Referat Virtual Autopsy

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTARPuji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan yang berjudul Virtual Otopsi.Laporan ini dibuat guna memenuhi salah satu syarat tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu kedokteran Forensik FK UNDIP. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan program pendidikan profesi dokter pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro. Dalam usaha penyelesaian ini, kami banyak memeperoleh bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. dr. Bambang L. Prameng Sp.F selaku pembimbing dalam penulisan laporan selama berada di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik. 2. dr. M. Faizal Zulkarnaen, selaku pembimbing dalam penulisan laporan selama berada di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Semarang, Januari 2012

Penyusun

1

DAFTAR ISIKata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel Bab I Pendahuluan Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Bab II Tinjauan Pustaka Definisi Otopsi Sejarah Otopsi Penolakan Otopsi Konvensional Definisi Otopsi Virtual Teknik Otopsi Virtual Akurasi Otopsi Virtual Otopsi Virtual vs Otopsi Konvensional Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual Dasar Hukum Otopsi Virtual Bab III Penutup Kesimpulan Saran 34 35 9 9 10 11 12 16 22 24 26 5 7 8 1 2 3 4

2

Daftar Pustaka

36

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional Gambar 5. Perdarahan Intamedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a) MRI, 18 (b) Otopsi Konvensinal, (c) Histopatologi H&E x400

13 14 16 17

18 Gambar 6. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band Necrosis. H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, 20 Gambar 7.A. Sedimentasi Aspirasi, B. Histologi, H&E x 400 (1).Bronkospasme, Emfisema; 21 (2).Paru-paru Normal. (E&F) Histologi. H&E x 100

3

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dengan Hasil Temuan Otopsi Konvensional 19 Tabel 2. Kemampuan Mendeteksi Trauma antara Otopsi dan PMCT 22

4

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Pada periode-periode awal, pemeriksaan otopsi merupakan hal penting dalam dunia kedokteran.Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan` interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.1 Pemeriksaan otopsi akhir-akhir ini lebih banyak untuk kepentingan peradilan (otopsi medikolegal atau otopsi forensik) dibandingkan untuk pembelajaran penyakit (otopsi klinik). Pusat-pusat pendidikan kedokteran dan rumah-rumah sakit sangat jarang melakukan otopsi klinik. Di Inggris kurang dari 10 % pemeriksaan otopsi yang dilakukan diluar sistem coroner,

5

begitu juga di Indonesia, fakultas kedokteran jarang melakukan otopsi klinik.Banyak alasan mengapa penurunan ini terjadi, diantaranya karena masalah agama dan budaya, biaya pemeriksaan yang tinggi, ketakutan keluarga dan dokter mengetahui sebab kematian yang pasti. Di Inggris tahun 1999-2000 kurang lebih 23 % kematian post operatif terrnyata diagnosis premortem berbeda dengan diagnosis postmortem. Hal ini menyebabkan ketakutan bagi dokter karena dapat dituntut telah melakukan malpraktek.1,2 Di RSUP Dr. Kariadi Semarang pemeriksaan otopsi yang sering dilakukan adalah otopsi forensik. Permintaan pemeriksaan Visum Et Repertum Jenazah di rumah sakit ini tahun 2005 terdapat 206 kasus, tahun 2006 sebanyak 190 kasus, tahun 2007 sebanyak 193 kasus. Dari permintaan tersebut sebagian besar hanya meminta pemeriksaan luar saja, sedangkan permintaan pemeriksaan lengkap, baik pemeriksaan luar dan dalam (otopsi) yaitu tahun 2005 sebanyak 38 kasus, tahun 2006 sebanyak 41 kasus dan 2007 sebanyak 22 kasus.1 Beragamnya jenis kasus yang dihadapi memerlukan teknik pemeriksaan otopsi tersendiri. Seorang dokter perlu mengetahui berbagai macam teknik otopsi karena akan mempermudah tugasnya dalam melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan akan menjadi lebih teliti sehingga dapat menyimpulkan sebab kematian dengan lebih baik.1 Salah satu jenis pemeriksaan nya ada di beberapa negara berkembang, dimana radiografi menjadi hal yang langka bagi kehidupan pasien, dan beberapa standar bantuan terhadap ahli patologi yang tidak dapat diharapkan. Dalam konsepsi yang lebih besar, negara-negara kaya, selalu menelaah masalah ini secara benar, disini adanya mobilisasi peralatan atau perlengkapan yang tersedia dan kadang-kadang digunakan oleh ahli patologi forensik.2 Pada otopsi virtual tidak memerlukan tindakan (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-

6

organ dalam. Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan otopsi sejak tahun 1977 dan terus berkembang sampai sekarang. Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara komplet keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif.3 3D virtual autopsy table adalah alat visualisasi medis yang unik dan baru, dimana dapat memungkinkan orang untuk mengeksplorasi dalam tubuh manusia. Beberapa pengguna dapat berinteraksi secara kolaboratif dan secara bersamaan, bekerja dengan data yang besar dan kompleks untuk memperoleh lebih pemahaman dan wawasan ke dalam fungsi dan proses di dalam tubuh. Virtual otopsi sudah dimanfaatkan berhasil untuk melengkapi autopsi konvensional. Itu membagi-bagikan dengan kebutuhan untuk prosedur bedah invasif yang memungkinkan ahli medis untuk melihat hal-hal yang akan sulit untuk menemukan dengan metode konvensional. Teknik juga dapat diterapkan dalam banyak bidang kesehatan dan praktek medis. 3D virtual autopsy table juga sedang digunakan untuk mendidik mahasiswa kedokteran tentang anatomi manusia tanpa memerlukan mayat. Hal ini juga membantu untuk perencanaan operasi.Tim medis dapat memutuskan pada strategi bedah terbaik untuk kasus individual sebelum membuat pertama dipotong. Pencitraan postmortem bukanlah hal yang baru, tetapi dengan 3D pencitraan itu telah membuatnya menjadi lebih berlaku untuk Kedokteran forensik.4 Diduga banyak ditemukan keuntungan dari teknologi yang baru yaitu 3D virtual autopsy table yang belum ada di Indonesia, maka dengan ini kami mengambil kasus 3D virtual autopsy table sebagai judul refarat kami.

7

Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari otopsi virtual? 2. Apakah keuntungan dan kerugian dari otopsi virtual? 3. Bagaimanakah dasar hukum dari otopsi virtual di Indonesia?

Tujuan Penulisan Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai otopsi virtual kepada tenaga medis khususnya dokter dan calon dokter.

Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengertian dari otopsi virtual 2. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari otopsi virtual 3. Mengetahui dasar hukum dari otopsi virtual

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Otopsi Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, Autopsi berasal kata dari Auto = sendiri dan Opsis = melihat.yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.

Sejarah Otopsi Ahli anatomi dan patologi zaman dahulu dahulu adalah pemburu,penjual daging, dan koki yang harus mengenali organ-organ dan menentukan organ tersebut dapat digunakan atau tidak. Di zaman Babylonia kuno, sekitar 3500 SM, pelaksanaan otopsi pada hewan bertujuan 9

untuk kepentigan mistik seperti memprediksi masa depan degan berkomunikasidengan kekuatan gaib. Bangsa Mesir, Yunani, Romawi dan Eropa melakukan pembedahan hewan selain untuk alasan keagamaan juga untuk mempelajari susunan anatominya, namun hal ini tidak dilakukan secara sistemik. Pada zaman Yunani kuno (131-200 SM) Galen, seorang filsuf yang sangat dihormati, berkuasa dan mempunyai pemikiran yang mendominasi bahkan sampai ratusan tahun kemudian, melakukan pembedahan binatang dan manusia untuk mempelajari susunan anatominya. Sikap umum masyarakat sebelum abad ke-17 terhadap otopsi tubuh manusia adalah negatif.Pada sekitar akhir tahun 1200, Fakultas Hukum Universitas Bologan mempunyai dominasi yang besar, memerintahkan dilakukan otopsi untuk membantu memecahkan masalahmasalah hukum.Pada akhir tahun 1400 Paus Sixtus IV mengeluarkan aturan yang mengizinkan pembedahan tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran untuk pendidikan.Sebelum aturan dari pemimpin agama tersebut dikeluarkan, pembedahan tubuh manusia termasuk tindakan kejahatan. Pada tahun 1500, otopsi secara umum diterima oleh Gereja Katolik, sehingga

pemeriksaan terhadap anatomi tubuh manusia dapat dilakukan secara sistemik. Sementara itu beberapa ahli saat itu, seperti Vesalius (1514-1564), Pare (1510-1590), Lancisi (1654-1720), dan Boerheave (1668-1771) mengembangkan otopsi, Giovanni Bathista Morgagni (1682-1771) dianggap ahli otopsi pertama terhebat. Selama observasinya selama 60 tahun, Morgagni menegaskan hubungan antara penemuan patologi dengan gejala klinis, hal ini menandai pertama kalinya otopsi menyumbang banyak dalam ilmu kedokteran untuk memahami penyakit.Di Jerman seorang ahli patologi Rudolph Virchow (1821-1902).Ia mempertimbangkan pemeriksaan mokroskopis sebagai pelengkap pemeriksaan otopsinya. Virchow mengembangkan doktrin yang menyatakan keadaan patologi seluler adalah dasar penyakit.Dalam banyak hal, Virchow dapat

10

dianggap ahli biologi molekular pertama. Di bawah kepemimpinan Virchow, menggantikan Vienna sebagai pusat utama pendidikan kedokteran.

Berlin

Penolakan Otopsi Konvensional Pada kenyataannya, pelaksanaan otopsi terhadap korban mati tidak semulus yang kita bayangkan.Penolakan oleh keluarga korban merupakan salah satu kendala yang paling banyak ditemukan.Isu utama penolakan oleh keluarga ini pada umumnya adalah alasan agama atau kepercayaannya, alasan kemanusiaan, organ atau jaringan organ diambil dan dijual, atau organ dan jenazahnya dipakai praktikum oleh mahasiswa kedokteran.Di samping isu-isu di atas, biaya pemeriksaan dan urusan administratif yang berbelit-belit juga menjadi alasan penolakan otopsi. Penolakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi juga terjadi di beberapa negara maju yang secara adat istiadat serta budayanya berbeda. Terjadi penurunan angka yang signikan terhadap jumlah jenazah yang diotopsi secara konvensional.Dalam tiga dekade terakhir terjadi penurunan jumlah jenazah yang di otopsi yaitu 40-50% dari seluruh dunia. Di Amerika jumlah jenazah yang otopsi menurun dari 40% pada tahun 1960s menjadi sekitar 5-20% saja dari seluruh jenazah yang seharusnya dilakukan otopsi. Sementara itu di Australia juga terjadi fenomena yang sama, dari 40% pada tahun 2000 menjadi 10% pada tahun 2001. Alasan penolakan yang dikemukan dari pihak keluarga kurang lebih sama dengan yang terjadi di Indonesia, namun yang menarik adalah ternyata dokter yang melakukan otopsi juga mempunyai alasan tersendiri untuk menghindari melakukan otopsi yaitu dokter merasa tidak nyaman saat meminta persetujuan kepada keluarga, mayat tidak dapat segera diserahkan kepada pihak kelurga, risiko penularan kuman patogen dan ketakutan akan tuntutan malpraktik juga menjadi bahan pertimbangan dokter dalam melakukan otopsi.

11

Definisi Otopsi Virtual Otopsi virtual adalah penambahan cara yang baru untuk otopsi dengan melakukan pencitraan postmortem, dalam versi 3 dimensi, menggunakan Computed Tomography (CT) scan mayat dan teknik-teknik Direct Volume Rendering (DVR). Ada beberapa alasan meningkatnya minat dan ketertarikan pada otopsi virtual.Pertama, otopsi virtual dapat melengkapi standar otopsi yang memungkinkan pemeriksaan yang luas dan sistematis terhadap seluruh tubuh yang biasanya sulit dan memakan waktu misalnya, pemeriksaan dari struktur seluruh tulang atau mencari keberadaan air dalam tubuh.Beberapa studi menunjukkan potensi besar pencitraan postmortem dalam penyelidikan forensik.Dalam masyarakat multikulturalotopsi sering ditolak oleh anggota keluarga terutama karena alasan agama.Namun masih dibutuhkan penelitian medis yang signifikan menuju pada pendirian prosedur dan protokol untuk otopsi virtual sehingga dapat dipakai secara luas.Yang paling mencolok dari otopsi virtual adalah besarnya jumlah data yang terambil. Virtual otopsi dengan menggunakan Multi Detector Computed Tomography (MDCT), dapat mengambil hingga 8000 gambar secara rutin yang akan dibangun kembali.

Teknik Otopsi Virtual Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam. Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan otopsi sejak tahun 1977. Hal terus berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi dalam pemeriksaan post mortem. Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga

12

badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh.Dengan menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif.Teknik ini diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi konvensional.

Gambar 1.

Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling melengkapi yaitu: 1. Pemindaan permukaan 3-D yang didesain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Penggunaan alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara detil. Karena orang tersebut sudah meninggal, ahli radiologi dapat menggunakan jumlah maksimum radiasi, dalam resolusii tinggi, setiap detail kulit, daging, tulang, dan benda asing. Dalam waktu kurang dari 15 menit memindai tubuh jenazah menjadi tubuh jenazah

13

menjadi gambaran tubuh virtual dapat menghasilkan data informasi data informasi sampai enam gigabit; 2. Multi-slice computed tomography (MSCT) 3. Magnetic resonance imaging (MRI), yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian dalam, sehingga dapat diperiksa secara detil setiap potongan bagian tubuh. 4. The 3-D Virtual Autopsy Table Selain itu, dengan menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak. Dan untuk sampel pemeriksan histopatologi forensik juga dapat diambil melalui CT guided needle biopsy. Visualisasi sistem sirkulasi digunakan postmortem angiography. Tabel otopsi virtual telah dikembangkan oleh kerjasama Norrkping Visualization Centerin cooperation dengan Center for Medical Image Science and Visualization dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah digunakan dalam investigasi criminal dunia nyata untuk melengkapi otopsi konvensional. Pelopor Swiss teknologi ini telah mematenkan dengan merek dagang Virtopsy untuk menggambarkan rekonstruksi yang unik dengan menggabungkan metode pencitraan dengan CT-scan, MRI, angiografi dan biopsi postmortem dan biopsi, dengan aplikasi software yang dikembangkan oleh perusahaan tersebut.

14

Gambar 2.

Virtopsy telah diperkenalkan dalam pameran Visible Proofs: Forensic Views of the Body di the National Library of Medicine pada tanggal 16 Februari 2008. Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa untuk merepresentaskan tubuh jenazah secara virtual dengan sangat rinci dari berbagai sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah yang tersedia yang dimasukkan ke dalam program pada The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table, pemeriksa dapat menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah atau menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan memperkecil dan memotong bagian-bagian tubuh menggunakan pisau virtual. Tubuh korban akan ditempatkan pada meja pemeriksaan di bawah scanner CT dan/atau mesin MRI dan diproses menggunakan software yang dikembangkan oleh apra peneliti. CT scan hanya membutuhkan waktu 20 detik dan menampilkan tulang, gas dan benda asing dalam tubuh.Sebuah teknik khusus yang dikembangkan dikenal sebagai MRI sintesis kuantitatif memungkinkan untuk pemindaian mayat dan menyediakan data pada jaringan lunak. Software 15

ini mengubah lapis demi lapis data set yang disediakan oleh scan dan membangun visualisasi virtual 3D dari tubuh jenazah. Visualisasi ini memungkinkan penguji untuk melihat tubuh secara rinci

mikroskopis.Terjadi di dalam tubuh adalah hanya masalah menghilangkan kulit virtual dan lapisan otot untuk mengungkapkan kerangka dan organ dengan menggunakan pisau virtual atau mengatur transparasi lapisan tubuh.

Gambar 3.

Akurasi Otopsi Virtual Sejak berkembangnya otopsi virtual yang dimotori oleh Richard Dirnhofer, banyak para peneliti melakukan penelitianpenelitian yang berkaitan dengan otopsi virtual ini.Titik perhatian utama para peneliti adalah seberapa akurat otopsi virtual dibandingkan dengan otopsi konvensional.Hal ini untuk menjawab tantangan alasan-alasan penolakan sebagaimana yang tertulis pada awal tulisan ini.Berikut penulis paparkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan dalam 5 tahun terakhir. Tidak semua hasil penelitian dapat penulis paparkan dalam makalah ini, 16

penelitian yang akan dipaparkan adalah apabila penelitian tersebut membandingkan antara otopsi virtual dan otopsi konvensional. Kasus yang dipilih adalah kekerasan pada kepala dan leher, Sudden Death in Infant and Children, Infarct Myocard, tenggelam, dan trauma.

Kekerasan pada Kepala dan Leher Pada penelitian yang dilakukan oleh Aghayev et al membuktikan bahwa dengan menggunakan MSCT dan MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang meninggal karena kekerasan pada kepala.Dan hasil yang mereka temukan kemudian dikonfirmasi dengan otopsi konvensional. Baik hasil pemeriksaan dengan MSCT, MRI maupun otopsi konvensional didapatkan hasil sama. (Gambar 4).Dalam penelitian ini mereka merekomendasikan penggunaan kombinasi antara MSCT dan MRI, karena dengan CT seringkali dipengaruhi oleh artefak tulang dan efek volume parsial.

17

Gambar 4. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional

Sementara itu penelitian yang dilakukan di Switzerland, sebab kematian dapat ditegakkan 3 dari 5 kasus yang mereka teliti dengan menggunakan MSCT dan MRI sebelum dilakukan otopsi konvensional. Hasil lain dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemampuan dari MRI untuk mendeteksi adanya perdarahan intramedular dari 3 kasus yang sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi. (Gambar 5).

18

Gambar 5. Perdarahan Intamedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensinal, (c) Histopatologi H&E x400

Sudden Death in Infant and Children Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa pemeriksaan Post Mortem Computed Tomography (PMCT) dengan menggunakan MRI dan MSCT berperanan penting dalam mendiagnosis kasus-kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak. Penyebab pasti dari kematian mendadak yang terjadi pada anak-anak sebaiknya dilakukan pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan lainnya seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri. Dari 15 pasien yang meninggal secara mendadak, 2 kasus dilakukan otopsi konvensional dan hasil otopsi sesuai dengan hasil PMCT sebelum dilakukan otopsi.Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Norwegia, terdapat perbedaan hasil yang nyata antara temuan radiologi dibandingkan temuan otopsi konvensional. Angka kesalahan antara pemeriksaan radiologi dengan temuan otopsi konvensional berkisar antara 57,14% - 66,67%. (Tabel 1)

19

Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dengan Hasil Temuan Otopsi Konvensional

Myocardial Infarct Penelitian otopsi virtual juga dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya infarct myocard.Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian dikofirmasi dengan pemeriksaan histologi.Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa baik MRI maupun pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct myocard.Sementara itu untuk keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasilnya sesuai dengan hasil histopatologi sesuai dengan fase infarct yang terjadi.(Gambar 6).

20

Gambar 6. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction

Band Necrosis. H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) Histologi. H&E x 100

Keadaan seperti yang terlihat pada gambar 3 merupakan keadaan yang penting bagi forensik sebagai penyebab kematian akibat berlanjutnya penurunan fraksi ejeksi yang menyebabkan insufisiensi jantung akut atau oleh letal ventrikular takikardi.

Tenggelam Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan tempat di mana korban tenggelam dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variabel-variabel yang diteliti dengan menggunakan MRI dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi pada penelitian yang

21

dilakukan oleh Levy et al. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada trachea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass. Sementara itu 89% lambung korban mengalami distensi. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland14, meskipun pada penelitian ini mereka menggunakan MSCT. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.(Gambar 7).

Gambar 7.A. Sedimentasi Aspirasi, B. Histologi, H&E x 400 (1).Bronkospasme, Emfisema; (2).Paru-paru Normal.

Trauma Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan kematian. Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga (72,3%), kepala (55,15%), wajah (49,4 %), tibia (37,9%) dan pelvis (36%). Sementara itu organ dalam yang paling sering 22

mengalami laserasi akibat kekerasan tumpul adalah liver (48,1%), paru (37,6%), jantung (35,6%) dan lien (30,1%). Dilakukan penelitian di Israel dengan cara membandingkan otopsi virtual (PMCT) dengan otopsi konvensional dengan tujuan untuk menilai keakuratan dari PMCT dalam mendiagnosis trauma. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat bahwa PMCT memiliki kelemahan dalam mendeteksi kelainan yang terdapat pada lesi superfisial, paru, jantung serta solid organ, akan tetapi memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh.

Tabel 2. Kemampuan Mendeteksi Trauma antara Otopsi dan PMCT

Otopsi Virtual vs Otopsi Konvensional Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging. Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan dalam konteks keilmuannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa otopsi virtual telah membawa angin segar 23

terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi otopsi virtual lebih baik jika dibandingkan otopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, akan tidak untuk kepentingan medikolegal. Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual.Untuk Indonesia, penerimaan otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional tidaklah serta merta dapat diterima. Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religious seperti otopsi virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan otopsi konvensional. Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas menyakut penerimaan otopsi virtual di Indonesia. Halhal yang harus kita pertimbangkan antara lain adalah: a. Cost and benefit dari otopsi virtual juga harus mendapat pertimbangan. Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh. Belum cukupnya data yang membuktikan bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional, tidak mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan otopsi virtual, tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan. b. Masalah biaya. Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan biaya yang amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada setiap rumah sakit di Indonesia. c. Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis.

24

d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja. e. Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual ini tetap hati-hati dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga saat ini yaitu (1) PMCT sebagai skrining untuk penyebab kematian, (2) skrining kandidat untuk dilakukan otopsi dan (3) komplementer untuk otopsi konvensional. Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek medikolegal otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia, untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa interest based otopsi virtual adalah untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan.

Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual Keuntungan Otopsi virtual bersifat non-invasif , tidak membutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh. Jenazah tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga. Kadang ada beberapa kepercayaan yang tidak mengijinkan otopsi ataupun kontak dengan jenazah. Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh.

25

CT scanner yang membuat kerangka gambar luka-luka dan kerusakan otak, sementara pemindai magnetik menghasilkan gambar yang lebih halus pada jaringan lunak. Angiography memperlihatkan bagian dalam pembuluh darah.

Pemeriksaan yang mudah pada jenazah yang infeksius, terkontaminasi racun, radionuklir, dan bahan-bahan biologis yang berbahaya.

Dosis radiasi tidak ada pertimbangan saat melakukan studi pencitraan post mortem. Memungkinkan berbagi pencitraan data di antara para ahli di lokasi fisik yang berbeda. Selain itu, kemampuan untuk melakukan pemeriksaan ulang gambar diperoleh membuat otopsi virtual dan terutama menarik sebagai dokter pemeriksa dapat kembali, mempelajari kembali, dan merekonstruksi informasi.

Keuntungan tambahan dari otopsi virtual memanfaatkan teknik-teknik modern visualisasi mencakup kemampuan untuk mendeteksi fraktur kecil yang tidak dapat terlihat pada otopsi konvensional, kemampuan untuk mengidentifikasi denistas benda asing tubuh (yaitu, peluru atau pisau) tertanam dalam jaringan lunak dan untuk jelas menentukan lintasan menembus cedera (yaitu, peluru, pisau, dll) .

Dapat melihat jenazah dari berbagai sudut dan juga bisa memindahkan lapisan demi lapisan seperti kulit dan otot, menambahkan dan menghilangkan jaringan dan 26ystemsisrkulasi , bisa diperbesar atau diperkecil dan dipotong menggunakan pisau virtual.

26

Kerugian Masalah biaya. Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan biaya yang amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada setiap rumah sakit di Indonesia. Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja. Keterbatasan untuk otopsi pencitraan modern. Pertama, teknik otopsi radiografi tidak mendeteksi semua penyebab dari kematian. Termasuk di daerah ini adalah kenyataan bahwa otopsi virtual tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan ekstravasasi kontras aktif atau proses lainnya yang membutuhkan metabolisme dan/atau peredaran darah aktif. Tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan.

Dasar Hukum Otopsi Virtual Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga jenis yaitu otopsi klinik, otopsi anatomi dan otopsi medikolegal.Masing-masing jenis otopsi tersebut diatur oleh aturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya. Otopsi klinik atau bedah mayat klinis dilakukan pada pasien suatu rumah sakit atas izin keluarga dengan tujuan untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian, menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, serta penelitian untuk pengembangan ilmu 27

pengetahuan di bidang kesehatan. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan pelaksanaan otopsi klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu hidup misal dalam surat wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal dunia. Namun dalam keadaan tertentu otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan yang membahayakan orang lain misal penyakit baru yang mematikan. Tempat dilakukan otopsi klinik hanya boleh dilakukan di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan (Dokter Spesialis Forensik).Sebaiknya otopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga otopsi parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat. Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan untuk pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis.Syarat-syarat tersebut adalah adanya persetujuan dari pasien atau keluarga jenazah, dilakukan oleh mahasiswa kedokteran atau tenaga kesehatan di bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia), tempat pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas Kedokteran. Otopsi medikolegal atau otopsi forensic dilakukan terhadap jenazah seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri.Tujuan dilakukannya untuk mengetahui sebab kematian,

28

identifikasi korban, mengumpulkan bukti medis dan mencari adanya penyakit yang dapat memberikan kontribusi pada kematian. Dasar hukum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP pasal 222 serta Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan otopsi medikolegal ini harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 133 KUHAP.Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan kebenaran material sehingga penyidik dapat menentukan identitas jenazah, sebab pasti kematian, mekanisme kematian, perkiraan saat kematian, mengumpulkan dan memeriksa benda bukti medis untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.Dalam hal persetujuan dari keluarga berdasarkan KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak menolak namun mempunyai hak untuk diberitahu.Namun undang-undang memberikan kesempatan pada keluarga untuk berunding, bila tidak ada tanggapan setelah dua hari dari pemberitahuan, maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan otopsi sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHAP. Namun, hingga saat ini masih belum ada aturan perundang-undangan baku yang mengatur penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal.

UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 119 (1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit. (2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.

29

(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien. (4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan. Pasal 120 (1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran. (2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. (3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 121 (1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanyadapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dankewenangannya. (2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis danbedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindakpidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepadapenyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 122

30

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia Pasal 2 Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut : a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;

b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di duga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya; c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kaii duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. Pasal 3

31

Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan data rumah sakit yang disediakan untuk keperluan itu. Pasal 4 Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan. Pasal 5 Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c. Pasal 6 Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas kedokteran. Pasal 7 Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran di bawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai. Pasal 8 Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 133

32

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pasal 134 (1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 222

33

Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum Pasal 3 Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja. Pasal 6 Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah kewajiban petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasive memberikan penjelasan tentang perlunya dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP.

34

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Otopsi Virtual adalah penanambahan cara baru untuk otopsi dengan melakukan pencitraan postmortem.Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak dilakukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi pada organ-organ dalam. Keuntungan penggunaan pencitraan postmortem ini adalah dapat dikumpulkan data-data pemeriksaan tanpa merusak barang bukti pemeriksaan. Data yang didapat juga dapat disimpan dalam waktu lama, meskipun korbannya sudah meninggal dan mengalami pembusukan. Sehingga diharapkan otopsi virtual dapat digunakan pada berbagai budaya dan keadaan dimana otopsi konvensional tidak dapat ditoleransi oleh agam atau ditolak oleh keluarga. Namun, masih banyak kekurangan dari otopsi virtual. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan postmortem lengkap sangat mahal, berkali-kali lipat dari biaya otopsi konvensional. Selain itu masih terdapat bias dalam hasil pemeriksaan otopsi virtual. Di Indonesia pun sampai saat ini masih belum ada undang-undang yang mengatur mengenai penggunaan otopsi virtual baik untuk keperluan medis maupun hukum. Kapan dan sampai sejauh apa otopsi virtual dapat menggantikan otopsi konvensional dalam bidang medis maupun hukum masih akan ditentukan pada masa yang akan datang.

35

Saran 1. Tenaga Kesehatan Mengetahui informasi terbaru mengenai teknologi yang berhubungan dengan kedokteran forensik. Memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai otopsi dan kegunaannya. Memperkenalkan kepada masyarakat macam-macam otopsi dan penggunaannya.

2. Pemerintah Membuat undang-undang yang mengatur tentang otopsi virtual di Indonesia. Menyediakan fasilitas medik yang berkaitan dengan otopsi virtual.

3. Forensik Mengembangkan metode yang lebih efektif dan terjangkau yang berkaitan dengan otopsi.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Prameng, Bambang L, K Yulianti, A Hardinisa. 2011. Petunjuk Teknik Otopsi. Ed. I. Cetakan III. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal 1-2. 2. Dirnhofer, Richard, Christian Jackowski, Peter Vock, Kimberlee Potter, Michael J Thali. 2006. VIRTOPSY: Minimally Invasive, Imaging-guided Virtual Autopsy.

RadioGraphics.Vol. 26. Page 1305-1333. 3. Afandi, Dedi. 2009. Otopsi Virtual. Majalah Kedokteran Indonesia.No. 7, Vol. 59. 4. http://www.visualiseringscenter.se/virtual-autopsy/en/ 5. Stawicki, S Peter, Anil Aggrawal, Anthony J Dean, David A Bahner, Steven M Steinberg, Christy D Stehly, Brian A Hoey. 2008. Postmortem use of advanced imaging techniques: Is autopsy going digital?.OPUS 12 Scientist. Vol. 2. No. 4. Page 17-26. 6. Levy, Angela D, RM Abbott, CTMallak, JM Getz, HT Harcke, HR Champion, LA Pearse. 2006. Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High Velocity Gunshot Wound Victims. Radiology. Vol. 240. No. 2. Page 522-528. 7. Ljung, Patric. Full Body Virtual Autopsies using a State-of-the-art Volume Rendering Pipeline. 8. Thali, Michael J, Christian Jackowski, Lars Oesterhelweg, Steffen G Ross, Richard Dirnhofer. 2007. VIRTOPSY The Swiss virtual autopsy approach. Legal Medicine. Vol. 9. Page 100-104. 9. Persson, Anders. 2008. Virtual Autopsy in Forensic Medicine. Somatom Sessions. Page 60-63.

37

10.

Intarniati. 2010. Teknik Otopsi. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Ed. II.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

38