dan natural killer cell – NK). Hubungan antara ekspresi resptor IL-2

dengan kadar ion Ca++ intraseluler dibuktikan oleh Komada dkk (1987) yang mendapatkan

ekspresi maksimum reseptor IL-2 sesuai dengan kadar maksimum ion Ca++ intrasel.7

8

Page 9: REFERAT TONSILEKTOMI

Gambar 5. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T6

Aktifasi limfosit B oleh antigen menjadi sel yang mampu menghasilkan antibodi

memerlukan bantuan sel Th. Terhadap sel B selain IL-2 yang bertindak sebagai aktifator dan

promotor pembelahan, sitokin lain yang berpengaruh adalah IL-4 sebagai aktifator limfosit B

istirahat, IL-5 sebagai faktor pertumbuhan limfosit B aktif dan IL-6 sebagai faktor

diferensiasi akhir yang mampu menjadikan sel B melepaskan immunoglobulin.

Gambar 6 . Peran sitokin pada aktivasi sel B6

Plasma sel didistribusikan pada zona ekstrafolikuler dan epitel kripta yang selanjutnya

imunoglobulin disekresikan kedalam kripta. Maka dari itu, tonsil berperan penting dalam

memelihara flora normal dalam kripta orang sehat. Selain itu tonsil juga akan mensekresikan

IgA ke dalam lumen kripta dan juga bertindak sebagai sumber sel B IgA dengan rantai J

positif dimer untuk area lain pada sistim respirasi atas seperti kelenjar parotis, lakrimalis,

mukosa hidung dan mukosa telinga tengah.6

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon

imun tahap I, respon imun tahap II dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi

ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripta yang merupakan kompartemen

tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen

melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel yang spesifik bersama

dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik.

9

Page 10: REFERAT TONSILEKTOMI

Bagaimanapun interaksi sel M dengan sel yang berbeda dalam sistem imun di

mikrokompartemen selama inisiasi respon imun selular atau humoral sangat tidak dimengerti.

Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas

limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin berbeda.

Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara

dominan stimulasi antigen lokal oleh limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid.

Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-2, IL-4, IL-6, TNF-α, TNF-β /

LT-α, INF γ dan TGF-β.

Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa mature memory

cells B dengan potensial APC yang memungkinkan terjadinya kontak antara antigen

presenting B cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig

dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55%

Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA.

IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina.Produksi J-

chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui

komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel

(29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio

ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripta.

Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte

dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, IDC

dan makrofag memproses antigen dan menampakkan antigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel

TFH kemudian menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari dark

zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi

melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%,

sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak

antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan

respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan

beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.

Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari

penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil

melaui HEV dan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu

masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin

dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripta akan menarik sel B untuk berperan didalam

kripta.5

10

Page 11: REFERAT TONSILEKTOMI

2.3 Tonsilektomi

2.3.1 Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring

yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1

2.3.2 Epidemiologi

Tonsilektomi dilaporkan pertama kali dilakukan oleh Celsus pada tahun 30 AD.

Paul de Aegina kemudian mempublikasikan teknik tonsilektomi lebih detail tahun 625 AD.

Sedangkan Wilhelm Meyer dari Denmark tahun 1867 melakukan adenoidektomi pertama kali

pada pasien dengan gejala penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Samuel J. Crowe

dari Johns Hopkins tahun 1900 pertama kali memakai mouth gag dalam operasi tonsilektomi,

yang sekarang dikenal Crowe-Davis gag.8

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,

adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini

menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000

anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari

jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya

(13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan

pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per

100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200

operasi).1

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5

tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi

tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan

puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152

kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)

menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah

operasi tonsiloadenoidektomi.1

11

Page 12: REFERAT TONSILEKTOMI

Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)

menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah

operasi tonsiloadenoidektomi.1

Tonsilektomi merupakan tindakan operasi tersering pada bidang THT. Indikasi bagi

tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau

lebih episode sakit tenggorok dikarenakan tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode dalam dua

tahun dan 3 episode dalam 3 tahun. Indikasi lain yang dijadikan landasan untuk melakukan

tonsilektomi adalah riwayat peritonsilar abses, karier Streptococcus Beta Hemolyticus Group

A dan gangguan fungsi normal.

Pada tonsilitis kronik telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan

fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil

sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden

sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. 7

Tonsilektomi dapat dikerjakan dengan indikasi yang tepat sehingga didapatkan

keuntungan nyata, mengingat peranan tonsil sebagai bagian system pertahanan tubuh.

Berdasar penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tonsilektomi pada tonsilitis

rekuren atau kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorok, meningkatkan

QOL, menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban secara ekonomi

pada penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan pada tonsilitis kronik yang

telah mengganggu fungsi normal seperti obstructive sleeps disorders dan gangguan fungsi

digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa, demam rematik tonsilektomi

dikerjakan untuk menghilangkan fokal infeksi.7

2.3.3 Indikasi Tonsilektomi

Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal

oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara

Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan

berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi

perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang umumnya berkisar pada jumlah

penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau relatif serta terakhir

frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.1

12

Page 13: REFERAT TONSILEKTOMI

Gambar 7. Tonsilektomi

Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil

berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3

kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan

jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik

akan menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi

ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan

jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan

tonsil sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri, tonsilitis kronik

sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan radang

kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. 1

Pada tonsilitis kronik, kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga

menyebabkan tonsil berubah sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil

sebagai fokal infeksi bagi timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam

rematik atau glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat

di jumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta hemo-litikus tipe A. Kuman ini

menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0

(ASTO). Bila kadarnya dalam darah cukup tinggi (lebih dari 400 u/ml), dapat menunjukkan

adanya infeksi fokal di tonsil. 1

13

Page 14: REFERAT TONSILEKTOMI

Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas, mulai dari

mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya aliran udara

melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep apnea adalah apnea

yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur. Di samping ukuran tonsil, luas orofaring

terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam menimbulkan sumbatan

jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran tonsil sedang.

Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah tonsilektomi. 1

Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini

belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis

menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan

atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. 1

Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila dicurigai adanya keganasan

seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi.1

Tabel 1. Indikasi Tonsilektomi

NO. SUMBER INDIKASI

1. American Academy of

Otolaryngology-Head and

Neck Surgery (AAO-

HNS)14

Indikasi Absolut

Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran

napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi

kardiopulmoner

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan

medis dan drainase

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan

patologi anatomi

Indikasi Relatif

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan

terapi antibiotik adekuat

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan

pemberian terapi medis

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang

tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase

14

Page 15: REFERAT TONSILEKTOMI

resisten

Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu

keganasan.

2. Scottish Intercollegiate

Guidelines Network55

Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti

ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus

memenuhi semua kriteria di bawah:

Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis

5 atau lebih episode sore throat per tahun

Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.

Keparahan episode sore throat sampai mengganggu

pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal

3. Evidence Based Medicine

Guidelines56

Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan

hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan

Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler,

septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40

tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.

Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi)

Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep

apnea, kelainan oklusi gigi

Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi.

Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri

tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang dengan pengobatan

biasa.

4. INSALUD (National

Institute of Health)

Spanyol3

Indikasi absolut

Kanker tonsil

Penyumbatan saluran nafas berat pada

rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2

Indikasi relatif

Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat

dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau

lebih episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2

tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun

15

Page 16: REFERAT TONSILEKTOMI

sebelumnya.

Abses peritonsilar

Tidak diindikasikan

Otitis media akut atau kronik

Sinusitis akut atau kronik

Ketulian

Infeksi saluran nafas atas atau bawah

Penyakit sistemik

5. National Health & Medical

Research Council, 1991

(Australia)3

Faringitis rekuren

Faringitis kronik

Obstruksi jalan nafas

Dugaan neoplasma

6. Henry Ford Medical

Group, 1995 (USA)3

Berdasarkan hasil literatur review:

Tonsilitis

Hipertrofi tonsil

Experience

7. Infectious Disease Society

of America3

Berdasarkan hasil literatur review:

Faringitis streptokokus rekuren

8. American Academy of

Pediatrics3

Berdasarkan hasil literatur review:

Faringitis rekuren

2.3.4 Sistem Imun Pasca Tonsilektomi

          Penelitian kohort yang dilakukan oleh Liaw pada tahun 1997, mendapatkan bahwa

terjadi peningkatan angka penderita penyakit hodkins setelah dilakukannya tonsilektomi. Hal

ini disebabkan terjadinya gangguan fungsi imunitas pada daerah faring, selain itu disebabkan

karena paparan yang berulang oleh Epstein Barr Virus. Penelitian yang dilakukan oleh Kaiser

pada tahun 1927 dan cunningham tahun 1931 dikutip oleh Arnold JW, menyimpulkan bahwa

tindakan adenotonsilektomi dapat menurunkan insiden terjadinya penyakit demam rematik,

chorea, dan penyakit jantung.9

          Penelitian yang dilakukan oleh Ogra pada tahun 1971 dikutip oleh Wood,

menyimpulkan bahwa terjadi penurunan antibodi IgA yang signifikan pada pasien pasca

16

Page 17: REFERAT TONSILEKTOMI

tonsilektomi dan didapatkan peningkatan kejadian poliomeilitis setelah dilakukan imunisasi.

Hal tersebut juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ballester, dkk pada tahun

2006 yang menyimpulkan bahwa terdapat penurunan jumlah level serum IgA pada pasien

yang menjalani tonsilektomi. Namun penurunan IgA yang lebih signifikan terjadi bila

dilakukan tindakan tonsilektomi dan apendektomi sekaligus. Donovan melalui penelitiannya

pada tahun 1973 mendapatkan peningkatan terjadinya resiko infeksi oleh kuman

Haemophilus influenzae akibat penurunan serum IgA setelah operasi tonsilektomi.

          IgA merupakan antibodi yang dihasilkan oleh jaringan mukosa limfoid.Transpor

aktifnya melalui epitel. IgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara

menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus

menembus mukosa. Terjadinya penurunan level serum IgA yang dikenal dengan istilah

defisiensi serum IgA akan menyebabkan berkurangnya pertahanan pada mukosa. Produksi

IgA bukan hanya dihasilkan oleh tonsil.Salah satu organ yang menghasilkan jumlah IgA yang

cukup besar adalah usus halus dibagian lamina propria.

          Penelitian yang dilakukan oleh Xie pada tahun 2002,  membandingkan manfaat

dilakukannya tonsilektomi pada pasien dengan penyakit IgA nefropati. Ternyata efek jangka

panjang tindakan tonsilektomi sangat bermanfaat dalam mengurangi serum level IgA

sehingga mengurangi deposit pada ginjal yang akhirnya mencegah terjadinya

glomerulonefritis.

           Penelitian yang dilakukan oleh Faramarzi, dkk pada tahun 2006 menyimpulkan

terjadinya penurunan jumlah limfosit T, namun akan kembali normal sekitar 8 minggu paska

tonsilektomi. Tidak terdapat perubahan yang bermakna pada level serum IgG, IgM dan

jumlah limfosit B sebelum dan sesudah tonsilektomi. Terjadi peningkatan level serum IgA

ketika 2 minggu setelah dilakukannya tonsilektomi, namun pengukuran IgA yang dilakukan 8

minggu setelah tindakan tonsilektomi didapatkan penurunan level serum.10

Tabel 2. Level serum IgM, IgG, IgA sebelum (Tes pertama) dan sesudah (Tes kedua dan ketiga)

menjalani tonsilektomi

AntibodiTes pertama

(mg/ml)

Tes kedua

(mg/ml)

Tes ketiga

(mg/ml)

Normal

(mg/ml)

IgM 2.65±1.4 2.73±1.4 2.93±1.4 1.5

IgG 8.28±1.6 8.04±1.7 8.14±2.6 13.5

IgA 2.92±1.5 3.61±1.6 2.69±1.6 3.5

17

Page 18: REFERAT TONSILEKTOMI

           Penelitian yang dilakukan Cantani pada tahun 1986, dikutip oleh Faramarzi, juga

menyimpulkan hal yang sama. Penurunan serum IgA dapat terjadi setelah dilakukannya

tonsilektomi. Namun pada minggu kedua akan terjadi peningkatan yang signifikan pada

pengukuran serum tersebut dan 8 minggu setelah dilakukan tonsilektomi level serum IgA

akan mengalami penurunan kembali, sama seperti pada penelitian yang dilakukan oleh

Faramarzi, dkk.10

           Menurut Kaygusuz pada tahun 2003, terjadi penurunan yang tidak signifikan pada

level serum CD3+, CD8+,  dan CD19+. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada level

serum CD4+ dan  penurunan signifikan level serum CD25+  setelah tindakan tonsilektomi.

Terdapat penurunan pada level serum IgA, IgG, IgM serta komplemen C3 dan C4 dan 

bahkan pengukuran yang dilakukan 1 bulan setelah tonsilektomi terjadi penurunan yang

cukup signifikan pada level serum tersebut.

            Penelitian yang dilakukan oleh saintz, dkk pada tahun 1992 dikutip oleh Kaygusuz

menyimpulkan bahwa penurunan yang signifikan pada level serum IgA, IgG, dan IgM

bahkan terjadi hingga 2 bulan setelah dilakukannya tonsilektomi. Penelitian yang sama

dilakukan oleh Jurkiewicz pada tahun 2002 juga menemukan penurunan pada imunoglobulin

tersebut. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada level serum komplemen C3 dan

C4 sebelum dan sesudah tonsilektomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan

tonsilektomi menyebabkan terjadinya defisit imunitas humoral, dalam hal ini produksi

imunoglobulin.

            Pengukuran level serum imunoglobulin sebelum dilakukan tonsilektomi didapatkan

hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol. Peningkatan kadar imunoglobulin

ini disebabkan oleh stimulasi antigen yang konstan pada proses infeksi di tonsil. Selanjutnya

setelah dilakukannya tindakan tonsilektomi terjadi penurunan pada level serum

imunoglobulin. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya proses perbaikan pada jaringan

tonsil yang terinfeksi dan juga akibat hilangnya antigen yang melakukan stimulasi tersebut.

Pengamatan yang dilakukan oleh Baradaranfar melalui penelitiannya di Turki pada

tahun 2007, dimana level serum limfosit T dan B, IgG dan IgM menurun setelah operasi

tonsilektomi namun peningkatan yang signifikan akan terjadi 6 bulan paska tonsilektomi.11

Tabel 2.   Perbandingan parameter imunitas seluler dan humoral sebelum dan 6 bulan

sesudah tonsilektomi

Parameter Sebelum operasi Sesudah operasi P value

CD3 60.1±10.3 55.36±9 0.04

18

Page 19: REFERAT TONSILEKTOMI

CD4 36.73±7.43 34.39±6.25 0.13

CD8 24.63±4.41 22.47±3.85 0.03

CD4/CD8 1.51±0.29 1.56±0.33 0.45

CD20 19.19±5.09 16.04±5.40 0.03

IgG (mg/ml) 943.33±77.38 1110±172.90 0.00

IgM (mg/ml) 87.00±17.59 82.16±20.11 0.17

          Penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Kaygusuz pada tahun 2009.

Membandingkan level serum IgG, IgA, IgM, C3 dan C4 pada pasien 1 bulan dan 54 bulan

setelah adenotonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sehingga penelitian ini

menyimpulkan bahwa dilakukannya tindakan adenotonsilektomi tidak akan menyebabkan

penurunan imunitas seluler dan humoral.

          Penelitian yang dilakukan oleh Muhardjo pada tahun 2007, memberikan hasil bahwa

tindakan adenotonsilektomi yang dilakukan pada penderita adenotonsilits kronis dengan

keluhan kelainan Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), akan  berdampak pada

perbaikan sistem imunitas seluler dan humoral. Perbaikan kondisi hipoksia akan

meningkatkan aktifitas interferon γ (IFN γ), mendorong peningkatan aktifitas makrofag dan

monosit sehingga memulihkan aktifitas respon imunitas alami. Perubahan perfusi yang

mendadak dari kondisi hipoksia (efek withdrawl) menyebabkan Th2 mensekresi IL-10 dan

IL-4. Peningkatan sekresi IL-4 dapat memodulasi sekresi IgG, sedangkan sekresi IL-10 dapat

digunakan untuk regulasi aktivitas Th1 dan monosit.6

          Perbaikan sistem imunitas seluler dan humoral bukan hanya terjadi pada pasien dengan

OSAS, hal ini terlihat melalui penelitian yang dilakukan oleh Baradaranfar. Pengukuran yang

dilakukan terhadap level serum limfosit T dan B, IgG dan IgM pasien adenotonsilitis kronis

sebelum tonsilektomi cukup rendah, dan pada 6 bulan berikutnya terjadi peningkatan atau

perbaikan pada sistem imunitas seluler dan humoral penderita tonsilitis kronis.11

2.3.5 Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila

sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang

“manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah infeksi pernapasan bagian atas yang berulang,

infeksi sistemik atau kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya, pembesaran tonsil

tanpa gejala-gejala obstruksi, rhinits alergika, asma, ketidakmampuan yang umum atau

19

Page 20: REFERAT TONSILEKTOMI

kegagalan untuk tumbuh, tonus otot yang lemah, sinusitis, risiko anestesi yang besar atau atau

penyakit yang berat, anemia, gangguan perdarahan, infeksi akut yang berat, radang akut

tonsil, albuminuria, hipertensi dan poliomyelitis epidemic.1,4

20

Page 21: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB III

KESIMPULAN

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun

bilateral. Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah dikatakan

banyak sekali kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi. Hal ini dikarenakan

pelaksanaan tonsilektomi dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada

tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orang tua

tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Sering

kali pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengangkatan tonsil. Kebanyakan

anak-anak mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan

pertumbuhan usia. Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan

bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Sehingga American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi

mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Berdasarkan indikasi

dan kontraindikasi serta mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi, diharapkan

dokter spesialis THT yang melakukan tonsilektomi dapat lebih selektif dalam memilih

pasien.

Tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorokan, meningkatkan quality of

life (QOL), menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban secara

ekonomi pada penderita tonsilitis. Efek jangka panjang tindakan tonsilektomi sangat

bermanfaat dalam mengurangi serum level IgA, juga berdampak pada perbaikan sistem

imunitas seluler dan humoral.

Dengan demikian, harus dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai tonsilektomi.

Bagaimana pendapat di bagian THT dan bagian anak mengenai indikasi dan efek pasca

tonsilektomi.

21

Page 22: REFERAT TONSILEKTOMI

DAFTAR PUSTAKA

22