Upload
azman-hakim
View
65
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada beberapa tahun belakangan ini sindrom malabsorbsi
telah lebih banyak diteliti oleh para ahli di bidang gastroenterologi.
Pola maldigesti dan malabsorbsi anak di negara berkembang
seperti Indonesia, berbeda dengan negara industri. Di negara
berkembang kelainan ini banyak dihubungkan dengan
gastroenteritis, bayi berat badan lahir rendah, dan diare pasca
bedah, sedangkan di negara maju banyak terdapat pada celiac
disease, cystic fibrosis.
Di samping itu banyak keadaan lain yang dihubungkan
dengan mukosa yeyunum yang abnormal. Di negara tropik antara
lain giardia, cacing tambang, tuberkulosis dan tropical sprue.
Giardiasis dihubungkan dengan dengan perubahan struktur mukosa
usus. Malabsorbsi karena penyakit cacing tambang adalah
sekunder karena defisiensi besi pada penyakit ini serupa dengan
yang terjadi pada defisiensi besi tanpa penyakit cacing tambang
Kelainan yang terdapat pada usus terdiri dari ( Anderson, 1977) :
1. Perubahan kondisi intralumen usus halus bagian atas
2. mukosa usus halus yang abnormal
3. hal-hal lain yang patologik merupakan dasar gejala penyakit
4. disfungsi usus besar yang mempengaruhi usus kecil
1
Elemen-elemen mayor yang mempengaruhi pencernaan normal
dan absorbsi nutrisi adalah :
1. Traktus gastrointestinal yang intak (secara anatomi dan
fungsional )
2. Enzim-enzim brush border yang normal
3. Emulsifikasi, translokasi dan pengolahan lemak yang normal
4. Fungsi pankreas normal
Sindrom malabsorbsi dapat berupa gangguan absorbsi karbohidrat,
lemak, protein, vitamin. Namun demikian yang sering dijumpai pada
anak adalah malabsorbsi karbohidrat dan malabsorbsi lemak.
EPIDEMIOLOGI
Masalah yang penting adalah intoleransi laktosa atau
defisiensi laktase pada malabsorbsi karbohidrat. Intoleransi laktosa
dapat terjadi terhadap susu sapi murni maupun susu formula.
Diketahui bahwa susu sapi murni mengandung 4,25-5,0 g% laktosa,
sedangkan ASI mengandung 6,8-7,3 g%. Dalam ASI, laktosa
merupakan karbohidrat terpenting sebagai sumber kalori. Di
Indonesia pada 36 bayi baru lahir terdapat 72,2% yang mengalami
intoleransi laktosa. Pada 150 bayi 1 bulan sampai 2 tahun terdapat
51,3%, dan pada 50 anak usia 2 tahun sampai 6 tahun terdapat
72%.
Prevalensi malabsorbsi laktosa sangat bervariasi di seluruh
dunia. Pada orang timur termasuk Indonesia prevalensi malabsorbsi
laktosa pada orang dewasa sebesar 98%. Penelitian terdahulu oleh
Hedgar dkk mendapatkan prevalensi malabsorbsi laktosa 21% pada
2
usia 3-5 tahun dan 58% pada usia 6-11 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan oleh BKGAI , prevalensi malabsorbsi laktosa murid
SLTPN 7 Jakarta lebih adalah 73% lebih tinggi dibanding penelitian
lain pada kelompok usia yang lebih muda.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Malabsorbsi didefinisikan sebagai setiap keadaan dimana
terdapat gangguan proses digesti dan absorbsi nutrien sehingga
tidak dapat memasuki rongga usus.
Istilah sindrom malabsorbsi digunakan untuk menggambarkan
segala sesuatu yang menyebabkan maldigesti atau malabsorbsi
makanan seperti distensi perut, pucat, tinja yang banyak dan
berbau busuk, otot yang kurus terutama otot proksimal, dan lambat
tumbuh serta kurangnya kenaikan berat badan.
Dalam kesempatan ini akan di bahas mengenai :
1. Malabsorbsi karbohidrat
2. Malabsorbsi lemak
3. Malabsorbsi protein
4. Malabsorbsi vitamin
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya malabsorpsi :
Malnutrisi kronis
Gangguan hati dan saluran empedu
BBLR
MEP
Infeksi usus
Imunodefisiensi
Sindroma pertumbuhan bakteri berlebihan
Sindrom usus pendek
4
Enteropati sensitive-gluten
Malabsorpsi dicurigai bila terdapat :
Gagal tumbuh
Distensi abdomen
Flatus berlebihan
Diatesis bleeding
Keabnormalan tulang
Manifestasi kulit dari defisiensi nutrien
MALABSORBSI KARBOHIDRAT
Karbohidrat dapat di bagi dalam :
Monosakarida ( glukosa, galaktosa, fruktosa )
Disakarida ( laktosa, sukrosa, maltosa )
Polisakarida ( glikogen, amilum, tepung )
Sebelum masuk usus polisakarida dipecah menjadi disakarida oleh
amilase dari ludah pankreas. Laktosa merupakan karbohidrat utama
dari susu ( susu sapi mengandung 50 mg laktosa per liter )
Etiologi
Intoleransi laktosa terjadi karena defisiensi enzim laktase
dalam brush border usus halus.
Pencernaan dan absorbsi karbohidrat
Karbohidrat terpenting dalam diet bayi adalah laktosa, sedang
pada dewasa 60% dari karbohidrat dalam diet adalah tepung dan
sukrosa dan sedikit sekali laktosa.Walaupun konsep digesti
disakarida intralumen telah diterima, namun saat ini jelas bahwa
hidrolisis oleh enzim disakaridase terjadi di brush border ( mikrovili )
5
sel mukosa. Enzim lactase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan
galaktosa, sukrase mengubah sukrosa menjadi glukosa. Laktase
terbentuk pada trimester terakhir kehamilan.
Pada absorbsi monosakarida, misalnya glukosa, terbukti kini
diperlukan zat yang membantu transportasi aktif glukosa tersebut,
yaitu Natrium.
Tipe Intoleransi Karbohidrat Sumber : Harries, 1978
Disakarida Monosakarida
Primer - defisiensi sukrase-isomaltase malabsorpsi
glukosa
- defisiensi laktase galaktosa
(fruktose
- alaktasia congenital terabsorpsi)
- hipolaktasia yang timbul kemudian
Sekunder - defisiensi laktase malabsorpsi
monosakarida
- defisiensi semua disakarida
Patofisiologi
Sugar intolerance (intoleransi gula) timbul bila tubuh
mengalami defisiensi salah satu atau lebih enzim disakaridase dan
atau adanya gangguan absorbsi serta pengangkutan monosakarida
dalam usus halus. Jadi dua faktor yang dapat menimbulkan
intoleransi gula ialah faktor pencernaan (digesti) dan faktor
absorbsi. Gangguan kedua faktor ini dapat bersifat bawaan
6
(congenital, primer) atau didapat (sekunder). Pada bentuk primer
terdapat kelainan genetik, sedangkan bentuk sekunder lebih banyak
disebabkan keadaan seperti diare (oleh sebab apapun), beberapa
saat setelah diare oleh karena absorbsi belum pulih dan produksi
enzim belum sempurna, pasca-operasi usus, terutama bila
dilakukan reseksi usus, mal-nutrisi energi protein (atrovi vili).
Tanda dan gejala intoleransi karbohidrat
Karbohidrat yang tidak diserap akan menimbulkan beban
osmotik (diare berair); oleh bakteri di kolon akan dibentuk gas
(abdomen kembung, tinja berbuih, flatus) dan asam-asam organik
seperti asam laktat (tinja bersifat asam) dan adanya gula di tinja
(reduksi positif). Dengan demikian, tanda dan gejala utama
intoleransi gula adalah diare berair, berbuih dan sering flatus, tinja
bersifat asam, pH 5,5 atau kurang dan adanya eritema natum dan
dalam tinja terdapat gula yang tidak diserap.
Perlu dibedakan antara intoleransi gula dan defisiensi
disakaridase (laktase, sukrase, maltase). Yang terakhir dapat terjadi
pada suatu kondisi patalogik, ialah rusaknya mukosa usus halus,
terutama brush border sel epitel tempat letaknya enzim-enzim
tersebut. Namun apakah kerusakan ini akan menimbulkan tanda-
tanda intoleransi gula, tergantung kepada beberapa faktor : luasnya
kerusakan, banyaknya disakarida yang dimakan pada satu waktu
dan umur serta kemampuan anak untuk menyerap kembali cairan
hasil kondisi hiperosmolar dalam kolon.
Pemeriksaan laboratorium
7
1. Pengukuran pH tinja (pH 6, normal pH tinja 7 – 8)
2. Penentuan kadar gula dalam tinja dengan tablet “Clinitest”
Normal tidak terdapat gula dalam tinja. (+ = 0,5%, ++ = 0,75%, +
++ = 1%, ++++ = 2%).
3. Lactose loading (tolerance) test
Setelah penderita dipuasakan selama semalam diberi minum
laktosa 2 g/kgbb. Dilakukan pengukuran kadar gula darah
sebelum diberikan laktosa dan setiap setengah jam kemudian
sehingga 2 jam lamanya. Pemeriksaan ini dianggap positif
(intoleransi laktosa) bila didapatkan grafik yang mendatar selama
2 jam atau kenaikan kadar gula darah kurang dari 25 mg %
(Jones, 1968).
4. Barium meal lactose
Setelah penderita dipuasakan semalam, kemudian diberi minum
larutan barium-laktosa. Dilihat kecepatan pasase larutan
tersebut. Hasil dianggap positif bila larutan barium-laktosa terlalu
cepat dikeluarkan (1 jam) dan berarti pula hanya sedikit yang
diabsorbsi.
5. Biopsi mukosa usus halus dan ditentukan kadar enzim laktase
dalam mukosa tersebut. Di negeri yang sedang berkembang
seperti Indonesia, malabsorbsi yang terjadi akibat malnutrisi
energi protein, infeksi usus kronis dan intoleransi sekunder
terhadap gula merupakan persoalan sehari-hari.
Kelainan mukosa usus pada bedah mayat tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya pada waktu hidup.
Otolisis terjadi cepat sekali setelah penderita meninggal,
8
sehingga analisis mukosa usus yang baik hanya diperoleh dari
sediaan yang masih segar.
Setelah cara biopsi usus peroral pada orang dewasa dan
anak ditemukan, banyak biopsi usus dilakukan untuk
pemeriksaan mukosa usus misalnya pada kwashiorkor, pasca-
gastroenteritis, Celiac syndrome, sprue, anemia defisiensi besi.
Untuk diagnosis klinis biopsi usus penting sekali, karena
banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan ini, misalnya
gambaran vilus dibawah dissecting microscope, gambaran
histologis mukosa (mikroskop biasa dan elektron), aktifitas
enzimatik (kualitatif dan kuantitatif)
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, sejak tahun
1968, biopsi usus dilakukan dengan kapsul Watson, modifikasi
dari kapsul Crosby. Dari 31 anak dengan malnutrisi energi
protein ternyata gambaran vili yang tampak di bawah dissecting
microscope menunjukkan kelainan berupa atrofi mukosa
berbagai derajat. Pada pemeriksaan histologis juga ditemukan
atrofi mukosa disertai serbukan sel yang bertambah dalam
lamina propria kripta Lieberkuhn yang dalam dan diduga diserta
defisiensi laktase sekunder.
Biopsi usus ternyata tidak berbahaya dan sangat bermanfaat
dalam menyelidiki berbagai keadaan klinis yang disertai
malabsorbsi usus.
6. Sugar chromatography dari tinja dan urin.
9
Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinis dan laboratorium seperti diatas.
Pengobatan
Diberikan susu rendah laktosa (LLM, Amiron, eiwit melk) atau
Free lactose milk formula (sobee, Al 110) selama 2-3 bulan
kemudian diganti kembali ke susu formula yang biasa. (kadar
laktosa Almiron 1,0%, eiwit melk 1,4%, LLM 0,8%, Sobee 0% dan
Al 110 (0%).
Pada intoleransi laktosa sementara, sebaiknya diberikan susu
rendah laktosa selama 1 bulan sedangkan pada penderita dengan
intoleransi laktose primer (jarang di Indonesia) diberikan susu
bebas laktosa.
Prognosis
Pada kelainan primer (congenital) prognosis kurang baik,
sedangkan pada kelainan yang didapat (sekunder) prognosis baik.
Maldigesti dan malabsorpsi disakarida sekunder
Di Indonesia lebih banyak terjadi malabsorpsi disakarida
sekunder daripada primer dan dihubungkan dengan penyakit
gastroenteritis PEM, BBLR, kadang – kadang pada keadaan pasca
bedah usus.
Patologi kerusakkan mukosa, epitel, dan brush border
mengakibatkan depresi aktivitas enzim disakaridase. Laktase lebih
mengalami depresi daripada sukrase, maltase (Dahlquist, 1962)
dan laktase biasanya terakhir normal kembali pada
10
penyembuhannya (Plotkin dan Isselbacher, 1963). Gambaran
perubahan histologik kerusakkan mukosa dengan berbagai derajat
atrofinya biasanya selalu terdapat pada defisiensi disakarida
sekunder pasca gastroenteritis pada bayi.
Pada penyembuhan mukosa, aktivitas disakarida akan normal
kembali, namun pada beberapa keadaan, defisiensi laktase tetap
terdapat selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan
sesudah jaringan terlihat normal dibawah mikroskop biasa.
Penatalaksanaan
Pada kebanyakkan penderita, pemberian susu bebas laktosa
adekuat tapi pada beberapa penderita diperlukan juga yang bebas
sukrosa. Lamanya diet bebas atau rendah laktosa sangat variabel.
Kebanyakkan penderita tahan makanan normal dalam waktu 2 – 3
minggu, tapi ada yang memerlukan waktu 2 – 3 bulan bahkan 6 –
12 bulan walaupun sangat jarang.
Malabsorpsi monosakarida sekunder
Hal ini dapat terjadi pada bayi muda dan bersifat sementara,
namun dapat membahayakan hidupnya. Selain itu sering terdapat
pada PEM, dan failure to thrive (lifshitz dkk, 1970). Diperkirakan
terdapat hubungan sementara overgrowth, garam empedu
terkonjugasi dan transport monosakarida di usus.
Burke dan Anderson (1966), menemukan toleransi
monosakarida pada neonatus pasca bedah gastrointestinal.
Terdapatnya gula dalam tinja dan hubungannya dengan
monosakarida yang dimakan dapat memberi gambaran adanya
11
malabsorpsi monosakarida, lebih-lebih dengan mencatat gejala-
gejala yang terjadi pada percobaan dieliminasinya monosakarida
dalam diet yang kemudian diberikan lagi.
Penatalaksanaan
Dianjurkan diet bebas karbohidrat, malabsorpsi monosakarida
sering sulit pengobatannya dan memerlukan kesabaran dan sering
diperlukan infus cairan intravena berulang kali. Disarankan formula
glukosa polimer untuk memperbaiki keadaan ini
Malabsorbsi lemak
Pengertian
Malabsorpsi lemak diartikan sebagai suatu keadaan terdapatnya
gangguan absorpsi lemak dalam usus sehingga terjadi pengelolaan
lemak yang berlebihan dalam tinja. Keadaan dapat atau tanpa
disertai diare. Pengeluaran lemak yang melebihi 5 g/hari disebut
steatorea. Secara makroskopik steatore dapat ditandai dengan tinja
yang lengket, berkilat, dan berlemak, sedangkan secara
mikroskopik dapat tampak globul lemak yang memenuhi lebih dari
setengah lapangan pandang besar.
Di alam bentuk trigliserida asam lemak umumnya mengandung
atom C lebih dari 14, seperti asam palmitat, asam stearat, asam
oleat dan asam linoleat. Bentuk ini disebut LCT (Long Chain
Triglycerides). Disebut MCT (Medium Chain Tryglycerides) adalah
trigliserida dengan atom C6-12 buah. Untuk pengobatan anak
12
dengan malabsorbsi lemak, susu MCT telah banyak digunakan oleh
berbagai klinik.
Penyebab
Gangguan absorbsi lemak (LCT) dapat terjadi pada keadaan :
1. Lipase tidak adad atau kurang.
2. Conjugated bile salts tidak ada atau kurang.
3. Mukosa usus halus (vili) atrofi atau rusak.
4. Gangguan sistem limfe usus.
Keadaan ini menyebabkan diare dengan tinja berlemak
(steatorea) dan malabsorbsi lemak.
Dalam keadaan sehat absorbsi LCT dari usus halus bergantung
kepada beberapa faktor. Hidrolisis dari LCT menjadi asam lemak
dan gliserida terjadi di usus halus bagian atas dengan pengaruh
lipase pankreas dan conjugated bile salts yang ikut membentuk
micelles yaitu bentuk lemak yang siap untuk di absorbsi. Sesudah
masuk ke dalam usus kecil terjadi re-esterifikasi dari asam lemak
sehingga kemudian terbentuk kilomikron yang selanjutnya diangkut
melalui pembuluh limfe.
Absorbsi MCT berbeda sekali dengan LCT, demian pula
metabolismenya. MCT dapat diabsorbsi dengan baik dan cepat
walaupun tidak terdapat lipase pancreas dan conjugated bile salts,
apalagi tidak melalui pembentukan micelles dan kilomikron. MCT
akhirnya akan diangkut langsung melalui vena porta dan
selanjutnya dalam hati akan dimetabolisme.
13
Patofisiologi
Malabsorbsi lemak dapat terjadi pada kelainan sebagai berikut :
1. Penyakit pankreas : fibrosis kistik, insufisiensi lipase pancreas.
2. Penyakit hati : hepatitis neonatal, atresia biliaris, sirosis hepatis.
3. Penyakit usus halus : reseksi usus halus yang ekstensif (pada
atresia, volvulus, infark mesenterium), penyakit seliak dan
malabsorbsi usus (karena kelainan mukosa usus atau atrofi),
enteritis regional, tropical sprue, contaminated small bowel
syndrome, abetalipoproteinemia (karena gangguan
pembentukan kilomikron), malabsorbsi yang sebabnya tidak
diketahui. Mungkin sekali terjadi pada diare berulang dan kronis
pada malnutrisi energi protein.
4. Kelainan limfe : limfangiektasia usus, gangguan limfe karena -
trauma, tuberkulosis, kelainan kongenital.
5. neonatus kurang bulan
Diagnosis
Steatorea atau bertambahnya lemak dalam tinja merupakan
suatu conditio sine qua non untuk diagnosis malabsorbsi lemak.
Prosedur yang paling sederhana ialah pemeriksaan tinja
makroskopis dan mikroskopis. Tanda-tanda makroskopis tinja yang
karakteristik tinja berlemak ialah lembek, tidak berbentuk
(nonformed stool), berwarna cokelat muda sampai kuning, kelihatan
berminyak.
Pemeriksaan mikroskopis lebih menentukan. Perhitungan
kuantitatif metode Van de Kamer atau tinja yang dikumpulkan 3 hari
berturut-turut merupakan pemeriksaan yang paling baik.
14
Bila ekskresi dalam feses lebih dari 15 gram selama 3 hari
(5g/hari) maka hal ini menunjukkan adanya malabsorbsi.
Pengobatan
Pengobatan lebih banyak ditujukan pada latar belakang
penyebab terjadinya malabsorbsi lemak ini. Kemudian untuk
malabsorbsi lemaknya sendiri diberikan susu MCT.
Preparat MCT di luar negeri banyak dibuat dari minyak kelapa.
1. Dalam bentuk bubuk : Portagen, atau Tryglyde
(Mead Johnson), Trifood MCT milk.
2. Dalam bentuk minyak : Mead Johnson MCT oil,
Trifood MCT oil.
3. Mentega MCT : margarine union.
Malabsorpsi dan maldigesti Protein
Maldigesti dan malabsorpsi protein bisa terdapat pada 2
keadaan utama :
1. gangguan pankreas,
2. kelainan mukosa usus halus.
Di negara berkembang seperti Indonesia, dengan banyak
PEM, kedua keadaan tersebut bisa terdapat bersama-sama
sehingga makin memberatkan keadaan PEM-nya.
Gangguan digesti dan absorpsi ini meliputi :
1. defek digesti protein intralumen
2. defek digesti protein dalam brush border dan dalam sel epitel
usus
3. transpor asam amino yang abnormal ke vena porta
15
Malabsorpsi asam amino neutral
Sistem transpor aktif ini untuk asam amino neutral tidak
terdapat pada suatu penyakit autosom resesif yang disebut Hartnup
Disease, nama keluarga yang pertama dilaporkan terkena penyakit
ini. Anak-anak ini menderita malabsorpsi asam amino neutral pada
usus dan tubulus ginjal yang mengakibatkan terjadinya
aminosiduria. Aminosiduria, triptofanuria dan indikanuria merupakan
keadaan yang khas untuk Hartnup disease
Malabsorpsi Triptofan
Dengan terjadinya malabsorpsi triptofan terjadi blue diaper
syndrome (Gryboski, 1975). Hal ini berhubungan dengan
hiperkalsemia dan nefrokalsinosis. Warna biru pada popok
disebabkan oleh ekskresi indol yang meningkat di urin akibat kerja
bakteri di kolon terhadap asam amino yang tak dapat diserap.
Adanya indol dalam urin dapat diketahui dengan reaksi indikan
asam (pemeriksaan Obermeyer).
Malabsorpsi metionin
Malabsorpsi metionin adalah suatu penyakit dengan diare dan
kejang sebagai gejala utama (Gryboski, 1975; Hooft dan Antener,
1968). Gejala lain : light blond hair, fair, kulit kering, mata biru,
tachypnoe, retardasi mental.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya ekskresi
intermitten hydroxybutyric acid dalam air kencing (sampai 70 mg
sehari). Diet metionin pada penderita ini akan mengurangi frekuensi
diare, kejang dan gejala lain (Gryboski, 1975).
16
Malabsorpsi vitamin ( B12).
Beberapa cacat congenital yang jarang dapat mengganggu
asimilasi vitamin B12. Keadaan ini jauh lebih jarang dari defisiensi
atau malabsorpsi vitamin B12 dalam diet akibat reseksi atau
disfungsi ileum terminal. Pada anemia pernisiosa juvenil, produksi
faktor intrinsik di lambung tidak sempurna. Akibatnya terjadi
malabsorpsi vitamin B12, yang menyebabkan anemia megaloblastik
dan kegagalan pertumbuhan. Struktur dan fungsi lambung lainnya
normal.
Defisiensi transkobalamin II adalah cacat suatu protein yang
diwariskan yang dibutuhkan untuk mengangkut vitamin B12
intestinum. Hasilnya adalah anemia megaloblastik berat, diare, dan
muntah.
Imerslund telah menguraikan penderita yang mengalami cacat
absorbsi vitamin B12 di ileum. Struktur dan fungsi ileum normal.
Anemia megaloblastik muncul setelah berumur akhir tahun
pertama. Sering disertai proteinuria.
Pengobatan gangguan-gangguan ini adalah memberikan
vitamin B12 dengan suntikan: 1000 g/minggu untuk defisiensi
transkobalamin II dan 100 g/bulan untuk yang lain.
17
BAB III
KESIMPULAN
Gastroenteritis, BBLR, dan diare pasca bedah di negara
berkembang seperti Indonesia banyak dihubungkan dengan pola
maldigesti dan malabsorbsi. Selain itu, kelainan – kelainan yang
terdapat pada usus juga dapat mengakibatkan sindrom
malabsorbsi.
Sindrom malabsorbsi dapat berupa gangguan absorbsi
karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Namun, yang paling sering
ditemukan pada anak adalah malabsorbsi karbohidrat terutama
intoleransi laktosa dan malabsorbsi lemak.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
malabsorbsi, oleh karena itu penanganan yang tepat amat
dibutuhkan mengingat malabsorbsi dapat mengakibatkan salah
satunya gagal tumbuh
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf pengajar IKA FK – UI. Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak
I, 1983.
2. Markum, A.H. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid I, 1991.
3. Behrman, Kliegman. Nelson Edisi 15, Ilmu Kesehatan Anak
Volume 2.
4. Suharyono dkk. Gastroenterologi Anak Praktis, 1988.
5. http://www.naspghan.org/sub/Malabsorption.htm .
6. BKGAI, Kongres Nasional II Kumpulan Makalah, 2003.
19
20
21