Referat Trauma Urogenital-2

Embed Size (px)

Citation preview

TRAUMA UROGENITALIA

Disusun oleh: Androniko Setiawan 030.07.018

Pembimbing: Dr. Bagus Taufiqur R, Sp. U

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Kota Bekasi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 20111

TRAUMA BULI-BULI Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis; sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Etiologi Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi bulibuli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jiak mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi uri ke rongga intraperitoneum. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada bulibuli. Klasifikasi Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi: y y y kontusio buli-buli cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60% cedera intraperitoneal 25-45%

2-12% cederanya cedera buli-buli ekstraperitoneal+cedera intraperitoneal. Jikat tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

2

Diagnosis Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh nyeri didaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tanpa tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika. Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.

Terapi Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan instirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 710 hari. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga

3

intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi. Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli denagn pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan rupture buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi. Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

Penyulit Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urin pada rongga intraperitoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa.

TRAUMA URETRA Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya. Etiologi Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul tang menimbulkan fraktur tulang 4

pelvis menyebabkan rupture uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. Gambaran klinis Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan per-uretram yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma. Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah. Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.

5

Ruptura Uretra Posterior Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea. Klasifikasi Colapinto dan McCollum (1976) membagi derjat cedera uretra dalam 3 jenis : 1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). 2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, selanjutnya diafragma urogenitalia masih utuh. 3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Diagnosis Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: (1) perdarahan per-uretram, (2) retensi urin, dan (3) pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontra pada pars prostate-membranasea. Tindakan Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neovaskuler di sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk diversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic 6

realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretoplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik. Penyulit Penyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin. Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30% kasus disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna. Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretoplasti ulangan. Rupture Uretra Anterior Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan urerta yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding uretra. Patologi Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

7

Diagnosis Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrogafi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Tindakan Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4 6 bulan perlu

dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi

dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra. Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse. Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik. TRAUMA PENIS Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, truma tajam, terkena mesin pabrik, rupture tunika albuginea, atau strangulasi penis. Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutan faram fisiologis kemudian disimpan didalam kantung es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin dilakukan replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.

8

Fraktur Penis Fraktur penis adalah rupture tunika albuenia korpus kavernosum penis yang terjadi pada saat penis dalam keadan ereksi. Rupture ini dapat disebabkan karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai nyeri. Untuk mengetahui letak rupture, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografi yaitu memasukkan kontras kedalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albugenia.

Tindakan Eksplorasi rupture dengan sayatan sirkuminisi, kemudian dilakukan evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika albugenia.

9

Strangulasi Penis Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah (1) memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, (2) melingkarkan tali pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan, atau (3) melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema0 sehingga logam dapat dikeluarkan.

Trauma genitalia eksterna Trauma yang dapat terjadi pada trauma genitalia eksterna adalah avulsi, crushing, luka tajam, luka tumpul, atau luka bakar. Avulsi Avulse adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Pertolongan pertama adalah memberikan analgetika, sedative, serta transquiliser untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka dari debris dan rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air bersi dan kalau tersedia dengan garam

10

fisiologis. Dilakukan debridement jaringan yang mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapat mungkin jangan terlalu banyak membuang kulit skrotum yang masih hidup karena skrotum penting untuk membungkus testis. Jika kulit skrotum yang tersisa tidak cukup untuk membungkus testis, dianjrkan membuat kantong di paha atau di inguinal guna meletakkan testis.

STRIKTUR URETRA

Pendahuluan Penyakit striktur uretra telah ditemukan sejak dahulu, sejak Yunani Kuno menulis tentang pembuatan drainase vesica urinaria dengan berbagai kateter. Striktur uretra adalah penyempitan uretra karena berkurangnya diameter dan atau elastisitas uretra akibat digantinya jaringan uretra dengan jaringan ikat yang kemudian mengerut. Striktura uretra sering terjadi di pars bulbaris karena sebagian besar striktur uretra terjadi karena trauma di daerah perineal, yang disebut straddle injury. Striktur uretra dapat berasal dari berbagai sebab, dan dapat tanpa gejala atau muncul dengan ketidaknyamanan yang berat sebagai efek sekunder dari retensi urin.

11

Anatomi Traktus urinarius terdiri atas kaliks mayor dan minor, pelvis renalis, ureter, vesica urinaria dan uretra. Uretra merupakan suatu saluran fibromuscular yang dilalui oleh urin yang mengalir keluar dari vesica urinaria. Saluran ini menutup apabila kosong.

Uretra pada wanita adalah suatu saluran yang pendek dari vesica urinaria ke ostium uretra eksternum. Panjang 4 cm, terletak di bagian anterior vagina. Muaranya disebut ostium uretra eksternum, berada dalam vestibulum vagina, di ventralis dari ostium vagina, di antara kedua ujung anterior labia minora. Berjalan melalui diafragma pelvis dan diafragma urogenital. Uretra pada pria termasuk kelenjar prostat, diafragma urogenital, korpus kavernosum uretra sampai bagian akhir glans penis. Mempunyai ukuran sepanjang 20 cm, terbagi atas uretra anterior dan uretra posterior.

Uretra anterior merupakan bagian uretra pria yang memanjang dari bulbus ke meatus di puncak glans penis, menembus korpus kavernosum. Bagian ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian bulbus, pendulous, dan paling distal, bagian glandular. 1. Pars bulbaris: terletak di proksimal, merupakan bagian uretra yang melewati bulbus penis. 2. Pars pendulan/cavernosa/spongiosa: bagian uretra yang melewati corpus spongiosum penis. 3. Pars glandis: bagian uretra di glans penis. Uretra ini sangat pendek dan epitelnya sudah berupa epitel squamosa (squamous compleks noncornificatum). Kalau bagian uretra yang lain dilapisi oleh epitel kolumner berlapis.

Uretra posterior merupakan bagian uretra yang berjalan dari vesica urinaria ke bulbus, dan terdiri dari: 1. Pars prostatika berjalan menembusi prostat, mulai dari basis prostat sampai apeks prostat dengan panjang kira-kira 3 cm. Bagian distal dari uretra pars prostatika sedikit lebih lebar daripada proksimal. 2. Pars membranous berada di antara lapisan diafragma urogenital. Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta kurang mampu berdilatasi. Memiliki panjang kira-kira 1-2 cm. 3. Pars kavernous berada di dalam korpus kavernosum penis, berjalan di dalam bulbus penis, korpus penis sampai ke glans penis panjang kira-kira 15 cm.

12

Etiologi

Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan striktur uretra : 1. Kongenital Hal ini jarang terjadi. Misalnya: a. Meatus kecil pada meatus ektopik pada pasien hipospodia.

b. Divertikula kongenital -> penyebab proses striktura uretra. 2. Trauma Merupakan penyebab terbesar striktura (fraktur pelvis, trauma uretra anterior, tindakan sistoskopi, prostatektomi, katerisasi). a. Trauma uretra anterior, misalnya karena straddle injury. Pada straddle injury, perineal terkena benda keras, misalnya sadle sepeda, sehingga menimbulkan trauma uretra pars bulbaris. b. Fraktur/trauma pada pelvis dapat menyebabkan cedera pada uretra posterior. Jadi seperti kita ketahui, antara prostat dan os pubis dihubungkan oleh lig. puboprostaticum. Sehingga kalau ada trauma disini, ligamentum tertarik, uretra

posterior bisa sobek. Jadi memang sebagian besar striktura uretra terjadi dibagianbagian yang terfiksir seperti bulbus dan prostat. Di pars pendulan jarang terjadi cedera karena sifatnya yang mobile. Trauma merupakan penyebab tersering striktur uretra.

13

3. Infeksi Seperti uretritis, baik spesifik maupun non spesifik (GO, TBC). Infeksi gonorrhea pada uretra biasa menjadi penyebab utama striktur uretra. Namun kini perkembangan antibiotik telah menyebabkan penurunan komplikasi infeksi gonorrhea. Kalau kita menemukan pasien dengan urteritis akut, pasien harus diberi tahu bahwa pengobatannya harus sempurna. Kalau pengobatannya tidak tuntas, uretritisnya bisa menjadi kronik. Pada uretritis akut, setelah sembuh jaringan penggantinya sama dengan iarinqan asal. Jadi kalau asalnya epitel squamous, jaringan penggantinya juga epitel squamous. Kalau pada uretritis kronik, setelah penyembuhan, jaringan penggantinya adalah jarinqan fibrous. Akibatnya lumen uretra menjadi sempit, dan elastisitas

ureter menghilang.

Itulah sebabnya pasien harus benar-benar diberi tahu agar

menuntaskan pengobatan. Di dalam bedah urologi dikatakan bahwa sekali striktur maka selamanya striktur. 4. Tumor Tumor bisa menyebabkan striktura melalui dua cara, yaitu proses penyembuhan tumor yang menyebabkan striktura uretra, ataupun tumornya itu sendiri yang mengakibatkan sumbatan uretra 5. Pembedahan terbuka atau endoskopik Prosedur bedah yang melibatkan uretra dapat menghasilkan striktur. Walaupun jarang, pemasangan kateter juga dapat menyebabkan striktur.

Patofisiologi Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik pada lumen menimbulkan hambatan aliran urine sehingga terjadi retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (proksimal dari striktur) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi dapat terjadi abses periuretra, yang akan pecah membentuk fistula uretrokutan. Bila terjadi abses multiple atau berulang sehingga terbentuk beberapa fistel yang disebut fistel seruling. Striktur uretra terjadi setelah perlukaan pada urotelium atau korpus spongiosum yang menyebabkan pembentukan jaringan parut. Fase dekompensasi yang timbul pada saat vesica urinaria berkontraksi menimbulkan residu urin yang memudahkan terjadinya infeksi.

14

Derajat Penyempitan Uretra 1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra. 2. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai diameter lumen uretra. 3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra.

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Gejala Klinis Gejala striktur uretra meliputi : 1. Pancaran air kencing lemah, yang merupakan keluhan paling sering. 2. Pancaran air kencing bercabang Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen. Mirip seperti pancaran keran di westafel kalau ditutup sebagian. 3. Frekuensi Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tuiuh kali. Apabila sering kencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya. 4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal) Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus

menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus sphincter uretra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh), namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. sebabnya disebut inkontinensia paradoxal. 5. Dysuria dan hematuria 6. Keadaan umum pasien baik 7. Keadaan umum pasien jelek bila telah lama akibat adanya perubahan pada faal Itulah

ginjal (infeksi -> striktur -> refluks -> hidroureter -> hidronefrosis -> faal ginjal turun).

15

Pemeriksaan 1. Fisik : a. Tidak jelas, karena memang letaknya di uretra, kecuali bila ada fistula uretrocutaneus. b. Meatus kecil c. Vesika urinaria dapat teraba karena ada retensio urine. Vesika terlihat menonjol di atas simfisis pubis. 2. Radiologi a. Uretrosistografi Pemeriksaan urethrocystography ini diindikasikan setelah terjadi trauma, bila terdapat darah dalam urin serta dicurigai terjadi fraktur pelvis. Pemeriksaan tidak dilakukan bila terdapat infeksi uretra yang akut. Pada urethrocystography bahan kontras dimasukkan dengan semprit yang ujungnya sesuai dengan meatus uretra eksterna, diisi sampai kontras masuk ke vesica urinaria. Selain itu, pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan klem atau dengan cara memasukkan kateter kecil ke distal penis. Pemeriksaan dengan cara memasukkan kateter, sebelumnya harus memasukkan anestetik lokal ke dalam uretra, dan setelah beberapa menit kateter Foley dimasukkan sampai balonnya terletak lebih kurang 1 cm dari lubang uretra. Kontras dimasukkan setelah balon dikembangkan.

Foto diambil pada waktu pengisian kontras dengan posisi antero-posterior, oblik kanan dan kiri. Oleh karena itu, si pemeriksa harus memakai apron dan sarung tangan Pb. Pada gambaran urethrocystography, striktur uretra menyebabkan dilatasi uretra bagian distal dari obstruksi. Biasanya juga terlihat ekstravasasi kontras. b. Uretrosistografi bipolar (untuk mengetahui panjang, serta total tidaknya striktur). Kontras bisa di atas (pool atas lewat vesika urinaria) ataupun di bawah (pool bawah lewat uretra), sehingga panjang dan juga ketebalan striktur dapat diketahui. Dikatakan striktur total bila sampai tidak ada kontras yang tersisa pada striktur. Keuntungan Uretrosistografi bipolar : Mengetahui persis panjang striktur Mengetahui total penyempitan Mengetahui persis lokasinya

c. Micturating Cystourethrography

16

Pemeriksaan radiografi vesica urinaria dan uretra setelah pengisian medium kontras dan selama miksi. Vesica urinaria diisi melalui kateter (alternatif lain melalui pungsi vesica suprapubik) dengan medium kontras yang dapat larut dalam air dan telah dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh sebanyak 200 ml. Vesica urinaria perlu diperiksa dari posisi anterior, lateral dan oblik untuk menemukan adanya fistula, divertikel atau ruptur. Pemasukan medium kontras diatur dengan fluoroskopi intermitten.

Pada orang dewasa, vesica urinaria diisi dari botol yang diangkat setinggi 1 m di atas meja pemeriksaan dan pengisian dilanjutkan sampai penderita merasakan keinginan kuat untuk miksi. Jika mungkin, posisi miksi pada pasien pria yang paling mudah adalah posisi berdiri. Pasien wanita dapat duduk. Pengambilan foto radiografi selama miksi termasuk posisi oblik ureter distal, vesica urinaria dan uretra. Selama micturating cystourethrography, uretra posterior terlihat dilatasi. Kadang tidak terlihat, tetapi karakteristik uretra posterior adalah gambaran suatu balon. 3. IVP IVP dilakukan untuk: a. Melihat anatomi saluran kencing bagian atas . b. Melihat sisa urin (Post Voiding/ PV) pada striktur parsial yang biasanya disertai BPH (Benign Prostate Hyperplasy). c. Melihat tulang pelvis (post trauma), dengan melihat ada tidaknya tulang pelvis yang retak.

Laboratorium Pemeriksaan darah menilai faal ginjal, dimana kadar ureum/kreatinin naik menunjukkan adanya kerusakan fungsi ginjal. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah rutin, Hb.

Diagnosis Diagnosis pertama kali ditegakkan ketika pemasangan kateter melalui uretra tidak dapat dilakukan. Striktur dapat juga dicurigai berdasarkan gejala dan riwayat medik seseorang. Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan yang dikenal dengan uretrografi retrograde atau urethrocystography. Diagnosis pasti pada wanita adalah dengan bougie a boule, dengan tanda khas berupa hambatan pada waktu lepas.

17

Diagnosa Banding Ruptura Uretra Gambaran ekstravasasi kontras. BPH

Terapi 1. Konservatif: bouginasi (logam, plastik) Yaitu dengan memasukkan bahan dari logam atau plastik untuk memperlebar saluran yang mengalami penyempitan tadi. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena yang melakukan harus tahu betul bentuk uretra. Bentuk uretra seperti huruf S. Dapat terjadi cedera di bagian belokan. Terutama sekali di daerah pars bulbaris, sehingga bahan tadi bisa tembus ke rektum. Oleh karena itulah sewaktu dilakukan tindakan, bentuk uretra diubah dulu menjadi bentuk huruf L atau U. Itulah sebabnya pada pemasangan kateter, fiksasi dilakukan di bagian depan paha atau di abdomen bagian bawah. Maksudnya untuk membuat uretra menjadi berbentuk L atau U itu tadi. Tindakan ini dapat dilakukan untuk pasien pasca prostatektomi dan striktura yang parsial. 2. Operatif a. Tertutup (uretrotomi interna), dapat berupa otis (tanpa lensa) dan dengan sache (dengan lensa). Prosedur sache ini yang paling sering digunakan. Indikasi Sache adalah: Struktur lumen masih berlubang (incomplete) Striktur pendek. Panjangnya < 0,5 cm. tapi di Indonesia teknik ini dilakukan juga pada striktura yang panjangnya 1-2 cm (asal partial), akibat tingkat residifnya tinggi. b. Terbuka, ada 2 cara, yaitu: Jika pendek (0,5-1 cm) -> reseksi anastomose end to end. Jika panjang, maka tidak dianastomose lagi karena bentuknya bisa seperti belut ketika ereksi. Untuk striktur yang panjang ini operasi dilakukan dalam dua tahap menurut Johansen, yaitu: Tahap I, yaitu hipospodia artifisial, dibuat hipospodia (muara uretra terletak di ventral proksimal dari penis)

18

-

Tahap II, yaitu uretroplasti berupa menutup uretra yang terbuka dengan mengambil dari preputium, mukosa buccal, atau dari belakang daun telinga.

Komplikasi 1. Infeksi traktus urinarius 2. Fistula uretrokutan 3. Striktur uretra rekuren 4. Terbentuknya divertikel uretra/ buli-buli 5. Abses periuretra 6. Batu uretra 7. Karsinoma uretra

Pencegahan Tindakan pencegahan yang paling penting adalah berhati-hati terutama dalam pemasangan kateter.

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, BP. Dasar-dasar Urologi: Trauma Urogenitalia. Edisi Kedua. Jakarta. CV Sagung Seto. Hal 93-104.

19

2. Purnomo, BP. Dasar-dasar Urologi: Striktura Uretra. Edisi Kedua. Jakarta. CV Sagung Seto. Hal 153-156. 3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke dua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. http://medika.blogspot.com/2005/11/striktur-uretra.html. Accessed at July 18, 2011.

20