32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim, diperkirakan kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Hal ini menguntungkan sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya. Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi jalan nafas. Fungsi vokal selain merupakan prioritas kedua karena harus mendahulukan keselamatan yang biasanya ditentukan oleh efektifitas dari penanganan awal. Karena itu penting sekali bagi seorang otolaringologist untuk dapat mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini (Quinn, 2003 ; Akhmadu, 2007). 1

referat trauma laring

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma laring

Citation preview

Page 1: referat trauma laring

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim,

diperkirakan kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Hal ini menguntungkan

sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius

dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya.

Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi

jalan nafas. Fungsi vokal selain merupakan prioritas kedua karena harus

mendahulukan keselamatan yang biasanya ditentukan oleh efektifitas dari

penanganan awal. Karena itu penting sekali bagi seorang otolaringologist untuk dapat

mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis

trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini (Quinn, 2003 ; Akhmadu, 2007).

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka

sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat

menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti

otot, saraf, pembuluh darah dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi dalam

kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher

membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang

atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik atau usaha bunuh diri dengan

menggantung diri (Quinn, 2003).

1

Page 2: referat trauma laring

Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,

mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan

menyembuhkan. Seperti kita ketahui dalam penanganan trauma dikenal primary

survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya

terapi definitif. Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus

dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal

sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental

control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama

penanganan adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu trauma

jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif

untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan (Quinn, 2003 ; Akhmadu, 2007).

Penulis lain melaporkan insidensi trauma laring < 1% dari semua kasus

trauma. Mortalitas trauma laringotrakea cukup tinggi yaitu 20-40%. Penulis lain

melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal pada 2

jam pertama setelah kedatangannya di UGD. Dari data tersebut dapat disimpulkan

bahwa trauma laringotrakea merupakan keadaan yang jarang ditemukan namun

mengancam jiwa sehingga dipandang perlu untuk dibuat tinjauan pustakanya

(Akhmadu, 2007).

2

Page 3: referat trauma laring

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun

cenderung meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80%

kasus terjadi pada 2,5 cm diatas carina (Akhmadu, 2007)

Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk insiden trauma

laringotrakea adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea

(TLT) adalah 1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk

melaporkan 1 kasus trauma laringotrakea dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam

yang datang ke UGD. Gussack dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus

trauma (Akhmadu, 2007).

Sabina dkk melaporkan 23 kasus trauma laringotrakea selama 1992-1998, 12

kasus cedera laring, 8 kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan

belas dari 23 kasus akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal

ini sesuai dengan penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4

kasus/tahun. Shelly dkk mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700 kasus

trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65 kasus tersebut

(1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma tembus

(Akkhmadu, 2007).

Trauma laringotrakea lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada

wanita.1,3 Symbas melaporkan perbandingannya adalah 5:1 dan lebih sering

3

Page 4: referat trauma laring

ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan

karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya dibandingkan dengan wanita (Akhmadu,

2007).

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu

masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas ia membuka ke

dalam laringofaring dan di bawah ia bersambung dengan trakea. Kerangka laring

dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan

krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot (Cohen, 1997).

Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus

internus cabang dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis

disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring

melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi

oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas dipasok oleh ramus

laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian bawah oleh ramus

laringeus inferior dari a.tiroidea inferior (Akhmadu, 2007).

Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari

rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita

suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke dalam

trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis

merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah. Meskipun laring

terutama dianggap berhubungan dengan fonasi tetapi fungsinya sebagai organ

4

Page 5: referat trauma laring

pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, laring bergerak ke atas, terjadi

penutupan glotis dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk daun pada

pintu masuk laring berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam

esofagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glotis, fungsi batuk yang

dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran

pernafasan bagian bawah (Price dan Wilson, 2005)

Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum dan mekanisme fleksi

dari leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi saluran

pernafasan di bawahnya dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi menjadi 3 area :

supraglotis, glotis and subglotis. Sebagai penyangganya adalah os hyoid, kartilago

tiroid dan kartilago krikoid. Supraglotis adalah area yang paling tidak bergantung

pada penyangga eksternal dan mengandung sebagian besar jaringan lunak dan

mukosa. Glotis sangat bergantung pada penyangga eksternal dan dengan koordinasi

mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas neuromuskular mengatur jalan nafas dan

memproduksi fonasi. Pada orang dewasa jalan nafas mengalami penyempitan di

daerah glotis. Oleh karena itu trauma yang terjadi di area ini dapat berimbas paling

buruk untuk usaha mempertahankan jalan nafas. Subglotis disangga hanya oleh

kartilago sirkuler pada laring yaitu krikoid yang merupakan area tersempit dalam

jalan nafas bayi dan anak-anak (Quinn, 2003).

5

Page 6: referat trauma laring

Anatomi laring (Chen et al, 2001)

2.3. Etiologi

Ballanger membagi penyebab trauma laring atas (Hadiwikarta et al, 2006):

1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi

trakeostomi atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan

endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).

2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan

alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.

3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.

4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse)

misalnya akibat menjerit keras atau bernyanyi dengan suara keras.

6

Page 7: referat trauma laring

2.4 Gejala Klinik

Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam

pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau

timbul mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas.

Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara

akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi atau parese pita suara (Hadiwikarta

et al, 2006).

Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau

fraktur tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan

masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah

muka, dada dan abdomen, serta pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit

(Hadiwikarta et al, 2006).

Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya

banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka

tusuk, luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan)

juga dapat timbul akibat trauma laring (Hadiwikarta et al, 2006).

2.5 Patofisiologi

Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika

dan plika ventrikularis oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah

membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek yang akan diikuti

7

Page 8: referat trauma laring

dengan terbentuknya emfisema subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat

menyebabkan selulitis, abses atau fistel (Hadiwikarta et al, 2006).

Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan

dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis

tulang rawan dan perikondritis (hadiwikarta et al, 2006).

Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik yang diikuti oleh infeksi

sekunder dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan akhirnya

stenosis (Hadiwikarta et al, 2006).

Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya

kerusakan yang timbul dalam 3 golongan (Hadiwikarta et al, 2006):

1.    Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema

submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.

2.   Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries).

3.       Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi

primer laring dan trakea yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.

2.5.1 Trauma Inhalasi

Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung

mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas

bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis lalu membentuk jaringan parut

yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena (Akhmadu, 2007).

8

Page 9: referat trauma laring

2.5.2 Trauma Intubasi

Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat

pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga

menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon

yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.

Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang

mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan

sikatrik kronik dengan stenosis juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi

trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata dan ruptur bronkial.

Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih

belum jelas namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-

kira 0.1 % pasien (Akhmadu, 2007).

Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan

etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan

volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe

trauma ini namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk

reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang

mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi (tabel 1) (Akhmadu, 2007).

Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi (Price dan Wilson, 2005)

Faktor resiko yang pasti Faktor resiko yang masih

mungkin

Dugaan, belum terbukti

sebagai faktor resiko

Wanita Penggunaan kortikosteroid Trakeostomi perkutan

9

Page 10: referat trauma laring

Usia > 50 tahun

Tube dengan lumen ganda

Pengembangan balon /

cuff berlebihan

Trakeomalacia

Posisi yang salah dari tube

Kondisi medis yang buruk

Kesalahan penggunaan

mandrain

Batuk yang terlalu keras

dan berlebihan

 

Perawakan pendek

Obesitas.

2.5.3 Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering

disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat atau trauma

benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian

membentur kemudi, handle bars atau dashboard.   Trauma tumpul lebih sering

disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara

jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan

kendaraan yang mengalami kecelakaan (Akhmadu, 2007).

Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma

langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea

maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher

dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan

intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek

10

Page 11: referat trauma laring

bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang cukup

berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke

tulang vertebrae. Hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai

level dari trumanya (Akhmadu, 2007).

Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai

biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago kecuali trauma yang

didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-

anak masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan

jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma

tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa. Hal ini disebabkan

karena struktur fibrosa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa

dengan perikondrium (Akhmadu, 2007).

Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi.

Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan

mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan

robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal

yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin

trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak (Akhmadu,

2007).

Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti

dikatakan oleh Boyd dkk bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang

besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya

dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke

11

Page 12: referat trauma laring

sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam

dimana permukaan tubuh menerima energi yang lebih kecil. Selain itu energi yang

diterima hanya diteruskan ke satu arah saja (Akhmadu, 2007).

Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan

menjadi empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi

yang cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis

yang tertutup dan trauma benturan langsung (Akhmadu, 2007).

2.5.4 Trauma Tajam

Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%)

yang paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang

dipakai adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka

kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih

banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban menurut

beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada trauma

laringotrakea selain jalan bebas hambatan. Para penulis menyimpulkan bahwa trauma

tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama

karena kejahatan (Akhmadu, 2007).

Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas

tetapi trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka

tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian

atas dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien

dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular

dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri (Akhmadu, 2007).

12

Page 13: referat trauma laring

2.5.5 Penyebab Lain          

Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien

dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stres berat. Selain penyebab di

atas, pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik

injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation),

pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar dan caustic injury (Akhmadu,

2007).

2.6 Patologi pada Saluran Nafas Atas 

Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis.

Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan

menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa

akan lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak

(emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas

supraglotis (Akhmadu, 2007).

Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam

setelah trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi

setelah 6 jam pasca trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera

yang terjadi pada saluran napas seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur,

konsistensi kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat

berupa kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi

kartilago tiroid, krikoid  serta trakea (Akhmadu, 2007).

13

Page 14: referat trauma laring

2.7 Diagnosis

Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring,

misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka

pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan oleh karena terjadinya asfiksia.

Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-

gelembung udara pada daerah luka oleh karena udara yang keluar dari trakea

(Hadiwikarta et al, 2006).

Berbeda dengan luka terbuka diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.

Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya apakah perlu segera

dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.

Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada

sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak

sadar dan sesak nafas (Hadiwikarta et al, 2006).

Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan

gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk atau bicara. Di samping itu

mungkin terdapat suara parau tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat

dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring sehingga

menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia,

hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang ditemukan di

daerah muka, dada, leher dan mediastinum (Hadiwikarta et al, 2006).

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.

14

Page 15: referat trauma laring

2.8.1 Luka terbuka

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada

perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan

segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul

trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah

trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat

pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang

robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan

serum anti-tetanus (Hadiwikarta et al, 2006).

2.8.2 Luka tertutup (closed injury)

Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa

memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di

kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa

eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma.

Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan hasil

yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari

(Hadiwikarta et al, 2006).

Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi

atau konservatif tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung

atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT scan. Pada

umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan

pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edem,

15

Page 16: referat trauma laring

hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring

(Hadiwikarta et al, 2006).

Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah (Hadiwikarta et al, 2006):

1.      Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

2.      Emfisema subkutis yang progresif.

3.      Laserasi mukosa yang luas.

4.      Tulang rawan krikoid yang terbuka.

5.      Paralisis bilateral pita suara.

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit

horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau

sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan

menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih

(graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau

mold dari silastik, porteks atau silicon yang dipertahankan selama 4 atau 6

minggu (Hadiwikarta et al, 2006).

2.9 Komplikasi

Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang

tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan

parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan

akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea. Secara

garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi (Quinn, 2003):

16

Page 17: referat trauma laring

2.9.1 Akut

a. Obstruksi jalan nafas

b. Afonia

c. Disfonia

d. Odinofagia

e. Disfagia

f. Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)

2.9.2 Kronik

a. Perubahan suara (21-25%)

b. Obstruksi kronik (15-17%)

c. Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)

d. Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)

e. Perubahan kosmetik

f. Aspirasi kronik

2.10 Morbiditas dan Mortalitas

Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami

gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan memproteksi

aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar atau granulasi

yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher cenderung mengalami

komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi dibanding pada trauma tajam.

Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila terapi definitif baru dilakukan setelah

>24 jam pasca trauma (Akhmadu, 2007).

17

Page 18: referat trauma laring

Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian

atau pada saat menuju rumah sakit dan setelah tindakan operatif-pun angka

mortalitasnya masih mencapai 14-25% akibat cedera lain yang menyertai. Penulis

lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal

pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD.4 Mortalitas pasien dengan trauma

jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya disebabkan karena syok yang

irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah servikotorakal dan cedera

organ ikutan.4 Namun Lee dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab kematian

tersering pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi

darah. Mortalitas pada trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam,

dilaporkan pada trauma tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya 20%

(Akhmadu, 2007)

BAB III

KESIMPULAN

18

Page 19: referat trauma laring

Insidensi trauma laring sudah jarang ditemukan, kejadiannya diperkirakan

kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Jarangnya trauma ini ditemukan

kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di

sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang tergantung

di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari leher (Akhmadu,

2007).

Trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius

dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya.

Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi

jalan nafas (Hadiwikarta et al, 2006).

Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak

memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu

cedera ini telah dikurangi sehingga derajat dan insidens komplikasinya dapat pula

diminimalisir (Akhmadu, 2007).

19

Page 20: referat trauma laring

DAFTAR PUSTAKA

1.      Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online available from

URL http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-2003-0903/Laryng-trauma-

2003-0902.htm diakses pada tanggal 2 November 2015.

2.     Hadiwikarta A, Munir M, Hutauruk SM. Trauma Laring dalam: Soepardi EA,

Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

2006. pp. 243-6.

3.      Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online available from

URL http://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-dan-Tinjauan-Pustaka/

Trauma-Laringotrakea.html diakses pada tanggal 2 November 2015

4.      Price SA, Wilson LM. Sistem respirasi. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses

penyakit. Jakarta:EGC volume II edisi keenam;2005. p.737.

5.      Chen EH, Logman ZM, et al. A case of tracheal injury after emergent endotracheal

intubation: a review of the literature and causalities. Anesth Analg Case Report

2001;93:1270-1.

6. Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA.

BOIES, Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Alih Bahasa: Wijaya C. BOIES

Fundamental of Otolaryngology. Jakarta: Penerbit EGC; 1997. 370-371

20