Referatt Bella

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MM

Citation preview

11

Telaah ilmiahANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK

Disusun Oleh:Nuralisa Safitri04101401108

Pembimbing:dr. Hj. Suprapti, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMRSUP Dr. MOH HOESIN PALEMBANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRWIJAYA2014HALAMAN PENGESAHAN

Telaah ilmiah

JudulANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK

OlehNuralisa SafitriTelah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 21 April-30 Juni 2014.

Palembang, Agustus 2014

dr. Hj. Suprapti, Sp.PD

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan telaah ilmiah dengan judul Anemia pada Gagal Ginjal Kronik. Dikesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Hj. Suprapti, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu menyelesaikan telaah ilmiah ini.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan telaah ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah, penulis ucapkan terima kasih dan semoga telaah ilmiah ini bermanfaat.

Palembang, Agustus 2014

Penulis

DAFTAR ISIHALAMAN JUDULiHALAMAN PENGESAHANiiKATA PENGANTARiiiDAFTAR ISIivBAB I PENDAHULUAN1BAB II TINJAUAN PUSTAKA32.1.Definisi Penyakit Paru Interstitial32.2. Klasifikasi42.3. Etiologi52.4. Patofisiologi62.5. Diagnosis72.6. Pemeriksaan Fisik82.7. Pemeriksaan Penunjang8BAB III KESIMPULAN11DAFTAR PUSTAKA12

2

BAB IPENDAHULUAN

Penyakit paru interstisial (Interstitial lung disease/ ILD) merupakan berbagai penyakit primer pada jaringan interstitial atau sebagai suatu gejala yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit yang lainnya dimana struktur interstitial juga terkena pada penyakit ini. Penyakit paru interstitial juga adalah kelompok penyakit paru yang ditandai dengan alveolitis parenkim dan fibrosis.5Di AmerikaSerikat, 15% penderita yang memerlukan perawatan rumah sakit adalah penderita penyakit paru interstitial dan 30 40% penyakit paru interstitial adalah fibrosis paru idiopatik (Idiopathic Pulmonary Fibrosis/IPF/Cryptogenic Fibrosing Alveolitis/ CFA). Suatu studi epidemiologi di NewMexico menemukan insidens penyakit paru interstitial adalah 31,5 per 100.000 untuk laki-laki dan 26,1 per 100.000 untuk wanita, sementara IPF mencapai 45% penderita penyakit paru interstitial.Penyakit ini meliputi berbagai penyakit paru yang menyerang jaringan interstitial secara luas. Dengan demikian penyakit pada parenkim paru dapat dibagi menjadi dua, yakni yang terlokalisir dan yang difus. Penyakit paru yang difus meliputi 2 bagian, pada bagian yang pertama meliputi hilangnya elastisitas dari alveoli yang disebut juga dengan emfisema dan pada bagian kedua meliputi bagian jaringan interstitial yang disebut dengan penyakit interstitial paru.6Dengan banyaknya jenis penyakit yang tergolong Penyakit Paru Interstitial, dimana masing-masingmemiliki gambaran yang mirip, serta adanya teknik diagnostik yang selalu berkembang, batasan diagnosis penyakit-penyakit Penyakit Paru Interstitial juga berkembang terus. Olehkarena itu sungguh tidak mudah menegakkan diagnosis dalam kelompok Penyakit Paru Interstitialsecara pasti dan akurat. Bahkan terkadang dengan dengan teknik diagnosis yang paling invasif pun diagnosis pasti Penyakit Paru Interstitial bisa tidak dapat ditegakkan. Apabila diagnosis bisa ditegakkan,terapi yang efektif seringkali juga tidak tersedia. Pada beberapa keadaan , baik pada jaringan interstitial maupun jaringan alveoli dapat terjadi perubahan, yakni dapat terjadi akumulasi dari sel inflamasi dan edema pada jaringan interstitial, bahkan pada alveoli dan dinding bronkiolus. Selain itu dapat pula terjadi granuloma. Pada stadium akhir sering terjadi fibrosis dan akumulasi serabut fibrogen pada jaringan interstitial ini. 6

1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi Penyakit Paru InterstitialPenyakit Paru Interstitial atau interstitial lung disease adalah kelompok berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus,jaringan sekitar alveolus dan jaringan penunjang lain di paru-paru.6 Penyakit paru interstitial bukanlah keganasan, juga bukan penyakit infeksi oleh organisme yang selama ini sudah dikenal. Walaupun sering kali ada varian akutnya namun umumnya penyakit ini berkembang perlahan-lahan secara kronik. Kelainan ini dimulai denganinflamasiatau fibrosis pada unit alveolar-arteridanjalannapas distal.Apabila penyakit berkembang menjadi kronik,peradangan akan meluas ke jaringan dan pembuluh darah di interstitium serta sering kali menyebabkan fibrosis. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Peradangan dari alveolus juga dapat melibatkan saluran nafas kecil (bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius), sehingga bronkiolitis obliterans yang berhubungan dengan peradangan interstitial paru saat ini merupakan spektrum penyakit paru interstitial.Karena penyakit-penyakit tersebut tidak hanya terbatas pada interstitium tetapi dapat mengenai berbagai komponen matriks di seluruh paru, maka deskripsi yang lebih akurat adalah penyakit paru parenkimal difus.5Sifat- sifat interstitium yaitu (1)Terutama berasal dari jaringan ikat, (2) Berhubungan mulai dari alveolus sampai hilus, dan (3) Merupakan lapisan tipis yang terletak di antara sel epitel alveolus dengan sel endotel kapiler. Lapisan ini terdiri dari berupa kolagen, elastin, retikulin, membran basalis dan sel-sel mast, sel mesenkimal, histiosit, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma. Penyakit interstitial sebenarnya dapat berupa penyakit infeksi dan penyakit non infeksi, tetapi sebagian besar yang dimaksud adalah penyakit berupa penyakit non-infeksi. Karena di antara interstitial dan alveolar hanya dibatasi oleh satu lapis sel, penyakit alveolar ataupun interstitial dapat saling mempengaruhi area masing-masing, misalnya pneumonia oleh karena pneumokokus yang sebetulnya adalah penyakit alveolar yang akan menimbulkan peradangan interstitial pula. Penyakit yang menyangkut kedua area ini disebut fibrosing alveolitis.

2.2. Klasifikasiberdasarkan pemeriksaan patologi anatomi flint membagi penyakit paru interstitial menjadi :6 penyakit fibrosis idiopatik (Idiopathic fibrotic disorders) yang dibagi lagi menjadi: pneumonitis interstitial yang biasa pneumonitis interstitial deskuamasi bronkiolitis obliterasi kelainan yang didasarkan atas jaringan ikat arteritis reumatoid (rheumatoid arteritis) sistemik skleroderma sistemik lupus eritematosus sarkoidosis pneumokoniosis asbestosis silikosis pneumokoniosis pada pekerja batubara alveolitis alergi ekstrinsik hemosiderosis eosinofil kronik sindroma goodpasture vaskulitis pulmonal (pulmonary vasculitides) granulomatosis wagener angitis alergi dan granulomatosis penyakit paru interstitial yang disebabkan oleh obat nitrofurantonin metotreksat busulfan proteinosis alveolaris limfangiomiomatosisWalaupun penyakit interstitium banyak jenisnya, gejala, gambaran radiografi, fisiologi dan gambaran histologinya hampir sama. Untuk memudahkan penggolongan penyakit ini, dicari cara membedakannya, yaitu melihat ada tidaknya proses granulomatosa dan menilik penyebabnya. Setiap grup tersebut selanjutnya dapat dibagi atas subgroup berdasarkan ada tidaknya granuloma di interstitial atau sekitar vaskularnya. Klasifikasi penyakit-penyakit PPI tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi ada ratusan penyakit yang bisa melibatkan interstitial paru, baik sebagai primer maupun sebagai gambaran multi organ suatu penyakit, misalnya pada berbagai penyakit-penyakit vaskular kolagen.5Golongan terbesar PPI yang diketahui penyebabnya merupakan penyakit paru kerja dan lingkungan, termasuk di dalamnya akibat inhalasi debu inorganik, organik, serta berbagai gas beracun dan iritatif. Jumlah PPI yang tidak diketahui penyebabnya juga besar. Diantaranya adalah fibrosis paru idiopatik (FPI), sarkoidosis, pneumonitis hipersensitivitas dan berbagai hal yang diduga berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen.

2.3. Etiologi PPI meliputi penyakit respirasi (misalnya pneumonia, sarkoidosis), penyakit autoimun, obat-obat dan terapi (misalnya bleomisin, oksigen, radiasi) dan faktor-faktor lingkungan pekerjaan.Penyakit paru interstitial bukanlah keganasan, juga bukan penyakit infeksi oleh organisme yang selama ini sudah dikenal. Walaupun seringkali ada varian akutnya namun umumnya penyakit ini berkembang perlahan-lahan secara kronik.Apabila penyakit berkembang menjadi kronik, peradangan akan meluas ke jaringan dan pembuluh darah di interstitium serta sering kali menyebabkan fibrosis. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Peradangan dari alveolus juga dapat melibatkan saluran nafas kecil (bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius), sehingga bronkiolitis obliterans yang berhubungan dengan peradangan interstitial paru saat ini merupakan spektrum penyakit paru interstitial.

2.4. Patofisiologi Proses patogenesis penyakit paru interstitial dimulai dengan jejas pada lapisan epitel alveolar yang mengakibatkan proses inflamasi dengan melibatkan berbagai sel-sel inflamasi dan sel efektor imun di dalam parenkim paru. Inisiasi jejas dapat melalui inhalasi (seperti inhalasi serat mineral atau debu mineral dari pajanan pekerjaan atau lingkungan), sensitisasi antigen (seperti pada hypersensitivity pneumonitis akibat pajanan lingkungan atau pekerjaan), melalui sirkulasi darah (seperti pada penyakit vaskular kolagen, drug-induced ILD, IPF dan lain-lain). Pada interstitium dalam keadaan normal ditemukan banyak sel efektor. Lebih dari 90 % sel ini adalah makrofag alveolus yang biasanya adalah monosit. Kegunaan makrofag alveolar adalah menfagositosis organisme maupun partikel kecil yang masuk ke dalam alveolus.1 Alveolitis menyebabkan perubahan struktur alveolar berupa penebalan dan fibrosis jaringan interstitial paru sehingga pada akhirnya terjadi penurunan fungsi paru karena alveoli tidak dapat melakukan pertukaran gas. Apabila jejas yang terjadi dapat dihindari atau dibatasi, maka proses inflamasi tidak akan berlanjut kemudian terjadi proses repair dan proses deposisi kolagen serta fibrosis tidak akan terjadi, . Namun apabila jejas terus berlanjut maka proses inflamasi akan berjalan terus sehingga terjadi proliferasi fibroblas, deposisi kolagen dan penyumbatan kapiler interstitial. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Patogenesis ini berlaku untuk hampir seluruh penyakit dalam klasifikasi penyakit paru interstitial dengan pengecualian untuk beberapa penyakit tertentu misalnya limfangioleiomiomatosis, amiloidosis, lymphangitic carcinoma,, jaringan interstitial paru diinfiltrasi oleh otot polos, amyloid fibrils, dan sel ganas. Pada beberapa alveolar filling disorders, sebelum terjadi fibrosis interstitial dan intra-alveolar, terjadi pengisian ruang alveolar dengan sel darah merah (diffuse alveolar haemorrhage syndrome), eosinofil (eosinophilic pneumonia), eksudat lipoprotein (alveolar proteinosis) atau sel ganas (bronchioloalveolar carcinoma).1

2.5. DiagnosisProses diagnostik pada penyakit paru interstitial dimulai dari riwayat faktor lingkungan, paparan pekerjaan, penggunaan obat dan riwayat keluarga. Riwayat penyakit sekarang harus dieksplorasi progresivitasnya, serta hubungannya dengan batuk darah, demam dan gejala-gejala di luar paru lainnya. Gejala yang kurang dari 4 minggu dengan demam mengarah pada BOOP, pneumonitis hipersensitif atau akibat obat. Sebaliknya gambaran akut seperti ini tidak ditemukan pada FPI, histiositosis paru dan penyakit paru interstitial akibat penyakit jaringan ikat. Pasien dengan sarkoidosis dan sindrom Lofgren juga bisa terdapat demam sebentar, eritema nodosum dan artritis.Evaluasi umur, status merokok dan jenis kelamin juga bisa membantu. Penyakit paru interstitial umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama diatas 50 tahun. Sarkoidosis paru umumnya terjadi pada dewasa muda atau paruh baya. Granulomatosis sel Lagerhans (disebut juga histiositosis X paru atau granuloma eosinofilik) secara khas muncul pada perokok muda. RBILD muncul hanya pada perokok. Limfangiomiomatosis yaitu suatu kelainan yang jarang ditemukan dan terjadi hanya pada perempuan usia subur.Riwayat pekerjaan bisa mengarahkan pada kecurigaan inhalasi. Kecurigaan pneumonitis hipersensitivitas umumnya timbul setelah ada riwayat pekerjaan yang beresiko terhadap paparan zat inhalasi. Riwayat obat-obatan yang diminum, penggunaan obat-obat alternatif dan obat-obat yang dijual bebas perlu dicari karena banyak penyakit paru interstitial merupakan akibat penggunaan obat. Riwayat disfagia atau aspirasi mengarahkan pada pneumonia aspirasi, scleroderma atau mixed connectice tissue disease. Sinusitis berulang mengarah pada granulomatosis Wagener.Batuk darah menunjukkan ke arah sindrom perdarahan alveolar seperti pada sindrom Goodpasture, lupus erimatosus sistemik, granulomatisis Wagener, kapilaritis paru. Artritis mencurigakan ke arah berbagai penyakit vaskular kolagen atau sarkoidosis. Gejala pada kulit dan otot mengarahkan pada dermatomiositis atau polimiositis. Sicca syndrome (mata dan mulut kering) mencurigakan akan sarkoidosis, sindrom Sjogren atau penyakit vaskular kolagen lainnya.

2.6. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada sistem pernapasan seringkali tidak menolong penegakkan diagnosis. Sebaliknya temuan fisik di luar toraks sering membantu memperjelas penyakit yang terjadi. Misalnya kelainan kulit disertai dengan limfadenopati dan hepatosplenomegali mengarahkan pada sarkoidosis. Nyeri otot dan kelemahan otot paroksimal mencurigakan adanya pilomiositis. Adanya artritis mengarahkan pada sarkoidosis dan penyakit vaskular kolagen. Atralgia juga bisa terjadi pada FPI tetapi jarang sampai menyebabkan sinovitis atau artritis akut. Sklerodaktili, fenomena Raynaud dan lesi telangiektasia adalah gambaran khas skleroderma dan sinrom CREST. Iridosiklitis, uveitis tau konjungtivitis mungkin berhubungan dengan skleroderma dan sindrom vaskular kolagen. Kelainan saraf pusat disertai diabetes insipidus atau disfungsi kelenjar pituitary anterior mengarahkan pada sarkoidosis. Diabetes insipidus tanpa gangguan saraf pusat mencurigakan ke arah granulomatosis sel Lagerhans, sementara epilepsi dan retardasi mental menunjukkan adanya kemungkinan tuberous sclerosis.1

2.7 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium pada dugaan penyakit paru interstitial harus meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, hiting jenis leukosit, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati, elektrolit (Na, K, Cl, Ca), urinalisis dan tes penapisan untuk penyakit vaskular kolagen. Apabila diperlukan dapat juga diperiksa kadar Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dan Creatinin Kinase (CK).Seluruh foto yang pernah dibuat harus dibandingkan dengan membandingkan kita bisa mendapatkan keterangan tentang awitan kronisitas, progresivitas, maupun stabilitas penyakit. Walaupun jarang, bisa saja ditemukan foto toraks yang normal pada PPI. Bila terdapat kelainan, distribusi dan gambaran kelainan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosa.Gambaran kelainan yang didominasi daerah apeks/atas, mengarahkan pada sarkoidosis, beriliosis, granulomatosis sel Lagerhans, fibrosis kistik, silikosis dan ankylosing spondilitis. Gambaran kelainan yang didominasi daerah tengah dan bawah menunjukkan FPI, karsinomatosis limfangitik, pneumonia eosinifilik subakut, asbestosis, skleroderma dan artritis dermatoid. Adanya adenopati hilus bilateral sekaligus paratrakeal mencurigakan ke arah sarkoidosis. Adanya kalsifikasi kulit telur memungkinkan adanya sarkoidosis atau silikosis. Karsinomatosis limfangitik ditandai antara lain dengan garis Kerley B tanpa kardiomegali sementara gambaran paru adalah gambaran penyakit paru interstitial.Gambaran infiltrat di lobus atas dan lobus tengah yang cenderung ke tepi sehingga bagian tengah atau hilis cenderung lebuh bersih, atau sering disebut bayangan film negatif dari edema paru mengarah ke pneumonia eosinofilik kronik. Infiltrat bilateral pada saat dan lobus yang sama mencurigakan ke arah BOOP, pneumonia eosinofilik kronik, Penyakit paru interstitial imbas obat, pneumonitis radiasi kambuhan/recall.Adanya plak atau penebalan lokal pleura pada gambaran umum penyakit paru interstitial mengarah ke dugaan asbestosis. Penebalan pleura yang difus bisa juga pada pleurisy asbestos dan bisa juga akibat artritis reumatoid, skleroderma atau keganasan. Adanya efusi pleuri mencurigakan ke arah artrits reumatoid, lupus eritematosus sistemik, reaksi obat, penyakit paru akibat asbestos, amiloidosis, limfangioleiomiomatosis atau karsinomatosis limfangitik. Dalam konteks penyakit paru interstitial, gambaran volume paru yang relatif normal atau bahkan membesar, mencurigakan ke arah adanya obstruksi saluran napas dan ini dapat terjadi pada limfangioleiomiomatosis, granuloma eosinofilik, pneumonia hipersensitivitas, tuberous sclerosis dan sarkoidosis. Dalam menafsirkan temuan ini, harus disadari bahwa foto toraks hanya memberikan penilaian semikuantitatif dari volume paru dan seringkali tidak mencerminkan keadaan fungsional dan histologis yang terjadi. Walau bagaimanapun juga kombinasi foto toraks dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis bisa sangat mengarah.6Apapun sebabnya, gangguan restriktif paru dan penurunan kapasitas difusi paru adalah gambaran yang dominan pada penyakit paru interstitial. Akibatnya umumnya tes fungsi paru menunjukkan adanya penyakit paru interstitial dan menunjukkan beratnya penyakit, tetapi tidak bisa membedakan berbagai penyebab penyakit paru interstitial. FEV 1 % umumnya normal karena baik FEV maupun FVC sama-sama turun. Dlco adalah pemeriksaan selisih tekanan oksigen di alveolus dengan di arteri (PAO2-PaO2) bisa normal atau meninggi tergantung beratnya penyakit. Walaupun sangat tidak spesifik, pemeriksaan ini diyakini sebagai parameter yang sensitif untuk menilai adanya disfungsi paru terutama pada stadium dini. Dlco juga berguna untuk pengawasan perkembangan penyakit dan hasil pengobatan. Perubahan PAO2-PaO2 saat istirahat, FVC, dan Dlco dalam 1 tahun, akan menggambarkan prognosis penyakit paru interstitial.Penyakit seperti polimiositis, scleroderma dan lupus eritematosus sistemik harus dipikirkan bila uji pada pasien yang kooperatif menunjukkan penurunan maximal voluntary ventilation (MVV) yang lebih besar dari penurunan maximal voluntary pressure = MIP) sehubungan dengan kelemahan otot. Bila terdapat kelainan obstruktif saluran napas, harus dipikirkan adanya PPOK, asma atau bronkiektasis yang menyertai penyakit paru interstitial.Evaluasi fungsi paru saat latihan, baik tunggal maupun serial dapat membantu penatalaksanaan penyakit paru interstitial. Beratnya hipoksemia imbas latih dan perbedaan tekanan O2 alveolus-arteri (gradient A-alfa O2) berhubungan dengan beratnya fibrosis paru.Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru. Untuk mendapatkan hasil jaringan yang terbaik, biopsi dilakukan dengan open lung biopsy yang mortaliti dan morbiditinya tinggi. Selain itu bisa juga dengan prosedur video-assisted thoracoscopy (VATS) yang relatif lebih mahal dari biopsi transbronkial maupun dengan pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) yang merupakan pendekatan diagnostik lain dari ILD. Prosedur transbronkial dan BAL dilakukan dengan menggunakan bronkoskop serat lentur (fiberoptic bronchoscopy) yang morbiditi dan mortalitinya lebih rendah. Pemeriksaan BAL bertujuan untuk mendapatkan sampel sel-sel dan komponen nonselular dari unit bronkoalveolar yang dapat digunakan untuk menentukan diagnosis, menentukan stadium penyakit, dan menilai kemajuan terapi (follow up) pada beberapa penyakit ILD.

3

12

BAB IIIKESIMPULANBerikut kesimpulan dari telaah ilmiah ini, antara lain:1. Penyakit Paru Interstitial adalah berbagai penyakit primer pada jaringan interstitial atau sebagai suatu gejala yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit yang lainnya dimana struktur interstitial juga terkena pada penyakit ini.2. Penyakit Paru Interstitial adalah kelompok berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan jaringan penunjang lain di paru-paru.3. Penyakit paru interstitial bukanlah keganasan juga bukan penyakit infeksi oleh organisme.4. Penyakit paru interstitialterdiriatasberbagaipenyakit yang memilikikemiripandalamgejala, perubahanfisiologi, gambaranradiologidangambaranhistopatologinya. Pasien yangditemukandengankecurigaan PPI harusdievaluasilengkapuntukkemungkinanpenyakit lain.

DAFTAR PUSTAKA1. Ceva Wicaksono pitoyo. Penyakit Paru Interstitial. Dalam: Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor, Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta, Indonesia: Internal Publishing, 2009: 2315-2322.2. Djojodibroto,RD.Respirologi(respiratotry medicine).2009.EGC.Jakarta3. Furst, D.E., and Ulrich, R.W., 2007. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs, Disease-Modyfing Antirheumatic Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs Used In Gout. In: Katzung, B.G., ed. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Singapore: The McGraw-Hill Company, 591-592.4. Menaldi Rasmin 2008. Bronchoalveolar Lavage Pada Interstitial Lung Disease. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI SMF Paru RSUP Persahabatan, Jakarta5. Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.2006.Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.6. Tabrani Rab. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta, Indonesia: Trans Info Media, 2010.

11